BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Sosiohistoris Arswendo Atmowiloto
a.
Biografi
Orang tuanya memberi nama Sarwendo, tetapi sejak Ia menjadi penulis lebih
109
110
111
112
113
1) Novel
Karya Arswendo atmowiloto antara lain : a) Bayang-Bayang Baur (1977), Nusa
Indah, Ende, Flores.b) The Circus (1977), Nusa Indah, Ende, Flores.c) Semesra
Merapi Merbabu (1979), Cy Press. d) 2x Cinta (1978), Singa Mas. e) Saat-Saat Kau
Berbaring di Dadaku (1979), Majalah Femina, Jakarta. f) Martubi dan Juminten
(1980), Gramedia, Jakarta.g) Namaku Diktat (1980), Majalah Femina, Jakarta. h) Dua
Ibu (1981), Yayasan Buku Utama, Jakarta.i) Canting (1986), Gramedia, Jakarta.j)
Menghitung Hari (1993), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. k) Abal-Abal (1994),
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. l) Auk (1994), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. m)
Projo dan Brojo (1994), Subentra Citra Pustaka, Jakarta. n) Oskep (1994), Pustaka
Utama Gragiti, Jakarta. o) Berserah Itu Indah(1995), Subentra Citra Pustaka, Jakarta.
p) Khotbah di Penjara (1995), Subentra Citra Pustaka, Jakarta.
2) Novel Anak-anak dan Remaja
Karya Arswendo atmowiloto antara lain: a) Lawan jadi Kawan (1973), Badan
Penerbit Kristen. b) Anis dan Herman (1974), Pustaka Press, Jakarta. c) Moko
(1974), Indra Press.c) Ayam Jago si Dul (1974), Badan Penerbit Kristen. d) Pencuri
Aneh (1975), Anis Lima. e) Penyiletan Gadis Cantik (1979), Gramedia, Jakarta. f)
Pembajakan Pesawat Terbang (1979), Gramedia, Jakarta. g) Haji Palsu (1979),
Gramedia, Jakarta. h) Korbannya Seorang Pramuria (1979), Gramedia, Jakarta. i)
Tamu dari Jauh (1980), Gramedia, Jakarta. j) Matinya Raja Batik (1980), Gramedia,
Jakarta.k) Operasi Lintah (1980), Gramedia, Jakarta. l) Kutunggu di Pinostiner
(1980), Gramedia, Jakarta. m) Jangan Sakiti Foxi Terri (1980), Gramedia, Jakarta. n)
114
Selamatkan Bayi Kami (1980), Gramedia, ,Jakarta. o) Bangkit dari Kubur (1980),
Gramedia Jakarta. p) Berani Merantau (1975), Agus Press. q) Jail Anak Asrama
(1975), Aries Lima. r) Anak-anak Kereta Api (1975), Agus Press. s) Pesta Jangkrik
(1976), Astan. t) Mengapa Bibi Tak ke Dokter (1978), Rosda. u) Kadir (1976), Nusa
Indah, Ende, Flores. v) Lapangan Terbang Lokasis (1976), Aries Lima. w) Ito (1977),
Pustaka Jaya, Jakarta. x) Kapten Bola (1977), Pustaka Jaya, Jakarta. y)Kisah Raja
Bijaksana (1977), Pustaka Jaya, Jakarta. z) Darah Nelayan (1978), Gramedia, Jakarta.
dst.
3) Naskah Sandiwara atau Film
Karya Arswendo atmowiloto antara lain: a) Bayiku yang Pertama (1972) , b)
Penantang Tuhan (1972), c) Sang Pangeran (1972), d) Surat dari Jakarta pada Bulan
Ketiga (1974), untuk TVRI. e) Sang Pemahat (1976), Naskah Sandiwara Anakanak.f) Menghitung Hari (1995), diangkat dari novel dengan judul yang sama,
berhasil menjadi pemenang dalam festival Sinetron Indonesia tahun 1995 untuk
kategori naskah sinetron terbaik. g) Dongeng Dangdut (1996), skenario ini ditulis
selepas dari lembaga pemasyarakatan dan ditayangkan oleh Televisi Pendidikan
Indonesia.
4) Karya Lain
Karya Arswendo atmowiloto antara lain Buyung Hok dalam Kreativitas
Kompromi (1972), esai mengenai sosial budaya, meraih penghargaan Zakse Prise. b)
Kumpulan cerpen : Surat dengan Sampul Putih (1980), Gramedia, Jakarta. c) Seri
115
Novel : Sudesi (1994), Subentra Citra Pustaka, Jakarta. d) Kumpulan Puisi: Sebutir
Mangga di Halaman Gereja (1995), Subentra Citra Pustaka.
b.
dapat
diketahui
bahwa
pengalaman-pengalaman
yang
merupakan
sejarah
116
Arswendo juga mengangkat kehidpan masyarakat kecil sebagai materi kdalam karyakaryanya. Hal ini selaras dengan keberadaan dirinya yang lahir dan besar di Solo dan
berasal dari komunitas miskin.
Arswsendo sadar dengan tanggung jawab moral sebagai sastrawan yang
bertugas melakukan kontrol sosial. Novel Canting adalah wujud kepeduliannya,
novel yang memilih larar Kota Solo ini sangat kental dengan unsur budaya Jawa.
Arswendo mencoba menggambarkan kehidupan keluarga Jawa yang sangat khas,
lengkap dengan simbol dan tradisi keningratannya. Dalam novel ini ditampilkan
sosok wanita Jawa yang ideal, yang dalam situasi berbeda dapat berperan sama
baiknya.
Potret kehidupan masyarakat kecil dengan segala problem yang dihadapinya
dapat ditemukan dalam novel Auk hasil karyanya. Persoalan yang di dalamnya
menyangkut rasa kemanusiaan dan kepekaaan sosial terhadap sesama manusia
tampak menukik tajam dalam karya tersebut. Lewat novel ini Arswendo
menyampaikan beberapa kritik sosial.
Waktu terus bergulir, Arswendo yang dulu berasal dari komunitas yang miskin
dan kini menjadi eksekutif top. Ia kini dikenal sebagai pengarang yang produktif dan
menduduki posisi penting dalam dunia pers, yaitu sebagai konsultan media massa.
Keberhasilan yang diperoleh dengan perjuangan yang tidak sederhana. Bahkan
peristiwa
paling
pahit
yang
sempat
mengguncangkan
kehupannya
dalam
bermasyarakat, yaitu saat dirinya harus masuk penjara karena kasus Monitor. Sebuah
kasus yang dialami dari kegemarannya berhumor yang berubah menjadi horor, seperti
117
penuturannya pada Cempaka (1988: 8), Semula saya hanya ingin berhumor saja,
belakang niat baik saya berubah jadi horor dan menyeret saya ke penjara.
Ketika mendengar kata penjara, Arswendo benar-benar terguncang jiwanya.
Jiwanya gelisah karena terpisah dari lingkungan, keluarga, pekerjaan, dan masa lalu
yang boleh dibilang mulai gemerlap. Namun demikian keberadaan dalam penjara
telah mengubah pandangan-pandangannya terhadap keluarga, dunia jurnalistik, dan
kehidupan sekitarnya.
Arswendo tidak terpenjara kreativitasnya. Dari tempat ini muncul novel-novel
dengan nuansa yang berbeda dari novel-novel sebelumnya. Perubahan latar belakang
sosial budaya telah melahirkan beberapa karya sastra, seperti anekdot Menghitung
Hari, Surkumur Murdukur dan Plekenyun, Abal-abal, Projo dan Brojo, dan Sudesi.
Novel Projo dan Brojo adalah salah satu novel oleh-olehnya selepas Arswendo
bebar dari penjara. Novel ini diilhami ketika ia merasa cemburu terhadap istrinya dan
adanya rencana dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan lain. Arswendo ingin
seseorang menggantikan posisinya di dalam penjara. Ide yang cukup unik dan lucu
dituangkannya ke dalam sebuah novel, yang akhirnya menjadi novel Projo dan Brojo.
Novel lain yang ditulisnya di penjara adalah Sudesi yang merupakan akronim
dari Sukses dengan Satu Istri. Novel trilogi ini bertutur tentang kesetiaan seorang
istri yang menanti suaminya berada di penjara, seperti dituturkannya kepada
Cempaka (1998: 9):
Lantaran saya menganggap istri saya luar biasa, di
penjara saya tulis Sudesi. Dari situ saya menyadari kesuksesan
seorang tak harus diukur dari keberhasilan menjadi direktur,
118
119
saja hukuman saya tak diringankan. Ternyata hal semacam itu juga terjadi di
lingkungan penjara. Pengalaman baru yang akhirnya melahirkan kritik sosial yang
dituangkan dalam anekdot Menghitung Hari dan Novel Projo dan Brojo.
Arswendo selalu kritis menanggapi derita sosial masyarakat di sekitarnya.
Dalam era reformasi ini, orang seharusnya tidak merasa risih bergaul dengan mantan
narapidana. Menurut Arswendo berbuat kesalahan adalah sesuatu yang manusiawi,
tinggal bagaimana ia menyikapi sesudahnya. Ia merasa bersyukur dapat duduk
sekursi dengan menteri kehakiman, Muladi. Suatu penghargaan bagi Arswendo,
ketika ia diminta memberi masukan kemungkinan perbaikan terhadap kehidupan
penjara. Arswendo berharap narapidana yang lain juga mendapatkan perlakukan yang
sama seperti dirinya. Hal itu selain mengurangi beban psikologis yang bersangkutan
juga mempercepat proses sosialisasi.
Ketika negara mengalami masa sulit dan krisis berkepanjangan, Arswendo
(1998: 9) berpedapat, Menghadapi masa krisis seperti sekarang ini, yang diperlukan
adalah kejujuran. Kejujuran dalam segala hal. Bagi Arswendo krisis yang terjadi
sekarang ini memberi pelajaran yang berharga bagi masyarakat dan dirinya.
Masyarakat harus menyadari bahwa kerakusan dan ketamakan tidak akan
menyelamatkan kehidupan mereka.
Arswendo Atmowiloto sosok yang ulet dan tekun dalam memperjuangkan
hidup. Ia adalah seorang pengarang yang karya-karyanya banyak merespon penyakit
zaman. Kepengarangan Arswendo saat ini dapat disejajarkan dengan pengarang
120
handal seperti Umar Kayam, Romo Mangun, Kunto Wijoyo, dan Pengarang handal
lainnya.
2.
Tema
Tema yang diangkat dalam novel Canting adalah kehidupan keluarga besar
priayi Jawa dengan persoalan-persoalan keluarga yang begitu kompleks dan sikap
hidup
Ngabehi
Sestrokusuma sampai pada usaha batik tradisional keluarga yang bangkrut dan coba
dihidupkan oleh tokoh Ni serta persoalan-persoalan lain yang tidak kalah
pentingnya.
Berdasarkan jenisnya novel ini bertema organik (moral) karena novel
Canting mengangkat persoalan keluarga priyayi yang begitu kompleks. Cerita
dimulai dari keraguan tentang anak terakhir dalam kandungan bu Bei sebagai
keturunan Sestrokusumo. Sampai usaha batik tradisional yang bangkrut dan coba
dihidupkan oleh Ni serta persoalan-persoalan lain yang tak kalah pentingnya.
Novel ini mengisahkan keluarga Pak Bei yang memiliki enam orang anak.
Kebahagian Pak Bei terusik ketika Bu mengandung anak ke-6. Pak Bei meragukan
anaknya yang bungsu itu sebagai keturunannya. Namun Pak Bei tidak membuat
konflik terbuka mengenai persoalan ini. Pak Bei hanya mengatakan jika setelah
121
dewasa nanti anak itu memilih batik sebagai dunia kerjanya berarti ia keturunan
buruh batik, bukan keturunan Ngabei.
Batik tulis yang diperjuangkan oleh tokoh Ni sebenarnya merupakan simbol
dari budaya Jawa yang semakin memudar dan tersisih tergeser oleh budaya lain
karena adanya kemajuan teknologi. Budaya Jawa tak akan menang melawan
perubahan zaman. Jika ia ingin tetap hidup, maka tak ada jalan lain kecuali melebur
diri dan menyatu dengan perubahan itu. Demikianlah Arswendo Atmowiloto
menyampaikan amanatnya lewat novelnya yang berjudul Canting.
Jadi tema novel ini adalah kehidupan Priyayi dalam sistem rumah tangga dan
ekonomi keluarga yang terbungkus budaya kejawen yang masih sangat Patrilistis.
b.
Alur
Novel ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: Satu, Dua, dan Tiga. Berdasarkan
urutan waktu, ketiga bagian ini berkesinambungan dan membentuk sebuah alur,
yaitu alur campuran. Alur campuran menggunakan alur maju yang dicampur
dengan alur mundur. Alur maju mundur secara bolak-balik dengan diceritakan
masa lalu dan masa kecil tokohnya. Berikut tahapan alur novel Canting.
1). Tahap Penyituasian (Situation)
Tahap ini dilukiskan keadaan Ndalem Ngabean Sestrokusuman
dengan 112 buruh batik yang bekerja di pembatikan cap Canting. Dilukiskan
pula kegiatan sehari-hari di Ndalem Ngabean Sestrokusuman. Selain itu,
dilukiskan pula sosok Pak Bei dan Bu Bei secara fisiologis.
Tak pernah halaman samping pendapa yang begitu
122
luas sunyi dari anak-anak kecil bermain atau bunyi sapu lidi
membersihkan. Tak pernah bagian gandhok, di samping ruang
utama yang membujur ke belakang jauh sekali, begitu kosong
dari tarikan napas. Di gandhok itu, biasanya ada 112 buruh
batik, sepuluh di antaranya tukang cap, yang bekerja sejak pagi
hari sampai sore hari. Diseling istirahat yang tak lama, lalu
dilanjutkan sekitar separonya yang bekerja lembur
(Canting: 5).
2). Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances)
Pemunculan konflik terlihat ketika Bu Bei mengandung. Masalahnya
bukan sekadar perbedaan usia dengan Wening Dewamurti yang selama ini
dianggap si bungsu karena sudah berusia sebelas tahun, tetapi lebih daripada
itu. Kandungan Bu Bei diragukan oleh Pak Bei sebagai buah benihnya.
Tak ada pembicaraan apa-apa di antara 112 buruh batik
dengan anak- anaknya. Dengan mereka sendiri. Tapi rasanya
semua mengetahui ada sesuatu yang sangat tidak enak. Mereka
bisa dengan mudah menduga ketika Bu Bei seminggu
belakangan ini mengatakan masuk angin dan muntah-muntah.
Dan kemudian terdengar pula bahwa secara resmi Bu Bei
mengandung lagi. Masalahnya bukan sekadar perbedaan usia
dengan Wening Dewamurti yang selama ini dianggap si bungsu
karena sudah berusia sebelas tahun, tetapi lebih daripada itu.
Lebih daripada itu yang berarti Pak Bei kurang enak badan
(Canting: 7).
Baru kemudian Pak Bei berdehem kecil. Saya tidak
bisa bicara sekarang ini. Mengenai anak yang kamu kandung,
saya tak tahu. Kalau nanti besarnya jadi buruh batik, ia
memang anak buruh batik. Memang darah buruh batik yang
mengalir, bukan darah Sestrokusuman
(Canting: 10).
Alur berjalan maju, dilukiskan kegiatan Pak Bei setiap malam Jumat
Kliwon yang melakukan pertemuan dengan kerabat keraton. Kemudian alur
123
berjalan mundur, Pak Bei ingat masa lalunya ketika masih kecil yang sedang
bermain dengan teman-temannya. Kemudian alur berjalan normal, dilukiskan
aktivitas Bu Bei sehari-hari, di rumah ataupun di pasar. Setelah itu,
alur berjalan mundur, dilukiskan pernikahan Pak Bei dengan Bu Bei serta
ketika anak pertamanya lahir. Alur semakin berjalan mundur, semakin
menampakkan masa lalu Bu Bei ketika masih berumur 14 tahun dan berlanjut
masa lahirnya anak pertama sampai kelima.
Alur berjalan maju, dilukiskan anak keenam lahir. Bayi yang
diragukan oleh Pak Bei sebagai darah keturunannya lahir dengan keadaan
fisik yang berbeda dengan anak-anak Pak Bei yang lain. Pak Bei juga tidak
menyiapkan nama seperti lima anaknya yang dulu.
Bayi dengan pipi tembam, tidak mempunyai rambut,
dan menangis keras sekali seolah memecahkan ruangan,
tendangannya sangat kuat. Bayi yang hitam, kurus, dan
tampak sangat panjang kakinya
(Canting: 86).
Dulu, kelima anaknya lahir, dan Pak Bei sudah
menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini
biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu
semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat
menghisap dan membuat sakit.
(Canting: 86).
3) Tahap Penanjakan Konflik (Rising Action)
Tahap penanjakan konflik terlihat ketika Ni telah dewasa. Ni merasa
terpanggil untuk melanjutkan usaha pembatikan ibunya. Keinginan Ni
124
125
cap Canting
126
127
merupakan salah satu ciri cerita yang beralur longgar. Selain Pak Bei, Bu Bei, dan
Ni, masih banyak tokoh yang terdapat dalam novel ini, misalnya saudara-saudara
Ni, Wahyu Dewabrata, Lintang Dewanti, Bayu Dewasunu, Ismaya Dewakusuma,
Wening Dewamurti, dan para buruh batik keluarga Sestrokusuman. Sebagai contoh,
yaitu ketika Bu Bei sakit, Ni dapat saja langsung pergi ke rumah sakit jika tidak
dihalang-halangi oleh kakaknya dan Pak Bei. Peristiwa Bu Bei dibawa ke rumah
sakit sampai keinginan Ni untuk menjenguk ibunya berjalan sangat lambat. Hal ini
dikarenakan banyaknya tokoh yang terdapat dalam cerita ini.
Cerita dalam novel ini memiliki kebolehjadian (plausibility). Artinya,
cerita yang disampaikan pengarang memiliki kemungkinan terjadi di masyarakat,
tidak sekadar
menghadapi kenyataan.
Cerita keluarga Sestrokusuman ini mungkin terjadi di masyarakat,
khususnya di daerah keraton Surakarta. Pak Bei dikisahkan sebagai seorang priayi
dari golongan keraton yang beristrikan Bu Bei yang berdagang di Pasar Klewer.
Nama-nama tokoh, tempat, dan peristiwa dalam cerita semakin menarik pembaca
untuk menafsirkan tokoh-tokoh, tempat, dan peristiwa yang ada atau pernah ada di
Surkarta pada waktu tertentu. Memberi kesan bahwa cerita dalam novel ini adalah
dunia nyata yang disamarkan melalui nama-nama tokoh, tempat, dan peristiwa. Hal
ini disebabkan cerita ini diceritakan pengarang secara rinci seperti kenyataan
sesungguhnya dan tidak terlepas dari sosial budaya pengarang yang juga berasal
dari Surakarta.
128
Tegangan (suspense) dalam novel ini terjadi sejak awal cerita. Tegangan
muncul ketika Bu Bei diketahui telah mengandung. Pembaca ingin mengetahui
darah yang mengalir dalam kandungan Bu Bei. Dengan adanya tegangan,
menimbulkan rasa ingin tahu yang sangat besar bagi pembaca untuk mengetahui
lanjutan cerita. Sementara itu, kejutan (surprise) dalam novel ini dapat dilihat
ketika akhirnya Bu Bei meninggal dunia setelah mendengar keinginan Ni untuk
meneruskan usaha pembatikan keluarga. Pembaca pada awalnya tidak menduga
bahwa Bu Bei akan meninggal. Bu Bei seperti tertujuk telak di jantungnya ketika
mendengar keinginan Ni, anak yang sempat diragukan darah keturunan Pak Bei.
Akan tetapi, akhir cerita ini dapat dikatakan happy ending karena Pak Bei
mengakui bahwa Ni benar-benar anaknya, usaha pembatikan dapat berjalan
lancar, dan Ni menikah dengan Himawan dan mempunyai anak laki-laki yang
diberi nama Canting Daryono.
c.
Penokohan
Novel Canting memiliki banyak tokoh. Berdasarkan perannya dalam sebuah
cerita tokoh dalam novel ini terbagi atas tokoh utama dan tokoh pembantu. Ada juga
tokoh yang sekadar numpang lewat atau sebagai pelengkap cerita. Dalam
pembahasan ini, yang akan penulis kemukakan hanya tokoh-tokoh penting saja yang
memegang peranan besar dalam novel Canting.
1)
129
130
(Canting: 261)
Ni melihat kembali ayahnya menjadi orang yang tetap
gagah, di saat anggota keluarga yang lain terpukul. Wajah dan
penampilannya tetap bersih, di saat yang lain letih. Tak setitik
pun ada tanda Pak Bei kehilangan kontrol atas dirinya.
(Canting: 267)
Pak Bei, seorang keturunan bangsawan yang memiliki pergaulan yang cukup
luas dan berpengalaman. Tidak hanya kota-kota dalam negeri yang dikunjunginya
bahkan ia pernah melawat ke negeri tetangga. Gambaran pengalaman pak Bei bisa
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Pak Bei berjalan ke dalam rumah. Berbicara lewat
telepon mengenai jatah kertas yang dikurangi untuk penerbitan
majalah. Lalu menelepon temannya yang lain, sambil bercerita
mengenai kunjungannya ke Singapura. Tertawa menceritakan
hotel, bar dan gadis-gadis, kebersihan kota, tetapi juga
kesimpulannya bahwa kota itu tak mungkin bisa berkembang
menjadi kota industri.
(Canting: 8)
Pengetahuan yang luas dan cara berpikir modern yang dimiliki Pak Bei yang
berbeda dengan para priyayi pada umumnya tergambar jelas dalam novel ini.
Karakter Pak Bei ini tergambar jelas dari pandangan Metra mantan pacar Lintang
Dewanti anak Pak Bei yang ke- 2:
Metra sering kagum dengan pribadi lelaki yang menjadi
Ayah dari gadis yang dikejar-kejarnya. Pengetahuannya banyak.
Kayaknya bisa ngomong apa saja. Karena dalam pikirannya.
Pak Bei adalah lelaki yang numpang kenikmatan dari hasil karya
dan penghasilan isterinya. Pak Bei adalah borjuis yang
sesungguhnya. Yang dikecam Metra habis-habisan. Kenyataanya
begitu. Tapi dalam pembicaraan. Metra sering bergeser
pandangannya. Pak Bei bukan tokoh pembantu yang muncul
karena diperlakukan sebentar. Tenang, berbawa, tapi tuntas.
131
132
Pak Bei risi jika disebut kaum feodalis, kapitalis dan borjuis sehingga ia merasa
perlu membela diri ketika Tumenggung Reksoprojo yang sosialis menuduhnya
demikian. Ketika itu malam jumat kliwonan. Keduanya sama-sama dalam kondisi
mabuk sehingga terlibat sedikit pertengkaran. Sifat yang sebenarnya Pak Bei bisa
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Tidak. Malam ini harus jelas, saya risi mendengar
tuduhannya. Apa salahnya kita minum? Apa salahnya kita
Mrau? apa salahnya kita Feodal, karena kita memang lahir
begitu.
(Canting: 27)
Ia bangsawan yang melarat. Saya bangga disebut Pak
Bei, karena saya memang Ngabehi. Saya kaya, dan saya
menikmati kekayaan itu. Buruh saya seratus dua belas, saya
memberi makanan, memberi rumah. memberi segala. Saya
kapitalis yang menolong mereka, bukan rakyat yang ada di
warung tidak bisa bayar.
( Canting:27 )
Pak Bei juga seseorang yang pandai mengendalikan emosi. Pembawaanya
selalu tenang dan beribawa. Kalaupun ia marah, itu disebabkan oleh hal yang
dianggapnya keterlaluan. Seperti ia mengetahui bahwa Wening. Putrinya yang ke- 5
turut bermain judi di kebon.
Weniiiiiing!...... Teriak Pak Bei mengguntur. Sebagai
priyayi, kepala rumah tangga, Pak Bei tidak pernah berteriak
sekeras itu di rumahnya sendiri. Maka cukup mengejutkan siapa
saja. Seketika itu juga bubar semua.
(Canting: 78-79)
Kamu melakukan sesuatu yang salah. Ingat Wening
dalam hidup ini ada lima pantangan: main kartu, mencuri, main
jinah, mabuk, menghisap candu. Itu tak boleh dilakukan, apalagi
kamu perempuan, putri Nagabehi, masih kecil. Kalau besar
kamu bakal jadi apa? Jadi apa?
(Canting: 79)
133
Kepandaian Pak Bei dalam mengendalikan emosi juga terlihat ketika Bu Bei
mengatakan bahwa dirinya mengandung. Ia tidak marah walaupun ia curiga bahwa
kandungan dalam rahim Bu Bei bukan dari benihnya. Dan ia sangat bijaksana ketika
kata-katanya dulu menjadi kenyataan. Sebuah pernyataan terhadap kandungan Bu Bei
dan kenyataan pilihan Ni yang memilih batik sebagai pekerjaan. Hal itu dapat
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Baru kemudian Pak Bei berdehem kecil. Saya tidak bisa
bicara sekarang ini. Mengenai anak yang kamu kandung, saya
tak tahu. Kalau nanti besarnya jadi buruh batik, ia memang anak
buruh batik. Memang darah buruh yang mengalir, bukan darah
Sestrokusuman.
(Canting: 10)
Bagiku persoalan itu telah selesai. Aku bisa berdamai
dengan diriku. Aku tahu kami pasti bertanya-tanya apakah aku
ini ayah kandungmu atau bukan? Iya, kan?
(Canting: 249)
Bagiku sudah tak jadi soal lagi. Apakah kamu anak
kandungku atau bukan. Apapun juga, kamu tetap anakku.
Mata Ni merah.
Basah.
Kamu anakku, karena aku ayahmu, dan karena istriku
adalah ibumu, Itulah penjelasannya.
(Canting: 249-250)
Sifat pak Bei yang menonjol lainnya adalah sikapnya yang berani beda dengan
yang lain. Jika para bangsawan begitu mengagung-agungkan perkawinan dengan
bangsawan. Tidak demikian oleh Pak Bei. Pak Bei justru berani mengawini rakyat
kecil, buruh batiknya. Sifat ini disebutnya sebagai rakyat.
Pak Menggung jangan menyombongkan soal
kerakyatan. Saya ini raden Ngabehi Sestrokusuma, putra sulung
Ngabehi Sastrasemito yang kondang, sebelum orang bicara
134
135
136
Pak Bei sangat mengayomi seluruh pembantu dan buruhnya. Ia figur yang
pantas untuk diteladani karena sifatnya itu. Kebaikan Pak Bei tergambar jelas seperti
penuturan Wagiman salah satu buruh batik penghuni kebon belakang. Hal itu dapat
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Wagiman tak habis mengerti. Di saat semua milik Pak Bei
terendam air, semua batik, kain mori, perabotan rumah tangga.
Pak Bei malah memikirkan orang lain. Berkarung-karung beras
membusuk, kain paling halus jadi gombal, Pak Bei malah
menolong orang lain.
(Canting: 160)
Wagiman sadar, bahwa menjadi Pak Bei adalah menjadi
orang besar, orang yang dipilih Tuhan. Wagiman membuktikan
sendiri.
Makanya ia merasa bahwa pengabdian dirinya adalah
bagian dari pokok dari rasa bersyukurnya. Kepasrahan,
penyerahan diri secara ikhlas adalah sesuatu yang wajar.
(Canting: 161)
Sifat dan karakter Pak Bei yang bijaksana terlihat ketika ia menyelesaikan
masalah Wahyu yang menghamili Wagimi, anak buruh batiknya dengan
mengawinkan Wagimi dan Jimin. Menurut Pak Bei ini adalah solusi terbaik walaupun
Ni memprotesnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini:
Kamu tahu apa Ni? Kamu tahu apa, saya mau tanya.
Rama ini orang bersar, tak bisa disamai kebesarannya, oleh
anaknya sekalipun.
Aku ayah yang baik bagai anak-anak. Tapi aku juga
juragan baik bagai buruh-buruhku. Ini jalan yang terbaik. Mulai
saat ini aku larang kamu membicarkan ini..
(Canting: 235)
Sikap bijak Pak Bei juga tampak ketika menyelesaikan masalah Ni yang ingin
meneruskan usaha pembatikan. Walaupun Ni tahu, ibunya sakit keras ketika
mendengar keinginan Ni. Tapi Ni tetap kukuh pada tekadnya. Pak Bei tidak melarang
137
keinginan Ni, Pak Bei justru bangga pada Ni yang berbeda dengan semu saudarasaudaranya.
Jiwa besar dan kebijaksanaan Pak Bei membuat Ni luluh. Ni tidak tahu
mengapa bisa demikian, barangkali karena wibawa Pak Bei yang begitu besar dan
membuat Ni tak berdaya tiap berhadapan dengannya. Sikap Pak Bei tergambar dalam
kutipan berikut ini:
Ni tak bisa menahan tangisnya.
Seluruh kesadarannya teriris sempurna.
Simpul-simpul Perasaannya terkelupas. Ni makin
mengakui bahwa ayahnya adalah lelaki kesatria. Ia tak
menganggap ayahnya membujuknya dengan cara halus. Ni
merasa diperlakukan dengan sangat dewasa. Ni merasa
mempunyai harga. Merasa bermakna. (Canting: 257)
Apakah ini berarti ia telah dikalahkan oleh ayahnya? Ia
dikalahkan justru dengan cara pendekatan yang halus? Benarkah
kekerasan selalu kalah dengan kelembutan? Benarkan ini
kelebihan ayahnya yang tak tertandingi?
(Canting: 259-260)
Apa yang diungkapkan Ni tentang ayahnya, akan semakin memperjelas
bagaimana karakter Pak Bei yang sebenarnya. Ni kagum pada ayahnya. Tapi kadang
juga merasa jengkel karena ada sikap Pak Bei yang dianggapnya manja. Ini adalah
sisi yang lain dari seorang Pak Bei disamping sifat-sifat baik yang dimilikinya.
Kemanjaan Pak Bei terhadap Bu Bei tergambar dalam kutipan berikut ini:
Itulah Pak Bei. Melakukan sendiri apa yang dianggapnya
baik. Ni makin mengerti bahwa ayahnya memang lain. Kalau
sendoknya jatuh. Pak Bei akan menunggu sampai Bu Bei
mengambil sendok itu lebih dulu. Dan tak akan melanjutkan
makan dengan sendok baru yang bersih. Ni kadang kesal dengan
sikap itu. Rasanya ayahnya sangat malas sekali. Abu rokok yang
jatuh dibajunya enggan untuk segera ditepiskan. Handuk
138
dengan
berjabat
tangan.
139
Banyak
tamu yang kagum dengan penampilan Pak Bei yang terlihat gagah dan
berwibawa.
Sehabis sarapan, Pak Bei, lelaki yang berhidung sangat
mancung, dengan kulit kuning pucat dan cara mendongak yang
memperlihatkan dagu keras, memeriksa taman bagian samping
(Canting, 2007: 8).
Pak Bei telah berdandan pakaian Jawa sempurna.
Hanya mengangkat alis sedikit-kalau Ni tak salah lirik.
Tetap gagah, dengan hidung mancung, kulit bersih, dan yang
membuat Ni kagum ialah bahwa ayahnya ini selalu tampak
hadir. Ruangan bisa menjadi kosong tanpa keberadaan Pak Bei.
Sekarang ini pun terasakan, bahwa getaran paling kuat, walau
hanya dengan mengangkat alis, itu pun tipis, dari tempatnya
sendiri. (Canting, 2007: 168-169).
Raden Ngabehi Sestrokusuma muncul sebagai priyayi
yang sempurna. Tampil dengan busana Jawa yang sempurna.
Tampil dengan busana yang tak sembarang mata memandang
langsung ke arahnya. Mengesankan gagah, berwibawa, sukses,
dengan senyum ramah (Canting,2007: 261).
b) Psikologis
Pak Bei digambarkan sebagai sosok yang bijaksana serta dan mempunyai
prinsip. Ia mau melakukan sesuatu karena mau dan karena itu harus dilakukan. Pak
Bei mempunyai pangkat tinggi dan berpengaruh di pemerintahan. Pak Bei
mempunyai peranan yang penting dalam pemerintahan, tetapi ia tidak mau
menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya.
Saya tak usah kirim katebelece, kalau Wahyu mau masuk
AMN di Magelang. Cukup bilang, anaknya Daryono
Sestrokusuma, komandan Gajah Belang. Asal Wahyu tidak
kelewat gobloknya, pasti bisa. Setelah pendidikan, saya bisa
menempatkannya jadi ajudan, lalu di sekolahkan di luar negeri.
Tapi saya tidak mau.Karena semua akan tumbuh sendiri.
Mencari keseimbangannya sendiri (Canting, 2007: 95-96).
Jimin sendiri yang kemudian bercerita bahwa Pak Bei sebenarnya bisa
140
membebaskan mereka yang masih hidup. Baik yang ditahan di Balai Kota maupun
di tempat lain.
Cukup satu perintah dari Pak Bei dengan mengangkat
sebelah
tangan, maka yang ditahan bisa keluar. Tapi Pak Bei
tidak sembarangan. Buktinya Metra dibiarkan saja.
(Canting, 2007: 152).
Pak Bei bukan
emosi. Pembawaannya selalu tenang dan wibawa. Akan tetapi, ia juga dapat marah
biasanya disebabkan oleh hal yang dianggapnya sudah keterlaluan. Pak Bei marah
ketika ia tahu bahwa Wening, anaknya yang kelima, ikut bermain judi di kebon.
Weniiiiiiiiiiing ...! teriak Pak Bei mengguntur.
Sebagai priyayi, kepala rumah tangga, Pak Bei tak pernah
berteriak sekeras itu di rumahnya sendiri. Maka cukup
mengejutkan siapa saja. Seketika itu juga bubar semua.
Sekali lagi ada perjudian, kubakar rumah petak di belakang
itu. (Canting, 2007: 79).
Pak Bei memiliki sifat pemberani. Selain berani dalam perang, Pak Bei
juga berani ketika menikahi Bu Bei yang hanya seorang buruh batik. Pak Bei berani
berbeda dengan kerabat keraton lain, Pak Bei berani menikahi rakyat kecil. Pak Bei
tetap menikahi Bu Bei walaupun mendapat kecaman dari keluarga
keraton
lainnya. Keberanian Pak Bei yang lain ditunjukkan ketika sekelompok pemuda
datang ke rumah Pak Bei dan siap menyerang Pak Bei. Pak Bei tetap maju
meskipun dikepung massa.
Pak Menggung jangan menyombongkan kerakyatan. Saya ini,
Raden Ngabehi Sestrokusuma, putra sulung Ngabehi
141
Metra
kawan
Lintang
pun
sering
dibuat
pengetahuan Pak Bei. Selain itu, Pak Bei adalah sosok yang banyak bicara,
tetapi dalam kesehariannya sedikit atau hanya seperlunya ia bicara. Pak Bei bahkan
kadang hanya berdehem untuk memberi jawaban setuju.
Metra sering kagum dengan pribadi lelaki yang
menjadi ayah gadis yang dikejar-kejarnya. Pengetahuannya
banyak. Kayaknya bisa ngomong apa saja. Tadinya Metra tak
memandang sebelah mata. Karena dalam pikirannya, Pak Bei
adalah lelaki yang numpang kenikmatan dari karya dan
penghasilan istrinya.
Pak Bei adalah
borjuis yang sesungguhnya. Yang
dikecam Metra habis-habisnya. Kenyataannya begitu. Tetapi
dalam pembicaraan, Metra sering bergeser pandangannya. Pak
Bei bukan sekadar tokoh pembantu yang muncul karena
diperlukan sebentar. Pak Bei ternyata lebih mirip peran utama.
Tenang, berwibawa, tapi tuntas. Segala apa dilakukan dengan
terbuka. Tapi juga masih banyak yang tak bisa diperkirakan
(Canting, 2007: 107-108).
Bu Bei menunggu sampai hari kamis pagi. Pak Bei nanti
pergi? Hmmmmmmmm.
Jawaban hmmm itu sudah lebih dari pengiyaan. Biasanya
kalau dalam keadaan seperti sedang marah, Pak Bei tak akan
mengeluarkan kata apa-apa. Rasanya itu merupakan pukulan
terberat yang harus ditanggung Bu Bei. Apalagi jika Pak Bei
142
143
pada Pak Bei. Melalui Bu Bei, Pak Bei membelikan rumah kepada kedua adiknya
itu. Pak Bei pun tidak peduli ketika akhirnya rumah pemberiannya mereka jual.
Bu Bei memberikan rumah, bukan sekadar membelikan.
Karena rumah itu atas nama Raden Ngabehi Sestrodiningrat
yang telah pasrah bongkokan, menyerah total, menyerahkan
mati-hidupnya, hina-jayanya, kepada kakaknya (Canting,
2007:128).
Sekali lagi Bu Bei menunjukkan jiwa besarnya sebagai
kakak ipar. Uang seharga rumah diberikan, akan tetapi suratsurat tak pernah disebut-sebut (Canting, 2007: 129).
Pak Bei dilukiskan sebagai tokoh yang tabah. Ini ditunjukkan ketika
Bu Bei meninggal dunia. Pak Bei ikhlas ditinggal Bu Bei, bahkan Pak Bei sendiri
yang mengawasi proses pemakaman Bu Bei.
Kalau mau pergi, pergi yang ikhlas.
Tak ada yang perlu digondeli, tak ada yang memberati.
Kami semua ikhlas. Gusti Maha Besar.
Lalu Pak Bei melihat anak-anaknya. Tajam pandangannya.
Sekarang kalian semua tak usah menangis lagi. Akan
memberati. Kita berdoa. Sebisanya (Canting, 2007: 265).
c) Sosiologis
Pak Bei dilukiskan sebagai priayi yang mengabdi pada keraton. Ia adalah
anak sulung dari tiga bersaudara sehingga ia tinggal di Ndalem Ngabean
Sestrokusuman. Pak Bei juga pernah mempunyai selir di Mbaki yang bernama
Karmiyem, tetapi tidak lama karena dicerai oleh Pak Bei. Di rumah, segala
sesuatunya ditentukan oleh Pak Bei. Selain kepala rumah tangga, Pak Bei adalah
raja yang bertindak sebagai penentu.
Pak Bei. Pak Bei adalah Pak Bei. Pak Bei bukan hanya
144
145
Islam tidak dituntunkan bahkan sebenarnya diharamkan. Pak Bei juga melakukan
hal-hal yang dilarang oleh agama, yaitu mabuk dan berzina (dengan Minah).
Pak Bei merupakan pengagum Ki Ageng Suryamentaram. Pak Bei
menyukai rokok Pompa karena rokok itu juga yang disukai Ki Ageng
Suryamentaram. Pak Bei senang jika dapat membantu Junggring Selaka Agung,
bahkan Pak Bei mengadakan upacara tujuh hari meninggalnya Ki Ageng
Suryamentaram di rumahnya.
Rokok itulah yang selalu diambil oleh Pak Bei sebagai identifikasi
atau
penyamaan.
Pak
Bei
sangat
mengagumi
Ki
Ageng
bahwa
suaminya
rumusan
yang
bersifat
definitif.
Pertemuan
ini kemudian
146
Bu Bei (Tuginem)
Bu Bei bernama asli Tuginem. Sebelum diperistri oleh pak Bei ia biasa
dipanggil Gi saja. Tuginem terlahir di desa Nusupan. Sebuah desa di sebelah timur
Sungai Bengawan Solo. Ayah dan ibunya seorang buruh batik. Ibunya rajin puasa
senin kemis dan ayahnya suka tidur di teritis pada saat gerimis. Harapan ayah ibunya
suatu saat nanti anaknya menjadi seorang priyayi.
Tuginem diperistri Pak Bei ketika ia masih berumur 14 tahun. Usia yang
masih sangat belia. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa ia akan
diperistri putra sulung Ngabean, Raden Mas Daryono. Kadang ia bertanya mengapa
147
ia yang dipilih padahal banyak anak orang terhormat yang lebih pantas mendampingi
Raden Mas Daryono. Kutipan di bawah menggambarkan siapa sebenarnya bu Bei
yang dikemas dalam bentuk nasihat:
Ingat selalu, kamu ini anak desa. Di Nusupan bukan apaapa dibandingkan di kota. Apalagi keraton. Kamu harus selalu
ingat tanah kelahiranmu, asal-usulmu, supaya tidak lupa. Supaya
kuat menerima wahyu Tuhan Yang Maha Agung. Kamu bukan
hanya membahagiakan dirimu, orang tuamu, leluhurmu, tapi
seluruh desa Nusupan ini, sebelah timur Bengawan Solo ini
akan terangkat derajatnya. Kata Ayahnya.(Canting: 82)
Kamu ini wong cilik. Simbok dan Bapakmu buruh
batik. Tidak mengerti merah hijaunya negara. Tapi kalau
menghendaki, bisa saja seorang putra kanjeng, bangsawan
meminangmu. Den Bei Daryono meminangmu. Tidak untuk
selir, tidak untuk dipelihara, tapi dikawin secara resmi.
(Canting: 81-82)
Konon menurut cerita, Tuginem sesungguhnya anak cucu priyayi yang
menjadi saudagar dari Demak. Keyakinan ini didukung dengan penampilan fisik
Tuginem yang berbeda dengan gadis desa pada umumnya. Sepasang mata dengan alis
yang tebal, kulit kuning, dan tulang-tulang yang halus. Rupanya ciri fisik inilah yang
telah menggoda anak ningrat Raden Mas Daryono. Gambaran fisik Tuginem dapat
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Kita ini sesungguhnya anak cucu priyayi. Kita
terdampar dan berada disini, karena kita dulunya priyayi yang
menjadi saudagar dari Demak. Kita anak cucu dari sana. Saya
selalu menerima dongengan itu, tidak mungkin kalau kita bukan
priyayi. Matamu bukan mata anak desa. Alismu tebal sekali.
Kulitmu kuning. Tulang-tulangmu halus. Hanya namamu saja
Tuginem, karena di desa tidak boleh memakai nama bagus.
Karena dulu kita priyayi yang disingkirkan, yang dibuang.
Untuk membedakan kita harus memakai nama yang jelek.
148
149
(Canting: 6)
Walaupun ada perbedaan lingkungan yang membentuk pribadi Pak Bei dan
Bu Bei, ternyata Bu Bei bisa mengimbangi kehidupan suaminya yang ningrat. Bu Bei
selalu memberikan yang terbaik bagi suaminya, pengabdian yang tulus dan luar biasa.
Bu Bei rela melakukan apa saja asal suaminya bahagia. Seperti memberi kebebasan
untuk pergi dari rumah seharian penuh tanpa alasan yang jelas, agar suaminya lepas
dari suasana rumah. Pertemuan Jumat kliwonan salah satu kegiatan yang tidak pernah
Pak Bei abaikan dan Bu Bei memberi keleluasaan untuk menjalaninya.
Ini hari Kamis Wage. Berarti sore pukul delapan belas nanti
sudah dihitung hari Jumat Kliwon. Sore atau malam nanti, Bu Bei
seperti juga istri-istri yang lain, akan melepaskan suaminya.
Memberikan hari yang khusus untuk membiarkan suaminya pergi
malam penuh tanpa alasan. Kalaupun ada alasan, itu adalah alasan
pertemuan Jumat Kliwonan. Sakral, suci, atau sekadar lepas dari
suasana rumah sehari-hari tidak menjadi masalah utama bagi Bu Bei.
Ia justru merasa bahagia dengan adanya pertemuan semacam itu,
karena bisa melepas suami pergi dari rumah memberi keleluasan
karena selama ini terkungkung, jauh dalam hati Bu Bei mensyukuri
adanya pertemuan yang menurut cerita banyak arti. Seperti yang
secara tidak langsung pernah diceritakan Pak Bei secara sekilas.
(Canting: 17)
Bu Bei mengabdi pada suami dengan ketulusan hati. Pengabdian Bu Bei
tampak dari caranya melayani Pak Bei. Dari hal-hal yang kecil dan sepele semua
diperhatikan jangan sampai mengecewakan Pak Bei. Ia melakukan semua itu dengan
penuh keikhlasan. Ia memberikan pelayanan yang terbaik. Semua tingkah laku dan
tindakan Pak Bei, baik yang berupa kata maupun hanya isyarat Bu Bei sudah
mengerti. Ketika Pak Bei menjauhkan kakinya saat dipijati, itulah tanda bagi Bu Bei
untuk berhenti memijat. Jika Pak Bei marah, ia tak berani tidur di sampingnya. Ia
150
akan tidur menggelar tikar di bawah. Dan apapun yang dikatakan Pak Bei, akan
dituruti tanpa protes tanpa banyak tanya.
Walau begitu bukan berarti Bu Bei adalah wanita yang lemah. Baik secara
fisik maupun mental, ia termasuk pribadi yang kuat. Ia jalani kehidupan berdagang di
pasar secara mandiri. Kutipan di bawah ini menggambarkan keadaan tersebut:
Pasar adalah dunia wanita yang sesungguhnya. Dunia yang
demikian jauh berbeda dengan suasana rumah. Bu Bei berubah
menjadi seorang Direktur, seorang Manajer, seorang pelaksana
yang sigap. Sejak memutuskan siapa yang menarik becak, kuli
mana yang tidak disukai, sampai dengan memilih Yu Tun dan
Yu Mi. Keduanya masih gadis, sedang tumbuh, bisa tersenyum
dan berhitung, dan tak memberengut kalau digoda. Namun,
syarat yang paling penting, pembantu di pasar tak ubahnya
sekretaris. Makin kuat kemampuannya untuk menyimpan
rahasia, makin panjang usia kerjanya. Makin menunjukkan
kekuatan spons yang menyerap liku-liku pergunjingan yang ada,
makin kuat pula kedudukannya.(Canting: 42-43)
Tapi peran yang disediakan pasar Klewer cukup besar,
sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah,
setia, bakti penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga
Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda,
mencolek dan dicolek, dengan keberanian memutuskan
masalah-masalah sulit. Mengambil keputusan sampai ratusan
ribu dalam satu tarikan nafas. (Canting: 50-51)
Pendeskripsian watak tokoh bu Bei melalui deskripsi langsung, serta dialog
antar tokoh. Bu Bei seorang istri yang berjiwa besar dan bijaksana. Menurutnya lebih
baik menjaga keutuhan rumah tangga daripada harus ribut dengan suami. Ketika ia
tahu Pak Bei punya istri muda di Baki yang bernama Karmiyem, Bu Bei tidak marah,
tidak protes. Ia juga tidak menggugat suaminya. Bu Bei pura-pura tidak tahu.
Tindakan ini diambil untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangga, keseimbangan,
151
dan keselarasan yang sudah ada. Bu Bei tidak menyukai kegelisahan. Hal itu bisa
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Berbicara begini saja tak gampang lho Ni. Pada ibumu
sendiri, selama 40 tahun jadi suaminya masih tak bisa. Karena
memang tak diperlukan. Malah akan membuat gelisah. Ibumu
tak suka kegelisahan.(Canting: 248)
Jiwa besar Bu Bei juga ditunjukkan ketika dua saudara Pak Bei yakni
Darmasto dan Darnoto pasrah bongkokan. Pak Bei menyuruh Bu Mei mencarikan
rumah yang pantas untuk mereka berdua. Bu Bei ternyata bertindak di luar dugaan
Pak Bei. Ia membelikan rumah yang layak untuk saudaranya di wilayah Gading
dengan tulus ikhlas.
Bu Bei sangat penurut dan selalu mematuhi apa yang dikatakan Pak Bei. Apa
yang dianggap baik oleh Pak Bei, itulah yang akan diturutinya. Tak pernah
membantah sedikitpun. Inilah sifat seorang istri yang tahu bakti dan mengabdi kepada
suami secara tulus-ikhlas. Penuturan Pak Bei di bawah ini menggambarkan pribadi
Bu Bei:
Tidak. Ibumu tak pernah jadi rintangan kita bicara seperti ini,
saya makin sadar bahwa selama ini ibumu tak pernah merintangi
saya. Tak pernah satu kalipun.
Segalanya serba-iya, serba-inggih, serba sakkersa, serba semau
saya. Belum pernah Ibumu menolak apa yang saya inginkan.
Tidak dengan kata-kata, tidak juga dengan suara hatinya.
Ibumu berhasil menyatukan suara hati dengan tindakan
suaminya.
Ibumu berhasil menyatukan suara hatinya sebagai wanita dan
suara hati seorang istri.
Ini luar biasa. Ini sebabnya saya menganggap Ibumu adalah
wanita yang bahagia lahir maupun batin. (Canting: 280)
Bu Bei seorang istri yang luar biasa. Ia bisa menyatukan antara karier,
kepentingan pribadi, kepentingan istri, dan kepentingan seorang ibu dalam satu
tarikan nafas yang sama. Bu Bei pribadi yang tidak pandai berkata-kata tapi memiliki
152
kemampuan yang luar biasa. Bu Bei adalah pribadi yang sederhana, tapi bisa duduk
sejajar dengan suaminya yang cukup pengalaman dan disegani banyak orang. Kutipan
di bawah ini menjelaskan hal tersebut di atas:
Ini yang istimewa, sebab Ibumu mencapai tingkat pasrah
dalam artian yang sebenarnya. Ibumu bisa menyatukan karir,
kepentingan pribadi, kepentingan istri, kepentingan seorang ibu
dalam satu tarikan nafas yang sama. (Canting: 281)
Ibumu tak pandai menyusun kata-kata. Saya bahkan lupa
apakah Ibumu pernah sekolah atau tidak. Tapi bisa baca tulis
sedikit-sedikit. Tapi lebih dari itu semua bisa mengerti, bisa
menangkap suasana, bisa menyatukan perasaannya. (Canting:
282)
Kalian tahu bahwa Ibumu begitu sederhana sikapnya tapi
juga begitu dasyat kemampuannya untuk menyatukan hatinya
dengan rasa hati saya, seorang ngabehi yang tampan, yang
mengerti bahasa-bahasa asing, yang pernah foto dengan Bung
Karno, yang semua ini tak terbayang dalam dunia Ibumu.
(Canting: 283)
Bu Bei seorang perempuan pekerja keras. Tak pernah mengenal hari libur.
Tak pernah mengeluh dalam situasi sulit, tak pernah mengeluh karena sepi pembeli.
Ia bisa menggerakan usaha bisnisnya dengan naluri, karena ia memang tidak pernah
sekolah manajemen. Penilaian tentang Bu Bei ini disampaikan oleh Pak Bei di akhir
hayat Bu Bei, seperti kutipan berikut ini:
Bu Bei lain tak memiliki kepasrahan yang sama seperti
Ibumu. Kepasrahan yang diwujudkan dengan kerja keras. Saya
mau tanya, apa kalian semua sanggup bekerja seperti Ibumu.
Tak mengenal hari besar dan hari libur kecuali lebaran.
Menyiapkan dagangan, mengurusi batik, mengurusi saya,
mengurusi kalian semua. Sejak sebelum matahari terbit sampai
jauh sesudah matahari tenggelam. (Canting: 284)
Sehabis banjir besar, kota Solo ini hancur. Pembatikan
kita ludes, tinggal lumpur. Usaha macet total. Saya panic karena
tak meilihat cara untuk memulai usaha. Yang terbayang
hanyalah bagaimana menghabiskan simpanan seirit mungkin.
153
154
155
menjadi gombal. Pasar pun sepi, tidak ada pembeli. Pak Bei yang begitu gagah
pun gusar hatinya, tetapi Bu Bei sangat tabah. Setiap hari membersihkan rumah
156
dan tetap pergi ke pasar Klewer meskipun tidak ada yang membeli dagangannya.
Saya cemas. Untuk pertama kalinya saya tanya, Bagaimana?
Tak ada yang beli?
Ibumu menjawab sederhana,
Namanya orang jualan. Kadang laris, kadang tidak.
Gusti! Saya tak pernah membayangkan mempunyai istri yang
begitu bijak. Saya bilang, tak kalah filosofisnya dengan bukubuku yang ditulis pujangga kampiun (Canting, 2007: 285).
Bu Bei yang berbakti kepada suaminya, juga Bu Bei yang galak dan
pemberani. Sifatnya ini muncul ketika ia berada di pasar. Ia bahkan bisa
mencolek dan dicolek orang lain. Keberanian Bu Bei ditunjukkan ketika
memutuskan hal-hal yang penting tentang penjualan batiknya, bahkan Bu Bei
berani berurusan dengan polisi.
Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia,
bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu
Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda,
mencolek dan dicolek, dan dengan berani memutuskan
masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai
dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas
(Canting,2007: 50-51).
Bu Bei suka menolong terhadap sesama. Bu Bei menolong saudara
suaminya, dengan mengirimkan uang setiap bulan kepada adik- adik Pak Bei.
Selain itu, tanpa sepengetahuan Pak Bei, Bu Bei juga memberi bantuan kepada
Karmiyem, selir Pak Bei yang telah dicerai.
c) Sosiologis
Bu Bei dulu bernama Tuginem. Anak seorang buruh batik keluarga
Sestrokusuman. Bu Bei sebenarnya termasuk priayi keturunan saudagar Demak
yang terdampar di Nusupan. Setelah menikah dengan Pak Bei,
nama Tuginem
157
tidak digunakan lagi. Setelah mertua Bu Bei meninggal dunia, Bu Bei yang
melanjutkan usaha pembatikan mertuanya dan pergi berdagang di Pasar Klewer.
Ni, ibumu itu dulunya wong ndesa. Sekali dari desa tetap dari
desa. Pikirannya lugu, lurus, dan hanya mengenal satu jalan
saja (Canting,
2007: 48).
Kita ini sesungguhnya anak cucu priyayi. Kita terdampar dan
berada di sini, karena kita dulunya juga priyayi yang
menjadi saudagar dari Demak. Kita anak cucu di sana. Saya
selalu menerima dongengan itu. (Canting, 2007: 83).
Bu Bei mengikuti jejak suaminya yang priayi Abangan. Bu Bei beragama
Islam, tetapi masih
Bei. Bu Bei kurang mendalami agama Islam. Oleh karena itu, ia mudah merasa
kecewa. Kekecewaan ini berlanjut hingga ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal
dunia secara mendadak.
Bu Bei ketika di rumah berbeda dengan ketika berdagang di Pasar Klewer.
Di rumah, ia adalah seorang istri dan ibu yang penuh bakti pada suami dan
keluarga, sedangkan di pasar, ia menjadi wanita karier yang galak dan bisa
memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek, dan dicolek dan dengan berani
memutuskan masalah-masalah yang sulit. Bu Bei bahkan diduga mempunyai
pacar di Pasar Klewer.
Bagaimana, Bu Bei, jadi?
Jadi apanya? jawab Bu Bei sambil mengulum jeruk.
Yang mana ini? Tun apa Mi yang diberikan? Kok tanya
saya?
...
Babon-nya saja ah, kalau anaknya tidak mau.
Bu Bei
mengikik.
Biji jeruk dilemparkan ke
158
saudagar
Pekalongan.
Saya sudah tua. Kalau ada yang masih kinyis-kinyis, kenapa
cari yang tua? Mau ambil apa? Taplak? Ada yang bagus. Mi...
ambilkan taplak yang baru jadi itu. Pilihkan yang bagus.
Pakdemu ini kalau cacat sedikit saja tidak mau. Inginnya yang
mulus....
Saudagar Pekalongan memilih,
mengambil
tumpukan,dan membayar apa yang diambil seminggu yang
lalu. Disertai tawa dan gurauan, semua berjalan lancar. Ajakan
bisa berarti gurauan, bisa berarti sungguhan. Masing-masing
sama mengetahui, sama menyadari, dan tahu bahasa masingmasing. Bahasa saling percaya.... (Canting, 2007: 44-45).
Berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita, tokoh Bu Bei merupakan
tokoh pembantu. Dikatakan tokoh pembantu karena Bu Bei hanya memegang peran
pelengkap dan tambahan dalam rangkaian cerita. Bu Bei tidak selalu hadir dalam
semua cerita. Kehadiran Bu Bei ini menurut kebutuhan cerita saja. Sementara itu,
berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita, Bu Bei merupakan tokoh
pipih atau datar. Dikatakan datar karena Bu Bei adalah tokoh yang memiliki watak
sederhana. Bu Bei digambarkan sebagai tokoh yang memiliki watak yang baik. Bu
Bei sangat berbakti, patuh dan setia pada suaminya, tabah dan suka bekerja keras. Ia
juga digambarkan suka menolong orang lain. Penggambaran watak Bu Bei
sepenuhnya memiliki watak baik. Oleh karena itu, tokoh Bu Bei merupakan tokoh
pipih atau datar.
3)
perempuan dalam novel Canting. Ni hadir sebagai tokoh utama dalam novel ini
setelah bu Bei wafat. Ni adalah anak ke-6 dari keluarga Pak Bei. Ia lahir 11 tahun
159
setelah Wening kakaknya yang nomor 5 yang ketika itu dianggap sebagai si bungsu
dan bintang keluarga.
Saat Ni dalam kandungan, keluarganya mengalami krisis kepercayaan karena
ia diragukan sebagai keturunan Pak Bei. Namun krisis berlalu dengan sendirinya. Pak
Bei membiarkan saja peristiwa itu dan tidak ingin konflik terbuka terjadi di
keluarganya. Walaupun sikap pak Bei cukup membuat bu Bei gelisah. Dengan sikap
itu, pak Bei berharap keluarganya tetap utuh.
Ni bukannya tidak tahu riwayat kelahirannya. Namun hal ini tidak
membuatnya menjadi berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Bahkan Ni
justru menjadi anak emas ayahnya. Saat kelahiran Ni, Pak Bei membanggakan
sebagai anak yang akan membuat sejarah yang berbeda dengan kakak-kakaknya. Di
bawah ini gambaran kelahiran Ni:
Bu Bei seperti malas menyiapkan popok yang dulu sudah
diberikan kepada orang lain. Seperti malas untuk menyediakan
tempat tidur bayi. Untuk minum jamu-jamu. Tapi bayinya lahir
juga.Perempuan.Bayi dengan pipi tembam, tidak mempunyai
rambut. Dan menangis keras seolah memecah ruangan.
Tendangannya sangat kuat. Bayi yang hitam, kurus dan tampak
sangat panjang kakinya.(Canting: 85-86)
Anakmu sudah lahir, Bu kata Pak Bei di samping Bu Bei yang
masih susah mengatur nafas.
Hitam seperti jangkrik.
Bu Bei menangis.
Selamat semuanya.
Bu Bei menangis lagi.
Dulu, kelima anaknya lahir, dan pak Bei sudah menyiapkan
nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja.
Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil
meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat mengisap dan
membuat sakit.( Canting: 86)
160
Bayi kecil dan baru saja digunduli kepalanya hingga plontos itu sangat lucu,
walau tak tersembunyikan pipinya yang tembam, dan tulang-tulangnya yang
kelihatan menonjol, lucu tetapi juga tidak mengesankan cantik. Terutama karena
alisnya seperti tidak tumbuh sama sekali. Pak Bei justru menganggap Ni sebagai anak
yang istimewa dengan segala kekurangan yang dibawanya sejak lahir.
Pada malam selapanan Pak Bei membolehkan Bu Bei makan apa saja yang
sebelumnya dikekang. Seolah Pak Bei mulai menerima nilai ganda secara terbuka
sejak malam itu. Ni dianggap istimewa
procotan, untuk mempermudah kelahiran. Namun ia lahir begitu mudah. Juga waktu
membuat brokohan, nasi urapnya pedas sekali padahal seharusnya tak boleh terlalu
pedas karena yang lahir bayi perempuan.
Ni ini istimewa. Waktu mau lahir, kami tidak membuat
procotan. Padahal procotan untuk memperlancar persalinan,
karena ibaratnya bisa mrocot, nongol dengan cepat. Tapi Ni
tidak pakai bubur putih yang dicampuri ubi. Ia lahir begitu saja.
Juga waktu membuat brokohan, nasi urap, semua menyadari ada
kekeliruan. Seharusnya nasi urap tidak terlalu pedas, karena
yang lahir adalah bayi perempuan. Tapi entah kenapa jadinya
urapnya pedas sekali.(Canting: 116)
Untuk bayi perempuan seharusnya tak boleh masak kluwih, karena itu hanya
untuk laki-laki. Agar besok jadi anak yang linuwih. Tapi nyatanya di belakang masak
lodeh kluwih. Dengan keanehan-keanehan ini, Ni memang telah menunjukkan bahwa
ia memang berbeda dengan saudara-saudaranya. Pada kenyatannya, Ni memang
berbeda
dengan
semua
saudaranya
baik
secara
fisik
maupun
sifat-sifat
pembawaannya. Jika semua kakaknya tumbuh jadi orang yang penurut, begitu segan
161
dan selalu mengiyakan apa yang dikatakan ayahnya maka Ni tidak. Kakak-kakaknya
menuruni sifat priyayi Bu Bei yang begitu taat dan berbakti kepada Pak Bei.
Ni pemberani, ceplas-ceplos kalau bicara, dan berani bersikap terbuka pada
ayahnya. Tidak seperti kakak-kakaknya yang hanya bisa mengatakan: inggih, leres,
mboten wonten menapa-menapa. Namun sikap Ni ini justru disukai oleh Pak Bei
karena dianggap sebagai generasi kedua setelah Pak Bei yang berani tidak Jawa.
Kamu biasanya ceplas-ceplos, Ni.
Ni berjalan ke belakang.
Di bawah sorot pandangan semua yang hadir.
Mungkin akan segera hilang di bagian rumah yang lain, kalau
tidak terdengar suara pak Bei.
Piye, Ni?(Canting: 196-197)
Ni tumbuh dan berkembang di Ngabean. Ia merasa dekat dengan para
buruhnya, sehingga suatu saat waktu ia masih SMP ia mengetahui peristiwa
kehamilan Wagimi, teman sepermainannya di kebon. Ia merasa terpukul Wagimi
disingkirkan. Ia protes pada Ayahnya, tapi ia justru dibentak. Ni tahu siapa yang
menghamili Wagimi secara tidak sengaja. Berikut
162
163
karena ulah Ni. Keinginan Ni untuk mengurus usaha batik membuat bu Bei jatuh
sakit dan harus dirawat dalam suasana yang cukup serius.
Namun Ni tetap nekat mau berangkat ke rumah sakit. Semua tak bisa
menghalanginya. Hanya Pak Bei yang bisa mencegah kenekatan Ni. Ni menyadari
bahwa sifat keras kepalanya hanya bisa ditundukkan oleh Pak Bei. Bukan dengan
kekerasan tapi justru dengan kelembutan. Kekerasan hati Ni tampak dari kutipan
berikut ini:
Ini saatnya ia membuktikan bisa dan tetap bisa berbuat
sesuatu. Ia akan nekat ke rumah sakit. Kalau perlu perang
terbuka di sana. Tapi niatnya menjadi surut, menyusut sendiri.
Di sana ada Pak Bei. Ada Rama, ia tak akan leluasa berbicara.
Ni, sekarang saatnya! Saatnya kamu tetap tegak di depan
Rama! Ni meneriakkan sendiri dalam hati untuk memompa
semangatnya. Ni mengambil jaketnya, merapikan rambutnya
dengan tangannya. Tekadnya sudah bulat, tak bisa dihalangi
lagi. (Canting: 227)
Apakah ini berarti bahwa ia telah dikalahkan oleh
ayahnya? Ia dikalahkan justru dengan cara pendekatan yang
halus? Benarkah kekerasan selalu kalah dengan kelembutan?
Benarkah ini kelebihannya ayahnya yang tak tertandingi?
Ni berbaring dan masih bertanya-tanya. Ia saying dan
hormat pada ibunya. Ia masih tetap bandel seperti kata ayahnya.
Ia hormat dan kagum pada ayahnya. Ia masih bisa bandel karena
ia memang keras kepala. (Canting: 259-260)
Setelah ibunya meninggal. Ni diberi kesempatan oleh ayahnya untuk
mewujudkan keinginannya untuk mengurusi batik, meneruskan usaha ibunya. Ni
demikian bersemangat, tapi ia sedikit kecewa karena niat baiknya itu ditanggapi
biasa-biasa saja oleh semua buruhnya. Walau demikian, Ni tak putus asa. Ia begitu
164
bersemangat mengelola usaha pembatikan itu sehingga tenggelam dan mabuk dalam
suasana bekerja.
Ia seperti kesetanan bekerja. Kadang sampai larut malam ia baru istirahat.
Suatu hari datanglah Laksmi, sepupunya dari Laweyan berkunjung menanyakan
kiriman bulanan. Ni merasa gondok, karena keluarga Laweyan seperti menagih bunga
rekening di Bank saja. Sewaktu ibunya masih hidup, memang menjadi kebiasaan
mengirim uang belanja pada keluarga Laweyan dan Gading setiap bulan. Tapi kini
ibunya sudah meninggal. Mereka masih juga menagih.
Ni menjadi tak enak hati ketika menolak memberikan kiriman itu, karena
Laksmi bilang itu soal kerelaan saja. Sifat tegas Ni diguncang dengan rasa
kemanusiaan. Kutipan di bawah ini menggambarkan hal tersebut:
Kerelaan macam apa? Ni merasa terjungkir balik..Justru
sekarang ini dirinya seakan berada dalam posisi yang hina, yang
nampak serakah. Yang tak kenal mengenal keluarga. Yang tak
mempunyai kerelaan.(Canting: 335)
Itulah tantangan awal yang dihadapi Ni ketika mengelola usaha pembatikan.
Ternyata tantangan itu tidak hanya dari Laweyan saja, tapi juga dari kakak iparnya
sendiri. Juga dari saudaranya yang lain seperti mengasingkan dirinya. Sikap
saudaranya terwakili oleh kata-kata Ayu Prabandari, istri Wahyu. Hal itu bisa
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Ni itu kurang tahu diri, ia tak sadar dilulu oleh Rama. Ia tidak
mengerti bahwa Rama sengaja membiarkan Ni terjerumus oleh
keinginannya yang aneh-aneh. Ia minta mengurusi batik, dan
oleh Rama, karena ingin menolak dengan cara halus, dan Ni
tidak tahu dilulu seperti ini. Diiyakan. Harusnya kan tahu.
(Canting: 344)
165
166
Karena Pak Beilah Ni bisa sembuh. Tentunya pak Bei juga hanya sebagai
perantara dari sang Khaliq. Akhirnya Ni mengambil keputusan untuk melepas cap
Canting. Ia kembali melanjutkan usaha batiknya dan menyerahkan hasil usahanya
kepada perusahaan besar. Perusahaan besar itu akan menjual kembali dengan
memakai cap perusahaan mereka.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ni digambarkan sebagai seorang
gadis pemberani dan ceplas-ceplos kalau bicara. Ia sangat berbeda dengan saudarasaudaranya. Ni pribadi yang sedikit manja, suka bercanda, dan kadang menunjukkan
sikap yang emosional. Ni juga pribadi yang keras kepala dan suka nekat. Seperti
kenekatannya untuk memilih usaha batik yang ditentang keluarganya.
Setelah menjalankan usaha batik, kelihatan betul ia menuruni sifat pekerja
keras yang dimiliki oleh ibunya. Ia juga tegas mengambil keputusan, tidak ragu-ragu
dalam bertindak. Ni juga cukup perhatian terhadap buruk batiknya. Ni juga
mengesankan pribadi yang pantang menyerah. Itu terbukti ketika usaha batiknya
sedang dalam kondisi sulit ia tetap berusaha bangkit dengan berbagai cara. Akhirnya,
usahanya tidak sia-sia. Batik yang menjadi pilihannya bisa berjalan dan bertahan
dengan melepaskan nama canting.
Tokoh Bu Bei ditinjau dari aspek fisiologis, psikologis dan sosiologis sebagai
berikut :
a) Fisiologis
Waktu kecil, Ni digambarkan sebagai bayi dengan pipi tembam dan
tidak mempunyai ramput. Selain itu, bayi Ni juga digambarkan
167
berkulit hitam, kurus, dan memiliki kaki yang panjang. Ia berbeda dengan
saudaranya yang lain.
Bayi dengan pipi tembam, tidak mempunyai rambut,
dan menangis keras sekali seolah memecahkan ruangan, tendangannya
sangat kuat. Bayi yang hitam, kurus, dan tampak sangat panjang
kakinya (Canting, 2007: 86).
Kebahagiaan itu mencapai puncaknya, ketika Pak Bei
akhirnya menggendong anaknya yang hitam dan pipinya tembam.
Lebih dari itu semua, pada lima hari usia si kecil, Pak Bei agaknya
mendemonstrasikan menggendong ke tengah pertemuan yang biasa
diadakan (Canting, 2007:87).
b) Psikologis
Ni sangat memperhatikan nasib para buruh batik keluarganya. Ia
merasa berutang budi kepada para buruh batik. Ni merasa dengan adanya
mereka, keluarganya menjadi orang yang berkecukupan, saudaranya menjadi
orang-orang yang berhasil dalam menggapai cita-citanya.
Itu saat pertama Ni menjadi gusar.
Ni berlari masuk ke rumah, menemui ibunya.
Ibu jahat, teriak Ni dengan suara serak.
Aku yang menyuruh, kata Pak Bei, yang membuat Ni
memandang dengan sorot mata sengit.
Aku yang menyuruh Mbok Tuwuh pergi dari tempat ini.
Ni gondok (Canting, 2007: 216-217).
Ni suka berbicara sembrono dan senang bercanda. Selain itu, Ni juga
merasa paling dekat dan dapat terbuka dengan ayahnya. Akan tetapi, ketika
telah berhadapan dengan ayahnya, Ni tidak dapat berbicara apa-apa. Ia hanya
dapat mengatakan iya, iya, dan iya meskipun sebelumnya telah menyiapkan
jawaban dan menghafalkannya, ia tetap tidak dapat mengeluarkannya,
168
169
peranan
dan
fungsinya
dalam cerita,
Latar
Setting adalah tempat di mana cerita itu berlangsung dan terjadi. Setting bisa
meliputi tempat, waktu, dan suasana. Latar cerita berkaitan dengan waktu dan tempat
penceritaan. Waktu dapat berarti tahun, bulan, tanggal, siang dan malam. Tempat
dapat berarti di dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota
mana, di negeri mana, dan sebagainya. Sementara suasana adalah keadaan yang
melingkupi sebuah cerita.
170
Untuk lebih jelasnya, penulis akan membahas satu persatu setting yang ada
dalam cerita Canting ini. Setting tersebut yakni: setting tempat, setting waktu, dan
setting suasana.
1) Setting Tempat
Dalam novel Canting ada beberapa tempat yang menjadi setting cerita. Secara
umum, cerita ini terjadi di kota Solo. Tepatnya di njero Beteng di mana keluarga Den
Bei Sestrokusumo bertempat tinggal. Dalem Sestrokusuman adalah setting primer
dalam novel ini. Sedangkan Pasar Klewer, Njurug, Laweyan, dan Gading merupakan
setting sekunder.
Ndalem Ngabean Sestrokusuman adalah sebutan untuk rumah luas yang
dibentengi tembok tebal merupakan kediaman Raden Ngabehi Sestrokusuma. Di
samping ruang utama ada gandhok yang membujur panjang jauh ke belakang. Di
bagian belakang bangunan utama berderet-deret kamar untuk para buruh batik.
Tempat ini biasa disebut kebon. Kutipan di bawah ini gambaran keadaan dalem
Ngabean Sestrokusuman:
Dalem Ngabean Sestrokusuman, sebutan untuk sebuah
rumah luas yang dibentengi tembok tebal kediaman Raden
Ngabehi Sestrokusuma, tidak biasanya sepi seperti ini. Tak
pernah halaman samping pendapa yang begitu luas sunyi dari
anak-anak kecil bermain atau bunyi sapu lidi membersihkan.
Tak pernah bagian gandhok, di samping ruang utama yang
membujur ke belakang jauh sekali, begitu kosong dari tarikan
nafas. Di gandhok itu, biasanya ada 112 buruh batik, sepuluh
diantaranya tukang cap, yang bekerja sejak pagi hari sampai
sore hari. Diseling istirahat yang tak lama, lalu dilanjutkan
sekitar separonya yang bekerja lembur. (Canting: 5)
171
172
173
Setting Waktu
Setting waktu berkaitan dengan saat kapan peristiwa itu berlangsung atau
terjadi. Setting waktu biasa meliputi tahun, tanggal, jam, atau saat, pagi-siang-siangsore-malam. Segala sesuatu yang berkaitan dengan saat terjadinya peristiwa, itulah
yang disebut setting waktu.
Novel Canting berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga Priyayi bernama
Pak Bei. Cerita novel ini dimulai saat Ni anak bungsu Pak Bei masih dalam
kandungan. Waktu itu Ni dalam kandungan Wening kakak Ni sudah berusia 11 tahun.
174
Dalam novel ini juga diceritakan Ismaya Dewakusuma kakak Wening lahir pada
tahun 1949. Berdasarkan data di atas bisa disimpulkan bahwa cerita ini diawali pada
tahun 1962.
Dalam novel ini pula diceritakan bahwa anak pertama Pak Bei bernama
Wahyu Dewabrata lahir setahun setelah pernikahan Pak Bei. Setengah tahun setelah
kelahiran Wahyu pecah perang besar-besaran. Waktu itu menjelang kemerdekaan.
Setelah Indonesia merdeka lahirlah Lintang Dewanti kemudian disusul setahun
berikutnya anak ketiga pak Bei bernama Bayu Dewasunu. Bayu lahir pada Clash
kedua.
Kelahiran anak-anak Pak Bei sebelum Ni diceritakan secara flasback dalam
novel ini. Hal tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut ini:
Setahun kemudian, Wahyu Dewabrata lahir. Setengah
tahun kemudian pecah perang besar-besaran. Den Bei Daryono
turut berjuang. Segala harta keluarga Nabean ludes, berikut
mobil kebanggaan seluruh keluarga.
Ia hanya bisa menunggu.
Kita telah merdeka.
Lalu lahir Lintang Dewanti. Den Bei Daryono masih
berperang. Pulang malam hari sebentar, dan bercerita dengan
gagah untuk seluruh keluarga. Lalu pergi lagi. Setahun
berikutnya, Bayu Dewasunu lahir. Ia mulai mengerti tentang
Clash Kedua, karena serdadu Belanda masuk ke rumahnya.
Menggeledah dan membawa pergi penghuni rumah. Ia tidak
menangis, tidak menjerit, bergeming menghadapi semuanya.
Juga karena Bayu Dewasunu sakit-sakitan. Mencret terusmenerus.
Setahun kemudian, tahun 1949-ia mulai bisa mengingat
tahun-tahun nasional dengan baik- Ismaya Dewakusuma lahir.
Saat yang muram karena Den Bei Daryono, yang mulai
dipanggil Pak Bei, mempunyai selir di desa Mbaki. Saat itu pun
ia menunggu. Menunggu. Menunggu.
175
176
(Canting: 7)
Bu Bei menunggu sampai hari Kamis pagi.
Pak Bei nanti pergi?
Hmmmmmmmm.
Jawaban hmmm itu sudah lebih dari pengiyaan.
Biasanya kalau dalam keadaan seperti sedang marah, Pak Bei
takan mengeluarkan kata apa-apa. Rasanya ini merupakan
pukulan terberat yang harus ditanggung bu Bei. Apalagi jika pak
Bei melengos. Bu Bei tak akan berani tidur di samping
suaminya. Ia memilih tidur bawah, dengan menggelar tikar,
(Canting: 16)
Setting tahun, tidak mesti harus menyebutkan tahunnya secara gamblang, tapi
dengan menyebut peristiwanya kita akan tahu pada tahun berapa peristiwa itu terjadi.
Untuk menentukan cerita Canting dimulai tahun berapa penulis mencermati setiap
kejadian dalam novel. Kegundahan bu Bei atas kehamilannya bisa dipastikan terjadi
pada tahun 1962, setelah penulis mencermati kronologis novel.
Seperti saat perang kemerdekaan tahun 1945, pada waktu itu Wahyu
Dewabrat lahir. Ketika tanggul jebol dan banjir besar melanda Kota Solo peristiwa itu
terjadi pada tahun 1966. Memang dalam novel ini, peristiwa tersebut tidak disebutkan
tahunnya. Berdasarkan sejarah yang pernah dipelajari penulis bisa menentukan tahun
terjadinya sebuah cerita. Peristiwa sejarah tersebut dapat dicermati dalam kutipan
berikut ini:
Ini gegeran. Geger hebat. Juga di Jakarta. Bunuhbunuhan. Pokoknya geger, kata jimin.
Mijin tetap diam.
Mendengarkan, mengangguk-angguk.
Geger, itu saja yang dimengerti. Seperti juga Wagiman
yang kemudian mendengar bahwa keluarga Pak Bei diungsikan
177
178
(Canting:156)
Saya orang bodoh. Tak tahu perhitungan apa-apa. Selama
ini tak pernah ada banjir sampai masuk kota. Karena kita
mempunyai tanggul kokoh sepanjang lebih dari sepuluh
kilometer, dengan ketinggian lima meter-atau kalau diambil
ukuran dari permukaan air sama dengan tinggi tugu jam di Pasar
Gede- dan lebarnya empat meter. Sangat kuat. Tapi tanggul itu
dibuat tahun 1925, dan selama ini tak terawat baik. Malah
sebagian dijadikan tempat untuk bertanam.
Di Wonogiri, hutan-hutan sudah lama rusak dan tak
ditanami lagi. Semua air hujan tak bisa ditahan, mengalir semua
ke Bengawan. Selama ini sungai-sungi mengalir ke Bengawan
dan Bengawan sendiri sudah menjadi dangkal ... (Canting: 157)
Nyatanya apa yang dikatakan pak Bei menjadi kenyataan. Pak Bei memang
hebat. Sebenarnya apa yang disampaikan pak Bei merupakan analisis ilmiah dari
sesuatu yang di dengar dan dilihat. Di bawah ini gambaran peristiwa banjir tahun
1966:
Wagiman membangunkan istrinya yang hamil, kedua
anaknya, mau memberitahu Tangsiman, tetapi air yang tadinya
di ujung kaki sudah sampai setengah lutut. Berbuih-buih, warna
cokelat kehitaman, dan masuk dari pintu-pintu, dari depansamping-belakang, mengangkat meja, kursi, dan kemudian
tempat tidur.
Wagiman berteriak-teriak.
Mijin... Den Bei ...
Wagiman sendiri ingin membangunkan Den Bei. Akan
tetapi begitu keluar dari dalam rumah, air sudah sampai ke paha.
Memang halaman lebih rendah dibandingkan dengan bagian
dalam rumah, akan tetapi bunyi kerosak air meninggi lebih cepat
lagi. Lampu padam, Jimin berenang ke dalam dan
memberitahukan bahwa telepon putus.
(Canting: 159)
Cerita novel canting ini berakhir tahun 80-an. Waktu acara tumbuk yuswo
atau ulang tahun Pak Bei yang ke- 64, saat itu Ni sudah jadi sarjana farmasi. Kisah
179
keluarga pak Bei diakhiri ketika Ni pulang dari rumah sakit setelah melahirkan anak
pertama. Anak itu diberi nama Canting Daryono. Jadi bisa diperkirakan saat itu
adalah tahun 80-an karena Ni lahir 1962, selisih 11 tahun dengan Wening. Wening
lahir selisih dua tahun dengan kakaknya, Ismaya Dewakusuma. Ismaya lahir tahun
1949.
3) Setting Suasana
Setting suasana yaitu setting yang berupa keadaan, situasi saat peristiwa dalam
cerita itu berlangsung. Setting suasana ini bisa berupa keadaan yang tegang, sepi,
sedih, mencekam dan lain-lain sesuai dengan suasana saat peristiwa dalam cerita itu
berlangsung.
Suasana yang melingkupi cerita dalam novel Canting sebuah kedamaian
keluarga ningrat Sestrokusuman. Kedamaian yang sengaja diciptakan oleh tokohtokohnya. Yang sebenarnya tiap-tiap tokoh memiliki persoalan hidup yang kalau
diangkat ke permukaan bisa meruntuhkan sendi-sendi kehidupan ruman tangga.
Permasalahan penting itu melibatkan keluarga Sestrokusuman. Permasalahan
yang sengaja dipendam agar tidak merusak keutuhan rumah tangga. Salah satu
permasalahan tersebut adalah kepastian ayah biologis Ni. Secara samar disebutkan
bahwa Ni bukan keturunan pak Bei tapi juga tidak disebutkan secara tegas bahwa Ni
adalah benih dari Mijin. Hal itu bisa dicermati dalam kutipan beriktu ini:
Ibumu akan berduka kalau kamu mengurus usaha barik
itu. Seperti diingatkan bahwa kamu bukan anakku. Dan itu
membuatnya bersalah. Padahal kalau dipikir-pikir, kan ibumu
seharusnya yang paling tahu siapa bapakmu. Sehingga tak raguragu lagi. Iya, kan? Itu kalau dipikir. Tapi ibumu juga ngrasa,
180
181
Ageng Pak Bei, duka cita meninggalnya Bu Bei, bahkan suasana ketika Ni sedang
sakit keras dan dalam keadaan kritis.
Secara umum banyak suasana umum yang meliputi cerita Canting ini.
Misalnya: kegiatan rutinitas malam Jumat Kliwonan yang diselenggarakan pak Bei
dan kawan-kawan, suasana Pasar Klewer tempat bu Bei berdagang, geger politik
tahun 1965, dan banjir besar yang melanda Kota Solo. Di bawah ini suasana Kota
Solo pada tahun 80-an yang digambarkan dalam novel Canting:
Masuk Kota Solo lebih menjengkelkan lagi. Jalannya
sempit. Terbagi-bagi dengan cara menjengkelkan. Ada dua jalur,
tetapi separuh tak diaspal karena melewati banyak sawah dan
tegal serta potongan rel kereta api. Jadi tidak bisa tancap gas.
(Canting: 163)
Dan karena kini terminal bus dipindah ke sebelah utara,
Ni harus ganti kendaraan. Tidak seperti kalau masih di tempat
lama, di Pasar Harjodaksino, ia bisa cepat sampai di rumah.
Memilih kendaraan untuk sambungan juga tak bisa
gampang. Ada angkutan kota, akan tetapi harus menunggu lama.
Dan ia ngeri karena jalannya oleng, seakan kendaraan itu
memakai bahan bakar tuak Bekonang yang bikin mabuk, bukan
bensin. (Canting: 164)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suasana yang melingkupi cerita
Canting adalah kedamaian keluarga Dalem Sestrokusuman. Suasana damai yang
sengaja diciptakan agar tidak menghancurkan kehidupan rumah tangga. Cerita
keluarga Ngabeyan juga tidak lepas dari suasana Kota Solo pada umumnya pada
waktu itu. Dari perang kemerdekaan, ontran-ontran politik tahun 60-an, sampai
suasana Kota Solo tahun 80-an.
e.
182
Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang
ketiga atau third person narrator. Pengarang berada di luar cerita. Pengarang
menggunakan nama-nama tokoh dalam ceritanya dan memakai sebutan ia atau
mereka. Sudut pandang ini memungkinkan pengarang bersikap objektif dan
adil. Pengarang sekadar menuturkan sebuah cerita rekaan yang menjadi idenya.
Sebagai penutur yang baik, pengarang dapat menggambarkan tokoh- tokoh
dan karakternya dengan begitu nyata seolah-olah mereka benar-benar ada. Begitu
pula penggambaran
kehidupan keluarga priayi dengan sangat intens baik kebiasaan sehari-hari, adat
istiadat, keadaan rumahnya maupun lingkungan sosialnya.
Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga ini, pengarang berhasil
menuturkan sebuah kisah menarik tentang keluarga priayi, yakni keluarga Raden
Ngabehi Sestrokusuma beserta konflik yang melingkupinya.
f.
Amanat
Amanat yang terdapat dalam novel Canting adalah:
1) Bersyukur kepada Tuhan Jika Tuhan memberi cobaan janganlah kita larut ke
dalam cobaan itu
Janganlah tenggelam dalam kesedihan. Jangan terlontar dalam
kegembiraan. Jelek-jelek aku, ibumu, tak pernah tenggelam dan
silau(Canting: 285)
2. Banyak beramal dan berbuat baik terhadap sesama untuk bekal di akhirat
sebelum kita terlanjur meninggal dunia.
183
184
hal-hal yang bersifat positif, berguna dalam kehidupan manusia, dan pantas untuk
dimiliki tiap manusia. Dalam pengertian ini nilai pendidikan adalah sesuatu yang
berhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), dan estetika
(indah dan jelek).
Berbagai nilai pendidikan dapat ditemukan dalam karya sastra. Nilai-nilai di
dalamnya tidak hanya terbatas soal kebajikan dan moral saja, tetapi ada nilai lain
185
yang lebih khas sastra. Walau masih banyak nilai lain, tetapi jika berbicara tentang
nilai didik, orang langsung berasosiasi kepada moral, etika, dan kebajikan. Hal ini
wajar sebab sesuatu yang baik merupakan inti pendidikan. Pada prinsipnya sebuah
karya sastra mengandung nilai pendidikan yang berhubungan dengan moral, agama,
budaya, sosial, dan lain-lain.
Dalam novel Canting ditemukan beberapa nilai-nilai pendidikan diantaranya
adalah warn lokal tinjauan sosiologi drama, nilai sosial budaya, nilai moral, dan nilai
religius. Di bawah ini pembahasan nilai-nilai pendidikan dalam kedua novel tersebut.
a.
Ngabean. Tingkah laku, sopan santun, dan kebiasaan para buruh batik Den Bei adalah
sisi lain warna lokal yang ditampilkan dalam novel Canting. Dua sisi warna lokal
dalam novel ini akan ditinjau berdasarkan pandangan hidup orang Jawa, kondisi
sosial masyarakat Jawa, dan etika Jawa.
1)
mata didapatkan dari tulisan-tulisan ilmiah saja. Tidak juga harus terjun masuk ke
dalam masyarakat yang bersangkutan, tetapi dapat dilakukan dengan cara menggali
karya-karya fiksi seperti buku-buku sastra atau novel agar pandangan suatu budaya
dapat diketahui.
Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting ingin memperlihatkan kebudayaan
Jawa melalui batik. Ceritanya cukup menarik yang menceritakan mengenai
186
kebuayaan Jawa dengan mengangkat batik sebagai simbol budaya dan berbagai
konflik yang menyertai di dalamnya. Novel Canting juga memberikan pengetahuan
kepada kita tentang tradisi-tradisi kebudayaan Jawa.
Novel ini juga mengungkapkan kehidupan keluarga Jawa yang mengalami
banyak konflik dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Jawa mulai dari etika
sampai pada ekonomi. Transformasi kebudayaan Jawa tergambarkan dengan luwes
dan kritis. Novel Canting memang memakai bahasa Indonesia tapi memiliki ruh
sebagai sastra Jawa. Persoalan pandangan tradisional dan modern dikisahkan
dengan apik oleh Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting.
Beberapa
asumsi
tersebut
yang
melatar
belakangi
penulis
untuk
Lilo
Lilo, salah satu pandangan hidup orang Jawa. Lilo adalah sikap ikhlas sewaktu
187
Bei sangat memahami bagaimana harus menjadi istri yang baik bagi pak Bei. Apalagi
bu Bei terlahir dari lingkungan yang berbeda dengan pak Bei. Sikap rila diwujudkan
dalam ketulusan mengabdi pada seorang suami. Hal itu tergambar dalam kutipan di
bawah ini:
Pak Bei turun dari mobil, berdehem kecil, memasuki
rumah. Ayam hutan yang berada dalam sangkar di samping
pendapa berteriak. Pak Bei mendengus perlahan. Masuk lewat
pendapa, menuju bagian dalam. Sebelum sampai di pintu, Bu
Bei telah membukakan pintu.
Ngersaki ngunjuk punapa?
Ingin minum apa, adalah sambutan yang pertama. Pak
Bei tak perlu menjawab. Karena biasanya di meja sudah
disediakan. Ada wedang, jahe, ada teh, ada juga susu yang
masih hangat. Bu Bei bisa memperhitungkan saat pak Bei
pulang dari tirakatan. Apa saja, kalau pergi malam diartikan
sebagai tirakatan, atau merenungkan keprihatinan. Ini berarti
tidak tidur. Bu Bei telah menyiapkan segalanya. Pun andai saat
itu pak Bei menghendaki sarapan bubur.(Canting: 34)
Selain menampilkan sosok yang ikhlas dan turut mengabdi pada suami, bu
Bei juga menampilkan sosok yang patuh pada suami. Bu Bei mengerti apa yang
disuka dan tidak disukai suaminya. Dari masalah yang sederhana sampai hal yang
kompleks. Ia nggak terlalu banyak bertanya dan menuntut. Bu Bei hanya memiliki
satu keinginan, mengabdi sebaik-baiknya pada suami.
Bu Bei sangat paham bahwa suaminya tak menyukai
sabun yang kecil, karena suka meloncat ketika dipegang. Atau
sandal pilihannya untuk dikenakan di dalam rumah. Pak Bei
paling benci dengan sandal jepit. Yang dianggap sandal paling
kurang ajar, paling tidak berbudaya, paling kampungan. Pak Bei
menyebutnya sebagai sandal pabrik, istilah barbar, tak
mengenal kompromi sama sekali. Semua istilah yang dikaitkan
dengan pabrik mempunyai konotasi yang tidak berbudaya,
tidak sopan, tidak etis. Oleh Bu Bei ini diterjemahkan sebagai
aturan kepada anak-anaknya.(Canting: 35)
188
Sikap patuh bu Bei sangat kelihatan ketika ia menunggu keputusan apa yang
harus diterima bu Bei. Waktu itu pak Bei merasa ada sesuatu yang disangsikan dalam
diri bu Bei. Bu Bei menyatakan dirinya hamil lagi, pak Bei menanggapi dengan
dingin. Sementara bu Bei menunggu
189
190
ternyata juga cukup mengerti arti setia kawan. Gambaran sikap mereka terdapat
dalam kutipan di bawah ini:
Ternyata apa yang dirasakan mbok Tuwuh dan mbok
Kerti menjadi wakil perasaan dan sikap semua buruh. Semua
tanpa kecuali merasa bersalah. Pakde Wahono bahkan kemudian
tak mau menerima gajinya secara utuh. Hanya mau menerima
separonya saja.
Jadinya serba salah.
Dagang itu kadang untung, kadang buntung, Den Rara.
Kalau untuk ya kita rasakan, kalau buntung ya kita rasakan.
(Canting: 370)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa warna lokal berkaitan dengan
pandangan hidup orang Jawa terdapat dalam novel Canting Karya Arswendo
191
Atmowiloto. Tokoh-tokoh novel seperti bu Bei, Mijin, mbok Kerti, dan tokoh lain
memiliki sikap rila atau ikhlas dalam pengabdian. Sikap tulus bu Bei sebagai istri
ditampilkan oleh penulis novel berbentuk pengabdian kepada suami. Sedangkan,
sikap tulus abdi dalem Ngabeyan dan buruh batik ditujukan kepada majikannnya.
3)
Narima
Sikap narima adalah sebuah sikap yang tidak menginginkan milik orang lain,
serta tidak iri hati dengan kebahagiaan orang lain. Orang yang narima dapat
dikatakan orang yang bersyukur kepada Tuhan. Sikap narima banyak pengaruhnya
terhadap ketenteraman hati seseorang. Sikap narima merupakan salah satu pandangan
hidup orang Jawa sebagai warna lokal.
Dalam novel Canting dapat dijumpai beberapa tokoh yang memiliki sikap
narima. Bu Bei adalah salah satu tokoh dalam novel ini yang memiliki sikap tersebut.
Waktu itu bu Bei yang bernama kesil Tuginem masih sangat belia. Raden Mas
Daryono menghendakinya untuk dijadikan istri. Keinginan Raden Mas Daryono
ternyata disambut positif oleh kedua orang tua Tuginem dan Tuginem harus
menerima keputusan itu.
Tuginem mulai saat itu harus meninggalkan teman sepermainannya. Ia harus
belajar unggah-ungguh. Berlaku sopan layaknya seorang priyayi. Karena memang ia
harus jadi priyayi. Batinnya sangat tertekan. Kadang ia menangis menerima
kenyataan ini. Tapi, Tuginem harus menerima takdirnya. Sesuai pandangan orang
Jawa Tuginem harus memiliki sikap narima. Hal itu tergambar dalam kutipan di
bawah ini:
192
193
(Canting: 86)
Sikap narimo juga dimiliki oleh abdi dalem Ngabeyan. Mereka tidak iri
dengan kebahagian orang lain. Tidak menginginkan milik orang lain. Yang mereka
inginkan keselarasan dan ketenteraman hidup. Salah satu abdi dalem Ngabeyan
tersebut adalah Wagiman. Wagiman sudah begitu bahagia dengan semua yang
diterima dalam hidupnya. Sikap narima itu ia wujudkan dengan bersyukur kepada
Tuhan dengan bekerja lebih keras dan tekun. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut
ini:
Wagiman sudah bahagia dengan semua yang diterima
dalam hidupnya. Ia mensyukuri karena bisa bekerja, bisa
menghidupi anak-anak dan istrinya, dan membantu saudaranya
di desa. Ia membalas rasa syukur ini dengan bekerja lebih tekun,
lebih keras, tanpa mengenal jam kerja tertentu.
Wagiman tak menuntut apa-apa. Ia tahu apa yang
menjadi haknya, lewat jalan apa pun akhirnya akan jtuh ke
tangannya pula. Sebaliknya apa yang belum menjadi miliknya,
diberikan di depan mulut pun akan jatuh ke tanah. Gusti Allah
sudah mengatur semuanya.
(Canting: 140)
Sikap narima merupakan perwujudan bahwa seseorang bisa memahami siapa
dirinya. Wagiman cukup tahu diri apa yang harus dilakukan ketika anaknya lahir.
Tidak ada acara seperti ketika anak Bu Bei lahir. Ketika juga anak Wagiman berumur
35 hari (selapan) atau tujuh lapan. Semua berjalan apa adanya seperti takdir yang
diterima Wagiman sebagai buruh batik. Wagiman tak pernah iri dengan kehidupan
keluarga pak Bei.
Sampai dengan kelahiran, Wagiman hanya menandai
dengan main kartu di antara sahabat, saudara yang dulu juga.
Ketika kemudian Genduk berumur 35 hari, upacara main kartu
194
Temen (Sungguh-sungguh)
Sikap temen berarti menepati janji atas ucapannya sendiri. Baik janji yang
diucapkan dengan lisan atau diucapkan dalam hati. Dengan menepati janji berarti ada
kesungguhan dalam bekerja. Orang yang tidak menepati kata hatinya berarti menipu
dirinya sendiri. Sedangkan kata hati yang diucapkan namun tidak ditepati, itu sama
dengan dusta yang disaksikan orang lain.
Sikap temen merupakan salah satu warna lokal yang terdapat dalam novel
Canting karya Arswendo Atmowiloto. Sikap ini dimiliki beberapa tokoh dalam novel
tersebut diantaranya Ni. Kesungguhan Ni dengan pilihan hidup meneruskan usaha
batik keluarga Ngabeyan merupakan sikap temen. Walaupun semua anggota keluarga
195
196
197
Setelah hampir sepuluh tahun bekerja ia dipercaya nyarik atau menjadi carik.
Carik adalah pekerjaan yang tertinggi di antara buruh batik. Di bawah ini gambaran
sikap temen Wagiman sebagai buruh batik di Ngabeyan:
Seperti juga Wagiman, yang barangkali kalau dirunut
hubungan darahnya tak kalah dekat dari pak Bei dengan adikadiknya. Tapi Wagiman memulai bekerja seperti yang lainnya.
Membantu mencuci, membantu menyapu, sampai kemudian
diperbolehkan membuat pola. Mola, atau membuat pola, tidak
segagah namanya, karena yang dilakukan hanyalah membuat
garis-garis dasar dengan pensil tebal pada kain mori yang putih.
(Canting: 138-139)
Wagiman mulai dari itu, sampai kemudian telah hampir
sepuluh tahun, dipercaya nyarik, atau menjadi carik. Pekerjaan
yang paling tinggi di antara para buruh batik. Dalam pabrik
batik, hanya ada beberapa orang yang dipercaya nyarik. Mereka
yang sedikit inilah yang menjalankan pelaksanaan sehari-hari.
Membagi kani mori, sebelum mori dibatik, dan menimbang
kembali setelah dibatik.
(Canting: 139)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap temen tokoh-tokoh yang
terdapat dalam novel Canting sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa. Sikap
temen berarti sungguh-sungguh. Penerapan di lapangan sikap temen seseorang
ditunjukkan dengan kesungguhan dalam bekerja. Sikap temen merupakan bentuk
menepati janji atas ucapannya sendiri, baik yang dilisankan atau yang diucapkan
dalam hati.
5)
Sabar
Sabar merupakan tingkah laku terbaik yang harus dimiliki manusia. Sabar itu
berarti momot, kuat terhadap cobaan, tetapi bukan berarti putus asa. Kesabaran ibarat
198
samudera pengetahuan, ia tidak tidak membeda-bedakan emas dan tanah liat, sahabat
dan musuh. Tuhan sangat mengasihi orang yang memiliki sifat sabar.
Dalam novel Canting pandangan orang Jawa yang berkaitan dengan sikap
sabar tercermin dari sikap tokoh-tokohnya. Tuginem yang harus menikah dengan
Raden Mas Daryono kemudian dikenal dengan sebutan bu Bei adalah pribadi yang
sabar. Sikap pak Bei kadang-kadang membuat bu Bei juga harus menahan nafas. Bu
Bei bukannya tidak mendengar kalau pak Bei punya istri simpanan di desa Baki.
Kabar yang ia dengar dari pernikahan siri itu, Karmiyem juga telah melahirkan anak
keturunan pak Bei. Bu Bei hanya bisa sabar dan momot mendengar hal itu.
Pak Bei tidak mencari konflik seperti itu. Dalam
pandangan pak Bei, bu Bei juga tidak mencari. Malah berpurapura tidak mengetahui ketika dulu Pak Bei lebih sering
bermalam di Mbaki, daerah Grogol, agak ke selatan batas kota
Solo. Ketika itu anak keempatnya lahir, tak ditunggui Pak Bei.
Karena Pak Bei sedang menunggui anak pertamanya dari
Karmiyem, yang hitam manis dan rambutnya keriting.
(Canting: 70)
Seminggu lebih pak Bei tidak pulang. Setelah itu tetap
dua hari sekali, tiga hari datang dan bermalam. Pak Bei tahu
bahwa bu Bei tahu. Tapi bu Bei tidak pernah menanyakan, tidak
pernah mengurus. Hanya bu Bei tidak pernah menunjukkan
sikap manis di dalam kamar. Namun sehari-hari tetap sama,
menata meja makan, mengatur anak-anak saat itu belum mau
pergi ke Pasar Klewer dan bersikap manis serta menghormat.
(Canting: 71)
Sikap sabar bu Bei juga tampak ketika melihat sikap pak Bei yang
mengomentari anaknya yang sedang dilahirkan. Anak terakhirnya. Yang kehadirannya
disangsikan siapa bapaknya. Waktu itu bu Bei hanya menangis mendengar ucapan
199
selamat dari suaminya. Sikap pak Bei biasa-biasa saja. Pak Bei tidak menyiapkan
nama seperti kelima anaknya yang lahir sebelumnya.
Anakmu sudah lahir, Bu, kata pak Bei di samping bu Bei yang
masih susah mengatur napas.
Hitam seperti jangkrik.
Bu Bei menangis.
Selamat semuanya.
Bu Bei menangis lagi.
Dulu, kelima anaknya lahir, dan pak Bei sudah menyiapkan
nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja.
Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil
meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat mengisap dan
membuat sakit.
(Canting: 86)
Wagiman salah satu buruh pabrik yang sabar. Ia dan keluarganya mendapat
cobaan ketika Wagimi anaknya diketahui hamil sebelum menikah. Wagimi masih
SMP waktu itu. Betapa terguncang Wagiman, Pak Bei, dan Ni yang waktu itu
mendengarkan bahwa yang menghamili Wagimi adalah Wahyu Dewabrata. Baik
Wagiman maupun pak Bei bisa momot, kuat menerima cobaan tapi tidak berputus
asa. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini:
Wagimi tidak protes. Wagiman juga tidak mengajukan
apa-apa, melainkan menerima tanpa bertanya. Tanpa melawan.
Tanpa menuntut apa-apa. Juga biaya. Wagimi malah menerima
apa yang paling ditakutkan oleh penghuni kebon. Dibuang,
kembali ke desa. Dinikahkan dengan Jimin yang menjaga
tanaman, burung, dan ikan peliharaan pak Bei.
(Canting: 233)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa warna lokal berkaitan dengan
pandangan hidup orang Jawa terdapat dalam novel Canting. Sikap yang sesuai
dengan pandangan hidup orang Jawa tersebut adalah sikap sabar. Sikap sabar sebagai
200
orang Jawa dimiliki oleh bu Bei dan Wagiman salah satu buruh batik yang memiliki
sikap itu.
Bu Bei bisa momot dengan sikap suaminya yang keturunan priyayi. Sabar
terhadap pola hidup pak Bei yang memang selalu membutuhkan pelayanan. Bisa
momot ketika mengetahui pak Bei punya istri simpanan. Sedangkan, Wagiman
mendapat cobaan yang berat ketika anaknya diketahui hamil sebelum menikah.
Wagiman bisa menerima cobaan itu dengan sabar.
6)
Budi Luhur
Sikap Budi luhur adalah sebuah sikap yang ditandai dengan adanya usaha oleh
manusia untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan sifat-sifat yang
dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa, seperti: kasih sayang terhadap sesama, adil, dan
tidak membeda-bedakan sesama manusia. Orang yang berbudi luhur juga suka
menolong sesama tanpa mengharapkan imbalan, bahkan jiwanya siap dikorbankan.
Banyak tokoh dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto yang
berpribadi luhur, salah satunya pak Bei. Pak Bei bukan tipe pendendam. Ketika ia
menikahi Tuginem (bu Bei) semua anggota keluarganya menentang. Hal itu juga
dilakukan oleh kedua adiknya. Adiknya lebih suka menjauh dari keluarga pak Bei
sebagai tanda tidak setuju atas pernikahan tersebut.
Salah satu adik pak Bei, Raden Ngabehi Sestrodiningrat mengalami kesulitan
hidup. Semua harta benda habis dijual tidak terkecuali juga rumahnya. Pada suatu
kesempatan
Raden
Ngabehi
Sestrodiningrat
bersama
istrinya
datang
ke
Sestrokusuman sambil menangis, mengadukan nasibnya. Pak Bei tetap bersikap baik
201
pada adiknya tersebut. Bahkan sikapnya sangat mencerminkan sebuah budi luhur. Hal
itu tergambar dalam kutipan di bawah ini:
Saya pasrah bongkokan, Kangmas.
Pak Bei masih merasakan sakitnya ketika ia dikucilkan.
Akan tetapi ia kakak yang baik. Ia berkata kepada istrinya agar
mencarikan rumah buat adiknya.
Rumah yang pantas.
Dan bu Bei melakukan itu. Melakukan pembelian rumah
di Jalan Gading Kidul, sekitar satu kilometer sebelah selatan
pintu gerbang Keraton. Cukup dekat, akan tetapi juga jelas
bahwa tak berada dalam lingkungan Keraton lagi. Rumah itu
masih tetap rumah yang terbaik, paling kuat bangunannya, dan
bertingkat.
(Canting: 128-129)
Bu Bei ternyata juga bisa mengimbangi sikap budi luhur pak Bei. Pada
kesempatan lain, Raden Ngabehi Sestrosunu (adik pak Bei yang lain, yang bernama
kecil Darnoto) juga datang ke rumah bersama istrinya. Maksud kedatangannya tidak
jauh beda dengan Raden Ngabehi Sestrodarsono yang bernama kecil Darmasto.
Raden Ngabehi Sestrosunu hendak menjual rumahnya karena juga mengalami
kesulitan hidup. Di bawah gambaran budi luhur bu Bei dan pak Bei:
Apa kata orang nanti kalau aku membeli rumahmu?
Sekali lagi bu Bei menunjukkan jiwa besarnya sebagai
kakak ipar. Uang seharga rumah diberikan, akan tetapi suratsurat tak pernah disebut-sebut.
Aku memang yang tertua dan pantas menjadi pelindung
keluarga. Akan tetapi aku tak pernah menyangka bahwa ini yang
akan kualami. Kami menerima warisan yang sama.
Mereka tahu, tangan mana yang bekerja, itu yang layak
memuluk, menyuap nasi ke mulut. Bukan tangan yang
menggengam.
(Canting: 129-130)
202
Budi luhur pak Bei juga dirasakan oleh buruh-buruh batik di Sestrokusuman.
Pasca banjir besar, pak Bei menunjukkan kepedulian yang luar biasa dengan orangorang yang tinggal di lingkungan kebon. Pak Bei meninjau, memberi makanan,
bahkan memberikan tindakan preventif terhadap penyakit. Di bawah gambaran budi
luhur yang merupakan sikap dari pak Bei:
Wagiman lebih bisa mengingat peristiwa itu
dibandingkan dengan kraman, bakar-bakaran, dan bunuhbunuhan. Lebih mengingat bahwa pak Bei esok harinya
meninjau yang ada di kebon dengan drum minyak tanah
setengah kosong. Memberi beras, menyuruh membuat bubur,
menyuruh Jimin mencari kelapa untuk diambil airnya, memberi
telur, memberi susu untuk Genduk dan adiknya, memberi
minyak tanah untuk digosokkan di tubuh agar tidak masuk
angin, menyuruh mengambil pisang, sawo, menyuruh
mengawasi barang-barang, memberikan selimut, membagi
rokok, meminjamkan radio kecil untuk hiburan.
(Canting: 160)
Tokoh yang memiliki budi luhur tidak hanya pak Bei dan bu Bei. Buruh batik
yang bernama pakde Karso dan pakde Wahono juga memiliki sikap budi luhur.
Mereka rela ditahan di kantor polisi selama satu minggu demi menutupi kebohongan
Lintang, salah satu anak pak Bei. Waktu itu Lintang membutuhkan sejumlah uang
untuk dikirimkan kepada calon suaminya Letnan Pradoto yang sedang promosi
jabatan.
Pakde Karso dan pakde Wahono yang dipercaya pak Bei dibagian pengiriman
barang ditangkap polisi. Mereka menggelapkan kiriman batik ke Surabaya dan
Madiun sebanyak 60 potong. Semuanya batik halus. Budhe Karso dan Budhe
203
Wahono diusir dari kebon. Kedua buruh itu menjalani dengan ikhlas tanpa mau
membela diri. Padahal yang sebenarnya bersalah adalah Lintang.
Kebohongan Lintang diketahui secara tidak sengaja ketika Jimin menemukan
kuitansi penjualan. Dari kuintansi itu terdapat keterangan bahwa uang yang
menggunakan Lintang, bukan pakde Karso dan pakde Wahono. Kedua buruh batik itu
tidak mengambil sepeser uang pun. Bahkan titipan sepeda pun dia keluarkan dari
uang pribadi. Di bawah ini kutipan yang menjelaskan peristiwa itu:
Ni tahu bahwa pakde Karso dan pakde Wahono
sebenarnya tidak mencuri enam puluh potong batik halus. Batik
pesanan Madiun dan Surabaya itu tidak dikirimkan, melainkan
dijual di sebuah toko di Coyudan. Dengan harga miring.
Duitnya dikirimkan melalui pos wesel. Dari resi yang
diketemukan, duit itu dikirimkan kepada waktu itu Letnan
Pradoto. Nama pengirimnya ialah Lintang Dewanti.
Hal ini diketahui pak Bei secara tidak sengaja. Ketika ia
menyuruh Jimin menggeledah dan mencari tahu ke mana larinya
uang. Jimin tak menemukan sesuatu yang berharga di rumah.
Kecuali kertas resi yang disimpan hati-hati. Bahkan istri mereka
pun tidak tahu.
Semua jumlahnya cocok dengan yang diterima dari toko.
Tidak berkurang satu rupiah pun. Tidak juga membayar titipan
sepeda. (Canting: 242)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap Budi luhur sebagai warna
lokal Jawa dapat dijumpai dalam novel Canting. Sikap budi luhur yang ditandai
dengan adanya usaha oleh manusia untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat
dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tokoh-tokoh novel ini
menampilkan pribadi budi luhur dengan cara suka menolong sesama tanpa
mengharapkan imbalan, bahkan jiwanya siap dikorbankan.
204
205
ditiup dengan napas dan perasaan oleh para buruh batik, menjadikannya sebuah
masterpiece, karya terbesar, warisan budaya yang adiluhung dari Tanah Jawa
2) Adanya golongan priyayi dan golongan wong cilik
Novel ini menceritakan adat Jawa yang pada saat itu masih menjunjung
nilai lapisan-lapisan dalam masyarakat sehingga memberikan deskriminasi
terhadap kesenjangan masyarakat golongan bawah. Strata golongan masyarakat di
Jawa terbagi dua yaitu golongan priyayi yang terdapat pada lingkungan keraton
yang bernama Ndalem Ngabean Sestrokusumo, sebagaimana yang disampaikan
Koencoroningrat (1984: 289) bahwa yang menduduki jabatan bendoro adalah para
pegawai keraton, seniman keraton, ahli kesusasteraan, penari, pencipta tari, dan
pamong praja. Sedangkan golongan wong cilik terdapat pada lingkungan
masyarakat pada umumnya yang diwakili oleh para buruh dalam novel ini
merupakan buruh batik.
Pengarang menceritakan kehidupan lingkungan keraton yang mana di
dalamnya ada suatu jarak antara golongan priyayi dan wong cilik. Biasanya dalam
memilih jodoh kaum priyayi akan memilih jodoh dengan golongan priyayi
juga. Jika tidak maka akan dikucilkan dari keluarga. Seperti halnya Pak Bei yang
dikucilkan dari keluarga setelah menikah dengan Tuginem istrinya gadis desa anak
buruh petani. Kaum priyayi juga tidak diperkenankan untuk menjual langsung
karena akan menurunkan derajatnya.
3) Adanya tata cara berbau tahayul atau mistik
206
Agama islam di Jawa dibagi dua yaitu Jawa kejawen atau abangan dengan
keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung mistik. Kedua agama
islam santri yaitu islam di Jawa yang dekat dengan aturan-aturan agama sesuai
dengan alquran. Dalam novel Canting terdapat golongan Jawa kejawen yang
percaya adanya kekuatan mistik dan percaya pada dukun.
Pak Bei akhirnya menemui dukun yang terkenal itu. Bukan
untuk mengurus Minah. Untuk menguruas dirinya sendiri.
Untuk menanyakan bibit siapa yang ada dalam kandungan
istrinya. Pak Bei memberikan uang, ayam putih, dan segala
perlengkapan, termasuk tanggal lahirnya, tanggal lahir bu bei,
asal usul, dan segala yang ditanyakannya,(Canting:65).
4) Gotong royong: sebagai wujud kerukunan masyarakat
Kerukunan terjadi memiliki tujuan agar di dalam masyarakat tercipta
lingkungan masyarakat yang harmonis. Pada novel Canting kerukunan ditemukan
pada saat mengalami banjir melanda kota Solo. Para buruh mengagumi sikap Pak
Bei yang beusaha keras menggerakan bekerja keras gotong royong dalam
mengatasi bahaya banjir.
5) Sopan Santun Berbahasa: Sikap Hormat Kepada yang Lebih Tua
Sikap seseorang dapat dilihat dari cara berbicara. Dalam hal ini bahasa
memainkan peran yang sangat penting karena menandakan kesadaran akan
kedudukan sosial dan menunjukan sikap tata krama.
Urutan kastanya masih si atasnya. Sehingga Darmasto yang
Ngabean ini berbahasa Jawa halus, karma inggil pada istrinya
sendiri. Mereka berdua adalah pasangan yang dibanggakan
orang tua... (Canting :117).
207
dusun
ngruwat,
janji
kaul,
dan
upacara
ganti
nama.
Dalam
208
procotan, dsn tedak sinten. Upacara kematian meliputi pendhak pisan, pendhak
pindho, dan selamatan kelulusan.
7) Pasrah dalam Menghadapi Perubahan Zaman
Cara menghadapi permasalahan tentang perubahan dan pergeseran nilai
yang mengalir ke dalam kenyataan, tanpa protes karena menyadari nilainya yang
lebih bermakna.
Budaya yang kalah tak lebar langkahnya. Budaya yang kalah
tak banyak berubah dengan menjerit atau menguji
keagungannya. Malah akan lemah pada saat membanggakan.
(Canting: 374 ).
Dalam novel ini pengarang juga menceritakan tradisi daerah Solo pada
masa itu dimana kebanyakan wanitalah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari di pasar klewer dengan menjual batik. Suami hanya menerima
hasilnya saja, wanita lebih berperan dalam mencari nafkah. Perempuan dalam
cerita ini digambarkan sama dengan laki-laki mampu bekerja keras.
Novel Canting ini awalnya menceritka wanita bukanlah siapa-siapa yang
tugasnya hanyalah mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya. Namun dengan
adanya Pasar Kelewer memberikan suatu yang sangat berharga karena dengan
adanya Pasar Kelewer dapat memberikan suatu kebebasan berkarya dan berkarir.
Pasar Kelewer bukan hanyalah sebuah pasar yang setiap pagi dan siang ramai
dikunjungi penjual dan pembeli ketika malam hilang dimakan kesenyapan,
menurut para wanita, Pasar Kelewer adalah jati diri mereka, dan hasil jerih payah
itu mereka pun mampu menghidupi keluarganya, walaupun begitu mereka tidak
209
melupakan asal mereka yaitu sebagai ibu rumah tangga yang suatu saat melayani
anak-anaknya dan suaminya.
c.
Analisis nilai pendidikan sosial budaya dalam novel Canting penulis fokuskan
pada analisis etika wong gedhe dan etika bagi wong cilik. Dalam kehidupan sosial
dalam novel Canting, baik orang-orang yang tergolong priyayi (wong gede) dan
orang-orang yang tergolong abdi dalem (wong cilik) memiliki etika sebagai berikut:
1)
Rajin Bekerja
Bu Bei yang mengalami transformasi status dari wong cilik menjadi wong
gedhe memiliki sifat rajin bekerja untuk mendapatkan kemuliaan hidup. Bu Bei
menyadari statusnya sebelum diperistri oleh pak Bei. Implementasi rajin bekerja
dalam kehidupan berumah tangga ia mewujudkan dengan ketulusan menjadi istri dan
ibu rumah tangga yang baik.
Bu Bei seorang ibu rumah tangga yang tidak suka berpangku tangan. Selesai
mengerjakan urusan rumah tangga, Ia membagi tugas untuk para buruh batik, baru
berangkat ke pasar Klewer. Sifat rajin bekerja bu Bei untuk mendapatkan kemuliaan
hidup dalam kehidupan sosial dapat dicermati dalam kutipan di bawah ini:
Setelah selesai dan membereskan meja, bu Bei pamit
kepada pak Bei yang biasanya dijawab dengan deheman kecil,
atau diam saja kalau lagi kurang suka. Dan bu Bei berjalan
melalui ruang dalam, melewati pendapa, melewati halaman yang
bersih dari daun-daun sawo kecik, menuju pintu gerbang. Tiga
becak telah menunggu.
(Canting: 38)
210
211
Sifat rajin bekerja ditunjukkan oleh salah satu buruh batik bernama Wagiman.
Wagiman yang semula pekerjaannya mencuci dan menyapu karena ketekunan dan
kerja kerasnya ia dipercaya sebagai carik batik. Sebuah posisi tertinggi di antara para
buruh batik di Sestrokusuman. Di bawah ini kutipan yang menjelaskan hal itu:
Wagiman memulai bekerja seperti yang lainnya.
Membantu mencuci, membantu menyapu, sampai kemudian
diperbolehkan membuat pola. Mola, atau membuat pola, tidak
segagah namanya karena yang dilakukan hanyalah membuat
garis-garis dasar dengan pensil tebal pada kain mori yang putih.
(Canting: 138-139)
Wagiman mulai dari itu, sampai kemudian setelah
hampir sepuluh tahun, dipercaya nyarik, atau menjadi carik.
Pekerjaan yang paling tinggi di antara para buruh. Dalam pabrik
batik, hanya beberapa orang dipercaya nyarik.
(Canting: 139-140)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rajin bekerja untuk mendapatkan
sebuah keberhasilan terdapat dalam novel Canting. Rajin bekerja merupakan bagian
dari nilai-nilai sosial budaya yang harus dilakukan seseorang untuk mendapatkan
kemuliaan hidup.
2)
suka membantu menjaga ketenteraman negara. Pak Bei salah satu tokoh utama novel
Canting yang pernah merasakan pahitnya perjuangan. Ketika perang kemerdekaan ia
212
turut memanggul senjata. Begitu pun ketika perang kemerdekaan usai pak Bei juga
turut nguri-nguri kebudayaan Jawa. Menjaga kelestarian budaya berarti juga
membantu menjaga ketenteraman negara.
Kegiatan nguri-nguri kebudayaan Jawa dilakukan oleh pak Bei dengan
komunitasnya. Kegiatan itu diselenggarakan tiap 35 hari sekali pada malam Jumat
Kliwon. Salah satu agenda pertemuan malam Jumat Kliwon adalah membicarakan
kebudayaan Jawa. Di bawah ini kutipan yang menggambarkan kegiatan tersebut:
Ide pertemuan setiap hari Jumat Kliwon dimulai dari
Ndalem Tumenggungan. Kanjeng Raden Tumenggung
Sosrodiningrat mengumpulkan kerabatnya setiap 35 hari sekali,
tepat hari Jumat Kliwon, untuk membicarakan kebudayaan
Jawa. Tadinya pertemuan itu bernama Ngrumpaka Kabudayan
Jawi, tetapi lalu disederhanakan, atau dimasyarakatkan, dengan
bahasa yang tidak terlalu tinggi, yaitu nguri-nguri Kabudayan
Jawi.
(Canting: 17)
Disepakati pula bahwa pertemuan malam Jumat Kliwonan diselenggarakan di
Taman Ronggowarsito, Njurug, Solo. Tempat ini dipilih karena memiliki alasan nilai
sosial yang tinggi. Selain sederhana, pertemuan itu bisa memberi bantuan kepada
masyarakat kecil sekeliling untuk menjual teh, makanan kecil, atau yang lainnya.
Nilai sosial pertemuan itu dapat dicermati dalam kutipan berikut:
Pak Bei yang memelopori pertemuan di Njurug. Tepi
Bengawan Solo yang redup gelap tiba-tiba disulap menjadi
tempat pertemuan yang hidup. Dalam keremangan itu, para
kerabat berkumpul. Menyewa tikar, membayar beberapa
pedagang teh, membayar bagian keamanan, serta mengundang
grup kesenian keliling. Tak bisa dihalangi kemudian, beberapa
penjual nasi liwet, penjual cambuk rambak, dan penjaja yang
lain ikut berdatangan meramaikan suasana.
(Canting: 19)
213
Ketika ontran-ontran politik tahun enam puluhan, pak Bei tidak larut dalam
suasana menghujat pemerintah. Beberapa teman komunitas Jumat Kliwonan ada yang
selalu memojokkan dirinya sebagai orang yang feodal dan kapitalis tapi pak Bei tidak
bergeming. Ia berdiri dalam satu tekad mendukung pemerintah. Keteguhan prinsip
pak Bei turut membantu menjaga ketenteraman negara membawanya dalam posisi
aman.
Teman-teman pak Bei beberapa mati terbunuh dan tidak sedikit yang masuk
penjara. Peristiwa mengerikan itu sengaja tidak diceritakan pak Bei pada buruh
batiknya. Hal ini dilakukan agar mereka tenteram. Tapi, bagaimanapun mereka
akhirnya mendengar juga.
Wagiman mengeloni anak dan istrinya di malam hari.
Seperti yang lainnya. Hanya itu yang bisa dilakukan. Ia
mendengar Kanjeng Raden Tumenggung Reksopraja ditangkap.
Dibunuh.
Mendengar
Kanjeng
Raden
Tumenggung
Sosrodiningrat dicabuti kumisnya yang putih, lalu kedua
tangannya diikat ke belakang. Ibu jarinya diikat, lalu ia
ditembak di depan tanah galiannya sendiri.
(Canting: 152)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ikut membantu menjaga
ketenteraman negara terdapat dalam novel Canting. Membantu
menjaga
ketenteraman negara merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya. Aktivitas itu
dilakukan oleh pak Bei dengan berbagai cara diantaranya mengadakan kegiatan
nguri-nguri kebudayaan Jawa dan tidak ikut kegiatan politik yang menentang
pemerintah.
d. Nilai Pendidikan Religius dalam Novel Canting
214
215
agama tidak tepat kalau diperdebatkan. Menurutnya agama itu untuk diterima.
Kutipan di bawah ini gambaran sikap pak Bei terhadap kepercayaan yang dianut:
Agama itu bukan untuk diperdebatkan seperti itu. Agama
itu untuk diterima. Mau menerima atau tidak. Kita bisa
menerima atau menolak kalau kita punya sikap pasrah.
Pasrah itu bukan mencari, tetapi menerima.
Ismaya kemudian mau belajar dan akhirnya punya nama
baptis nama baptis Felix. Mudah-mudahan bukan karena aku,
melainkan karena ia merasa bahwa itu yang terbaik baginya.
Meskipun aku tak menolak bahwa di rumah ini segalanya
berpusat padaku. Aku kepala rumah tangga, aku adalah raja
yang berkuasa sepenuhnya. Ya, inilah tradisi kita. Tradisi Hindu
yang ada sejak zaman raja-raja di Jawa berpaling kepada dunia
pertanian.
(Canting: 250)
Adat dan tradisi Jawa sangat melekat dalam kehidupan pak Bei. Ketika bu
Bei meninggal upacara yang dilaksanakan untuk mengurus jenazah bu Bei sampai
pemakaman menggunakan adatt dan tradisi Jawa. Semua yang berkaitan dengan
selamatan sudah disiapkan orang-orang belakang, salah satunya mbok Tuwuh.
Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan ditangani sendiri oleh pak
Bei.
Pak Bei sendiri yang naik ke atap, dan membuka
beberapa genting.
Karena Bu Bei meninggal hari Sabtu, dan menurut
kepercayaan orang yang meninggal hari Sabtu lebih suka
mengajak anggota keluarga yang lain. Maka, untuk
menangkalnya. Dibukakan genting agar nanti pada selamatan
empat puluh hari, sukmanya bisa lepas ke langit tingkat tujuh
melalui lubang tersebut.
(Canting: 269)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novel Canting karya
Arswendo Atmowiloto terdapat nilai-nilai religiusitas. Religiusitas yang terdapat
216
dalam novel tersebut berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Seperti sikap
terbuka pak Bei terhadap anaknya yang berpindah agama. Juga adat tradisi Jawa yang
menyertai kehidupan pak Bei sehari-hari. Prinsipnya tidak adak penuturan religiusitas
yang berkaitan hubungan manusia dengan Tuhan secara kenthal dalam novel tersebut.
4. Implementasi Hasil Penelitian sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di
SMA
Pembelajaran sastra novel Canting dapat menjadi sarana pengembangan daya
nalar siswa. Dalam rangka menumbuhkembangkan daya nalar dan kreativitas berpikir
siswa, penekanan pembelajaran sastra di sekolah harus dapat menumbuhkan, melatih,
dan meningkatkan kemampuan apresiasi keratif secara langsung, dalam arti langsung
memperlakukan karya sastra. Karenanya, pembelajaran yang bersifat tak langsung,
umumnya bersifat teoritis dan historis, hanya merupakan alat bantu untuk menunjang
kemampuan apresiasi kreatif secara langsung.
Penerapan kurikulum 2013 diharapkan memberi kontribusi yang signifikan
terhadap pembalajaran sastra. Kurikulum 2013 diharapkan dapat berpengaruh besar
menciptakan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif melalui penguatan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang terintegrasi. Bentuk penilaian inilah yang sering
dimunculkan dalam kurikulim 2013 dengan penilaian autentik dengan pendekatan
Saintifik (mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membentuk jaringan).
Pemilihan bahan (materi) dan pemberian tugas hendaknya dilakukan dengan
mempertimbangkan perkembangan kejiwaan dan kognitif siswa. Sedangkan penilaian
hasil belajar kesastraan hendaknya tak hanya mencakup ranah kognitif saja,
217
melainkan juga afektif dan psikomotoris. Dalam evaluasi, tes harus mencakup aspek
informasi, konsep, perspektif, dan apresiasi. Dalam pembelajaran sastra, guru
hendaknya sudah merencanakan persiapan dengan matang bahan atau materi serta
prosedur-prosedur apa yang akan ditempuh dalam pengajaran. Bila rinci dalam bagan
sebagai berikut:
Novel Canting
Sarana Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia Kurikulum 2013
Pendekatan
Apresiatif
Materi Standar
Kelulusan
Afektif
Evaluasi
Kognit
if
Pskmtrk
218