Anda di halaman 1dari 111

108

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Sosiohistoris Arswendo Atmowiloto
a.

Biografi
Orang tuanya memberi nama Sarwendo, tetapi sejak Ia menjadi penulis lebih

dikenal dengan nama Arswendo Atmowiloto. Ia lahir di Solo, 26 November 1948,


merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Kasih sayang ayahnya pupus
selamanya semenjak Ia masih kecil. Atmowiloto adalah nama ayah tercintanya.
Sewaktu kecil Ia bercita-cita menjadi dokter, menurutnya seorang dokter
sebagai orang yang terhormat dan kaya. Ia ingin hidup lebih baik dari ayahnya, yang
bekerja sebagai pegawai golongan II c di balai kota Surakarta. Tidak terlintas olehnya
untuk menjadi pengarang, walaupun Ia gemar menulis. Situasi keluarga tidak
memungkinkan keinginan tersebut, apalagi setelah ayahnya meninggal. Kehidupan
sepeninggal ayahnya terasa semakin berat.
Ketika Arswendo duduk di kelas 2 SMA Negeri 2 Surakarta, Ia mencoba
menulis cerpen. Hal ini diilhami karena Ia jatuh cinta dengan adik kelasnya, Bintarti.
Cerpen tersebut dimuat di mingguan Gelora Berdikari, Solo. Berawal dari sinilah
Arswendo kemudian mulai rajin menulis cerita berbahasa Jawa.

109

Karya-karyanya banyak diminati oleh majalah berbahasa Jawa, seperti: Mekar


Sari, Jayabaya, Penyebar Semangat, Dharma Kanda, Dharma Nyata, dan Parikesit.
Pada kesempatan lain Ia mencoba menulis cerita berbahasa Indonesia. Sleko adalah
cerpen berbahasa Indonesia pertama dimua di koran Bahari, Semarang. Sleko adalah
nama sebuah jalan di dekat stasiun Tawang, Semarang tempat Ia menemukan ide
untuk menulis. Menulis cerita berbahasa Indonesia ternyata banyak peluang untuk
dimuat. Mulai saat itu Ia lebih menyukai nama Arswendo Atmowiloto yang dulunya
Sarwendo.
Arswendo sempat merasakan kuliah di IKIP Surakarta. Baru tiga bulan kuliah,
Ia kebingungan membayar uang kuliah, akhirnya Ia mengundurkan diri. Perjuangan
hidupnya yang berat membuatnya tumbuh menjadi sosok yang mandiri. Ia mencoba
bekerja menjadi korektor di mingguan Dharma Kanda. Tidak lama kemudian Ia
beralih di mingguan Dharma Nyata.
Kegemaran menulis Arswendo terus berlanjut. Ia dikenal melalui majalah anak
Sri Kuncung karena cerita cerita anak yang dihasilkannya. Di sisi lain, pada tahun
1967 Ia juga aktif menghidupkan bengkel sastra di Solo. Ia menjadi salah satu pendiri
dan pemimpin bengkel tersebut. Bengkel sastra adalah sebuah group untuk calon
pengarang yang didirikan oleh Pusat Pengembangan Kesenian Jawa Tengah.
Pada tahun 1971, Ia menikah dengan Agnes Sri Hartini. Perkawinan yang
bahagia dengan hadirnya tiga orang anak. Ia dengan segala keyakinannya bertekad
menerjunkan diri secara total dalam dunia kepengarangan. Keinginannya ini
diwujudkan dengan keseriusannya bekerja di media cetak. Tahun 1973 bersama

110

dengan Yulius Siyara, Arswendo mencoba bekerja di majalah Astaga, Jakarta.


Sayang, baru tiga bulah berjalan usahanya bangkrut. Arswendo akhirnya melamar ke
majalah Midi yang akhirnya berubah nama menjadi Hai. Di tangan Arswendo inilah
majalah Hai berkembang pesat. Untuk menghidupi keluarganya, selain jadi penulis Ia
menjadi redaktur majalah Hai dan wartawan Kompas.
Imajinasi Wendo, begitu Ia dipanggil, ternyata mengalami penajaman. Hal
inilah yang menyebabkan Ia menjadi seorang penulis yang produktif. Arswendo juga
cukup peka dengan kejadian yang menimpa seseorang dalam situasi tertentu. Intuisi
sastranya mengalir lancar dan terlatih baik. Ia mampu mengekspresikan lewat narasi
yang memaksa pembaca untuk berkonsentrasi penuh terhadap jalan ceritanya. Hingga
saat ini sudah ratusan cerita pendek lahir dari tangannya. Ia pun menulis novel,
naskah drama, dan cerita silat.
Wendo pernah mengikuti International Writing Program pada tahun 1979
dengan beasiswa dari kedutaan besar Amerika Seriktat. Setelah lulus dari IOWA State
University inilah muncul gagasan untuk menghadirkan sebuah bacaan ringan untuk
konsumsi masyarakat menengah ke bawah. Bacaan ini berupa tabloid yang diberi
nama monitor.
Monitor yang didukung oleh kelompok Kompas-Gramedia ini mampu merebut
perhatian masyarakat. Namun untuk perjalanan selanjutnya ternyata mengantarkan
Wendo ke dalam penjara. Salah satu kolom majalah itu telah menimbulkan
kemarahan umat islam di Indonesia. Pada tanggal 28 Nopember 1991 Wendo resmi
menjadi narapidana di rumah tahanan Salemba dan pada bulan Maret 1992 Ia

111

dipindah ke lembaga pemasyarakatan Cipinang Jakarta Timur. Ia menerima bebas


bersyarat sejak tanggal 19 Agustus 1993 dan berakhir tanggal 25 Maret 1996.
Selama dalam penjara Arswendo berusaha untuk melakukan perenungan dan
penilaian terhadap situasi penjara, sistem hukum dan bahkan makna kepahitan hidup.
Kepiawaiannya menulis dan kecerdasannya berhumor sama sekali tidak memudar
meskipun Ia harus mendekam dalam penjara. Dengan gayanya yang khas, Wendo
mampu mengungkapkan perjalanan hidupnya dalam penjara. Ini merupakan salah
satu kelebihannya yaitu mampu menangkap dan mengolah apa yang ada disekitarnya
kemudian mengekspresikannya dalam sebuah cerita.
Pengalaman hidup selama dalam penjara memberikan banyak ilmu dan
inspirasi. Ia menghasilkan banyak buku. Salah satu karyanya selepas dari penjara
adalah Menghitung Hari. Buku ini merupakan anekdot yang berisi tentang kejadiankejadian yang dialami Wendo selama di penjara. Buku ini juga telah diangkat menjadi
sebuah sinetron dan berhasil meraih penghargaan sebagai sinetron terbaik Festival
Sinetron Indonesia tahun 1995.
Novel lain yang tidak kalah menarik adalah novel Projo dan Brojo. Melalui
novel ini Ia mengungkapkan berbagai psikologis yang dialami oleh seorang
narapidana. Pengalaman kejiwaan Arswendo sebagai narapidana dituturkannya secara
ekspresif dengan ide kepengarangannya yang tajam. Ia juga menyampaikan kritik
sosial terhadap kehidupan penjara. Hal itu merupakan wujud tanggung jawab moral
Arswendo sebagai sastrawan, yang salah satu tugasnya adalah mengadakan control
sosial.

112

Pengalaman hidupnya dalam menghadapi kasus Monitor membuatnya mampu


melihat kondisi di sekelilingnya. Ia mengambil hikmah dari kejadian tersebut.
Sebagai bukti Ia dengan tabloid Aura mengembangkan jurnalisme kasih sayang.
Hadirnya tabloid ini diilhami ketabahan dan kesetiaan sang istri ketika harus menantu
suaminya yang tengah berada di penjara. Kekaguman terhadap sang istri juga
diabadikan lewat novel Sudesi. Menurut Wendo istrinya adalah seorang yang luar
biasa dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Arswendo saat ini menjadi General
Manager PT Subentra Citra Media, sebuah perusahaaan pers yang menerbitkan
Tabloid Bintang Indonesia, Fantasi, dan Dangdut.
Penghargaan yang diperoleh dari sayembara yang diikutinya antara lain dari
dewan Kesenian Jakarta, untuk kategori novel adalah Balade Bukit Gundul dan
Bayang-bayang Baur (1972). Untuk kategori sandiwara anak-anak adalah Sang
Pemahat (1976). Sedangkan dari TVRI adalah naskah sandiwara yang berjudul Surat
dari Jakarta pada bulan ketiga (1974). Dari majalah Femina adalah novelet Saat-saat
kau Berbaring di Dadaku (1979). Novelet Namaku Diktat (1980) meraih Zakse Prise
dari majalah Kartini.
Sebagai pengarang yang produktif, Arswendo telah banyak menerbitkan hasil
karya. Sejak tahun 1967 sampai sekarang Arswendo terus berkarya. Adapun karyanya
berupa novel, esai, naskah sandiwara atau film. Selain itu Ia menulis banyak cerita
pendek yang diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerpen. Untuk lebih jelasnya akan
dipaparkan sebagai berikut :

113

1) Novel
Karya Arswendo atmowiloto antara lain : a) Bayang-Bayang Baur (1977), Nusa
Indah, Ende, Flores.b) The Circus (1977), Nusa Indah, Ende, Flores.c) Semesra
Merapi Merbabu (1979), Cy Press. d) 2x Cinta (1978), Singa Mas. e) Saat-Saat Kau
Berbaring di Dadaku (1979), Majalah Femina, Jakarta. f) Martubi dan Juminten
(1980), Gramedia, Jakarta.g) Namaku Diktat (1980), Majalah Femina, Jakarta. h) Dua
Ibu (1981), Yayasan Buku Utama, Jakarta.i) Canting (1986), Gramedia, Jakarta.j)
Menghitung Hari (1993), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. k) Abal-Abal (1994),
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. l) Auk (1994), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. m)
Projo dan Brojo (1994), Subentra Citra Pustaka, Jakarta. n) Oskep (1994), Pustaka
Utama Gragiti, Jakarta. o) Berserah Itu Indah(1995), Subentra Citra Pustaka, Jakarta.
p) Khotbah di Penjara (1995), Subentra Citra Pustaka, Jakarta.
2) Novel Anak-anak dan Remaja
Karya Arswendo atmowiloto antara lain: a) Lawan jadi Kawan (1973), Badan
Penerbit Kristen. b) Anis dan Herman (1974), Pustaka Press, Jakarta. c) Moko
(1974), Indra Press.c) Ayam Jago si Dul (1974), Badan Penerbit Kristen. d) Pencuri
Aneh (1975), Anis Lima. e) Penyiletan Gadis Cantik (1979), Gramedia, Jakarta. f)
Pembajakan Pesawat Terbang (1979), Gramedia, Jakarta. g) Haji Palsu (1979),
Gramedia, Jakarta. h) Korbannya Seorang Pramuria (1979), Gramedia, Jakarta. i)
Tamu dari Jauh (1980), Gramedia, Jakarta. j) Matinya Raja Batik (1980), Gramedia,
Jakarta.k) Operasi Lintah (1980), Gramedia, Jakarta. l) Kutunggu di Pinostiner
(1980), Gramedia, Jakarta. m) Jangan Sakiti Foxi Terri (1980), Gramedia, Jakarta. n)

114

Selamatkan Bayi Kami (1980), Gramedia, ,Jakarta. o) Bangkit dari Kubur (1980),
Gramedia Jakarta. p) Berani Merantau (1975), Agus Press. q) Jail Anak Asrama
(1975), Aries Lima. r) Anak-anak Kereta Api (1975), Agus Press. s) Pesta Jangkrik
(1976), Astan. t) Mengapa Bibi Tak ke Dokter (1978), Rosda. u) Kadir (1976), Nusa
Indah, Ende, Flores. v) Lapangan Terbang Lokasis (1976), Aries Lima. w) Ito (1977),
Pustaka Jaya, Jakarta. x) Kapten Bola (1977), Pustaka Jaya, Jakarta. y)Kisah Raja
Bijaksana (1977), Pustaka Jaya, Jakarta. z) Darah Nelayan (1978), Gramedia, Jakarta.
dst.
3) Naskah Sandiwara atau Film
Karya Arswendo atmowiloto antara lain: a) Bayiku yang Pertama (1972) , b)
Penantang Tuhan (1972), c) Sang Pangeran (1972), d) Surat dari Jakarta pada Bulan
Ketiga (1974), untuk TVRI. e) Sang Pemahat (1976), Naskah Sandiwara Anakanak.f) Menghitung Hari (1995), diangkat dari novel dengan judul yang sama,
berhasil menjadi pemenang dalam festival Sinetron Indonesia tahun 1995 untuk
kategori naskah sinetron terbaik. g) Dongeng Dangdut (1996), skenario ini ditulis
selepas dari lembaga pemasyarakatan dan ditayangkan oleh Televisi Pendidikan
Indonesia.
4) Karya Lain
Karya Arswendo atmowiloto antara lain Buyung Hok dalam Kreativitas
Kompromi (1972), esai mengenai sosial budaya, meraih penghargaan Zakse Prise. b)
Kumpulan cerpen : Surat dengan Sampul Putih (1980), Gramedia, Jakarta. c) Seri

115

Novel : Sudesi (1994), Subentra Citra Pustaka, Jakarta. d) Kumpulan Puisi: Sebutir
Mangga di Halaman Gereja (1995), Subentra Citra Pustaka.
b.

Latar Belakang Arswendo Atmowiloto


Berdasarkan uraian tentang riwayat hidup Arswendo dan karya-karyanya

dapat

diketahui

bahwa

pengalaman-pengalaman

yang

merupakan

sejarah

kehidupannya sangar berperan dalam kariernya sebagai pengarang. Hubungan


riwayat hidup pengarang dan hasil karya seseorang dapat mengarahkan pandangan
dalam proses penciptaan dan aspek generatif sebuah karya sastra. Latar belakang
sosial budaya pengarang juga dapat menentukan wujud dan isi sebuah karya sastra.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehadiran sebuah karya sastra tidak
lepas dari latar belakang sosial budaya pengarangnya. Oleh karena itu untuk
mengetahui makna secara utuh terhadap karya sastra diperlukan pemahaman terhadap
latar belakang sosial budaya pengarannya.
Demikian juga dengan Arswendo dalam karya-karyanya baik yang berupa
cerpen, novel, naskah film, atau karya yang lainnya banyak yang menyangkut
kehidupan masyarakat yang telah akrab digelutinya, yaitu masyarakat kecil dengan
segala problematikanya. Hal ini dapat dihubungkan dengan latar belakang kehidupan
Arswendo yang sejak kecil selalu berjuang hidupa dalam kemisikinan.
Dalam karya-karyanya Arswendo banyak menampilkan tokoh-tokoh yang
berlatar belakang budaya Jawa. Sikap hidup orang Jawa merupakan manifestasi dari
filsafat hidupnya yang mengutamakan hubungan mesra antara manusia dengan
Tuhan, hubungan sesama manusia, dan alam sekitar yang selaras. Di sisi lain,

116

Arswendo juga mengangkat kehidpan masyarakat kecil sebagai materi kdalam karyakaryanya. Hal ini selaras dengan keberadaan dirinya yang lahir dan besar di Solo dan
berasal dari komunitas miskin.
Arswsendo sadar dengan tanggung jawab moral sebagai sastrawan yang
bertugas melakukan kontrol sosial. Novel Canting adalah wujud kepeduliannya,
novel yang memilih larar Kota Solo ini sangat kental dengan unsur budaya Jawa.
Arswendo mencoba menggambarkan kehidupan keluarga Jawa yang sangat khas,
lengkap dengan simbol dan tradisi keningratannya. Dalam novel ini ditampilkan
sosok wanita Jawa yang ideal, yang dalam situasi berbeda dapat berperan sama
baiknya.
Potret kehidupan masyarakat kecil dengan segala problem yang dihadapinya
dapat ditemukan dalam novel Auk hasil karyanya. Persoalan yang di dalamnya
menyangkut rasa kemanusiaan dan kepekaaan sosial terhadap sesama manusia
tampak menukik tajam dalam karya tersebut. Lewat novel ini Arswendo
menyampaikan beberapa kritik sosial.
Waktu terus bergulir, Arswendo yang dulu berasal dari komunitas yang miskin
dan kini menjadi eksekutif top. Ia kini dikenal sebagai pengarang yang produktif dan
menduduki posisi penting dalam dunia pers, yaitu sebagai konsultan media massa.
Keberhasilan yang diperoleh dengan perjuangan yang tidak sederhana. Bahkan
peristiwa

paling

pahit

yang

sempat

mengguncangkan

kehupannya

dalam

bermasyarakat, yaitu saat dirinya harus masuk penjara karena kasus Monitor. Sebuah
kasus yang dialami dari kegemarannya berhumor yang berubah menjadi horor, seperti

117

penuturannya pada Cempaka (1988: 8), Semula saya hanya ingin berhumor saja,
belakang niat baik saya berubah jadi horor dan menyeret saya ke penjara.
Ketika mendengar kata penjara, Arswendo benar-benar terguncang jiwanya.
Jiwanya gelisah karena terpisah dari lingkungan, keluarga, pekerjaan, dan masa lalu
yang boleh dibilang mulai gemerlap. Namun demikian keberadaan dalam penjara
telah mengubah pandangan-pandangannya terhadap keluarga, dunia jurnalistik, dan
kehidupan sekitarnya.
Arswendo tidak terpenjara kreativitasnya. Dari tempat ini muncul novel-novel
dengan nuansa yang berbeda dari novel-novel sebelumnya. Perubahan latar belakang
sosial budaya telah melahirkan beberapa karya sastra, seperti anekdot Menghitung
Hari, Surkumur Murdukur dan Plekenyun, Abal-abal, Projo dan Brojo, dan Sudesi.
Novel Projo dan Brojo adalah salah satu novel oleh-olehnya selepas Arswendo
bebar dari penjara. Novel ini diilhami ketika ia merasa cemburu terhadap istrinya dan
adanya rencana dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan lain. Arswendo ingin
seseorang menggantikan posisinya di dalam penjara. Ide yang cukup unik dan lucu
dituangkannya ke dalam sebuah novel, yang akhirnya menjadi novel Projo dan Brojo.
Novel lain yang ditulisnya di penjara adalah Sudesi yang merupakan akronim
dari Sukses dengan Satu Istri. Novel trilogi ini bertutur tentang kesetiaan seorang
istri yang menanti suaminya berada di penjara, seperti dituturkannya kepada
Cempaka (1998: 9):
Lantaran saya menganggap istri saya luar biasa, di
penjara saya tulis Sudesi. Dari situ saya menyadari kesuksesan
seorang tak harus diukur dari keberhasilan menjadi direktur,

118

tetapi bisa juga dari kemahiran, ketabahan, dan kesetiaan istri


ketika harus menanti suaminya di penjara. Cempaka (1998: 9)
Ketika di penjara Arswendo memberikan kepercayaan kepada keluarganya. Ada
rasa khawatir, tetapi ia hanya dapat membantu berkelakuan baik selama berada di sel.
Bertolak dari pengalaman tersebut, Arswendo semakin menyadari bahwa keluarga
adalah lembaga yang harus dihormati dan dijaga keutuhannya.
Kehidupan di penjara juga mengubah pandangan Arswendo terhadap dunia
jurnalistik dan kehidpan di sekitarnya. Ini salah satu bukti bahwa penjara memang
diperlukan keberadaannya. Ketika bersama Monitor Arswendo mengembangkan
jurnalisme lher. Ia membuat bacaan ringan untuk konsumsi masyarakat menengah ke
bawah. Kini bersama Aura ia mengembangkan jurnalisme Kasih Sayang. Sebuah
jurnalisme yang mengajak pembacanya untuk lebih sayang terhadap orang lain.
Arswendo tidak hanya menuturkan masalah kejiwaan sebagai narapidana dalam
novel-novel terakhirnya. Ia terusik dengan kejadian-kejadian menyimpang sebelum ia
melangkah masuk penjara dan ketika menghuninya. Ia menganggap di dunia ini
banyak orang yang culas, terang-terangan menerima suap, perampokan hak orang
lain, dan beberapa tindakan tidak terpuji lainnya. Pengalaman yang sungguh
menyakitkan, ketika ia telah mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan
keringanan hukuman tetapi hasilnya sia-sia belaka. Ia begitu shock ketika hakim
memutuskan 5 tahun penjara untuk dirinya. Pengalaman dan kebodohan dirinya tetap
membekas sampai sekarang. Seperti dituturkannya kepada Cempaka (1998: 9),
Mengapa banyak orang begitu culas. Mereka sudah menerima suap saya, kok tetap

119

saja hukuman saya tak diringankan. Ternyata hal semacam itu juga terjadi di
lingkungan penjara. Pengalaman baru yang akhirnya melahirkan kritik sosial yang
dituangkan dalam anekdot Menghitung Hari dan Novel Projo dan Brojo.
Arswendo selalu kritis menanggapi derita sosial masyarakat di sekitarnya.
Dalam era reformasi ini, orang seharusnya tidak merasa risih bergaul dengan mantan
narapidana. Menurut Arswendo berbuat kesalahan adalah sesuatu yang manusiawi,
tinggal bagaimana ia menyikapi sesudahnya. Ia merasa bersyukur dapat duduk
sekursi dengan menteri kehakiman, Muladi. Suatu penghargaan bagi Arswendo,
ketika ia diminta memberi masukan kemungkinan perbaikan terhadap kehidupan
penjara. Arswendo berharap narapidana yang lain juga mendapatkan perlakukan yang
sama seperti dirinya. Hal itu selain mengurangi beban psikologis yang bersangkutan
juga mempercepat proses sosialisasi.
Ketika negara mengalami masa sulit dan krisis berkepanjangan, Arswendo
(1998: 9) berpedapat, Menghadapi masa krisis seperti sekarang ini, yang diperlukan
adalah kejujuran. Kejujuran dalam segala hal. Bagi Arswendo krisis yang terjadi
sekarang ini memberi pelajaran yang berharga bagi masyarakat dan dirinya.
Masyarakat harus menyadari bahwa kerakusan dan ketamakan tidak akan
menyelamatkan kehidupan mereka.
Arswendo Atmowiloto sosok yang ulet dan tekun dalam memperjuangkan
hidup. Ia adalah seorang pengarang yang karya-karyanya banyak merespon penyakit
zaman. Kepengarangan Arswendo saat ini dapat disejajarkan dengan pengarang

120

handal seperti Umar Kayam, Romo Mangun, Kunto Wijoyo, dan Pengarang handal
lainnya.
2.

Struktur novel Canting


a.

Tema
Tema yang diangkat dalam novel Canting adalah kehidupan keluarga besar

priayi Jawa dengan persoalan-persoalan keluarga yang begitu kompleks dan sikap
hidup

manusia dalam menghadapi kenyataan hidup dengan zaman yang

berubah-ubah. Persoalan keluarga yang begitu kompleks dimulai dari keraguan


akan kelahiran anak terakhir sebagai keturunan tokoh Raden

Ngabehi

Sestrokusuma sampai pada usaha batik tradisional keluarga yang bangkrut dan coba
dihidupkan oleh tokoh Ni serta persoalan-persoalan lain yang tidak kalah
pentingnya.
Berdasarkan jenisnya novel ini bertema organik (moral) karena novel
Canting mengangkat persoalan keluarga priyayi yang begitu kompleks. Cerita
dimulai dari keraguan tentang anak terakhir dalam kandungan bu Bei sebagai
keturunan Sestrokusumo. Sampai usaha batik tradisional yang bangkrut dan coba
dihidupkan oleh Ni serta persoalan-persoalan lain yang tak kalah pentingnya.
Novel ini mengisahkan keluarga Pak Bei yang memiliki enam orang anak.
Kebahagian Pak Bei terusik ketika Bu mengandung anak ke-6. Pak Bei meragukan
anaknya yang bungsu itu sebagai keturunannya. Namun Pak Bei tidak membuat
konflik terbuka mengenai persoalan ini. Pak Bei hanya mengatakan jika setelah

121

dewasa nanti anak itu memilih batik sebagai dunia kerjanya berarti ia keturunan
buruh batik, bukan keturunan Ngabei.
Batik tulis yang diperjuangkan oleh tokoh Ni sebenarnya merupakan simbol
dari budaya Jawa yang semakin memudar dan tersisih tergeser oleh budaya lain
karena adanya kemajuan teknologi. Budaya Jawa tak akan menang melawan
perubahan zaman. Jika ia ingin tetap hidup, maka tak ada jalan lain kecuali melebur
diri dan menyatu dengan perubahan itu. Demikianlah Arswendo Atmowiloto
menyampaikan amanatnya lewat novelnya yang berjudul Canting.
Jadi tema novel ini adalah kehidupan Priyayi dalam sistem rumah tangga dan
ekonomi keluarga yang terbungkus budaya kejawen yang masih sangat Patrilistis.
b.

Alur
Novel ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: Satu, Dua, dan Tiga. Berdasarkan

urutan waktu, ketiga bagian ini berkesinambungan dan membentuk sebuah alur,
yaitu alur campuran. Alur campuran menggunakan alur maju yang dicampur
dengan alur mundur. Alur maju mundur secara bolak-balik dengan diceritakan
masa lalu dan masa kecil tokohnya. Berikut tahapan alur novel Canting.
1). Tahap Penyituasian (Situation)
Tahap ini dilukiskan keadaan Ndalem Ngabean Sestrokusuman
dengan 112 buruh batik yang bekerja di pembatikan cap Canting. Dilukiskan
pula kegiatan sehari-hari di Ndalem Ngabean Sestrokusuman. Selain itu,
dilukiskan pula sosok Pak Bei dan Bu Bei secara fisiologis.
Tak pernah halaman samping pendapa yang begitu

122

luas sunyi dari anak-anak kecil bermain atau bunyi sapu lidi
membersihkan. Tak pernah bagian gandhok, di samping ruang
utama yang membujur ke belakang jauh sekali, begitu kosong
dari tarikan napas. Di gandhok itu, biasanya ada 112 buruh
batik, sepuluh di antaranya tukang cap, yang bekerja sejak pagi
hari sampai sore hari. Diseling istirahat yang tak lama, lalu
dilanjutkan sekitar separonya yang bekerja lembur
(Canting: 5).
2). Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances)
Pemunculan konflik terlihat ketika Bu Bei mengandung. Masalahnya
bukan sekadar perbedaan usia dengan Wening Dewamurti yang selama ini
dianggap si bungsu karena sudah berusia sebelas tahun, tetapi lebih daripada
itu. Kandungan Bu Bei diragukan oleh Pak Bei sebagai buah benihnya.
Tak ada pembicaraan apa-apa di antara 112 buruh batik
dengan anak- anaknya. Dengan mereka sendiri. Tapi rasanya
semua mengetahui ada sesuatu yang sangat tidak enak. Mereka
bisa dengan mudah menduga ketika Bu Bei seminggu
belakangan ini mengatakan masuk angin dan muntah-muntah.
Dan kemudian terdengar pula bahwa secara resmi Bu Bei
mengandung lagi. Masalahnya bukan sekadar perbedaan usia
dengan Wening Dewamurti yang selama ini dianggap si bungsu
karena sudah berusia sebelas tahun, tetapi lebih daripada itu.
Lebih daripada itu yang berarti Pak Bei kurang enak badan
(Canting: 7).
Baru kemudian Pak Bei berdehem kecil. Saya tidak
bisa bicara sekarang ini. Mengenai anak yang kamu kandung,
saya tak tahu. Kalau nanti besarnya jadi buruh batik, ia
memang anak buruh batik. Memang darah buruh batik yang
mengalir, bukan darah Sestrokusuman
(Canting: 10).
Alur berjalan maju, dilukiskan kegiatan Pak Bei setiap malam Jumat
Kliwon yang melakukan pertemuan dengan kerabat keraton. Kemudian alur

123

berjalan mundur, Pak Bei ingat masa lalunya ketika masih kecil yang sedang
bermain dengan teman-temannya. Kemudian alur berjalan normal, dilukiskan
aktivitas Bu Bei sehari-hari, di rumah ataupun di pasar. Setelah itu,
alur berjalan mundur, dilukiskan pernikahan Pak Bei dengan Bu Bei serta
ketika anak pertamanya lahir. Alur semakin berjalan mundur, semakin
menampakkan masa lalu Bu Bei ketika masih berumur 14 tahun dan berlanjut
masa lahirnya anak pertama sampai kelima.
Alur berjalan maju, dilukiskan anak keenam lahir. Bayi yang
diragukan oleh Pak Bei sebagai darah keturunannya lahir dengan keadaan
fisik yang berbeda dengan anak-anak Pak Bei yang lain. Pak Bei juga tidak
menyiapkan nama seperti lima anaknya yang dulu.
Bayi dengan pipi tembam, tidak mempunyai rambut,
dan menangis keras sekali seolah memecahkan ruangan,
tendangannya sangat kuat. Bayi yang hitam, kurus, dan
tampak sangat panjang kakinya
(Canting: 86).
Dulu, kelima anaknya lahir, dan Pak Bei sudah
menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini
biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu
semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat
menghisap dan membuat sakit.
(Canting: 86).
3) Tahap Penanjakan Konflik (Rising Action)
Tahap penanjakan konflik terlihat ketika Ni telah dewasa. Ni merasa
terpanggil untuk melanjutkan usaha pembatikan ibunya. Keinginan Ni

124

ini muncul setelah mendengar usulan dari saudara-saudaranya yang


berkeinginan meminta Bu Bei untuk tidak mengurusi pembatikan lagi.
Keinginan Ni ini disampaikan pada acara ulang tahun Pak Bei yang ke-64.
Padahal Ni sudah merencanakan. Sejak pertama kali
mendengar gagasan bahwa Bu Bei diminta untuk tidak
mengurusi pembatikan lagi, Ni merasa terpanggil untuk
bertindak. Mengambil alih perusahaan batik.
( Canting: 199).
Bagaikan tertusuk telak di jantungnya ketika Bu Bei mendengar
perkataan Ni yang ingin menjadi juragan batik dan meneruskan usaha
pembatikan keluarga. Dulu Pak Bei pernah menyangsikan akan darah yang
mengalir di tubuh Ni. Kini setelah dewasa, Ni malah berkeinginan menjadi
juragan batik.
Saya ingin tinggal di sini, Rama. Di rumah ini.
Tentu saja boleh. Rumah ini juga rumahmu. Tapi apa
rencanamu?
Saya ingin jadi juragan batik, Rama.

Jadi juragan batik?


Tidak adakah yang lebih mengerikan daripada keinginan
menjadi
juragan batik? Kalau telinga yang lain hanya menangkap
sesuatu yang aneh dan ganjil, Bu Bei merasa seperti tertusuk
telak di jantung hatinya. Ketakutan lama
tiba-tiba
mengembang kembali. Sesuatu yang paling tidak ingin
didengar. Ni berurusan dengan batik. Neraka yang paling buruk
bisa terjadi!
Pak Bei dulu pernah menyangsikan apakah Ni putri
kandungnya atau bukan. Ada semacam keraguan. Dan Pak Bei
mengatakan kalau Ni jadi pembatik, itu berarti ia berasal
dari darah pembatik. Dari buruh batik.
(Canting:197-198).
4) Tahap Klimaks (Climax)

125

Tahap ini dilukiskan dengan meninggalnya Bu Bei. Tidak lama


setelah mendengar perkataan Ni yang berkeinginan melanjutkan usaha
pembatikan keluarga, Bu Bei jatuh pingsan. Wahyu, Bayu, dan istrinya
memeriksa Bu Bei dan memberikan kesimpulan yang sama, yaitu Bu
Bei harus mendapatkan perawatan khusus. Oleh karena itu, malam itu juga
Bu Bei dibawa ke rumah sakit. Namun akhirnya, nyawa Bu Bei tidak
tertolong lagi.
Pak Bei berdiri, meninggalkan perjamuan. Berjalan
dengan gagah. Bu Bei tertunduk. Sewaktu memegang piring
untuk dikumpulkan, piring itu jatuh. Bu Bei masih berusaha
untuk memungut, akan tetapi justru tubuhnya yang limbung.
Kolonel Pradoto
dan
Himawanyang lebih dulu
bergerak, memegangi tubuh Bu Bei. Bu Bei seperti tak
bertenaga, sehingga digotong ke dalam kamar.
(Canting, 2007: 211).
Kalau mau pergi, pergi yang ikhlas.
Tak ada yang perlu digondeli, tak ada yang memberati.
Kami semua ikhlas. Gusti Mahabesar.
Lalu Pak Bei melihat anak-anaknya. Tajam pandangannya.
Sekarang kalian semua tak usah menangis lagi. Akan
memberati.
Kita berdoa. Sebisanya (Canting, 2007: 265).
5) Tahap Penyelesaian (Denouement)
Pada tahap penyelesaian terdapat dua bagian, yaitu peleraian (falling
action) dan penyelesaian (denouement). Tahap peleraian, yaitu Ni benarbenar melanjutkan usaha pembatikan keluarga. Akan tetapi, di tengah-tengah
perjalanan Ni mengalami berbagai permasalahan. Batik

cap Canting

126

kalah saing dengan printing. Ni menjual rumahnya di Semarang untuk


tambahan modal, tetapi itu sia-sia saja, bahkan Ni sempat sakit karena
memikirkan usaha pembatikan keluarga yang seret. Batik cap Canting tidak
berjalan. Sementara itu, tahap penyelesaian dilukiskan Ni menemukan
jalan keluar agar usaha pembatikan keluarga masih dapat berjalan, yaitu
dengan meleburkan diri dengan perusahaan yang lebih besar. Ni memutuskan
untuk tidak memasang cap Canting. Dengan melepaskan cap Canting,
pembatikan mulai berjalan lagi.
Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit.
Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan
memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri. Ketika ia
melepaskan cap Canting, ketika itulah usaha batiknya jalan.
Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuman, ketika
itulah ia melihat harapan
(Canting, 2007: 403).
Pada akhirnya, Ni menikah dengan Himawan pada saat selamatan setahun
meninggalnya Bu Bei. Kemudian, pada selamatan dua tahun meninggalnya Bu Bei,
Ni melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Canting Daryono.
Berdasarkan kepadatan cerita, alur novel Canting termasuk alur longgar.
Tergolong alur longgar karena pergantian peristiwa demi peristiwa penting
berlangsung lambat. Hal ini dapat dilihat mengenai masalah kandungan Bu Bei
yang diragukan buah benih Pak Bei. Masalah ini tidak langsung diselesaikan,
bahkan dibiarkan begitu saja baik oleh Bu Bei maupun Pak Bei. Hubungan antara
tokoh yang satu dan yang lain longgar karena memiliki banyak tokoh. Ini

127

merupakan salah satu ciri cerita yang beralur longgar. Selain Pak Bei, Bu Bei, dan
Ni, masih banyak tokoh yang terdapat dalam novel ini, misalnya saudara-saudara
Ni, Wahyu Dewabrata, Lintang Dewanti, Bayu Dewasunu, Ismaya Dewakusuma,
Wening Dewamurti, dan para buruh batik keluarga Sestrokusuman. Sebagai contoh,
yaitu ketika Bu Bei sakit, Ni dapat saja langsung pergi ke rumah sakit jika tidak
dihalang-halangi oleh kakaknya dan Pak Bei. Peristiwa Bu Bei dibawa ke rumah
sakit sampai keinginan Ni untuk menjenguk ibunya berjalan sangat lambat. Hal ini
dikarenakan banyaknya tokoh yang terdapat dalam cerita ini.
Cerita dalam novel ini memiliki kebolehjadian (plausibility). Artinya,
cerita yang disampaikan pengarang memiliki kemungkinan terjadi di masyarakat,
tidak sekadar

sesuatu yang khayalan semata sehinggapembaca seperti

menghadapi kenyataan.
Cerita keluarga Sestrokusuman ini mungkin terjadi di masyarakat,
khususnya di daerah keraton Surakarta. Pak Bei dikisahkan sebagai seorang priayi
dari golongan keraton yang beristrikan Bu Bei yang berdagang di Pasar Klewer.
Nama-nama tokoh, tempat, dan peristiwa dalam cerita semakin menarik pembaca
untuk menafsirkan tokoh-tokoh, tempat, dan peristiwa yang ada atau pernah ada di
Surkarta pada waktu tertentu. Memberi kesan bahwa cerita dalam novel ini adalah
dunia nyata yang disamarkan melalui nama-nama tokoh, tempat, dan peristiwa. Hal
ini disebabkan cerita ini diceritakan pengarang secara rinci seperti kenyataan
sesungguhnya dan tidak terlepas dari sosial budaya pengarang yang juga berasal
dari Surakarta.

128

Tegangan (suspense) dalam novel ini terjadi sejak awal cerita. Tegangan
muncul ketika Bu Bei diketahui telah mengandung. Pembaca ingin mengetahui
darah yang mengalir dalam kandungan Bu Bei. Dengan adanya tegangan,
menimbulkan rasa ingin tahu yang sangat besar bagi pembaca untuk mengetahui
lanjutan cerita. Sementara itu, kejutan (surprise) dalam novel ini dapat dilihat
ketika akhirnya Bu Bei meninggal dunia setelah mendengar keinginan Ni untuk
meneruskan usaha pembatikan keluarga. Pembaca pada awalnya tidak menduga
bahwa Bu Bei akan meninggal. Bu Bei seperti tertujuk telak di jantungnya ketika
mendengar keinginan Ni, anak yang sempat diragukan darah keturunan Pak Bei.
Akan tetapi, akhir cerita ini dapat dikatakan happy ending karena Pak Bei
mengakui bahwa Ni benar-benar anaknya, usaha pembatikan dapat berjalan
lancar, dan Ni menikah dengan Himawan dan mempunyai anak laki-laki yang
diberi nama Canting Daryono.
c.

Penokohan
Novel Canting memiliki banyak tokoh. Berdasarkan perannya dalam sebuah

cerita tokoh dalam novel ini terbagi atas tokoh utama dan tokoh pembantu. Ada juga
tokoh yang sekadar numpang lewat atau sebagai pelengkap cerita. Dalam
pembahasan ini, yang akan penulis kemukakan hanya tokoh-tokoh penting saja yang
memegang peranan besar dalam novel Canting.
1)

Pak Bei (Raden Ngabehi Sestrokusumo)


Dalam novel ini, pendiskripsian watak tokoh melalui penceritaan langsung,
dialog, maupun unsur dramatik lainnya. Pak Bei terlahir dari keluarga bangsawan.

129

Ketika masih muda bernama Daryono. Ia merupakan anak sulung keluarga


Ngabehi Sastrosemito. Adiknya dua orang yaitu Darmasto dan Darnoto. Secara
fisik Pak Bei digambarkan sebagai lelaki yang berhidung sangat mancung, dengan
kulit kuning pucat. Ia memiliki cara mendongak yang memperlihatkan dagu
kerasnya. Ia tidak pernah lepas dengan rokok kretek Pompa, kesukaannya.
Penggambaran fisik Pak Bei terlihat dalam kutipan berikut ini:
Pak Bei, seorang lelaki yang berhidung sangat mancung,
dengan kulit kuning pucat, dan cara mendongak yang
memperlihatkan dagu keras, memeriksa taman bagian samping.
Melihat tanaman, bunga-bunga. Menengoki tempayan yang
jumlahnya puluhan, tempat ia memelihara ikan maskoki. Bukan
memelihara tepatnya, karena bukan dirinya yang memelihara,
yang mencarikan makanan jentik-jentik. Lebih tepatnya: tempat
ia melihat ikan maskoko. Sambil mengepulkan rokok kretek
Pompa, kesukaan satu-satunya.
( Canting: 8)
Keadaan fisik Pak Bei juga digambarkan secara jelas oleh penulis novel. Ia
adalah seorang priyayi yang sempurna, gagah, berwibawa, sukses, dan memiliki
senyuman yang ramah. Ia selalu tampil bersih di saat yang lain dalam keadaan letih.
Di saat Bu Bei meninggal, Pak Bei masih bisa tenang dan tidak menampakkan
kegoncangan sama sekali. Hal ini menunjukkan betapa Pak Bei mempunyai jiwa
yang sangat tegar dan matang pribadinya. Jarang ada orang yang bisa bersikap seperti
Pak Bei dalam menghadapi kepergian orang yang dicintainya. Penggambaran fisik
dan ketegaran Pak Bei bisa dicermati dalam kutipan berikut ini:
Raden Ngabehi Sestrokusuma muncul sebagi priyayi
yang sempurna. Tapi dalam busana Jawa yang sempurna,
dengan wajah yang membuat tak sembarang mata memandang
langsung ke arahnya. Mengesankan gagah, beribawa, sukses
dengan senyuman ramah.

130

(Canting: 261)
Ni melihat kembali ayahnya menjadi orang yang tetap
gagah, di saat anggota keluarga yang lain terpukul. Wajah dan
penampilannya tetap bersih, di saat yang lain letih. Tak setitik
pun ada tanda Pak Bei kehilangan kontrol atas dirinya.
(Canting: 267)
Pak Bei, seorang keturunan bangsawan yang memiliki pergaulan yang cukup
luas dan berpengalaman. Tidak hanya kota-kota dalam negeri yang dikunjunginya
bahkan ia pernah melawat ke negeri tetangga. Gambaran pengalaman pak Bei bisa
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Pak Bei berjalan ke dalam rumah. Berbicara lewat
telepon mengenai jatah kertas yang dikurangi untuk penerbitan
majalah. Lalu menelepon temannya yang lain, sambil bercerita
mengenai kunjungannya ke Singapura. Tertawa menceritakan
hotel, bar dan gadis-gadis, kebersihan kota, tetapi juga
kesimpulannya bahwa kota itu tak mungkin bisa berkembang
menjadi kota industri.
(Canting: 8)
Pengetahuan yang luas dan cara berpikir modern yang dimiliki Pak Bei yang
berbeda dengan para priyayi pada umumnya tergambar jelas dalam novel ini.
Karakter Pak Bei ini tergambar jelas dari pandangan Metra mantan pacar Lintang
Dewanti anak Pak Bei yang ke- 2:
Metra sering kagum dengan pribadi lelaki yang menjadi
Ayah dari gadis yang dikejar-kejarnya. Pengetahuannya banyak.
Kayaknya bisa ngomong apa saja. Karena dalam pikirannya.
Pak Bei adalah lelaki yang numpang kenikmatan dari hasil karya
dan penghasilan isterinya. Pak Bei adalah borjuis yang
sesungguhnya. Yang dikecam Metra habis-habisan. Kenyataanya
begitu. Tapi dalam pembicaraan. Metra sering bergeser
pandangannya. Pak Bei bukan tokoh pembantu yang muncul
karena diperlakukan sebentar. Tenang, berbawa, tapi tuntas.

131

Segala apa yang dilakukan, nampak terbuka. Tetapi juga masih


banyak yang bisa diperkirakan.
(Canting: 107-108)
Pak Bei bukan tipe pendendam. Ini terlihat ketika dua orang adiknya dulu lebih
suka menyingkir ketika kakaknya mengawini buruh batiknya. Bahkan ketika dua
adiknya pasrah bongkokan menyerahkan hidup dan matinya kepada Pak Bei, dia
tetap menerima dengan jiwa besar serta mengayominya. Gambaran jiwa besar Pak
Bei terlihat dalam kutipan berikut ini:
Saya pasrah bongkokan, Kangmas.
Pak Bei masih merasakan sakitnya ketika ia dikucilkan.
Akan tetapi ia kakak yang baik. Ia berkata kepada isterinya agar
mencarikan rumah buat adiknya.
Rumah yang pantas.
Dan Bu Bei melakukan itu. Melakukan pembelian rumah
di jalan Gading Kidul, sekitar satu kilometer sebelah selatan
pintu gerbang Keraton. Cukup dekat, akan tetapi juga jelas
bahwa tak berada dalam lingkungan keraton lagi. Rumah itu
masih tetap rumah yang terbaik, paling kuat bangunannya, dan
bertingkat.
(Canting: 127 128)
Pak Bei mempunyai jiwa sosial yang tinggi sekalipun ia bangsawan namun ia
tidak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri tetapi juga memikirkan
kepentingan orang lain, pada masyarakat kecil, pada buruh batiknya juga pada bangsa
dan negara:
Marilah kita mengadakan secara sederhana. Saya
mengusulkan kita mendengarkan pertemuan jumat kliwonan di
Taman Ronggowarsito di Njurug saja. Lebih sederhana, di atas
tikar. Kita bisa memberi bantuan pada masyarakat kecil
sekeliling yang menjual teh, menjual makanan kecil dan
ngamen..
(Canting: 18)

132

Pak Bei risi jika disebut kaum feodalis, kapitalis dan borjuis sehingga ia merasa
perlu membela diri ketika Tumenggung Reksoprojo yang sosialis menuduhnya
demikian. Ketika itu malam jumat kliwonan. Keduanya sama-sama dalam kondisi
mabuk sehingga terlibat sedikit pertengkaran. Sifat yang sebenarnya Pak Bei bisa
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Tidak. Malam ini harus jelas, saya risi mendengar
tuduhannya. Apa salahnya kita minum? Apa salahnya kita
Mrau? apa salahnya kita Feodal, karena kita memang lahir
begitu.
(Canting: 27)
Ia bangsawan yang melarat. Saya bangga disebut Pak
Bei, karena saya memang Ngabehi. Saya kaya, dan saya
menikmati kekayaan itu. Buruh saya seratus dua belas, saya
memberi makanan, memberi rumah. memberi segala. Saya
kapitalis yang menolong mereka, bukan rakyat yang ada di
warung tidak bisa bayar.
( Canting:27 )
Pak Bei juga seseorang yang pandai mengendalikan emosi. Pembawaanya
selalu tenang dan beribawa. Kalaupun ia marah, itu disebabkan oleh hal yang
dianggapnya keterlaluan. Seperti ia mengetahui bahwa Wening. Putrinya yang ke- 5
turut bermain judi di kebon.
Weniiiiiing!...... Teriak Pak Bei mengguntur. Sebagai
priyayi, kepala rumah tangga, Pak Bei tidak pernah berteriak
sekeras itu di rumahnya sendiri. Maka cukup mengejutkan siapa
saja. Seketika itu juga bubar semua.
(Canting: 78-79)
Kamu melakukan sesuatu yang salah. Ingat Wening
dalam hidup ini ada lima pantangan: main kartu, mencuri, main
jinah, mabuk, menghisap candu. Itu tak boleh dilakukan, apalagi
kamu perempuan, putri Nagabehi, masih kecil. Kalau besar
kamu bakal jadi apa? Jadi apa?
(Canting: 79)

133

Kepandaian Pak Bei dalam mengendalikan emosi juga terlihat ketika Bu Bei
mengatakan bahwa dirinya mengandung. Ia tidak marah walaupun ia curiga bahwa
kandungan dalam rahim Bu Bei bukan dari benihnya. Dan ia sangat bijaksana ketika
kata-katanya dulu menjadi kenyataan. Sebuah pernyataan terhadap kandungan Bu Bei
dan kenyataan pilihan Ni yang memilih batik sebagai pekerjaan. Hal itu dapat
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Baru kemudian Pak Bei berdehem kecil. Saya tidak bisa
bicara sekarang ini. Mengenai anak yang kamu kandung, saya
tak tahu. Kalau nanti besarnya jadi buruh batik, ia memang anak
buruh batik. Memang darah buruh yang mengalir, bukan darah
Sestrokusuman.
(Canting: 10)
Bagiku persoalan itu telah selesai. Aku bisa berdamai
dengan diriku. Aku tahu kami pasti bertanya-tanya apakah aku
ini ayah kandungmu atau bukan? Iya, kan?
(Canting: 249)
Bagiku sudah tak jadi soal lagi. Apakah kamu anak
kandungku atau bukan. Apapun juga, kamu tetap anakku.
Mata Ni merah.
Basah.
Kamu anakku, karena aku ayahmu, dan karena istriku
adalah ibumu, Itulah penjelasannya.
(Canting: 249-250)
Sifat pak Bei yang menonjol lainnya adalah sikapnya yang berani beda dengan
yang lain. Jika para bangsawan begitu mengagung-agungkan perkawinan dengan
bangsawan. Tidak demikian oleh Pak Bei. Pak Bei justru berani mengawini rakyat
kecil, buruh batiknya. Sifat ini disebutnya sebagai rakyat.
Pak Menggung jangan menyombongkan soal
kerakyatan. Saya ini raden Ngabehi Sestrokusuma, putra sulung
Ngabehi Sastrasemito yang kondang, sebelum orang bicara

134

kerakyatan, saya sudah merakyat. Siapa yang berani mengawini


rakyat, kalau bukan saya? Hayo, siapa? Apa Pak Manggung?
Bukan.
(Canting: 89)
Di samping itu Pak Bei juga aktif dalam berbagai kegiatan. Ia ikut dalam perang
kemerdekaan. Ia tunjukkan jiwa patriotisme dan nasionalisme dalam perjuangannya
membela tanah air. Kutipan di bawah menggambarkan hal tersebut:
Siapa yang mendapat bintang gerilya angkatan pertama
di Solo? Di seluruh Surakarta ini? Siapa. Raden Ngabehi
Daryono Setrokusumo.Ada suratnya ditandatangani Presiden
Soekarno. Ada tandanya. Bintang gerilya yang dibuat dari
pecahan motir.
Siapa penguasa batik yang berhasil menghimpun
penduduk desa dan memberikan tempat berteduh? Perusahaan
batik Canting. Siapa pengusahannya? Raden Ngabehi
Sestrokusuma yang bicara ini.
Daftar nama penyumbang pembuat monumen Nasional
saya yang mempelopori partama kali di Kota Surakarta
Hadiningrat yang sedang sekarat ini. Siapa yang membantu
pembuatan Stadion Negara untuk Asian Games yang akan
datang? Siapa yang memberikan dana terbesar pertama kali
Raden Ngabehi Sestrokusuma pengusaha batik Canting. Siapa
Pyiayi Solo yang mendapat kehormatan mengawal jendral Besar
Panglima Sudirman? Siapa pyiayi Surakarta yang diterima oleh
kehormatan Sultan Hamengkubuwono IX di Yogyakarta. Raden
Ngabehi Sestrokusuma. Sayalah orangnya yang tidak melihat
perbedaan kerendahan. Tahun 1948, saya memanggul senjata
untuk membebaskan Yoygyakarta.
(Canting: 89-90)
Pak Bei orangnya tak tegaan, sekaligus juga tak suka mendengar pujian, apalagi
cacian singgah di telinganya. Dia tak bisa mendengar hal-hal semacam itu. Hal itu
tergambar dalam kutipan berikut ini:
Apa? Tak sampai hati? Kalau tak sampai hati jangan
berdagang. Seperti saya ini. Karena tak sampai hati saya tak
mau berdagang. Saya tak mau jadi tukang gadai. Paham?!
(Canting: 131)

135

Saya tak ingin dipuji. Kalau memuji, jangan sampai saya


mendengar.
Saya tak takut dicaci. Kalu mencaci, jangan sampai saya
mendengar. Saya dilahirkan dengan telinga yang tipis dan kecil,
tak bisa mendengar hal-hal seperti itu.
(Canting : 132)
Pak Bei bukan tipe pengecut. Ia bersifat kesatria, gagah, pemberani, dan
pantang mundur. Pun ketika ia bentrok melawan anak-anak muda dari golongan
sosialis dan ia dikeroyok, ia tetap melawan tanpa gentar. Bukti keberanian Pak Bei
bisa dicermati dalam kutipan berikut ini:
Wagiman makin cemas, karena Pak Bei ternyata muncul
lagi dari dalam. Tetap gagah, tetap lebar langkahnya. Kedua
tangannya menggengam tombak panjang. Bu Bei menangis di
kaki Pak Bei, berusaha menahan. Tapi Pak Bei tetap maju.
(Canting: 148)
Sikap pemberani, ksatria, dan suka berterus terang yang dimiliki Pak Bei juga
tergambar dalam pandangan Himawan, pacar Ni. Hal ini membuat Himawan begitu
kagum dan hormat pada Pak Bei, calon mertuanya. Kekaguman Himawan kepada Pak
Bei tergambar dalam kutipan berikut ini:
Ni, kamu mungkin sekali keiru, Rama lain. Rama itu suka
bla-bla-bla. Berbeda dengan ayah yang lain. Riwayat Rama
penuh latar belakang keberanian, keterusterangan, dan sikap
seorang ksatria.
(Canting; 208-209)
Kebaikan pak Bei sangat dirasakan oleh buruh-buruhnya. Sikap Pak Bei
membuat para buruh batik memiliki rasa pengabdian yang tulus, kepasrahan, dan
penyerahan diri yang ikhlas. Ketika banjir besar melanda. Pak Bei menolong dan
membantu buruh-buruhnya. Dan tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Oleh karena
sikap itulah, maka para pembantu dan para buruh sangat menghormati.

136

Pak Bei sangat mengayomi seluruh pembantu dan buruhnya. Ia figur yang
pantas untuk diteladani karena sifatnya itu. Kebaikan Pak Bei tergambar jelas seperti
penuturan Wagiman salah satu buruh batik penghuni kebon belakang. Hal itu dapat
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Wagiman tak habis mengerti. Di saat semua milik Pak Bei
terendam air, semua batik, kain mori, perabotan rumah tangga.
Pak Bei malah memikirkan orang lain. Berkarung-karung beras
membusuk, kain paling halus jadi gombal, Pak Bei malah
menolong orang lain.
(Canting: 160)
Wagiman sadar, bahwa menjadi Pak Bei adalah menjadi
orang besar, orang yang dipilih Tuhan. Wagiman membuktikan
sendiri.
Makanya ia merasa bahwa pengabdian dirinya adalah
bagian dari pokok dari rasa bersyukurnya. Kepasrahan,
penyerahan diri secara ikhlas adalah sesuatu yang wajar.
(Canting: 161)
Sifat dan karakter Pak Bei yang bijaksana terlihat ketika ia menyelesaikan
masalah Wahyu yang menghamili Wagimi, anak buruh batiknya dengan
mengawinkan Wagimi dan Jimin. Menurut Pak Bei ini adalah solusi terbaik walaupun
Ni memprotesnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini:
Kamu tahu apa Ni? Kamu tahu apa, saya mau tanya.
Rama ini orang bersar, tak bisa disamai kebesarannya, oleh
anaknya sekalipun.
Aku ayah yang baik bagai anak-anak. Tapi aku juga
juragan baik bagai buruh-buruhku. Ini jalan yang terbaik. Mulai
saat ini aku larang kamu membicarkan ini..
(Canting: 235)
Sikap bijak Pak Bei juga tampak ketika menyelesaikan masalah Ni yang ingin
meneruskan usaha pembatikan. Walaupun Ni tahu, ibunya sakit keras ketika
mendengar keinginan Ni. Tapi Ni tetap kukuh pada tekadnya. Pak Bei tidak melarang

137

keinginan Ni, Pak Bei justru bangga pada Ni yang berbeda dengan semu saudarasaudaranya.
Jiwa besar dan kebijaksanaan Pak Bei membuat Ni luluh. Ni tidak tahu
mengapa bisa demikian, barangkali karena wibawa Pak Bei yang begitu besar dan
membuat Ni tak berdaya tiap berhadapan dengannya. Sikap Pak Bei tergambar dalam
kutipan berikut ini:
Ni tak bisa menahan tangisnya.
Seluruh kesadarannya teriris sempurna.
Simpul-simpul Perasaannya terkelupas. Ni makin
mengakui bahwa ayahnya adalah lelaki kesatria. Ia tak
menganggap ayahnya membujuknya dengan cara halus. Ni
merasa diperlakukan dengan sangat dewasa. Ni merasa
mempunyai harga. Merasa bermakna. (Canting: 257)
Apakah ini berarti ia telah dikalahkan oleh ayahnya? Ia
dikalahkan justru dengan cara pendekatan yang halus? Benarkah
kekerasan selalu kalah dengan kelembutan? Benarkan ini
kelebihan ayahnya yang tak tertandingi?
(Canting: 259-260)
Apa yang diungkapkan Ni tentang ayahnya, akan semakin memperjelas
bagaimana karakter Pak Bei yang sebenarnya. Ni kagum pada ayahnya. Tapi kadang
juga merasa jengkel karena ada sikap Pak Bei yang dianggapnya manja. Ini adalah
sisi yang lain dari seorang Pak Bei disamping sifat-sifat baik yang dimilikinya.
Kemanjaan Pak Bei terhadap Bu Bei tergambar dalam kutipan berikut ini:
Itulah Pak Bei. Melakukan sendiri apa yang dianggapnya
baik. Ni makin mengerti bahwa ayahnya memang lain. Kalau
sendoknya jatuh. Pak Bei akan menunggu sampai Bu Bei
mengambil sendok itu lebih dulu. Dan tak akan melanjutkan
makan dengan sendok baru yang bersih. Ni kadang kesal dengan
sikap itu. Rasanya ayahnya sangat malas sekali. Abu rokok yang
jatuh dibajunya enggan untuk segera ditepiskan. Handuk

138

tergantung tidak sempurna membuatnya urung mandi. Teh yang


menjadi sehangat air mandi, akan membuat Pak Bei jadi
membuka tutup gelas.
(Canting: 270)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Pak Bei secara fisik adalah lelaki
yang gagah dengan hidung sangat mancung. Ia memiliki kulit kuning pucat dengan
cara mendongak yang memperlihatkan dagu yang keras. Sifat fisik ini selaras dengan
statusnya yang ningrat dan terlahir dari keluarga bangsawan.
Pak Bei memiliki jiwa sosial dan suka menolong, berjiwa besar, berpengalaman
dan memiliki bergaulan yang cukup luas. Ia seorang yang berani tampil berbeda
dengan sosok bangsawan lainnya. Berani mengawini anak buruh batik. Pak Bei juga
pribadi yang bisa mengendalikan emosi, bukan tipe pengecut, bijaksana dalam
mengambil tindakan. Satu hal sisi lain Pak Bei adalah sikap manjanya kepada Bu Bei.
Itulah kesimpulan watak dan karakter Pak Bei. Hal itu bisa dicermati lewat
penuturan penulis novel. Watak dan karakter Pak Bei dalam novel Canting ada yang
digambarkan secara analitik ada pula yang digambarkan secara dramatik. Secara
analitik melalui penuturan langsung penulis novel. Sedangkan, secara dramatik
dituturkan lewat dialog atau tanggapan tokoh lain dalam novel tersebut. Secara detail,
penokohan pak Bei dalam novel Canting dipaparkan sebagai berikut :
a) Fisiologis
Secara fisik Pak Bei digambarkan sebagai sosok yang tampan, berhidung
mancung, dan selalu tampil gagah. Dengan pakaian Jawa sempurna, Pak Bei terlihat
gagah dan tampan serta ramah menerima tamu- tamu

dengan

berjabat

tangan.

139

Banyak

tamu yang kagum dengan penampilan Pak Bei yang terlihat gagah dan

berwibawa.
Sehabis sarapan, Pak Bei, lelaki yang berhidung sangat
mancung, dengan kulit kuning pucat dan cara mendongak yang
memperlihatkan dagu keras, memeriksa taman bagian samping
(Canting, 2007: 8).
Pak Bei telah berdandan pakaian Jawa sempurna.
Hanya mengangkat alis sedikit-kalau Ni tak salah lirik.
Tetap gagah, dengan hidung mancung, kulit bersih, dan yang
membuat Ni kagum ialah bahwa ayahnya ini selalu tampak
hadir. Ruangan bisa menjadi kosong tanpa keberadaan Pak Bei.
Sekarang ini pun terasakan, bahwa getaran paling kuat, walau
hanya dengan mengangkat alis, itu pun tipis, dari tempatnya
sendiri. (Canting, 2007: 168-169).
Raden Ngabehi Sestrokusuma muncul sebagai priyayi
yang sempurna. Tampil dengan busana Jawa yang sempurna.
Tampil dengan busana yang tak sembarang mata memandang
langsung ke arahnya. Mengesankan gagah, berwibawa, sukses,
dengan senyum ramah (Canting,2007: 261).
b) Psikologis
Pak Bei digambarkan sebagai sosok yang bijaksana serta dan mempunyai
prinsip. Ia mau melakukan sesuatu karena mau dan karena itu harus dilakukan. Pak
Bei mempunyai pangkat tinggi dan berpengaruh di pemerintahan. Pak Bei
mempunyai peranan yang penting dalam pemerintahan, tetapi ia tidak mau
menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya.
Saya tak usah kirim katebelece, kalau Wahyu mau masuk
AMN di Magelang. Cukup bilang, anaknya Daryono
Sestrokusuma, komandan Gajah Belang. Asal Wahyu tidak
kelewat gobloknya, pasti bisa. Setelah pendidikan, saya bisa
menempatkannya jadi ajudan, lalu di sekolahkan di luar negeri.
Tapi saya tidak mau.Karena semua akan tumbuh sendiri.
Mencari keseimbangannya sendiri (Canting, 2007: 95-96).
Jimin sendiri yang kemudian bercerita bahwa Pak Bei sebenarnya bisa

140

membebaskan mereka yang masih hidup. Baik yang ditahan di Balai Kota maupun
di tempat lain.
Cukup satu perintah dari Pak Bei dengan mengangkat
sebelah
tangan, maka yang ditahan bisa keluar. Tapi Pak Bei
tidak sembarangan. Buktinya Metra dibiarkan saja.
(Canting, 2007: 152).
Pak Bei bukan

seorang yang mudah marah, Ia pandai mengendalikan

emosi. Pembawaannya selalu tenang dan wibawa. Akan tetapi, ia juga dapat marah
biasanya disebabkan oleh hal yang dianggapnya sudah keterlaluan. Pak Bei marah
ketika ia tahu bahwa Wening, anaknya yang kelima, ikut bermain judi di kebon.
Weniiiiiiiiiiing ...! teriak Pak Bei mengguntur.
Sebagai priyayi, kepala rumah tangga, Pak Bei tak pernah
berteriak sekeras itu di rumahnya sendiri. Maka cukup
mengejutkan siapa saja. Seketika itu juga bubar semua.
Sekali lagi ada perjudian, kubakar rumah petak di belakang
itu. (Canting, 2007: 79).
Pak Bei memiliki sifat pemberani. Selain berani dalam perang, Pak Bei
juga berani ketika menikahi Bu Bei yang hanya seorang buruh batik. Pak Bei berani
berbeda dengan kerabat keraton lain, Pak Bei berani menikahi rakyat kecil. Pak Bei
tetap menikahi Bu Bei walaupun mendapat kecaman dari keluarga

keraton

lainnya. Keberanian Pak Bei yang lain ditunjukkan ketika sekelompok pemuda
datang ke rumah Pak Bei dan siap menyerang Pak Bei. Pak Bei tetap maju
meskipun dikepung massa.
Pak Menggung jangan menyombongkan kerakyatan. Saya ini,
Raden Ngabehi Sestrokusuma, putra sulung Ngabehi

141

Sestrosemita yang kondang. Sebelum orang bicara kerakyatan,


saya sudah merakyat. Siapa yang berani mengawini rakyat
kalau bukan saya? Hayo, siapa? Apa Pak Menggung? Bukan.
(Canting, 2007: 89).
Wagiman makin cemas, karena Pak Bei ternyata muncul lagi
dari dalam. Tetap gagah, tetap lebar langkahnya. Kedua tangan
Pak Bei menggenggam tombak panjang. Bu Bei menangis
di kaki Pak Bei berusaha menahan.
Tapi Pak Bei tetap maju. (Canting, 2007: 148).
Pak Bei dilukiskan berpengetahuan luas dan memiliki cara berpikir
modern.

Metra

kawan

Lintang

pun

sering

dibuat

kagum oleh luasnya

pengetahuan Pak Bei. Selain itu, Pak Bei adalah sosok yang banyak bicara,
tetapi dalam kesehariannya sedikit atau hanya seperlunya ia bicara. Pak Bei bahkan
kadang hanya berdehem untuk memberi jawaban setuju.
Metra sering kagum dengan pribadi lelaki yang
menjadi ayah gadis yang dikejar-kejarnya. Pengetahuannya
banyak. Kayaknya bisa ngomong apa saja. Tadinya Metra tak
memandang sebelah mata. Karena dalam pikirannya, Pak Bei
adalah lelaki yang numpang kenikmatan dari karya dan
penghasilan istrinya.
Pak Bei adalah
borjuis yang sesungguhnya. Yang
dikecam Metra habis-habisnya. Kenyataannya begitu. Tetapi
dalam pembicaraan, Metra sering bergeser pandangannya. Pak
Bei bukan sekadar tokoh pembantu yang muncul karena
diperlukan sebentar. Pak Bei ternyata lebih mirip peran utama.
Tenang, berwibawa, tapi tuntas. Segala apa dilakukan dengan
terbuka. Tapi juga masih banyak yang tak bisa diperkirakan
(Canting, 2007: 107-108).
Bu Bei menunggu sampai hari kamis pagi. Pak Bei nanti
pergi? Hmmmmmmmm.
Jawaban hmmm itu sudah lebih dari pengiyaan. Biasanya
kalau dalam keadaan seperti sedang marah, Pak Bei tak akan
mengeluarkan kata apa-apa. Rasanya itu merupakan pukulan
terberat yang harus ditanggung Bu Bei. Apalagi jika Pak Bei

142

melengos. Bu Bei tak akan berani tidur di samping suaminya.


Ia memilih tidur bawah, dengan menggelar tikar (Canting,
2007: 16).
Pak Bei yang kadang bersikap acuh tak acuh, juga Pak Bei yang memiliki
rasa tanggung jawab yang besar dan suka menolong bahkan rela mengorbankan apa
saja yang dimilikinya kepada buruhnya. Pak Bei memperlihatkan tanggung jawab
dan pengorbanan kepada buruhnya ketika banjir melanda keraton. Ketika itu,
seluruh harta Pak Bei terendam banjir, tetapi Pak Bei tetap memberi bantuan kepada
para buruhnya.
Wagiman tak habis mengerti. Di saat semua milik Pak Bei
terendam air-semua batik, kain mori, obat-obatan, alat-alat,
perabotan rumah tangga-Pak Bei malah memikirkan orang lain.
Berkarung-karung beras membusuk, kain batik paling halus
menjadi gombal, Pak Bei malah menolong orang lain (Canting,
2007: 160).
Lebih mengingat bahwa Pak Bei esok harinya meninjau yang
ada di kebon dengan drum minyak tanah setengah kosong.
Memberi beras, menyuruh membuat bubur, menyuruh Jimin
untuk mencari kelapa untuk diambil airnya, memberi telur,
memberi susu untuk Genduk dan adiknya, memberi minyak
tanah untuk digosokkan di tubuh agar tidak masuk angin,
menyuruh mengambil pisang, sawo, menyuruh mengawasi
barang-barang, memberikan selimut,
membagi rokok,
meminjamkan radio kecil untuk hiburan (Canting, 2007: 159160).
Lebih jelas dari cerita Jimin bahwa Den Bei ini,
setelah banjir surut menggerakkan Pramuka untuk bekerja
bakti, untuk membagi nasi, menyuruh Bu Bei, Yu Mi, Yu Tun,
Yu Kerti membuat dapur umum (Canting, 2007: 160).
Selain menolong para buruhnya, Pak Bei juga menolong adik- adiknya.
Pak Bei menolong adiknya Darmasto dan Darno yang telah pasrah bongkokan

143

pada Pak Bei. Melalui Bu Bei, Pak Bei membelikan rumah kepada kedua adiknya
itu. Pak Bei pun tidak peduli ketika akhirnya rumah pemberiannya mereka jual.
Bu Bei memberikan rumah, bukan sekadar membelikan.
Karena rumah itu atas nama Raden Ngabehi Sestrodiningrat
yang telah pasrah bongkokan, menyerah total, menyerahkan
mati-hidupnya, hina-jayanya, kepada kakaknya (Canting,
2007:128).
Sekali lagi Bu Bei menunjukkan jiwa besarnya sebagai
kakak ipar. Uang seharga rumah diberikan, akan tetapi suratsurat tak pernah disebut-sebut (Canting, 2007: 129).
Pak Bei dilukiskan sebagai tokoh yang tabah. Ini ditunjukkan ketika
Bu Bei meninggal dunia. Pak Bei ikhlas ditinggal Bu Bei, bahkan Pak Bei sendiri
yang mengawasi proses pemakaman Bu Bei.
Kalau mau pergi, pergi yang ikhlas.
Tak ada yang perlu digondeli, tak ada yang memberati.
Kami semua ikhlas. Gusti Maha Besar.
Lalu Pak Bei melihat anak-anaknya. Tajam pandangannya.
Sekarang kalian semua tak usah menangis lagi. Akan
memberati. Kita berdoa. Sebisanya (Canting, 2007: 265).
c) Sosiologis
Pak Bei dilukiskan sebagai priayi yang mengabdi pada keraton. Ia adalah
anak sulung dari tiga bersaudara sehingga ia tinggal di Ndalem Ngabean
Sestrokusuman. Pak Bei juga pernah mempunyai selir di Mbaki yang bernama
Karmiyem, tetapi tidak lama karena dicerai oleh Pak Bei. Di rumah, segala
sesuatunya ditentukan oleh Pak Bei. Selain kepala rumah tangga, Pak Bei adalah
raja yang bertindak sebagai penentu.
Pak Bei. Pak Bei adalah Pak Bei. Pak Bei bukan hanya

144

ayah yang mempunyai wibawa. Bukan hanya pemimpin


rumah tangga. Pak Bei adalah Pak Bei. Pusat kegiatan.
Sumber dan sekaligus penentu. Menyatu. Pak Bei adalah raja.
Penguasa dan tunggal. Dehemnya, senyumnya, cibiran
bibirnya, diamnya, semuanya mempunyai pengaruh lebih
daripada sekadar gerakan otot-otot tubuh (Canting, 2007: 380).
Pak Bei tidak suka bekerja. Kegiatan sehari-harinya adalah membaca,
menelpon, berkirim surat, menengok dan meneliti hewan peliharaannya, ada ikan
maskoki, ayam kate, burung perkutut, dan ayam hutan. Selain itu, Pak Bei juga
melihat puluhan bunga yang ada di halaman rumahnya. Oleh karena itu, Metra
pernah berpikir bahwa Pak Bei adalah lelaki yang numpang kenikmatan dari
karya dan penghasilan istrinya. Hal ini pun tidak disangkal oleh Pak Bei.
Apakah Raden Ngabehi Sestrokusuma ini suami yang suka
ongkang-ongkang saja membiarkan istrinya bekerja jungkir
balik? Ya. Tapi bukan hanya itu. Apakah Raden Ngabehi
Sestrokusuma ini punya selir dan sering pelesir? Ya, karena ia
priyayi. Tapi bukan hanya itu. (Canting, 2007: 99).
Pak Bei merupakan priayi Jawa lazimnya pada zaman itu (sekitar tahun
1960-an), yaitu priayi Abangan. Ia beragama Islam, namun mempercayai hal-hal
yang bersifat kejawen. Pak Bei dilukiskan tidak pernah melaksanakan ibadah. Di
lingkungan rumahnya pun tidak ada tempat untuk ibadah. Dalam kehidupan
sehari-hari, Pak Bei melandasi sikap dan perilakunya dengan pandangan hidup
kejawaannya. Misalnya, dengan mengadakan upacara peringatan meninggalnya
seseorang, tujuh hari, setahun/pendhak pisan, dua tahun/pendhak pindho,
memperingati lahirnya seseorang, selapanan, sepasaran, dan peringatan lain yang
selalu diperingati oleh keluarga
Pak Bei berdasarkan pandangan hidup kejawaan meskipun dalam agama

145

Islam tidak dituntunkan bahkan sebenarnya diharamkan. Pak Bei juga melakukan
hal-hal yang dilarang oleh agama, yaitu mabuk dan berzina (dengan Minah).
Pak Bei merupakan pengagum Ki Ageng Suryamentaram. Pak Bei
menyukai rokok Pompa karena rokok itu juga yang disukai Ki Ageng
Suryamentaram. Pak Bei senang jika dapat membantu Junggring Selaka Agung,
bahkan Pak Bei mengadakan upacara tujuh hari meninggalnya Ki Ageng
Suryamentaram di rumahnya.
Rokok itulah yang selalu diambil oleh Pak Bei sebagai identifikasi
atau

penyamaan.

Pak

Bei

sangat

mengagumi

Ki

Ageng

Suryamentaram yang juga selalu merokok cap Pompa setiap saat.


Setiap detik dalam hidupnya, sehingga tangannya, kukunya, jarijarinya berwarna kuning. Bu Bei tahu

bahwa

suaminya

pengagumluar biasa Suryamentaram (Canting, 2007: 10).


Setiap malam Jumat Kliwon, Pak Bei dan kerabat keraton lainnya
mengadakan pertemuan untuk membicarakan kebudayaan Jawa yangdirasa
semakin merosot. Pertemuan ini merupakan pembicaraan tanpa ikatan dan
menghasilkan

rumusan

yang

bersifat

definitif.

Pertemuan

ini kemudian

dilaksanakan di Taman Ranggawarsito Njurug atas saran Pak Bei.


Ide pertemuan setiap Jumat Kliwon dimulai dari Ndalem
Tumenggungan. Kanjeng Raden Tumenggung Sosrodiningrat
mengumpulkan kerabatnya setiap 35 hari sekali, tepat hari
Jumat Kliwon, untuk membicarakan kebudayaan Jawa. Tadinya
pertemuan
itu
bernama
Ngrumpaka
Kabudayan
Jawi,tetapi lalu disederhanakan,
atau dimasyarakatkan,
dengan bahasa yang tidak terlalu tinggi, yaitu Nguri-uri
Kabudayan Jawi. Arti yang dikandung sama, yaitu
mengembangkan kebudayaan Jawa. Akan tetapi yang pertama
terlalu ningrat kesannya. Ide itu bermula dari kecemasan KRT
Sosrodiningrat yang melihat kebudayaan Jawa, khususnya

146

kesenian, mengalami kemerosotan (Canting, 2007: 17).


Berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita, tokoh Pak Bei
merupakan tokoh sentral. Dikatakan tokoh sentral karena Pak Bei merupakan tokoh
yang paling menentukan gerak cerita. Pak Bei merupakan pusat perputaran cerita.
Pak Bei bukan hanya pemimpin rumah tangga, tetapi Pak Bei juga merupakan
pusat kegiatan, sumber sekaligus penentu. Dehemnya, senyumnya, cibiran bibirnya,
diamnya, semuanya mempunyai pengaruh lebih daripada sekadar gerakan otot-otot
tubuhnya. Sementara itu, berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita, tokoh
Pak Bei merupakan tokoh bulat. Pak Bei memiliki watak unik dan kompleks. Pak
Bei kadang bersikap acuh tak acuh, tetapi Pak Bei juga suka menolong. Pak Bei
adalah orang yang tabah, tetapi ia juga bisa marah. Oleh karena itu, tokoh Pak Bei
merupakan tokoh bulat.
2)

Bu Bei (Tuginem)
Bu Bei bernama asli Tuginem. Sebelum diperistri oleh pak Bei ia biasa

dipanggil Gi saja. Tuginem terlahir di desa Nusupan. Sebuah desa di sebelah timur
Sungai Bengawan Solo. Ayah dan ibunya seorang buruh batik. Ibunya rajin puasa
senin kemis dan ayahnya suka tidur di teritis pada saat gerimis. Harapan ayah ibunya
suatu saat nanti anaknya menjadi seorang priyayi.
Tuginem diperistri Pak Bei ketika ia masih berumur 14 tahun. Usia yang
masih sangat belia. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa ia akan
diperistri putra sulung Ngabean, Raden Mas Daryono. Kadang ia bertanya mengapa

147

ia yang dipilih padahal banyak anak orang terhormat yang lebih pantas mendampingi
Raden Mas Daryono. Kutipan di bawah menggambarkan siapa sebenarnya bu Bei
yang dikemas dalam bentuk nasihat:
Ingat selalu, kamu ini anak desa. Di Nusupan bukan apaapa dibandingkan di kota. Apalagi keraton. Kamu harus selalu
ingat tanah kelahiranmu, asal-usulmu, supaya tidak lupa. Supaya
kuat menerima wahyu Tuhan Yang Maha Agung. Kamu bukan
hanya membahagiakan dirimu, orang tuamu, leluhurmu, tapi
seluruh desa Nusupan ini, sebelah timur Bengawan Solo ini
akan terangkat derajatnya. Kata Ayahnya.(Canting: 82)
Kamu ini wong cilik. Simbok dan Bapakmu buruh
batik. Tidak mengerti merah hijaunya negara. Tapi kalau
menghendaki, bisa saja seorang putra kanjeng, bangsawan
meminangmu. Den Bei Daryono meminangmu. Tidak untuk
selir, tidak untuk dipelihara, tapi dikawin secara resmi.
(Canting: 81-82)
Konon menurut cerita, Tuginem sesungguhnya anak cucu priyayi yang
menjadi saudagar dari Demak. Keyakinan ini didukung dengan penampilan fisik
Tuginem yang berbeda dengan gadis desa pada umumnya. Sepasang mata dengan alis
yang tebal, kulit kuning, dan tulang-tulang yang halus. Rupanya ciri fisik inilah yang
telah menggoda anak ningrat Raden Mas Daryono. Gambaran fisik Tuginem dapat
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Kita ini sesungguhnya anak cucu priyayi. Kita
terdampar dan berada disini, karena kita dulunya priyayi yang
menjadi saudagar dari Demak. Kita anak cucu dari sana. Saya
selalu menerima dongengan itu, tidak mungkin kalau kita bukan
priyayi. Matamu bukan mata anak desa. Alismu tebal sekali.
Kulitmu kuning. Tulang-tulangmu halus. Hanya namamu saja
Tuginem, karena di desa tidak boleh memakai nama bagus.
Karena dulu kita priyayi yang disingkirkan, yang dibuang.
Untuk membedakan kita harus memakai nama yang jelek.

148

Tuginem nama yang jelek. Tapi kamu akan dipanggil Bu Bei.


Tetapi kamu bisa memberi nama apa saja pada anak-anakmu
(Canting: 83)
Tuginem memang dipersiapkan betul untuk masuk ke dunia priyayi. Kedua
orang tuanya selain rajin bertirikad juga rajin menasihati Tuginem tentang bagaimana
menjadi seorang priyayi. Tuginem awalnya merasa tertekan. Di usianya yang belia
kadang-kadang rasa ingin bermainnya masih muncul ketika itu pula ia harus belajar
bagaimana menjadi seorang priyayi. Kutipan di bawah ini menggambarkan perasaan
ini:
Ia menangis diajari membawa nampan, diajari menyembah,
disuruh belajar menari, diajari membaca, diajari melirik,
tersenyum, menggerakkan ujung jari. Seolah ia tak pernah bisa
apa-apa. Padahal selama empat belas tahun dalam hidupnya, ia
telah ada di rumah Ngabean ini. Bersama kedua orangtuanya.
Dan bisa melakukan apa saja. Bahkan membatik. Tapi tak apa.
Tak perlu bertanya. Menunggu saja.(Canting: 84)
Namun, usaha kedua orang tua Tuginem tidak sia-sia. Tuginem ternyata
berhasil menjadi bu Bei dan memiliki sifat-sifat yang dikehendaki oleh seorang
priyayi. Bu Bei di usianya yang ke- 32 tetap kelihatan cantik, wajahnya selalu
memancarkan kebahagiaan, dan orangnya gesit kalau bekerja. Hal itu terlihat dalam
kutipan berikut ini:
Bu Bei masih memberi kesan muram. Matanya merah.
Matanya merah karena habis menangis. Mata yang indah di
bawah sepanjang alis tebal melengkung. Untuk usianya yang
tiga puluh dua tahun, Bu Bei masih menampakkan kegesitannya
yang luar biasa, dan yang luar biasa adalah wajahnya selalu
nampak bercahaya. Rasanya tak ada yang bisa dipahami, dan
diselesaikan dengan baik dan memuaskan. Cahaya dari wajah
Bu Bei adalah cahaya dari suatu kebahagian. Kebahagian
seorang wanita yang berhasil mengisi hidupnya dengan suatu
kerja yang panjang dan bekti yang tulus kepada suami.

149

(Canting: 6)
Walaupun ada perbedaan lingkungan yang membentuk pribadi Pak Bei dan
Bu Bei, ternyata Bu Bei bisa mengimbangi kehidupan suaminya yang ningrat. Bu Bei
selalu memberikan yang terbaik bagi suaminya, pengabdian yang tulus dan luar biasa.
Bu Bei rela melakukan apa saja asal suaminya bahagia. Seperti memberi kebebasan
untuk pergi dari rumah seharian penuh tanpa alasan yang jelas, agar suaminya lepas
dari suasana rumah. Pertemuan Jumat kliwonan salah satu kegiatan yang tidak pernah
Pak Bei abaikan dan Bu Bei memberi keleluasaan untuk menjalaninya.
Ini hari Kamis Wage. Berarti sore pukul delapan belas nanti
sudah dihitung hari Jumat Kliwon. Sore atau malam nanti, Bu Bei
seperti juga istri-istri yang lain, akan melepaskan suaminya.
Memberikan hari yang khusus untuk membiarkan suaminya pergi
malam penuh tanpa alasan. Kalaupun ada alasan, itu adalah alasan
pertemuan Jumat Kliwonan. Sakral, suci, atau sekadar lepas dari
suasana rumah sehari-hari tidak menjadi masalah utama bagi Bu Bei.
Ia justru merasa bahagia dengan adanya pertemuan semacam itu,
karena bisa melepas suami pergi dari rumah memberi keleluasan
karena selama ini terkungkung, jauh dalam hati Bu Bei mensyukuri
adanya pertemuan yang menurut cerita banyak arti. Seperti yang
secara tidak langsung pernah diceritakan Pak Bei secara sekilas.
(Canting: 17)
Bu Bei mengabdi pada suami dengan ketulusan hati. Pengabdian Bu Bei
tampak dari caranya melayani Pak Bei. Dari hal-hal yang kecil dan sepele semua
diperhatikan jangan sampai mengecewakan Pak Bei. Ia melakukan semua itu dengan
penuh keikhlasan. Ia memberikan pelayanan yang terbaik. Semua tingkah laku dan
tindakan Pak Bei, baik yang berupa kata maupun hanya isyarat Bu Bei sudah
mengerti. Ketika Pak Bei menjauhkan kakinya saat dipijati, itulah tanda bagi Bu Bei
untuk berhenti memijat. Jika Pak Bei marah, ia tak berani tidur di sampingnya. Ia

150

akan tidur menggelar tikar di bawah. Dan apapun yang dikatakan Pak Bei, akan
dituruti tanpa protes tanpa banyak tanya.
Walau begitu bukan berarti Bu Bei adalah wanita yang lemah. Baik secara
fisik maupun mental, ia termasuk pribadi yang kuat. Ia jalani kehidupan berdagang di
pasar secara mandiri. Kutipan di bawah ini menggambarkan keadaan tersebut:
Pasar adalah dunia wanita yang sesungguhnya. Dunia yang
demikian jauh berbeda dengan suasana rumah. Bu Bei berubah
menjadi seorang Direktur, seorang Manajer, seorang pelaksana
yang sigap. Sejak memutuskan siapa yang menarik becak, kuli
mana yang tidak disukai, sampai dengan memilih Yu Tun dan
Yu Mi. Keduanya masih gadis, sedang tumbuh, bisa tersenyum
dan berhitung, dan tak memberengut kalau digoda. Namun,
syarat yang paling penting, pembantu di pasar tak ubahnya
sekretaris. Makin kuat kemampuannya untuk menyimpan
rahasia, makin panjang usia kerjanya. Makin menunjukkan
kekuatan spons yang menyerap liku-liku pergunjingan yang ada,
makin kuat pula kedudukannya.(Canting: 42-43)
Tapi peran yang disediakan pasar Klewer cukup besar,
sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah,
setia, bakti penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga
Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda,
mencolek dan dicolek, dengan keberanian memutuskan
masalah-masalah sulit. Mengambil keputusan sampai ratusan
ribu dalam satu tarikan nafas. (Canting: 50-51)
Pendeskripsian watak tokoh bu Bei melalui deskripsi langsung, serta dialog
antar tokoh. Bu Bei seorang istri yang berjiwa besar dan bijaksana. Menurutnya lebih
baik menjaga keutuhan rumah tangga daripada harus ribut dengan suami. Ketika ia
tahu Pak Bei punya istri muda di Baki yang bernama Karmiyem, Bu Bei tidak marah,
tidak protes. Ia juga tidak menggugat suaminya. Bu Bei pura-pura tidak tahu.
Tindakan ini diambil untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangga, keseimbangan,

151

dan keselarasan yang sudah ada. Bu Bei tidak menyukai kegelisahan. Hal itu bisa
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Berbicara begini saja tak gampang lho Ni. Pada ibumu
sendiri, selama 40 tahun jadi suaminya masih tak bisa. Karena
memang tak diperlukan. Malah akan membuat gelisah. Ibumu
tak suka kegelisahan.(Canting: 248)
Jiwa besar Bu Bei juga ditunjukkan ketika dua saudara Pak Bei yakni
Darmasto dan Darnoto pasrah bongkokan. Pak Bei menyuruh Bu Mei mencarikan
rumah yang pantas untuk mereka berdua. Bu Bei ternyata bertindak di luar dugaan
Pak Bei. Ia membelikan rumah yang layak untuk saudaranya di wilayah Gading
dengan tulus ikhlas.
Bu Bei sangat penurut dan selalu mematuhi apa yang dikatakan Pak Bei. Apa
yang dianggap baik oleh Pak Bei, itulah yang akan diturutinya. Tak pernah
membantah sedikitpun. Inilah sifat seorang istri yang tahu bakti dan mengabdi kepada
suami secara tulus-ikhlas. Penuturan Pak Bei di bawah ini menggambarkan pribadi
Bu Bei:
Tidak. Ibumu tak pernah jadi rintangan kita bicara seperti ini,
saya makin sadar bahwa selama ini ibumu tak pernah merintangi
saya. Tak pernah satu kalipun.
Segalanya serba-iya, serba-inggih, serba sakkersa, serba semau
saya. Belum pernah Ibumu menolak apa yang saya inginkan.
Tidak dengan kata-kata, tidak juga dengan suara hatinya.
Ibumu berhasil menyatukan suara hati dengan tindakan
suaminya.
Ibumu berhasil menyatukan suara hatinya sebagai wanita dan
suara hati seorang istri.
Ini luar biasa. Ini sebabnya saya menganggap Ibumu adalah
wanita yang bahagia lahir maupun batin. (Canting: 280)
Bu Bei seorang istri yang luar biasa. Ia bisa menyatukan antara karier,
kepentingan pribadi, kepentingan istri, dan kepentingan seorang ibu dalam satu
tarikan nafas yang sama. Bu Bei pribadi yang tidak pandai berkata-kata tapi memiliki

152

kemampuan yang luar biasa. Bu Bei adalah pribadi yang sederhana, tapi bisa duduk
sejajar dengan suaminya yang cukup pengalaman dan disegani banyak orang. Kutipan
di bawah ini menjelaskan hal tersebut di atas:
Ini yang istimewa, sebab Ibumu mencapai tingkat pasrah
dalam artian yang sebenarnya. Ibumu bisa menyatukan karir,
kepentingan pribadi, kepentingan istri, kepentingan seorang ibu
dalam satu tarikan nafas yang sama. (Canting: 281)
Ibumu tak pandai menyusun kata-kata. Saya bahkan lupa
apakah Ibumu pernah sekolah atau tidak. Tapi bisa baca tulis
sedikit-sedikit. Tapi lebih dari itu semua bisa mengerti, bisa
menangkap suasana, bisa menyatukan perasaannya. (Canting:
282)
Kalian tahu bahwa Ibumu begitu sederhana sikapnya tapi
juga begitu dasyat kemampuannya untuk menyatukan hatinya
dengan rasa hati saya, seorang ngabehi yang tampan, yang
mengerti bahasa-bahasa asing, yang pernah foto dengan Bung
Karno, yang semua ini tak terbayang dalam dunia Ibumu.
(Canting: 283)
Bu Bei seorang perempuan pekerja keras. Tak pernah mengenal hari libur.
Tak pernah mengeluh dalam situasi sulit, tak pernah mengeluh karena sepi pembeli.
Ia bisa menggerakan usaha bisnisnya dengan naluri, karena ia memang tidak pernah
sekolah manajemen. Penilaian tentang Bu Bei ini disampaikan oleh Pak Bei di akhir
hayat Bu Bei, seperti kutipan berikut ini:
Bu Bei lain tak memiliki kepasrahan yang sama seperti
Ibumu. Kepasrahan yang diwujudkan dengan kerja keras. Saya
mau tanya, apa kalian semua sanggup bekerja seperti Ibumu.
Tak mengenal hari besar dan hari libur kecuali lebaran.
Menyiapkan dagangan, mengurusi batik, mengurusi saya,
mengurusi kalian semua. Sejak sebelum matahari terbit sampai
jauh sesudah matahari tenggelam. (Canting: 284)
Sehabis banjir besar, kota Solo ini hancur. Pembatikan
kita ludes, tinggal lumpur. Usaha macet total. Saya panic karena
tak meilihat cara untuk memulai usaha. Yang terbayang
hanyalah bagaimana menghabiskan simpanan seirit mungkin.

153

Ibumu tetap saja. Bangun pagi, mengambil sapu.


Menyapu. Menyuruh Mijin membersihkan dengan sentoran air.
Mengepel. Merapikan dagangan yang ada. Berangkat ke Klewer.
Tak ada pembeli, tak ada transaksi.
Saya cemas untuk pertama kalinya saya
tanya.
Bagaimana, tak ada yang beli? Ibumu menjawab sederhana,
Namanya orang jualan. Kadang laris, kadang
tidak.(Canting: 285)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bu Bei waktu muda adalah
seorang gadis desa yang sederhana tapi memiliki penampilan yang berbeda dengan
gadis desa kebanyakan. Ia memiliki alis yang tebal, kulit kuning, dengan tulangtulang yang halus. Di usianya yang ke-32 bu Bei tetap tampil cantik, gesit bekerja,
dan sudah pasti pekerja keras.
Bu Bei adalah perempuan yang luar biasa. Sebagai seorang istri ia cukup
mandiri, menjalankan usaha batik dengan naluri keperempuannya. Bu Bei juga
seorang istri pengertian dan tulus ikhlas mengabdi pada Suami. Istri yang tidak
banyak menuntut, berjiwa besar, dan bijaksana dalam tindakan.
Tokoh Bu Bei ditinjau dari aspek fisiologis, psikologis dan sosiologis sebagai
berikut :
a) Fisiologis
Secara fisik, Bu Bei digambarkan sebagai wanita yang gesit, beralis tebal,
dan berkulit kuning. Wajah Bu Bei selalu tampak bercahaya, cahaya kebahagiaan.
Selain itu, untuk usia 32 tahun, Bu Bei selalu menampakkan kegesitannya baik di
rumah maupun di pasar.
Untuk usianya yang 32 tahun, Bu Bei masih menampakkan
kegesitan yang luar biasa, dan yang paling luar biasa adalah

154

wajahnya yang selalu tampak bercahaya. Rasanya tak ada


masalah yang tak bisa dihadapi serta diselesaikan dengan baik
dan memuaskan. Cahaya wajah Bu Bei adalah cahaya
kebahagiaan. Kebahagiaan wanita yang berhasil mengisi
hidupnya dengan kerja yang panjang dan bekti yang tulus
kepada suami (Canting,2007: 6).
Matamu bukan mata anak desa. Alismu tebal sekali. Kulitmu
kuning. Tulang-tulangmu halus. Hanya namamu saja Tuginem
. (Canting, 2007:83).
Bu Bei menyusul di belakang dengan langkah-langkah pendek,
akan tetapi juga mengesankan kegesitan. Menghindari
tubrukan dari depan, dorongan dari belakang, dan sekaligus
membalas sapaan, teguran, dengan senyum atau hanya
pandangan, atau campuran keduanya (Canting,2007: 40).
b) Psikologis
Bu Bei sangat patuh dan setia pada suaminya. Bu Bei selalu berusaha
untuk menyenangkan suaminya. Menyiapkan semua keperluan suaminya dan
berusaha untuk tidak membuat kesalahan. Bu Bei pun tahu apa yang tidak disukai
oleh Pak Bei.
Malam itu Pak Bei berangkat ke Yogyakarta, diantarkan
oleh sopirnya. Bu Bei menyediakan segala perlengkapan yang
dibutuhkan. Pak Bei tidak mengajak bicara satu orang pun.
Langsung berangkat begitu saja. Semua keperluannya, mulai
dari pakaian, uang, perlengkapan untuk melayat, telah
disediakan. Juga rokok Pompa kesukaannya (Canting,
2007: 10).
Hari
berikutnya,
sopirnya
kembali
sendirian.
Menyampaikan pesan Pak Bei untuk Bu Bei. Agar menyiapkan
dan menyediakan segala sesuatu mengenai
upacara
tujuh hari meninggalnya Ki
Ageng Suryamentaram.
Akan diadakan di Ndalem Ngabean Sestrokusuman. Yang
biasanya datang agar diundang. Dan sore hari, dua jam
menjelang upacara peringatan tujuh hari dilakukan, Pak Bei
datang. Mandi bersih, menyalami semua tamu yang datang,
dan menyilakan duduk. Bu Bei telah menyiapkan
segalanya.
Mulai dari menata
meja-kursi dan

155

tikar, menyiapkan hidangan, sampai dengan memanggil Pak


Modin yang akan membacakan doa-doa. Juga bingkisan untuk
dibawa para tamu serta dibagikan (Canting, 2007: 12).
Pak Bei pasti ke kamar mandi. Bu Bei sudah menyiapkan air
hangat-yang dijerang di atas kompor. Tinggal membawa dan
menuangkannya ke bak ember. Lalu menuangkan air dingin
dari bak mandi yang besar sekali. Menyentuh dengan
tangannya untuk merasakan bahwa airnya cukup hangattidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Ujung kuku Bu Bei
bisa mengetahui persis suam yang dikehendaki Pak Bei. Seperti
juga kepekaan Bu Bei bisa mengetahui handuk apa yang
dipilih saat itu, kain sarung tenun yang mana, ataupun kaus
dan piama apa yang dipilih. Semua telah disiapkan,
digantungkan di pintu kamar mandi . (Canting, 2007: 34-35).
Bu Bei rela melakukan segalanya asal dapat membahagiakan hati
suaminya. Selain itu, Bu Bei tidak pernah membantah perintah Pak Bei. Bu Bei
selalu menerima dengan ikhlas semua keputusan yang Pak Bei buat. Bu Bei
merupakan istri yang selalu patuh pada suami.
Bu Bei tahu bahwa suaminya pengagum luar biasa
Suryamentaram. Bu Bei rela menyumbangkan apa saja,
asalkan suaminya bisa gembira (Canting, 2007: 10).
Kalau sudah begitu, Bu Bei tak akan membantah atau
mengubah, bahkan titik dan komanya. Bu Bei lebih suka
menulikan telinga dan membutakan mata batinnya. Baginya
hanya ada satu nilai: apa yang dikatakan Pak Bei. Titik, selesai
(Canting, 2007: 131).
Bu Bei mempunyai sifat yang tabah dan suka bekerja keras. Hal ini
terlihat ketika banjir besar telah surut yang meninggalkan kotoran. Semua kain
batik baik

yang sudah jadi maupun yang

belum terendam banjir, semua

menjadi gombal. Pasar pun sepi, tidak ada pembeli. Pak Bei yang begitu gagah
pun gusar hatinya, tetapi Bu Bei sangat tabah. Setiap hari membersihkan rumah

156

dan tetap pergi ke pasar Klewer meskipun tidak ada yang membeli dagangannya.
Saya cemas. Untuk pertama kalinya saya tanya, Bagaimana?
Tak ada yang beli?
Ibumu menjawab sederhana,
Namanya orang jualan. Kadang laris, kadang tidak.
Gusti! Saya tak pernah membayangkan mempunyai istri yang
begitu bijak. Saya bilang, tak kalah filosofisnya dengan bukubuku yang ditulis pujangga kampiun (Canting, 2007: 285).
Bu Bei yang berbakti kepada suaminya, juga Bu Bei yang galak dan
pemberani. Sifatnya ini muncul ketika ia berada di pasar. Ia bahkan bisa
mencolek dan dicolek orang lain. Keberanian Bu Bei ditunjukkan ketika
memutuskan hal-hal yang penting tentang penjualan batiknya, bahkan Bu Bei
berani berurusan dengan polisi.
Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia,
bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu
Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda,
mencolek dan dicolek, dan dengan berani memutuskan
masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai
dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas
(Canting,2007: 50-51).
Bu Bei suka menolong terhadap sesama. Bu Bei menolong saudara
suaminya, dengan mengirimkan uang setiap bulan kepada adik- adik Pak Bei.
Selain itu, tanpa sepengetahuan Pak Bei, Bu Bei juga memberi bantuan kepada
Karmiyem, selir Pak Bei yang telah dicerai.
c) Sosiologis
Bu Bei dulu bernama Tuginem. Anak seorang buruh batik keluarga
Sestrokusuman. Bu Bei sebenarnya termasuk priayi keturunan saudagar Demak
yang terdampar di Nusupan. Setelah menikah dengan Pak Bei,

nama Tuginem

157

tidak digunakan lagi. Setelah mertua Bu Bei meninggal dunia, Bu Bei yang
melanjutkan usaha pembatikan mertuanya dan pergi berdagang di Pasar Klewer.
Ni, ibumu itu dulunya wong ndesa. Sekali dari desa tetap dari
desa. Pikirannya lugu, lurus, dan hanya mengenal satu jalan
saja (Canting,
2007: 48).
Kita ini sesungguhnya anak cucu priyayi. Kita terdampar dan
berada di sini, karena kita dulunya juga priyayi yang
menjadi saudagar dari Demak. Kita anak cucu di sana. Saya
selalu menerima dongengan itu. (Canting, 2007: 83).
Bu Bei mengikuti jejak suaminya yang priayi Abangan. Bu Bei beragama
Islam, tetapi masih

mempercayai hal-hal yang

bersifat kejawen seperti Pak

Bei. Bu Bei kurang mendalami agama Islam. Oleh karena itu, ia mudah merasa
kecewa. Kekecewaan ini berlanjut hingga ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal
dunia secara mendadak.
Bu Bei ketika di rumah berbeda dengan ketika berdagang di Pasar Klewer.
Di rumah, ia adalah seorang istri dan ibu yang penuh bakti pada suami dan
keluarga, sedangkan di pasar, ia menjadi wanita karier yang galak dan bisa
memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek, dan dicolek dan dengan berani
memutuskan masalah-masalah yang sulit. Bu Bei bahkan diduga mempunyai
pacar di Pasar Klewer.
Bagaimana, Bu Bei, jadi?
Jadi apanya? jawab Bu Bei sambil mengulum jeruk.
Yang mana ini? Tun apa Mi yang diberikan? Kok tanya
saya?
...
Babon-nya saja ah, kalau anaknya tidak mau.
Bu Bei
mengikik.
Biji jeruk dilemparkan ke

158

saudagar
Pekalongan.
Saya sudah tua. Kalau ada yang masih kinyis-kinyis, kenapa
cari yang tua? Mau ambil apa? Taplak? Ada yang bagus. Mi...
ambilkan taplak yang baru jadi itu. Pilihkan yang bagus.
Pakdemu ini kalau cacat sedikit saja tidak mau. Inginnya yang
mulus....
Saudagar Pekalongan memilih,
mengambil
tumpukan,dan membayar apa yang diambil seminggu yang
lalu. Disertai tawa dan gurauan, semua berjalan lancar. Ajakan
bisa berarti gurauan, bisa berarti sungguhan. Masing-masing
sama mengetahui, sama menyadari, dan tahu bahasa masingmasing. Bahasa saling percaya.... (Canting, 2007: 44-45).
Berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita, tokoh Bu Bei merupakan
tokoh pembantu. Dikatakan tokoh pembantu karena Bu Bei hanya memegang peran
pelengkap dan tambahan dalam rangkaian cerita. Bu Bei tidak selalu hadir dalam
semua cerita. Kehadiran Bu Bei ini menurut kebutuhan cerita saja. Sementara itu,
berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita, Bu Bei merupakan tokoh
pipih atau datar. Dikatakan datar karena Bu Bei adalah tokoh yang memiliki watak
sederhana. Bu Bei digambarkan sebagai tokoh yang memiliki watak yang baik. Bu
Bei sangat berbakti, patuh dan setia pada suaminya, tabah dan suka bekerja keras. Ia
juga digambarkan suka menolong orang lain. Penggambaran watak Bu Bei
sepenuhnya memiliki watak baik. Oleh karena itu, tokoh Bu Bei merupakan tokoh
pipih atau datar.
3)

Ni (Subandini Dewaputri Sestrokusuma)


Ni nama lengkapnya Subandini Dewaputri Sestrokusuma. Ia tokoh utama

perempuan dalam novel Canting. Ni hadir sebagai tokoh utama dalam novel ini
setelah bu Bei wafat. Ni adalah anak ke-6 dari keluarga Pak Bei. Ia lahir 11 tahun

159

setelah Wening kakaknya yang nomor 5 yang ketika itu dianggap sebagai si bungsu
dan bintang keluarga.
Saat Ni dalam kandungan, keluarganya mengalami krisis kepercayaan karena
ia diragukan sebagai keturunan Pak Bei. Namun krisis berlalu dengan sendirinya. Pak
Bei membiarkan saja peristiwa itu dan tidak ingin konflik terbuka terjadi di
keluarganya. Walaupun sikap pak Bei cukup membuat bu Bei gelisah. Dengan sikap
itu, pak Bei berharap keluarganya tetap utuh.
Ni bukannya tidak tahu riwayat kelahirannya. Namun hal ini tidak
membuatnya menjadi berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Bahkan Ni
justru menjadi anak emas ayahnya. Saat kelahiran Ni, Pak Bei membanggakan
sebagai anak yang akan membuat sejarah yang berbeda dengan kakak-kakaknya. Di
bawah ini gambaran kelahiran Ni:
Bu Bei seperti malas menyiapkan popok yang dulu sudah
diberikan kepada orang lain. Seperti malas untuk menyediakan
tempat tidur bayi. Untuk minum jamu-jamu. Tapi bayinya lahir
juga.Perempuan.Bayi dengan pipi tembam, tidak mempunyai
rambut. Dan menangis keras seolah memecah ruangan.
Tendangannya sangat kuat. Bayi yang hitam, kurus dan tampak
sangat panjang kakinya.(Canting: 85-86)
Anakmu sudah lahir, Bu kata Pak Bei di samping Bu Bei yang
masih susah mengatur nafas.
Hitam seperti jangkrik.
Bu Bei menangis.
Selamat semuanya.
Bu Bei menangis lagi.
Dulu, kelima anaknya lahir, dan pak Bei sudah menyiapkan
nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja.
Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil
meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat mengisap dan
membuat sakit.( Canting: 86)

160

Bayi kecil dan baru saja digunduli kepalanya hingga plontos itu sangat lucu,
walau tak tersembunyikan pipinya yang tembam, dan tulang-tulangnya yang
kelihatan menonjol, lucu tetapi juga tidak mengesankan cantik. Terutama karena
alisnya seperti tidak tumbuh sama sekali. Pak Bei justru menganggap Ni sebagai anak
yang istimewa dengan segala kekurangan yang dibawanya sejak lahir.
Pada malam selapanan Pak Bei membolehkan Bu Bei makan apa saja yang
sebelumnya dikekang. Seolah Pak Bei mulai menerima nilai ganda secara terbuka
sejak malam itu. Ni dianggap istimewa

karena waktu ia lahir tidak dibuatkan

procotan, untuk mempermudah kelahiran. Namun ia lahir begitu mudah. Juga waktu
membuat brokohan, nasi urapnya pedas sekali padahal seharusnya tak boleh terlalu
pedas karena yang lahir bayi perempuan.
Ni ini istimewa. Waktu mau lahir, kami tidak membuat
procotan. Padahal procotan untuk memperlancar persalinan,
karena ibaratnya bisa mrocot, nongol dengan cepat. Tapi Ni
tidak pakai bubur putih yang dicampuri ubi. Ia lahir begitu saja.
Juga waktu membuat brokohan, nasi urap, semua menyadari ada
kekeliruan. Seharusnya nasi urap tidak terlalu pedas, karena
yang lahir adalah bayi perempuan. Tapi entah kenapa jadinya
urapnya pedas sekali.(Canting: 116)
Untuk bayi perempuan seharusnya tak boleh masak kluwih, karena itu hanya
untuk laki-laki. Agar besok jadi anak yang linuwih. Tapi nyatanya di belakang masak
lodeh kluwih. Dengan keanehan-keanehan ini, Ni memang telah menunjukkan bahwa
ia memang berbeda dengan saudara-saudaranya. Pada kenyatannya, Ni memang
berbeda

dengan

semua

saudaranya

baik

secara

fisik

maupun

sifat-sifat

pembawaannya. Jika semua kakaknya tumbuh jadi orang yang penurut, begitu segan

161

dan selalu mengiyakan apa yang dikatakan ayahnya maka Ni tidak. Kakak-kakaknya
menuruni sifat priyayi Bu Bei yang begitu taat dan berbakti kepada Pak Bei.
Ni pemberani, ceplas-ceplos kalau bicara, dan berani bersikap terbuka pada
ayahnya. Tidak seperti kakak-kakaknya yang hanya bisa mengatakan: inggih, leres,
mboten wonten menapa-menapa. Namun sikap Ni ini justru disukai oleh Pak Bei
karena dianggap sebagai generasi kedua setelah Pak Bei yang berani tidak Jawa.
Kamu biasanya ceplas-ceplos, Ni.
Ni berjalan ke belakang.
Di bawah sorot pandangan semua yang hadir.
Mungkin akan segera hilang di bagian rumah yang lain, kalau
tidak terdengar suara pak Bei.
Piye, Ni?(Canting: 196-197)
Ni tumbuh dan berkembang di Ngabean. Ia merasa dekat dengan para
buruhnya, sehingga suatu saat waktu ia masih SMP ia mengetahui peristiwa
kehamilan Wagimi, teman sepermainannya di kebon. Ia merasa terpukul Wagimi
disingkirkan. Ia protes pada Ayahnya, tapi ia justru dibentak. Ni tahu siapa yang
menghamili Wagimi secara tidak sengaja. Berikut

adalah kutipan yang

menggambarkan peristiwa tersebut:


Wagiman, kamu tahu siapa yang berbuat ini?
Wagiman gemetar.
Menggeleng,
Dalem sudah menanyai, Pak Bei. Tapi Genduk selalu
menangis.
Nduk, aku yang bertanya sekarang ini. Siapa yang
menghamilimu?
Wagimi menangis, gemetar, keringatan.
Aku yang bertanya!
Den Bagus Wahyu ... (Canting: 232-233)

162

Ni juga mengetahui peristiwa Lintang yang menggelapkan pengiriman batik


yang menyebabkan Pakde Wahono dan Pakde Karso ditahan. Ni membela mereka.
Itulah sifat Ni, ia begitu memperhatikan buruh batiknya yang dianggapnya telah
berjasa pada keluarganya. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan kuliah di Semarang
Jurusan Farmasi. Ni juga memiliki calon suami namanya Himawan, kakak kelasnya
seorang insinyur teknik.
Ni orangnya emosional, suka bercanda, dan sedikit manja. Maklum karena ia
anak bungsu, dan biasa diperhatikan ayah ibunya dan juga saudara-saudaranya.
Dalam suasana khidmat pun, kadang-kadang Ni masih bisa bercanda. Itulah sifat Ni.
Begitupun ketika keluarganya menanyakan tentang kapan ia bersedia menikah.
Gambaran karakter tokoh Ni bisa dicermati lewat penuturan kakak-kakaknya:
Ni, kamu tak bisa menjawab tak ada masalah. Sejak
dulu kamu ini maunya aneh-aneh. Nanti kalau pakai tamu
disalahkan. Kok pakai tamu. Kalau tidak pakai tamu, kita juga
disalahkan. Kok tidak pakai tamu, padahal kakak-kakaknya
tamunya banyak. Kalau kami bilang dua bulan lagi, kamu
merasa dikejar-kejar.Kamu memang paling sulit, Ni, Kata
Bayu.(Canting: 188-189)
Ni! Suara Bayu meninggi. Kamu bukan anak kecil
lagi. Caramu meminta perhatian saat ini sungguh kekanakkanakan. Kamu tak bisa membedakan mana yang penting, mana
yang tidak. Kamu tidak memiliki sifat ambeg parama arta.
(Canting: 190)
Ni juga pribadi yang keras kepala, bahkan suka nekat. Pantang mundur jika
sudah punya keyakinan. Saat ibunya di rumah sakit. Ni ingin menengok tapi dilarang
oleh semua saudara-saudaranya. Karena menurut saudara-saudaranya, ibunya sakit

163

karena ulah Ni. Keinginan Ni untuk mengurus usaha batik membuat bu Bei jatuh
sakit dan harus dirawat dalam suasana yang cukup serius.
Namun Ni tetap nekat mau berangkat ke rumah sakit. Semua tak bisa
menghalanginya. Hanya Pak Bei yang bisa mencegah kenekatan Ni. Ni menyadari
bahwa sifat keras kepalanya hanya bisa ditundukkan oleh Pak Bei. Bukan dengan
kekerasan tapi justru dengan kelembutan. Kekerasan hati Ni tampak dari kutipan
berikut ini:
Ini saatnya ia membuktikan bisa dan tetap bisa berbuat
sesuatu. Ia akan nekat ke rumah sakit. Kalau perlu perang
terbuka di sana. Tapi niatnya menjadi surut, menyusut sendiri.
Di sana ada Pak Bei. Ada Rama, ia tak akan leluasa berbicara.
Ni, sekarang saatnya! Saatnya kamu tetap tegak di depan
Rama! Ni meneriakkan sendiri dalam hati untuk memompa
semangatnya. Ni mengambil jaketnya, merapikan rambutnya
dengan tangannya. Tekadnya sudah bulat, tak bisa dihalangi
lagi. (Canting: 227)
Apakah ini berarti bahwa ia telah dikalahkan oleh
ayahnya? Ia dikalahkan justru dengan cara pendekatan yang
halus? Benarkah kekerasan selalu kalah dengan kelembutan?
Benarkah ini kelebihannya ayahnya yang tak tertandingi?
Ni berbaring dan masih bertanya-tanya. Ia saying dan
hormat pada ibunya. Ia masih tetap bandel seperti kata ayahnya.
Ia hormat dan kagum pada ayahnya. Ia masih bisa bandel karena
ia memang keras kepala. (Canting: 259-260)
Setelah ibunya meninggal. Ni diberi kesempatan oleh ayahnya untuk
mewujudkan keinginannya untuk mengurusi batik, meneruskan usaha ibunya. Ni
demikian bersemangat, tapi ia sedikit kecewa karena niat baiknya itu ditanggapi
biasa-biasa saja oleh semua buruhnya. Walau demikian, Ni tak putus asa. Ia begitu

164

bersemangat mengelola usaha pembatikan itu sehingga tenggelam dan mabuk dalam
suasana bekerja.
Ia seperti kesetanan bekerja. Kadang sampai larut malam ia baru istirahat.
Suatu hari datanglah Laksmi, sepupunya dari Laweyan berkunjung menanyakan
kiriman bulanan. Ni merasa gondok, karena keluarga Laweyan seperti menagih bunga
rekening di Bank saja. Sewaktu ibunya masih hidup, memang menjadi kebiasaan
mengirim uang belanja pada keluarga Laweyan dan Gading setiap bulan. Tapi kini
ibunya sudah meninggal. Mereka masih juga menagih.
Ni menjadi tak enak hati ketika menolak memberikan kiriman itu, karena
Laksmi bilang itu soal kerelaan saja. Sifat tegas Ni diguncang dengan rasa
kemanusiaan. Kutipan di bawah ini menggambarkan hal tersebut:
Kerelaan macam apa? Ni merasa terjungkir balik..Justru
sekarang ini dirinya seakan berada dalam posisi yang hina, yang
nampak serakah. Yang tak kenal mengenal keluarga. Yang tak
mempunyai kerelaan.(Canting: 335)
Itulah tantangan awal yang dihadapi Ni ketika mengelola usaha pembatikan.
Ternyata tantangan itu tidak hanya dari Laweyan saja, tapi juga dari kakak iparnya
sendiri. Juga dari saudaranya yang lain seperti mengasingkan dirinya. Sikap
saudaranya terwakili oleh kata-kata Ayu Prabandari, istri Wahyu. Hal itu bisa
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Ni itu kurang tahu diri, ia tak sadar dilulu oleh Rama. Ia tidak
mengerti bahwa Rama sengaja membiarkan Ni terjerumus oleh
keinginannya yang aneh-aneh. Ia minta mengurusi batik, dan
oleh Rama, karena ingin menolak dengan cara halus, dan Ni
tidak tahu dilulu seperti ini. Diiyakan. Harusnya kan tahu.
(Canting: 344)

165

Ni merasa usahanya sia-sia karena ia merasa diasingkan oleh keluarganya. Ni


menjadi bimbang. Dan apa yang dirasakan Ni kegembiraan yang melenting tinggi
karena merasa terjun sepenuhnya dalam pembatikan, kini seperti terbanting dan
terhempas. Inilah hasil akhir, kepingan dari keutuhan keluarga, kerontokan dari
keluarga Sestrokusuman. Ia mulai bimbang dan mencari-cari kesalahannya sendiri.
Ia menemukan kekeliruan itu, bahwa para buruh akan tetap hidup walau
usaha pembatikan ditutup. Ia merasa bahwa usahanya tak berarti. Akhirnya, Ni
menyadari bahwa ia kalah. Ni menyadari bahwa usahanya menjadi buntu. Batik cap
Canting yang diangkat kembali ke pasar, ternyata tidak laku.
Kegagalan Ni disebabkan karena ia harus bersaing dengan batik printing, yang
lebih cepat pembuatannya dan lebih murah harganya. Ni kalah oleh kemajuan zaman
dan kemajuan teknologi. Dan ketika upacara seratus hari meninggalnya Bu Bei
diadakan di Surabaya, Ni merasa terasing dari keluarga sehingga ia menjadi pendiam.
Perubahan sikap Ni dapat dicermati dari perkataan pak Bei dalam kutipan berikut ini:
Kamu kok pendiam sekarang?
Bahaya kalau kamu jadi pendiam. Bisa brutal, kasar, kurang
baik, karena pada dasarnya kamu itu bukan begitu. Kata Nak
Himawan kamu ini aneh. (Canting: 374)
Karena terlalu berat pikirannya akhirnya Ni jatuh sakit. Semua saudaranya
berkumpul dan menengoknya. Saat itu keadaan Ni pucat, kurus, hitam, dan terbaring
tak berdaya. Kata Wahyu, ginjal Ni tidak beres, tekanan darahnya rendah dan
beberapa komplikasi lain. Keadaan Ni gawat saat itu.

166

Karena Pak Beilah Ni bisa sembuh. Tentunya pak Bei juga hanya sebagai
perantara dari sang Khaliq. Akhirnya Ni mengambil keputusan untuk melepas cap
Canting. Ia kembali melanjutkan usaha batiknya dan menyerahkan hasil usahanya
kepada perusahaan besar. Perusahaan besar itu akan menjual kembali dengan
memakai cap perusahaan mereka.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ni digambarkan sebagai seorang
gadis pemberani dan ceplas-ceplos kalau bicara. Ia sangat berbeda dengan saudarasaudaranya. Ni pribadi yang sedikit manja, suka bercanda, dan kadang menunjukkan
sikap yang emosional. Ni juga pribadi yang keras kepala dan suka nekat. Seperti
kenekatannya untuk memilih usaha batik yang ditentang keluarganya.
Setelah menjalankan usaha batik, kelihatan betul ia menuruni sifat pekerja
keras yang dimiliki oleh ibunya. Ia juga tegas mengambil keputusan, tidak ragu-ragu
dalam bertindak. Ni juga cukup perhatian terhadap buruk batiknya. Ni juga
mengesankan pribadi yang pantang menyerah. Itu terbukti ketika usaha batiknya
sedang dalam kondisi sulit ia tetap berusaha bangkit dengan berbagai cara. Akhirnya,
usahanya tidak sia-sia. Batik yang menjadi pilihannya bisa berjalan dan bertahan
dengan melepaskan nama canting.
Tokoh Bu Bei ditinjau dari aspek fisiologis, psikologis dan sosiologis sebagai
berikut :
a) Fisiologis
Waktu kecil, Ni digambarkan sebagai bayi dengan pipi tembam dan
tidak mempunyai ramput. Selain itu, bayi Ni juga digambarkan

167

berkulit hitam, kurus, dan memiliki kaki yang panjang. Ia berbeda dengan
saudaranya yang lain.
Bayi dengan pipi tembam, tidak mempunyai rambut,
dan menangis keras sekali seolah memecahkan ruangan, tendangannya
sangat kuat. Bayi yang hitam, kurus, dan tampak sangat panjang
kakinya (Canting, 2007: 86).
Kebahagiaan itu mencapai puncaknya, ketika Pak Bei
akhirnya menggendong anaknya yang hitam dan pipinya tembam.
Lebih dari itu semua, pada lima hari usia si kecil, Pak Bei agaknya
mendemonstrasikan menggendong ke tengah pertemuan yang biasa
diadakan (Canting, 2007:87).
b) Psikologis
Ni sangat memperhatikan nasib para buruh batik keluarganya. Ia
merasa berutang budi kepada para buruh batik. Ni merasa dengan adanya
mereka, keluarganya menjadi orang yang berkecukupan, saudaranya menjadi
orang-orang yang berhasil dalam menggapai cita-citanya.
Itu saat pertama Ni menjadi gusar.
Ni berlari masuk ke rumah, menemui ibunya.
Ibu jahat, teriak Ni dengan suara serak.
Aku yang menyuruh, kata Pak Bei, yang membuat Ni
memandang dengan sorot mata sengit.
Aku yang menyuruh Mbok Tuwuh pergi dari tempat ini.
Ni gondok (Canting, 2007: 216-217).
Ni suka berbicara sembrono dan senang bercanda. Selain itu, Ni juga
merasa paling dekat dan dapat terbuka dengan ayahnya. Akan tetapi, ketika
telah berhadapan dengan ayahnya, Ni tidak dapat berbicara apa-apa. Ia hanya
dapat mengatakan iya, iya, dan iya meskipun sebelumnya telah menyiapkan
jawaban dan menghafalkannya, ia tetap tidak dapat mengeluarkannya,

168

keberaniannya hilang begitu saja.


Ni sadar ia bukan anak kemarin sore. Bahkan ia sering dianggap
bicara sembarangan. Senang bercanda . (Canting, 2007: 205).
Itulah yang akhirnya dikatakan sambil mengangguk. Inggih
Rama-Iya, Ayah, iya, iya, iya. Kalau ayahnya sudah memutuskan
sesuatu, tak ada yang mempertanyakan. Tidak juga Ni yang
merasa paling dekat dan bisa terbuka (Canting, 2007: 248).
Ni memiliki sifat yang keras kepala dan bandel. Ini ditunjukkan
ketika ia bersikeras untuk melanjutkan usaha pembatikan keluarga, meskipun
ditentang oleh seluruh saudaranya.
Kamu tak tahu, Ni. Masalahnya sangat gawat. Kamu ini keras
kepala, bandel, anak ngungan, dimanja
Apa lagi?
Ni, kuminta kamu berlapang dada (Canting, 2007: 238).
c) Sosiologis
Ni adalah anak keenam Pak Bei dan Bu Bei. Nama lengkapnya
adalah Subandini Dewaputri Sestrokusuma. Ketika dalam kandungan, ia
diragukan oleh Pak Bei sebagai anaknya. Ia adalah mahasiswa farmasi di
salah satu perguruan tinggi di Semarang dan sebentar lagi diwisuda. Ni
memiliki pacar bernama Himawan, yang akhirnya menjadi suaminya. Setelah
menikah dengan Himawan mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi
nama Canting Daryono.
Aha, saya masih pantas menjadi ayah, kata Pak Bei bergurau.
Tahun depan juga masih pantas, kata Pak Bei Noto.
Saya tahu kamu namakan apa anakmu ini, kata Pak Menggung.
Pasti ada hubungannya dengan Suryamentaram. Namanya
Subandini Dewaputri Sestrokusuma.(Canting, 2007:87)
Ni minggu depan ini diwisuda. Kalau dulu berjanji akan

169

menyelesaikan kuliahnya dulu, sekarang sudah selesai, Wahyu


bicara perlahan, suaranya menekan.Sudah sarjana farmasi
sekarang ini? (Canting, 2007: 186).
Berdasarkan

peranan

dan

fungsinya

dalam cerita,

tokoh Ni merupakan tokoh sentral. Dikatakan tokoh sentral karena tokoh


Ni merupakan tokoh yang menentukan gerak cerita selain tokoh Pak Bei.
Sejak dalam kandungan Ni sudah menjadi pusat cerita. Setelah Ni dewasa
dan mengambil alih usaha pembatikan keluarga, Ni juga menjadi pusat
perputaran cerita. Sementara itu, berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam
cerita, tokoh Ni merupakan tokoh bulat. Dikatakan bulat karena tokoh Ni
memiliki watak unik dan tidak bersifat hitam dan putih. Tokoh Ni memiliki
sifat yang baik, selalu memperhatikan buruh batiknya. Akan tetapi, tokoh
Ni juga memiliki sifat yang suka bicara sembrono dan keras kepala.
Oleh karena itu, tokoh Ni merupakan tokoh bulat.
d.

Latar
Setting adalah tempat di mana cerita itu berlangsung dan terjadi. Setting bisa

meliputi tempat, waktu, dan suasana. Latar cerita berkaitan dengan waktu dan tempat
penceritaan. Waktu dapat berarti tahun, bulan, tanggal, siang dan malam. Tempat
dapat berarti di dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota
mana, di negeri mana, dan sebagainya. Sementara suasana adalah keadaan yang
melingkupi sebuah cerita.

170

Untuk lebih jelasnya, penulis akan membahas satu persatu setting yang ada
dalam cerita Canting ini. Setting tersebut yakni: setting tempat, setting waktu, dan
setting suasana.
1) Setting Tempat
Dalam novel Canting ada beberapa tempat yang menjadi setting cerita. Secara
umum, cerita ini terjadi di kota Solo. Tepatnya di njero Beteng di mana keluarga Den
Bei Sestrokusumo bertempat tinggal. Dalem Sestrokusuman adalah setting primer
dalam novel ini. Sedangkan Pasar Klewer, Njurug, Laweyan, dan Gading merupakan
setting sekunder.
Ndalem Ngabean Sestrokusuman adalah sebutan untuk rumah luas yang
dibentengi tembok tebal merupakan kediaman Raden Ngabehi Sestrokusuma. Di
samping ruang utama ada gandhok yang membujur panjang jauh ke belakang. Di
bagian belakang bangunan utama berderet-deret kamar untuk para buruh batik.
Tempat ini biasa disebut kebon. Kutipan di bawah ini gambaran keadaan dalem
Ngabean Sestrokusuman:
Dalem Ngabean Sestrokusuman, sebutan untuk sebuah
rumah luas yang dibentengi tembok tebal kediaman Raden
Ngabehi Sestrokusuma, tidak biasanya sepi seperti ini. Tak
pernah halaman samping pendapa yang begitu luas sunyi dari
anak-anak kecil bermain atau bunyi sapu lidi membersihkan.
Tak pernah bagian gandhok, di samping ruang utama yang
membujur ke belakang jauh sekali, begitu kosong dari tarikan
nafas. Di gandhok itu, biasanya ada 112 buruh batik, sepuluh
diantaranya tukang cap, yang bekerja sejak pagi hari sampai
sore hari. Diseling istirahat yang tak lama, lalu dilanjutkan
sekitar separonya yang bekerja lembur. (Canting: 5)

171

Empat puluh buruh batik, yang sebagian besar pasangan


suami istri, kembali ke dalam kamarnya. Kamar yang berderetderet di bagian belakang bangunan utama. Bagian yang disebut
kebon. Di sana pula, anak-anak yang tengah bermain di-sssttttttt
agar tidak membuat gerakan berlebihan atau suara yang bisa
mengganggu. (Canting: 6)
Selain setting primer, novel ini juga memunculkan beberapa setting sekunder.
Salah satu setting sekunder yang muncul dalam novel ini adalah Pasar Klewer. Pasar
Klewer merupakan sebuah tempat Bu Bei berdagang batik di salah satu kiosnya.
Pasar Klewer sebuah pasar sederha yang tidak lebih baik dari Pasar Singosaren itu
memiliki magnet yang luar biasa bagi pedagang. Gambaran Pasar Klewer dapat
dicermati dalam kutpan berikut ini:
Bangunan mirip barak-barak sederhana itu tak ada apaapanya jika dibandingakan dengan Pasar Singosaren yang
dikelilingi tembok tebal, dengan kios-kios yang mentereng dan
toko-toko yang penuh hiasan. Tak ada apa-apanya kalau
dibandingkan Pasar gede yang bangunannya bertingkat. Akan
tetapi perputaran dagangan lebih mudah ditemukan di Pasar
Klewer. (Canting: 49)
Pasar Klewer memang unik. Dikatakan tidak lebih baik dari pasar yang lain tapi
faktanya mampu menyedot perhatian pembeli dan pedagang di wilayah Solo. Pasar
Klewer merupakan tempat berekspresi bu Bei dan beberapa pedagang perempuan
lain. Bu Bei yang di rumah selalu iya dan inggih dengan pak Bei, di Pasar Klewer ia
bak seorang pemimpin perusahaan. Keperkasaan bu Bei sebagai pedagang Batik bisa
dicermati dalam kutipan berikut ini:
Pasar Klewer mempunyai kekhasan. Kios-kios papan
sederhana, yang sebagian dibuat dari kayu jati bukan kelas satu,
dengan atap seng, dan selalu padat mampat, adalah pasar
pemeran kekuasaan wanita. Lelaki yang datang adalah lelaki

172

pembeli, baik satu-dua yang tertarik senyum dan tawaran Tun,


ataupun Saudagar Pekalongan. Lelaki yang berdandan begitu
rapi, yang rambutnya ditekuk ke atas, bersepatu mengkilat, dan
saputangan menyembul dalam lipatan rapi, tak lebih dari
makelar. (Canting: 46-47)
Pasar Klewer memang perkasa. Di lingkungan sekitar Pasar Klewer banyak
tempat penting. Ada deretan toko emas dan berlian. Ada mesjid Agung dan alun-alun
utara tapi Pasar Klewer paling menarik dari tempat-tempat tersebut. Pasar dicari dan
dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru. Di bawah ini kutipan yang
menggambarkan keadaan tersebut:
Dengan kekuatan peputaran duit yang besar. Pasar
Klewer mampu mengubah sebagian halaman sekolah di sebelah
utara menjadi tempat penitipan sepeda. Seperti juga rumah yang
selalu tertutup di sebelah barat menjadi tempat yang sama.
Deretan toko Secoyudan dan disebelah barat berupa gedunggedung dan kios bertembok, nampak bukan apa-apa, walau
toko-toko itu menjajakan emas dan berlian. Bahkan alun-alun
utara yang menjadi lapangan kebangsaan raja zaman dahulu,
nampak begitu gersang, kosong dan tak berarti jka dibandingkan
dengan kejayaan pasar Klewer. (Canting: 48)
Setting lain yang tidak kalah penting adalah Jurug. Jurug adalah tempat
pertemuan jumat kliwonan diadakan setiap bulan. Njurug ini terletak di tepi
Bengawan Solo dan disebut juga Taman Ronggowarsito. Pertemuan yang dihadiri
para priyayi tersebut salah satu tujuannya adalah untuk nguri-nguri kabudayan Jawa.
Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini:
Pak bei yang mempelopori pertemuan di Njurug. Tepi
Bengawan Solo, yang menjadi tempat pertemuan jumat kliwon.
Tepat yang gelap dan redup tiba-tiba disulap menjadi tempat
pertemuan yang hidup. Dalam keremangan itu para kerabat
berkumpul. Menyewa tikar, membayar beberapa pedagang teh,

173

membayar bagian keamanan, serta mengundang grup kesenian


keliling. Tak bisa dihalangi kemudian, beberapa penjual nasil
liwet, penjual cambuk rambak, dan penjaja yang ikut
berdatangan meramaikan suasana. (Canting: 19)
Semua setting di atas berada di wilayah Kota Solo. Dalam novel ini juga
disebut-sebut perpindahan terminal bus. Dari pasar Harjodaksino ke kawasan utara
Solo yang disebut Tirtonadi. Disebut juga wilayah Gading dan Laweyan yang
merupakan bagian kota Solo. Bahkah penulis sangat paham kretek Bacem, Sukoharjo,
Baki, bahkan Wonogiri. Semua itu masih wilayah eks Karisedanan Surakarta.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum cerita terjadi di kota
Solo. Namun, penulis memberi penekanan utama tempat terjadinya sebuah cerita
adalah di lingkungan keraton tepatnya di Dalem Sestrokusuman. Tempat ini
merupakan setting primer. Nama Pasar Klewer, Jurug, Gading, Lawiyan, bahkan
Semarang dan Surabaya merupakan Setting sekunder dalam novel Canting tulisan
Arswendo Atmowiloto.
2)

Setting Waktu

Setting waktu berkaitan dengan saat kapan peristiwa itu berlangsung atau
terjadi. Setting waktu biasa meliputi tahun, tanggal, jam, atau saat, pagi-siang-siangsore-malam. Segala sesuatu yang berkaitan dengan saat terjadinya peristiwa, itulah
yang disebut setting waktu.
Novel Canting berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga Priyayi bernama
Pak Bei. Cerita novel ini dimulai saat Ni anak bungsu Pak Bei masih dalam
kandungan. Waktu itu Ni dalam kandungan Wening kakak Ni sudah berusia 11 tahun.

174

Dalam novel ini juga diceritakan Ismaya Dewakusuma kakak Wening lahir pada
tahun 1949. Berdasarkan data di atas bisa disimpulkan bahwa cerita ini diawali pada
tahun 1962.
Dalam novel ini pula diceritakan bahwa anak pertama Pak Bei bernama
Wahyu Dewabrata lahir setahun setelah pernikahan Pak Bei. Setengah tahun setelah
kelahiran Wahyu pecah perang besar-besaran. Waktu itu menjelang kemerdekaan.
Setelah Indonesia merdeka lahirlah Lintang Dewanti kemudian disusul setahun
berikutnya anak ketiga pak Bei bernama Bayu Dewasunu. Bayu lahir pada Clash
kedua.
Kelahiran anak-anak Pak Bei sebelum Ni diceritakan secara flasback dalam
novel ini. Hal tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut ini:
Setahun kemudian, Wahyu Dewabrata lahir. Setengah
tahun kemudian pecah perang besar-besaran. Den Bei Daryono
turut berjuang. Segala harta keluarga Nabean ludes, berikut
mobil kebanggaan seluruh keluarga.
Ia hanya bisa menunggu.
Kita telah merdeka.
Lalu lahir Lintang Dewanti. Den Bei Daryono masih
berperang. Pulang malam hari sebentar, dan bercerita dengan
gagah untuk seluruh keluarga. Lalu pergi lagi. Setahun
berikutnya, Bayu Dewasunu lahir. Ia mulai mengerti tentang
Clash Kedua, karena serdadu Belanda masuk ke rumahnya.
Menggeledah dan membawa pergi penghuni rumah. Ia tidak
menangis, tidak menjerit, bergeming menghadapi semuanya.
Juga karena Bayu Dewasunu sakit-sakitan. Mencret terusmenerus.
Setahun kemudian, tahun 1949-ia mulai bisa mengingat
tahun-tahun nasional dengan baik- Ismaya Dewakusuma lahir.
Saat yang muram karena Den Bei Daryono, yang mulai
dipanggil Pak Bei, mempunyai selir di desa Mbaki. Saat itu pun
ia menunggu. Menunggu. Menunggu.

175

Dua tahun kemudian, lahirlah Wening Dewamurti. Dan


kehidupan mulai berubah. Pak Bei mulai kerasan di rumah.
Mulai bekerja mengurus teman-teman yang dulu bertempur.
Mulai ikut konferensi, rapat, tapi juga pulang membawa sesuatu
untuk dimakan.
Ia menunggu semuanya.Sampai saat ini. Saat Wening
berusia sebelas tahun, sebagai bintang keluarga, ia mulai hamil
kembali. Makin lama perutnya makin membesar. Bu Bei yang
telah menjadi juragan masih menunggu. (Canting : 45)
Yang sebenarnya novel ini diawali kegundahan hati bu Bei ketika dirinya
hamil lagi. Kehamilan yang tidak disangka karena anak terakhirnya Wening sudah
berusia 11 tahun. Kegundahan hati Bu Bei karena sikap pak Bei yang meragukan
bapak dari anak dalam kandungan bu Bei. Kelak diceritakan bahwa anak tersebut
lahir diberi nama Subandini Dewaputri Setrokusumo. Anak itu akrab dengan
panggilan Ni.Gambaran kegundahan hati Bu Bei dapat dicermati dalam kutipan
berikut ini:
Tapi pagi itu mata bu Bei merah. Seperti habis menangis
lama. Dugaan ini kuatkan oleh suaranya yang parau dan
hidungnya yang pilek. Tak pernah terjadi Bu Bei Pilek. Tidak
juga oleh hujan dan angin yang keras menerpa becaknya kala
pulang dari dan berangkat ke Pasar Klewer.
Siang nanti bubar saja dulu. Pak Bei lagi kurang enak
badan.. (Canting: 6)
Tak ada pembicaraan apa-apa di antara 112 buruh batik
dengan anak-anaknya. Dengan mereka sendiri. Tapi rasanya
semua mengetahui ada sesuatu yang sangat tidak enak. Mereka
bisa dengan mudah menduga ketika bu Bei seminggu
belakangan ini mengatakan masuk angin dan muntah-muntah.
Dan kemudian terdengar pula bahwa secara resmi bu Bei
mengandung lagi. Masalahnya bukan sekadar perbedaan usia
dengan Wening Dewamurti yang selama ini dianggap si bungsu
karena sudah berusia sebelas tahun, tetapi lebih daripada itu.
Lebih daripada itu yang berarti Pak Bei kurang enak badan.

176

(Canting: 7)
Bu Bei menunggu sampai hari Kamis pagi.
Pak Bei nanti pergi?
Hmmmmmmmm.
Jawaban hmmm itu sudah lebih dari pengiyaan.
Biasanya kalau dalam keadaan seperti sedang marah, Pak Bei
takan mengeluarkan kata apa-apa. Rasanya ini merupakan
pukulan terberat yang harus ditanggung bu Bei. Apalagi jika pak
Bei melengos. Bu Bei tak akan berani tidur di samping
suaminya. Ia memilih tidur bawah, dengan menggelar tikar,
(Canting: 16)
Setting tahun, tidak mesti harus menyebutkan tahunnya secara gamblang, tapi
dengan menyebut peristiwanya kita akan tahu pada tahun berapa peristiwa itu terjadi.
Untuk menentukan cerita Canting dimulai tahun berapa penulis mencermati setiap
kejadian dalam novel. Kegundahan bu Bei atas kehamilannya bisa dipastikan terjadi
pada tahun 1962, setelah penulis mencermati kronologis novel.
Seperti saat perang kemerdekaan tahun 1945, pada waktu itu Wahyu
Dewabrat lahir. Ketika tanggul jebol dan banjir besar melanda Kota Solo peristiwa itu
terjadi pada tahun 1966. Memang dalam novel ini, peristiwa tersebut tidak disebutkan
tahunnya. Berdasarkan sejarah yang pernah dipelajari penulis bisa menentukan tahun
terjadinya sebuah cerita. Peristiwa sejarah tersebut dapat dicermati dalam kutipan
berikut ini:
Ini gegeran. Geger hebat. Juga di Jakarta. Bunuhbunuhan. Pokoknya geger, kata jimin.
Mijin tetap diam.
Mendengarkan, mengangguk-angguk.
Geger, itu saja yang dimengerti. Seperti juga Wagiman
yang kemudian mendengar bahwa keluarga Pak Bei diungsikan

177

ke Keraton. Pak Bei sendiri berjaga di dalam rumah. Semua


pintu dan jendela ditutup. Bu Bei tidak ke pasar.
(Canting: 150)
Geger ini memang cukup lama.
Mereda sebentar, bisa bekerja kembali. Bu Bei sudah ke
pasar. Buruh-buruh bekerja setiap hari, karena ada jam malam
menjelang magrib. Wagiman kemudian mendengar bahwa
banyak yang ditangkap. Banyak yang di tembak. Sehingga
sungai Bacem di sebelah selatan penuh dengan mayat. Orang
bisa menyebrangi sungai di atas tumpukan mayat.
(Canting:151)
Peristiwa yang menggambarkan tahun 1966 adalah ketika pak Bei mendapat
wangsit tentang akan terjadi banjir besar di kota Solo. Pak Bei meminta keluarga dan
warga kebon Sestrokusuman untuk siap-siap. Walaupun ada yang mengatakan bahwa
pak Bei sok pinter, sok mengerti. Orang tersebut tak lain Gusti Harjan dan Ngabehi
Tondodipuro. Dua orang yang kelihatan lebih ningrat dari pak Bei itu datang ke
Dalem Sestrokusuman mengendarai sepeda motor DKW berwarna abu-abu. Nyatanya
apa yang dikatakan pak Bei menjadi kenyataan. Pak Bei memang hebat. Sebenarnya
apa yang disampaikan pak Bei merupakan analisis ilmiah dari sesuatu yang di dengar
dan dilihat. Kutipan di bawah ini menggambarkan hal tersebut:
Hari selasa kemarin saya mendengar berita. Di Wonogiri
turun hujan lebat. Perkiraan saya. Akan terjadi banjir yang besar.
Hari ini. Rabu, tanggal 16 maret, Wonogiri dan Sukoharjo
terbenam dalam banjir.
Kamu ini seperti anak kemarin sore. Suka pamer
kepintaran. Sebelum kamu lahir, Wonogiri dan Sukoharjo setiap
tahun memang banjir.
Banjir itu akan ke Solo, Gusti Pangeran, dalam waktu
enam belas jam saja.
Sebelum kamu lahir, air memang mengalir sepanjang
Bengawan Solo, dan sebelah selatan kota terendam banjir.
Sebelah timur kota terendam banjir.

178

(Canting:156)
Saya orang bodoh. Tak tahu perhitungan apa-apa. Selama
ini tak pernah ada banjir sampai masuk kota. Karena kita
mempunyai tanggul kokoh sepanjang lebih dari sepuluh
kilometer, dengan ketinggian lima meter-atau kalau diambil
ukuran dari permukaan air sama dengan tinggi tugu jam di Pasar
Gede- dan lebarnya empat meter. Sangat kuat. Tapi tanggul itu
dibuat tahun 1925, dan selama ini tak terawat baik. Malah
sebagian dijadikan tempat untuk bertanam.
Di Wonogiri, hutan-hutan sudah lama rusak dan tak
ditanami lagi. Semua air hujan tak bisa ditahan, mengalir semua
ke Bengawan. Selama ini sungai-sungi mengalir ke Bengawan
dan Bengawan sendiri sudah menjadi dangkal ... (Canting: 157)
Nyatanya apa yang dikatakan pak Bei menjadi kenyataan. Pak Bei memang
hebat. Sebenarnya apa yang disampaikan pak Bei merupakan analisis ilmiah dari
sesuatu yang di dengar dan dilihat. Di bawah ini gambaran peristiwa banjir tahun
1966:
Wagiman membangunkan istrinya yang hamil, kedua
anaknya, mau memberitahu Tangsiman, tetapi air yang tadinya
di ujung kaki sudah sampai setengah lutut. Berbuih-buih, warna
cokelat kehitaman, dan masuk dari pintu-pintu, dari depansamping-belakang, mengangkat meja, kursi, dan kemudian
tempat tidur.
Wagiman berteriak-teriak.
Mijin... Den Bei ...
Wagiman sendiri ingin membangunkan Den Bei. Akan
tetapi begitu keluar dari dalam rumah, air sudah sampai ke paha.
Memang halaman lebih rendah dibandingkan dengan bagian
dalam rumah, akan tetapi bunyi kerosak air meninggi lebih cepat
lagi. Lampu padam, Jimin berenang ke dalam dan
memberitahukan bahwa telepon putus.
(Canting: 159)
Cerita novel canting ini berakhir tahun 80-an. Waktu acara tumbuk yuswo
atau ulang tahun Pak Bei yang ke- 64, saat itu Ni sudah jadi sarjana farmasi. Kisah

179

keluarga pak Bei diakhiri ketika Ni pulang dari rumah sakit setelah melahirkan anak
pertama. Anak itu diberi nama Canting Daryono. Jadi bisa diperkirakan saat itu
adalah tahun 80-an karena Ni lahir 1962, selisih 11 tahun dengan Wening. Wening
lahir selisih dua tahun dengan kakaknya, Ismaya Dewakusuma. Ismaya lahir tahun
1949.
3) Setting Suasana
Setting suasana yaitu setting yang berupa keadaan, situasi saat peristiwa dalam
cerita itu berlangsung. Setting suasana ini bisa berupa keadaan yang tegang, sepi,
sedih, mencekam dan lain-lain sesuai dengan suasana saat peristiwa dalam cerita itu
berlangsung.
Suasana yang melingkupi cerita dalam novel Canting sebuah kedamaian
keluarga ningrat Sestrokusuman. Kedamaian yang sengaja diciptakan oleh tokohtokohnya. Yang sebenarnya tiap-tiap tokoh memiliki persoalan hidup yang kalau
diangkat ke permukaan bisa meruntuhkan sendi-sendi kehidupan ruman tangga.
Permasalahan penting itu melibatkan keluarga Sestrokusuman. Permasalahan
yang sengaja dipendam agar tidak merusak keutuhan rumah tangga. Salah satu
permasalahan tersebut adalah kepastian ayah biologis Ni. Secara samar disebutkan
bahwa Ni bukan keturunan pak Bei tapi juga tidak disebutkan secara tegas bahwa Ni
adalah benih dari Mijin. Hal itu bisa dicermati dalam kutipan beriktu ini:
Ibumu akan berduka kalau kamu mengurus usaha barik
itu. Seperti diingatkan bahwa kamu bukan anakku. Dan itu
membuatnya bersalah. Padahal kalau dipikir-pikir, kan ibumu
seharusnya yang paling tahu siapa bapakmu. Sehingga tak raguragu lagi. Iya, kan? Itu kalau dipikir. Tapi ibumu juga ngrasa,

180

merasa. Pikirannya sangat peka. Bahkan setelah ia yakin kamu


anakku-kan sulit membayangkan ibumu berani menyeleweng-ia
jadi ragu dengan sikap yang kamu pilih. (Canting: 252)
Permasalahan lain yang menjadi rahasia keluarga adalah yang dialami Wahyu
Dewabrata dan Lintang Dewanti. Samiun yang sebenarnya anak biologis Wahyu
Dewabrata juga tidak pernah dipersoalkan. Hanya beberapa orang yang tahu masalah
ini. Bahkan, Samiun sendiri tidak tahu kalau di tubuhnya mengalir darah
Sestrokusuman. Juga kebohongan Lintang yang mengorbankan dua buruh pabrik
ayahnya bernama Karso dan Wahono. Lintang mengambil uang keluarga untuk
dikirim kepada suaminya Letnan Pradoto. Uang itu untuk mengurus kenaikan pangkat
Pradoto yang tertunda. Kebohongan Lintang tidak pernah diketahui oleh Pradoto.
Dua hal tersebut tergambar dalam kutipan di bawah ini:
Ni, jangan katakan semua tadi kepada mbakyumu. Kecuali jika
kamu mengingingkan kehancuranku.
Tidak mungkin, Mas Wahyu. Bukan karena menjaga nama
Ngabean, tetapi karena memang tak ada gunanya dikatakan.
Saya menyesal mengucapkan nama tadi.(Canting: 236)
Ni, kamu menekan aku dengan cara ini?
Tidak ...
Kamu bisa menghancurkan karier suamiku kalau kau ungkap
masalah ini. Hancur semuanya.
Sejahat apa pun, saya tak akan berkhianat pada saudara.
(Canting: 244)
Kutipan di atas adalah suasana yang terjadi di Dalem Setrokusuman. Keadaan
lain juga banyak digambarkan dalam novel ini yang berkaitan dengan Dalem
Setrokusuman seperti: suasana rumah Ngabean beserta buruh batiknya, Tumbuk

181

Ageng Pak Bei, duka cita meninggalnya Bu Bei, bahkan suasana ketika Ni sedang
sakit keras dan dalam keadaan kritis.
Secara umum banyak suasana umum yang meliputi cerita Canting ini.
Misalnya: kegiatan rutinitas malam Jumat Kliwonan yang diselenggarakan pak Bei
dan kawan-kawan, suasana Pasar Klewer tempat bu Bei berdagang, geger politik
tahun 1965, dan banjir besar yang melanda Kota Solo. Di bawah ini suasana Kota
Solo pada tahun 80-an yang digambarkan dalam novel Canting:
Masuk Kota Solo lebih menjengkelkan lagi. Jalannya
sempit. Terbagi-bagi dengan cara menjengkelkan. Ada dua jalur,
tetapi separuh tak diaspal karena melewati banyak sawah dan
tegal serta potongan rel kereta api. Jadi tidak bisa tancap gas.
(Canting: 163)
Dan karena kini terminal bus dipindah ke sebelah utara,
Ni harus ganti kendaraan. Tidak seperti kalau masih di tempat
lama, di Pasar Harjodaksino, ia bisa cepat sampai di rumah.
Memilih kendaraan untuk sambungan juga tak bisa
gampang. Ada angkutan kota, akan tetapi harus menunggu lama.
Dan ia ngeri karena jalannya oleng, seakan kendaraan itu
memakai bahan bakar tuak Bekonang yang bikin mabuk, bukan
bensin. (Canting: 164)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suasana yang melingkupi cerita
Canting adalah kedamaian keluarga Dalem Sestrokusuman. Suasana damai yang
sengaja diciptakan agar tidak menghancurkan kehidupan rumah tangga. Cerita
keluarga Ngabeyan juga tidak lepas dari suasana Kota Solo pada umumnya pada
waktu itu. Dari perang kemerdekaan, ontran-ontran politik tahun 60-an, sampai
suasana Kota Solo tahun 80-an.
e.

Sudut Pandang Pengarang

182

Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang
ketiga atau third person narrator. Pengarang berada di luar cerita. Pengarang
menggunakan nama-nama tokoh dalam ceritanya dan memakai sebutan ia atau
mereka. Sudut pandang ini memungkinkan pengarang bersikap objektif dan
adil. Pengarang sekadar menuturkan sebuah cerita rekaan yang menjadi idenya.
Sebagai penutur yang baik, pengarang dapat menggambarkan tokoh- tokoh
dan karakternya dengan begitu nyata seolah-olah mereka benar-benar ada. Begitu
pula penggambaran

setting-nya yang sangat hidup. Pengarang menceritakan

kehidupan keluarga priayi dengan sangat intens baik kebiasaan sehari-hari, adat
istiadat, keadaan rumahnya maupun lingkungan sosialnya.
Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga ini, pengarang berhasil
menuturkan sebuah kisah menarik tentang keluarga priayi, yakni keluarga Raden
Ngabehi Sestrokusuma beserta konflik yang melingkupinya.
f.

Amanat
Amanat yang terdapat dalam novel Canting adalah:
1) Bersyukur kepada Tuhan Jika Tuhan memberi cobaan janganlah kita larut ke
dalam cobaan itu
Janganlah tenggelam dalam kesedihan. Jangan terlontar dalam
kegembiraan. Jelek-jelek aku, ibumu, tak pernah tenggelam dan
silau(Canting: 285)
2. Banyak beramal dan berbuat baik terhadap sesama untuk bekal di akhirat
sebelum kita terlanjur meninggal dunia.

183

Hidup ini hanya mampir ngombe, singgah minum. Terlalu


singkat dibandingkan dengan hidup sebelum dan sesudah
mati ( Canting: 252).
3. Jika kita telah berhasil hendaknya jangan menjadi sombong. Kita harus inggat
asal usul kita sebelumnya sehingga jika tiba-tiba Tuhan memberi cobaan kita
siap menerima dan menghadapinya.
Inggat selalu, kamu ini anak desa. Nusupan ini bukan apa-apa
jika dibandingkan dengan kota. Apalagi keraton. Kamu harus
selalu inggat tanah kelahiranmu, asalmu, supaya tidak lupa.
Supaya kuat menerima wahyu Tuhan Yang Maha Agung. Kamu
bukan hanya membahagiakan dirimu. Orang tuamu. Lelihurmu,
tetapi selurh desa Nusupan ini. Sebelah timur sungai Bengawan
Solo ini akan derajatnya, kata Ayahnya(Canting: 77).
4. Jika mau berusaha pasti akan mendapatkan hasilnya. Begitu juga mau
berkecukupan kita harus bekerja.
Mereka tau tangan mana yang bekerja, itu yang layak
memuluk, yang layak menyuap nasi ke mulutnya. Bukan tangan
yang digenggam, (Canting:121).
Amanat yang dapat diambil dalam novel ini adalah kita harus dapat
menerima kenyataan bahwa kini zaman telah berubah, kita harus mengikuti
perubahan zaman dan menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Kita harus dapat
menerima nilai-nilai baru yang masuk tanpa menghapus nilai-nilai masa lampau.
Cara yang terbaik untuk menghadapi perubahan zaman yaitu dengan melebur diri
tanpa harus kehilangan identitas kebudayaan kita. Amanat ini disampaikan
melalui tokoh Ni, ketika ia merelakan untuk tidak memasang cap Canting, ketika
itu pula usaha pembatikannya mulai berjalan.

184

Canting tak perlu mengangkat bendera tinggi-tinggi. Bahkan tak perlu


berbendera. Akan menimbulkan masalah persaingan yang tajam, dan akan
dikalahkan. Karena Canting sekarang ini bukan cap yang dulu adiluhung oleh
sebagian besar pemakainya. Karena sebagian terbesar masyarakat tak lagi mengenal
nilai-nilai yang ada pada Canting. Kepeloporan zaman silam telah diganti dengan
produksi lain. Pada dasarnya, Canting Sestrokusuman adalah yang berbeda pada
posisi yang kalah. Posisi sedang sakit.
Budaya yang kalah tak lebar langkahnya. Budaya yang kalah
tak banyak berubah dengan menjerit atau memuji eagungannya.
Malah akan lemah pada saat membanggakan diri (Canting,
2007: 402).
Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit.
Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan
memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri. Ketika ia
melepaskan cap Canting, ketika itulah usaha batiknya jalan.
Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuman, ketika itulah
ia melihat harapan (Canting, 2007: 403).
3.

Nilai Pendidikan Novel Canting


Nilai pendidikan sastra adalah sebuah nilai yang membicarakan sifat-sifat atau

hal-hal yang bersifat positif, berguna dalam kehidupan manusia, dan pantas untuk
dimiliki tiap manusia. Dalam pengertian ini nilai pendidikan adalah sesuatu yang
berhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), dan estetika
(indah dan jelek).
Berbagai nilai pendidikan dapat ditemukan dalam karya sastra. Nilai-nilai di
dalamnya tidak hanya terbatas soal kebajikan dan moral saja, tetapi ada nilai lain

185

yang lebih khas sastra. Walau masih banyak nilai lain, tetapi jika berbicara tentang
nilai didik, orang langsung berasosiasi kepada moral, etika, dan kebajikan. Hal ini
wajar sebab sesuatu yang baik merupakan inti pendidikan. Pada prinsipnya sebuah
karya sastra mengandung nilai pendidikan yang berhubungan dengan moral, agama,
budaya, sosial, dan lain-lain.
Dalam novel Canting ditemukan beberapa nilai-nilai pendidikan diantaranya
adalah warn lokal tinjauan sosiologi drama, nilai sosial budaya, nilai moral, dan nilai
religius. Di bawah ini pembahasan nilai-nilai pendidikan dalam kedua novel tersebut.
a.

Warna lokal Novel Canting tinjauan sosiologi sastra.


Novel Canting juga mengungkapkan perilaku wong cilik sebagai abdi dalem

Ngabean. Tingkah laku, sopan santun, dan kebiasaan para buruh batik Den Bei adalah
sisi lain warna lokal yang ditampilkan dalam novel Canting. Dua sisi warna lokal
dalam novel ini akan ditinjau berdasarkan pandangan hidup orang Jawa, kondisi
sosial masyarakat Jawa, dan etika Jawa.
1)

Pandangan Hidup Orang Jawa


Untuk mengetahui pandangan budaya dalam suatu masyarakat, tidaklah semata-

mata didapatkan dari tulisan-tulisan ilmiah saja. Tidak juga harus terjun masuk ke
dalam masyarakat yang bersangkutan, tetapi dapat dilakukan dengan cara menggali
karya-karya fiksi seperti buku-buku sastra atau novel agar pandangan suatu budaya
dapat diketahui.
Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting ingin memperlihatkan kebudayaan
Jawa melalui batik. Ceritanya cukup menarik yang menceritakan mengenai

186

kebuayaan Jawa dengan mengangkat batik sebagai simbol budaya dan berbagai
konflik yang menyertai di dalamnya. Novel Canting juga memberikan pengetahuan
kepada kita tentang tradisi-tradisi kebudayaan Jawa.
Novel ini juga mengungkapkan kehidupan keluarga Jawa yang mengalami
banyak konflik dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Jawa mulai dari etika
sampai pada ekonomi. Transformasi kebudayaan Jawa tergambarkan dengan luwes
dan kritis. Novel Canting memang memakai bahasa Indonesia tapi memiliki ruh
sebagai sastra Jawa. Persoalan pandangan tradisional dan modern dikisahkan
dengan apik oleh Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting.
Beberapa

asumsi

tersebut

yang

melatar

belakangi

penulis

untuk

menganalisis novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dengan menggunakan


pendekatan Sosiologi Sastra. Dalam karya sastra tidak dapat kita pisahkan dengan
kehidupan masyarakat yang ada, pada dasarnya penulis adalah bagian dari sebuah
struktur masyarakat.
2)

Lilo
Lilo, salah satu pandangan hidup orang Jawa. Lilo adalah sikap ikhlas sewaktu

menyerahkan segala miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada


Tuhan, dengan tulus ikhlas. Lilo juga termasuk nilai religius. Rila berarti tidak ada
satupun yang membekas di hati, semuanya harus diikhlaskan. Orang yang memiliki
sikap ikhlas tidak mengharapkan hasil dari yang telah diperbuatnya.
Novel Canting memiliki tokoh-tokoh yang selalu menampakkan sikap rila
dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah bu Bei. Sebagai wanita Jawa bu

187

Bei sangat memahami bagaimana harus menjadi istri yang baik bagi pak Bei. Apalagi
bu Bei terlahir dari lingkungan yang berbeda dengan pak Bei. Sikap rila diwujudkan
dalam ketulusan mengabdi pada seorang suami. Hal itu tergambar dalam kutipan di
bawah ini:
Pak Bei turun dari mobil, berdehem kecil, memasuki
rumah. Ayam hutan yang berada dalam sangkar di samping
pendapa berteriak. Pak Bei mendengus perlahan. Masuk lewat
pendapa, menuju bagian dalam. Sebelum sampai di pintu, Bu
Bei telah membukakan pintu.
Ngersaki ngunjuk punapa?
Ingin minum apa, adalah sambutan yang pertama. Pak
Bei tak perlu menjawab. Karena biasanya di meja sudah
disediakan. Ada wedang, jahe, ada teh, ada juga susu yang
masih hangat. Bu Bei bisa memperhitungkan saat pak Bei
pulang dari tirakatan. Apa saja, kalau pergi malam diartikan
sebagai tirakatan, atau merenungkan keprihatinan. Ini berarti
tidak tidur. Bu Bei telah menyiapkan segalanya. Pun andai saat
itu pak Bei menghendaki sarapan bubur.(Canting: 34)
Selain menampilkan sosok yang ikhlas dan turut mengabdi pada suami, bu
Bei juga menampilkan sosok yang patuh pada suami. Bu Bei mengerti apa yang
disuka dan tidak disukai suaminya. Dari masalah yang sederhana sampai hal yang
kompleks. Ia nggak terlalu banyak bertanya dan menuntut. Bu Bei hanya memiliki
satu keinginan, mengabdi sebaik-baiknya pada suami.
Bu Bei sangat paham bahwa suaminya tak menyukai
sabun yang kecil, karena suka meloncat ketika dipegang. Atau
sandal pilihannya untuk dikenakan di dalam rumah. Pak Bei
paling benci dengan sandal jepit. Yang dianggap sandal paling
kurang ajar, paling tidak berbudaya, paling kampungan. Pak Bei
menyebutnya sebagai sandal pabrik, istilah barbar, tak
mengenal kompromi sama sekali. Semua istilah yang dikaitkan
dengan pabrik mempunyai konotasi yang tidak berbudaya,
tidak sopan, tidak etis. Oleh Bu Bei ini diterjemahkan sebagai
aturan kepada anak-anaknya.(Canting: 35)

188

Sikap patuh bu Bei sangat kelihatan ketika ia menunggu keputusan apa yang
harus diterima bu Bei. Waktu itu pak Bei merasa ada sesuatu yang disangsikan dalam
diri bu Bei. Bu Bei menyatakan dirinya hamil lagi, pak Bei menanggapi dengan
dingin. Sementara bu Bei menunggu

dan hanya menunggu. Sosok wanita yang

menampilkan warna lokal Jawa terlihat dalam kutipan berikut ini:


Bu Bei masih menunggu.
Sampai agak gelap.
Baru kemudian pak Bei berdehem kecil. Saya tidak bisa
bicara sekarang ini. Mengenai anak yang kandung, saya tak
tahu. Kalau nanti besarnya jadi buruh batik, ia memang anak
buruh batik. Memang darah buruh yang mengalir, bukan darah
Sestrokusuman.
(Canting: 10)
Sikap ikhlas juga dimiliki abdi dalem Ngabehan. Mereka yang yang
menempati kebon para buruh batik yang telah bertahun-tahun hidup di lingkungan
Setrokusuman. Mereka mengabdi dengan tulus ikhlas. Tidak ada satupun yang
membekas di hati, semuanya mereka ikhlaskan tanpa mengharapkan hasil dari yang
telah diperbuatnya.
Bentuk pengabdian yang tulus terlihat pada Mijin. Ia bertahun-tahun
mengabdi di Sestrokusuman. Tidak pernah memegang uang, tidak minta sesuatu yang
berlebihan. Bagi Mijin apa yang menjadi tugasnya hari itu selesai dan esok bekerja
lagi hal yang sama. Mijin tidak pernah mempersoalkan imbalan berapa yang harus
diterimanya.
Satu hal lagi yang terlihat pada Mijin ialah ia tak
pernah memegang uang. Selama ini ia juga tak menerima

189

gaji. Ia ikut di pabrik sejak kecil, membantu, hidup begitu


saja. Ketika kawin, jatah nasinya diberikan kepada istrinya.
Juga kalau mendapat persen. Ia tak mempunyai sesuatu untuk
kebutuhan sendiri. Kalau yang lain main judi di belakangketika ada yang kawin, beranak, dan itu selalu terjadi setiap
bulan-Mijin hanya menonton. Kata teman yang juga masih
bersaudara dengannya: Mijin tak bisa membedakan kartu
yang satu dengan yang lainnya.
(Canting: 63)
Yang memiliki rasa ikhlas mengabdi tidak hanya Mijin. Mbok Tuwuh, pakde
Tangsiman, pak Jimin, dan buruh-buruh batik yang lainnya semuanya bekerja dengan
penuh ikhlas. Kalau keluarga Nabeyan menyadari, pengabdian tulus mereka turut
memberi andil keluarga Ngabeyan jadi terpandang. Bentuk pengabdian itu tidak
terbatas hanya pada kerja keras, bahkan diam-diam abdi dalem juga membantu doa
dengan cara mereka.
Ni makin sadar. Mbok Tuwuh, Pak Mijin, Pakde
Tangsiman, Pak Jimin, dan buruh-buruh batik yang lainlah yang
menyebabkan ia bisa kuliah. Semua kakaknya selesai
pendidikan formalnya dan bisa hidup terhormat. Keluarga
Ngabean menjadi orang yang terpandang. Menjadi contoh.
Rasanya tak mungkin tercapai tanpa mbok Tuwuh-yang
diam-diam berpuasa kalau Ni ujian, yang pasti berdoa secara
tulus, seperti juga yang lainnya.
(Canting: 220)
Rasanya Ni, salah satu anggota keluarga Ngabeyan yang tanggap akan
pengorbanan mereka. Untuk itu Ni berkeinginan ingin menghidupkan kembali usaha
batik yang dulu pernah berjaya ketika diurus ibunya. Ni mengelola usaha batik

190

dengan manajemen yang berbeda dengan ibunya. Ia berusaha menghargai para


buruhnya. Ni menghargai keikhlasan dan ketulusan pengabdian mereka. Di bawah
pandangan Ni terhadap abdi dalem Ngabeyan:
Adalah keinginan yang wajar bila Ni ingin berbuat sesuatu.
Sama wajarnya jika mbok Tuwuh yang mulai sakit-sakitan
tetap datang, tetap mengumpulkan sampah, menyapu. Sama
wajarnya dengan pakde Tangsiman atau pakde Wagiman
yang entah sejak kakek atau neneknya dulu mengabdi.Ya,
mereka mengabdi bukan bekerja sebagai buruh.Karena
mereka memberikan semua yang dimiliki. Kesetiaan tanpa
menuntut sesuatu yang menjadi haknya.
(Canting: 220)
Mereka pun juga memiliki pribadi yang tahu diri. Ketika usaha batik Ni tidak
berkembang dengan baik, mereka hanya mau menerima upah sebagian. Jiwa
pengabdian yang tulus ikhlas muncul demi orang

yang dihormatinya. Mereka

ternyata juga cukup mengerti arti setia kawan. Gambaran sikap mereka terdapat
dalam kutipan di bawah ini:
Ternyata apa yang dirasakan mbok Tuwuh dan mbok
Kerti menjadi wakil perasaan dan sikap semua buruh. Semua
tanpa kecuali merasa bersalah. Pakde Wahono bahkan kemudian
tak mau menerima gajinya secara utuh. Hanya mau menerima
separonya saja.
Jadinya serba salah.
Dagang itu kadang untung, kadang buntung, Den Rara.
Kalau untuk ya kita rasakan, kalau buntung ya kita rasakan.
(Canting: 370)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa warna lokal berkaitan dengan
pandangan hidup orang Jawa terdapat dalam novel Canting Karya Arswendo

191

Atmowiloto. Tokoh-tokoh novel seperti bu Bei, Mijin, mbok Kerti, dan tokoh lain
memiliki sikap rila atau ikhlas dalam pengabdian. Sikap tulus bu Bei sebagai istri
ditampilkan oleh penulis novel berbentuk pengabdian kepada suami. Sedangkan,
sikap tulus abdi dalem Ngabeyan dan buruh batik ditujukan kepada majikannnya.
3)

Narima
Sikap narima adalah sebuah sikap yang tidak menginginkan milik orang lain,

serta tidak iri hati dengan kebahagiaan orang lain. Orang yang narima dapat
dikatakan orang yang bersyukur kepada Tuhan. Sikap narima banyak pengaruhnya
terhadap ketenteraman hati seseorang. Sikap narima merupakan salah satu pandangan
hidup orang Jawa sebagai warna lokal.
Dalam novel Canting dapat dijumpai beberapa tokoh yang memiliki sikap
narima. Bu Bei adalah salah satu tokoh dalam novel ini yang memiliki sikap tersebut.
Waktu itu bu Bei yang bernama kesil Tuginem masih sangat belia. Raden Mas
Daryono menghendakinya untuk dijadikan istri. Keinginan Raden Mas Daryono
ternyata disambut positif oleh kedua orang tua Tuginem dan Tuginem harus
menerima keputusan itu.
Tuginem mulai saat itu harus meninggalkan teman sepermainannya. Ia harus
belajar unggah-ungguh. Berlaku sopan layaknya seorang priyayi. Karena memang ia
harus jadi priyayi. Batinnya sangat tertekan. Kadang ia menangis menerima
kenyataan ini. Tapi, Tuginem harus menerima takdirnya. Sesuai pandangan orang
Jawa Tuginem harus memiliki sikap narima. Hal itu tergambar dalam kutipan di
bawah ini:

192

Calon bu Bei yang masih sangat belia tak sepenuhnya


bisa menangkap kalimat itu. Dan tak perlu dijelaskan. Yang
jelas, mulai saat itu ia tak boleh bermain bersama temantemannya. Tak boleh main congklak, main gobag sodor, main
engklek, dampu, lagi. Bahkan tidak boleh bekerja. Ia diajari
menggunakan bahasa Jawa yang halus. Cara menyembah, cara
laku dhodhok, berjalan jongkok dengan punggung tegak tapi
tangan menyentuh lantai.
(Canting: 80)
Ia menangis diajari membawa nampan, diajari
menyembah, disuruh belajar menari, diajari membaca, diajari
melirik, tersenyum, menggerakkan ujung jari. Seolah ia tak
pernah bisa apa-apa. Padahal selama empat belas tahun dalam
hidupnya, ia telah ada di rumah Ngabean ini. Bersama kedua
orang tuanya. Dan bisa melakukan apa saja. Bahkan membatik.
Tapi tak apa-apa. Tak perlu bertanya. Menunggu saja.
(Canting: 84)
Sikap narima memang sudah tertanam dalam diri Tuginem. Ketika Tuginem
sudah menjadi bu Bei sikap itu masih ia pegang sebagai wanita Jawa. Hal ini sangat
membantu ketenteraman hidup bu Bei dalam berumah tangga. Bu Bei menerima
takdir menjadi seorang priyayi. Kehidupannya mengalir dan menunggu. Kalau ada
masalah keluarga, seperti Pak Bei meragukan kehamilannya bu Bei bersiap menerima
yang terburuk dengan mengharap yang terbaik. Sikap narima juga tampak ketika
anak yang disangsikan siapa bapaknya itu lahir.
Apakah pak Bei akan berpikir lain setelah melihat bayi
yang keenam? Bu Bei hanya bisa menunggu.
Menunggu adalah pasrah. Menunggu adalah menerima
nasih, menerima takdir. Menjalani kehidupan. Bukan menyerah,
bukan kalah, bukan sikap pandir. Pasrah ialah mengalir, bersiap
menerima yang terburuk ketika mengharap yang terbaik.
Anakmu sudah lahir Bu, kata pak Bei di samping bu
Bei yang masih susah mengatur napas, Hitam seperti jangkrik.
Bu Beo menangis.
Selamat semuanya.

193

(Canting: 86)
Sikap narimo juga dimiliki oleh abdi dalem Ngabeyan. Mereka tidak iri
dengan kebahagian orang lain. Tidak menginginkan milik orang lain. Yang mereka
inginkan keselarasan dan ketenteraman hidup. Salah satu abdi dalem Ngabeyan
tersebut adalah Wagiman. Wagiman sudah begitu bahagia dengan semua yang
diterima dalam hidupnya. Sikap narima itu ia wujudkan dengan bersyukur kepada
Tuhan dengan bekerja lebih keras dan tekun. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut
ini:
Wagiman sudah bahagia dengan semua yang diterima
dalam hidupnya. Ia mensyukuri karena bisa bekerja, bisa
menghidupi anak-anak dan istrinya, dan membantu saudaranya
di desa. Ia membalas rasa syukur ini dengan bekerja lebih tekun,
lebih keras, tanpa mengenal jam kerja tertentu.
Wagiman tak menuntut apa-apa. Ia tahu apa yang
menjadi haknya, lewat jalan apa pun akhirnya akan jtuh ke
tangannya pula. Sebaliknya apa yang belum menjadi miliknya,
diberikan di depan mulut pun akan jatuh ke tanah. Gusti Allah
sudah mengatur semuanya.
(Canting: 140)
Sikap narima merupakan perwujudan bahwa seseorang bisa memahami siapa
dirinya. Wagiman cukup tahu diri apa yang harus dilakukan ketika anaknya lahir.
Tidak ada acara seperti ketika anak Bu Bei lahir. Ketika juga anak Wagiman berumur
35 hari (selapan) atau tujuh lapan. Semua berjalan apa adanya seperti takdir yang
diterima Wagiman sebagai buruh batik. Wagiman tak pernah iri dengan kehidupan
keluarga pak Bei.
Sampai dengan kelahiran, Wagiman hanya menandai
dengan main kartu di antara sahabat, saudara yang dulu juga.
Ketika kemudian Genduk berumur 35 hari, upacara main kartu

194

terulang kembali. Juga ketika Genduk berusia tujuh lapan atau


tujuh kali selapan 245 hari, kartu yang sama dipakai kembali.
Wagiman tak memakai upacara tedak siten, upacara menginjak
tanah yang pertama kali bagi si bayi. Upacara ini penting,
karena pada saat itulah si bayi juga diramal apa yang akan
dialami kelak. Ia dimasukkan ke sangkar ayam yang telah diberi
beberapa mainan, apa yang dipegangnya pertama menunjukkan
pekerjaan dan kariernya kelak. Kalau Genduk memegang gelas
emas yang disediakan di situ, ada harapan ia bisa menjadi kaya
raya di belakang hari.
(Canting: 144)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap narima sesuai pandangan
hidup orang Jawa dijumpai dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Sikap
narimo sebagai warna lokal dimiliki tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Sebuah sikap
yang bisa menerima ketika orang lain memiliki lebih dari yang kita miliki. Sikap
bisan menerima ketika orang lain hidup bahagia. Sikap semacam ini sangat
berpengaruh terhadap ketenteraman hati dan keselarasan hidup.
4)

Temen (Sungguh-sungguh)
Sikap temen berarti menepati janji atas ucapannya sendiri. Baik janji yang

diucapkan dengan lisan atau diucapkan dalam hati. Dengan menepati janji berarti ada
kesungguhan dalam bekerja. Orang yang tidak menepati kata hatinya berarti menipu
dirinya sendiri. Sedangkan kata hati yang diucapkan namun tidak ditepati, itu sama
dengan dusta yang disaksikan orang lain.
Sikap temen merupakan salah satu warna lokal yang terdapat dalam novel
Canting karya Arswendo Atmowiloto. Sikap ini dimiliki beberapa tokoh dalam novel
tersebut diantaranya Ni. Kesungguhan Ni dengan pilihan hidup meneruskan usaha
batik keluarga Ngabeyan merupakan sikap temen. Walaupun semua anggota keluarga

195

tidak mendukung niatnya, tapi ia bersungguh-sungguh untuk memperjuangkannya.


Akhirnya, Pak Bei memberi izin niatnya yang sudah tidak dibendung itu.
Ibumu akan berduka kalau kamu mengurusi usaha batik
itu. Seperti diingatkan bahwa kamu bukan anakku. Dan itu
membuatnya bersalah. Padahal kalau dipikir-pikir, kan ibumu
seharusnya yang paling tahu siapa bapakmu. Sehingga tak raguragu lagi. Iya, kan? Itu kalau dipikir. Tapi ibumu juga ngrasa,
merasa. Pikirannya sangat peka. Bahkan setelah ia yakin kamu
anakku - kan sulit membayangkan ibumu berani menyeleweng
ia jadi ragu dengan sikap yang kamu pilih.
Tentu, tentu, Ni. Kamu tak usah ngomong pun aku tahu.
Kamu punya alasan lain sewaktu memutuskan untuk
melanjutkan usaha pembatikan.
Kamu tahu, Ni, itu yang membuat aku suka padamu.
(Canting: 252-253)
Setelah mendapat restu dari ayahnya Ni menjalankan usaha batik dengan
kesungguhan hati. Sikap temen itu tampak ketika ia mengurusi batik dengan
manajemen baru. Ia pelajari betul liku-liku usaha batik yang dulu diurus oleh ibunya.
Sikap temen Ni sangat dirasakan oleh anak buahnya. Hal itu tergambar dalam kutipan
berikut ini:
Ni masuk rumah. Mengikat rambutnya dengan tali karet.
Mengambil buku catatan, lalu menuju bagian samping. Di
tempat buruh-buruh membatik.
Wah, jadi juragan betul-betul.
Ni memandang pak Mijin.
Pakai selametan.
Entah apa saja yang telah didengar oleh pak Mijin dan
telinga yang lain. Yang selama ini berdiam diri, tak
menunjukkan tahu sesuatu.
Rapat dulu.
Rapat apa?
Pokoknya rapat. Pak Mijin tolong panggilkan Pakde
Wahono, Pakde Karso, Pakde Tangsiman, Pakde ... Ni
membuka catatannya, Pakde Kromo, Jimin.
(Canting: 308-309)

196

Ni memang sungguh-sungguh menjalankan usaha batik. Sikap temen


menuntun agar usahanya berhasil. Tapi, ternyata banyak liku yang Ni belum begitu
mengerti tentang usaha batik yang pernah diurusi ibunya. Kenyataan membuktikan
tidak semudah dalam angan-angan. Ni dinilai banyak pihak gagal menjalankan usaha
sampai akhirnya jatuh sakit. Sakit yang begitu parah.
Ni sembuh. Berkat dorongan ayahnya dan orang-orang di sekelilingnya. Ia
kembali menggerakkan usahanya lagi dengan cara berpikir yang berbeda. Ia tidak lagi
menggunakan cap Canting. Ni menyerahkan kepada perusahaan besar untuk membeli
dan menjual kembali dengan cap perusahaan mereka. Ternyata dengan cara semacam
ini usahanya kembali jalan.
Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit.
Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan
memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri. Ketika ia
melepaskan cap Canting, ketika itulah usaha batiknya jalan.
Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuman, ketika itulah
ia melihat harapan.
(Canting: 403)
Sikap temen juga dimiliki buruh batik Bu Bei. Salah satu buruh batik yang
memiliki sikap temen adalah Wagiman. Wagiman yang sebenarnya masih memiliki
hubungan darah dengan pak Bei. Wagiman memulai pekerjaannya di Ngabeyan dari
mencuci, menyapu, sampai kemudian diperbolehkan membuat pola. Membuat pola
adalah membuat garis dasar dengan pensil tebal pada kain mori yang putih.

197

Setelah hampir sepuluh tahun bekerja ia dipercaya nyarik atau menjadi carik.
Carik adalah pekerjaan yang tertinggi di antara buruh batik. Di bawah ini gambaran
sikap temen Wagiman sebagai buruh batik di Ngabeyan:
Seperti juga Wagiman, yang barangkali kalau dirunut
hubungan darahnya tak kalah dekat dari pak Bei dengan adikadiknya. Tapi Wagiman memulai bekerja seperti yang lainnya.
Membantu mencuci, membantu menyapu, sampai kemudian
diperbolehkan membuat pola. Mola, atau membuat pola, tidak
segagah namanya, karena yang dilakukan hanyalah membuat
garis-garis dasar dengan pensil tebal pada kain mori yang putih.
(Canting: 138-139)
Wagiman mulai dari itu, sampai kemudian telah hampir
sepuluh tahun, dipercaya nyarik, atau menjadi carik. Pekerjaan
yang paling tinggi di antara para buruh batik. Dalam pabrik
batik, hanya ada beberapa orang yang dipercaya nyarik. Mereka
yang sedikit inilah yang menjalankan pelaksanaan sehari-hari.
Membagi kani mori, sebelum mori dibatik, dan menimbang
kembali setelah dibatik.
(Canting: 139)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap temen tokoh-tokoh yang
terdapat dalam novel Canting sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa. Sikap
temen berarti sungguh-sungguh. Penerapan di lapangan sikap temen seseorang
ditunjukkan dengan kesungguhan dalam bekerja. Sikap temen merupakan bentuk
menepati janji atas ucapannya sendiri, baik yang dilisankan atau yang diucapkan
dalam hati.
5)

Sabar
Sabar merupakan tingkah laku terbaik yang harus dimiliki manusia. Sabar itu

berarti momot, kuat terhadap cobaan, tetapi bukan berarti putus asa. Kesabaran ibarat

198

samudera pengetahuan, ia tidak tidak membeda-bedakan emas dan tanah liat, sahabat
dan musuh. Tuhan sangat mengasihi orang yang memiliki sifat sabar.
Dalam novel Canting pandangan orang Jawa yang berkaitan dengan sikap
sabar tercermin dari sikap tokoh-tokohnya. Tuginem yang harus menikah dengan
Raden Mas Daryono kemudian dikenal dengan sebutan bu Bei adalah pribadi yang
sabar. Sikap pak Bei kadang-kadang membuat bu Bei juga harus menahan nafas. Bu
Bei bukannya tidak mendengar kalau pak Bei punya istri simpanan di desa Baki.
Kabar yang ia dengar dari pernikahan siri itu, Karmiyem juga telah melahirkan anak
keturunan pak Bei. Bu Bei hanya bisa sabar dan momot mendengar hal itu.
Pak Bei tidak mencari konflik seperti itu. Dalam
pandangan pak Bei, bu Bei juga tidak mencari. Malah berpurapura tidak mengetahui ketika dulu Pak Bei lebih sering
bermalam di Mbaki, daerah Grogol, agak ke selatan batas kota
Solo. Ketika itu anak keempatnya lahir, tak ditunggui Pak Bei.
Karena Pak Bei sedang menunggui anak pertamanya dari
Karmiyem, yang hitam manis dan rambutnya keriting.
(Canting: 70)
Seminggu lebih pak Bei tidak pulang. Setelah itu tetap
dua hari sekali, tiga hari datang dan bermalam. Pak Bei tahu
bahwa bu Bei tahu. Tapi bu Bei tidak pernah menanyakan, tidak
pernah mengurus. Hanya bu Bei tidak pernah menunjukkan
sikap manis di dalam kamar. Namun sehari-hari tetap sama,
menata meja makan, mengatur anak-anak saat itu belum mau
pergi ke Pasar Klewer dan bersikap manis serta menghormat.
(Canting: 71)
Sikap sabar bu Bei juga tampak ketika melihat sikap pak Bei yang
mengomentari anaknya yang sedang dilahirkan. Anak terakhirnya. Yang kehadirannya
disangsikan siapa bapaknya. Waktu itu bu Bei hanya menangis mendengar ucapan

199

selamat dari suaminya. Sikap pak Bei biasa-biasa saja. Pak Bei tidak menyiapkan
nama seperti kelima anaknya yang lahir sebelumnya.
Anakmu sudah lahir, Bu, kata pak Bei di samping bu Bei yang
masih susah mengatur napas.
Hitam seperti jangkrik.
Bu Bei menangis.
Selamat semuanya.
Bu Bei menangis lagi.
Dulu, kelima anaknya lahir, dan pak Bei sudah menyiapkan
nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja.
Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil
meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat mengisap dan
membuat sakit.
(Canting: 86)
Wagiman salah satu buruh pabrik yang sabar. Ia dan keluarganya mendapat
cobaan ketika Wagimi anaknya diketahui hamil sebelum menikah. Wagimi masih
SMP waktu itu. Betapa terguncang Wagiman, Pak Bei, dan Ni yang waktu itu
mendengarkan bahwa yang menghamili Wagimi adalah Wahyu Dewabrata. Baik
Wagiman maupun pak Bei bisa momot, kuat menerima cobaan tapi tidak berputus
asa. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini:
Wagimi tidak protes. Wagiman juga tidak mengajukan
apa-apa, melainkan menerima tanpa bertanya. Tanpa melawan.
Tanpa menuntut apa-apa. Juga biaya. Wagimi malah menerima
apa yang paling ditakutkan oleh penghuni kebon. Dibuang,
kembali ke desa. Dinikahkan dengan Jimin yang menjaga
tanaman, burung, dan ikan peliharaan pak Bei.
(Canting: 233)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa warna lokal berkaitan dengan
pandangan hidup orang Jawa terdapat dalam novel Canting. Sikap yang sesuai
dengan pandangan hidup orang Jawa tersebut adalah sikap sabar. Sikap sabar sebagai

200

orang Jawa dimiliki oleh bu Bei dan Wagiman salah satu buruh batik yang memiliki
sikap itu.
Bu Bei bisa momot dengan sikap suaminya yang keturunan priyayi. Sabar
terhadap pola hidup pak Bei yang memang selalu membutuhkan pelayanan. Bisa
momot ketika mengetahui pak Bei punya istri simpanan. Sedangkan, Wagiman
mendapat cobaan yang berat ketika anaknya diketahui hamil sebelum menikah.
Wagiman bisa menerima cobaan itu dengan sabar.
6)

Budi Luhur
Sikap Budi luhur adalah sebuah sikap yang ditandai dengan adanya usaha oleh

manusia untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan sifat-sifat yang
dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa, seperti: kasih sayang terhadap sesama, adil, dan
tidak membeda-bedakan sesama manusia. Orang yang berbudi luhur juga suka
menolong sesama tanpa mengharapkan imbalan, bahkan jiwanya siap dikorbankan.
Banyak tokoh dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto yang
berpribadi luhur, salah satunya pak Bei. Pak Bei bukan tipe pendendam. Ketika ia
menikahi Tuginem (bu Bei) semua anggota keluarganya menentang. Hal itu juga
dilakukan oleh kedua adiknya. Adiknya lebih suka menjauh dari keluarga pak Bei
sebagai tanda tidak setuju atas pernikahan tersebut.
Salah satu adik pak Bei, Raden Ngabehi Sestrodiningrat mengalami kesulitan
hidup. Semua harta benda habis dijual tidak terkecuali juga rumahnya. Pada suatu
kesempatan

Raden

Ngabehi

Sestrodiningrat

bersama

istrinya

datang

ke

Sestrokusuman sambil menangis, mengadukan nasibnya. Pak Bei tetap bersikap baik

201

pada adiknya tersebut. Bahkan sikapnya sangat mencerminkan sebuah budi luhur. Hal
itu tergambar dalam kutipan di bawah ini:
Saya pasrah bongkokan, Kangmas.
Pak Bei masih merasakan sakitnya ketika ia dikucilkan.
Akan tetapi ia kakak yang baik. Ia berkata kepada istrinya agar
mencarikan rumah buat adiknya.
Rumah yang pantas.
Dan bu Bei melakukan itu. Melakukan pembelian rumah
di Jalan Gading Kidul, sekitar satu kilometer sebelah selatan
pintu gerbang Keraton. Cukup dekat, akan tetapi juga jelas
bahwa tak berada dalam lingkungan Keraton lagi. Rumah itu
masih tetap rumah yang terbaik, paling kuat bangunannya, dan
bertingkat.
(Canting: 128-129)
Bu Bei ternyata juga bisa mengimbangi sikap budi luhur pak Bei. Pada
kesempatan lain, Raden Ngabehi Sestrosunu (adik pak Bei yang lain, yang bernama
kecil Darnoto) juga datang ke rumah bersama istrinya. Maksud kedatangannya tidak
jauh beda dengan Raden Ngabehi Sestrodarsono yang bernama kecil Darmasto.
Raden Ngabehi Sestrosunu hendak menjual rumahnya karena juga mengalami
kesulitan hidup. Di bawah gambaran budi luhur bu Bei dan pak Bei:
Apa kata orang nanti kalau aku membeli rumahmu?
Sekali lagi bu Bei menunjukkan jiwa besarnya sebagai
kakak ipar. Uang seharga rumah diberikan, akan tetapi suratsurat tak pernah disebut-sebut.
Aku memang yang tertua dan pantas menjadi pelindung
keluarga. Akan tetapi aku tak pernah menyangka bahwa ini yang
akan kualami. Kami menerima warisan yang sama.
Mereka tahu, tangan mana yang bekerja, itu yang layak
memuluk, menyuap nasi ke mulut. Bukan tangan yang
menggengam.
(Canting: 129-130)

202

Budi luhur pak Bei juga dirasakan oleh buruh-buruh batik di Sestrokusuman.
Pasca banjir besar, pak Bei menunjukkan kepedulian yang luar biasa dengan orangorang yang tinggal di lingkungan kebon. Pak Bei meninjau, memberi makanan,
bahkan memberikan tindakan preventif terhadap penyakit. Di bawah gambaran budi
luhur yang merupakan sikap dari pak Bei:
Wagiman lebih bisa mengingat peristiwa itu
dibandingkan dengan kraman, bakar-bakaran, dan bunuhbunuhan. Lebih mengingat bahwa pak Bei esok harinya
meninjau yang ada di kebon dengan drum minyak tanah
setengah kosong. Memberi beras, menyuruh membuat bubur,
menyuruh Jimin mencari kelapa untuk diambil airnya, memberi
telur, memberi susu untuk Genduk dan adiknya, memberi
minyak tanah untuk digosokkan di tubuh agar tidak masuk
angin, menyuruh mengambil pisang, sawo, menyuruh
mengawasi barang-barang, memberikan selimut, membagi
rokok, meminjamkan radio kecil untuk hiburan.
(Canting: 160)
Tokoh yang memiliki budi luhur tidak hanya pak Bei dan bu Bei. Buruh batik
yang bernama pakde Karso dan pakde Wahono juga memiliki sikap budi luhur.
Mereka rela ditahan di kantor polisi selama satu minggu demi menutupi kebohongan
Lintang, salah satu anak pak Bei. Waktu itu Lintang membutuhkan sejumlah uang
untuk dikirimkan kepada calon suaminya Letnan Pradoto yang sedang promosi
jabatan.
Pakde Karso dan pakde Wahono yang dipercaya pak Bei dibagian pengiriman
barang ditangkap polisi. Mereka menggelapkan kiriman batik ke Surabaya dan
Madiun sebanyak 60 potong. Semuanya batik halus. Budhe Karso dan Budhe

203

Wahono diusir dari kebon. Kedua buruh itu menjalani dengan ikhlas tanpa mau
membela diri. Padahal yang sebenarnya bersalah adalah Lintang.
Kebohongan Lintang diketahui secara tidak sengaja ketika Jimin menemukan
kuitansi penjualan. Dari kuintansi itu terdapat keterangan bahwa uang yang
menggunakan Lintang, bukan pakde Karso dan pakde Wahono. Kedua buruh batik itu
tidak mengambil sepeser uang pun. Bahkan titipan sepeda pun dia keluarkan dari
uang pribadi. Di bawah ini kutipan yang menjelaskan peristiwa itu:
Ni tahu bahwa pakde Karso dan pakde Wahono
sebenarnya tidak mencuri enam puluh potong batik halus. Batik
pesanan Madiun dan Surabaya itu tidak dikirimkan, melainkan
dijual di sebuah toko di Coyudan. Dengan harga miring.
Duitnya dikirimkan melalui pos wesel. Dari resi yang
diketemukan, duit itu dikirimkan kepada waktu itu Letnan
Pradoto. Nama pengirimnya ialah Lintang Dewanti.
Hal ini diketahui pak Bei secara tidak sengaja. Ketika ia
menyuruh Jimin menggeledah dan mencari tahu ke mana larinya
uang. Jimin tak menemukan sesuatu yang berharga di rumah.
Kecuali kertas resi yang disimpan hati-hati. Bahkan istri mereka
pun tidak tahu.
Semua jumlahnya cocok dengan yang diterima dari toko.
Tidak berkurang satu rupiah pun. Tidak juga membayar titipan
sepeda. (Canting: 242)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap Budi luhur sebagai warna
lokal Jawa dapat dijumpai dalam novel Canting. Sikap budi luhur yang ditandai
dengan adanya usaha oleh manusia untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat
dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tokoh-tokoh novel ini
menampilkan pribadi budi luhur dengan cara suka menolong sesama tanpa
mengharapkan imbalan, bahkan jiwanya siap dikorbankan.

204

b. Nilai Pendidikan Sosial Budaya Jawa


Dalam novel ini, Arswendo Atmowiloto mengungkapkan tradisi yang secara
turun temurun dijaga oleh Kraton Kasunanan Surakarta. Alur ceritanya dipaparkan
dari awal hingga akhir dengan sangat kompleks. Kekompleksitasannya terletak
pada bagaimana ia menceritakan kehidupan seorang Bu Bei sebelum menjadi Bu Bei
seorang istri Raden Ngabehi Sestrokusumo. Dalam artian masih menjadi Tuginem,
seorang gadis desa yang masih lugu hingga menjadi Bu Bei istri seorang Raden di
Kraton Kasunanan Surakarta.
Sosiologi sastra sebagai cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya sastra. Karya sastra yang berhasil atau
sukses yaitu mampu merefleksikan jamannya. Dari peristiwa yang ada maka
pengarang menyampaikan gambaran kehidupan masyarakat Jawa khususnya Solo
yang erat dengan budaya keraton. Dengan membaca novel ini secara tidak langsung
kita dapat mengetahui suatu kebudayan adat Jawa. Dari perilaku etika bersosialisasi,
berkomunikasi bahkan kita dapat melihat tingkatan-tingkatan sosial atau strata sosial
pada masyarakat Jawa. Berikut unsur-unsur pendidikan budaya jawa yang terdapat
dalam novel Canting:
1) Batik dan Canting
Novel ini menceritakan kultur budaya Jawa. Pada masa kejayaannya,
batik tulis, tak hanya menampilkan sebuah barang berbentuk kain bercorak semata.
Proses didalamnya, bagaimana Canting, carat tembaga untuk membatik, yang

205

ditiup dengan napas dan perasaan oleh para buruh batik, menjadikannya sebuah
masterpiece, karya terbesar, warisan budaya yang adiluhung dari Tanah Jawa
2) Adanya golongan priyayi dan golongan wong cilik
Novel ini menceritakan adat Jawa yang pada saat itu masih menjunjung
nilai lapisan-lapisan dalam masyarakat sehingga memberikan deskriminasi
terhadap kesenjangan masyarakat golongan bawah. Strata golongan masyarakat di
Jawa terbagi dua yaitu golongan priyayi yang terdapat pada lingkungan keraton
yang bernama Ndalem Ngabean Sestrokusumo, sebagaimana yang disampaikan
Koencoroningrat (1984: 289) bahwa yang menduduki jabatan bendoro adalah para
pegawai keraton, seniman keraton, ahli kesusasteraan, penari, pencipta tari, dan
pamong praja. Sedangkan golongan wong cilik terdapat pada lingkungan
masyarakat pada umumnya yang diwakili oleh para buruh dalam novel ini
merupakan buruh batik.
Pengarang menceritakan kehidupan lingkungan keraton yang mana di
dalamnya ada suatu jarak antara golongan priyayi dan wong cilik. Biasanya dalam
memilih jodoh kaum priyayi akan memilih jodoh dengan golongan priyayi
juga. Jika tidak maka akan dikucilkan dari keluarga. Seperti halnya Pak Bei yang
dikucilkan dari keluarga setelah menikah dengan Tuginem istrinya gadis desa anak
buruh petani. Kaum priyayi juga tidak diperkenankan untuk menjual langsung
karena akan menurunkan derajatnya.
3) Adanya tata cara berbau tahayul atau mistik

206

Agama islam di Jawa dibagi dua yaitu Jawa kejawen atau abangan dengan
keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung mistik. Kedua agama
islam santri yaitu islam di Jawa yang dekat dengan aturan-aturan agama sesuai
dengan alquran. Dalam novel Canting terdapat golongan Jawa kejawen yang
percaya adanya kekuatan mistik dan percaya pada dukun.
Pak Bei akhirnya menemui dukun yang terkenal itu. Bukan
untuk mengurus Minah. Untuk menguruas dirinya sendiri.
Untuk menanyakan bibit siapa yang ada dalam kandungan
istrinya. Pak Bei memberikan uang, ayam putih, dan segala
perlengkapan, termasuk tanggal lahirnya, tanggal lahir bu bei,
asal usul, dan segala yang ditanyakannya,(Canting:65).
4) Gotong royong: sebagai wujud kerukunan masyarakat
Kerukunan terjadi memiliki tujuan agar di dalam masyarakat tercipta
lingkungan masyarakat yang harmonis. Pada novel Canting kerukunan ditemukan
pada saat mengalami banjir melanda kota Solo. Para buruh mengagumi sikap Pak
Bei yang beusaha keras menggerakan bekerja keras gotong royong dalam
mengatasi bahaya banjir.
5) Sopan Santun Berbahasa: Sikap Hormat Kepada yang Lebih Tua
Sikap seseorang dapat dilihat dari cara berbicara. Dalam hal ini bahasa
memainkan peran yang sangat penting karena menandakan kesadaran akan
kedudukan sosial dan menunjukan sikap tata krama.
Urutan kastanya masih si atasnya. Sehingga Darmasto yang
Ngabean ini berbahasa Jawa halus, karma inggil pada istrinya
sendiri. Mereka berdua adalah pasangan yang dibanggakan
orang tua... (Canting :117).

207

Etika kesopanan orang Jawa terwujud dalam istilah unggah-ungguh, tata


krama, tata susila, basa krama, suba sita, etika, dan sopan santun. Orang Jawa
cenderung berbahasa secara halus bila berhadapan dengan orang yang dihormati.
Anak-anak memberikan ucapan ulang tahun kepada Pak Bei dengan cara laku
Dhodhok melakukan sembah di lutut ayahnya. Semakin tinggi derajat seseorang
akan semakin dihormati dan orang yang ada di bawahnya mengambil sikap tunduk
dan berlutut.
6) Selamatan pada Peristiwa Penting di Masyarakat.
Selamatan yang digambarkan dalam novel Canting adalah selamatan pada
upacara kematian, kelahiran, kehamilan, dan selamatan yang bersifat khusus
seperti kelulusan.
Untuk menangkalnya, dibukakan genting, agar nanti pada
selamatan empat puluh hari, sukmanya bisa lepas ke langit
tingkat tujuh melalui lubang tersebut. (Canting:250).
Di masyarakat Jawa setiap peristiwa atau kejadian selalu diperingati
dengan upacara ritual yang banyak bercampur dengan takhayul dan mistik.
Upacara perkawinan, nujuh bulan, khitanan dan kematian. Upacara ritual tersebut
biasa di sebut dengan selamatan. Koncoro Ningrat mengatakan bahwa terdapat
beberapa rangkaian upacara yang diadakan sepanjang lingkaran hidup individu
Jawa diantaranya upacara pemakaman dan upacara untuk memperingati hari
kematian seseorang, perayaan tahunan serta upacara selamatan khusus seperti
bersih

dusun

ngruwat,

janji

kaul,

dan

upacara

ganti

nama.

Dalam

novel Canting terdapat upacara kelahiran seperti mitoni, tingkepan, brokohan,

208

procotan, dsn tedak sinten. Upacara kematian meliputi pendhak pisan, pendhak
pindho, dan selamatan kelulusan.
7) Pasrah dalam Menghadapi Perubahan Zaman
Cara menghadapi permasalahan tentang perubahan dan pergeseran nilai
yang mengalir ke dalam kenyataan, tanpa protes karena menyadari nilainya yang
lebih bermakna.
Budaya yang kalah tak lebar langkahnya. Budaya yang kalah
tak banyak berubah dengan menjerit atau menguji
keagungannya. Malah akan lemah pada saat membanggakan.
(Canting: 374 ).
Dalam novel ini pengarang juga menceritakan tradisi daerah Solo pada
masa itu dimana kebanyakan wanitalah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari di pasar klewer dengan menjual batik. Suami hanya menerima
hasilnya saja, wanita lebih berperan dalam mencari nafkah. Perempuan dalam
cerita ini digambarkan sama dengan laki-laki mampu bekerja keras.
Novel Canting ini awalnya menceritka wanita bukanlah siapa-siapa yang
tugasnya hanyalah mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya. Namun dengan
adanya Pasar Kelewer memberikan suatu yang sangat berharga karena dengan
adanya Pasar Kelewer dapat memberikan suatu kebebasan berkarya dan berkarir.
Pasar Kelewer bukan hanyalah sebuah pasar yang setiap pagi dan siang ramai
dikunjungi penjual dan pembeli ketika malam hilang dimakan kesenyapan,
menurut para wanita, Pasar Kelewer adalah jati diri mereka, dan hasil jerih payah
itu mereka pun mampu menghidupi keluarganya, walaupun begitu mereka tidak

209

melupakan asal mereka yaitu sebagai ibu rumah tangga yang suatu saat melayani
anak-anaknya dan suaminya.
c.

Transformasi Budaya Jawa dalam Novel Canting

Analisis nilai pendidikan sosial budaya dalam novel Canting penulis fokuskan
pada analisis etika wong gedhe dan etika bagi wong cilik. Dalam kehidupan sosial
dalam novel Canting, baik orang-orang yang tergolong priyayi (wong gede) dan
orang-orang yang tergolong abdi dalem (wong cilik) memiliki etika sebagai berikut:
1)

Rajin Bekerja
Bu Bei yang mengalami transformasi status dari wong cilik menjadi wong

gedhe memiliki sifat rajin bekerja untuk mendapatkan kemuliaan hidup. Bu Bei
menyadari statusnya sebelum diperistri oleh pak Bei. Implementasi rajin bekerja
dalam kehidupan berumah tangga ia mewujudkan dengan ketulusan menjadi istri dan
ibu rumah tangga yang baik.
Bu Bei seorang ibu rumah tangga yang tidak suka berpangku tangan. Selesai
mengerjakan urusan rumah tangga, Ia membagi tugas untuk para buruh batik, baru
berangkat ke pasar Klewer. Sifat rajin bekerja bu Bei untuk mendapatkan kemuliaan
hidup dalam kehidupan sosial dapat dicermati dalam kutipan di bawah ini:
Setelah selesai dan membereskan meja, bu Bei pamit
kepada pak Bei yang biasanya dijawab dengan deheman kecil,
atau diam saja kalau lagi kurang suka. Dan bu Bei berjalan
melalui ruang dalam, melewati pendapa, melewati halaman yang
bersih dari daun-daun sawo kecik, menuju pintu gerbang. Tiga
becak telah menunggu.
(Canting: 38)

210

Kemudian mulailah iring-iringan tiga becak menuju


Pasar Klewer. Dua becak di depan, walau jalan sepi, tak akan
ngebut. Karena bu Bei tidak suka becak yang berjalan terlalu
cepat. Dan kalau Bu Bei merasa becak berjalan terlalu cepat,
sore nanti ia tak memilih penarik becak itu lagi.
(Canting: 39)
Bu Bei sampai di depan kiosnya, memberikan kunci
kepada dua pembantunya yang telah datang lebih awal. Yu Tun
yang menerima, dengan sama gesit dan cekatan membuka
gembok. Satu kali klik, gembok dan kunci diambil, dimasukkan
ke tas. Tak akan hilang dan akan begitu mudah ditemukan.
(Canting: 40)
Bu Bei kembali dari pasar sore ini. Ia kembali menjalankan tugasnya menjadi
seorang istri. Sifat pekerjanya masih menyala, ia memeriksa hasil batikan satu demi
satu. Jika semuanya sudah beres baru ia kembali melakukan kegiatan terakhir hari ini,
yakni menghitung uang hasil penjualan. Di bawah ini gambaran aktivitas yang
dilakukan bu Bei:
Bu Bei kembali menjadi istri pak Bei. Turun dari becak,
menjinjing tas hitam, berjalan ke ruang dalam. Meletakkan oleholeh untuk suaminya di meja, mandi, berganti pakaian, dan siap
melayani suami.
(Canting: 52)
Sambil mulai memeriksa hasil batikan satu demi satu,
menghitung uang, dan memasukkannya ke lemari bagian sudut.
Tak ada pembukuan resmi. Uang hasil seluruh penjualan itu
dionggokkan begitu saja. Satu-satunya pengaman hanyalah
kunci. Dan kunci itu akan diletakkan di saku baju pak Bei yang
selalu berada di gantungan dekat lemari.
(Canting: 52)

211

Sifat rajin bekerja ditunjukkan oleh salah satu buruh batik bernama Wagiman.
Wagiman yang semula pekerjaannya mencuci dan menyapu karena ketekunan dan
kerja kerasnya ia dipercaya sebagai carik batik. Sebuah posisi tertinggi di antara para
buruh batik di Sestrokusuman. Di bawah ini kutipan yang menjelaskan hal itu:
Wagiman memulai bekerja seperti yang lainnya.
Membantu mencuci, membantu menyapu, sampai kemudian
diperbolehkan membuat pola. Mola, atau membuat pola, tidak
segagah namanya karena yang dilakukan hanyalah membuat
garis-garis dasar dengan pensil tebal pada kain mori yang putih.
(Canting: 138-139)
Wagiman mulai dari itu, sampai kemudian setelah
hampir sepuluh tahun, dipercaya nyarik, atau menjadi carik.
Pekerjaan yang paling tinggi di antara para buruh. Dalam pabrik
batik, hanya beberapa orang dipercaya nyarik.
(Canting: 139-140)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rajin bekerja untuk mendapatkan
sebuah keberhasilan terdapat dalam novel Canting. Rajin bekerja merupakan bagian
dari nilai-nilai sosial budaya yang harus dilakukan seseorang untuk mendapatkan
kemuliaan hidup.
2)

Membantu Menjaga Ketenteraman Negara


Salah satu nilai sosial budaya yang terdapat dalam novel Canting adalah sikap

suka membantu menjaga ketenteraman negara. Pak Bei salah satu tokoh utama novel
Canting yang pernah merasakan pahitnya perjuangan. Ketika perang kemerdekaan ia

212

turut memanggul senjata. Begitu pun ketika perang kemerdekaan usai pak Bei juga
turut nguri-nguri kebudayaan Jawa. Menjaga kelestarian budaya berarti juga
membantu menjaga ketenteraman negara.
Kegiatan nguri-nguri kebudayaan Jawa dilakukan oleh pak Bei dengan
komunitasnya. Kegiatan itu diselenggarakan tiap 35 hari sekali pada malam Jumat
Kliwon. Salah satu agenda pertemuan malam Jumat Kliwon adalah membicarakan
kebudayaan Jawa. Di bawah ini kutipan yang menggambarkan kegiatan tersebut:
Ide pertemuan setiap hari Jumat Kliwon dimulai dari
Ndalem Tumenggungan. Kanjeng Raden Tumenggung
Sosrodiningrat mengumpulkan kerabatnya setiap 35 hari sekali,
tepat hari Jumat Kliwon, untuk membicarakan kebudayaan
Jawa. Tadinya pertemuan itu bernama Ngrumpaka Kabudayan
Jawi, tetapi lalu disederhanakan, atau dimasyarakatkan, dengan
bahasa yang tidak terlalu tinggi, yaitu nguri-nguri Kabudayan
Jawi.
(Canting: 17)
Disepakati pula bahwa pertemuan malam Jumat Kliwonan diselenggarakan di
Taman Ronggowarsito, Njurug, Solo. Tempat ini dipilih karena memiliki alasan nilai
sosial yang tinggi. Selain sederhana, pertemuan itu bisa memberi bantuan kepada
masyarakat kecil sekeliling untuk menjual teh, makanan kecil, atau yang lainnya.
Nilai sosial pertemuan itu dapat dicermati dalam kutipan berikut:
Pak Bei yang memelopori pertemuan di Njurug. Tepi
Bengawan Solo yang redup gelap tiba-tiba disulap menjadi
tempat pertemuan yang hidup. Dalam keremangan itu, para
kerabat berkumpul. Menyewa tikar, membayar beberapa
pedagang teh, membayar bagian keamanan, serta mengundang
grup kesenian keliling. Tak bisa dihalangi kemudian, beberapa
penjual nasi liwet, penjual cambuk rambak, dan penjaja yang
lain ikut berdatangan meramaikan suasana.
(Canting: 19)

213

Ketika ontran-ontran politik tahun enam puluhan, pak Bei tidak larut dalam
suasana menghujat pemerintah. Beberapa teman komunitas Jumat Kliwonan ada yang
selalu memojokkan dirinya sebagai orang yang feodal dan kapitalis tapi pak Bei tidak
bergeming. Ia berdiri dalam satu tekad mendukung pemerintah. Keteguhan prinsip
pak Bei turut membantu menjaga ketenteraman negara membawanya dalam posisi
aman.
Teman-teman pak Bei beberapa mati terbunuh dan tidak sedikit yang masuk
penjara. Peristiwa mengerikan itu sengaja tidak diceritakan pak Bei pada buruh
batiknya. Hal ini dilakukan agar mereka tenteram. Tapi, bagaimanapun mereka
akhirnya mendengar juga.
Wagiman mengeloni anak dan istrinya di malam hari.
Seperti yang lainnya. Hanya itu yang bisa dilakukan. Ia
mendengar Kanjeng Raden Tumenggung Reksopraja ditangkap.
Dibunuh.
Mendengar
Kanjeng
Raden
Tumenggung
Sosrodiningrat dicabuti kumisnya yang putih, lalu kedua
tangannya diikat ke belakang. Ibu jarinya diikat, lalu ia
ditembak di depan tanah galiannya sendiri.
(Canting: 152)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ikut membantu menjaga
ketenteraman negara terdapat dalam novel Canting. Membantu

menjaga

ketenteraman negara merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya. Aktivitas itu
dilakukan oleh pak Bei dengan berbagai cara diantaranya mengadakan kegiatan
nguri-nguri kebudayaan Jawa dan tidak ikut kegiatan politik yang menentang
pemerintah.
d. Nilai Pendidikan Religius dalam Novel Canting

214

Religiusitas yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia beranggapan


bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kehidupan manusia di muka bumi tidak akan
pernah lepas dari manusia lainnya. Dalam hubungannya dengan sesama manusia,
kedua belah pihak saling membutuhkan, saling bekerjasama, tolong menolong,
hormat-menghormati, dan menghargai. Walaupun hubungan sesama manusia
sebenarnya dapat terjadi karena adanya benturan kepentingan atau perbedaan
kepentingan di antara mereka.
Dalam novel Canting tidak disebut-sebut religiusitas yang membicarakan
manusia dengan Tuhan. Tidak pernah disebutkan secara eksplisit agama yang dianut
oleh tokoh-tokoh dalam novel Canting. Satu tokoh yang dijelaskan secara nyata
agama yang dipeluk yaitu Ismaya Dewasunu. Ismaya pindah agama menjadi pemeluk
Katolik tapi juga tidak pernah dijelaskan agama sebelumnya apa. Kebimbangan
Ismaya pindah agama tergambar dalam kutipan di bawah ini:
Ni, kamu ingat waktu Ismaya akan dibaptis dulu? Ia
rebut, bertanya ke sana kemari, apa gunanya dibaptis. Toh ia
sudah mau masuk Katolik seperti istrinya. Ia mencari pastor
yang bisa mengalahkan jalan pikirannya. Pastor yang bisa
menerangkan apa itu pengampunan dosa, apa itu Allah sang
maha Bapak, Sang Putra, dan Roh Kudus. Tiap kali ia menolak
penjelasan. Tiap kali ia merasa tidak puas.
(Canting: 250)
Dalam novel ini pun tidak dijelaskan secara eksplisit agama yang dipeluk pak
Bei. Pak Bei mengakui bahwa ia menganut sebuah tradisi Hindu. Pak Bei tidak
pernah menghalangi terhadap pilihan kepercayaan anak-anaknya. Bagi pak Bei

215

agama tidak tepat kalau diperdebatkan. Menurutnya agama itu untuk diterima.
Kutipan di bawah ini gambaran sikap pak Bei terhadap kepercayaan yang dianut:
Agama itu bukan untuk diperdebatkan seperti itu. Agama
itu untuk diterima. Mau menerima atau tidak. Kita bisa
menerima atau menolak kalau kita punya sikap pasrah.
Pasrah itu bukan mencari, tetapi menerima.
Ismaya kemudian mau belajar dan akhirnya punya nama
baptis nama baptis Felix. Mudah-mudahan bukan karena aku,
melainkan karena ia merasa bahwa itu yang terbaik baginya.
Meskipun aku tak menolak bahwa di rumah ini segalanya
berpusat padaku. Aku kepala rumah tangga, aku adalah raja
yang berkuasa sepenuhnya. Ya, inilah tradisi kita. Tradisi Hindu
yang ada sejak zaman raja-raja di Jawa berpaling kepada dunia
pertanian.
(Canting: 250)
Adat dan tradisi Jawa sangat melekat dalam kehidupan pak Bei. Ketika bu
Bei meninggal upacara yang dilaksanakan untuk mengurus jenazah bu Bei sampai
pemakaman menggunakan adatt dan tradisi Jawa. Semua yang berkaitan dengan
selamatan sudah disiapkan orang-orang belakang, salah satunya mbok Tuwuh.
Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan ditangani sendiri oleh pak
Bei.
Pak Bei sendiri yang naik ke atap, dan membuka
beberapa genting.
Karena Bu Bei meninggal hari Sabtu, dan menurut
kepercayaan orang yang meninggal hari Sabtu lebih suka
mengajak anggota keluarga yang lain. Maka, untuk
menangkalnya. Dibukakan genting agar nanti pada selamatan
empat puluh hari, sukmanya bisa lepas ke langit tingkat tujuh
melalui lubang tersebut.
(Canting: 269)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novel Canting karya
Arswendo Atmowiloto terdapat nilai-nilai religiusitas. Religiusitas yang terdapat

216

dalam novel tersebut berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Seperti sikap
terbuka pak Bei terhadap anaknya yang berpindah agama. Juga adat tradisi Jawa yang
menyertai kehidupan pak Bei sehari-hari. Prinsipnya tidak adak penuturan religiusitas
yang berkaitan hubungan manusia dengan Tuhan secara kenthal dalam novel tersebut.
4. Implementasi Hasil Penelitian sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di
SMA
Pembelajaran sastra novel Canting dapat menjadi sarana pengembangan daya
nalar siswa. Dalam rangka menumbuhkembangkan daya nalar dan kreativitas berpikir
siswa, penekanan pembelajaran sastra di sekolah harus dapat menumbuhkan, melatih,
dan meningkatkan kemampuan apresiasi keratif secara langsung, dalam arti langsung
memperlakukan karya sastra. Karenanya, pembelajaran yang bersifat tak langsung,
umumnya bersifat teoritis dan historis, hanya merupakan alat bantu untuk menunjang
kemampuan apresiasi kreatif secara langsung.
Penerapan kurikulum 2013 diharapkan memberi kontribusi yang signifikan
terhadap pembalajaran sastra. Kurikulum 2013 diharapkan dapat berpengaruh besar
menciptakan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif melalui penguatan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang terintegrasi. Bentuk penilaian inilah yang sering
dimunculkan dalam kurikulim 2013 dengan penilaian autentik dengan pendekatan
Saintifik (mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membentuk jaringan).
Pemilihan bahan (materi) dan pemberian tugas hendaknya dilakukan dengan
mempertimbangkan perkembangan kejiwaan dan kognitif siswa. Sedangkan penilaian
hasil belajar kesastraan hendaknya tak hanya mencakup ranah kognitif saja,

217

melainkan juga afektif dan psikomotoris. Dalam evaluasi, tes harus mencakup aspek
informasi, konsep, perspektif, dan apresiasi. Dalam pembelajaran sastra, guru
hendaknya sudah merencanakan persiapan dengan matang bahan atau materi serta
prosedur-prosedur apa yang akan ditempuh dalam pengajaran. Bila rinci dalam bagan
sebagai berikut:
Novel Canting
Sarana Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia Kurikulum 2013

Pendekatan
Apresiatif

Materi Standar
Kelulusan
Afektif

Evaluasi

Kognit
if

Melatih Daya Nalar


Persepsi
Ingatan
Refleksi
Wawasa
n
Novel Canting sebagai Bahan Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Pskmtrk

218

Gambar. Novel Canting sebagai Bahan Pembelajaran Bahasa dan Sastra


Indonesia di SMA

Anda mungkin juga menyukai