Anda di halaman 1dari 6

Tokoh-Tokoh yang terkenal dalam pembuatan periodesasi Sastra

1. Ajib Rosidi

Ajip Rosidi 31 Januari 1938 – 29 Juli 2020 adalah sastrawan Indonesia, penulis,
budayawan, dosen, pendiri, dan redaktur beberapa penerbit, pendiri serta ketua Yayasan
Kebudayaan Rancage. Ajip mula-mula menulis karya kreatif dalam bahasa Indonesia, kemudian
telaah dan komentar tentang sastra, bahasa dan budaya, baik berupa artikel, buku atau makalah
dalam berbagai pertemuan di tingkat regional, nasional, maupun internasional.Ia banyak melacak
jejak dan tonggak alur sejarah sastra Indonesia dan Sunda,menyampaikan pandangan tentang
masalah sosial politik, baik berupa artikel dalam majalah, berupa ceramah atau makalah. Dia
juga menulis biografi seniman dan tokoh politik.Pada usia 17 tahun ia menjadi redaktur majalah
Prosa. Tahun 1964—1970 Ajip menjabat redaktur penerbit Tjupumanik. Tahun 1968—1979 ia
menjadi redaktur Budaya Jaya dan tahun 1966—1975 menjabat Ketua Paguyuban Pengarang
Sastra Sunda dan memimpin penelitian pantun dan folklor Sunda. Tahun 1967 ia bekerja sebagai
dosen Universitas Padjadjaran dan tahun 1965—1968 ia menjabat sebagai Direktur Penerbit
Duta Rakyat. Ajip Rosidi adalah orang yang tidak sepi dengan pekerjaan. Pada tahun 1971—
1981 ia memimpin Penerbit Dunia Pustaka Jaya. Selain itu, tahun 1973—1979 ia juga
memimpin Ikatan Penerbit Indonesia. Tahun 1973—1981 ia juga terpilih sebagai Ketua Dewan
Kesenian Jakarta. Bahkan, ia pernah mendapat kesempatan sebagai anggota staf ahli Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978—1980 Prof. Dr. Daud Jusuf. Setelah berkecimpung
dalam dunia seni dan penerbitan di Indonesia, pada tahun 1980-an Ajip merantau ke Jepang. Di
sana ia diangkat sebagai guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa-
Bahasa Asing Osaka), guru besar luar biasa di Kyoto Sangyo Daigaku (Universitas Industri
Kyoto), di Tenri Daigaku (Universitas Tenri), dan di Osaka Gaidai (Osaka University of Foreign
Studies)

Sejak tahun 1989 Ajip memberikan Hadiah Sastra Rancage kepada sastrawan atau
budayawan daerah yang telah berjasa dalam bidang sastra dan budaya daerah, khususnya Sunda
dan Jawa. Bersama beberapa sastrawan dan budayawan Sunda Ajip berhasil menyusun
Ensiklopedi Kebudayaan Sunda (2001). Kariernya di bidang sastra dimulai sejak bersekolah di
sekolah dasar. Kelas enam SD ia sudah menulis dan tulisannya dimuat dalam surat kabar
Indonesia Raya. Ketika ia berusia empat belas tahun, karya-karyanya dimuat dalam majalah
Mimbar Indonesia, Siasat, Gelanggang, dan Keboedajaan Indonesia. Ajip Rosidi menulis puisi,
cerita pendek, novel, drama, terjemahan, saduran, kritik, esai, dan buku yang erat kaitannya
dengan bidang ilmu yang dikuasainya, baik dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia.
Karya pertamanya Tahun-Tahun Kematian diterbitkan oleh Penerbit Gunung Agung (1955)
kemudian disusul oleh Pesta yang diterbitkan oleh Penerbit Pembangunan ((1956), dan Di
Tengah Keluarga yang diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka (1956)
Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Ajip_Rosidi | Ensiklopedia Sastra Indonesia
- Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia

2. Jakon Soemardjo

Prof. Drs. Jakob Soemardjo (lahir 26 Agustus 1939) adalah salah seorang pelopor
kajian Filsafat Indonesia dan pemerhati sastra. Pendidikan formalnya adalah Jurusan Sejarah
IKIP. Dia pernah mengajar menggambar di sebuah SMA di Bandung serta mengajar Sejarah
Kebudayaan dan Sejarah Kesusastraan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (Kini ISBI) Bandung.
Sejak tahun 1962, dia mengajar di Fakultas Seni Rupa Daerah di Institut Teknologi
Bandung (ITB) Bandung dalam mata kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah Teater, dan
Sosiologi Seni. Saat ini Jakob Sumardjo menyandang Guru Besar di Institut Seni Budaya
Indonesia, Bandung dan masih aktif mengajar di Pascasarjana ISBI Bandung.

Karier kefilsafatannya dimulai ketika ia menulis kolom di harian KOMPAS, Pikiran


Rakyat, Suara Karya, Suara Pembaruan dan majalah Prisma, Basis, dan Horison sejak
tahun 1969. Buku-bukunya yang khusus membahas Filsafat Indonesia ialah: Menjadi
Manusia (2001), Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN 979-
9440-29-7), dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah
Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).

Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob membahas ‘Ringkasan Sejarah


Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era
primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yang sangat
dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik,
pakaian, tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat,
teks-teks kuno, dan lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia.
Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob pun menyinggung ‘Filsafat
Indonesia Modern’, yang secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi,
dan aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’.

Definisinya tentang Filsafat Indonesia sama dengan pendahulu-pendahulunya, yakni, ‘…


pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya
budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’,
artinya ‘…filsafat [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun
tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk
rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…’ (Mencari Sukma
Indonesia, hal. 116).
Selain menulis artikel atau buku mengenai filsafat, Jakob juga sering mengulas sastra
Indonesia. Karya-karyanya, antara lain, Elite Sastra dalam Budaya Massa (1980), Segi-Segi
Sosiologis Sastra Indonesia (1981), Seluk Beluk Cerita Pendek (1981), dan Novel Populer
Indonesia (1982).Kini ia mengajar di Universitas Telkom hingga saat ini.

3. Bakri Siregar

Bakri Siregar (14 Desember 1922 – 19 Juni 1994) adalah penulis beraliran sosialis yang
lebih dikenal sebagai kritikus sastra Indonesia. Dia bergabung dengan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) pada tahun 1952, dan memimpin lembaga tersebut pada tahun 1965.

Pada tahun 1951, Siregar pergi ke Medan, ibu kota Sumatra Utara sekarang. Selama di
Medan, ia bekerja sebagai guru di perguruan tinggi. Kemudian pada tahun 1952, ia bergabung
dengan Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra), yang merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri
di Indonesia.Siregar menerbitkan karya analisis sastra Indonesia pertamanya, Ceramah
Sastra pada tahun 1952.Pada tahun 1953, ia menerbitkan kumpulan cerita pendek yang
berjudul Jejak Langkah;pada tahun yang sama, ia memimpin Lekra cabang Sumatra
Utara. Tahun berikutnya, Siregar menulis cerita sandiwara Saijah dan Adinda, yang ditulisnya
berdasarkan cerita dari penulis Hindia Belanda, Multatuli dalam novel Max Havelaar.

Dari tahun 1956 sampai 1957, Siregar menjadi guru bahasa Indonesia di Universitas


Warsawa, Polandia. Setelah itu, ia kembali ke Indonesia dan menjadi guru di Universitas
Sumatra Utara, Medan sampai tahun 1959. Jabatan terakhirnya sebagai pengajar adalah ketika
menjadi dosen di Universitas Peking, Tiongkok sampai tahun 1962. Selama di Peking, ia juga
menjabat sebagai dewan direksi Lekra. Setelah kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1962, pada
tahun 1965 ia memimpin Lekra. Pada tahun 1964, ia menerbitkan Sedjarah Sastera Indonesia
Modern I, yang ditulisnya berdasarkan pandangan Marxisme. Karya tentang sejarah sastra
Indonesia pertama itu lebih membahas angkatan Balai Pustaka dan Poedjangga Baroe.

4. H B Jassin

Dr. (HC). Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B. Jassin (31 Juli
1917 – 11 Maret 2000) adalah seorang pengarang, penyunting, cendekiawan muslim dan kritikus
sastra berdarah Gorontalo dan berkebangsaan Indonesia. H.B. Jassin memiliki gelar adat Pulanga
Gorontalo, yaitu "Ti Molotinepa Wulito" (Putra terbaik yang menguasai bahasa).

Tulisan-tulisannya digunakan sebagai sumber referensi bagi


pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kalangan sekolah dan perguruan tinggi dengan
menggolongkan angkatan sastra.Dia mendirikan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang
dikenal luas sebagai pusat dokumentasi sastra Indonesia terbesar dan terlengkap di dunia.
5. Buyung Saleh

Saleh Iskandar Poeradisastra atau Boejoeng Saleh (lahir di Jakarta, 25 Desember 1923 –


1989) adalah seorang sastrawan yang aktif menulis esai tentang budaya, sastra, dan sejarah. Ia
juga menulis sajak, dan cerita pendek. Buyung juga menulis sebuah buku hasil telaahnya soal
Islam dan dunia ilmu pengetahuan, yang kemudian berjudul Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan
Peradaban Modern (1981).

Ia pernah menjadi redaktur majalah Kebudayaan Indonesia (1953-1958) dan anggota


Pengurus BMKN kemudian bekerja di bagian riset sosiologi Baperki dan menjadi sekretaris
jenderalnya.Ia mengajar Bahasa dan sastra di FSUI (1960-1962), kemudian ia mengajar di
Moskwa di Universitas M.V.Lomonosov (1962-1964).Ketika menjadi tahanan politik di Pulau
Buru ia mendalami ilmu agama Islam.Sekeluarnya ia dari Pulau Buru, ia sering menulis resensi
dan penelitian ilmiah

6. Rachmat Djoko Pradopo

Rachmat Djoko Pradopo (lahir 3 November 1939) adalah sastrawan Indonesia.Dia


menjadi dosen tetap di Fakultas Sastra dan Kebudayaan (sekarang Fakultas Ilmu Budaya)
(Januari 1967 - Desember 2004). Hingga kini, dia masih memberikan kuliah bidang studi sastra
(Kritik Sastra dan Stilistika) sebagai profesor emiritus. Diangkat sebagai guru besar madya 1993
dan guru besar penuh 2003.

Di samping itu, dia pernah menjadi dosen tidak tetap di IKIP Sanata Dharma (1968-
1969), IAIN Sunan Kalijaga, Fakultas Sastra Unej Jember (1968-2003), dan memberikan kuliah
Kajian Puisi dan Kritik Sastra di Fakultas Sastra Undip Semarang (1967 sampai sekarang).
Selain memberi kuliah di S-1 Fakultas Ilmu Budaya, dia juga memberi kuliah di Program Studi
Sastra Sekolah Pascasarjana UGM. Selama tiga tahun (1970-1972) dikirimkan UGM sebagai
dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies di Seoul, Korea Selatan, memberikan
kuliah dalam bidang Kesusastraan dan Bahasa Indonesia.Semenjak 1 Maret 2011, ia mendirikan
sekaligus mengetuai Yayasan Sastra Yogya (YASAYO)

7. Nugroho Notosusanto

Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Prof. Dr. Raden Panji Nugroho Notosusanto (15 Juni 1930
– 3 Juni 1985) adalah seorang penulis cerpen Indonesia yang menjadi sejarawan militer yang
menjabat sebagai guru besar sejarah di Universitas Indonesia. Lahir dari keluarga bangsawan di
Jawa Tengah, ia menunjukkan rasa nasionalisme yang tinggi sejak usia muda. Selama Revolusi
Nasional Indonesia dari 1945 hingga 1949, ia terlibat dinas aktif sebagai anggota Tentara Pelajar,
bekerja di pengintaian. Meski ingin tetap di militer, di bawah pengaruh ayahnya ia melanjutkan
pendidikan, akhirnya mendaftar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Selama tahun 1950-an
ia menulis secara ekstensif dan aktif di berbagai kelompok politik dan akademis, akhirnya lulus
dengan gelar sarjana sejarah pada tahun 1958.Setelah usaha yang gagal untuk belajar
di Universitas London, pada awal 1960-an Notosusanto – yang saat itu menjadi dosen –
dihubungi oleh Jenderal Abdul Haris Nasution dan ditugaskan untuk menulis sejarah revolusi
dan Peristiwa Madiun.Pengarang yang dimasukkan H.B. Jassin ke dalam golongan sastrawan
Angkatan 66 termasuk juga sastrawan angkatan baru (periode 1950-an) menurut versi Ajip
Rosidi di antaranya adalah Nugroho Notosusanto.

Di antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar
pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho banyak menulis esai.
Nugroho menyelami zamannya, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisan-tulisan yang
berisi pembelaan para sastrawan muda, yaitu ketika terdengar suara-suara tentang krisis
kesusastraan, menyebabkan Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra Indonesia.
Nugroholah yang memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953; yang kemudian
dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958. Pada 1964 ia menjadi Kepala Divisi Sejarah TNI
Angkatan Darat, dengan pangkat kehormatan. Terus mengajar, ia banyak menulis tentang
revolusi dan peristiwa militer lainnya, termasuk buku pertama Gerakan 30 September 1965.
Antara tahun 1983 hingga wafatnya Notosusanto merangkap sebagai Rektor Universitas
Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

8. A Teeuw

Andries "Hans" Teeuw', lebih dikenal sebagai A. Teeuw, (12 Agustus 1921 – 18 Mei
2012) adalah pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda.Teeuw meraih gelar Doktor dari
Universitas Utrecht (1946) dan menerima gelar Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia
(1975). Sejak 1955 dia menjabat sebagai guru besar Bahasa dan Kesusastraan Indonesia di
Universitas Leiden, Belanda. Di universitas yang sama dia pernah menjadi ketua Departemen
Bahasa dan Kebudayaan (1968-1986). Ia menjadi lektor Sastra Melayu di Fakultas Sastra UI
(1950-1951), dan guru besar tamu di Universitas Michigan, AS (1962-1963).Ia pernah menjadi
anggota Ilmu Pengetahuan Belanda (sejak 1971) dan ketua Komite Belanda untuk Kerja Sama
Indonesia-Belanda (1970).Ia pernah mengadakan penelitian tentang sastra Indonesia di Jakarta
(1945-1947) dan di Yogyakarta (1977-1978).Di Indonesia dia lebih dikenal sebagai pakar sastra
Indonesia. Dia menulis buku sejarah sastra Indonesia dan buku teori sastra.

9. Zuber Usman

Zuber Usman (12 Desember 1916 – 25 Juli 1976) adalah penulis cerita pendek dan
perintis kritik sastra Indonesia. Lahir di Padang, ia dididik di sekolah-sekolah Islam sejak kecil
sampai tahun 1937, kemudian menjadi guru bahasa. Berkecimpung dalam
penulisan cerpen selama pendudukan Jepang di Indonesia dan perjuangan perang kemerdekaan,
ia terus mengajar dan menulis tentang sastra sampai akhir hayatnya.
Selama periode pendudukan Jepang di Indonesia (1942–1945) dan perjuangan perang
kemerdekaan (1945–1949), ia menulis sejumlah cerita pendek yang umumnya berkaitan dengan
tema ketekunan dan perjalanan menuju cinta sejati. Sebelas dari cerita pendek yang ia tulis
kemudian disusun dalam antologi Sepanjang Jalan (dan beberapa cerita lain), yang diterbitkan
pada tahun 1953 oleh Balai Pustaka; pada tahun 2005, buku itu telah mengalami cetakan ketiga.
[3] Setelah itu, ia menerbitkan dua buku sejarah sastra Indonesia, yaitu Kesusastraan Lama
Indonesia (1954) dan Kesusastraan Baru Indonesia (1957).Kedua buku ini ditulis ringkas dan
disusun berdasarkan urutan waktu.Bekerja sama dengan H.B. Jassin, ia juga menerjemahkan
beberapa karya Poerbatjaraka yang kemudian ditulis dalam Tjerita Pandji pada tahun 1958.Pada
tahun 1960, ia menerbitkan sebuah karya akademis mengenai bahasa dan sastra Indonesia
berjudul Kedudukan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Zuber Usman lulus dari Universitas Indonesia pada tahun 1961 dengan meraih gelar
sarjana sastra sebelum mendapatkan diploma pada tahun berikutnya.Selama lima belas tahun
sesudah itu, sampai ia meninggal di Jakarta pada tanggal 25 Juli 1976, ia menulis secara
ekstensif dan telah menghasilkan beberapa buku di antaranya 20 Dongeng Anak-Anak (1971)
dan Putri Bunga Karang (1973).

Usman mengartikan sastra Melayu lama sebagai sastra yang ditulis sebelum munuclnya
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Menurut ia, Abdullah lebih memperhatikan masalah yang
dihadapi orang dalam kehidupan sehari-hari, berbeda dari cerita tradisional yang penuh "dewa-
dewa, raksasa-raksasa atau dongeng jang muluk-muluk dengan puterinya jang tjantik djelita serta
dengan istananja jang indah permai".Ini bisa dibedakan dengan periodisasi yang lebih nasionalis,
seperti yang dilakukan A. Teeuw, yang menekankan kesadaran "Indonesia".Mengenai kebijikan
bahasa Balai Pustaka selama masa kolonial, Usman menulis bahwa bahasa Melayu yang
diwajibkan lebih bebas daripada bahasa Melayu tulis tradisional. Meski demikian, ia mengaku
bahwa terbitan-terbitan di luar Balai Pustaka lebih bebas dalam penggunaan bahasanya.

Anda mungkin juga menyukai