Anda di halaman 1dari 5

Teratai

Kepada Ki Hajar Dewantara

Dalam kebun di tanah airku Tumbuh sekuntum bunga teratai Tersembunyi kembang indah permai Tidak terlihat orang yang lalu Akarnya tumbuh di hati dunia Daun bersemi laksmi mengarang Biarpun dia diabaikan orang Seroja kembang gemilang mulia Teruskan, O Teratai bahagia Berseri di kebun Indonesia Biar sedikit penjaga taman Biarpun enkau tidak dilihat Biarpun engkau tidak diminat Engkaupun turut menjaga zaman

(Sanusi Pane)

Profil Sanusi Pane

Sanusi pane adalah kakak kandung dari sastrawan Armin Pane, anak dari seorang seniman yang juga seorang guru di Mnadailing Natal yang bernama Sutan Pengurabaan Pane. Pendidikannya di MULO, dijalani Sanusi Pane di Padang dan Jakarta hingga selesai di tahun 1925. Tamat dari pendidikannya di MULO Sanusi Pane lebih memilih meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai guru dengan melanjutkan pendidikannya di Kweekschool(sekolah guru) yang berada di gunung Sahari. Sanusi Pane sempat juga mengenyam bangku perkuliahan dalam mempelajari Ontologi di Rechtshogeschool antara tahun 1929-1930.Sanusi Pane adalah satu di antara beberapa tokoh sastra Indonesia di era pujangga baru. Pembaharu sastra tanah air yang lahir di muara Sipongi Sumatera Utara, pada tanggal 14 november 1905, dia adalah sastrawan yang banyak menyumbangkan perhatian dan karyanya, terutama pada periode di antara tahun 1919 sampai dengan kisaran 1940an. Bergelut dengan sastra tanah air yang tertatih-tatih dalam era penjajahan tidak membuat Sanusi Pane kehilangan semangat perjuangannya, terutama dalam bidang sastra pada waktu itu. Karya kesustraan Sanusi Pane, terlihat dengan gamblang dalam sejarah-sejarah nusantara di masa lampau terutama di zaman Hindu-Budha yang menjadi latar belakanng dominan dari setiap karya-karya Sanusi Pane. Banyak filsafat dan falsafah hidupnya yanglebih membandingkan kebudayaan timur dan barat, antara hal jasmaniah dan kerohanian. Hal-hal seperti inilah yang banyak ditemukannya selama berkunjung ke India. Sanusi Pane meninggal di Jakarta pada tanggal 2 januari 1968 pada usia yang ke 62 tahun. Perhatian seoarng Sanusi Pane akan sastra Indonesia masih mempunyai sejarah, sejarah itu masih menyimpan bukti, beberapa bukti tersingkap dalam karya-karya Sanusi Pane.

Kehebatan Sanusi Pane


Pendidikan: - HIS dan ELS Padang Sidempuan, Tanjungbalai, Sibolga. - MULO Padang dan Jakarta (1922). - Kweekschool, Gubung Sahari, Jakarta (1925). - Rechtshogeschool bagian Othonlogi. Karier: - Guru. - Redaktur majalah Timbul (1929-1930). - Pemimpin surat kabar Kebangunan (1936-1941). - Redaktur Balai Pustaka (1941). Karya-karya Sanusi Pane: Prosa Berirama (karya Sanusi Pane di tahun 1926). Pancaran Cinta (karya Sanusi Pane di tahun 1926). Kumpulan Sajak (karya Sanusi Pane di tahun 1927). Puspa Mega (karya Sanusi Pane di Tahun 1927). Airlangga (naskah drama karya Sanusi Pane dalam bahasa Belanda, 1928). Eenzame Caroedalueht (naskah drama karya Sanusi Pane dalam bahasa Belanda, 1929). Madah Kelana (karya Sanusi Pane di tahun 1931). Kertajaya (naskah drama karya Sanusi Pane di tahun 1932). Sandhyakala Ning Majapahit (naskah drama karya Sanusi Pane di tahun 1933). Manusia Baru (naskah drama karya Sanusi Pane di tahun 1940). Kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa, terjemahan Sanusi Pane dari bahasa Jawa kuno, 1940).

Pria kelahiran Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905 ini juga berprofesi sebagai guru dan redaktur majalah dan surat kabar. Ia juga aktif dalam dunia pergerakan politik, seorang nasionalis yang ikut menggagas berdirinya Jong Bataks Bond. Karyakaryanya banyak diterbitkan pada 1920 -1940-an. Meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968. Ia juga aktif dalam dunia politik, ikut menggagas dan aktif di Jong Bataks Bond, kemudian menjadi anggota PNI. Akibat keanggotannya di PNI, ia dipecat sebagai guru pada 1934. Namun sastrawan nasionalis ini tak patah arang. Ia malah menjadi pemimpin sekolah-sekolah Perguruan Rakyat di Bandung dan menjadi guru pada sekolah menengah Perguruan Rakyat di

Jakarta. Tahun 1936, ia menjadi pemimpin surat kabar Tionghoa-Melayu KEBANGUNAN di Jakarta, tahun 1941 menjadi redaktur Balai Pustaka. Sanusi Pane sastrawan pujangga baru yang fenomenal, dalam banyak hal berbeda dari Sutan Takdir Alisjahbana, jika STA menghendaki coretan yang hitam dan tebal dibawah pra-Indonesia yang dianggapnya telah menyebabkan bangsa Indonesia telah menjadi nista, Sanusi malah berpandangan sebaliknya, mencari ke zaman Indonesia purba dan ke arah nirwana kebudayaan Hindu-Budha. Sanusi mencari inspirasi pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya sampai pada sintesa Timur dan Barat, persatuan rohani dan jasmani, akhirat dan dunia, idealisme dan materialisme. Puncak periode ini ialah dramanya Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940. Jiwa nasionalismenya terlihat dalam perannya yang ikut aktif pada pembentukan perhimpunan pemuda-pemuda Batak yang kemudian disepakati bernama Jong Bataks Bond. Ia menyatakan Tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya. (Dikutip dari Nationalisme, Jong Batak, Januari, 1926).

Kutipan pendapat ahli Penyair manusia yang merdeka, tidak terbatasi pada gerak zaman yang terus melaju menawarkan berbagai penjara dunia dalam bentuk kenikmatan-kenikmatan yang mampu mengkerdilkan pikiran dan kemurnian jiwa. Sebab, bagaimana pun juga seorang penyair merengkuh dunia dengan kedalaman jiwa yang kemudian memanifestasikan ke dalam karya sebagai cahaya. Sanusi Pane (Sayuti, 2002: 13) dalam puisinya Sajak menyatakan kalau sajak bukan hanya mengenai bagaimana menyampaikan perasaan dengan pilihan dan permainan kata yang bagus, akantetapi hendaknya mampu menjadi seperti matahari yang menyinari bumi yang di dalamnya tidak ada pamrih.

Pada masa gerakan Pujangga Baru pandangan orang terhadap kebudayaan Indonesia pada umumnya ada perubahan yang cukup mencolok dibandingkan dengan angkatan sebelumnya. Perbedaan pandangan terhadap kebudayaan itu menimbulkan polemik yang cukup seru. Polemik itu melibatkan tokoh-tokoh kenamaan seperti Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka, Sutomo, M. Amir, Adinegoro, Sutan Takdir Alisyahbana, dan tidak ketinggalan Sanusi Pane, Karangan yang muncul dalam polemik para ahli kebudayaan itu dikumpulkan oleh Achdiat Karta Mihardja (1977) menjadi sebuah buku yang berjudul Polemik Kebudayaan. Paham romantik masih tetap mengalir dalam jiwa Sanusi Pane. Dalam buku kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Madah Kelana, jiwa keromantikan itu masih tetap mewarnainya. Banyak kita jumpai sajak-sajak percintaan yang cukup romantis, Angin, Rindu, Bagi kekasih, Kemuning, dan Bercinta. Sajak yang terbesar yang terdapat dalam Madah Kelana yakni Syiwa Nataraja adalah sajak yang melukiskan keinginan pengarang untuk bersatu dalam alam. Tampaknya ketika dia menciptakan sajak ini dia mengeluarkan segala kekuatannya sehingga menghasilkan sajak yang sebesar itu. Di samping itu, masib banyak lagi kita jumpai sajak-sajaknya yang senafas dengan itu. misalnya, Awan, Penyanyi. Pagi, Damai", dan Bersila. Hal ini membuktikan keyakinan Sanusi Pane bahwa manusia harus bersatu dengan alam. Hal ini masih tetap mewarnai karya-kanya puisinya yang terkumpul dalam Madah Kelana ini.

Anda mungkin juga menyukai