Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita panjatkan puja & Puji Syukur kepada Allah SWT, karena tanpa Rahmat &
Ridho-Nya saya tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula kita kirimkan sholawat dan salam
kepada Nabi Muhammad Saw, Nabi yang dijadikan suri tauladan bagi umat islam.

Serta tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Ibu Rahma Ashari Hamzah S,Pd., M,Pd selaku dosen
pengampuh mata kulia Teori dan Apresiasi Sastra SD yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas ini. Dalam
makalah ini saya akan menjelaskan tentang Toko Sastrawan dan Karyanya.

Saya menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurnah, maka dari itu saya
mohon maaf dan saya juga mohon saran atau kritikan yang membangun dari dosen maupun teman-teman sekalian
agar Ketika saya membuat makalah berikutnya bisa lebih baik lagi. Saya sangat berharap teman-teman yang
membaca makalah ini bisa mendapatkan ilmu yang bisa dimanfaatkan dikemudian hari.

Makassar, 22 Oktober 2022

Penyususn
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh manusia atau yang diciptakan oleh manusia dengan
menggunakan Bahasa untuk menghasilkan nilai-nilai estetika. Dalam hal ini, pengarang menciptakan karya sastra
tidak semata-mata mengukir nilai estetika melainkan untuk menghasilkan suatu pesan atau nilai-nilai kebaikan yang
ingin disampaikan oleh pengarang. Karya sastra terbagi menjadi dua suku kata, yaitu karya dan sastra.
Karya merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh manusia berupa karya fiksi atau karya non fiksi, sedangkan
sastra merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh manusia dengan menggunakan Bahasa sebagai media penyampaian
baik secara lisan maupun tulisan yang bersifat imajinasi, bernilai estetis dan mengandung pesan-pesan dan nilai-
nilai kebaikan. Suatu karya sastra dikatakan baik apabila karya sastra tersebut meninggalkan suatu pesan dan kesan
bagi pembacanya. Pembaca dalam hal ini dapat menikmati sebuah karya sastra sekaligus mendapat pembelajaran
yang bernilai melalui karya sastra tersebut. Dengan demikian, sastra akan menjadi suatu kepuasan tersendiri bagi
pembaca untuk dapat memperoleh kedua hal tersebut. Karya sastra bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga
dimengerti. Di infonesia terlahir banyak tokoh-tokoh sasta, di dalam makalah ini kami saya akan membahas siapa
saja tokoh-tokoh sastra yang ada di Indonesia yang karyanya di peruntukkan anak-anak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sastra ?
2. Apa yang dimaksud dengan sastra anak?
3. Siapa sajakah tokoh sastrawan anak yang ada di Indonesia ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari sastra.
2. Untuk mengetahui pengertian dari sastra anak.
3. Untuk mengetahui tokokh sastrawan anak yang ada di Indonesia.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sastra
Sastra merupakan ungkapan persaan seseorang untuk dituangkan dalam sebuah tulisan maupun cerita yang
dikemas secara menarik pembacanya (Faidah, 2018). Sebuah karya sastra dapat menampilkan cerita yang menarik,
mengajak seorang pembaca untuk memanjakan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh
daya sumpanse, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin tahu dan merasa terikat karenanya, mempermainkan
emosi pembaca sehingga ikut larut ke dalam arus cerita dan kesemuanya itu dikemas dengan Bahasa yang tidak
kalah menarik (M. Faison Efendi, Yusak Hudiyono dalam Nurgiyantoro, 2019).
B. Pengertian Sastra anak
Sastra anak merupakan ungkapan perasaan seorang anak yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan dan dinikmati
oleh anak-anak. Sastra anak juga merupakan karya sastra yang di tulis oleh orang dewasa dan diperuntukkan oleh
anak-anak, atau karya sastra yang ditulis oleh anak-anak dan dinikmati oleh anak-anak. Sastra anak merupakan
sebuah katya sastra yang menawarkan kesenangan dan pemahaman. (Faidah dalam Kurbiawan 2018)
mengemukakan bahwa sastra anak merupakan sebuah karya sastra yang ceritanya berkolerasi dengan dunia anak-
anak dan Bahasa yang digunakan sesuai dengan perkembangan intelektual, dan emosional anak.
C. Tokoh Sastrawan dan Karyanya
1. Ajip Rosidi

Ajip Rosidi adalah sastrawan, budayawan, dosen, dan redaktur penerbit serta pendiri dan Ketua Yayasan
Kebudayaan Rancage.  Ia dilahirkan pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Cirebon, Jawa Barat. 
Ketika usia Ajip Rosidi dua tahun, kedua orang tuanya berpisah sehingga ia diasuh oleh neneknya (dari pihak ibu),
kemudian oleh pamannya (dari pihak bapak) yang bermukim di Jakarta. Pada saat itu kehidupannya sangat
sederhana, bahkan boleh dibilang kurang. Namun, hal itu merupakan cambuk bagi dirinya untuk memperbaiki
kehidupan. Ia berhasil mengembangkan kariernya di bidang sastra, baik sastra Indonesia maupun sastra Sunda, di
bidang penerbitan, dan di bidang pengetahuan bahasa Indonesia.   Ketika berusia tujuh belas tahun, ia menikah
dengan Patimah. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai enam orang anak.
Ajip Rosidi mengawali pendidikan dasarnya di Jatiwangi, kemudian melanjutkan pendidikannya ke SMP di
Majalengka, Bandung, dan Jakarta. Selanjutnya, ia menempuh pendidikan SMA di Jakarta yang berpindah-pindah
dari SMA Jalan Batu bagian B (waktu belajarnya pagi hari) ke SMA Budi Utomo (waktu belajarnya sore hari),
kemudian pindah ke Taman Siswa. Namun, ia tidak mengikuti ujian akhir SMA. Hal itu sengaja dilakukannya
karena ia ingin membuktikan bahwa tanpa ijazah pun orang dapat hidup.
Kariernya di bidang sastra dimulai sejak ia bersekolah di sekolah dasar. Kelas enam SD dia sudah menulis
dan tulisannya dimuat dalam surat kabar Indonesia Raya. Ketika ia berusia empat belas tahun, karyanya dimuat
dalam majalah Mimbar Indonesia, Siasat, Gelanggang, dan Keboedajaan Indonesia. Ajip Rosidi menulis puisi,
cerita pendek, novel, drama, terjemahan, saduran, kritik, esai, dan buku yang erat kaitannya dengan bidang ilmu
yang dikuasainya, baik dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia. Karya kreatifnya ditulis terutama pada
periode 1953-1960. H.B. Jassin menggolongkannya ke dalam kelompok Angkatan 66.
Pada usia  15 tahun (SMP) Ajip Rosidi menjadi pengasuh majalah Soeloleh Peladja,  kemudian  usia 17
tahun dia menjadi redaktur majalah Prosa. Tahun 1964-1970 dia menjadi  redaktur penerbit Tjupumanik. Tahun
1968-1979 ia menjadi redaktur Budaya Jawa  dan tahun      1966-1975 menjabat Ketua Paguyuban Pengarang
Sastra Sunda dan memimpin penelitian pantun dan folklore Sunda. Tahun 1967 ia menjadi dosen di Universitas
Padjajaran dan tahun   1965-1968 menjabat direktur Penerbit Duta Rakyat. Pada tahun 1971-1981 ia memimpin
Penerbit Dunia Pustaka Jaya. Selain itu, tahun 1973-1979 ia juga memimpin Ikatan Penerbit Indonesia. Tahun
1973-1981 ia juga terpilih sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, bahkan pernah mendapat kesempatan sebagai
anggota staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978-1980.
Setelah berkecimpung dalam dunia seni dan penerbitan di Indonesia,  Ajip mengembangkan  ilmu
pengetahuannya di Jepang (1980). Di Jepang ia diangkat sebagai guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku
(Universitas Bahasa-Bahasa Asing Osaka), guru besar luar biasa di Kyoto Sangyo Daigaku (Universitas Industri
Kyoto), di Tenri Daigaku (Universitas Tenri), dan di Osaka Gaidai (Osaka university of Foreign Studies).  
Sejak tahun 1989, Ajip memberikan Hadiah Sastra Rancage kepada sastrawan atau budayawan daerah yang
berjasa dalam bidang sastra dan budaya daerah, khususnya Sunda dan Jawa. Hal itu menunjukkan bahwa ia mampu
mengembangkan kreativitasnya tanpa berhenti. Bersama beberapa sastrawan dan budayawan Sunda Ajip berhasil
menyusun Ensiklopedi Kebudayaan Sunda yang diterbitkan 2001.
Adapun karya sastra anak yang pernah diciptakan oleh Ajip Rosidi yaitu
a. Dongeng Si Pucuk Kalumpang

Buku si pucuk kalumpang berisi dongeng tentang anak yang tak dikehendaki orang tuanya.
b. Sangkuriang Kesiangan

Karena tidak sengaja membunuh si Tumang, anjing kesayangannya yang tidak lain adalah ayahnya sendiri,
maka sang kuriang diusir oleh ibunya, Dayang Sumbi. Sang Kuriang pun meninggalkan ibu dan tempat
kelahirannya dan pergi berkelana ke timur menuju arah matahari terbit. Dalam suatu perjalanan, dengan tanpa
disadari, Sag Kuriang kembali ke tempat asalnya. Ia bertemu Dayang Sumbiyang masih terlihat muda dan cantik.
Sang Kuriang pun jatuh cinta kepadanya, dengan tidak menyadari bahwa wanita itu adalah ibu kandungnya sendiri.
Dayang Sumbi yang telah mengetahui siapa Sang Kuriang berusaha keras menggagalkan keinginan anaknya yang
hendak menjadikannya isteri. Berbagai syarat yang sangat berat diajukan Dayang Sumbi sebagai upaya dan dalih
untuk menggagalkan keinginan Sang Kuriang tesebut.

2. Mochtar Lubis

Mochtar Lubis, sastrawan Angkatan 1960-an, dikenal sebagai penulis novel, cerpen, penerjemah, pelukis,
dan seorang jurnalis ternama. Dia lahir di Padang, tanggal 7 Maret 1922 dari keluarga Batak Mandailing dan
meninggal dunia di Jakarta pada tanggal, 2 Juli 2004. Ayahnya bernama Marah Husin Gelar Raja Pandapotan Lubis
bekerja sebagai Kepala Distrik Kerinci pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dan ibunya bernama Siti Madinah
Nasution. Mochtar Lubis adalah anak keenam dari sepuluh bersaudara dari keluarga beragama Islam. Mochtar
Lubis pernah melihat ayahnya memukuli seorang kuli kontrak yang mencoba melarikan diri. Dia tahu bahwa
ayahnya tidak tega bertindak seperti itu, tetapi tugasnya sebagai kepala distrik di wilayah itu harus dijalankan, yaitu
menghukum semua kuli kontrak yang melarikan diri. Pengalaman itu oleh Mochtar Lubis ditulisnya menjadi cerita
pendek dengan judul "Kuli Kontrak". Dengan adanya peristiwa itu, ayahnya tidak mengizinkan anak-anaknya
bekerja di pemerintahan Belanda karena ada kalanya tugas yang dibebankan oleh pemerintah Belanda bertentangan
dengan hati nuraninya. Ayahnya mengajarkan kedisiplinan dalam hidup dan ibunya mengajarkan agama dan
kebenaran untuk tidak berdusta kepada teman ataupun Tuhan. Mochtar Lubis dan saudara-saudaranya mulai SD
bersekolah di sekolah kebangsaan. Dia mengawali pendidikan di HIS Sungai Penuh, Kerinci, Sumatra Tengah (kini
masuk ke dalam Provinsi Jambi), tahun 1936. Tahun 1940 ia melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Ekonomi di
Kayutanam, Sumatra Tengah. Semangat kemerdekaan muncul dalam hati Mochtar Lubis yang belajar politik,
sosial, dan berhasil dengan baik mempelajari beberapa bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman
pada masa pendidikannya itu. Dia ingin melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran, tetapi ayahnya
melarangnya. Selanjutnya, ia belajar secara autodidak. Selain itu, ia pernah menempuh pendidikan di Thomas
Jefferson Fellowship (East-West Center, University of Hawaii, USA).
Mochtar Lubis menikah dengan Siti Halimah Kartawijaya (mantan sekretaris redaksi harian Asia Raya) dari
Jawa Barat. Pernikahannya dilaksanakan pada tanggal 2 Juli 1945, dikaruniai 3 orang anak, 2 laki-laki dan 1
perempuan, yakni Indrawan Lubis, Arman Lubis, dan Yana Zamin Lubis, serta 8 cucu. Dia mulai gemar menulis
sejak masih duduk di sekolah dasar. Ibunya selalu menceritakan dongeng yang kemudian oleh Mochtar Lubis
diceritakannya kembali kepada teman-temannya di sekolah. Dia kemudian menjadi penulis novel dan cerpen.
Mochtar Lubis pernah bekerja sebagai wartawan Kantor Berita Antara yang saat itu berpusat di Yogyakarta, 1945-
1952. Dia juga bekerja sebagai karyawan Bank Factory di Jakarta, guru sekolah dasar di Pulau Nias, anggota tim
monitoring radio sekutu untuk kepentingan Gunseikenbu, tentara Jepang pada tahun 1943, redaktur majalah Masa
Indonesia, penulis kolom surat kabar mahasiswa Kami tahun 1975, Ketua Dewan Redaksi majalah Solidarity, di
Manila, penulis tajuk majalah Suara Alam di Jakarta, dan juri Festival Film Indonesia tahun 1981. Setelah Kantor
Berita Antara ditutup oleh pemerintah Belanda, ia bekerja sebagai karyawan di surat kabar Harian Merdeka (1945)
dan menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Mutiara (1949-1950). Pada masa itulah Mochtar Lubis
berhubungan akrab dengan Chairil Anwar, Achdiat Karta Mihardja, Usmar Ismail, dan Aoh K. Hadimadja. Tanggal
28 Desember 1949 ia mendirikan surat kabar Harian Indonesia Raya dan ia sendiri menjadi pemimpin redaksinya,
pada periode 1949-1961 dan 1968-1974. Di masa pemerintahan Bung Karno, harian ini dianggap sebagai harian
yang paling keras mengritik penguasa dan para pejabatnya, sehingga pemimpin umum dan pemimpin redaksinya,
Mochtar Lubis, ditangkap dan dipenjarakan di Madiun (dari 21 Desember 1956 sampai dengan Mei 1966) bersama
Mohamad Roem, Sutan Syahrir, dan beberapa tokoh politik lainnya. Setelah dibebaskan dan aktif kembali pada
masa awal Orde Baru, Indonesia Raya diberangus kembali setelah peristiwa Malari 1974 bersama-sama beberapa
media lain dan Mochtar Lubis dipenjara kembali selama 2,5 bulan. Jabatan yang pernah disandangnya ialah Wakil
Ketua di Akademi Jakarta, Penanggung Jawab majalah sastra Horison, Ketua Penerbit Yayasan Obor Indonesia,
Direktur Jenderal Press Foundition of Asia di Manila, anggota Unesco Mc Bride Commission on Communication
and Information di Paris, anggota Internasional Press Institute (IPI) London, anggota International Science Writers
Association (ISWA), anggota Pen Club, anggota Kelompok Pertemuan Sastra Asean, Ketua Dewan Penyantun
Lembaga Bantuan Hukum (LBH), anggota Monial Pour le Etudes Sur le Future, Wakil Ketua Yayasan Pembinaan
Pers Indonesia, dan aktif dalam kegiatan Yayasan Indonesia Hijau. Mochtar Lubis menulis cerita anak dalam surat
kabar Sinar Deli, kemudian menulis cerita pendek yang diterbitkan majalah Siasat. Cerita-cerita pendeknya itu
kemudian dikumpulkan dan diterbitkannya dalam bentuk kumpulan cerpen yang berjudul Si Jamal. Dia menulis
novel Tidak Ada Esok dan Jalan Tak Ada Ujung. Dia juga masih terus menulis cerita pendek yang kemudian
dikumpulkannya dalam kumpulan cerita pendeknya yang kedua berjudul Perempuan. Kekhasan karya-karya
Mochtar Lubis ialah banyaknya unsur humor di dalamnya. A. Teeuw menyatakan bahwa karya Mochtar Lubis
hampir sama dengan karya Somerset Maugham. Persamaannya terletak pada struktur cerita, tekanan, dan putaran
yang tak disangka-sangka. Kadang-kadang pembaca merasa geli apabila membaca cerita-cerita pendek Mochtar
Lubis. Kekhasan yang lain dalam karya-karyanya terletak pada latar cerita, yaitu berlatar revolusi, seperti dalam
karyanya yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung, Tidak Ada Esok, serta Maut dan Cinta. Mochtar Lubis juga terkenal
sebagai wartawan.
Pandangannya terhadap perilaku para pemimpin amat tajam dan kritis. Oleh karena itulah hampir semua
tulisannya baik fiksi maupun nonfiksi, mengritik para pemimpin. Para pemimpin itu justru para pejuang sendiri
yang ikut memperjuangkan kemerdekaan, tetapi lupa amanat perjuangan mereka setelah Indonesia merdeka.
Kepandaian Mochtar Lubis berbahasa asing sangat menunjang pergaulannya dengan pengarang-pengarang asing.
Dia menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa Spanyol, Perancis, Inggris, dan Jerman. Pengarang asing yang
berhubungan baik dengannya adalah A. Vicents Compinos, Manual Pacheco, dan Alberto F. Orlandini. Mereka
sering mengirimkan karya-karyanya kepada Mochtar Lubis. Mochtar Lubis gemar melakukan perjalanan jauh yang
kemudian dibukukannya dalam Perlawatan ke Amerika, Perkenalan di Asia Tenggara, dan Indonesia di Mata
Dunia. Beberapa catatan perjalanan sebagai seorang wartawan juga menjadi sumber inspirasinya, seperti yang
dicurahkannya dalam Catatan Korea dan Perlawatan ke Amerika. Pengalaman Mochtar Lubis yang berhubungan
dengan masalah revolusi ditulisnya menjadi sebuah karya sastra, baik yang berbentuk novel maupun cerita pendek.
Dia menulis kebejatan-kebejatan manusia agar hal itu dapat disadari dan dimengerti oleh masyarakat. Dia
mengatakan bahwa kriteria satu-satunya bagi seorang sastrawan adalah hati nuraninya sendiri. Kebebasan harus
digugat untuk mengembalikan hak dan harkatnya sebagai manusia yang merdeka. Sikapnya yang seperti itu pernah
ditulisnya dalam cerita pendek "Bromocorah" (Horison, No. 7, Th 17, 1982). Tahun 1957 Mochtar Lubis ditahan
oleh pemerintahan Bung Karno. Selama dalam tahanan ia menulis karya sastra, melukis, belajar main biola, dan
memperdalam yoga. Karya sastra yang ditulisnya selama dalam tahanan itu antara lain Senja di Jakarta, Tanah
Gersang, Harimau! Harimau!, serta Maut dan Cinta.
Adapun karya sastra ciptaan Mochtar Lubis untuk anak-anak yaitu :
a. Berkelana Dalam Rimba

Berkelana Dalam Rimba merupakan salah satu buku karya Mochtar Lubis. Dia begitu apik menuliskan di
pegunungan bukit barisan. Daerah Tengah Pulau Sumatera. Di sana terdapat rimba Gunung Hitam. Orang-orang
kampung setempat menyebutnya seperti itu. Karena batu-batu di gunung dan di dalam sungai yang mengalir di
dalam rimba gunung hitam itu umumnya berwarna hitam. Rakyat di sekitar hutan gunung hitam sangat enggan
memasuki hutan lebat itu. “Hutan sakti” katanya. Hutan itu dipenuhi oleh orang Bunian dan orang halus yang dapat
menghilang. Di ceritakan kepala kampung, kepada Paman Rokhtam dan beberapa anak muda yang ingin
menjelajahi gunung Hitam itu, bahwa dahulu anak-anak kampung yang pergi ke hutan, hilang tak pernah kembali
lagi. Di ambil orang Bunian. Kepala kampung memaksa, agar jangan pernah pergi ke rimba gunung hitam itu.
“Nanti celaka kalian semua,” kata kepala Kampung. Namun, Paman Rokhtam yang seorang ahli pertanian lulusan
Institut Bogor itu hanya tersenyum kecil. Paman Rokhtam tetap berkukuh melanjutkan perjalanan menuju ke rimba
gunung hitam. Paman Rokhtam ditemani enam anak muda: Rais, Poni, Aisa, Ayang, Adnan, dan Pentil. Di balik
keberanian mereka itu, juga terdapat rasa takut yang terselubung. Ingat kata kepala kampung, bahwa di hutan rimba
hitam itu ada ular besar, harimau, dan hewan buas lainnya. Tapi, rasa takut itu mencoba mereka kubur dalam-
dalam. Akhirnya, mereka menemukan sebuah dunia baru: ratusan kumbang kecil berwarna coklat-hitam berjalan
seakan tak tentu arah-hilir-mudik tak ada putus-putusnya. Mereka seolah terkejut, karena atap dunia mereka terbuka
dengan tiba-tiba; cahaya yang lebih terang menembus kegelapan dunia mereka.

b. Harimau! Harimau!
Harimau-Harimau berisi kisah sekelompok pencari damar yang telah seminggu berada di hutan belantara
Sumatra. Mereka berjumlah tujuh orang, yaitu Pak Haji Rakhmad, Sutan, Tabib, Sanip, Buyung, Wak Katok, dan
Pak Balam. Mereka semua adalah murid Wak Katok, seorang ahli pencak dan pembuat jimat. Mereka juga
merupakan orang-orang yang terpandang di kampung halamannya. Wak Katok secara tidak langsung merupakan
pemimpin pencari damar itu. Buyung sebagai laki-laki termuda di kelompok itu ingin mempelajari ilmu gaib dan
ilmu sihir untuk memikat seorang gadis yang bernama Zaitun. Akan tetapi, keinginan Buyung belum dikabulkan
oleh Wak Katok. Di dalam hutan mereka sering beristirahat di huma milik Wak Hitam yang memiliki ilmu gaib
yang sangat ditakuti. Wak Hitam mempunyai istri banyak dan yang tercantik adalah Siti Rubiyah yang baru
dinikahinya dua tahun terakhir. Hubungan Buyung dengan Siti Rubiyah sangat erat. Buyung merasa kasihan ketika
mendengar cerita Siti Rubiyah, bahwa ia menderita batin sejak menikah dengan Wak Hitam yang lebih pantas
menjadi kakeknya. Siti Rubiyah terpaksa menikah dengan Wak Hitam karena kehendak orang tuanya. Baru
setengah jam dari huma Wak Hitam dalam perjalanan pulang, Buyung teringat pada perangkap kancilnya dekat
huma itu. Atas saran Sutan, Buyung kembali ke sana untuk memeriksa perangkapnya. Ternyata dugaan Buyung
tepat, ada kancil dalam perangkapnya. Ketika akan menyusul teman-temannya, ia bertemu dengan Siti Rubiyah
yang sedang termenung di atas batu. Antara rasa kasihan dan nafsu, hubungan seks pun terjadi dan Buyung berjanji
akan membawa Rubiyah melepaskan diri dari cengkeraman nafsu Wak Hitam. Padahal sebenarnya dalam hati
Buyung, sedikit pun tidak ada rasa cinta atas perempuan itu. Justru ia menyesal karena telah melanggar ajaran
agamanya. Setelah berkumpul lagi dengan teman-temanya, baik penyesalan dan janji muluk, maupun peristiwa
hubungan seks dengan Rubiyah tetap menghantui perasaan Buyung. Karena mendengar suara rusa yang
melengking di malam hari, mereka bermaksud memburunya. Esok harinya, Buyung, Wak Katok, dan Sutan
berangkat memburu rusa. Buyung berhasil membunuh rusa dengan menggunakan senapan tua milik Wak Katok.
Ketika menguliti rusa, mereka dikejutkan suara auman harimau yang datangnya dari tempat berburu. Seekor
harimau tua di dalam hutan itu marah karena rusa buruannya telah diambil oleh ketujuh pencari damar. Darah rusa
di sepanjang jalan yang dilalui oleh pencari damar membuat harimau bertambah lapar. Korban pertama adalah Pak
Balam, betisnya hancur dimakan harimau. Setelah Pak Balam menyusul Talip digigit dan dicakar harimau.
Ketakutan mereka memuncak ketika Pak Balam mengatakan "Harimau itu diutus Tuhan untuk meghukum mereka
karena dosa-dosanya." Pak Balam mengakui dosa-dosa yang diperbuatnya selama ini. Pengakuan itu diikuti oleh
Sanip, Talip, dan Pak Haji. Sementara, Buyung tidak mau menceritakan dosa-dosanya. Pak Balam akhirnya
meninggal dunia lalu disusul Talip. Sutan pergi meninggalkan kelompok pencari damar itu, akhirnya ia juga
dimakan harimau. Wak Katok kemudian mengusir Pak Haji, Sanip, dan Buyung. Ia ingin menyendiri. Buyung dan
kedua temannya yang lain sepakat untuk merebut senapan di tangan Wak Katok. Dalam perkelahian dengan Wak
Katok, Pak Haji tewas tertembak. Sanip dan Buyung akhirnya melumpuhkan pemimpin palsu itu. Buyung
kemudian memancing harimau dengan cara mengikat Wak Katok di pohon. Ketika harimau datang hendak
menerkam Wak Katok, Buyung menembak harimau hingga tersungkur. Wak Katok akhirnya pingsan dan
terkencing-kencing di celana.
3. Korrie Layun Lampan

Korrie Layun Rampan merupakan sastrawan dan kritikus yang produktif. Karyanya berbentuk cerita
pendek, novel, puisi, serta kritik dan esai. Pada awal kepengarangannya, dia sering menggunakan nama samaran,
misalnya nama teman-temannya, Atikah, Solihah, Moh. Sodiq. Dia lahir di Samarinda, Kalimantan Timur tanggal
17 Agustus 1953 dan berasal dari keluarga pegawai negeri. Ayahnya bernama Paulus Rampan, pensiunan tentara
berpangkat sersan. Ibunya bernama Martha Renihay. Korrie Layun Rampan menikah dengan Hernawati K.L.
tanggal 10 Juli 1973. Dari perkawinannya itu Korrie dianugerahi enam orang anak, yaitu Anthoni Ardhy Rampan,
Evita Feirin Rampan, Riena Dyaningtyas Rampan, Eliade Rinding Rampan, Dayeng Rinding Renihay Rampan, dan
Amalia Rinding Renihay Rampan. Pendidikan Korrie Layun Rampan dimulai dari SD yang hanya ditempuh selama
empat tahun. Dia lulus SD tahun 1964. Oleh karena prestasinya yang baik, Korrie mendapat beasiswa dari
Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Timur untuk bersekolah di SMP hingga perguruan tinggi. Setelah lulus
SMA di Samarinda tahun 1970, Korrie Layun Rampan melanjutkan studi ke Yogyakarta. Mula-mula ia memilih
Jurusan Keuangan dan Perbankan sampai sarjana muda, kemudian beralih ke Fakultas Sosial Politik, Universitas
Gadjah Mada. Kesenangannya terhadap dunia sastra dimulai sejak kelas IV SD. Pada saat itu ia sudah mulai
membaca karya sastra. Dia telah membaca novel karya Hamka Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Saat itu, Korrie
tergugah hatinya untuk menulis. Ketika bersekolah di SMP, Korrie sudah membaca majalah Sastra, Horison,
Cerpen, Budaya Jaya, dan Indonesia. Ketika belajar di SMA, ia menulis puisi di majalah dinding di sekolahnya. Di
samping itu, ia juga mengisi siaran khusus sastra, yaitu dalam acara "Pancaran Sastra" di RRI Studio Samarinda.

Sejak berkuliah di Yogyakarta, Korrie Layun Rampan bergabung dengan Persada Studi Klub (PSK),
kelompok seniman/ sastrawan muda yang dibimbing oleh Umbu Landu Paranggi. Sejak tahun 1972 Korrie Layun
Rampan menulis dengan produktif. Beberapa tulisannya dimuat di berbagai koran dan majalah, seperti Kompas,
Berita Buana, Suara Karya, Sinar Harapan, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, dan Horison. Karya-karya Korrie
yang tersebar itu lalu dibukukan dengan judul Perjalanan Sastra Indonesia, diterbitkan oleh Penerbit Gunung Jati
tahun 1983. Perhatiannya terhadap sastra juga diwujudkan dalam bentuk penerbitan. Dia mendirikan Yayasan Arus,
salah satu wadah yang menerbitkan buku-buku sastra. Di samping itu, ia juga memiliki dokumentasi sastra yang
tempatnya menyatu dengan rumah tinggalnya. Buku yang ada dalam ruang dokumentasinya itu berjumlah kira-kira
25.000 judul. Dia juga menyimpan buku di Yogyakarta dan Kalimantan. Motivasinya dalam mengumpulkan buku-
buku sastra itu adalah untuk mendukung usahanya dalam menulis buku. Dokumentasi yang dikumpulkan berupa
buku-buku sastra, majalah, dan kliping sastra. Dia juga mengumpulkan buku yang berkenaan dengan sosiologi,
psikologi, antropologi, dan biografi tokoh- tokoh terkenal. Buku tertua yang menjadi koleksinya adalah roman
Melayu-Tionghoa terbitan sebelum abad XIX.

Adapun Karya Sastra anak yang pernah ditulis beliau yaitu :


a. Cerpen Kayu Naga

“Bunuh konglomerat pembakar sawit! Gantung konglomerat pembakar sawit! Potong lehernya dengan
guilotin! Kasih ajar dengan pengadilan massa! Kasih pelajaran konglomerat busuk dengan hukuman mati!”
telingaku menangkap seperti teriakan orang-orang demonstrasi. “Gantung penunggak BLBI! Gantung konglomerat
penipu rakyat!” Kurasa badanku remuk redam! Utang bankku memang banyak. Tapi aku tak pernah membakar
ondernemingku sendiri. Tangan siapakah yang membakarnya? Aku sudah gila? Sudah mati? Kapan aku mati?!
(cerpen “Empana”) 
b. Puisi Kota
4. Arswendo Atmowiloto

Arswendo Atmowiloto yang lahir tanggal 26 November 1948 di Solo, Jawa Tengah adalah pengarang serba
bisa dan sebagian besar karyanya berupa novel. Isi ceritanya bernada humoris, fantastis, spekulatif, dan suka
bersensasi, seperti novel Surkumur, Mudukur, dan Plekenyun (1995) yang ditulis ketika ia berada dalam tahanan
karena kasus tabloid Monitor. Setelah lulus sekolah menengah atas, ia masuk ke Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Sastra, IKIP Solo, tetapi tidak tamat. Arswendo semula bercita-cita menjadi dokter atau menjadi pemimpin di salah
satu instansi pemerintah. Akan tetapi, cita-cita itu tidak tercapai. Meskipun begitu, ia tidak berputus asa. Setelah
keluar dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, ia bekerja di pabrik bihun, kemudian di pabrik susu. Dia pernah
juga bekerja sebagai penjaga sepeda dan sebagai pemungut bola di lapangan tenis karyawan Pabrik Gula.
Arswendo Atmowiloto menganut agama Kristen dan menikah dengan wanita yang seiman dengannya bernama
Agnes Sri Hartini pada tahun 1971. Dari perkawinannya itu, mereka memperoleh tiga orang putra, yaitu Albertus
Wibisono, Pramudha Wardhana, dan Cicilia Tecilia Tiara.
adapun karya sastra anak yang pernah ditulis beliau yaitu :

a. Novel Keluarga Cemara 1

b. Novel Keluarga Cemara 2


Kisah sebuah keluarga yang memilih hidup dengan hanya bermodalkan kejujuran. Keluarga yang
amat sangat sederhana, terdiri atas Abah, kepala keluarga yang bekerja sebagai penarik becak dan buruh apa
saja... Ema, sang ibu yang membuat opak untuk diajakan putinya .. Euis, si sulung yang kelas enam SD,
pernah mengalami masa jaya orang tuanya sebagai pengusaha ,,, Ara atau cemara yang baru masuk TK..
serta Agil si bungsu. Kalau air mata bisa menjadi simbol kebahagiaan.
5. Aman Datuk Madjoindo

Aman Datuk Madjoindo adalah novelis dan pengarang cerita anak-anak yang terkenal. Dia lahir di
Supayang, Solok, Sumatra Barat tahun 1896 dan meninggal di Surukan, Solok, Sumatra Barat tanggal 6 Desember
1969. Salah satu di antara ceritanya berjudul Si Doel Anak Betawi. Cerita ini pada tahun 1970-an diangkat ke layar
putih oleh Sjumandjaja yang kemudian dijadikan dasar cerita sinetron pada dasawarsa 1990 di RCTI dengan judul
"Si Dul Anak Sekolahan I-IV." Berdasarkan keterangan dalam riwayat hidup yang ditulisnya, sejak 25 Februari
1947-8 September 1969, diperoleh informasi bahwa ia mempunyai seorang anak laki-laki dari perkawinannya yang
pertama bernama Rusli. Karena ia bercerai dengan istrinya, anak itu dibawa istrinya ke Malaysia. Dari
perkawinannya yang kedua, Aman mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Sitti Damsiar yang
memberinya cucu 10 orang. Aman bersekolah di Inlandsche School 'Sekolah Bumiputera' tahun 1906-1911. Dia
bercita-cita menjadi pengarang dan juga ingin menjadi redaktur dan penerjemah buku anak-anak ke dalam bahasa
Melayu. Karena keinginannya itu, ia mengikuti kursus bahasa Belanda sore hari di Meester Cornelis (sekarang
Jatinegara). Pada waktu mengikuti kursus itu, ia tinggal di rumah ibu Sarimun di Meester Cornelis agar dekat
dengan tempat kursus jika ia pulang malam. Setelah lulus kursus, Aman diangkat sebagai redaktur, yang
memberinya banyak kesempatan untuk menyadur, menerjemahkan, dan mengarang. Meskipun dia bekerja sampai
malam, tetapi masih sempat melanjutkan kursus bahasa Belanda sampai mendapat Diploma Klein Ambtenaars
Eeksammen 'ujian pegawai rendah' dan melanjutkan lagi ke Breuscursus.

Aman menjadi guru di Solok tahun 1912-1914 dan guru Kelas II di Sulit Air, Padang tahun 1914-1919.
Tahun 1919 Aman merantau ke Jakarta dan bekerja di toko buku. Akan tetapi, karena suatu hal, ia keluar dan
bekerja di Tanjung Priuk, sebagai kuli. Tahun 1920, Aman bekerja di Balai Pustaka yang pada waktu itu masih
bersatu dengan Kunstring 'kesenian' di Gondangdia Lama bersama dengan Nur Sutan Iskandar sebagai Maleische
Redactuur 'Redaksi Bahasa Melayu'. Dia berkenalan dengan staf redaksi yang lain, seperti Tulis Sutan Sati, Sutan
Muhammad Zein, dan Sutan Pamuntjak yang menurutnya banyak mempunyai andil dalam perjalanan kariernya
sebagai pengarang. Aman mengakhiri tugasnya di Balai Pustaka tanggal 30 Juni 1958. Akan tetapi, keesokan
harinya ia mulai bekerja di Penerbit Djambatan yang dipimpin oleh Sutan Pamuntjak. Aman Datuk Madjoindo
adalah karyawan yang rajin, tetapi kurang memperhatikan kesehatan. Sebagai akibatnya, ia sakit paru-paru dan
harus dirawat di Sanatorium Cisarua, Bogor. Tahun 1927 ia mengambil cuti istirahat di Solok, kampung
halamannya yang secara kebetulan mempunyai kesejukan udara yang sama dengan Cisarua. Akan tetapi di Solok
pun ia tetap tidak dapat beristirahat, sehingga ketika ia habis masa cutinya, baru mulai bekerja lagi, beberapa bulan
kemudian ia jatuh sakit, dan harus dirawat kembali di Sanatorium Cisarua.
Adapun karya sastra anak yang pernah di tulis beliau yaitu :

a. Novel Si Dul Anak Jakarta 1932

Si Doel Anak Djakarta merupakan novel itu ditulis oleh Aman Datuk Madjoindo dan diterbitkan pertama
kali tahun 1932 oleh Balai Pustaka. Sampai dengan cetakan ke-23 (2006) novel ini masih diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Pada cetakan pertama novel itu diberi judul Si Doel Anak Betawi. Mulai terbitan kedua judul itu diubah
menjadi Si Doel Anak Djakarta. Novel itu terdiri atas satu bagian pendahuluan, dan sembilan bab, yakni "Di Bawah
Pohon Sauh"; "Si Dul Mengadu Semut"; "Si Dul Jadi Haji"; "Gembala Kambing"; "Mencari Umpan Kambing";
"Berjualan Nasi Ulam"; "Bang Amat yang Baik Hati"; "Si Dul Kecewa"; dan "Maksud Si Dul Kesampaian".

Sejak awal tahun 1980-an, novel itu menjadi bacaan populer bagi siswa, sebagaimana yang dikehendaki
pengarangnya yang menginginkan novel itu diperuntukkan bagi pembaca remaja. Novel Si Doel Anak Djakarta ini
menceritakan Abdul Hamid atau si Dul dengan kenakalan-kenakalan sebagai seorang anak dengan latar belakang
budaya Betawi sebelum perang. Ia anak tunggal. Ibunya bernama Amne. Ayahnya bekerja sebagai sopir kendaraan
umum jurusan Bogor-Jakarta. Setiap siang dan sore si Dul belajar mengaji bersama teman-temannya di rumah
kakeknya, Engkong Salim, orang yang terkenal keras terhadap anak didiknya. Kedua orang tua si Dul termasuk
orang yang taat beribadah dan suka berbuat baik kepada orang lain. Kehidupan keluarga orang tua si Dul sangat
harmonis, walaupun mereka miskin. Ayah si Dul meninggal dunia karena mobil yang sedang dikendarainya
menabrak pohon asam. Karena itu, cita-cita si Dul yang ingin bersekolah tidak tercapai. Ibu si Dul ingin bekerja di
toko obat, tetapi kakek si Dul tidak mengizinkannya. Lebih baik putrinya bekerja menjadi tukang cuci pakaian
daripada bekerja di toko obat. Ibu si Dul kemudian menikah dengan Baduali seorang duda beranak satu, yang
bekerja di sebuah bengkel mobil. Ia seorang pendatang, bukan orang Jakarta asli. Atas jasa ayah tirinya itu, si Dul
masuk sekolah. Namun, kakek (Uak Salim) si Dul tidak setuju jika ia masuk ke sekolah umum karena sekolah
umum hanya akan memikirkan masalah dunia, tidak akan memikirkan nasib akhiratnya. Namun, si Dul tetap
melanjutkan sekolah walaupun kakeknya tidak menyetujuinya.

b. Si Doel Anak Betawi

Abdoel Hamid adalah tokoh utama novel ini, namun ia lebih sering dipanggil Si Dul oleh keluarga
dan temannya. Si Dul tinggal bertiga dengan nyak (ibu) dan babenya (bapak). Nyak tiap hari tinggal di
rumah sedangkan babe menjadi sopir bus kota. Seperti kebanyakan anak-anak, tiap hari Si Dul bermain
dengan teman-temannya. Agar bisa main bareng dengan teman-teman, kadang Si Dul harus kucing-
kucingan dengan nyaknya. Walaupun nyak menyuruh Dul tinggal di rumah saja, kadang ia mencari akal
untuk ketemu teman-temannya.Kehidupan Dul berjalan lancar dan menyenangkan hingga suatu hari datang
kabar yang mengejutkan dari babe. Teman babe datang ke rumah dan mengabarkan kalau babe meninggal
akibat kecelakaan. Kepergian babe sangat berpengaruh bagi kehidupan nyak dan Dul. Nyak jadi tidak
bersemangat untuk menjalani hidup, dan sakit karena tidak mau makan. Di tengah cobaan tersebut, Dul
mencoba untuk tegar dan membantu sebisanya untuk kelangsungan hidup mereka.

6. A.A. Navis

A.A. Navis, yang nama lengkapnya Ali Akbar Navis, lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatra
Barat pada 17 November 1924 dan meninggal pada 22 Maret 2003 di Padang setelah menjalani perawatan di
Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. A. A. Navis menikah dengan Aksari Yasin tahun 1957 dan dikaruniai
tujuh orang anak, yaitu Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan
Rika Anggraini. Julukan yang diberikan pada Navis adalah "pencemooh nomor wahid" dan "sastrawan satiris
ulung". Julukan itu muncul dalam berbagai tulisan tentang Navis, antara lain sebagaimana yang muncul dalam
majalah Sastra, Volume I, Edisi 3 Juli 2002. Gelar sebagai "pencemooh nomor wahid" atau "satiris ulung" itu tentu
saja berkorelasi dengan gaya penulisan dan penggambaran karakter tokoh-tokoh yang kritis terhadap berbagai
persoalan kehidupan dalam karya-karyanya.

Sejak cerpen pertamanya "Robohnya Surau Kami" terbit dalam majalah Kisah tahun 1955, Navis
mengejutkan pembaca sastra Indonesia dengan sindiran yang amat tajam terhadap pelaksanaan kehidupan
beragama, disusul dengan novelnya yang berjudul Kemarau (1967). Novel ini menggambarkan bagaimana
konyolnya manusia-manusia dalam menghadapi cobaan dari Tuhan, yaitu kemarau yang panjang. Penggambaran
seperti itu muncul lagi dalam cerpennya yang berjudul "Jodoh". Berbagai cemoohan terhadap tradisi, takhyul,
rendahnya kedudukan perempuan, serta gaya hidup hedonis dengan menghamburkan uang untuk perhelatan sebagai
"keharusan sosial" juga mewarnai karya-karyanya. Setelah menamatkan pendidikan terakhir di Perguruan
Indonesche Nederlandsche School (INS) Kayutanam tahun 1946, berbagai pengalaman dalam hal pekerjaan
mengisi perjalanan hidupnya. Tahun 1944—1947, Navis menjadi pegawai pabrik porselen di Padang Panjang.
Tahun 1955—1957 ia menjadi Kepala Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan Sumatra Barat di Bukittinggi. Tahun
1969 Navis diangkat sebagai Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam. Tahun 1971—1972 cerpenis ini
menjabat Pemimpin Redaksi Harian Umum Semangat. Selanjutnya, pekerjaan yang ditekuninya adalah sebagai
anggota DPRD Sumatra Barat periode 1971—1982. Sejak habis masa jabatannya sebagai anggota DPRD dan
mengundurkan diri sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra, Universitas Andalas, ia mencurahkan pikirannya
untuk menulis. Kepengarangan Navis berawal dari kegemarannya membaca sejak usia SD. Sejak SD ia sudah
berkenalan dengan filsafat, sejarah Islam, dan cerita-cerita pendek. Pada waktu itu ia belum mempunyai keinginan
untuk menjadi pengarang. Yang ada di benaknya adalah ia akan menjadi seorang pelukis atau pematung. Niat
menulis muncul sejak ia membaca cerpen karya Hamka yang secara teratur dipublikasikan dalam Pedoman
Masyarakat. Pertanyaan yang secara teratur menggodanya setelah membaca karya Hamka adalah "orang lain bisa
menulis mengapa saya tidak?" Motivasi ini mendorongnya untuk menulis.
Adapun Karya Sastra anak yang pernah diciptakan beliau yaitu :
a. Cerita Rakyat dari Sumatera barat

b. Robohnya Surau kami


Robohnya Surau Kami adalah sebuah kumpulan cerpen sosio-religi karya A.A. Navis. Cerpen ini
pertama kali terbit pada tahun 1956, yang menceritakan dialog Tuhan dengan Haji Saleh, seorang warga
Negara Indonesia yang selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah. Cerpen ini dipandang sebagai
salah satu karya monumental dalam dunia sastra Indonesia. Buku Robohnya Surau Kami ini berisi 10
cerpen: Robohnya Surau Kami, Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan
Perginya, Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke
Masa.

Di dalam setiap cerpennya di buku ini, A.A. Navis menampilkan wajah Indonesia di zamannya


dengan penuh kegetiran. Penuh dengan kata-kata satir dan cemoohan akan kekolotan pemikiran manusia
Indonesia saat itu - yang masih relevan pada masa sekarang ini.

Cerpen "Robohnya Surau Kami" bercerita tentang kisah tragis matinya seorang Kakek penjaga surau
(masjid yang berukuran kecil) di kota kelahiran tokoh utama cerpen itu. Dia - si Kakek, meninggal dengan
menggorok lehernya sendiri setelah mendapat cerita dari Ajo Sidi-si Pembual, tentang Haji Soleh yang masuk
neraka walaupun pekerjaan sehari-harinya beribadah di Masjid, persis yang dilakukan oleh si Kakek. Haji
Soleh dalam cerita Ajo Sidi adalah orang yang rajin beribadah, semua ibadah dari A sampai Z ia laksanakan
semua, dengan tekun.Tapi, saat "hari keputusan", hari ditentukannya manusia masuk surga atau neraka, Haji
Soleh malah dimasukkan ke neraka. Haji Soleh memprotes Tuhan, mungkin dia alpa pikirnya. Tapi, mana
mungkin Tuhan alpa, maka dijelaskanlah alasan dia masuk neraka, "kamu tinggal di tanah Indonesia yang
mahakaya raya,tapi, engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniyaya semua. Aku beri kau
negeri yang kaya raya, tetapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan
peluh, tidak membanting tulang." Merasa tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo Sidi, Kakek memutuskan
bunuh diri. Dan Ajo Sidi yang mengetahui kematian Kakek hanya berpesan kepada istrinya untuk membelikan
kain kafan tujuh lapis untuk Kakek, lalu pergi kerja.

7. Chairil Anwar

Chairil Anwar terkenal sebagai penyair yang hidup dan matinya tidak dapat dilepaskan dari puisi Indonesia
modern sehingga ia menjadi pelopor Angkatan 45 dalam Sastra Indonesia. Dia lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di
Medan, Sumatra Utara. Chairil Anwar mengenyam pendidikan dasarnya di sekolah dasar pada masa Belanda, yaitu
Neutrale Hollands Inlandsche School (HIS) di Medan. Setelah tamat dari HIS, Chairil Anwar meneruskan
pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan, sebuah sekolah setingkat dengan SLTP. Ia
tidak menamatkan MULO Medan itu. Dia hanya sampai kelas satu. Selanjutnya, ia pindah ke Jakarta dan masuk
kembali ke MULO di Jakarta. Walaupun ia masih bersekolah di MULO, buku-buku untuk tingkat HBS (Hogere
Burger School) sudah dibacanya. Di Jakarta, Chairil Anwar hanya dapat mengikuti MULO sampai kelas dua.
Setelah itu, Chairil Anwar belajar sendiri (autodidak). Dia giat belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa
Jerman, sehingga akhirnya ia dapat membaca dan mempelajari karya sastra dunia yang ditulis dalam bahasa-bahasa
asing itu.
Chairil Anwar hanya seorang penyair dan hidup dengan menyair. Dia mendapat uang dari hasil menulis
sajak. Pada bulan Januari—Maret 1948, ia bekerja menjadi redaktur majalah Gema Suasana. Namun, karena
merasa tidak puas, ia mengundurkan diri dari pekerjaan itu. Dia kemudian bekerja sebagai redaktur di majalah
Siasat sebagai pengasuh rubrik kebudayaan "Gelanggang" bersama dengan Ida Nasution, Asrul Sani, dan Rivai
Apin. Ia merencanakan untuk mendirikan sebuah majalah kebudayaan yang bernama "Air Pasang" dan "Arena".
Namun, rencana itu belum juga terwujud hingga Chairil Anwar meninggal dunia. Orang tua Chairil Anwar berasal
dari Payakumbuh. Ayahnya bernama Teoloes bin Haji Manan yang bekerja sebagai ambtenar pada zaman Belanda
dan menjadi Bupati Rengat pada zaman Republik tahun 1948. Ibunya bernama Saleha yang dipanggil sebagai Mak
Leha. Ketika dikawini oleh Toeloes, Mak Leha itu janda beranak satu. Setelah Mak Leha pergi ke Jakarta bersama
Chairil, Toeloes kawin lagi dengan Ramadhana atau Mak Dona juga janda beranak satu. Dari Ramadhana ini ayah
Chairil Anwar memperoleh empat orang putri, yakni Nini Toeraiza, Toehilwa, Toehilwi, dan Toechairiyah.
Menurut penuturan Nini Toeraiza, ayahnya itu amat keras dalam mendidik anak. Ketika Chairil ke Jakarta, ayahnya
menegaskan akan membiayai sekolahnya. Namun, jika Chairil tidak bersekolah, kirimannya akan dihentikan.
Hamka pernah bertemu dengan ayah Chairil dan Hamka mengatakan bahwa Chairil, anak lelaki satu-satunya itu,
telah menjadi orang besar sebagai penyair. Ketika mendengar hal itu, ayah Chairil menitikkan air mata karena
bangga dan terharu. Pada 5 Januari 1949 ayah Chairil meninggal ditembak Belanda ketika Aksi Polisionil Belanda
terjadi di Rengat. Tiga bulan kemudian, 28 April 1949 Chairil Anwar meninggal di Jakarta.

Adapun karya sastra anak yang pernah ditulis oleh Chairil Anwar yaitu :

a. Puisi Aku

Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun  lagi

b. Buku hukum adat Indonesia (Meninjau hukum adat Minangkabau)

8. Taufiq Ismail

Taufiq Ismail, penyair yang dikenal luas sebagai tokoh sastrawan Angkatan '66 ini lahir di Bukittinggi, 25
Juni 1935 dan dibesarkan di Pekalongan. Dalam Tempo, Mei 2008 disebutkan bahwa ia pernah menggunakan nama
samaran, yaitu Nur Fadjar. Ayahnya adalah seorang ulama Muhammadiyah terkemuka, K.H. Abdul Gaffar Ismail,
dan ibunya, Tinur Muhammad Nur. Dengan latar belakang keluarga seperti itulah Taufiq dikenal sebagai penyair
yang bernafaskan keagamaan. Selain itu, Taufiq juga seorang kolumnis, dan berulang kali menulis lirik lagu untuk
kelompok Bimbo. Taufiq adalah anak sulung dari tiga bersaudara, adiknya bernama Ida Ismail dan Rahmat Ismail.
Dari perkawinannya dengan Esiyati Yatim, Taufiq dikarunia putra tunggal Bram Ismail, M.B.A. yang bekerja di PT
Unilever, melanjutkan karier ayahnya yang juga pernah bekerja di perusahaan Amerika Serikat itu selama 12 tahun
sejak tahun 1978. Pendidikan yang ditempuhnya diawali di sekolah rakyat di Solo dan ditamatkan di Sekolah
Rakyat Muhammadiyah Ngupasan, Yogyakarta, tahun 1948. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan ke SMP I
Bukittinggi dan tamat tahun 1952. Selanjutnya, ia menempuh pendidikan SMA di Bogor yang ditamatkannya di
SMA Negeri Pekalongan tahun 1956. Dia juga dikirim untuk belajar dalam rangka pertukaran pelajar di White Fish
Bay High School, Milwakee, Wisconsin, Amerika Serikat tahun 1957. Selepas itu, ia melanjutkan pendidikannya
ke Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia, Bogor tahun 1957-1963 sampai
memperoleh gelar dokter hewan. Dia juga menempuh pendidikan non-gelar, seperti di School of Letters
International Writing Program, University of Iowa, tahun 1971-1972 dan tahun 1991-1992. Tahun 1993 Taufiq
belajar di Mesir pada Faculty of Language and Literature America University in Cairo.

Taufiq Ismail pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Manajemen Peternakan di almamaternya
tahun 1961—1964 dan dipecat gara-gara ikut menandatangani Manifes Kebudayaan yang membatalkan
kepergiannya ke Amerika Serikat untuk studi lanjutan dalam Manajemen Peternakan di Florida. Pada tahun 1962 ia
menjadi guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Cdiampelas, Bogor. Pada tahun 1963-1965 ia
mengajarkan Bahasa Inggris di SMA Regina Pacis dan SKP Pamekar, Bogor. Taufiq selagi masih berstatus sebagai
pelajar dan mahasiswa telah terlibat dalam organisasi pelajar dan kemahasiswaan, yakni Pelajar Islam Indonesia
(PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Keterlibatannya dalam organisasi yang antikomunis itu menjadikan
Taufiq menghadapi masalah pada masa akhir Orde Lama. Kariernya untuk menjadi dosen dan peneliti di
almamaternya terputus. Dia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan,
Universitas Indonesia tahun 1960-1961. Kemudian, pada tahun 1961-1963 ia menjadi Ketua II Dewan Mahasiswa,
Universitas Indonesia. Pengalaman Taufiq memimpin organisasi mahasiswa memberinya bekal untuk terus
berkiprah dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Dia ikut mendirikan Dewan Kesenian Jakarta dan pernah
menjadi sekretaris dewan tersebut pada masa kepemimpinan Trisno Sumardjo hingga Umar Kayam pada akhir
tahun 1960 dan awal 1970-an. Dia pernah juga menjabat Direktur Taman Ismail Marzuki dan Rektor LPKJ. Selain
itu, ia pernah menjadi Ketua Yayasan Bina Antar Budaya yang mengelola penyelenggaraan pertukaran pelajar
antarbangsa yang sejak 1957 hingga 1998 telah mengirimkan 1.700 siswa Indonesia ke lima belas negara dan
menerima 1.600 siswa Asia di Indonesia. Untuk urusan itu, Taufiq pernah menjadi anggota Board of Trustee AFSIS
di New York tahun 1974-1976 dan menjadi siswa pertama dari Indonesia untuk program tersebut. Setelah tidak
menjadi Direktur LPKJ, Taufiq bekerja di PT Unilever dan menjabat Manajer Hubungan Luar PT Unilever tersebut
hingga memperoleh pensiun tahun 1990.

Adapun karya sastra anak yang pernah ditulis oleh Taufiq ismail yaitu :

a. Dengan Puisi, Aku

Dengan puisi aku bernyanyi,

Sampai senja umurku nanti,


Dengan puisi aku bercinta,
Berbatas cakrawala…
Dengan puisi aku mengenang,

Yang Akan Datang,

Dengan puisi aku menangis,

Jarum waktu bila kejam mengiris…

Dengan puisi aku mengutuk,

Nafas zaman yang busuk,


Dengan puisi aku berdoa,

Perkenankanlah kiranya…
b. Puisi Kerendahan Hati

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin

Yang tegak di puncak bukit

Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,

Yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,

Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang

Memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya

Jadilah saja jalan kecil,

Tetapi jalan setapak yang

Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten

Tentu harus ada awak kapalnya….

Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi

Rendahnya nilai dirimu

Jadilah saja dirimu….

Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

9. Eka Kurniawan

Eka Kurniawan (lahir 28 November 1975) adalah seorang penulis asal Indonesia. Ia menamatkan


pendidikan tinggi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Eka Kurniawan terpilih sebagai
salah satu "Global Thinkers of 2015" dari jurnal Foreign Policy. Pada tahun 2016, ia menjadi penulis Indonesia
pertama yang dinominasikan untuk Man Booker International Prize.

Skripsinya diterbitkan dengan judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (diterbitkan
pertama kali oleh Yayasan Aksara Indonesia, 1999; diterbitkan kedua kali oleh Penerbit Jendela, 2002; dan
diterbitkan ketiga kali oleh Gramedia Pustaka Utama, 2006). Karya fiksi pertamanya, sebuah kumpulan cerita
pendek, diterbitkan setahun kemudian: Corat-coret di Toilet (Aksara Indonesia, 2000).

Debut novel pertamanya meraih banyak perhatian dari pembaca sastra Indonesia, Cantik itu Luka [note
 (terbit pertama kali oleh Penerbit Jendela, 2002; terbit kembali oleh Gramedia Pustaka Utama, 2004;
2]

diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Ribeka Ota dan diterbitkan oleh Shinpu-sha, 2006; dialihbahasakan
oleh Annie Tucker (New Directions Publishing, 2015). Disusul kemudian oleh novel kedua, Lelaki
Harimau[1] (Gramedia Pustaka Utama, 2004) dialihbahasakan oleh Labodalih Sembiring dengan judul Man
Tiger (Verso Books, 1 Oktober 2015). Pada tahun 2016, Man Tiger terpilih masuk nominasi panjang
penghargaan The Man Booker International Prize Diarsipkan 2016-03-10 di Wayback Machine. 2016.

Karyanya yang lain adalah dua jilid kumpulan cerita pendek Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-cerita
Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005), dan Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama,
2005; di dalamnya termasuk kumpulan cerita pendek Corat-coret di Toilet). Beberapa cerita pendeknya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Swedia. Pada tahun 2014 Eka kembali mengeluarkan novel yang
berjudul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan di awal tahun 2015, buku kumpulan cerpennya yang
berjudul Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi dirilis.Kini ia tinggal
di Jakarta bersama istrinya, penulis Ratih Kumala, dan seorang anak perempuannya.

Berikut Karya Sastra anak Yang pernah ditulis Eka Kurniawan yaitu :

a. Sumur Sebuah Cerita

Sumur merupakan cerpen sepanjang 48 halaman yang bercerita tentang kehidupan Toyib dan Siti.
Mereka sepasang teman sekolah dasar yang setiap hari pergi bersama. Namun, sebuah pertarungan
memperebutkan sumber air membuat ayah Toyib khilaf dan membunuh ayah Siti. Ayah Toyib pun masuk
dalam penjara.

b. Lelaki Harimau

Buku novel karya Eka Kurniawan selanjutnya berjudul Lelaki Harimau, yang terbit pada tahun 2004
silam. Novel ini mengisahkan lanskap surealisme, seorang bocah bernama Margio menggiring babi ke
dalam perangkap. Namun, di sore saat waktunya istirahat menanti musim perburuan, ia terperosok ke dalam
tragedi pembunuhan paling brutal. Ia menyangkal dengan tandas. "Bukan aku yang melakukannya, ada
harimau dalam tubuhku". diterbitkan dalam terjemahan Bahasa Inggris dan Perancis.

10. W.S Rendra

Rendra terkenal sebagai penyair dan dramawan terkemuka di Indonesia sejak tahun 1950-an. Rendra juga
mendapat julukan sebagai "Si Burung Merak" karena penampilannya sebagai deklamator selalu penuh pesona. Dia
lahir tanggal 7 November 1935 di Surakarta (Solo), Jawa Tengah dan meninggal tahun 2009 di Depok, Jawa Barat.
Ayahnya, Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo (Broto), terkenal sebagai guru bahasa terutama Bahasa Indonesia
dan Bahasa Jawa SMA Katolik di Solo. Selain bergelut dengan pendidikan bahasa Indonesia di SMA Katolik Solo,
Pak Broto juga terkenal sebagai orang yang bisa bermain drama tradisional. Rendra menikah dengan Sunarti
Suwandi, salah seorang pemain drama dalam grup Bengkel Teater, yang banyak memberikan inspirasi kepada
Rendra dalam berkarya. Tahun 1970 dia beralih agama dari Katolik ke Islam, tepatnya ketika ia menikah dengan
Sitoresmi Prabuningrat. Sejak saat itu ia hanya memakai nama Rendra, awalnya dia memakai nama W.S. Rendra
(Willibrodus Surendra Broto). Kedua istrinya pemain drama dalam Bengkel Teater. Akan tetapi, rumah tangga
Rendra, baik dengan Sunarti maupun dengan Sitoresmi, tidak berlangsung terus, mereka pun bercerai. Rendra
akhirnya menikah dengan Ken Zuraida, istrinya yang ketiga, yang juga pemain drama.

Rendra masuk taman kanak-kanak tahun 1942. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan ke SD, SMP, dan
SMA hingga tahun 1952. Semua pendidikan itu dijalaninya di sekolah Katolik, Solo, Jawa Tengah. Setelah tamat
SMA, Rendra berniat belajar di Akademi Luar Negeri di Jakarta. Akan tetapi, sekolah itu telah ditutup sebelum
Rendra tiba di Jakarta. Rendra melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, tetapi hanya mencapai gelar sarjana muda. Pada 2008 ia memperoleh gelar doctor honoris causa
dari universitas ini. Tahun 1954 Rendra diundang oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk menghadiri seminar
tentang kesusastraan di Universitas Harvard. Rendra berkeliling Amerika selama dua bulan untuk mengenal lebih
dekat kehidupan kesusastraan di Amerika Serikat. Dengan adanya pengalaman itu, tahun 1961 ia mendirikan
kelompok teater di Yogyakarta. Tahun 1964 ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art
(AADA) untuk belajar drama dan seni. Keberangkatannya ke Amerika Serikat itu membuat kegiatan teater di
Yogyakarta terhenti. Pendidikannya itu diselesaikannya tahun 1967. Tahun 1968 Rendra mendirikan Bengkel
Teater yang kemudian menjadi sangat terkenal di Indonesia karena memberi warna dan suasana baru dalam
kehidupan teater di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Minat menulis puisi bagi Rendra telah tumbuh sejak ia
duduk di SMP kelas 2. Begitu juga, minatnya terhadap drama dan cerita pendek sudah terlihat sejak di SMP.
Namun, sajaknya diterbitkan pertama kali tahun 1952 pada majalah Siasat. Setelah itu, sepanjang tahun 1950-an
puisi-puisi Rendra terus dimuat dalam Siasat, Kisah, Seni, Basis, dan Konfrontasi. Pada tahun 1960-an sajak-sajak
Rendra terbit dalam majalah Budaya, Indonesia, Mimbar Indonesia, Quadrant, Selecta, dan Horison. Pada tahun
1970-an sajak Rendra banyak dimuat di majalah Pelopor.

Adapun karya sastra anak yang pernah dituliss oleh W.S Rendra yaitu :

a. Drama Mastodon dan Burung Kondor

Komunitas teater masa kini masih kerap kali membawakan naskah drama yang ditulis Rendra ini.
Mastodon dan burung kondor dikisahkan sebagai dua sosok yang sangat berlawanan. Mastodon
digambarkan sebagai pemerintah rakus, yang mengeruk kekayaan alam, haus kekuasaan, tidak pernah
merasa puas dan tidak memedulikan kepentingan rakyat. Sedangkan burung kondor digambarkan sebagai
penghiburan bagi rakyat atas kerasnya kehidupan, sulitnya mempertahankan diri dibalik kerakusan
penguasa dan penghiburan pada rakyat yang tertindas tanpa pembelaan.
b. Puisi GUGUR

Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya

Tiada kuasa lagi menegak

Telah ia lepaskan dengan gemilang

pelor terakhir dari bedilnya

Ke dada musuh yang merebut kotanya


Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya

Ia sudah tua luka-luka di badannya.

Bagai harimau tua susah payah maut menjeratnya

Matanya bagai saga menatap musuh pergi dari kotanya

………………

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sastra merupakan ungkapan perasaan seseorang yang dituangkan dalam sebuah tulisan maupun cerita yang dikemas
secara menarik oleh pembacanya (Faidah, 2018). Adapun arti sastra anak merupakan ungkapan perasaan seorang anak
yang dituagkan ke dalam bentuk tulisan dan dinikmati oleh anak-anak. Sastra anak juga merupakan karya yang ditulis
oleh orang dewasa dan diperuntukkan oleh anak-anak, atau karya sastra yang ditulis oleh anak-anak dan dinikmati oleh
anak-anak.

B. Saran

Hidup ini kadang tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan, dan berimajinasi merupakan angan-angan yang
indah. Maka cobalah untuk mengikat imajinasi dengan sebuah tulisan.
DAFTAR PUSTAKA

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Ajip_Rosidi

https://bandungbergerak.id/article/detail/1843/buku-bandung-25-si-pucuk-kalumpang-dongeng-sunda-
buhun-dari-ajip-rosidi

https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1149826

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Mochtar_Lubis

https://www.rifaihadi.com/resensi-berkelana-dalam-rimba/

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Harimau-Harimau

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Korrie_Layun_Rampan

https://www.scribd.com/document/353299053/Sinopsis-Buku-Kumpulan-Cerpen-Kayu-Naga

https://contohpantunpuisicerpen.blogspot.com/2015/11/20-contoh-puisi-korrie-layun-rampan.html

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Arswendo_Atmowiloto

https://onesearch.id/Record/IOS6.INLIS000000000014644/Description#tabnav
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Aman_Datuk_Madjoindo

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Si_Doel_Anak_Djakarta

https://id.wikipedia.org/wiki/Si_Doel_Anak_Betawi

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/A_A_Navis

https://id.wikipedia.org/wiki/Robohnya_Surau_Kami

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Chairil_Anwar

https://gasbanter.com/kumpulan-puisi-karya-chairil-anwar/#1_Aku

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Taufiq_Ismail

https://kumparan.com/berita-terkini/4-contoh-puisi-karya-taufik-ismail-yang-terbaik-sepanjang-masa-
1yTQClHU7io

https://kumparan.com/berita-update/kumpulan-puisi-taufiq-ismail-yang-populer-sepanjang-masa-
1wkVNXnyNjU/full

https://id.wikipedia.org/wiki/Eka_Kurniawan

https://www.tagar.id/lima-judul-buku-dan-novel-karya-penulis-eka-kurniawan

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Rendra

https://unnes.ac.id/wp-content/uploads/PUISI.pdf

Anda mungkin juga menyukai