Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH SASTRA ANAK

“Sastra Tradisional”

Makalah disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sastra Anak

Dosen Pengampu : Anang Sudigdo, S. Pd, M. Pd

Disusun Oleh :

Kelompok 5

1. Rikza Fauzi (2017015182)


2. Siti Haryati (2017015187)
3. Maria Gaudensia. W (2017015193)
4. Ulfah Azzah (2017015194)
5. Gerry (2017015
6. Gandi (2017015

Kelas : 4E

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISIWA

TAHUN AJARAN 2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugerah dari-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Sastra Tradisional”. Makalah ini
disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sastra Anak. Kami mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini.
Kami juga berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Dalam penyusunan
makalah ini, kami sadar masih banyak kekurangan di dalamnya, sehingga kami sangat berharap
pembaca dapat memberikan kritik dan saran guna membangun dan menyempurnakan makalah
ini. Sehingga dapat diharapkan bisa menjadi sumber pembelajaran kedepannya. Kami juga
mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Sastra Anak, yakni Bapak
Anang Sudigdo, S. Pd, M. Pd atas ketersediaannya membantu kami dalam menyusun makalah
ini.

Yogyakarta, 12 Maret 2019

Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tradisi bercerita terjadi secara turun-temurun dari orang tua kepada anak-
cucuknya sepanjang masa sampai kini. Demikian pula cerita yang dikisahkan juga
bersifat turun-temurun. Artinya, cerita yang dikisahkan orang tua kepada ank-anaknya
kelak juga diceritakan oleh anak-anak, setelah menjadi orang tua, kepada ank-anaknya.
Cerita yang dikisahkan ibu kepada anak dewasa ini tampaknya lebih banyak berkisar
pada cerita yang dahulu juga diterima dari orang tuanya, dan itu pada umumnya berupa
berbagai cerita tradisional.
Cerita tradisional hingga kini masih populer, masih diwariskan pertama-tama
secara lisan kepada anak-anak sejak mereka belum dapat membaca. Tetapi, dewasa ini
bebrbagi cerita tradisional sudah banyak yang dibukukan. Berbagai kisah serupa yang
berasal dari berbagai penjuru dunia juga hadir lewat buku-buku cerita. Hal itu semakin
menambah kekayaan cerita dan persediaan yang memadai sehingga kita tidak akan
kekurangan bahan cerita untuk mengisahkannya kembali kepada anak-anak.
Berdasarkan semua latar belakang diatas maka disusunlah makalh ini guna
menambah pengetahuan mahasiswa selaku calon guru dan orang tua agar dapat
menentukan jenis sastra apa yang cocok untuk disampaikan kepada anak didiknya
maupun anak-anaknya kelak. Terutama berbabagai jenis dari sastra tradisional dan
apresiasi dari sastra tradisional itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diata, maka penulis dapat pula merumuskanmasalah
sebagai berikut:
1. Apa hakikat sastra tradisional?
2. Apa saja ciri sastra tradisional?
3. Apa saja jenis sastra tradisional?

C. Tujuan Masalah
Tujuan yang akan dicapai dalam pembahasan ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hakikat dari sastra nasional.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri sastra tradisional.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis sastra tradisional.

D. Manfaat
Manfaat makalah ini bagi penulis dan pembaca :
1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis dan pembaca tentang sastra
tradisional.
2. Memotivasi guru atau calon pendidik untuk lebih memahami tentang sastra
tradisional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Sastra Tradisional
Sastra, menurut Lukens (1999:10), me-nawarkan dua hal utama, yaitu
kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama adalah
memberikan hiburan, hiburan yang menyenangkan. Sastra menampilkan cerita
yang menarik, mengajak pembaca untuk memanjakan fantasi, membawa pembaca
ke suatu alur kehidupan yang penuh daya suspense, daya yang menarik hati
pembaca untuk ingin tahu dan merasa terikat karenanya, "mempermainkan" emosi
pembaca sehingga ikut larut ke dalam arus cerita. Semua itu dikemas dalam bahasa
yang juga tidak kalah menarik. Lukens (1999:4) menegaskan bahwa tujuan mem-
berikan hiburan, tujuan menyenangkan dan memuaskan pembaca, tidak peduli
pembaca dewasa ataupun anak-anak, adalah hal yang esensial dalam sastra. Apa
pun aspek kandungan yang ditawarkan di dalam sebuah teks sastra, tujuan
memberikan hiburan dan menyenangkan pembaca harus tidak terpinggirkan. Hal
inilah yang menjadi daya tarik utama bagi pembaca, baik itu pembaca usia delapan
maupun lima puluh tahun.
Karena sastra selalu berbicara tentang kehidupan, sastra sekaligus juga
memberikan pemahaman yang lebih balk tentang kehidupan itu. Pemahaman itu
datang dari eksplorasi terhadap berbagai bentuk kehidupan, rahasia kehidupan,
penemuan dan pengungkapan berbagai macam karakter manusia, dan lain-lain
informasi yang dapat memperkaya pengetahuan dan pemahaman pembaca.
Informasi adalah sesuatu yang amat dibutuhkan dalam kehidupan manusia,
informasi tentang apa saja, tentang cara-cara kehidupan manusia lain, bahkan juga
binatang dan tumbuhan, tentang kultur dan seni dari bangsa lain, warna kulit,
bermacam karakter manusia, kebohongan dan kebenaran, tentang bermacam cerita
dari tempat lain, dan lain-lain yang ada di dunia ini. Semua orang butuh informasi,
dan bahkan orang tidak dapat hidup tanpa informasi, apalagi hidup dalam era
informasi seperti dewasa ini, tidak peduli itu manusia dewasa ataupun anak-anak.
Sastra mengandung eksplorasi mengenai kebenaran kemanusiaan. Sastra juga
menawarkan berbagai bentuk motivasi manusia untuk berbuat sesuatu yang dapat
mengundang pembaca untuk mengidentifikasikannya. Apalagi jika pembaca itu
adalah anak-anak yang fantasinya baru berkembang dan dapat menerima segala
macam cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak. Masih banyak lagi
bermacam kandungan yang ditawarkan dan dapat diperoleh lewat bacaan sastra
karena sastra bukan tulisan yang biasa. Isi kandungan yang memberikan
pemahaman tentang kehidupan secara lebih balk itu diungkap dalam bahasa yang
menarik. Oleh karena itu, akhimya Lukens (1999:10) menawarkan "batasan" sastra
sebagai sebuah kebenaran yang signifikan yang diekspresikan ke dalam unsur-
unsur yang layak dan bahasa yang mengesankan.
Di pihak lain, Saxby (1991:4) mengatakan bahwa sastra pada hakikatnya adalah
citra kehidupan, gambaran kehidupan. Citra kehidupan (image of life) dapat
dipahami sebagai penggambaran secara konkret tentang model-model kehidupan
sebagaimana yang dijumpai dalam kehidupan faktual sehingga mudah
diimajinasikan sewaktu dibaca. Sastra tidak lain adalah gambaran kehidupan yang
bersifat universal, tetapi dalam bentuk yang relatif singkat karena memang
dipadatkan. Dalam sastra, tergambar peristiwa kehidupan lewat karakter tokoh
dalam menjalani kehidupan yang dikisahkan dalam alur cerita. Sebuah teks sastra
yang jadi adalah sebuah kesatuan dari berbagai elemen yang membentuknya.
Elemen-elemen itu secara prinsipal berwujud pengga-lian, pengurutan, penilaian,
dan pengendapan dari berbagai pengalaman kehidupan dan atau kemanusiaan
sebagaimana dialami dan dirasakan penulisnya yang kemudian diungkapkan
dengan cara-cara yang indah dan menyenangkan.
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah semua bacaan yang memiliki
karakteristik di atas begitu saja dapat dinyatakan sebagai sastra anak. Jika demikian,
hal itu berarti tidak berbeda dengan karakteristik sastra dewasa (adult literature).
Untuk menjawab masalah tersebut, Saxby mengemukakan bahwa jika citraan dan
atau metafora kehidupan yang dikisahkan itu berada dalam jangkauan anak, balk
yang melibatkan aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman
moral, dan diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang juga dapat
dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak, buku atau teks tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai sastra anak. Jadi, sebuah bukudapat dipandang sebagai
sastra anak jika citraan dan metafora kehidupan yang dikisahkan, balk secara isi
(emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, dan pengalaman moral) maupun bentuk
(kebahasaan dan cara-cara pengekspresian), dapat dijangkau dan dipahami oleh
anak sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya.
Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran
dewasa tidak masuk akal. Misalnya, kisah binatang yang dapat berbicara,
bertingkah laku, berpikir dan berperasaan layaknya manusia. Imajinasi dan emosi
anak dapat menerima cerita semacam itu secara wajar dan memang begitulah
seharusnya menurut jangkauan pemahaman anak. Isi cerita anak tidak harus yang
baik-baik saja, seperti kisah anak rajin, suka membantu ibu, dan lain-lain. Anak-
anak juga dapat menerima cerita yang "tidak baik", seperti anak malas, anak
pembohong, nenek sihir jahat, kucing pemalas, atau binatang yang suka memakan
sebangsanya. Cerita yang demikian pun bukannya tanpa moral dan anak pun akan
mengidentifikasi did secara sebaliknya. Pendek kata cerita anak dapat berkisah
tentang apa saja yang menyangkut masalah kehidupan ini sehingga mampu
memberikan informasi dan pemahaman yang lebih balk tentang kehidupan itu
sendiri. Bahkan, cerita anak tidak harus selalu berakhir yang menyenangkan, tetapi
dapat juga yang sebaliknya. Huck, dkk. (1987:6) menekankan bahwa: children's
books are books that have the child's eye at the center. Buku anak, sastra anak,
adalah buku yang menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan.
Hal itu juga diperkuat Winch (1991:19) yang mengatakan bahwa buku anak
yang balk adalah buku yang mengantarkan dan berangkat dari kacamata anak. Hal
itu adalah isu fundamental dalam sastra anak. Hal itu merupakan salah satu "modal
dasar" bagi anak untuk memahami bacaan untuk memperoleh pemahaman tentang
dunia dan kehidupan yang dijalaninya . Anak berhak untuk memperoleh cerita yang
mengandung berbagai informasi tentang pengalaman kehidupan untuk
mengembangkan daya fantasinya. Beri anak kesempatan untuk berfantasi lewat
cerita untuk terbang mengarungi dunia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul
Hazard (1947, via Saxby, 1991:5) yang menyuarakan kebutuhan anak secara
metaforis: "Give us books", say the children, ",give us wings". Berdasarkan kata-
kata Hazard tersebut, Saxby dan Winch (1991) kemudian menjuduli buku tentang
sastra anak yang mereka editori dengan Give Them Wings, 'Beri Anak-anak itu
Sayap". Biarkan dan beri kesempatan anak-anak itu berkembang dan
mengembangkan fantasinya.
Anak sebagai pusat pemilik kebutuhan dan pusat perhatian harus mewarnai
buku bacaan yang memang ditulis dan disediakan untuknya. Hal ini juga dikuatkan
oleh Hunt (1995:61) yang mendefinisikan sastra anak dengan bertolak dari
kebutuhan anak. La mengemukakan bahwa sastra anak dapat didefinisikan sebagai
buku bacaan yang dibaca oleh, yang secara khusus cocok untuk, dan yang secara
khusus pula memuaskan sekelompok anggota yang kini disebut sebagai anak-anak.
Jadi, sastra anak adalah buku-buku bacaan yang sengaja ditulis untuk
dikomsumsikan kepada anak, buku-buku yang isi kandungannya sesuai dengan
minat dan dunia anak, sesuai dengan tingkat perkembangan emosional dan
intelektual anak, dan buku-buku yang karenanya dapat memuaskan anak. Hunt
mengakui bahwa definisi yang dikemukakannya itu tidak praktis dan bahkan kabur,
terutama yang menyangkut buku-buku yang dibaca oleh anak, karena sebenarnya
anak-anak dapat mombaca buku apa saja di luar kontrol kita.
Sastra anak tidak harus berkisah tentang anak, tentang dunia anak, tentang
berbagai peristiwa yang mesti melibatkan anak. Sastra anak dapat berkisah tentang
apa saja yang menyangkut kehidupan, balk kehidupan manusia, binatang,
tumbuhan, maupun kehidupan yang lain termasuk makhluk dari dunia lain. Namun,
apa pun isi kandungan cerita yang dikisahkan mestilah berangkat dari sudut
pandang anak, dari kacamata anak dalam memandang dan memperlakukan sesuatu,
dan sesuatu itu haruslah berada dalam jangkauan pemahaman emosional dan
pikiran anak. (Nurgiyantoro, 2004)
B. Ciri Sastra Tradisional
Ciri umum dari sastra tradisional yaitu:
1. Umumnya tidak diketahui pengarangnya karena kemunculannyapun tidak
disengaja dan berlangsung dari waktu kewaktu, dan tidak sekaligus seperti
halnya penulisan sastra dewasa ini.
2. Berupa cerita tradisional yang merupakan milik masyarakat.
3. Sebuah warisan sastra anak yang berharga dan menjadi dasar pemahaman
seluruh kesastraan.
4. Diwariskan secara lisan, dan bersifat personal karena tiap pencerita memiliki
kebebasan untuk memilih berbagai bentuk kebahasaan sesuai dengan seleranya.
5. Dapat berubah-ubah. dalam arti, para pencerita dapat menambah atau
mengurangi (dapat karena lupa atau disengaja) sebagian dari cerita.
6. Menurut mitthcell (2003:228) cerita tradisional umumnya menampilkan tokoh
yang bersifat sederhana sanstereotip (flat and stereotypical characters) yang
mempersentasikan kualitas sifat kemanusiaan tertentu.
7. Pada umumnya alur bersifat linear dan sederhana karena hanya menampilkan
satu jalinan kisah.
8. Adanya nilai pendidikan/ pengajaran, sebab masyarakat dahulu menjadikan
sarana lisan merupakan sarana terpenting untuk menyampaikan sesuatu kepada
orang lain.
9. Umumnya kurang dan bahkan tidak masuk akal, namun begitulah cara orang
dahulu memaknai kehidupan dan dunia.

C. Jenis Sastra Tradisional


Sastra tradisional terdiri dari berbagai jenis seperti mitos, legenda, fabel, cerita
rakyat, nyanyian rakyat dan lain-lain. Namun, pembedaan jenis sastra tradisional
tersebut, sebagaimana dikemukakan Mitchell (2003: 228) tidak pernah jelas,
karakteristik tertentu yang dipandang membedakan antara satu jenis cerita dan jenis
cerita yang lain tidak pasti. Ada unsur ketumpangtindihan karakteristik diantara
berbagai jenis sastra tradisional. Misalnya, sesuatu yang dikatakan sebagai mitos
didalamnya juga terdapat hal-hal yang merupakan karakteriritik legenda. Demikian
juga sebaliknya, atau cerita-cerita yang dikategorikan sebagai cerita rakyat itu juga
termasuk didalamnya mitos,legenda, fabel, dan lain-lain. Fabel yang merupakan
cerita binatang itupun tidak hanya menampilkan binatang, melainkan juga manusia
yang dapat berkomunikasi dengan binatang sehingga tidak dapat disebut sebagai
fabel murni.
Dalam dunia kesastraan Indonesia dikenal adanya penamaan sastra Melayu
Lama yang menunjuk pada berbagai jenis sastra rakyat yang dihasilkan oleh
masyarakat melayu. Fang (1976:1) membedakan sastra rakyat Melayu Lama
kedalam lima macam, yaitu: cerita asal-usul, cerita binatang, cerita jenaka, cerita
pelipur lara, dan pantun. Pembagian itu lebih aman karena tidak perlu
mempersoalkan ciri-ciri keduanya yang bertumpang tindih.
Berikut ini jenis-jenis sastra tradisional dan penjelasannya :
1. Mitos
Mitos (myths) adalah salah satu jenis cerita lama yang sering dikaitkan
dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan supranatural yang lain yang
melebihi batas-batas kemampuan manusia. Menurut Lukens (2003: 26) mitos
merupakan sesuatu yang diyakini bangsa atau masyarakat tertentu yang pada
intinya menghadirkan kekuatan-kekuatan supranatural. Mitos berbicara tentang
hubungan antara manusia dengan dewa-dewa, atau antardewa, dan itu
merupakan suatu cara manusia menerima dan menjelaskan keberadaan dirinya
yang berada dalam perjuangan tarik-menarik antara kekuatan baik dan jahat
(Huck dkk, 1987: 308). Mitos juga sering dikaitkan dengan cerita tentang
berbagai peristiwa dan kekuatan, asal-usul tempat, tingkah laku manusia, atau
sesuatu yang lain. Ia hadir dengan menampilkan cerita yang menarik, yang
mengandung aksi, peristiwa, ber-suspense tinggi, dan juga berisi konflik
kehidupan.
Kebenaran cerita mitos itu sendiri patut dipertanyakan, terutama lewat
sudut pandang rasionalitas dewasa ini, tetapi masyarakat pada umumnya
menerima kebenaran itu tanpa mempertanyakan kembali. Mitos sering
dikaitkan dengan cerita yang bersifat religius dan spiritual. Hal ini juga
dikemukakan oleh Hamilton (via Mitchell, 2003: 246) bahwa mitos merupakan
sebuah kebenaran, kebenaran yang diyakini oleh masyarakat. Ia memberikan
semacam tuntutnan dan kekuatan spiritual kepada masyarakat. Ia sengaja
dikreasikan masyarakat pada waktu itu untuk memahamai keajaiban dan
keagungan semesta. Ford (via Mitchell, 2003: 246) mengemukakan bahwa
mitos memandang realitas sebagaimana halnya dengan mimpi, ia berbicara
tentang kejiwaan dan kehidupan kita. Jika dilihat dari luarnya saja, alur
ceritanya saja, mitos bersifat fantastik, kurang dapat diterima secara logika,
tetapi inti dalamnya adalah sebuah kebenaran.
Jadi, berdasarkan kenyataan bahwa kehidupan masyarakat diikat oleh
keyakinan terhadap mitos, mitos tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
psikologis yang paling dalam. Hal itu tidak saja berkaitan dengan kebutuhan
pemahaman antarbudaya, tetapi juga berkaitan dengan prespektif historis,
kultural, estetis, dan spiritual (Saxby, 1991: 122). Mitos dapat dipandang
sebagai sebuah kebanggaan, kebanggaan masyarakat bahwa mereka
mempunyai sejarah masa lalu yang dalam banyak hal dipandang sebagai wujud
kebesaran, dan kini dipandang sebagai salah satu bentuk identitas bangsa yang
penting.
Jenis mitos dapat dibedakan kedaalam beberapa kategori berdasarkan sudut
pandang tertentu. Huck dkk. (1987: 308-9) membedakan mitos ke dalam tiga
jenis berdasarkan isi yang dikisahkan dan ditambahkan satu jenis mitos sejarah,
yaitu sebagai berikut.
a. Mitos Penciptaan
Mitos penciptaan atau disebut juga mitos asli adalah mitos yang
menceritakan dan atau menjelaskan awal mula kejadian sesuatu. Tiap
masyarakat yang berlatar belakang budaya tertentu pada umumnya memiliki
mitos yang berkisah tentang awal mula dan atau penciptaaan itu, seperti
cerita tentang bagaimana kejadian dunia, manusia, binatang, matahari dan
lain-lain. Dimasyarakat Jawa juga terdapat sebuah mitos yang mengisahkan
terjadinya berbagai tempat tertentu, misalnya mitos tentang terjadinya
Gunung Merapi, kabut yang mengelilingi Gunung Merapi itu, kejadian
binatang tertentu, dan lain-lain. Mitos yang berasal dan hidup di Jawa
banyak yang berkaitan dengan dewa-dewa tokoh wayang. Wayang adalah
cerita tradisional Jawa yang paling tua, bahkan telah ada sejak zaman
prasejarah, maka wajar jika tokoh-tokoh wayang itu menjadi mitos dan
legenda. Contohnya misal, mitos tentang Dewi Sri-yang Dewi kesburan itu-
yang turun ke dunia dikejar-kejar oleh Kala Gumarang yang kemudian
dikutuknya menjadi babi hutan, dan babi hutan sampai kini suka merusak
tanaman, khususnya padi sebagai, sebagai bentuk pembalasan kepada Dewi
Sri, mitos Kejadian Goa Kiskenda di barat Yogyakarta, dan lain-lain.
b. Mitos Alam
Mitos alam adalah cerita yang menjelaskan hal-hal yang bersifat
alamiah seperti formasi bumi, pergerakan matahari dan bumi, perbintangan,
perubahan cuaca, karakteristik binatang, dan lain-lain. Cerita wayang dari
Jawa banyak menampilkan mitos jenis ini, misalnya Batara Wisnu adalah
dewa penjaga alam, Batara Bayu dewa angin, Batara Brama dewa api,
Batara Baruna dewa laut, Batara Kama Jaya-Dewi Ratih dewa-dewi cinta,
dan lain-lain. Ditangan para dewa penguasa alam tersebut, wilayah alam
tertentu akan tunduk. Misalnya api akan tunduk kepada Batara Brama.
Cerita tentang Nyai Rara Kidul (Ratu Laut Selatan) yang mampu
menaklukan laut yang terkenal dengan gelombangnya yang ganas dalam
mitos masyarakat Jawa dapat dimasukkan ke dalam mitos jenis ini. Dalam
mitos ini diceritakan antara Nyai Rara Kidul mampu memerintahkan
gelombang sebagaimana yang dikehendakinya.
c. Mitos Kepahlawanan
Mitos kepahlawanan adalah mitos yang mengisahkan seorang tokoh
yang menjadi pahlawan karena kualifikasi dirinya yang memiliki keajaiban
tertentu di luar nalar kemanusiaan. Jadi, tokoh cerita yang ditampilkan
adalah tokoh yang memiliki kekuatan supranatural, keajaibab, atau
kualifikasi lain sebagimana yang dimiliki dewa-dewa, atau manusia
setengah dewa, yang dikisahkan dalam perjalanan hidupnya yang luar biasa.
Di cerita Yunani Klasik dikenal adanya nama Hercules, putra Zeus, raja para
dewa, dengan perempuan bukan dewa, yang memiliki kesaktian luar biasa
yang berjuang melawan kejahatan.
d. Mitos Sejarah
Mitos ini merupakan mitos yang hubungannya dengan peristiwa sejarah,
peristiwa dan tokoh yang benar-benar ada dan terjadi. Jadi, ini merupakan
gabungan antara cerita mitos dengan tokoh dan peristiwa sejarah. Tokoh dan
sebagian peristiwanya dapat ditemukan dalam sejarah, namun sebagian
peristiwa yang lain sulit dibuktikan kebenarannya dan bahkan kurang dapat
diterima logika biasa. Jadi, mitos sejarah pada umumnya hadir dengan
maksud untuk mendewakan tokoh sejarah yang bersangkutan tentang
kesaktian, kemampuan, kebijakan, atau kualifikasi kepribadian yang lain.
Contoh mitos sejarah, misalnya Panembahan Senapati, pendiri dan raja
pertama kerajaan Mataram.

2. Legenda
Sama halnya dengan mitos, lgenda juga termasuk bagian dari cerita
rakyat. Perbedaan antara mitos dan legenda tidak pernah jelas. Keduanya sama-
sama menampilkan cerita yang menarik dengan tokoh-tokoh yang hebat yang
berada di luar batas-batas kemampuan manusia lumrah. Hal yang
membedakannya adalah bahwa mitos serimg dikaitkan dewa-dewa dan atau
kekuatan-kekuatan supranatural yang di luar jangkauan manusia. Sebaliknya,
walau sama-sama menghadirkan tokoh-tokoh yang hebat, legenda tidak
mengaitkan tokoh-tokoh itu dengan atau sebagai dewa-dewa atau yang
berkekuatan supranatural, melainkan dengan tokoh, peristiwa, atau tempat-
tempat nyata yang mempunyai kebenaran sejarah (Lukens, 2003: 27).
Legenda (legends) dapat dipahami sebagai cerita magis yang dikaitkan
dengan tokoh, peristiwa, dan tempat-tempat yang nyata (Mitchell, 2003: 238).
Jenis legenda dapat dibedakan ke dalam legenda tokoh, tempat, dan peristiwa.
a. Legenda Tokoh
Legenda tokoh dimaksudkan sebagai sebuah cerita legenda yang
mengisahkan ketokohan seorang tokoh. Dengan kata lain, tokoh itulah yang
menjadi legenda dan atau dilegendakan karena kehebatan, kesaktian,
kebijakan, atau kualifikasi jati dirinya yang lain yang menyebabkan
kekaguman orang atasnya. Diberbagai pelosok tanah air di Indonesia
banyak ditemukan tokoh hebat yang kehebatannya menjadi kisah dalam
legenda. Misalnya, kisah Jaka Tingkir. Dikisahkan, sewaktu Jaka Tingkir
bermaksud pergi ke Demak ia harus melewati sungai yang ternyata dihuni
banyak buaya, dan buaya-buay itu menyerang getek (perahu) yang
dinaikinya. Maka, terjadilah pertempuran yang seru antara Jaka Tingkir
dengan buaya-buaya tersebut dan dapat dimenangkan oleh Jaka Tingkir.
Buaya-buaya yang dikalahkan itu akhirnya menjadi penyangga getek yang
dinaiki Jaka Tingkir. Cerita Jaka Tingkir ini mengandung pesan moral
antara lain perlunya keberanian dan rasa percaya diri untuk menghadapi
musuh atau pengahalang tujuan.
b. Legenda Tempat Peninggalan
Legenda ini dimaksudkan sebagai cerita yang berkaitan dengan adanya
peninggalan-peninggalan tertentu dan atau asal-usul terjadinya sesuatu dan
penamaan tempat-tempat tertentu. Legenda ini dapat berupa cerita tentang
adanya kejadian-kejadian tertentu menyebabkan adanya tempat-tempat
peninggalan yang hingga kini masih dapat dilihat, seperti Gunung Baka,
Gunung Tangkubanperahu, Gunung Kendeng, Gunung Grobogan, Padas
Bajul di Lumajang, Rawa Pening, Telaga Ngebel, Telaga Warna, Selat Bali,
dan lain-lain. Ia dapat juga berkaitan dengan penamaan tempat-tempat
tertentu, seperti Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Banyuwangi, Kudus,
Pabelan, dan lain-lain.
c. Legenda Peristiwa
Legenda peristiwa adalah adanya peristiwa-peristiwa besar tertentu
yang kemudian menjadi legenda karenanya. Legenda yang berkaitan dengan
peristiwa besar tersebut tidak dapat dipisahkan dengan tokoh-tokoh besar
yang dilegendakan. Artinya, tokoh-tokoh besar yang melegenda itulah yang
sering menjadi pelaku peristiwa besar yang dimaksud. Dapat juga dibalik,
tokoh-tokoh itu menjadi legenda karena mampu melakukan peristiwa-
peristiwa besar. Namun demikian, peristiwa besar itu tidak harus dilakukan
oleh tokoh, melainkan juga karena alam atau kehendak yang Maha Kuasa.
Contohnya kisah Malin Kundang dari Sumatera Barat.

3. Cerita Binatang (fabel)


Cerita binatang (fabel) adalah salah satu bentuk cerita (tradisional) yang
menampilkan binatang sebagai tokoh cerita. Binatang-binatang tersebut dapat
berpikir dan berinteraksi layaknya komunitas manusia, juga dengan
permasalahn hidup layaknya manusia. Mereka dapat berpikir, berlogika,
berperasaan, berbicara, bersikap, bertingkah laku, dan lain-lain. Sebagaimana
halnya manusia. Cerita binatang seolah-olah tidak berbeda halnya dengan cerita
yang lain, dalam arti cerita dengan tokoh manusia, selain bahwa cerita itu
menampilkan tokoh binatang.
Asal-usul cerita binatang. Menurut Fang (1975: 3) paling tidak ada dua
pendapat yang memberikan argumentasi hal itu. Pertama, cerita binatang sudah
muncul sejak manusia primitif, dan dalam masyarakat primitif orang tiap hari
berkumpul dengan binatang. Bagi mereka binatang-binatang itu juga dapat
berpikir dan berasa seperti dirinya. Kedua, cerita binatang berasal dari India dan
kemudian menyebar ke Asia dan Eropa karena di India terdapat banyak cerita
binatang yang termashur seperti Janaka, Pancatantra, dan Sukasaptati. Dalam
kepercayaan masyarakat India, makhluk-makhluk itu hakikatnya sama saja
dalam titisannya manusia dapat menjadi binatang, dan sebaliknya binatang
dapat menjadi manusia. Oleh karena itu, binatang-binatang juga diceritakan
dapat berbicara, berpikir, dan berasa sebagaimana halnya manusia.
Dilihat dari waktu kemunculannya, cerita binatang dapat dikategorikan
ke dalam cerita klasik dan modern. Cerita binatang klasik dimaksudkan sebagai
cerita yang telah ada sejak zaman dahulu, namun tidak diketahui persis kapan
munculnya, yang diwariskan secara turun-temurun terutama lewat sarana lisan.
Dipihak lain, cerita binatang modern (fabel modern) dimaksudkan sebagai
cerita yang muncul dalam waktu yang relatif belum lama dan sengaja ditulis
oleh pengarang tertentu sebagai ekspresi kesastraan. Cerita bianatang
dipergunakan untuk memberikan pesan moral kepada pembaca, terutama anak-
anak, merupakan tujuan lain hadirnya cerita itu baik dalam cerita binatang
klasik maupun modern.
Dilihat jumlahnya fabel modern jauh lebih banyak daripada fabel klasik
karena setiap saat selalu saja bermunculan lewat berbagai media massa. Tokoh-
tokoh binatang yang dimunculkan amat beragam meliputi berbagai jenis
binatang seperti bermcam burung, ikan, binatang hutan, binatang rumahan, dan
lain-lain yang jauh lebih beragam daripada dalam fabel klasik. Penyajiannya
dalam bentuk buku bacaan juga terlihat semakin menarik saja, yaitu dengan
disertai gambar-gambar yang sesuai pada tiap halaman dan dengan sampul
depan yang tidak kalah menarik.

4. Dongeng
Dongeng merupakan salah satu cerita rakyat yang cukup beragam
cakupannya. Bahkan, untuk memudahkan penyebutan, semua cerita lama,
termasuk ketiga jenis cerita yang telah dibicarakan diatas, sering begitu saja
disebut sebagai dongeng. Misalnya dongeng Kancil Mencuri Ketimun, Kancil
dengan Buaya, Asal-Usul Terjadinya Gunung Tangkubanperahu, Ciung
Wanara, Bawang Merah dan Bawang Putih, Timun Mas, dan sebagainya.
Dongeng berasal dari berbagai kelompok etnis, masyarakat, atau daerah tertentu
diberbagai belahan dunia, baik yang berasal dari tradisi lisan maupun yang sejak
semula diciptakan secara tertulis.
Istilah dongeng dapat dipahami sebagai cerita yang tidak benar-benar
terjadi dan dalam banyak hal sering tidak masuk akal. Dari sudut pandang ini ia
dapat dipandang sebagai cerita fantasi, cerita yang mengikuti daya fantasi walau
terkesan aneh-aneh walau secara logika sebenarnya tidak dapat diterima.
Karena dongeng berisi cerita yang tidak benar-benar terjadi itu, kemudian
berkembang makna dongeng secara metaforis: berita atau sesuatu yang lain
yang dikatakan orang yang tidak memiliki kebenaran faktual dianggap sebagai
dongeng belaka, atau sebagai cerita fiktif. Dongeng sebagai salah satu genre
cerita anak tampaknya dapat dikategorikan sebagai salah satu cerita fantasi dan
dilihat dari segi panjang cerita biasanya relatif pendek.
Dilihat dari segi penokohan, tokoh-tokoh dongeng pada umumnya
terbelah menjadi dua macam, yaitu tokoh berkarakter baik dan buruk. Selain itu,
dilihat dari unsur karakter tersebut, tokoh-tokoh dongeng umumnya lebih
berkarakter sederhana. Kemunculan dongeng yang sebagai bagian dari cerita
rakyat, selain berfungsi untuk memberika hiburan, juga sebagai sarana untuk
mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat pada waktu
itu. Dongeng juga merupakan suatu bentuk cerita rakyat yang bersifat universal
yang dapat ditemukan diberbagai pelosok masyarakat dunia.
Dilihat dari waktu kemunculannya, dongeng juga dapat dibedakan ke
dalam dongeng klasik dn dongeng modern. Sesuai dengan pembedaan yang
dilakukan Stewig (1980: 160-1) dongeng klasik termasuk ke dalam sastra
tradisional, sedang dongeng modern ke dalam sastra rekaan. Dongeng klasik
adalah cerita dongeng yang telah muncul sejak zaman dahulu yang telah
mewaris secara turun-temurun lewat tradisi lisan. Dongeng modern adalah
cerita dongeng yang sengaja ditulis untuk maksud bercerita dan agar tulisannya
itu dibaca oleh orang lain. Jadi, dongeng modern sengaja ditulis sebagai salah
satiu bentuk karya sastra, maka secara jelas ditunjukkan pengarang, penerbit,
kota penerbit, dan tahun. Sebaliknya, dongeng klasik pada umumnya tidak
dikenal pengarang dan waktu pembuatannya, serta memasyarakat lewat saran
lisan.

5. Cerita Wayang
Bangsa Indonesia memiliki warisan seni budaya yang tinggi nilainya,
yaitu yang berupa cerita wayang. Wayang yang telah melewati berbagai
peristiwa sejarah, dari generasi ke generasi, menunjukkan betapa budaya
pewayangan telah melekat dan menjadi bagian hisup bangsa Indonesia,
Khususnya Jawa. Wayang adalah sebuah wiracarita yang berpakem pada dua
karya besar, yaitu Ramayana dan Mahabharata. Teks asli kedua cerita itu
ditulis dalam bahasa Sansekerta, dan setelah masuk ke Jawa kemudian disadur
dan disunting ke dalam bahasa Jawa Kuna, sekaligus ditambah dan disesuaikan
dengan cerita dan legenda yang telah merakyat pada waktu itu, maka jadilah
cerita Mahabharata dan Ramayana versi Jawa (Groenendael, via Nurgiyantoro,
1998: 25).
Cerita wayang lebih banyak diwariskan lewat pertunjukkan, terutama
pertunjukkan, terutama pertunjukkan wayang kulit, daripada lewat teks. Cerita
wayang mula-mula diceritakan secara lisan turun-temurun dan tiap pencerita-
penyanyi menambah dari yang sebelumnya, termasuk mengkreasikan bahasa
penyampainnya. Sebagai sebuah karya sastra cerita wayang memilki ciri
kesastraan yang dominan, yaitu ciri estetik. Cerita wayang menganut prinsip-
prinsip estetika Timut seperti prinsip keseimbangan, kesatuan, keteraturan,
fokus, variasi, pola karakterisasi, tidak membedaakan pola struktur tragedi
komedi, menekankan keindahan rasa, dan sekaligus menjadi ensiklopedi hidup.
Sesuai dengan pakem cerita, pola karakter tokoh wayang sudah pasti,
dan itu memudahkan penikmat mengenalinya karena karakter akan menjadi
familiar. Selain itu, sesuatu yang juga dapat dipandang sebagai kelebihan cerita
wayang lain adalah bahwa hampir semua masalah manusia terdapat didalamnya
dan kemampuannya menyerap berbagau cerita dan kondisi zaman tanpa
merusak pakem cerita sehingga wayang dapat diakatakan sebagai ensiklopedi
hidup. Nilai cerita wayang dapat ditemukan dalam berbagai aspek pewayangan,
baik yang menyangkut unsur-unsur cerita wayang maupun yang melibatkan
aspek pementasannya sebagaimana terlihat dalam pentas wayang kulit. Unsur
cerita wayang yang dimaksud antara lain dan terutama dapat dilihat dari aspek
ajaran moral yang dikandung, alur cerita, dan karakter tokoh. Cerita wayang
pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak baik dalam
menghadapi dan menumpas tokoh yang berwatak jahat.

6. Nyanyian Rakyat
Nyanyian rakyat merupakan salah satu bentuk sastra tradisional yang
banyak dikenal dan dinyanyikan hingga kini. Sebagai salah satu bentuk
kesenian tradisional, pada umumnya nyanyian rakyat tidak diketahui
penciptanya karena saat nyanyian itu diciptakan rasa kebersamaan masih jauh
lebih dipentingkan daripada kepentingan individual. Pada waktu itu nyanyian
rakyat juga tidak dituliskan, maka ia juga mewaris secara turun-temurun secara
lisan dengan dinyanyikan secara langsung. Nyanyian rakyat juga dipandang
sebagai salah satu identitas masyarakat pendukungnya. Diberbagai daerah
kelompok masyarakat Indonesia dapat ditemukan berbagai nyanyian rakyat
khas daerah-daerah itu, misalnya nyanyian rakyat Sunda, Bali, Bugis, Jawa,
Maluku, dan lain-lain. Di Jawa Misalnya, naynyian-nyanyian rakyat itu biasa
disebut dengan tembang, dan tembang-tembang itu sendiri banyak macamnya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan kepada para pembaca
khususnya kepada mahasiswa calon guru untuk dapat meningkatkan
pemahamannya tentang “Sastra Tradisional” guna terwujudnya pelaksanaan proses
pembelajaran yang baik khususnya pembelajaran “Sastra Anak” di Sekolah Dasar.
Kami pun menyadari makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab
itu kami menyarankan kepada para pembaca untuk tetap terus menggali sumber-
sumber yang menunjang terhadap pembahasan makalah ini untuk perbaikan yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Nurgiyantoro, B. (2004). Sastra Anak: Persoalan Genre. Journal Humaniora, 108-110.

Anda mungkin juga menyukai