Anda di halaman 1dari 47

TUGAS PENDIDIKAN SASTRA SD

Dosen Pembimbing: Dr. Muhammad Ilyas, M.Pd

Nama : Wildan Ananda

Nim : 1905116023

Kelas : PGSD A 2019

Mata kuliah : Pendidikan Sastra SD

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDDIDIKAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA 2020
BAB 1

TENTANG SASTRA ANAK


Anak kecil sibuah hati itu sering banyak bertanya kepada ibunya tentang apa saja
yang ada di sekeliling yang di jumpainya. Pada umumnya ibu akan memnjawab semiua
pertanyaan dari anaknya dengan sabar sambil tersenyum bangga akan kepintaran anaknya.
Selian itu, ibu atau orang tua juga sering mendongeng si buah hati tentang berbagai cerita
yang menarik yang biasanya mulai dengan cerita binatang

Selain itu, anak-anak juga sering membuka-buka buku melihat-lihat gambar. Jika
belum dapat membaca, anak akan meminta kita untuk menceritakan dan atau membacanya,
atau sebaliknya kita yang berinisiatif untuk membacakan dan menceritakan.

Sebagaimana manusia dewasa pun membutuhkan informasi tentang dunia, tentang segala
sesuatu yang ada dan yang terjadi di sekelilingya. Anak juga ingin mengetahui informasi
tentang apa saja yang dapat dijangkau pikiranya. Pemenuhan kebutuhan tersebut hakikatnya
adalah kewajiban kita untuk memenuhi salah satu hak anak. Anak berhak untuk memperoleh
hal-hal tersebut dalam rangka pengembangan identitas diri dan kepribadiannya.

A. Hakikat Sastra Anak


Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan hidup
manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia tentang kehidupan pada umumnya,
yang semuanya diungkapkan dengan cara dan budaya khas. Artinya, baik cara
pengungkapan maupun bahasa yang dipergunakan untuk mengungkapkan berbagai
persoalan hidup, atau biasa disebut gagasan.
Sastra: memberi kesenangan dan pemahaman tentang kehidupan. Sastra
menurut Lekuns (2003:9)menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan
pemahaman. Sastra menampilkan cerita yang menarik, mengajak pembaca untuk
memanjakan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh daya
suspense. Lukens (2003:4) menegaskan bahwa tujuan memberikan hiburan, tujuan
menyenangkan dan memuaskan pembaca, dan tidak peduli pembaca dewasa atau anak
adalah hal yang esensial dlam sastra.
Stewig (1980:18-20) menegaskan bahwa salah satu alasan mengapa anak
diberi buku bacaan sastra adalah agar mereka memperoleh kesenangan. Selain itu,
sastra mampu menstimulasi imajinasi anak, mampu membawa ke pemahaman
terhadap diri sendiri dan orang lai dan bahwa orang itu belum tentu sama dengan kita.
Sastra: citra dan metafora kehidupan. Saxby (1991:4) mengatakan bahwa
sastra pada hakikatnya adalah citra kehidupan, gambaran kehidupan. Citra kehidupan
dapat dipahamicsebagai penggambaran secara kongkreat tentang model-model
kehidupan sebagaimana yang dijumpai dalam kehidupan faktual sehingga mudah
diimajinasikan sewaktu dibaca.
Jika sastra merupakan kesatuan dari hal-hal itu semua, teks sastra sebagai
produk penulisan dapat dipandang sebagai sebuah citraan kehidupan dan seara
potensial juga sebagai sebuah metafora kehidupan. Metafora kehidupan dapat
diartikan sebagai model-model kehidupam yang dikisahkan lewat ceritasastra
merupakan kiasan, simbiolisasi, perbandingan, atau perumpamaan dari kehidupan
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, berbagai peristiwa dan alur cerita yang dapat
terjadi di kehidupan masyarakat walau secara faktual-kongkret tidak pernah ada dan
terjadi.
Saxby (1991:4) mengemukakan bahwa jika citraan dan atau metafora
kehidupan yang dikisahkan itu berada dalam jangkauan anak, baikyang melibatkan
aspek emosi, persaan, pikiran, saraf sensor sensori, maupun pengalaman moral, dan
diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang juga dapat dijangkau dan
dipahami oleh pembaca anak-anak, buku atau teks tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai sastra anak
Anak sebagai pusat pencitraan. Huck dkk (1987:4) mengemukakan perlu
adanya perhatianterhadap perbedaan buku yang dimaksudkan sebagai bacaan anak
dan dewasa. Buku yank dibaca oleh anak-anak adalah buku yang sebenarnya untuk
dewasa karena memang jumlah buku yang sengaja ditulis untuk anak-anak terbatas.
Sastra anak : keterbatasan isi dan bentuk. Menurut lukens (2003:8) perbedaan
antara keduanya bukan terdapat spesises atau hakikat kemanusiaan, melainkan pada
tiingkat pengalaman dan kematangan. Pengalaman anak masih terbatas, maka anak
belum dapat memahami cerita yang melibatkan pengalaman hidup yang komplek.
Selain dalam hal pengalaman, keterbatasan anak juga terdapat hal bahasa dan cara
pengisahan cerita. Oleh karena itu sastra anak adalah karakteristik sederhana ,
sederhana dalam kosakata, struktur dan ungkapan.
Sastra anak: lisan dan tulis. Sastra anak sebenarnya tidak terbatas pada buku-
buku bacaan, pada segala sesuatu yang dicetak secara verbal. Dalam dunia kesastraan
dikenal adanya sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan adalah sastra yang diceritakan
dan diwariskan secara turun-temurun secara lisan. Sastra jenis ini kemudian dikenal
sebagai folklore, cerita rakyat yang telah mentradisi yang hidup dan dipertahankan
oleh masyarakat pemiliknya.
Nyanyian-nyanyian dan permainan kata tersebut jika dituliskan akan berwujud
puisi. Jadi, sastra anak membentang dari nyanyian-nyanyian ninabobo, puisi lagu
dolanan, cerita si ibu menjelang tidur, buku-buku gambar untul mengenal dan
membelajarkan huruf dan angka.
Siapa yang disebut anak itu. Huck dkk. (1987:64 – 72 ) membagi buku-buku
yang cocok untuk bacaan anak yang sesuai dengan tiap tahapan usia anak, dan
tahapan usia anak itu sendiri dibedakan ke dalam tahap-tahap: (1) sebelum sekolah
masa pertumbuhan, usia 1-2 tahun, (2) prasekolah dan taman kanak-kanak, usia 3-4,
dan 5 tahun, (3) masa awal sekolah, usia 6 dan 7 tahun, (4) elementari tengah, usia 8
dan 9 tahun, dan (5) elementari akhir, usia 10,11, dan 12 tahun. Jadi, berdasarkan
pembagian Huck dkk. Yang dapat dikategorikan sebagai anak adalah anak-anak usia 1
hingga kurang lebih 12 tahun.
Piaget (via Brady, 1991:28 – 30) membagi perkembangan intelektual anak ke
dalam empat tahapan, dan tiap tahapan mempunyai karakteristik berbeda yang
mempunyai konsekuensi pada respon anak terhadap bacaan. Keempat perkembangan
intelektual itu adalah: (1) tahap sensori motor (the sensory-motor period, 0 – 2
tahun), (2) tahap praoperasional (the preoperational period, 2 – 7 tahun), (3) tahap
operasional konkret (the concrete operational, 7 – 11 tahun), dan (4) tahap operasi
formal (the formal operational, 11 atau 12 tahun ke atas). Dengan demikian, orang
yang dapat dikategorikan sebagai anak itu adalah orang yang beriusia 0 tahun sampai
dengan sekitar 12 tahun. Jadi, anak yang dimaksudkan dalam sastra anak itu adalah
orang yang berusia 0 sampai sekitar 12 atau 13 tahun, atau anak yang sudah masuk
dalam masa remaja awal.
Siapakah penulis sastra anak? Sastra anak adalah karya sastra yang
menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan. Penulis buku bacaan
anak mest juga sadar pada kelompok usia yang mana, atau pada kelas-kelas sekolah
berapa, buku yang ditulis dimaksudkan. Menulis bacaan cerita untuk anak usia
prasekolah dan kelas 1 tentu berbeda dengan bacaan cerita untuk anak kelas 5 – 6
sekolah dasar. Buku-buku sastra anak pada umumnya ditulis oleh orang dewasa.

B. Genre Sastra Anak


Genre dapat dipahami sebagai suatu macam atau tipe kesastraan yang memiliki
seperangkat karakteristik umum (Lukens, 2003:13). Atau, menurut Mitchell (2003:5–
6) genre menunjuk pada pengertian tipe atau kategori pengelompokkan karya sastra
yang biasanya berdarkan atas stile, bantuk, atau isi.
Lukens (2003:14) mengemukakan beberapa alasan perlunya pembicaraan genre,
yaitu (i) memberikan kesadaran kepada kita bahwa pada kenyataanya terdapat
berbagai genre sastra anak selain atau lagu-lagu bocah yang telah familiar, telah
dikenal dan diakrabi; (ii) elemen struktural sastra dalam tiap genre berbeda; (iii)
memperkaya wawasan terhadap adanya kenyataan sastra yang bervariasi yang
kemudian dapat dimanfaatkan untuk memilihkannya bagi anak.
Lukens (2003:14–34) mengelompokkan genre sastra anal ke dalam enam macam,
yaitu realisme, fiksi formula, fantasi, sastra tradisonal, puisi, dan nonfiksi dengan
masing-masing mempunyai beberapa jenis lagi.
1. Realisme
Realisme dalam sastra dapat dipahami bahwa cerita yang dikisahkan itu
mungkin saja ada dan terjadi walau tidak harus bahwa ia memang benar-benar
ada dan terjadi. Peristiwa dan jalinan peristiwa yang dikisahkan masuk akal,
logis. Cerita mempresentasikan berbagai peristiwa, aksi dan interaksi, yang
seolah-olah memang benar, dan penyelesaiannya pun masuk akal dan dapat
dipercaya (plausibel). Jadi, karakteristik umum cerita realisme adalah narasi
fiksional yang menampilkan tokoh dengan karakter yang menarik yang
dikemas dalam latar tempat dan waktu yang dimungkinkan. Ada beberapa
cerita yang dapat dikategorikan ke dalam realisme yaitu cerita realistik,
realisme binatang, realisme historis, dan cerita olahraga.
Cerita Realisme. Cerita realistik (realistic stories) biasanya bercerita
tentang masalah-masalah sosial dengan menampilkan tokoh utama protagonis
sebagai pelaku cerita.
Realisme Binatang. Cerita realisme binatang (animal realism) adalah
cerita tentang binatang yang bersifat nonfiksi. Ia adalah cerita tentang
binatang, berbicara tentang binatang, misalnya yang berkaitan dengan bentuk
fisik, habitat, cara dan siklus hidup, dan lain-lain.
Realisme Historis. Cerita realisme historis (historical realism)
mengisahkan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Contoh cerita realisme
historis misalnya Perang Dipenegoro, Perang Paderi, Untung Surapati, dan
lain-lain yang memang memiliki fakta kesejarahan.
Realisme Olahraga. Realisme olahraga (sports stories) adalah cerita
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan dunia olahraga.

2. Fiksi Formula
Fiksi formula memiliki pola-pola tertentu yang membedakannya dengan
jenis yang lain. Jenis sastra anak yang dapat dikategorikan ke dalam fiksi
formula adalah cerita misteri dan detektif, cerita romantis, dan novel serial.
Cerita Misterius dan Detektif. Cerita misterius dan detektif biasanya
dikemas dalam suatu waktu, lampau, kini, atau mendatang, dan menyajikan
teror pada tiap bagian. Cerita misteri menampilkan daya suspanse, rasa
penasaran ingin tahu, lewat peristiwa dan tindakan yang tidak terjelaskan alias
masih misterius, namun pada akhir kisah hal-hal tersebut dapat dijelaskan dan
diselesaikan secara masuk akal. Demikian pula halnya dengan cerita detektif,
novel kriminal, atau spionase yang juga menampilkan sesuatu yang misterius,
yang biasanya dimulai dengan mayat dan atau kasus pembunuhan. Kasus
tersebut tetap misterius, tak terjelaskan, namun pada akhir kisah ditemukan
tersangka yang tidak terduga, dan bukti-bukti yang kuat.
Cerita Romantis. Cerita romantis (romantic stories) Cerita ini
menampilkan kisah yang simplisistis dan sentimentalis hubungan laki-laki
perempuan, dan itu seolah-olah merupakan satu-satunya fokus dalam
kehidupan remaja.
Novel Serial. Novel serial dimaksudkan sebagai novel yang diterbitkan
secara terpisah, namun novel-novel itu merupakan satu kesatuan unit.

3. Fantasi
Cerita fantasi dikembangkan lewat imajinasi yang lazim dan dapat
diterima sehingga sebagai sebuah cerita dapat diterima oleh pembaca. Jenis
sastra anak yang dapat dikelompokkan ke dalam fantasi ini adalah cerita
fantasi, fantasi tingkat tinggi, dan fiksi sain.
Cerita fantasi. Cerita fantasi (fantastic stories) dapat dipahami sebagai
cerita yang menampilkan tokoh, alur, atau tema yang derajat kebenarannya
diragukan, baik menyangkut (hampir) seluruh maupun hanya sebagian cerita.
Cerita fantasi tinggi. Cerita fantasi tinggi (high fantasy) dimaksudkan
sebagai cerita yang pertama-tama ditandai oleh adanya fokus konfik antara
yang baik (good) dan yang jahat (evil), antara kebaikan dan kejahatan.
Fiksi sain. Fiksi sain (science fiction) Robert Heinlein (via
Lukens,2003:22), seorang pengarang fiksi sain, mengemukakan bahwa fiksi
sain adalah fiksi spekulatif yang pengarangnya mengambil postulat dari dunia
nyata sebagimana yang kita ketahui dan mengaitkan fakta dengan hukum
alam.

4. Sastra Tradisional
Istilah “tradisional” dalam kesastraan (traditional literature atau folk
literature) menunjukkan bahwa bentuk itu berasal dari cerita yang telah
mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya dan siapa penciptanya, dan
dikisahkan secara turun-temurun secara lisan. Jenis cerita yang
dikelompokkan ke dalam genre ini adalah fabel, dongeng rakyat, mitologi,
legenda, dan epos.
Fabel. Fabel (fable) adalah cerita binatang yang dimaksudkan sebagai
personifikasi karakter manusia. Binatang-binatang yang dijadikan tokoh cerita
dapat berbicara, bersikap, dan berperilaku sebagaimana halnya manusia.
Dongeng Rakyat. Dongeng atau dongeng rakyat (folktales, folklore)
merupakan salah satu bentuk dari cerita tradisonal. Dongeng dimaksudkan
untuk menyampaikan ajaran moral, konflik kepentingan antara baik dan
buruk, dan yang baik pada akhirnya pasti menang.
Mitos. Mitos (myhs) merupakan cerita masa lampau yang dimiliki oleh
bangsa-bangsa di dunia. Mitos dapat dipahami sebagai sebuah cerita yang
berkaitan dengan dewa-dewa atau tentang kehidupan supranatural yang lain,
juga sering mengandung sifat pendewaan manusia atau manusia keturunan
dewa (Makaryk, 1995:596).
Legenda. Legenda (legends) merupakan cerita tradisional. Legenda
memiliki atau berkaitan dengan kebenaran sejarah, dan kurang berkaitan
dengan masalah kepercayaan supranatural. Legenda menampilkan tokoh-
tokoh sebagai hero yang memiliki kehebatan tertentu dalam berbagai aksinya
dan sangat mengesankan.
Epos. Epos (falk epics, epik, wiracarita) merupakan sebuah cerita panjang
yang berbentuk syair (puisi) dengan pengarang yang tidak pernah diketahui,
anonim. Ia berisi cerita kepahlawanan seorang tokoh hero yang luar biasa
hebat baik dalam kesaktian maupun kisah petualangannya.

5. Puisi
Sebuah bentuk sastra disebut puisi jika di dalamnya terdapat berbagai
unsur bahasa untuk mencapai efek keindahan. Bahasa puisi tentulah singkat
dan padat, dengan sedikit kata, tetapi dapat mendialogkan sesuatu yang lebih
banyak. Genre puisi anak dapat berwujud puisi-puisi lirik tembang-tembang
anak tradisonal., lirik tembang-tembang ninabobo, puisi naratif dan puisi
personal.
Puisi-puisi tradisonal, lirik tembang-tembang tradisonal, atau lirik
tembang-tembang ninabobo yaitu sesuatu yang diucapkan atau dinyanyikan
ibu sewaktu akan menidurkan anak., membujuk anak agar tidak rewel, atau
agar membuat anak senang.
Puisi naratif adalah puisi yang di dalamnya mengandung cerita, atau
sebaliknya cerita yang dikisahkan dengan cara puisi.
Puisi personal adalah puisi modern yang sengaja ditulis untuk anak-anak
baik oleh penulis dewasa maupun anak-anak. Puisi jenis ini dapat berbicara
tentang apa saja sepanjang yang menarik perhatian penulis.

6. Nonfiksi
Bacaan nonfiksi yang sastra ditulis secara artistik sehingga jika dibaca
oleh anak, anak akan memperoleh pemahaman dan sekaligus kesenangan. Ia
akan membangkitkan pada diri anak perasaan keindahan yang berwujud efek
emosional dan intelektualnya. Bacaan nonfiksi danpat dikelompokkan ke
dalam subgenre buku informasi dan biografi.
Buku informasi. Buku informasi (informational books), yang terdiri dari
berbagai macam buku yang mengandung informasi, biasanya memiliki
standar yang hampir sama.
Biografi. Biografi (biography) adalah buku yang berisi riwayat hidup
seseorang , tentu saja tidak semua aspek kehidupan dan peristiwa dikisahkan,
melainkan dibatasi pada hal-hal tertentu yang dipandang perlu dan menarik
untuk diketahui orang lain, atau pada hal-hal tertentu yang mempunyai nilai
jual. Contohnya kehidupan para wali (Wali Sanga) di jawa, dan beberapa
tokoh ilmuan terkenal seperti Einstein, Mahatma Gandhi dll.

7. Pembagian Genre yang Diusulkan


Genre sastra anak dibedakan ke dalam fiksi, nonfiksi, puisi, sastra
tradisonal, dan komik dengan masing-masing memiliki subgenre. Dasar
pembagiannya adalah bentuk pengungkapan dan isi yang diungkapkan, dan
juga mempertimbangakan adanya sastra tradisonal.
C. KONTRIBUSI SASTRA ANAK
Sastra anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan
kepribadian anak dalam proses menuju ke kedewasaan sebagai manusia yang
mempunyai jati diri yang jelas.
Saxby (dalam Saxby & Winch, 1991:5 – 10) mengemukakan bahwa kontribusi
sastra anak tersebut membentang dari dukungan terhadap pertumbuhan berbagai
pengalaman (rasa,emosi, bahasa), personal (kognitif, sosial, etis, spritual), eksplorasi
dan penemuan, namun juga petualangan dalam kenikmatan.
Huck dkk. (1987:6 – 14) mengemukakan bahwa nilai sastra anak secara garis
besar dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu nilai personal (personal values)
dan nilai pendidikan (educational values) dengan masing-masing masih dapat dirinci
menjadi sejumlah subkategori nilai.
1. Nilai Personal
a. Perkembangan Emosional
Baik secara langsung maupun tidak langsung dengan membaca buku-buku
cerita itu anak akan belajar bersikap daan bertingkah laku secara benar. Lewat
bacaan cerita itu anak akan belajar bagaimana mengelola emosinya agar tidak
merugikan diri sendiri dan orang lain. Kemampuan seseorang mengelola
emosi istilah yang dipakai adalah Emotional Qoutient (EQ) yang analog
Intelligence Qoutient (IQ), juga Spiritual Qoutient (SQ) dewasaa ini
dipandang sebagai aspek personalitas yang besar pengaruhnya bagi
kesuksesan hidup, bahkan diyakini lebih berperan daripada IQ.

b. Perkembangan Intelektual
Lewat bacaan yang dihadapinya itu aspek intelektual anak ikut aktif, ikut
berperan, dalam rangka pemahaman dan pengkritisan cerita yang bersangkuta.
Dengan kata lain, dengan kegiatan membaca cerita itu, aspek intelektual anak
juga ikut berkembang.
Peneliti tentang pembelajaran seni di Amerika pada tahun 1980-an (via
Djohar, 2004:26) memperlihatkan bahwa anak-anak sekolah dasar yang
diajari seni ternyata juga berdampak pada kemampuan siswa dalam bidang
IPA, matematika dan bahasa.
c. Perkembangan Imajinasi
Dengan membaca bacaan cerita sastra imajinasi anak dibawa berpetualang
ke berbagai penjuru dunia melewati batas waktu dan tempat, tetapi tetap
berada di tempat, dibawa untuk mengkuti kisah cerita yang dapat menarik
seluruh kedirian anak. Lewat cerita itu anak akan memperoleh pengalaman
yang luar biasa (vicarious experience) yang setengahnya mustahil diperoleh
dengan cara-cara selain membaca sastra.
Imajinasi dalam pengertian ini jangan dipahami sebagai khayalan atau
daya khayal saja, tetapi lebih menunjuk pada makna creative thinking,
pemikiran yang kreatif, jadi ia bersikap produktif.

d. Pertumbuhan Rasa Sosial


Anak pada usia 10-12 tahun sudah mempunyai citarasa keadilan dan
peduli kepada orang lain yang lebih tinggi. Bacaan cerita sastra yang
“mengeksploitasi” kehidupan bersosial secara baik akan mampu
menjadikannya sebagai contoh bertingkah laku sosial kepada anak
sebagaimana aturan sosial yang berlaku.

e. Pertumbuhan Rasa Etis dan Religius


Nilai-nilai sosial, moral, etika, dan religius dapat didapatkan anak lewat
bacaan cerita sastra yang menampilkan sikap dan perilaku tokoh. Pada
umumnya anak akan mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh yang baik
itu, dan itu berarti tumbuhnya kesadaran untuk meneledani sikap dan perilaku
tokoh tersebut.

2. Nilai Pendidikan
a. Eksplorasi dan Penemuan
Dengan membaca sastra, pada hakikatnya anak dibawa untuk melakukan
sebuah eksplorasi, sebuah penjelajahan, sebuah petualangan imajinatif, ke
sebuah dunia retatif yang belum dikenalnya yang manawarkan berbagai
pengalaman kehidupan.

b. Perkembangan Bahasa
Lewat sastra anak dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya karena
sastra merupakan karya seni yang bermediakan bahasa, maka aspek bahasa
memegang peran penting didalamnya. Berhadapan dengan sastra hampir
selalu dapat diartikan sebagai berhadapan dengan kata-kata, dengan bahasa.

c. Perkembangan Nilai Keindahan


Dengan membaca sastra anak mendapatkan nilai dengan keindahan karena
sastra sebagai salah satu bentuk karya seni yang memiliki aspek keindahan.
Dengan tertanamkan aspek keindahan dalam diri anak bersama dengan
berbagai aspek yang lain akan membawa dampak positif bagi perkembangan
personalitasnya.

d. Pemahaman Wawasan Multikultural


Lewat sastra dapat dijumpai berbagai sikap dan perilaku hidup yang
mencerminkan budaya suatu masyarakat yang berbeda dengan masyarakat
yang lain. Dengan membaca cerita tradisonal dari berbagai daerah akan
diperoleh pengetahuan dan wawasan tentang kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan. Jadi, dengan membaca cerita tradisonal itu tidak saja akan
diperoleh kenikmatan membaca cerita, tetapi juga pengetahuan dan
pemahaman budaya tradisonal masyarakat lain (Norton & Norton, 1994:355).
Menurut Norton dan Norton (1994:335), aktivitas pembacaan buku sastra
komparatif merupakan cara dan sumber penting pembelajaran wawasan
multikultural kerena ia akan memberanikan anak untuk mengidentifikasi dan
mengapresiasi kemiripan dan perbedaan lintas budaya.

e. Penanaman Kebiasaan Membaca


Peran bacaan sastra selain ikut membentuk kepribadian anak, juga
menumbuhkan dan mengembangkan rasa ingin dan mau membaca, yang
akhirnya membaca tidak terbatas hanya pada bacaan sastra. Sastra dapat
memotivasi anak untuk mau membaca.
Taupik Ismail (2003). Dalam tulisannya yang berjudul “Agar Anak
Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang” (2003:9), ia
mengatakan peradaban bangsa ditentukan oleh penanaman literasi buku di
sekolah yang dimulai lewat buku sastra. Jadi, sastra diyakini mampu
memotivasi anak untuk suka membaca, mampu mengembalikan anak kepada
buku. Tentu saja hal ini harus diusahakan dan difasilitasi dengan baik.
BAB II

PEMILIHAN BACAAN SASTRA ANAK

Anak belum dapat memilih bacaan sastra yang baik untuk dirinya sendiri. Oleh karena
itu peran orang tua sangat penting dalam memilih bacaan untuk anak, agar anak dapat
memperoleh bacaan yang sesuai dengan perkembangan kediriannya, orang tua harus peduli
dengan bacaan yang dikonsumsikan kepadanya. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, bacaan sastra yang tepat akan berperan menunjang pertumbuhan dan
perkembangan berbagai aspek kedirian anak. Untuk itu, pemilihan bacaan harus dilakukan
dengan hati-hati.

A. TAHAPAN PERKEMBANGAN ANAK DAN PEMILIHAN BACAAN


Perkembangan berbagai aspek kejiwaan anak sesuai dengan usia secara universal
melewati tahap-tahap tertentu. Menurut Brady (dalam Saxby & Winch, 1991:26) para peneliti
telah mengidentifikasikan umur serta tahapan dan karakteristik perkembangan kejiwaan anak
yang meliputi aspek berpikir, bahasa, personalitas, moral, dan pertanyaan terkait yang dapat
membantu dalam seleksi bacaan sastra. Di pihak lain, menurut Huck dkk. (1987:52). di
samping aspek-aspek yang dikemukakan Brady. perkembangan itu juga melibatkan aspek
fisik dan pertumbuhan konsep cerita.

Brady (dalam Saxby & Winch, 1991:26-7) mengemukakan bahwa terdapat hal-hal
tertentu yang menjadi dasar pemikiran dalam pengujian tahapan perkembangan anak, yaitu
sebagai berikut. Pertama, pertimbangan ketertarikan anak terhadap suatu bacaan harus dilihat
sebagai kriteria seleksi yang lebih penting daripada anggapan kecocokan yang dilakukan oleh
kacamata orang dewasa. Kedua, pemahaman terhadap perkembangan anak secara umum dan
terhadap tahapan perkembangan secara khusus akan memberikan informasi yang berharga
dalam pemilihan bacaan anak. Ketiga, pemahaman terhadap tahapan perkembangan anak
akan membantu dalam seleksi bacaan, tetapi itu bukanlah sesuatu yang kaku, bukan sebuah
harga mati. Konsep tahapan tersebut mempunyai derajat prediksi dalam suasana budaya yang
stabil, tetapi belum memperhitungkan adanya perubahan budaya. waktu, dan geografi, dan
karenanya diperlukan penelitian lebih lanjut yang memperhitungkan aspek-aspek itu. Dengan
kata lain. sebenarnya masih terdapat problema validitas jika teon tahapan tersebut dijadikan
dasar yang “sempurna” dalam seleksi bacaan sastra anak. Keempat, pemahaman kesesuaian
dalam pemilihan bacaan dengan tahapan perkembangan anak perlu diperluas dengan
mencakup kontribusi tiap tahapan itu.

Pada pembicaraan di bawah ditunjukkan tahapan perkembangan kedirian siswa yang


meliputi perkembangan intelektual, moral, emosional dan personal, bahasa, dan pertumbuhan
konsep cerita (Brady. 1991:28-37: Huck dkk, 1987:52-63). Tiap tahapan mempunyai
karakteristik yang berbeda, walau tidak dalam pengertian bertentangan, sejalan dengan
perkembangan tingkat kematangan anak. Hal itu akan membawa konsekuensi logis pada
adanya karakteristik yang juga berbeda dengan bacaan yang dinyatakan sesuai (marching)
dengan tiap tahapan yang dimaksud. Kesemuanya itu merupakan informasi yang berharga
dan penting untuk diketahui dalam rangka pemilihan buku bacaan sastra buat si buah hati
tersayang.

1. Perkembangan Intelektual
Berbicara masalah pertumbuhan dan perkembangan intelektual (kognitif) anak, pada
umumnya orang merujuk teori Jean Piaget yang mengemukakan bahwa perkembangan
intelektual merupakan hasil interaksi dengan lingkungan dan kematangan anak. Semua
anak melewati tahapan intelektual dalam proses yang sama walau tidak harus dalam umur
yang sama. Tiap tahapan yang lebih awal kemudian tergabung dalam tahapan berikutnya
sebagai struktur berpikir baru yang sedang berada pada tahap perkembangan. Jadi, tiap
tahapan kognitif yang kemudian merupakan kumulasi gabungan dani tahapan-tahapan
sebelumnya.

Piaget membedakan perkembangan intelektual anak ke dalam empat tahapan. Tiap


tahapan mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan tahapan yang lain, dan
hal itu berkaitan dengan respons anak terhadap bacaan. Sebagai konsekuensinya hal itu
pun mempunyai implikasi logis dalam pemilihan bahan bacaan anak. Tahapan
perkembangan intelektual yang dimaksud adalah sebagai berikut

Pertama: tahap sensori-motor (the sensory-motor period, 0-2 tahun). Tahap ini
merupakan tahapan pertama dalam perkembangan kognitif anak. Tahap ini disebut
sebagai tahap sensori-motor karena perkembangan terjadi berdasarkan informasi dari
indera (senses) dan bodi (motor). Karakteristik utama dalam tahap ini adalah bahwa anak
belajar lewat koordinasi persepsi indera dan aktivitas motor serta mengembangkan
pemahaman sebab-akibat atau hubungan-hubungan berdasarkan sesuatu yang dapat diraih
atau dapat berkontak langsung. Anak mulas dapat memahami hubungannya dengan orang
lain, mengembangkan pemahaman objek secara permanen.

Dalam usia 1/—2 tahun anak akan menyukai aktivitas atau permainan bunyi yang
mengandung perulangan-perulangan yang ritmis. Anak menyukai bunyi-bunyian yang
bersajak dan berirama. Permainan bunyi yang dimaksud dapat berupa nyanyian, kata-kata
yang dinyanyikan, atau kata-kata biasa dalam perkataan yang tidak dilagukan. Bunyi-
bunyian ritmis akan memicu tumbuhnya rasa keindahan pada diri anak. Hal dapat
dijumpai dan atau perlu dilakukan oleh ibu yang mengendong, menyanyikan. atau
meninabobokan si buah hati. Kesenangan anak terhadap hal-hal tersebut dapat juga
dipahami bahwa anak mempunyai bakat keindahan dan menyenangi hal-hal yang terasa
indah di inderanya. Permainan bunyi yang berwujud repetisi dan keritmisan merupakan
dasar penting bagi bangunan sebuah sajak.

Kedua: tahap praoperasional (the preoperational period, 2-7 tahun). Dalam tahap
ini anak mulai dapat “mengoperasikan” sesuatu yang sudah mencerminkan aktivitas
mental dan tidak lagi semata-mata bersifat fisik. Karakteristik dalam tahap ini antara lain
adalah bahwa (i) anak mula: belajar mengaktualisasikan dirinya lewat bahasa, bermain.
dan menggambar (corat-coret). (ii) Jalan pikiran anak masih bersifat egosentns.
menempatkan dirinya sbagai pusat dunia, yang didasarkan persepsi segera dan
pengalaman langsung karena masih kesulitan menempatkan dirinya di antara orang lain.
Anak tidak dapat memahami sesuatu dari sudut pandang Orang lain. (iii) Anak
mempergunakan simbol dengan cara elementer yang pada awalnya lewat gerakan gerakan
tertentu dan kemudian lewat bahasa dalam pembicaraan. Perkembangan kognitif pada
saat ini yang secara luar biasa adalah perkembangan bahasa dan konsep formasi. (iv) Pada
masa ini anak mengalami proses asimilasi di mana anak mengasimilasikan sesuatu yang
didengar, dilihat, dan dirasakan dengan cara menerima ide-ide tersebut ke dalam suatu
bentuk skema di dalam kognisinya.

Kemungkinan implikasi terhadap buku bacaan sastra yang sesuai dengan karaktenstik
pada tahap perkembangan intelektual di atas antara lan adalah (1) buku-buku yang
menampilkan gambar-gambar sederhana sebagai ilustrasi yang menarik, (ii) buku-buku
bergambar yang memberıkan kesempatan anak untuk memanipulasikannya, (1ii) buku-
buku yang memberikan kesempatan anak untuk mengenali objek-objek dan situasi
tertentu yang bermakna baginya, dan (iv) buku-buku cerita yang menampilkan tokoh dan
alur yang mencerminkan tingkah laku dan perasaan anak. Menurut Donaldson (via Huck
dkk. 1987:55) anak usia 3 atau 4 tahun sudah dapat mendemonstrasikan kemampuannya
jika objek dan situasi yang dihadapkan kepadanya konkret dan bermakna. Sifat egosentris
pada anak akan membawanya untuk dapat menanggapi cerita dengan mengidentifikasikan
dirinya terhadap tokoh utama cerita, dan karenanya anak akan mengalami proses asımilasi
dengan melihat diri dan dunianya dengan pandangan yang baru.

Ketiga: tahap operasional konkret (the concrete operational, 7--11 tahun). Pada
tahap ni anak mulai dapat memahami logika secara stabil. Karakteristık anak pada tahap
ini antara lan adalah (i) anak dapat membuat klasıfikasi secderhana, mengklasifikasikan
objek berdasarkan sifat-sifat umum, misalnya klasifikasi warna, klasifikasi karakter
tertentu. (ii) Anak dapat membuat urutan sesuatu secara semestinya, menurutkan abjad,
angka, besar-kecil, dan lain-lain. (iii) Anak mulai dapat mengemoung ano eoosentris
masa depan; adanya perkembangan dari pola berpikir yang egosentris menjadi lebih
mudah untuk mengidentifikasikan sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda. (iv) Anak
mulai dapat berpikir argumentaif dan memecahkan masalah sederhana, ada
kecenderungan memperoleh ide-ide sebagaimana yang dilakukan oleh dewasa, namun
belum dapat berpikir tentang sesuatu yang abstrak karena jalan berpikırmya masıh
terbatas pada situasi yang Konket. Kemungkinan implikasi terhadap buku bacaan sastra
yang sesuai dengan karakteristik pada tahap perkembangan intelektual di atas antara lain
adalah buku-buku bacaan yang memiliki karakterıstik sebagai berikut. (i) Buku-buku
bacaan narasi atau eksplanasi yang mengandung urutan logis dari yang sederhana ke yang
lebih kompleks. (i) Buku-buku bacaan yang menampılkan cerita yang sederhana, baik
yang menyangkut masalah yang dikısahkan, cara pengisahan, maupun Jumlah tokoh yang
dilibatkan. (iii) Buku-buku bacaan yang menampilkan berbagai objek gambar secara
bervariasi, bahkan mungkin yang dalam bentuk diagram dan model sederhana. (iv) Buku-
buku bacaan narasi yang menampil kan narator yang mengisahkan cerita, atau cerita yang
dapat membawa anak untuk memproyeksikan dirinya ke waktu atau tempat lain. Dalam
masa ini anak sudah dapat terlibat memikirkan dan memecahkan persoalan yang dihadapi
tokoh protagonis atau memprediksikan kelanjutan cerita.

Keempat: tahap operasi formal (the formal operational, 11 atau 12 tahun ke


atas). Pada tahap ini, tahap awal adolesen, anak sudah mampu berpikır abstrak.
Karakterıstik penting dalam tahap ini antara lain adalah (1) anak sudah mampu berpikir
"secara ilmah berpikir teoretis, beragumentasi dan menguji hipotesis yang mengutamakan
kemampuan berpikir. (1i) Anak sudah mampu memecahkan masalah secara logis dengan
melibatkan berbagai masalah yang terkait. Implikasi terhadap pemilihan buku bacaan
sastra anak adalah (i) buku-buku bacaan cerita yang menampilkan masalah yang
membawa anak untuk mencari dan menemukan hubungan sebab akibat serta implikasi
terhadap karakter tokoh; (ii) buku-buku bacaan cerita yang menampilkan alur cerita
ganda, alur cerita yang mengandung plot dan subplot, yang dapat membawa anak untuk
memahami hubungan antarsubplot tersebut, serta yang menampilkan persoalan (atau
konflık) dan karakter yang lebih kompleks. Selain itu, perlu dicatat bahwa belum tentu
semua anak yang masuk ke tingkat sekolah menengah pertama sudah mencapai tingkat
berpikir formal di atas. Sebagan anak mungkin belum mencapai tingkat itu, tetapi
sebagian yang lain Justru sudah mampu menunjukkan kemampuan berpikir analitis,
misalnya sebagaimana yang terlıhat ketika memberikan komentar terhadap buku cerita
yang dibacanya. Pemahaman terhadap tahapan intelektual dapat membantu memilih
buku-buku bacaan yang sesuai dengan posisi usia dan perkembangan kognitif anak, tetapi
bagaimanapun ia bukan merupakan sesuatu yang mutlak.

2. Perkembangan Moral

Selain mempelajari perkembangan kognitif anak, Piaget juga mendalami hal-hal yang
berkaitan dengan perkembangan moral. Menurut Piaget perbedaan nyata antara anak dan
dewasa adalah bahwa anak memiliki "dua moral". Piaget dan Kohlberg (ahli lain yang
mengembangkan teori Piaget lebih lanjut), mengemukakan bagaimana anak mungkin saja
mengubah interpretasinya terhadap dilema konflik dan moral dalam cerita. Penilaian anak
terhadap moral bergerak dari keterikatarnnya pada orang dewasa ke keterpengaruhannya
pada kelompok dan berpikir bebasnya.

Perubahan-perubahan penilaian moral anak yang dimaksud, antara lan, adalah sebagai
berikut

(i)Penilaian anak kecil terhadap masalah atau tindakan baik dan buruk berdasarkan
kemungkınan adanya hukuman dan hadiah yang diperoleh dari dewasa.

(ii) Penilaian tingkah laku dalam kacamata anak kecil hanya dapat dibedakan ke dalam baik
dan burnuk, tidak ada alternatif lain. Pada usia anak yang lebih kemudian terdapat kemauan
untuk mempertimbangkan lingkungan dan situast yang membuat legitimasi adanya perbedaan
pendapat.
(iii) Penilaian anak kecil terhadap suatu tindakan cenderung didasarkan pada konsekuensi
yang terjadi kemudian tanpa memperhatikan pelakunya.

(iv) Pandangan anak kecil terhadap tingkah laku buruk dengan hukuman berjalan bersama,
dan semakin besar kesalahan akan semakin berat hukumannya

Kohlberg (via Brady, 1991:30-1) mengidentifikasi perkembangan moral anak


ke dalam enam tahapan. Keenam tahapan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Tahap 1: penghormatan tanpa pemertanyaan terhadap kekuatan yang ada di luar
jangkauan; masalah baik dan buruk, boleh dan tidak boleh, ditentukan oleh
konsekuensi fisik yang diterima terhadap suatu tindakan yang dilakukan. Tahap 2:
hubungan dipandang dalam pemahaman marketplace daripada loyalitas, keadilan,
atau rasa terima kasih. Anak berprinsip bahwa jika Anda mencubit saya, saya pun
akan mencubit Anda". Tahap 3: berorientasi pada anak baik, pada tingkah laku anak
yang baik; anak mengkonfirmasikan gambaran stereotip dari tingkah laku orang pada
umumnya. Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang mendapat persetujuan,
demikian pula yang sebaliknya. Tahap 4: orientasi sampai ke pemilik otoritas, aturan
yang pasti, dan konvensi sosial. Tingkah laku yang baik kini juga dipahami sebagai
aktivitas melakukan tugas dan kewajiban, hormat kepada orang lain, dan tunduk pada
aturan sosial. 7ahap 5: kriteria tingkah laku yang benar kini dipahami atau didasarkan
dalam kaitannya dengan aturan umum yang standar dan yang disetujui oleh atau telah
menjadi konvensi masyarakat. Tahap 6: keputusan-keputusan individual kini
didasarkan pada kata hati, hati nurani, dan etika yang berlaku secara konsisten dan
universal.

Pembedaan perkembangan moral ke dalam enam kategori di atas harus


dipahami sebagai sesuatu yang tidak bersifat mutlak. Tiap tahap berisi berbagai
pengalaman moral-sosial yang lebih kompleks dari yang diperkirakan. Walau seorang
anak sedang berada dalam satu tahap perkembangan moral tertentu, dalam
kesempatan yang berbeda mungkin saja ia mengoperasikan tahap yang lain. Selain
itu, juga perlu dicatat, dan ini merupakan hal yang harus digarisbawahi bahwa tidak
mudah menghubungkan antartahapan tersebut dengan usia anak, dan Kohlberg pun
mengemukakan bahwa orang dewasa yang berada dalam tahap 5 dan 6 hanya dalam
jumlah persentase yang kecil.

Kemungknan implikasinya bagi seleksi bacaan sastra anak antara lain dapat
dikemukakan sebagai berikut. (i) Pahami dengan baik karakteristik perkembangan
moral anak tiap tahap kemudian piih bacaan yang sesuai. Misalnya, anak usia tiga
tahun baik untuk dipilihkan bacaan yang melukiskan persetujuan orang tua yang
berupa tingkah laku, tindakan, dan kata-kata yang baik. Bagi anak usia empat tahun,
baik untuk dipilihkan bacaan yang dapat melatih anak untuk bertanggung jawab dan
melakukan sesuatu yang sesuai dengan aturan sosial. (ii) Pilih buku bacaan yang
mengandung dan menawarkan unsur moral, alasan pemilihan moral tertentu oleh
tokoh anak, atau yang mengandung nasihat-nasihat tentang moral sebagai model
bertingkah laku.
Dengan tidak jelasnya tingkatan usia anak dalam tahapan di atas kita dituntut
untuk mempertimbangkan bacaan sastra mana yang terbaik untuk usia anak tertentu.
Sebagai bahan pertimbangan kita dapat menghubungkan tahapan perkembangan
intelektual (piaget) dengan tahapan perkembangan moral (Kohlberg). Kohlberg
mengemukakan bahwa seorang anak yang berada dalam tahap operasional konkret, ia
akan berada dan terbatas pada tahap I dan 2 dalam perkembangan moral; seorang
anak yang berada dalam tahap operasional formal sebagian, ia akan berada dan
terbatas pada tahap 3 dan 4; sementara seseorang yang berada dalam perkembangan
moral tahap 5 dan 6, ia mesti sudah berada dalam tahap operasi formal.

3. Perkembangan Emosional dan Personal

Maslow (via Huck dkk, 1987:60; Brady, 1991:31) lewat penelitiannya


menunjukkan bahwa perkembangan personalitas melewati sebuah hierarkhi
kebutuhan, yaitu dari kebutuhan dasar untuk survival ke kebutuhan kemanusiaan yang
lebih tinggi dan unik. Urutan kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan
psikologis (psychological needs), keselamatan (safety needs), cinta dan kasih sayang,
kepemilikan terhadap seseorang, (love and afection, belongingmess needs),
penghargaan (esteem needs), aktualisasi diri (self-actualization needs), kebutuhan
untuk tahu dan paham (needs to know and understand), dan estetis (aesthetic needs).
Kebutuhan hidup yang semakin tinggi, misalnya kebutuhan estetika, belum tentu
dapat dicapai oleh semua orang. Namun, begitu seseorang mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, yang bersangkutan justru akan merasa semakin
membutuhkan dan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan selanjutnya. Selain itu,
perlu dikemukakan bahwa kita tidak dapat menghubungkan usia dengan urutan
kebutuhan itu karena pencapaian suatu kebutuhan sering tidak lengkap dan bervariasi.

Berkaitan dengan perkembangan emosional dan personalitas, Erickson (via


Brady, 1991:32; Huck dkk, 1987:61) mengemukakan bahwa proses becoming terkait
dengan periode kritis dalam perkembangan kemanusiaan. la mengdentifikasikan
adanya delapan tahap dalam perkembangan emosional dan personalitas dan sekaligus
dengan perkiraan usia. Kedelapan tahapan yang dimaksud adalah: (i) Kepercayaan
versus ketidakpercayaan (trust Vs mistrust, tahun pertama), (ii) kemandinan versus
rasa malu dan ragu (autonomy vs shame & doubt, tahun ketiga), (ii) prakarsa versus
kesalahan (initiative vs guilt, usia prasekolah, 3-6 tahuan), (iv) kerajinan dan
kepandaian versus perasaan rendah diri (industry vs inferiority, 6-12 tahun), (v)
identitas versus kebingungan identity vs confusion, adolesen), (vi) keintiman versus
isolasi (intimacy vs isolation, awal dewasa), (vii) generativitas versus stagnasi
(generativity vs stagnation, dewasa), dan (viii) integritas versus keputusasaan
(integrity vs despair, dewasa, tua).

Implikasi untuk ıma tahap yang pertama adalah sebagaı berikut. Pertama, pada
tahap kepercayaan (trust) anak membutuhkan makanan dan perawatan. Anak mulai
mengenali dirinya yang terpisah dari orang lain atau objek, dan pemahaman terhadap
realitas ini membuat aspek trust menjadi penting. Tahap ini sejalan dengan tahap
sensori-motor dalam tahapan perkembangan intelektual menurut Piaget. Kedua, pada
tahap kemandirian (autonomy) anak belajar kemandirian dengan mencoba melakukan
sesuatu secara bebas, atau justru memperoleh pengalaman keragu-raguan jika ternyata
inderanya tidak dapat mengelola dunia sekeliling. Tahap ini masih sejalan dengan
tahap sensori-motor. Ketiga, pada tahap prakarsa versus kesalahan, anak belajar
berinisiatif mengeksplorasi dunianya, atau jika tidak dapat melakukannya,
mengembangkan rasa ketidakmampuan. Tahap ini sejalan dengan tahap
praoperasional. Keempat, pada tahap kepandaian versus perasaan rendah diri, anak
berusaha mengembangkan rasa gembıra dan bangga jika dapat melakukan sesuatu
atau menghasilkan sesuatu dari aktivitasnya, atau justru sikap sebaliknya jika tidak
mampu sehingga merasa rendah diri. Tahap ini sejalan dengan tahap operasional
konkret. Kelima, pada tahap identitas versus kebingungan, anak mencari dan
mengembangkan identitas personal, berusaha mencari dan menemukan identitas
dirinya, atau justru merasa ambivalen terhadap identitasnya. Tahap ini sejalan dengan
tahap operasional formal.

Kemungkinan implikasi tahapan di atas dalam hal seleksi buku-buku bacaan


sastra adalah bahwa pemilihan bacaan haruslah mempertimbangkan bahwa masalah-
masalah yang terkandung di dalamnya mampu memberikan kepuasan kepada anak
yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Sebagai contoh, anak usia prasekolah
akan lebih suka menanggapi bacaan yang menggambarkan kemampuan versus
ketidakmampuan seorang anak untuk melakukan sesuatu secara sukses dan
menggembirakan. Anak pada usia adolesen lebih menyukai bacaan yang berisi
kesuksesan seorang anak atau sekelompok anak dalam petualangan pencarian dan
penemuan sesuatu, atau cerita tentang penemuan identitas seseorang dalam kehidupan
sosial yang pluralistik. Anak pada tahap "kepandaian versus perasaan rendah diri
lebih menyukai cerita yang berkisah tentang kemampuan seseorang untuk mengatasi
kesulitan yang dihadap, tentang pertumbuhan kepribadian seseorang sebagai hasil
pengalaman menghadapi berbagai cobaan, dan lain-lain. Hal itu berlaku untuk tokoh-
tokoh protagonis yang diidentifikasikannya, dan tentu saja tokoh-tokoh itu terkesan
hebat karena interaksinya dengan tokoh- tokoh antagonis.

4. Perkembangan Bahasa

Anak yang berstatus bayi mulai belajar bahasa lewat bunyi dan ucapan-ucapan
yang didengarnya dari sekelilingnya. Pada mulanya anak tidak dapat membedakan
bunyi-suara manusia dengan bunyi-bunyian yang lain, tetapi lama-kelamaan mampu
membedakannya. Kenyataan bahwa seorang bayi berada dalam kondisi yang amat
rentan dan tidak berdaya, bahkan terhadap kelangsungan hidupnya sendiri, tidak dapat
berbuat apa pun tanpa bantuan orang lain, tetap dapat belajar berbahasa sungguh
merupakan sebuah keajaiban. Apalagi dalam waktu yang relatif singkat, yaitu hanya
beberapa tahun, anak sudah mampu berbahasa, mampu "menguasai' bahasanya
sendiri, suatu hal yang hampir mustahil terjadi pada diri orang dewasa. Oleh karena
itu, orang kemudian mempertanyakan apa sebenarnya yang terjadi dalam diri anak
yang dapat diibaratkan sebagai sebuah kotak hitam (black box) itu, yaitu sesuatu yang
menunjukkan adanya unsur ketidakterpahaman tentang apa yang terjadi. Maka dari
itu, disusunlah teori(-teori) akuisisi bahasa yang berusaha menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi dan bagaimana hal itu terjadi di dalam diri anak itu dalam proses
pemerolehan bahasa tersebut.

Noam Chomsky, seorang linguis "penemu teori tatabahasa generatif


transformasi, berkeyakinan bahwa dalam diri anak terdapat semacam “alat" yang
dipergunakan sebagai sarana memperoleh bahasa. Sejak dilahirkan anak sudah
memiliki pembawaan, bakat (innate capaciy), yang berupa Language Acquisition
Devices (LAD, alat pemerolehan bahasa) untuk memperoleh bahasa secara alami.
Adanya innate capacity aatau LAD tersebut menurut Chomsky dapat dipergunakan
untuk menerangkan apa yang terjadi di dalam diri anak yang secara ajaib dapat belajar
bahasa secara cepat.

Namun demikian, semua orang sependapat bahwa dalam proses akuisisi


bahasa anak juga melewati tahap-tahap tertentu untuk "belajar bahasa karena
kemampuan sensori-motor masih terbatas. Pola bahasa, kata-kata, pertama anak yang
dapat disuarakan berupa bentuk-bentuk perulangan silabık vokal dan konsonan untuk
akhirnya menjadi kata-kata tunggal. Misalnya, ucapan "ma-ma, ba-ba, pa-pa yang
pada umumnya berakhir dengan vokal dan kata-kata itu famihar yang sering
didengarnya baik dari orang maupun benda atau binatang. Setelah berumur 18 bulan
atau 2 tahun anak mulai mampu mempergunakan dua-tiga kata sebagai kalimat untuk
mengekspresikan maksud dan tindakan, seperti "mama maem, dada papa, dada
mama". Dalam usia tiga tahun anak dapat memahami bahasa secara luar biasa. Proses
internalisasi input struktur yang semakin kompleks dan kosakata yang semakin luas
itu terus berlangsung sampai anak masuk sekolah, dan pada saat ini anak sudah
'menguasai" bahasanya. Di sekolah anak tidak hanya belajar bagaimana mengatakan,
tetapi juga belajar apa yang tidak boleh dikatakan dalam kaitannya dengan fungsi
sosial bahasa (Brown, 2000:21). Maka, sekali lagi, bagaimana kita akan menjelaskan
"perjalanan fantastik (fantastic journey) anak dalam proses pemerolehan bahasa yang
begitu cepat itu. Hal itulah yang memicu lahirnya teori-teori akuisisi bahasa pada
anak.

Apa implikasi pemahaman terhadap proses pemerolehan bahasa anak tersebut


bagi pemilihan buku bacaan sastra'? Satu hal yang pasti adalah bahwa pemilihan
bacaan itu mesti didasarkan pada materi yang dapat dipahami anak, yang dituliskan
dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dibaca dan dipahami anak, dengan
mempertimbangkan keserdahanaan (atau kompleksitas) kosakata dan struktur, namun
sekaligus Juga berfungsi meningkatkan kekayaan bahasa dan kemampuan berbahasa
anak.

Dalam rangka pemahaman dan atau apresiasi suatu bacaan, ada beberapa hal
yang terlibatkan, yaitu aspek intelektual, emosional, kemampuan berbahasa anak, dan
struktur organisasi isi bacaan. Keempat hal tersebut harus mendapat perhatian dalam
rangka seleksi bacaan anak. Oleh karena itu, dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan
tertentu untuk menilai suatu bacaan yang akan dipilih. Misalnya: Apakah secara
intelektual anak dapat memahami materi bacaan cerita itu?; Apakah secara emosional
anak sudah siap untuk menerima isi bacaan itu?; Apakah secara kebahasaan anak
sudah mampu memahami isi bacaan itu?; Apakah struktur organisasi isi cerita itu
sudah dapat dijangkau oleh anak?; dan lain-lain.

Sebagai bahan pertimbangan di bawah ini dikemukakan beberapa karakteristik


anak pada kelompok usia tertentu sebagai salah satu kriteria pemilihan buku bacaan
sastra anak (Brady, 1991:35-7). Namun demikian, kehati-hatian dan sikap kritis kita
harus tetap diutamakan karena harus diakui adanya perbedaan tingkat kecepatan
kematangan anak akibat kondisi kehidupan sosial-budaya masyarakat.

Anak usia 3-5 tahun: (i) pemfungsian tahap praoperasional (Piaget); (ii)
pengalaman pada tahap prakarsa versus kesalahan (Erickson); (ii) penafsiran baik dan
buruk, boleh dan tidak boleh, berdasarkan konsekuensi fisik dan hadiah atau
hukuman; (iv) perkembangan bahasa berlangsung amat cepat, dan pada usia lima
tahun sudah mampu berbicara dalam kalimat kompleks; (v) perkembangan
kemampuan perseptual seperti membedakan warna dan mengenali atribut yang
berbeda pada objek yang mirip; (vi) cara berpikir dan bertingkah laku egosentris; (vii)
belajar lewat pengalaman tangan pertama; (viii) mulai menyatakan sesuatu secara
bebas dan (ix) belajar lewat permainan imaginatif; (x) membutuhkan pujian dan
persetujuan dan dewasa; (xi) kurang memperhatikan masalah waktu, dan (xii)
mengembangkan rasa tertarik dalam aktivitas kelompok.

Anak usia 6 dan 7 tahun: (i) beralih ke cara berpikir tahap operasional
konkret (Piaget), mulai berpikir beda, menentang, dan bersikap hati-hati; (ii)
pengalaman pada tahap kepandaian versus perasaan rendah diri (Erickson); (iii)
penerimaan konsep benar (baik) berdasarkan hadiah dan persetujuan; (iv) melanjutkan
perkembangan pemerolehan bahasa; (v) mulai memisahkan fantasi dari realitas; (vi)
belajar berangkat dari persepsi dan pengalaman langsung: (vii) mulai berpikir abstrak,
tetapi belajar lebih banyak terjadi berdasarkan pengalaman konkret; (Viii) lebih
membutuhkan pujian dan persetujuan dari orang dewasa; (ix) menunjukkan
sensitivitas rasa dan sikap terhadap anak lain dan orang dewasa; (x) berpartisipasi
dalam kelompok sebagai anggota; (xi) mulai tumbuh rasa keadilan dan ingin bebas
dari orang dewasa; (xi) menunjukkan perilaku egosentris dan sering menuntut.

Anak usia 8 dan 9 tahun: (i) pemfungsian tahap berpikir operasional konkret
(Piaget), berpikir kini lebih fleksibel dan hati-hati; (ii) pengalaman pada tahap
kepandaian versus perasaan rendah diri (Erickson); (iii) penerimaan konsep benar
berdasarkan aturan; (iv) adanya perhatian dan penghormatan dari kelompok kıni lebih
penting (v) mulai melihat dengan sudut pandang orang lain dan semakin
berkurangnya sifat egosentris; (vi) mengembangkan konsep dan hubungan spasial;
(vii) menghargai petualangan imaginatif; (viii) menunjukkan minat dan keterampilan
yang berbeda dengan kelompoknya; (ix) mempunyai ketertarikan pada hobi dan
koleksi yang bervariasi, (x) menunjukkan peningkatan kemampuan mengutarakan ide
ke dalam kata-kata; dan (xi) membentuk persahabatan yang khusus.

Anak usia 10-12 tahun: (i) pemfungsian tahap operasional konkret (Piaget),
dapat melihat hubungan yang lebih abstrak; (ii) pengalaman pada tahap kepandaian
versus perasaan rendah diri (Erickson); (iii) penerimaan masalah benar berdasarkan
ke-fair-an (iv) memiliki ketertarikan yang kuat dalam aktivitas sosial, (v)
meningkatnya minat pada kelompok, mencari kekariban dalam kelompok; (vi) mulai
mengadopsi model kepada orang lain daripada ke orang tua; (vii) menunjukkan
minatnya pada aktivitas khusus; (vii) mencari persetujuan dan ingin mengesankan;
(ix) menunjukkan kemampuan dan kemauan untuk melihat sudut pandang orang lain;
(x) pencarian nilai-nilai; (xi) menunjukkan adanya perbedaan di antara individu; (xii)
mempunyai citarasa keadilan dan peduli kepada orang lain; dan (xii) pemahaman dan
penerimaan terhadap adanya aturan berdasarkan perbedaan jenis kelamin.

Anak usia 13 dan adolesen: (i) pemfungsian tahap operasional formal


(Piaget), kemampuan untuk memprediksi, menginferensi, berhipotesis tanpa referensi;
(ii) pengalaman tahap identitas versus kebingungan (Erickson); (iii) mungkin beralih
ke tahap otonomi moral tahap 5 dan 6 menurut Kohlberg); (iv) menunjukkan
kebebasannya dari keluarga sebagai langkah menuju ke awal kedewasaan; (v)
mengidentifikasikan din dengan dewasa yang dikagumi; (vi) menunjukkan
ketertarikannya pada isu-isu filosofis, etis, dan religius; dan (vii) pencarian sesuatu
yang idealistis.

5. Pertumbuhan Konsep Cerita


Pemahaman terhadap pola pertumbuhan ini merupakan hal yang penting bagi kita
untuk membawa anak ke bacaan sastra. Sebagaimana dikemukakan berbagai aktivitas
yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan bahasa anak seperti nyanyian,
permainan perulangan bunyi, tembang-tembang ninabobo, dan lain- lain dapat
dikategorikan sebagai tahap awal pengenalan sastra kepada anak, pengenalan dan
pemicu bakat dan apresiasi keindahan kepada anak.

Pada tahap selanjutnya, tetapi masih dalam usia dini kepada anak mulai diberi
cerita, cerita tentang apa saja yang mungkin diberikan sesuai dengan dunia anak.
Secara teknis dalam hal ini, cerita atau sastra dapat dipahami sebagai bagian dari
sebuah sistem konstruk untuk melihat dunia, sebagai suatu sarana bagaimana dan dari
sudut mana kita melihat dunia. Jika sastra itu adalah sastra anak, ia dapat dipahami
sebagai sebuah sarana bagaimana dan dari sudut mana anak dibawa untuk melihat
dunia, atau bagaimana dunia itu disampaikan kepada anak. Sastra dapat dipahami
sebagai sebuah kerangka dari jalinan gagasan tentang apa yang terjadi dan bagaimana
kejadian itu diceritakan. Jadi, sastra dipakai sebagai salah satu cara untuk
memahamkan dunia sekeliling kepada anak, tidak saja menyangkut masalah apa yang
dipahamkan (isi, gagasan, "dunia" itu sendiri) melainkan juga bagaimana cara
memahamkannya (bentuk).
Perkembangan kebahasaan anak sejalan dengan perkembangan intelektual dan
aspek-aspek personalitas yang lain. Kenyataan ini dapat dipergunakan sebagai pijakan
pemahaman bahwa dalam usia setelah mulai dapat memahami dan memproduksi
bahasa, anak mulai dapat menerima dan mengembangkan pemahaman tentang dunia.
Salah satu sarana untuk maksud itu adalah cerita. Bersamaan dengan proses itu
tumbuh pula konsep cerita pada anak. Keadaan ini tidak mudah dibuktikan karena
anak tidak dapat diuji atau ditanyai untuk maksud tersebut. Namun, lewat studi
longitudinal dapat dilihat kapan dan bagaimana anak mulai tertarik pada cerita. Pada
usia tiga tahun, atau bahkan lebih awal lagi, anak sudah dapat diberi cerita, dan
bahkan sering minta untuk diceritai. Pada usia prasekolah, 3 sampai 4 tahun, anak
sering terlihat "membaca buku", atau minta untuk dibacakan buku cerita. Aktivitas
anak tersebut memang sekadar imitasi dari orang dewasa yang sering dilihat
melakukannya, tetapi bagaimanapun juga lewat cara itu pada diri anak mulai tertanam
kesadaran akan kebutuhan cerita, kebutuhan untuk melihat dunia, dan itu dapat
diperoleh lewat buku bacaan.

Perkembangan pemahaman struktur cerita. Untuk mengetahui pertumbuhan


konsep struktur cerita pada anak, Applebee (via Huck dkk. 1987:62-63) melakukan
penelitian terhadap anak usia 2 sampai 5 tahun. Penelitian itu dilakukan _untuk
mengetahui perkembangan pemahaman anak terhadap pola struktur cerita. Pola-pola
itu menunjukkan adanya peningkatan kemampuan anak untuk mengaitkan berbagai
peristiwa secara bersama. Struktur yang berhasil diidentifikasi oleh Applebee tersebut
dalam urutan yang semakin meningkat adalah sebagai berikut.

 Kumpulan (heap): kumpulan item yang tak terhubungkan.


 Urutan (sequence): penghubungan secara arbitrer terhadap peristiwa yang mirip.
 Cerita sederhana (primitive narrative): penghubungan peristiwa berdasarkan sebab,
etek, atau sifat komplementer lain.
 Penghubungan tak terfokus (unfocus chain): penghubungan lewat atribut umum yang
berupa pemindahan peristiwa-peristiwa.
 Penghubungan memfokus (focused chain): penghubungan berbagai peristiwa yang
berkaitan ke dalam hubungan yang bermakna.
 Narasi (narrative): penghubungan telah terfokus, menghubungkan tiap peristiwa, item,
ke dalam tema atau pola karakter tertentu.

Anak berusia dua tahun pada umumnya berada dalam tingkat heap, belum
mampu mengorganisasikan berbagai peristiwa atau objek ke dalam struktur yang
semestinya. Dalam perkembangan selanjutnya anak usia lima tahun sudah mampu
mengorganisasikan berbagai peristiwa dan objek ke dalam tema, hubungan yang
bermakna, untuk menghasilkan cerita yang sebenarnya.
Selain itu, Applebee juga menggali pemahaman anak tentang hubungan antara
cerita dan kenyataan yang sebenamya. Untuk itu, kepada anak-anak di sekolah
London ia mengajukan pertanyaan berdasarkan cerita Cinderella: "Di mana Cinderella
hidup". Ternyata baru ada jawaban dari anak berusia 9 tahun yang menjawab antara
lain: "Cinderella bertempat sangat jauh", atau "la hanya boneka'", dan bahkan "Itu
hanya ceita, tidak ada sungguh-sungguh". Jadi, dalam usia ini anak sudah mampu
membedakan antara cerita (yang tidak pernah ada dan tidak terjadi) dan hal yang
secara faktual ada dan terjadi, sedang pada usia-usia sebelumnya anak masih
menganggapnya sama.
Perbedaan pemahaman antara yang nyata (real) dan buatan (made-up) adalah
dimensi yang penting ketika siswa berpikir tentang cerita. Realisme merupakan salah
satu dari tiga "konstruk superordinat" yang diidentifikasi oleh Applebee terhadap
tanggapan anak usia 6-17 tahun. Pada usia awal anak lebih perhatian terhadap
perbedaan true dengan made-up, sedangkan anak yang lebih tua lebih berpikir
bagaimana mengaitkan realitas dalam cerita dengan realitas kehidupannya sendiri. Hal
itu merupakan salah satu bentuk penyederhanaan cerita. Masalah penyederhanaan
(simpliciy) dan evaluasi (evaluation) merupakan konstruk lain yang penting buat
anak. Dalam hal evaluasi misalnya, bagi anak usia 9 tahun adanya disturbing story
dipandang sebagai sesuatu yang negatif, tetapi bagi anak 17 tahun itu merupakan hal
yang positif; bagi anak yang lebih muda adanya penyelesaian cerita yang sesuai
dengan harapannya juga dipandang sebagai hal yang baik, tetapi bagi adolesen-tua hal
itu justru diremehkan.

B. PENILAIAN SASTRA ANAK


Penilaian buku bacaan sastra anak yang dikemukakan di bawah ini ditujukan
untuk bacaan fiksi. Fiksi tampaknya merupakan genre sastra anak yang paling banyak
dibaca anak yang di dalamnya dapat mencakup sastra modern dan tradisonal, dengan
tokoh manusia atau binatang. Walau pembicaraan di bawah dilakukan per unsur fiksi,
penilaian ketepatan terhadap sebuah bacaan cerita haruslah mencakup keseluruhan
aspek.

1. Alur Cerita
Alur berkaitan dengan masalah urutan penyajian cerita, tetapi bukan
hanya masalah saja yang menjadi persoalan alur. Menurut Lukens (2003:97)
alur merupakan urutan kejadian yang memperlihatkan tingkah laku tokoh
dalam aksinya. Pembicaraan alur akan melibatkan masalah peristiwa dan aksi
yang dilakukan dan ditimpakan kepada tokoh cerita.
Dalam sebuah alur cerita terkandung unsur apa yang di kisahkan (isi
cerita) dan bagaimana urutan pengisahan. Keduanya saling berhubungan dan
sama-sama menentukan derajat kemenarikan dan ketepatan bagi (calon)
pembaca anak.
Isi cerita. Dalam bacaan sastra anak sesuatu yang dikisahkan itu tentulah
berkaitan dengan dunia anak dan atau bagaimana anak memandang sesuatu
tersebut.
Permasalahan yang diangkat ke dalam cerita anak dapat berkaitan dengan
masalah konflik antara manusia dengan alam atau lingkungan, manusia
dengan masyarakat, manusia dengan diri sendiri, dan manusia dengan tuhan.
Dan permasalahan atau konflik yang menjadi isi cerita bersifat universal,
artinya hal yang sama dapat berlaku di berbagai belahan dunia.
Penilaian dalam rangka pemilihan bahan bacaan cerita anak haruslah
mempertimbangkan isi ceritanya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
permasalahan dan konflik yang dikisahkan haruslah berada dalam jangkauan
nalar, intelektual, dan emosional anak yang kesemuannya akan bergantung
pada usia dan tingkat perkembangan kejiwaannya.

Urutan penyajian. Urutan penyajian dimaksudkan sebagai sebagai urutan


peristiwa dan aksi dalam sebuah urutan yang linear dengan memperhitungkan
hubungan sebab akibat sehingga membentuk sebuah cerita yang utuh. Urutan
penyajian inilah yang biasa disebut sebagai alur, plot, atau jalan cerita.
Kejelasan alur dapat diartikan sebagai kejelasan cerita, kesederhanaan alur
berarti kemudahan cerita untuk dipahami, dan kompleksitas alur berarti tidak
mudahnya cerita dimengerti (Nurgiyantoro, 2005:110). Secara umum tentulah
dapat dikatakan bahwa alur cerita anak haruslah alur yang termasuk dalam
kriteria sederhana.
Kesederhanaan alur cerita anak paling tidak dapat dilihat dari tiga hal.
Pertama, masalah dan konflik yang dikisahkan sederhana berkisar pada
permasalahan anak atau yang masih dapat dijangkau oleh nalar anak. Kedua,
hubungan antar peristiwa itu haruslah jelas, misalnya jelas hubungan sebab
akibatnya. Ketiga, urutan peristiwa linear dan runtun.
Alur dalam cerita anak juga harus memenuhi kaidah pengembangan alur
(Nurgiyantoro, 2005:130). Ada beberapa kaidah yang perlu diperhatikan
dalam pertimbangan bacaan sastra anak. Pertama, cerita yang dikisahkan
memiliki derajat dapat dipercaya (plausibilitas), memiliki unsur
kemasukakalan, memiliki pertimbangan bahwa secara logika dapat diterima.
Kedua, cerita senantiasa menjaga rasa ingin tahu (suspense)-nya pembaca.
Ketiga, cerita akan lebih mengesankan lagi jika berbagai peristiwa dan aksi
seru itu sekaligus menjanjikan sebuah kejutan, atau bahkan kejutan-kejutan.
Keempat, cerita yang dikisahkan haruslah merupakan satu kesatuan yang
utuh.

2. Penokohan
Istilah penokohan dapat menunjuk pada tokoh dan perwatakan tokoh.
Tokoh adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi yang dilakukan dan peristiwa
serta aksi tokoh lain yang ditimpakan kepadanya. Dalam bacaan cerita anak
tokoh dapat berupa manusia, binatang, atau mahluk dan objek lain seperti
mahluk halus (peri, hantu) dan tumbuhan.

Kualifikasi tokoh. Tokoh cerita hadir dihadapan pembaca membawa


kualifikasi tertentu terutama yang menyangkut jatidiri. Menurut Lukens
(1999:80) tokoh itu sendiri dapat dipahami sebagai seseorang (atau: sesosok)
yang memiliki sejumlah kualifikasi mental dan fisik yang membedakannya
dengan orang (sosok) lain. Lewat kualifikasi mental dan fisik tokoh cerita
dapat tampil dengan bermacam perwatakan, dan selanjutnya dapat
diidentifikasikan apakah tokoh itu berfungsi protagonis atau antagonis.
Pada umumnya cerita anak menampilkan tokoh yang terbelah, yaitu tokoh
berkualifikasi baik dan tokoh jahat, tokoh putih dan hitam, dan jarang ada
tokoh berkualifikasi abu-abu.

Pengungkapan tokoh. Secara garis besar perwatakan tokoh dapat


diungkap lewat dua macam cara, yaitu cara langsung dan cara tidak langsung,
cara ekspositori dan cara dramatik. Pertama, cara langsung atau uraian
(telling) mengungkapkan karakter tokoh secara langsung dengan duraikan
oleh pengarang. Pengarang secara jelas menunjukkan atau mendeskripsikan
watak tokoh. Kedua, cara ragaan (showing) atau dramatik yang
mengungkapkan watak tokoh secara tidak langsung lewat alur cerita. Watak
tokoh tidak diuraikan dan dideskripsikan secara serta-merta begitu saja,
melainkan diungkapkan secara terselubung lewat cerita.
3. Tema dan Moral
Karena berfungsi mengikat keseluruhan aspek cerita secara padu dan
sinergis, oleh Lukens (2003: 129) tema juga dipahami sebagai gagasan (ide)
utama atau makna utama dari sebuah tulisan.
Moral dalam sebuah cerita dapat dipahami sebagai suatu saran yang
berkaitan dengan ajaran moral tertentu yang terkandung dalam cerita itu, atau
sengaja dimasukkan oleh pengarang untuk disampaikan kepada pembaca
lewat cerita yang bersangkutan.

Tema mengusung kebenaran, moral memberikan ajaran. Apa pun


wujud tema yang diangkat ke dalam cerita, ia adalah sebuah kebenaran yang
diperjuangkan, diperjuangkan lewat logika cerita. Dengan kata lain sastra
hadir untuk mengusung, menunjukkan, dan mengekspresikan kebenaran.
Dalam hal ini sebuah cerita dapat dipandang sebagai sebuah dunia, dunia
yang mengandung model kehidupan yang ditawarkan, atau diajarkan,
mengandung prinsip-prinsip kebenaran yang diyakini oleh pengarang,
kebenaran yang menyuarakan hati nurani. Hal itulah yang menjadi pegangan
moral bagi penulisan sastra anak, yaitu untuk memberikan ajaran (moral)
tentang kebenaran.

Pengungkapan tema dan moral. Tema dan moral diungkapkan secara


implisit lewat cerita, lewat tokoh dan alur yang seru serta berbagai aspek yang
lain. Kandungan tema dan moral tersebut biarlah diperoleh sendiri oleh
pembaca. Misalnya dengan ekspresi ucapan setelah selesai membaca sebuah
cerita: “Wah, ini cerita yang bagus, orang jahat akhirnya mendapat balasan,
kapok lu”, atau “Betul juga, kita harus berkaca terhadap diri sendiri, tidak
serta-merta menyalahkan orang lain”.
4. Latar
Sebuah cerita memerlukan latar, latar tempat kejadian, latar waktu, dan
latar sosial budaya masyarakat tempat kisah terjadi. Latar menjadi landas
tumpu cerita, dan karenanya juga penting dalam rangka pengembangan cerita.
Latar memberikan dasar berpijak secara konkret dan jelas. Latar tempat
disebut juga sebagai latar fisik, sedang latar sosial budaya sebagai latar
spiritual.

Latar netral dan latar fungsional. Sebuah latar, tempat dan waktu, yang
hanya sekedar disebut-sebut, karena cerita memang butuh latar, tanpa terkait
langsung dengan unsur alur dan tokoh, dikenal sebgai latar netral. Sedangkan
latar fungsional adalah latar yang mempunyai kaitan erat dengan unsur tokoh
dan alur cerita, ikut mempengaruhi dan menentukan perkembangan alur.

5. Stile
Stile berkaitan dengan bahasa yang dipergunakan dalam sastra. Stile
(style) itu sendiri dapat dipahami sebagai wujud penggunaan bahasa dalam
tuturan, atau bagaimana cara seseorang mengungkapkan sesuatu yang akan
diekspresikan. Jadi, stile mencakup keseluruhan aspek formal kebahasaan,
bahkan juga lafal untuk bahasa lisan dan ejaan untuk bahasa tulis.

Bahasa sederhana. Bahasa yang dipergunakan dalam bacaan cerita anak


haruslah sederhana, baik secara leksikal, struktur, wacana, maupun makna
yang ditunjuk. Kosakata yang dipakai adalah yang mudah dipahami oleh anak
seusianya, struktur tidak ruwet, masih berwujud kalimat-kalimat sederhana
dan relatif pendek, koherensi dan kohesi jelas, ungkapan sudah lazim
dipergunakan, dan kesemuannya itu dipakai untuk membahasakan pikiran
yang juga sederhana.

Cerita saduran. Cerita dewasa yang kompleks, tetapi baik untuk anak
dapat disadur dan disederhanakan untuk dijadikan bacaan cerita anak.
Penyederhanaan itu meliputi unsur bahasa, alur cerita, dan karakter tokoh.
Penyaduran itu dapat dipahami sebagai penulisan ulang, tetapi isi cerita
kurang lebih sama.
6. Ilustrasi
Ilustrasi adalah gambar-gambar yang menyertai cerita dalam buku sastra
anak. Kehadiran ilustrasi tersebut dalam banyak hal akan menentukan daya
tarik buku-buku bacaan yang bersangkutan bagi anak-anak. Ilustrasi dalam
sastra anak dapat berupa gambar, lukisan, foto, reproduksi gambar, dan lain-
lain yang kehadirannya sengaja dimaksudkan untuk memperkuat dan
mengkonkretkan apa yang dikisahkan secara verbal.
Ilustrasi buku-buku sastra harus menarik perhatian anak. Lazimnya,
gambar-gambar itu jelas, berwarna-warni, komunikatif, dan ditampilkan
secara variatif pada (hampir) tiap halaman buku.

7. Format
Format bacaan memegang peran penting untuk memotivasi anak untuk
membaca sebuah buku bacaan cerita walau format itu sendiri bukan bagian
dari cerita. Yang termasuk bagian format buku adalah bentuk, ukuran, desain
sampul, desain halaman, ilustrasi, ukuran huruf, jumlah halaman, kualitas
kertas, dan model penjilidan.
Ketepatan sebuah format tidak hanya ditentukan oleh salah satu atau
beberapa aspek saja, melainkan perpaduan dari keseluruhan aspek format dan
bahkan juga dengan isi bacaan cerita.

C. Di mana Sastra Anak Diperoleh


Pertanyaan "Di mana bacaan sastra anak dapat diperoleh?" bisa jadi masih
menghantui sebagian guru dan orang tua. Hal itu mungkin disebabkan tidak tahu atau
bingung unuk mendapatkannya. Bagi guru Sekolah Dasar hal itu mungkin juga cukup
membebani karena selama ini pembelajaran sastra belum secara intensif dilakukannya.
Pembelajaran sastra bisa jadi dianggapnya sebagai beban tambahan. Ingat sejarah masa
lalu: pelajaran kesusastraan baru diberikan kepada anak SMP kelas 3, atau pelajaran
bahasa Indonesia baru diberikan setelah anak SR kelas 3. Artinya, pada saat itu sastra
semata-mata dipandang sebagai bahan pelajaran, dan bukan sarana untuk memperoleh
kenikmatan, dan yang tak kalah penting, itu menyebabkan tidak tumbuh dan tidak
meningkatnya minat bacanya siswa. Itulah sebabnya, bukannya tidak mungkin, yang
menjadi salah satu penyebab mengapa siswa, mahasiswa, guru, dan bahkan dosen, serta
masyarakat pada umumnya dewasa ini kurang memiliki kemauan baca.
Dewasa ini memperoleh bacaan sastra anak amat mudah. Di toko-toko buku tersedia
amat beragam dan banyak buku bacaan anak yang disediakan pada rak-rak khusus. Buku-
buku bacaan yang dimaksud terdiri dan berbagai genre, baik yang merupakan karya asli
berbahasa Indonesia maupun karya-karya terjemahan, atau karya yang terdiri dari dua
bahasa: Indonesia dan Inggris. Buku-buku tersebut banyak yang sudah menunjuk dirinya
untuk dipakai pada anak usia tertentu atau kelas tertentu sehingga kita tinggal memilih
sesuai dengan keadaan anak yang akan diberi bacaan itu. Untuk bacaan anak usia awal
sekolah pun banyak buku-buku bergambar yang ditulis dalam dua bahasa, Inggris dan
Indonesia. Misalnya, buku Knowing ABC, Mengenal Huryf sambil Mewarnai (Usia 5-6
Tahun) karya Mondy Risutra yang berisi gambar-gambar binatang dan aktivitas tertentu
dalam dua bahasa, atau buku ABC Binatang, Mewarnai sambil Belajar Abjad karya K.A.
Tandiono. Demikian juga untuk bacaan anak yang sudah lebih tinggi umur atau kelasnya.
Dengan demikian, lewat buku dan bantuan kita, anak sekaligus dapat belajar bahasa
Inggris secara langsung dalam konteks bacaan cerita yang menarik.
`Buku-buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia, selain yang merupakan karya-karya
kreatif, dalam arti karya asli para pengarang yang bersangkutan, juga banyak beredar
buku-buku kumpulan dongeng dari berbagai pelosok tanah air di Indonesia. Misalnya,
buku- buku kumpulan dongeng yang berjudul Cerita Rakyat dari Yogyakarta dan Cerita
Rakyat dari Surakarta (keduanya susunan Bakdi Sumanto), Cerita Rakyat Betawi
(Rahmat Ali), dan Cerita Rakyat dari Jawa Timur (Dwianto Setyawan). Demikian juga
buku-buku kumpulan dongeng dari berbagai belahan dunia yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia yang barnyak diterbitkan oleh Gramedia, baik yang berupa cerita
binatang maupun manusia atau keduanya. Misalnya, buku Kumpulan Dongeng Sedunia
(alih bahasa Widya Kirana), Kumpulan Dongeng Binatang (Anne-Marie Dalmais), dan
lain-lain
Dalam kelompok buku-buku terjemahan ini teiitu saja termasuk buku serial novel
Harry Pooter (karya J.K. Rowling), buku serial Lord of the Rings (karya J.R.R. Tolkien),
atau cerita-cerita horor dalam buku serial Goosebumps (kaiya R.L. Stine) yang mengalir
terus seperti tidak ada habisnya. Demikian juga halnya dengan buku-buku komik impor
yang tidak kalah meriah dan membanjimya di berbagai toko, yang bahkan juga tersedia di
toko-toko yang bukan toko buku, misalnya di supermarket. Semua buku centa tersebut
menjanjikan cerita yang menarik, menjanjikan petualangan imajinatif anak yang
mencekam dan memuaskan.
Artinya, dewasa ini anak-anak kita benar-benar "dimanjakan" dengan ketersediaan
demikian banyak pilihan bacaan yang beragam. Buku-buku tersebut, terutama yang
berbentuk majalah, atau yang berupa kołom di surat kabar, pada umumnya tidak hanya
memuat cerita-cerita, melainkan juga berisi berbagai hal penting yang perlu diketahui
anak untuk memperkaya wawasan yang sengaja ditulis dengan kacamata anak yang
berwujud tulisan-tulisan nonfiksi. Sebagaimana berita di koran yang sering mengutip
kata-kata narasumber berita, kolom anak juga sering mengutip kata-kata narasumber yang
memang anak, misalnya pendapat tentang sesuatu. Jadi, persoalannya adalah terdapat di
dalam sikap kita para orang tua, guru, lembaga yang bertanggung jawab (baca:
pemerintah, via Diknas), atau masyarakat secara umum: mau atau tidak menyediakan
bacaan-bacaan itu untuk generasi masa depan bangsa?
Karya sastra anak yang bergenre puisi atau fiksi, baik hasil karya anak usia SD
maupun SMP, yang dimuat di koran dan majalah baik untuk diperkenalkan kepada anak-
anak di sekolah. Hal itu dapat berperan ganda: di satu sisi anak-anak dapat membaca dan
mengapresiasi sastra karya teman sebayanya itu, sedang di sisi lain akan dapat
merangsang motivasi anak untuk merasa mampu menulis karya-karya yang serupa. Jadi,
karya-karya itu dapat dimantaatkan sebagai pembangkit motivasi anak untuk berbuat
serupa. Hal itu penting karena ia dapat membangkitkan kesadaran anak untuk menulis
sebagai sarana mengekspresikan ide dan gagasan, dan dengan cara itu bukannya mustahil
kelak mereka akan muncul menjadi penulis anda bukan hanya dalam lingkup penulisan
kreatif saja. Untuk lebih membangkitkan rasa bangga di hati anak-anak yang karyanya
dimuat di media massa, kita perlu memberikan apresiasi terhadapnya.
Akhirnya juga harus dikemukakan bahwa sebenarnya tidak banyak anak Indonesia
yang mempunyai kesempatan "dimanjakan" dengan berbagai buku bacaan sastra tersebut.
Anak-anak yang tinggal di pelosok pedesaan, atau anak-anak kota dengan orang tua
kurang mampu, yang jumlahnya jauh lebih banyak, akan kurang dapat menikmati
limpahan buku-buku berharga itu. Oleh karena itu, pihak sekolah, lembaga yang terkait,
atau siapa pun yang peduli dengan anak dan masa depan mereka, yang notabene adalah
aset bangsa di masa depan, haruslah bersedia berkorban mengusahaan bacaan- bacaan itu.
Hal itu pasti merupakan sebuah amal jariah yang besar pahalanya.
Buku asli dan terjemahan. Buku asli dimaksudkan sebagai buku sastra anak yang
sejak awalnya ditulis dalam bahasa Indonesia atau berbagai cerita rakyat dari berbagai
daerah di Indonesia yang kemudian ditulis ulang dalam bahasa Indonesia. Singkatnya,
buku asli dimaksudkan sebagai buku yang bukan terjemahan dari bahasa asing seperti
bahasa Inggris, Perancis, Jepang, Cina, dan lain-lain. Pada umumnya buku asli tersebut
ditulis oleh penulis Indonesia. Di pihak lain, buku terjemahan dimaksudkan sebagai buku
sastra anak yang mula-mula ditulis dalam bahasa asing dan kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Adanya sastra terjemahan dalam suatu bangsa merupakan hal
yang bersifat universal, dan justru karena itu dapat terjadi kontak budaya dan saling
memahami antarbudaya di antara berbagai bangsa di dunia secara lebih intensif.
Buku bacaan mana yang akan kita pilih, yang asli ataukah yang terjemahan?
Jawabnya adalah kedua-duanya, yang utama adalah pertimbangan kesesuaian dengan usia
anak yang akan membacanya. Keduanya sama-sama baik untuk "memberikan sayap"
kepada anak agar dapat "terbang mengembara bersama imajinasinya. Buku-buku
terjemahan itu ditulis oleh para penulis kenamaan yang sengaja menulis untuk anak-anak
sehingga pertimbangan kesesuaian dengan perkembangan anak sudah dilakukan dengan
hati-hati. Selain itu, para penerjemah dan penerbit juga telah menyeleksi buku-buku yang
baik untuk anak Indonesia dan tidak menerjemah dan menerbitkan buku- buku itu tanpa
pertimbangan pendidikan moral. Namun demikian, sikap kehati-hatian telap saja perlu
dilakukan, misalnya siapa tahu ternyata ada buku terjemahan yang secara budaya dan
moral tidak sesuai dengan budaya kita, atau paling tidak belum sesuai dengan usia anak
yang akan membacanya.
BAB III

SASTRA ANAK DI USIA AWAL

Sastra anak terdiri dari berbagai genre dan dapat berwujud lisan maupun tulisan.
Contoh dari sastra anak yaitu: lagu-lagu ninabobo, puisi lagu, tembang-tembang dolanan,
huruf-huruf, buku-buku bergambar, cerita petualangan dan berbagai cerita tradisonal. Sastra
hadir di tengah masyarakat difungsikan sebagai sarana untuk memberikan dan atau
memperoleh hiburan. Dari fungsi tersebut, maka sastra sudah dapat diperkenalkan kepada
anak sejak mereka dilahirkan, sejak mereka belum tahu apa-apa dan sedang belajar mengenal
dunia di sekelilingnya

Sastra tidak hanya berwujud sastra tulis dengan buku-buku yang berhalaman tebal dan
dikonotasikan sulit dipahami. Melainkan sastra adalah sesuatu yang menarik, yang memberi
hiburan, yang mampu untuk menanamkan dan memupuk rasa keindahan, maka dengan itu
sastra harus sudah diperkenalkan kepada anak sejak usia dini.

Berikut berbagai sastra anak yang dapat diperkenalkan atau diberikan kepada anak pada
usia dini, baik sastra lisan maupun sastra tulis. Perkenalan sastra ini memerlukan peran aktif
orang tua untuk memahami dan melakukannya demi kebaikan anak.

A. PUISI LAGU DOLANAN


Puisi, syair lagu, dan tembang-tembang berisi permainan bahasa yang enak
didengar dan menyentuh rasa keindahan kita. Menurut Mitchell (2003:73) pemainan
bahasa, misalnya yang diperoleh lewat sarana-sarana aliters, asonansi, rima, dan irama
akan membuat anak menjadi senang, merasa nikmat, menghilangkan kecemasan,dan
menumbuhkan kesadaran diri untuk belajar. Inilah saat-saat baik untuk belajar karena
hambatan akan tereliminasi dan informasi dapat dinikmati dan diresap. Lewat
permainan bahasa itu anak memperoleh sensivitas yang tinggi terhadap bunyi-bunyi
bahasa dan pada giliran selanjutnya mereka menyadari fungsi dan kekuatan kita.
Hal ini juga dapat dimaknai bahwa anak dibesarkan dan belajar tidak dalam
kevakuman budaya (Edwards, 2004:89). Budaya yang dimaksud adalah berbagai adat
kebiasaan, perilaku verbal dan nonverbal, dan lain-lain sebagaimana yang
didemonstrasikan secara konkret oleh dan lingkungan keluarganya. Hal itu semua
akan mempengaruhi perjalanan dan perkembangan kejiwaan anak selanjutnya sebagai
serorang manusia, misalnya apakah peka pada nilai-nilai keindahan. Pembelajaran di
lingkungan keluarga sejak anak usia dini merupakan suatu bentuk enkulturasi yang
amat kuat terutama pada diri anak yang dalam kaitan ini yang dimaksud terutama
adalah penanaman budaya apresiasi terhadap nilai-nilai keindahan.
1. Puisi Lagu, Nyayian Anak
Syair lagu atau tembang dtidak lain adalah puisi. Jadi, lagu dan tembang dapat
pula disebut sebagai puisi yang dilagukan, puisi lagi. Sebagai sebuah karya seni,
puisi, termasuk puisi anak, mengandung berbagai unsur keindahan, khususnya
keindahan yang dicapai lewat bentuk-bentuk kebahasaan. Lewat permainan
perulang bunyi pada kata-kata terpilih akan dapat dibangkitkan aspek persajakan
dan irama puisi yang menyebabkan puisi menjadi indah dan moledius

2. Puisi Tembang Dolanan


Dilihat dari segi syair yang mendukung, lagu dolanan termasuk dalam puisi,
yang dalam bahsa jawa disebut sebagai geguritan, yaitu geguritan tradisional.
Sebagai suatu bentuk karya seni sastra, geguritan tradisional juga menawarkan
keindahan tersendiri, terutama yang berwujud permainan atau pengolahan bahasa.
Lewat permainanbahasa itu dapat diperoleh suatu pengucapan yang indah, luwes,
menarik dan mampu menggugah rasa keindahan dalam hati, menghayutkan
(negsemake) bagi pendengarnya

3. Nursery Ryhmes
Mitchell (2003:150) mengemukakan bahwa nursery rhymes merupakan puisi-
puisi kesayangan yang telah mentradisi dan karenanya merupakan bagian dari
puisi lama yang bertradisi oral.
Namun demikian, menurut Hazard ( via Scott, 1991:70) nursery rhymes tidak
harus berupa syair-syair lagu yang dinyanyikan, melainkan dapat dan sering hanya
berupa bunyi musik, nyayian vokal, senandung, pengulangan bunyi-bunyi, irama-
irama sedehana yang mendapat penakanan, atau bunyi-bunyi bersajak dan
berirama secara jelas, dan ketukan- ketukan yang berirama yyang dikenal sebagai
finger rhymes.

B. TRADISI CERITA LISAN


Cerita-cerita tersebut dikisahkan kepada anak setelah mereka mulai dapat memahami
pembicaraan orang dewasa sekitar usia dua setengah atau tiga tahun. Lewat berbagai
cerita yang dikisahkan itu anak tidak saja menikmati cerita yang mampu membawa
emosinya berbunga-bunga, melainkan juga secara tidak langsungbelajar tentang
kehidupan. Budaya bercerita kepada anak kecil adalah sebuah kebudayaan yang
bersifat universal dan sudah mentradisi secara turun-temurun yang dilakukan secara
lisan.
Dalam hal ini Huck dkk. (1987: 96) mengatakan bahwa sastra tidak saja
merefleksikan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, tetapi juga mengatarkan nilai-nilai
tersebut kepada masyarakat kini. Hal itu disebabkan sastra pada sebuah generasi pada
umumnya dibangun berdasarkan sastra pasa generasi sebelumnya.
Dewasa ini jika orang tua menceritakan anak secara lisan lebih disebabkan
anak belum belum dapat membaca, bukan karena tidak ada sarana lain. Tetapi,
bagaimanapun tradisi bercerita lisan tetap memiliki kesamaan. Cerita yang dikisahkan
pun tidak harus cerita masa lampau walau cerita lampau tampaknya masih yang
paling banyak dipilih para ibu untuk dikisahkan kepada buah hatinya. Cerita lampau
yang banyak dikisahkan oada umumnya adalah cerita binatang, legenda, mitos, atau
berbagai cerita kepahlawanan yang lain.
Lewat berbagai cerita yang dikisahkan dan lewat puisi-puisi lagu yang
dinyanyikan kepada anak orang tua, khusunya ibu, secara langsung dan tidak
langsung memperkenalkan dan menanamkan rasa keindahan, rasa kesastraan, tanpa si
ibu itu tau sendiri harus menyadarinya. Tujuan utama dan pertama orang tua
meninabobokan anak lewat tembang-tembang dolanan dan mengisahkan cerita-cerita
menarik adalah membuat anak senang karena melihat si anak senang sudah
merupakan hiburan tersendiri dan amat bermakana bagi orang tua.
Jika keindahan puisi lagu dan tembang-tembang dolanan dicapai lewat
permainan bahasa dan lirik lagu, keindahan cerita (lisan tradisional) dicapai lewat
kehebatan ceria. Jadi, yang indah adalah cerita dan karakter tokohnya apalagi jika
didukung oleh bahasa penceritanya. Sebenarnya, dalam diri anak sudah terdapat
bawaan rasa keindahan, maka yang dilakukan orang dewasa tidak lebih adalah
memberi kesempatan kepada anak untuk secara leluasa mengembangkanya
lewatbernagai fasislitas yang diberikan yang memang menjadi haknya. Setiap orang
tua pasti mau memberikan itu karena rasa sayangnya.

C. Bacaan Awal Dan Literasi


Awal mula anak berkenalan dengan sastra adalah lewat sarana suara yang kemudian
direspon anak lewat pendengaran. Lewat cerita-cerita singkat yang dikisahkan si ibu,
misalnya saat-saat menjelang tidur, anak tidak saja mulai diperkenalkan dengan dunia
di sekeliling yang lebih luas, tetapi juga bahasa input bahasa yang semakin banyak.
Pada usia awal itu anak belum dapat mengenali huruf dan belum dapat membaca,
tetapi anak sudah dapat memahami bahwa ada buku yang berisi sesuatu yang
bermanfaat bagi dirinya.
1. Sastra dan Pengembangan Literasi Awal
Istilah literasi itu sendiri sebagaimana ditunjukan oleh borton (1994)
mempunyai makna yang beragam, dan salah satu makna yang kemudian da[at
diberikan kepadanya adalah “being able to read and write”, kemampuan
mwmbaca dan menulis ( Borton, 1994).
Stewig ( 1980:79) membedakan literasi ke dalam dua kategori, yaitu literasi
visual dan verbal. Literasi visual berwujud gambar-gambar, sedangkan literasi
verbal berupa huruf-huruf tulisan. Dalam kaitan ini literasi dapat diartikan sebagai
kemampuan mengenali huruf-huruf, merangkai huruf menjadi kata, merangkai
kata menjadi kalimat, dan merangkaiu kalimat menjadi wacana atau unit yang
lebih besar.

2. Buku Alfabeth
Buku alfabeth adalah buku yang dipergunakan untuk memperkenalkan,
mengajarkan dan mengidentifikasi huruf-huruf secara sendiri-sendiri khusunya
setelah anak mulai belajar membaca dan menulis(Huck dkk,1987:163)
Adapun Jenis Buku Alfabet yaitu sebagai berikut:
Stewig (1980;82-6) membedakan buku alphabet dalam 3 kategori:
a. Buku yang berjenis atau berisi gambar-topik (rwlated-topic books)
b. Gambar pusparagam (potpourri books)
c. Gambar-cerita (sequential-story books)

Huck dkk (1987;163-8) membedakan jesi buku tersebut ke dalam empat kategori,
yaitu:

a. Gambar-identifikasi (word-picture formats, word-picture identification).


b. Buku cerita singkat (simple narratives).
c. Teka-teki (riddles or puzzles).
d. Buku-buku topic (topical themes).

3. Buku berhitung
Buku berhitung adalah buku lain yang juga biasa digunakan untuk literasi
awal pada anak usia prasekolah atau sekolah di kelas awal, yaitu mulai usia tiga
tahun.
Ada banyak cara untuk mengajarkan angka dan konsep angka kepada anak di usia
awal, dan yang paling ideal adalah lewat benda-benda kongkret Huck dkk
(1987:1168).
Jenis-jenis Buku Berhitung yaitu sebagai berikut:
Huck dkk. (1987:168-71) membedakan buku berhitung kedalam tiga kategori:
a. Buku-buku yang berisi korespodensi satu antara gambar dan angka (one-to-
one correspondence).
b. Konsep matematis sederhana yang lain (other simple mathematic concepts).
c. Cerita dan teka-teki (number stories and puzzles).
Mitchell (2003:75-7) membedakan jenis buku berhitung berdasarkan tujuan
buku itu sendiri, yaitu buku yang dimaksudkan untuk membelajarkan angka
(teaching number), menyajikan informasi dengan mempergunakan skema
hitungan (presenting information using the counting scheme), dan menampilkan
cerita dengan mempergunakan hitungan struktur tema (telling a story using the
counting theme structure).

4. Buku Konsep
Buku konsep adalah buku yang dipergunakan untuk mendeskripsikan berbagai
dimensi dan jenis objek atau berbagai konsep yang abstrak kepada anak. Buku
konsep memiliki tujuan utama yaitu untuk memperkenalkan anak tentang dunia
Buku konsep paling tidak dapat dibedakan kedalam dua kategori, yaitu buku
konsep yang dipakai untuk mengenalkan benda dan objek tunggal dan konkret,
dan yang dipakai untuk konsep lebih kompleks dan abstrak. Mitchell (2003:77-9)
membedakan buku konsep dalam dua kategori:
a. Buku konsep dimensi tunggal (single-dimensional concept books).
b. Buku konsep multidimensional (multidimensional concept books).

Karakteristik ketiga buku yang dimaksud yang dapat dipergunakan untuk


memberikan penilaian terhadapnya adalah sebagai berikut:

a. Tujuan pengarang dan illustrator menulis buku harus jelas.


b. Gambar objek dan binatang yang ditampilkan harus jelas.
c. Gambar objek dan binatang yang ditampilkan haruslah yang lebih familiar
sehingga mudah diidentifikasi oleh anak.
d. Gambar-gambar yang ditampilkan dipergunakan untuk ilustrasi hurus, angka,
atau konsep.
e. Jika mempergunakan huruf alphabet dan angka harus akurat.
f. Format harus dapat diprediksikan dan konsisten.

5. Buku Gambar Tanpa Kata


Buku gambar tanpa kata adalah buku-buku gambar cerita yang alur ceritanya
disajikan lewat gambar-gambar(Huck dkk,1987:176) atau gambar-gambar itu
sendiri menghadirkan cerita (mitchell, 1991:75)
Buku gambar tanpa kata dibuat untuk membantu mendorong pembaca
mengamati dunia di sekitar, sesuatu yang ada di sekitar tetapi kadang-kadang
lepas dari perhatian.
Tujuan utama buku jenis ini dimaksudkan untuk menstimulasi perkembangan
bahasa melalui keberaniannya secara aktif menceritakan isi buku bergambar cerita
itu.Mitchell (2003:79-82) mengemukakan bahwa buku gambar tanpa (atau hampir
tanpa) kata mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
a. Memberanikan anak mengamati dunia secara lebih dekat.
b. Memberanikan anak mengkreasikan kata.
c. Membawa anak kedalam dunia (elemen) fantastic.
Mitchell (2003:82-3) mengemukakan bahwa karakteristik umum buku
gambar tanpa kata antara lain sebagai berikut:
a. Buku-buku jenis itu selalu kaya dengan gambar dan penuh detail.
b. Buku-buku itu mempergunakan gambar aksi untuk mengembangkan
karakter.
c. Buku-buku itu menampilkan tema yang menarik atau yang mampu
membangkitkan rasa ingin tahu pembaca.
d. Latar menjadi bagian alur cerita, dan ilustrasi diberikan secara detail
sehingga dapat memberikan gambaran tempat yang mudah dikenali.
e. Buku-buku itu menghadirkan visi tentang dunia yang lebih luas.

6. Buku Bergambar
Buku bergambar adalah buku bacaan cerita anak yang di dalamnya terdapat
gambar-gambarnya
Hal yang tidak berbeda juga dikemukakan oleh Mitchel(2003:87) bahwa buku
cerita yang bergambar adalah buku yang menampilkan gambar dan teks dan
keduanya saling menjalin
Bahasa buku bergambar, bahasa untuk bacaan anak harus sederhana, tetapi
tidak perlu penyederhanaan yang berlebihan, bahasa yang digunakan dalam teks
buku cerita-bergambar juga mempertimbangkan aspek keindahan. Permainan
bahasa untuk lebih menarik perhatian pun dapat diusahakan lewat cara-cara
tertentu
Fungsi buku bergambar antara lain:
a. Membantu anak terhadap pengembangan dan perkembangan emosi.
b. Membantu anak untuk belajar tentang dunia.
c. Membantu anak untuk belajar tentang orang lain.
d. Membantu anak untuk memperoleh kesenangan.
e. Membantu anak untuk mengapresiasi keindahan.
f. Membantu anak untuk menstimulasi imajinasi.
BAB IV

SASTRA TRADISONAL

A. TENTANG SASTRA TRADISONAL


Berbagai cerita dan kebiasaan bersastra yang lain yang masih mengandalkan
sarana lisan untuk menyampaikannya kepada orang lain dan antargenerasi tersebut
kini dikenal sebagai sastra tradisonal.

1. Hakikat dan Karakteristik Sastra Tradisonal


Sastra tradisonal (traditional literature) merupakan suatu bentuk ekspresi
masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan
(Mitchell, 2003:228).
Secara umum kesastraan, menurut Stewig (1980:160-1), dapat dibedakan
ke dalam dua kategori, yaitu (i) sastra rekaan (composed literature) dan (ii)
sastra tradisonal (traditional literature). Sastra rekaan adalah karya sastra
yang secara sengaja ditulis dan dikreasikan oleh seseorang jadi pengarangnya
jelas dan pasti dengan mengikuti aturan-aturan tertentu, diciptakan sebagai
suatu bentuk karya seni, ditulis untuk mengekspresikan gagasan, dan secara
sengaja pula dimaksudkan untuk memperoleh kesenangan. Sedangkan sastra
tradisonal adalah suatu bentuk tuturan lisan yang muncul dan berkembang
(secara turun-temurun) secara tidak disengaja untuk mengungkapkan berbagai
gagasan yang sudah muncul sebelumnya yang pada umumnya lebih
dimaksudkan sebagai sarana untuk memberikan pesan moral.
Karena hanya diwariskan secara lisan, Saxby (1991:92) menyebut sastra
kategori ini bersifat tradisonal dan sekaligus personal. Ia disebut tradisonal
karena berasal dan atau diderivasikan dari cerita rakyat yang telah ada secara
turun-temurun. Cerita sastra juga bersifat personal karena tiap pencerita
memiliki kebebasan untuk memilih berbagai bentuk kebebasan sesuai dengan
seleranya.
Menurut Mitchell (2003:228) cerita-cerita tradisonal pada umumnya
menampilkan tokoh yang bersifat sederhana dan stereotip (flat &
stereotypical characters) yang mempresentasikan kualitas sifat kemanusian
tertentu. Dilihat dari segi alur, cerita tradisonal pada umumnya bersifat linear
dan hanya menampilkan satu jalinan kisah.

2. Nilai Sastra Tradisonal


Dilihat dari fungsi kesastraan bagi kehidupan manusia, sastra tradisonal
(traditional literature) mempunyai fungsi yang tidak berbeda halnya dengan
kesastraan modern dewasa ini yang sengaja dicipta sebagai bahan bacaan
cerita sastra (composed literature). Ia juga mendukung berbagai
perkembangan kedirian anak, baik yang menyangkut perkembangan aspek
emosional, afektif, kognitif, imajinatif, perasaan estetis, maupun
perkembangan kebahasaan, dan sama-sama berfungsi memberikan hiburan
yang menyenangkan.
Sebagaimana dikatakan Saxby (1991:91), sastra tradisonal kini telah
menjadi bagian dari sastra anak. Huck dkk. (1987:253) bahkan
mengemukakan bahwa sastra tradisonal merupakan sebuah warisan sastra
anak yang berharga dan menjadi dasar pemahaman seluruh kesastraan.
Melihat sejarah kemunculannya dan berbagai cerita yang dikisahkan
sebagaimana dikatakan Huck dkk. (1987:253), cerita-cerita tradisonal pada
umumnya lebih ditujukan kepada orang dewasa. Huck mengemukakan bahwa
sastra tradisonal adalah milik masyarakat yang menciptakannya dan
dikisahkan baik kepada orang dewasa maupun anak. Namun, tidak semua
cerita tradisonal dapat begitu saja dijadikan bacaan sastra anak tanpa
mengalami seleksi.
B. JENIS SASTRA TRADISONAL
Sastra tradisonal terdiri dari berbagai jenis seperti mitos, legenda, fabel, cerita
rakyat (folktale, folklore), nyanyian rakyat, dan lain-lain.
Dalam dunia kesastraan Indonesia dikenal adanya penamaan sastra Melayu Lama
yang menunjuk pada berbagai jenis sastra rakyat yang dihasilkan oleh masyarakat
Melayu (kini juga menjadi milik Malaysia dan Singapura). Di berbagai etnis budaya
masyarakat Indonesia juga dijumpai berbagai cerita rakyat lain yang dituturkan dalam
bahasa-bahasa daerah yang bersangkutan, misalnya cerita rakyat dari Jawa, Sunda,
Bugis, Bali, dan lain-lain.
Fang (1976:1) membedakan sastra rakyat Melayu Lama ke dalam lima macam,
yaitu (i) cerita asal-usul, (ii) cerita binatang, (iii) cerita jenaka, (iv) cerita pelipur lara,
dan (v) pantun.

1. Mitos
Hakikat dan kandungan mitos. Mitos (myths) adalah salah satu jenis
cerita lama yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan
supranatural yang lain yang melebihi batas-batas kemampuan manusia.
Menurut Lukens (2003:26) mitos merupakan sesuatu yang diyakini bangsa
atau masyarakat tertentu yang pada intinya menghadirkan kekuatan-kekuatan
supranatural. Mitos berbicara tentang hubungan antara manusia dengan dewa-
dewa, atau antardewa, dan ini merupakan suatu cara manusia menerima dan
menjelaskan keberadaan dirinya yang berada dalam perjuangan tarik-menarik
antara kekuatan baik dan jahat (Huck dkk, 1987:308).
Mitos sering dikaitakan dengan cerita yang bersifat religius dan spiritual.
Hal ini juga dikemukakan oleh Hamilton (via Mitchell, 2003:246) bahwa
mitos merupakan sebuah kebenaran, kebenaran yang diyakini oleh
masyarakat.
Ford (via Mitchell, 2003:246) bahkan mengemukakan bahwa mitos
memandang realitas sebagaimana halnya dengam mimpi, ia berbicara tentang
kejiwaan dan kehidupan kita. Jadi, berdasarkan kenyataan bahwa kehidupan
masyarakat diikat oleh keyakinannya terhadap mitos, mitos tetap dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan psikologis yang paling dalam.
Jenis mitos. Mitos dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori
berdasarkan sudut pandang tertentu. Huck dkk. (1987:308–9) membedakan
mitos ke dalam tiga jenis berdasarkan isi yang dikisahkan, yaitu (i) mitos
penciptaan (creation myths), (ii) mitos alam (nature myths), dan (iii) mitos
kepahlawanan (hero myths). Di samping ketiga pembagian menurut Huck
tersebut ada juga mitos yang terkait dengan sejarah, maka kiranya perlu
ditambahkan satu jenis lagi, yaitun mitos sejarah.
(1) Mitos penciptaan. Mitos penciptaan (creation myths) atau disebut juga
mitos asli (origin myths) adalah mitos yang menceritakan dan atau
menjelaskan awal mula kejadian sesuatu. Mitos jenis ini merupakan
bagian dari cerita rakyat yang oleh Fang (1976) dikategorikan ke
dalam cerita asal-usul diatas. Misalnya mitos tentang terjadinya
Gunung Merapi, kabut yang mengelilingi Gunung Merapi itu, kejadian
binatang tertentu, dan lain-lain.
(2) Mitos alam. Mitos alam (nature myths) adalah cerita yang
menjelaskan hal-hal yang bersifat alamiah seperti formasi bumi,
pergerakan matahari dan bumi, perbintangan, perubahan cuaca,
karakteristik binatang, dan lain-lain. Contoh mitos ini yaitu cerita
tentang Nyai Rara Kidul (Ratu Laut Selatan) yang mampu
menaklukkan laut yang terkenal dengan gelombangnya yang ganas.
(3) Mitos kepahlawanan. Mitos kepahlawanan (hero myths) adalah mitos
yang mengisahkan seorang tokoh yang menjadi pahlawan karena
kualifikasi dirinya yang memiliki keajaiban tertentu di luar nalar
kemanusiaan. Jadi, tokoh cerita yang ditampilkan adalah tokoh yang
memiiliki kekuatan supranatural, keajaiban, atau kualifikasi lain
sebagaimana yang dimiliki dewa-dewa, atau manusia setengah dewa,
yang dikisahkan dalam perjalanan hidupnya yang luar biasa. Contoh
mitos ini yaitu cerita Kisah hidup Nyai Rara Kidul atau Ratu Laut
Selatan selain itu ada juga mitos Sunan Lawu di puncak Gunung lawu,
dan lain-lain.
(4) Mitos sejarah. Mitos ini merupakan mitos yang hubungannya dengan
peristiwa sejarah, peristiwa dan tokoh yang benar-benar ada dan
terjadi. Jadi, ia merupakan gabungan antara cerita mitos dengan tokoh
dan peristiwa sejarah. Contoh mitos ini yaitu cerita tentang
Penembahan Senapati, pendiri dan raja pertama kerajaan Mataram.

Seleksi buku bacaan mitos. Jika bermaksud memilihkan mitos sebagai


salah satu bacaan sastra untuk anak, kita perlu melakukan analisis terhadap
berbagai cerita mitos yang bersangkutan. Aspek yang dipertimbangkan antara
lain meliputi tema, pesan moral, kualifikasi tokoh, misalnya segi baik dan
tidak baiknya, alur cerita dan lain-lain.

2. Legenda
Hakikat legenda. Legenda (legends) dapat dipahami sebagai cerita magis
yang sering dikaitkan dengan tokoh, peristiwa, dan tempat-tempat yang nyata
(Mitchell, 2003:238). Berbagai cerita yang diangkat menjadi legenda adalah
tokoh dan peristiwa yang memang nyata, ada dan terjadi di dalam sejarah.
Jenis legenda. Legenda dapat dibedakan ke dalam legenda tokoh, tempat,
dan peristiwa.
(1) Legenda tokoh. Legenda tokoh dimaksudkan sebagai sebuah cerita
legenda yang mengisahkan ketokohan seorang tokoh. Dengan kata
lain, tokoh itulah yang menjadi legenda dan atau dilegendakan karena
kehebatan, kebijakan, atau kualifikasi jati dirinya yang lain yang
menyebabkan kekaguman orang atasnya. Tokoh-tokoh yang
dilegendakan adalah tokoh yang dapat ditemukan dalam sejarah atau
dianggap pernah ada dalam sejarah. Misalnya kisah Jaka Tingkir,
kisah Si Pitung dan lain-lain.
(2) Legenda tempat peninggalan. Legenda tentang tempat-tempat
peninggalan atau cerita asal-usul dimaksudkan sebagai cerita yang
berkaitan dengan adanya peninggalan-peninggalan tertentu dan atau
asal-usul terjadinya sesuatu dan penamaan tempat-tempat tertentu.
Legenda ini dapat berupa cerita tentang adanya kejadian-kejadian
tertentu menyebabkan adanya tempat-tempat peninggalan yang hingga
kini masih dapat dilihat, seperti Gunung Baka, Gunung
Tangkubanprahu, Gunung Kendeng, Rawa Pening, Telaga Warna,
Selat Bali, dan lain-lain.
(3) Legenda peristiwa. Legenda peristiwa adalah adanya peristiwa-
peristiwa besar tertentu yang kemudian menjadi legenda karenanya.
Legenda yang berkaitan dengan peristiwa besar tersebut tidak dapat
dipisahkan dengan tokoh-tokoh besar yang dilegendakan. Misalnya
tenggelamnya kapal pesiar supermewah Titanic pada awal abad ke-20.
Dan juga kisah Malin Kundang dari Sumatera Barat, di Pantai Air
Manis.

3. Cerita Binatang
Hakikat cerita binatang. Cerita binatang (fables, fabel) adalah salah satu
bentuk cerita (tradisonal) yang menampilkan binatang sebagai tokoh cerita.
Binatang-binatang tersebut dapat berpikir dan berinteraksi layaknya manusia.
Cerita binatang hadir sebagai personifikasi manusia, baik yang
menyangkut penokohan lengkap dengan karakternya maupun persoalan hidup
yang diungkapkannya. Tokoh-tokoh binatang yang ditampilkan dalam cerita
bersifat impersonal dan hanya dikenali lewat jenisnya. Dan pada umumnya
cerita binatang bentuknya singkat dengan alur yang sederhana sehingga
mudah diikuti.

Asal usul cerita binatang. Menurut Fang (1975:3) paling tidak ada dua
pendapat yang memberikan argumentasi hal ini. Pertama, cerita binatang
sudah muncul sejak manusia masih primitif, dan dalam masyarakat primitif
orang tiap hari berkumpul dengan binatang. Kedua, cerita binatang berasal
dari India dan kemudian menyebar ke Asia dan Eropa karena di India terdapat
banyak cerita binatang yang termashur.

Fabel klasik dan modern. Dilihat dari waktu kemunculannya, cerita


binatang dapat dikategorikan ke dalam cerita klasik dan modern.
Fabel klasik. Cerita binatang klasik dimaksudkan sebagai cerita yang
telah ada sejak zaman dahulu, namun tidak diketahui persis kapan munculnya,
yang diwariskan secara turun-temurun terutama lewat sarana lisan. Misalnya
cerita kancil versi Melayu terkenal dengan nama Hikayat pelanduk Jenaka.
Fabel modern. Cerita binatang modern (fabel modern) dimaksudkan
sebagai cerita yang muncul dalam waktu yang relatif belum lama dan sengaja
ditulis oleh pengarang tertentu sebagai ekspresi kesastraan. Misalnya buku
yang berjudul Keledai yang Dungu.

4. Dongeng
Hakikat dongeng. Dongeng merupakan salah satu cerita rakyat (folktale)
yang cukup beragam cakupannya. Istilah dongeng dapat dipahami sebagai
cerita yang tidak benar-benar terjadi dan dalam banyak hal seering tidak
masuk akal. Dari sudut pandang ini ia dapat dipandang sebagai cerita fantasi.
Pada umumnya dongeng tidak terikat oleh waktu dan tempat, dapat terjadi
di mana saja dan kapan saja tanpa harus ada pelataran. Isi dongeng pun
sebenarnya bukannya tanpa unsur kebanaran dalam arti hal-hal yang
dikisahkan itu berangkat dari tokoh dan peristiwa yang benar-benar ada dan
terjadi. Dari segi penokohan, tokoh-tokoh dongeng pada umumnya terbelah
menjadi dua macam, yaitu tokoh berkarakter baik dan buruk.
Dongeng selain berfungsi untuk memberikan hiburan, juga sebagai sarana
untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
Dongeng merupakan suatu bentuk cerita rakyat yang bersifat universal yang
dapat ditemukan di berbagai pelosok masyarakat dunia.

Dongeng klasik dan modern. Dilihat dari waktu kemunculannya,


dongeng dapat dibedakan ke dalam dongeng klasik dan dongeng modern.
Sesuai dengan pembedaan yang dilakukan Stewig (1980:160 – 1) dongeng
klasik termasuk ke dalam sastra tradisonal (traditional literature), sedang
dongeng modern ke dalam sastra rekaan (composed literature).
Dongeng klasik. Dongeng klasik adalah cerita dongeng yang telah
muncul sejak zaman dahulu yang telah mewaris secara turun-temurun
berjudul “Raja Midas” dan buku dongeng luar negeri yaitu “Kisah Seribu
Satu Malam”. Contoh dua dongeng klasik Indonesia. Dongeng klasik dari
tanah air yang terkenal di Indonesia antara lain adalah Bawang Merah dan
Bawang Putih dan Timun Emas.
Dongeng modern. Dongeng modern adalah cerita dongeng yang sengaja
ditulis untuk maksud bercerita dan agar tulisannya itu dibaca oleh orang lain.
Jadi, dongeng modern sengaja ditulis sebagai salah satu bentuk karya sastra,
maka secara jelas ditunjukkan pengarang, penerbit, kota penerbit, dan tahun.
Sebagai sebuah teks sastra modern ia beredar lewat sarana tulisan. Dongeng
modern (modern fairy stories) adalah cerita fantasi modern (modern fantasy
stories). Jadi, ia dapat dikategorikan sebagai genre cerita fantasi. Selain
dimaksudkan untuk memberikan cerita menarik dan ajaran moral tertentu,
dongeng modern juga tampil sebagai sebuah karya seni yang memiliki unsur-
unsur keindahan, yang antara lain dicapai lewat kemenarikan cerita,
penokohan, pengaluran, dan stile. Contoh dari dongeng modern yaitu cerita-
cerita seperti Harry Potter (J.K Rowling), Lord of the Rings (J.R.R Tolkien),
Goosebumps (R.L Stine), juga buku-buku cerita karya HC. Anderson, dan
untuk karya sastra Indonesia yaitu buku Hilangnya Ayam Bertelur Emas
(Djokolelono) dan Putri Berwajah Buruk (Poppy Donggo Hutagalung).

5. Cerita Wayang
Warisan seni-budaya adiluhung. Bangsa indonesia memiliki warisan
seni-budaya yang tinggi nilainya, yaitu yang berupa cerita wayang. Cerita
wayang dan perwayangan merupakan sebuah warisan budaya nenek moyang
yang telah bereksistensi sejah zaman prasejarah.
Wayang adalah sebuah wiracerita yang berpakem pada dua karya besar,
yaitu Ramayana dan Mahabharata. Cerita wayang mula-mula diceritakan
secara lisan turun-temurun dan tiap pencerita-penyanyi menambah dari yang
sebelumnya, termasuk mengkreasikan bahasa penyampaiannya.

Nilai cerita wayang. Nilai cerita wayang dapat ditentukan dalam berbagai
aspek perwayangan, baik yang menyangkut unsur-unsur cerita wayang
maupun yang melibatkan aspek pementasannya sebagaimana terlihat dalam
pentas wayang kulit. Unsur cerita wayang yang dimaksud antara lain dan
terutama dapat dilihat dari aspek ajaran moral yang dikandung, alur cerita,
dan karakter tokoh.
Cerita wayang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang
berwatak baik dalam menghadapi dan menumpas tokoh yang berwatak jahat.
Plot cerita wayang juga sudah memiliki pola alur yang sudah pasti sesuai
dengan ajaran moral yang ingin disampaikan. Ajaran moral dan pola alur
yang sudah pasti terkandung dalam cerita wayang dapat terjadi karena
didukung oleh pola karakter yang juga sudah pasti.
Pelestarian cerita wayang. Cerita wayang haruslah diperkenalkan kepada
anak-anak Indonesia yang salah satunya lewat bacaan sastra. Artinya, cerita
wayang dikemas ulang ke dalam berbagai genre sastra anak untuk dijadikan
sebagai salah satu bacaan alternatif. Hal ini mengingat bahwa cerita wayang
selama ini kurang populer dan mewaris lewat pertunjukan wayang kulit.
Selain penulisan ulang dan penyediaan buku cerita wayang, pelestarian
cerita wayang juga dapat ditempuh lewat cara-cara tradisonal dan alami. Cara
yang dimaksud adalah mengishkan cerita wayang itu kepada anak-anak secara
lisan.

6. Nyanyian Rakyat
Nyanyian rakyat (folksong) merupakan salah satu bentuk sastra tradisonal
yang benyak dikenal dan dinyanyikan hingga kini. Sebagai salah satu bentuk
kesenian tradisonal, pada umumnya nyanyian rakyat tidak diketahui
penciptanya karena saat nyanyian itu diciptakan rasa kebersamaan masih jauh
lebih dipentingkan daripada kepentingan individual. Dan nyanyian rakyat
juga tidak dituliskan, maka ia juga mewaris secara turun-temurun secara lisan
dengan dinyanyikan secara langsung.
Di berbagai daerah kelompok masyarakat Indonesia dapat ditemukan
berbagai nyanyian rakyat khas daerah-daerah itu, misalnya nyanyian rakyat
Sunda, Bali, Bugis, Maluku, Jawa, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai