Nim : 1905116023
Selain itu, anak-anak juga sering membuka-buka buku melihat-lihat gambar. Jika
belum dapat membaca, anak akan meminta kita untuk menceritakan dan atau membacanya,
atau sebaliknya kita yang berinisiatif untuk membacakan dan menceritakan.
Sebagaimana manusia dewasa pun membutuhkan informasi tentang dunia, tentang segala
sesuatu yang ada dan yang terjadi di sekelilingya. Anak juga ingin mengetahui informasi
tentang apa saja yang dapat dijangkau pikiranya. Pemenuhan kebutuhan tersebut hakikatnya
adalah kewajiban kita untuk memenuhi salah satu hak anak. Anak berhak untuk memperoleh
hal-hal tersebut dalam rangka pengembangan identitas diri dan kepribadiannya.
2. Fiksi Formula
Fiksi formula memiliki pola-pola tertentu yang membedakannya dengan
jenis yang lain. Jenis sastra anak yang dapat dikategorikan ke dalam fiksi
formula adalah cerita misteri dan detektif, cerita romantis, dan novel serial.
Cerita Misterius dan Detektif. Cerita misterius dan detektif biasanya
dikemas dalam suatu waktu, lampau, kini, atau mendatang, dan menyajikan
teror pada tiap bagian. Cerita misteri menampilkan daya suspanse, rasa
penasaran ingin tahu, lewat peristiwa dan tindakan yang tidak terjelaskan alias
masih misterius, namun pada akhir kisah hal-hal tersebut dapat dijelaskan dan
diselesaikan secara masuk akal. Demikian pula halnya dengan cerita detektif,
novel kriminal, atau spionase yang juga menampilkan sesuatu yang misterius,
yang biasanya dimulai dengan mayat dan atau kasus pembunuhan. Kasus
tersebut tetap misterius, tak terjelaskan, namun pada akhir kisah ditemukan
tersangka yang tidak terduga, dan bukti-bukti yang kuat.
Cerita Romantis. Cerita romantis (romantic stories) Cerita ini
menampilkan kisah yang simplisistis dan sentimentalis hubungan laki-laki
perempuan, dan itu seolah-olah merupakan satu-satunya fokus dalam
kehidupan remaja.
Novel Serial. Novel serial dimaksudkan sebagai novel yang diterbitkan
secara terpisah, namun novel-novel itu merupakan satu kesatuan unit.
3. Fantasi
Cerita fantasi dikembangkan lewat imajinasi yang lazim dan dapat
diterima sehingga sebagai sebuah cerita dapat diterima oleh pembaca. Jenis
sastra anak yang dapat dikelompokkan ke dalam fantasi ini adalah cerita
fantasi, fantasi tingkat tinggi, dan fiksi sain.
Cerita fantasi. Cerita fantasi (fantastic stories) dapat dipahami sebagai
cerita yang menampilkan tokoh, alur, atau tema yang derajat kebenarannya
diragukan, baik menyangkut (hampir) seluruh maupun hanya sebagian cerita.
Cerita fantasi tinggi. Cerita fantasi tinggi (high fantasy) dimaksudkan
sebagai cerita yang pertama-tama ditandai oleh adanya fokus konfik antara
yang baik (good) dan yang jahat (evil), antara kebaikan dan kejahatan.
Fiksi sain. Fiksi sain (science fiction) Robert Heinlein (via
Lukens,2003:22), seorang pengarang fiksi sain, mengemukakan bahwa fiksi
sain adalah fiksi spekulatif yang pengarangnya mengambil postulat dari dunia
nyata sebagimana yang kita ketahui dan mengaitkan fakta dengan hukum
alam.
4. Sastra Tradisional
Istilah “tradisional” dalam kesastraan (traditional literature atau folk
literature) menunjukkan bahwa bentuk itu berasal dari cerita yang telah
mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya dan siapa penciptanya, dan
dikisahkan secara turun-temurun secara lisan. Jenis cerita yang
dikelompokkan ke dalam genre ini adalah fabel, dongeng rakyat, mitologi,
legenda, dan epos.
Fabel. Fabel (fable) adalah cerita binatang yang dimaksudkan sebagai
personifikasi karakter manusia. Binatang-binatang yang dijadikan tokoh cerita
dapat berbicara, bersikap, dan berperilaku sebagaimana halnya manusia.
Dongeng Rakyat. Dongeng atau dongeng rakyat (folktales, folklore)
merupakan salah satu bentuk dari cerita tradisonal. Dongeng dimaksudkan
untuk menyampaikan ajaran moral, konflik kepentingan antara baik dan
buruk, dan yang baik pada akhirnya pasti menang.
Mitos. Mitos (myhs) merupakan cerita masa lampau yang dimiliki oleh
bangsa-bangsa di dunia. Mitos dapat dipahami sebagai sebuah cerita yang
berkaitan dengan dewa-dewa atau tentang kehidupan supranatural yang lain,
juga sering mengandung sifat pendewaan manusia atau manusia keturunan
dewa (Makaryk, 1995:596).
Legenda. Legenda (legends) merupakan cerita tradisional. Legenda
memiliki atau berkaitan dengan kebenaran sejarah, dan kurang berkaitan
dengan masalah kepercayaan supranatural. Legenda menampilkan tokoh-
tokoh sebagai hero yang memiliki kehebatan tertentu dalam berbagai aksinya
dan sangat mengesankan.
Epos. Epos (falk epics, epik, wiracarita) merupakan sebuah cerita panjang
yang berbentuk syair (puisi) dengan pengarang yang tidak pernah diketahui,
anonim. Ia berisi cerita kepahlawanan seorang tokoh hero yang luar biasa
hebat baik dalam kesaktian maupun kisah petualangannya.
5. Puisi
Sebuah bentuk sastra disebut puisi jika di dalamnya terdapat berbagai
unsur bahasa untuk mencapai efek keindahan. Bahasa puisi tentulah singkat
dan padat, dengan sedikit kata, tetapi dapat mendialogkan sesuatu yang lebih
banyak. Genre puisi anak dapat berwujud puisi-puisi lirik tembang-tembang
anak tradisonal., lirik tembang-tembang ninabobo, puisi naratif dan puisi
personal.
Puisi-puisi tradisonal, lirik tembang-tembang tradisonal, atau lirik
tembang-tembang ninabobo yaitu sesuatu yang diucapkan atau dinyanyikan
ibu sewaktu akan menidurkan anak., membujuk anak agar tidak rewel, atau
agar membuat anak senang.
Puisi naratif adalah puisi yang di dalamnya mengandung cerita, atau
sebaliknya cerita yang dikisahkan dengan cara puisi.
Puisi personal adalah puisi modern yang sengaja ditulis untuk anak-anak
baik oleh penulis dewasa maupun anak-anak. Puisi jenis ini dapat berbicara
tentang apa saja sepanjang yang menarik perhatian penulis.
6. Nonfiksi
Bacaan nonfiksi yang sastra ditulis secara artistik sehingga jika dibaca
oleh anak, anak akan memperoleh pemahaman dan sekaligus kesenangan. Ia
akan membangkitkan pada diri anak perasaan keindahan yang berwujud efek
emosional dan intelektualnya. Bacaan nonfiksi danpat dikelompokkan ke
dalam subgenre buku informasi dan biografi.
Buku informasi. Buku informasi (informational books), yang terdiri dari
berbagai macam buku yang mengandung informasi, biasanya memiliki
standar yang hampir sama.
Biografi. Biografi (biography) adalah buku yang berisi riwayat hidup
seseorang , tentu saja tidak semua aspek kehidupan dan peristiwa dikisahkan,
melainkan dibatasi pada hal-hal tertentu yang dipandang perlu dan menarik
untuk diketahui orang lain, atau pada hal-hal tertentu yang mempunyai nilai
jual. Contohnya kehidupan para wali (Wali Sanga) di jawa, dan beberapa
tokoh ilmuan terkenal seperti Einstein, Mahatma Gandhi dll.
b. Perkembangan Intelektual
Lewat bacaan yang dihadapinya itu aspek intelektual anak ikut aktif, ikut
berperan, dalam rangka pemahaman dan pengkritisan cerita yang bersangkuta.
Dengan kata lain, dengan kegiatan membaca cerita itu, aspek intelektual anak
juga ikut berkembang.
Peneliti tentang pembelajaran seni di Amerika pada tahun 1980-an (via
Djohar, 2004:26) memperlihatkan bahwa anak-anak sekolah dasar yang
diajari seni ternyata juga berdampak pada kemampuan siswa dalam bidang
IPA, matematika dan bahasa.
c. Perkembangan Imajinasi
Dengan membaca bacaan cerita sastra imajinasi anak dibawa berpetualang
ke berbagai penjuru dunia melewati batas waktu dan tempat, tetapi tetap
berada di tempat, dibawa untuk mengkuti kisah cerita yang dapat menarik
seluruh kedirian anak. Lewat cerita itu anak akan memperoleh pengalaman
yang luar biasa (vicarious experience) yang setengahnya mustahil diperoleh
dengan cara-cara selain membaca sastra.
Imajinasi dalam pengertian ini jangan dipahami sebagai khayalan atau
daya khayal saja, tetapi lebih menunjuk pada makna creative thinking,
pemikiran yang kreatif, jadi ia bersikap produktif.
2. Nilai Pendidikan
a. Eksplorasi dan Penemuan
Dengan membaca sastra, pada hakikatnya anak dibawa untuk melakukan
sebuah eksplorasi, sebuah penjelajahan, sebuah petualangan imajinatif, ke
sebuah dunia retatif yang belum dikenalnya yang manawarkan berbagai
pengalaman kehidupan.
b. Perkembangan Bahasa
Lewat sastra anak dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya karena
sastra merupakan karya seni yang bermediakan bahasa, maka aspek bahasa
memegang peran penting didalamnya. Berhadapan dengan sastra hampir
selalu dapat diartikan sebagai berhadapan dengan kata-kata, dengan bahasa.
Anak belum dapat memilih bacaan sastra yang baik untuk dirinya sendiri. Oleh karena
itu peran orang tua sangat penting dalam memilih bacaan untuk anak, agar anak dapat
memperoleh bacaan yang sesuai dengan perkembangan kediriannya, orang tua harus peduli
dengan bacaan yang dikonsumsikan kepadanya. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, bacaan sastra yang tepat akan berperan menunjang pertumbuhan dan
perkembangan berbagai aspek kedirian anak. Untuk itu, pemilihan bacaan harus dilakukan
dengan hati-hati.
Brady (dalam Saxby & Winch, 1991:26-7) mengemukakan bahwa terdapat hal-hal
tertentu yang menjadi dasar pemikiran dalam pengujian tahapan perkembangan anak, yaitu
sebagai berikut. Pertama, pertimbangan ketertarikan anak terhadap suatu bacaan harus dilihat
sebagai kriteria seleksi yang lebih penting daripada anggapan kecocokan yang dilakukan oleh
kacamata orang dewasa. Kedua, pemahaman terhadap perkembangan anak secara umum dan
terhadap tahapan perkembangan secara khusus akan memberikan informasi yang berharga
dalam pemilihan bacaan anak. Ketiga, pemahaman terhadap tahapan perkembangan anak
akan membantu dalam seleksi bacaan, tetapi itu bukanlah sesuatu yang kaku, bukan sebuah
harga mati. Konsep tahapan tersebut mempunyai derajat prediksi dalam suasana budaya yang
stabil, tetapi belum memperhitungkan adanya perubahan budaya. waktu, dan geografi, dan
karenanya diperlukan penelitian lebih lanjut yang memperhitungkan aspek-aspek itu. Dengan
kata lain. sebenarnya masih terdapat problema validitas jika teon tahapan tersebut dijadikan
dasar yang “sempurna” dalam seleksi bacaan sastra anak. Keempat, pemahaman kesesuaian
dalam pemilihan bacaan dengan tahapan perkembangan anak perlu diperluas dengan
mencakup kontribusi tiap tahapan itu.
1. Perkembangan Intelektual
Berbicara masalah pertumbuhan dan perkembangan intelektual (kognitif) anak, pada
umumnya orang merujuk teori Jean Piaget yang mengemukakan bahwa perkembangan
intelektual merupakan hasil interaksi dengan lingkungan dan kematangan anak. Semua
anak melewati tahapan intelektual dalam proses yang sama walau tidak harus dalam umur
yang sama. Tiap tahapan yang lebih awal kemudian tergabung dalam tahapan berikutnya
sebagai struktur berpikir baru yang sedang berada pada tahap perkembangan. Jadi, tiap
tahapan kognitif yang kemudian merupakan kumulasi gabungan dani tahapan-tahapan
sebelumnya.
Pertama: tahap sensori-motor (the sensory-motor period, 0-2 tahun). Tahap ini
merupakan tahapan pertama dalam perkembangan kognitif anak. Tahap ini disebut
sebagai tahap sensori-motor karena perkembangan terjadi berdasarkan informasi dari
indera (senses) dan bodi (motor). Karakteristik utama dalam tahap ini adalah bahwa anak
belajar lewat koordinasi persepsi indera dan aktivitas motor serta mengembangkan
pemahaman sebab-akibat atau hubungan-hubungan berdasarkan sesuatu yang dapat diraih
atau dapat berkontak langsung. Anak mulas dapat memahami hubungannya dengan orang
lain, mengembangkan pemahaman objek secara permanen.
Dalam usia 1/—2 tahun anak akan menyukai aktivitas atau permainan bunyi yang
mengandung perulangan-perulangan yang ritmis. Anak menyukai bunyi-bunyian yang
bersajak dan berirama. Permainan bunyi yang dimaksud dapat berupa nyanyian, kata-kata
yang dinyanyikan, atau kata-kata biasa dalam perkataan yang tidak dilagukan. Bunyi-
bunyian ritmis akan memicu tumbuhnya rasa keindahan pada diri anak. Hal dapat
dijumpai dan atau perlu dilakukan oleh ibu yang mengendong, menyanyikan. atau
meninabobokan si buah hati. Kesenangan anak terhadap hal-hal tersebut dapat juga
dipahami bahwa anak mempunyai bakat keindahan dan menyenangi hal-hal yang terasa
indah di inderanya. Permainan bunyi yang berwujud repetisi dan keritmisan merupakan
dasar penting bagi bangunan sebuah sajak.
Kedua: tahap praoperasional (the preoperational period, 2-7 tahun). Dalam tahap
ini anak mulai dapat “mengoperasikan” sesuatu yang sudah mencerminkan aktivitas
mental dan tidak lagi semata-mata bersifat fisik. Karakteristik dalam tahap ini antara lain
adalah bahwa (i) anak mula: belajar mengaktualisasikan dirinya lewat bahasa, bermain.
dan menggambar (corat-coret). (ii) Jalan pikiran anak masih bersifat egosentns.
menempatkan dirinya sbagai pusat dunia, yang didasarkan persepsi segera dan
pengalaman langsung karena masih kesulitan menempatkan dirinya di antara orang lain.
Anak tidak dapat memahami sesuatu dari sudut pandang Orang lain. (iii) Anak
mempergunakan simbol dengan cara elementer yang pada awalnya lewat gerakan gerakan
tertentu dan kemudian lewat bahasa dalam pembicaraan. Perkembangan kognitif pada
saat ini yang secara luar biasa adalah perkembangan bahasa dan konsep formasi. (iv) Pada
masa ini anak mengalami proses asimilasi di mana anak mengasimilasikan sesuatu yang
didengar, dilihat, dan dirasakan dengan cara menerima ide-ide tersebut ke dalam suatu
bentuk skema di dalam kognisinya.
Kemungkinan implikasi terhadap buku bacaan sastra yang sesuai dengan karaktenstik
pada tahap perkembangan intelektual di atas antara lan adalah (1) buku-buku yang
menampilkan gambar-gambar sederhana sebagai ilustrasi yang menarik, (ii) buku-buku
bergambar yang memberıkan kesempatan anak untuk memanipulasikannya, (1ii) buku-
buku yang memberikan kesempatan anak untuk mengenali objek-objek dan situasi
tertentu yang bermakna baginya, dan (iv) buku-buku cerita yang menampilkan tokoh dan
alur yang mencerminkan tingkah laku dan perasaan anak. Menurut Donaldson (via Huck
dkk. 1987:55) anak usia 3 atau 4 tahun sudah dapat mendemonstrasikan kemampuannya
jika objek dan situasi yang dihadapkan kepadanya konkret dan bermakna. Sifat egosentris
pada anak akan membawanya untuk dapat menanggapi cerita dengan mengidentifikasikan
dirinya terhadap tokoh utama cerita, dan karenanya anak akan mengalami proses asımilasi
dengan melihat diri dan dunianya dengan pandangan yang baru.
Ketiga: tahap operasional konkret (the concrete operational, 7--11 tahun). Pada
tahap ni anak mulai dapat memahami logika secara stabil. Karakteristık anak pada tahap
ini antara lan adalah (i) anak dapat membuat klasıfikasi secderhana, mengklasifikasikan
objek berdasarkan sifat-sifat umum, misalnya klasifikasi warna, klasifikasi karakter
tertentu. (ii) Anak dapat membuat urutan sesuatu secara semestinya, menurutkan abjad,
angka, besar-kecil, dan lain-lain. (iii) Anak mulai dapat mengemoung ano eoosentris
masa depan; adanya perkembangan dari pola berpikir yang egosentris menjadi lebih
mudah untuk mengidentifikasikan sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda. (iv) Anak
mulai dapat berpikir argumentaif dan memecahkan masalah sederhana, ada
kecenderungan memperoleh ide-ide sebagaimana yang dilakukan oleh dewasa, namun
belum dapat berpikir tentang sesuatu yang abstrak karena jalan berpikırmya masıh
terbatas pada situasi yang Konket. Kemungkinan implikasi terhadap buku bacaan sastra
yang sesuai dengan karakteristik pada tahap perkembangan intelektual di atas antara lain
adalah buku-buku bacaan yang memiliki karakterıstik sebagai berikut. (i) Buku-buku
bacaan narasi atau eksplanasi yang mengandung urutan logis dari yang sederhana ke yang
lebih kompleks. (i) Buku-buku bacaan yang menampılkan cerita yang sederhana, baik
yang menyangkut masalah yang dikısahkan, cara pengisahan, maupun Jumlah tokoh yang
dilibatkan. (iii) Buku-buku bacaan yang menampilkan berbagai objek gambar secara
bervariasi, bahkan mungkin yang dalam bentuk diagram dan model sederhana. (iv) Buku-
buku bacaan narasi yang menampil kan narator yang mengisahkan cerita, atau cerita yang
dapat membawa anak untuk memproyeksikan dirinya ke waktu atau tempat lain. Dalam
masa ini anak sudah dapat terlibat memikirkan dan memecahkan persoalan yang dihadapi
tokoh protagonis atau memprediksikan kelanjutan cerita.
2. Perkembangan Moral
Selain mempelajari perkembangan kognitif anak, Piaget juga mendalami hal-hal yang
berkaitan dengan perkembangan moral. Menurut Piaget perbedaan nyata antara anak dan
dewasa adalah bahwa anak memiliki "dua moral". Piaget dan Kohlberg (ahli lain yang
mengembangkan teori Piaget lebih lanjut), mengemukakan bagaimana anak mungkin saja
mengubah interpretasinya terhadap dilema konflik dan moral dalam cerita. Penilaian anak
terhadap moral bergerak dari keterikatarnnya pada orang dewasa ke keterpengaruhannya
pada kelompok dan berpikir bebasnya.
Perubahan-perubahan penilaian moral anak yang dimaksud, antara lan, adalah sebagai
berikut
(i)Penilaian anak kecil terhadap masalah atau tindakan baik dan buruk berdasarkan
kemungkınan adanya hukuman dan hadiah yang diperoleh dari dewasa.
(ii) Penilaian tingkah laku dalam kacamata anak kecil hanya dapat dibedakan ke dalam baik
dan burnuk, tidak ada alternatif lain. Pada usia anak yang lebih kemudian terdapat kemauan
untuk mempertimbangkan lingkungan dan situast yang membuat legitimasi adanya perbedaan
pendapat.
(iii) Penilaian anak kecil terhadap suatu tindakan cenderung didasarkan pada konsekuensi
yang terjadi kemudian tanpa memperhatikan pelakunya.
(iv) Pandangan anak kecil terhadap tingkah laku buruk dengan hukuman berjalan bersama,
dan semakin besar kesalahan akan semakin berat hukumannya
Kemungknan implikasinya bagi seleksi bacaan sastra anak antara lain dapat
dikemukakan sebagai berikut. (i) Pahami dengan baik karakteristik perkembangan
moral anak tiap tahap kemudian piih bacaan yang sesuai. Misalnya, anak usia tiga
tahun baik untuk dipilihkan bacaan yang melukiskan persetujuan orang tua yang
berupa tingkah laku, tindakan, dan kata-kata yang baik. Bagi anak usia empat tahun,
baik untuk dipilihkan bacaan yang dapat melatih anak untuk bertanggung jawab dan
melakukan sesuatu yang sesuai dengan aturan sosial. (ii) Pilih buku bacaan yang
mengandung dan menawarkan unsur moral, alasan pemilihan moral tertentu oleh
tokoh anak, atau yang mengandung nasihat-nasihat tentang moral sebagai model
bertingkah laku.
Dengan tidak jelasnya tingkatan usia anak dalam tahapan di atas kita dituntut
untuk mempertimbangkan bacaan sastra mana yang terbaik untuk usia anak tertentu.
Sebagai bahan pertimbangan kita dapat menghubungkan tahapan perkembangan
intelektual (piaget) dengan tahapan perkembangan moral (Kohlberg). Kohlberg
mengemukakan bahwa seorang anak yang berada dalam tahap operasional konkret, ia
akan berada dan terbatas pada tahap I dan 2 dalam perkembangan moral; seorang
anak yang berada dalam tahap operasional formal sebagian, ia akan berada dan
terbatas pada tahap 3 dan 4; sementara seseorang yang berada dalam perkembangan
moral tahap 5 dan 6, ia mesti sudah berada dalam tahap operasi formal.
Implikasi untuk ıma tahap yang pertama adalah sebagaı berikut. Pertama, pada
tahap kepercayaan (trust) anak membutuhkan makanan dan perawatan. Anak mulai
mengenali dirinya yang terpisah dari orang lain atau objek, dan pemahaman terhadap
realitas ini membuat aspek trust menjadi penting. Tahap ini sejalan dengan tahap
sensori-motor dalam tahapan perkembangan intelektual menurut Piaget. Kedua, pada
tahap kemandirian (autonomy) anak belajar kemandirian dengan mencoba melakukan
sesuatu secara bebas, atau justru memperoleh pengalaman keragu-raguan jika ternyata
inderanya tidak dapat mengelola dunia sekeliling. Tahap ini masih sejalan dengan
tahap sensori-motor. Ketiga, pada tahap prakarsa versus kesalahan, anak belajar
berinisiatif mengeksplorasi dunianya, atau jika tidak dapat melakukannya,
mengembangkan rasa ketidakmampuan. Tahap ini sejalan dengan tahap
praoperasional. Keempat, pada tahap kepandaian versus perasaan rendah diri, anak
berusaha mengembangkan rasa gembıra dan bangga jika dapat melakukan sesuatu
atau menghasilkan sesuatu dari aktivitasnya, atau justru sikap sebaliknya jika tidak
mampu sehingga merasa rendah diri. Tahap ini sejalan dengan tahap operasional
konkret. Kelima, pada tahap identitas versus kebingungan, anak mencari dan
mengembangkan identitas personal, berusaha mencari dan menemukan identitas
dirinya, atau justru merasa ambivalen terhadap identitasnya. Tahap ini sejalan dengan
tahap operasional formal.
4. Perkembangan Bahasa
Anak yang berstatus bayi mulai belajar bahasa lewat bunyi dan ucapan-ucapan
yang didengarnya dari sekelilingnya. Pada mulanya anak tidak dapat membedakan
bunyi-suara manusia dengan bunyi-bunyian yang lain, tetapi lama-kelamaan mampu
membedakannya. Kenyataan bahwa seorang bayi berada dalam kondisi yang amat
rentan dan tidak berdaya, bahkan terhadap kelangsungan hidupnya sendiri, tidak dapat
berbuat apa pun tanpa bantuan orang lain, tetap dapat belajar berbahasa sungguh
merupakan sebuah keajaiban. Apalagi dalam waktu yang relatif singkat, yaitu hanya
beberapa tahun, anak sudah mampu berbahasa, mampu "menguasai' bahasanya
sendiri, suatu hal yang hampir mustahil terjadi pada diri orang dewasa. Oleh karena
itu, orang kemudian mempertanyakan apa sebenarnya yang terjadi dalam diri anak
yang dapat diibaratkan sebagai sebuah kotak hitam (black box) itu, yaitu sesuatu yang
menunjukkan adanya unsur ketidakterpahaman tentang apa yang terjadi. Maka dari
itu, disusunlah teori(-teori) akuisisi bahasa yang berusaha menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi dan bagaimana hal itu terjadi di dalam diri anak itu dalam proses
pemerolehan bahasa tersebut.
Dalam rangka pemahaman dan atau apresiasi suatu bacaan, ada beberapa hal
yang terlibatkan, yaitu aspek intelektual, emosional, kemampuan berbahasa anak, dan
struktur organisasi isi bacaan. Keempat hal tersebut harus mendapat perhatian dalam
rangka seleksi bacaan anak. Oleh karena itu, dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan
tertentu untuk menilai suatu bacaan yang akan dipilih. Misalnya: Apakah secara
intelektual anak dapat memahami materi bacaan cerita itu?; Apakah secara emosional
anak sudah siap untuk menerima isi bacaan itu?; Apakah secara kebahasaan anak
sudah mampu memahami isi bacaan itu?; Apakah struktur organisasi isi cerita itu
sudah dapat dijangkau oleh anak?; dan lain-lain.
Anak usia 3-5 tahun: (i) pemfungsian tahap praoperasional (Piaget); (ii)
pengalaman pada tahap prakarsa versus kesalahan (Erickson); (ii) penafsiran baik dan
buruk, boleh dan tidak boleh, berdasarkan konsekuensi fisik dan hadiah atau
hukuman; (iv) perkembangan bahasa berlangsung amat cepat, dan pada usia lima
tahun sudah mampu berbicara dalam kalimat kompleks; (v) perkembangan
kemampuan perseptual seperti membedakan warna dan mengenali atribut yang
berbeda pada objek yang mirip; (vi) cara berpikir dan bertingkah laku egosentris; (vii)
belajar lewat pengalaman tangan pertama; (viii) mulai menyatakan sesuatu secara
bebas dan (ix) belajar lewat permainan imaginatif; (x) membutuhkan pujian dan
persetujuan dan dewasa; (xi) kurang memperhatikan masalah waktu, dan (xii)
mengembangkan rasa tertarik dalam aktivitas kelompok.
Anak usia 6 dan 7 tahun: (i) beralih ke cara berpikir tahap operasional
konkret (Piaget), mulai berpikir beda, menentang, dan bersikap hati-hati; (ii)
pengalaman pada tahap kepandaian versus perasaan rendah diri (Erickson); (iii)
penerimaan konsep benar (baik) berdasarkan hadiah dan persetujuan; (iv) melanjutkan
perkembangan pemerolehan bahasa; (v) mulai memisahkan fantasi dari realitas; (vi)
belajar berangkat dari persepsi dan pengalaman langsung: (vii) mulai berpikir abstrak,
tetapi belajar lebih banyak terjadi berdasarkan pengalaman konkret; (Viii) lebih
membutuhkan pujian dan persetujuan dari orang dewasa; (ix) menunjukkan
sensitivitas rasa dan sikap terhadap anak lain dan orang dewasa; (x) berpartisipasi
dalam kelompok sebagai anggota; (xi) mulai tumbuh rasa keadilan dan ingin bebas
dari orang dewasa; (xi) menunjukkan perilaku egosentris dan sering menuntut.
Anak usia 8 dan 9 tahun: (i) pemfungsian tahap berpikir operasional konkret
(Piaget), berpikir kini lebih fleksibel dan hati-hati; (ii) pengalaman pada tahap
kepandaian versus perasaan rendah diri (Erickson); (iii) penerimaan konsep benar
berdasarkan aturan; (iv) adanya perhatian dan penghormatan dari kelompok kıni lebih
penting (v) mulai melihat dengan sudut pandang orang lain dan semakin
berkurangnya sifat egosentris; (vi) mengembangkan konsep dan hubungan spasial;
(vii) menghargai petualangan imaginatif; (viii) menunjukkan minat dan keterampilan
yang berbeda dengan kelompoknya; (ix) mempunyai ketertarikan pada hobi dan
koleksi yang bervariasi, (x) menunjukkan peningkatan kemampuan mengutarakan ide
ke dalam kata-kata; dan (xi) membentuk persahabatan yang khusus.
Anak usia 10-12 tahun: (i) pemfungsian tahap operasional konkret (Piaget),
dapat melihat hubungan yang lebih abstrak; (ii) pengalaman pada tahap kepandaian
versus perasaan rendah diri (Erickson); (iii) penerimaan masalah benar berdasarkan
ke-fair-an (iv) memiliki ketertarikan yang kuat dalam aktivitas sosial, (v)
meningkatnya minat pada kelompok, mencari kekariban dalam kelompok; (vi) mulai
mengadopsi model kepada orang lain daripada ke orang tua; (vii) menunjukkan
minatnya pada aktivitas khusus; (vii) mencari persetujuan dan ingin mengesankan;
(ix) menunjukkan kemampuan dan kemauan untuk melihat sudut pandang orang lain;
(x) pencarian nilai-nilai; (xi) menunjukkan adanya perbedaan di antara individu; (xii)
mempunyai citarasa keadilan dan peduli kepada orang lain; dan (xii) pemahaman dan
penerimaan terhadap adanya aturan berdasarkan perbedaan jenis kelamin.
Pada tahap selanjutnya, tetapi masih dalam usia dini kepada anak mulai diberi
cerita, cerita tentang apa saja yang mungkin diberikan sesuai dengan dunia anak.
Secara teknis dalam hal ini, cerita atau sastra dapat dipahami sebagai bagian dari
sebuah sistem konstruk untuk melihat dunia, sebagai suatu sarana bagaimana dan dari
sudut mana kita melihat dunia. Jika sastra itu adalah sastra anak, ia dapat dipahami
sebagai sebuah sarana bagaimana dan dari sudut mana anak dibawa untuk melihat
dunia, atau bagaimana dunia itu disampaikan kepada anak. Sastra dapat dipahami
sebagai sebuah kerangka dari jalinan gagasan tentang apa yang terjadi dan bagaimana
kejadian itu diceritakan. Jadi, sastra dipakai sebagai salah satu cara untuk
memahamkan dunia sekeliling kepada anak, tidak saja menyangkut masalah apa yang
dipahamkan (isi, gagasan, "dunia" itu sendiri) melainkan juga bagaimana cara
memahamkannya (bentuk).
Perkembangan kebahasaan anak sejalan dengan perkembangan intelektual dan
aspek-aspek personalitas yang lain. Kenyataan ini dapat dipergunakan sebagai pijakan
pemahaman bahwa dalam usia setelah mulai dapat memahami dan memproduksi
bahasa, anak mulai dapat menerima dan mengembangkan pemahaman tentang dunia.
Salah satu sarana untuk maksud itu adalah cerita. Bersamaan dengan proses itu
tumbuh pula konsep cerita pada anak. Keadaan ini tidak mudah dibuktikan karena
anak tidak dapat diuji atau ditanyai untuk maksud tersebut. Namun, lewat studi
longitudinal dapat dilihat kapan dan bagaimana anak mulai tertarik pada cerita. Pada
usia tiga tahun, atau bahkan lebih awal lagi, anak sudah dapat diberi cerita, dan
bahkan sering minta untuk diceritai. Pada usia prasekolah, 3 sampai 4 tahun, anak
sering terlihat "membaca buku", atau minta untuk dibacakan buku cerita. Aktivitas
anak tersebut memang sekadar imitasi dari orang dewasa yang sering dilihat
melakukannya, tetapi bagaimanapun juga lewat cara itu pada diri anak mulai tertanam
kesadaran akan kebutuhan cerita, kebutuhan untuk melihat dunia, dan itu dapat
diperoleh lewat buku bacaan.
Anak berusia dua tahun pada umumnya berada dalam tingkat heap, belum
mampu mengorganisasikan berbagai peristiwa atau objek ke dalam struktur yang
semestinya. Dalam perkembangan selanjutnya anak usia lima tahun sudah mampu
mengorganisasikan berbagai peristiwa dan objek ke dalam tema, hubungan yang
bermakna, untuk menghasilkan cerita yang sebenarnya.
Selain itu, Applebee juga menggali pemahaman anak tentang hubungan antara
cerita dan kenyataan yang sebenamya. Untuk itu, kepada anak-anak di sekolah
London ia mengajukan pertanyaan berdasarkan cerita Cinderella: "Di mana Cinderella
hidup". Ternyata baru ada jawaban dari anak berusia 9 tahun yang menjawab antara
lain: "Cinderella bertempat sangat jauh", atau "la hanya boneka'", dan bahkan "Itu
hanya ceita, tidak ada sungguh-sungguh". Jadi, dalam usia ini anak sudah mampu
membedakan antara cerita (yang tidak pernah ada dan tidak terjadi) dan hal yang
secara faktual ada dan terjadi, sedang pada usia-usia sebelumnya anak masih
menganggapnya sama.
Perbedaan pemahaman antara yang nyata (real) dan buatan (made-up) adalah
dimensi yang penting ketika siswa berpikir tentang cerita. Realisme merupakan salah
satu dari tiga "konstruk superordinat" yang diidentifikasi oleh Applebee terhadap
tanggapan anak usia 6-17 tahun. Pada usia awal anak lebih perhatian terhadap
perbedaan true dengan made-up, sedangkan anak yang lebih tua lebih berpikir
bagaimana mengaitkan realitas dalam cerita dengan realitas kehidupannya sendiri. Hal
itu merupakan salah satu bentuk penyederhanaan cerita. Masalah penyederhanaan
(simpliciy) dan evaluasi (evaluation) merupakan konstruk lain yang penting buat
anak. Dalam hal evaluasi misalnya, bagi anak usia 9 tahun adanya disturbing story
dipandang sebagai sesuatu yang negatif, tetapi bagi anak 17 tahun itu merupakan hal
yang positif; bagi anak yang lebih muda adanya penyelesaian cerita yang sesuai
dengan harapannya juga dipandang sebagai hal yang baik, tetapi bagi adolesen-tua hal
itu justru diremehkan.
1. Alur Cerita
Alur berkaitan dengan masalah urutan penyajian cerita, tetapi bukan
hanya masalah saja yang menjadi persoalan alur. Menurut Lukens (2003:97)
alur merupakan urutan kejadian yang memperlihatkan tingkah laku tokoh
dalam aksinya. Pembicaraan alur akan melibatkan masalah peristiwa dan aksi
yang dilakukan dan ditimpakan kepada tokoh cerita.
Dalam sebuah alur cerita terkandung unsur apa yang di kisahkan (isi
cerita) dan bagaimana urutan pengisahan. Keduanya saling berhubungan dan
sama-sama menentukan derajat kemenarikan dan ketepatan bagi (calon)
pembaca anak.
Isi cerita. Dalam bacaan sastra anak sesuatu yang dikisahkan itu tentulah
berkaitan dengan dunia anak dan atau bagaimana anak memandang sesuatu
tersebut.
Permasalahan yang diangkat ke dalam cerita anak dapat berkaitan dengan
masalah konflik antara manusia dengan alam atau lingkungan, manusia
dengan masyarakat, manusia dengan diri sendiri, dan manusia dengan tuhan.
Dan permasalahan atau konflik yang menjadi isi cerita bersifat universal,
artinya hal yang sama dapat berlaku di berbagai belahan dunia.
Penilaian dalam rangka pemilihan bahan bacaan cerita anak haruslah
mempertimbangkan isi ceritanya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
permasalahan dan konflik yang dikisahkan haruslah berada dalam jangkauan
nalar, intelektual, dan emosional anak yang kesemuannya akan bergantung
pada usia dan tingkat perkembangan kejiwaannya.
2. Penokohan
Istilah penokohan dapat menunjuk pada tokoh dan perwatakan tokoh.
Tokoh adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi yang dilakukan dan peristiwa
serta aksi tokoh lain yang ditimpakan kepadanya. Dalam bacaan cerita anak
tokoh dapat berupa manusia, binatang, atau mahluk dan objek lain seperti
mahluk halus (peri, hantu) dan tumbuhan.
Latar netral dan latar fungsional. Sebuah latar, tempat dan waktu, yang
hanya sekedar disebut-sebut, karena cerita memang butuh latar, tanpa terkait
langsung dengan unsur alur dan tokoh, dikenal sebgai latar netral. Sedangkan
latar fungsional adalah latar yang mempunyai kaitan erat dengan unsur tokoh
dan alur cerita, ikut mempengaruhi dan menentukan perkembangan alur.
5. Stile
Stile berkaitan dengan bahasa yang dipergunakan dalam sastra. Stile
(style) itu sendiri dapat dipahami sebagai wujud penggunaan bahasa dalam
tuturan, atau bagaimana cara seseorang mengungkapkan sesuatu yang akan
diekspresikan. Jadi, stile mencakup keseluruhan aspek formal kebahasaan,
bahkan juga lafal untuk bahasa lisan dan ejaan untuk bahasa tulis.
Cerita saduran. Cerita dewasa yang kompleks, tetapi baik untuk anak
dapat disadur dan disederhanakan untuk dijadikan bacaan cerita anak.
Penyederhanaan itu meliputi unsur bahasa, alur cerita, dan karakter tokoh.
Penyaduran itu dapat dipahami sebagai penulisan ulang, tetapi isi cerita
kurang lebih sama.
6. Ilustrasi
Ilustrasi adalah gambar-gambar yang menyertai cerita dalam buku sastra
anak. Kehadiran ilustrasi tersebut dalam banyak hal akan menentukan daya
tarik buku-buku bacaan yang bersangkutan bagi anak-anak. Ilustrasi dalam
sastra anak dapat berupa gambar, lukisan, foto, reproduksi gambar, dan lain-
lain yang kehadirannya sengaja dimaksudkan untuk memperkuat dan
mengkonkretkan apa yang dikisahkan secara verbal.
Ilustrasi buku-buku sastra harus menarik perhatian anak. Lazimnya,
gambar-gambar itu jelas, berwarna-warni, komunikatif, dan ditampilkan
secara variatif pada (hampir) tiap halaman buku.
7. Format
Format bacaan memegang peran penting untuk memotivasi anak untuk
membaca sebuah buku bacaan cerita walau format itu sendiri bukan bagian
dari cerita. Yang termasuk bagian format buku adalah bentuk, ukuran, desain
sampul, desain halaman, ilustrasi, ukuran huruf, jumlah halaman, kualitas
kertas, dan model penjilidan.
Ketepatan sebuah format tidak hanya ditentukan oleh salah satu atau
beberapa aspek saja, melainkan perpaduan dari keseluruhan aspek format dan
bahkan juga dengan isi bacaan cerita.
Sastra anak terdiri dari berbagai genre dan dapat berwujud lisan maupun tulisan.
Contoh dari sastra anak yaitu: lagu-lagu ninabobo, puisi lagu, tembang-tembang dolanan,
huruf-huruf, buku-buku bergambar, cerita petualangan dan berbagai cerita tradisonal. Sastra
hadir di tengah masyarakat difungsikan sebagai sarana untuk memberikan dan atau
memperoleh hiburan. Dari fungsi tersebut, maka sastra sudah dapat diperkenalkan kepada
anak sejak mereka dilahirkan, sejak mereka belum tahu apa-apa dan sedang belajar mengenal
dunia di sekelilingnya
Sastra tidak hanya berwujud sastra tulis dengan buku-buku yang berhalaman tebal dan
dikonotasikan sulit dipahami. Melainkan sastra adalah sesuatu yang menarik, yang memberi
hiburan, yang mampu untuk menanamkan dan memupuk rasa keindahan, maka dengan itu
sastra harus sudah diperkenalkan kepada anak sejak usia dini.
Berikut berbagai sastra anak yang dapat diperkenalkan atau diberikan kepada anak pada
usia dini, baik sastra lisan maupun sastra tulis. Perkenalan sastra ini memerlukan peran aktif
orang tua untuk memahami dan melakukannya demi kebaikan anak.
3. Nursery Ryhmes
Mitchell (2003:150) mengemukakan bahwa nursery rhymes merupakan puisi-
puisi kesayangan yang telah mentradisi dan karenanya merupakan bagian dari
puisi lama yang bertradisi oral.
Namun demikian, menurut Hazard ( via Scott, 1991:70) nursery rhymes tidak
harus berupa syair-syair lagu yang dinyanyikan, melainkan dapat dan sering hanya
berupa bunyi musik, nyayian vokal, senandung, pengulangan bunyi-bunyi, irama-
irama sedehana yang mendapat penakanan, atau bunyi-bunyi bersajak dan
berirama secara jelas, dan ketukan- ketukan yang berirama yyang dikenal sebagai
finger rhymes.
2. Buku Alfabeth
Buku alfabeth adalah buku yang dipergunakan untuk memperkenalkan,
mengajarkan dan mengidentifikasi huruf-huruf secara sendiri-sendiri khusunya
setelah anak mulai belajar membaca dan menulis(Huck dkk,1987:163)
Adapun Jenis Buku Alfabet yaitu sebagai berikut:
Stewig (1980;82-6) membedakan buku alphabet dalam 3 kategori:
a. Buku yang berjenis atau berisi gambar-topik (rwlated-topic books)
b. Gambar pusparagam (potpourri books)
c. Gambar-cerita (sequential-story books)
Huck dkk (1987;163-8) membedakan jesi buku tersebut ke dalam empat kategori,
yaitu:
3. Buku berhitung
Buku berhitung adalah buku lain yang juga biasa digunakan untuk literasi
awal pada anak usia prasekolah atau sekolah di kelas awal, yaitu mulai usia tiga
tahun.
Ada banyak cara untuk mengajarkan angka dan konsep angka kepada anak di usia
awal, dan yang paling ideal adalah lewat benda-benda kongkret Huck dkk
(1987:1168).
Jenis-jenis Buku Berhitung yaitu sebagai berikut:
Huck dkk. (1987:168-71) membedakan buku berhitung kedalam tiga kategori:
a. Buku-buku yang berisi korespodensi satu antara gambar dan angka (one-to-
one correspondence).
b. Konsep matematis sederhana yang lain (other simple mathematic concepts).
c. Cerita dan teka-teki (number stories and puzzles).
Mitchell (2003:75-7) membedakan jenis buku berhitung berdasarkan tujuan
buku itu sendiri, yaitu buku yang dimaksudkan untuk membelajarkan angka
(teaching number), menyajikan informasi dengan mempergunakan skema
hitungan (presenting information using the counting scheme), dan menampilkan
cerita dengan mempergunakan hitungan struktur tema (telling a story using the
counting theme structure).
4. Buku Konsep
Buku konsep adalah buku yang dipergunakan untuk mendeskripsikan berbagai
dimensi dan jenis objek atau berbagai konsep yang abstrak kepada anak. Buku
konsep memiliki tujuan utama yaitu untuk memperkenalkan anak tentang dunia
Buku konsep paling tidak dapat dibedakan kedalam dua kategori, yaitu buku
konsep yang dipakai untuk mengenalkan benda dan objek tunggal dan konkret,
dan yang dipakai untuk konsep lebih kompleks dan abstrak. Mitchell (2003:77-9)
membedakan buku konsep dalam dua kategori:
a. Buku konsep dimensi tunggal (single-dimensional concept books).
b. Buku konsep multidimensional (multidimensional concept books).
6. Buku Bergambar
Buku bergambar adalah buku bacaan cerita anak yang di dalamnya terdapat
gambar-gambarnya
Hal yang tidak berbeda juga dikemukakan oleh Mitchel(2003:87) bahwa buku
cerita yang bergambar adalah buku yang menampilkan gambar dan teks dan
keduanya saling menjalin
Bahasa buku bergambar, bahasa untuk bacaan anak harus sederhana, tetapi
tidak perlu penyederhanaan yang berlebihan, bahasa yang digunakan dalam teks
buku cerita-bergambar juga mempertimbangkan aspek keindahan. Permainan
bahasa untuk lebih menarik perhatian pun dapat diusahakan lewat cara-cara
tertentu
Fungsi buku bergambar antara lain:
a. Membantu anak terhadap pengembangan dan perkembangan emosi.
b. Membantu anak untuk belajar tentang dunia.
c. Membantu anak untuk belajar tentang orang lain.
d. Membantu anak untuk memperoleh kesenangan.
e. Membantu anak untuk mengapresiasi keindahan.
f. Membantu anak untuk menstimulasi imajinasi.
BAB IV
SASTRA TRADISONAL
1. Mitos
Hakikat dan kandungan mitos. Mitos (myths) adalah salah satu jenis
cerita lama yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan
supranatural yang lain yang melebihi batas-batas kemampuan manusia.
Menurut Lukens (2003:26) mitos merupakan sesuatu yang diyakini bangsa
atau masyarakat tertentu yang pada intinya menghadirkan kekuatan-kekuatan
supranatural. Mitos berbicara tentang hubungan antara manusia dengan dewa-
dewa, atau antardewa, dan ini merupakan suatu cara manusia menerima dan
menjelaskan keberadaan dirinya yang berada dalam perjuangan tarik-menarik
antara kekuatan baik dan jahat (Huck dkk, 1987:308).
Mitos sering dikaitakan dengan cerita yang bersifat religius dan spiritual.
Hal ini juga dikemukakan oleh Hamilton (via Mitchell, 2003:246) bahwa
mitos merupakan sebuah kebenaran, kebenaran yang diyakini oleh
masyarakat.
Ford (via Mitchell, 2003:246) bahkan mengemukakan bahwa mitos
memandang realitas sebagaimana halnya dengam mimpi, ia berbicara tentang
kejiwaan dan kehidupan kita. Jadi, berdasarkan kenyataan bahwa kehidupan
masyarakat diikat oleh keyakinannya terhadap mitos, mitos tetap dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan psikologis yang paling dalam.
Jenis mitos. Mitos dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori
berdasarkan sudut pandang tertentu. Huck dkk. (1987:308–9) membedakan
mitos ke dalam tiga jenis berdasarkan isi yang dikisahkan, yaitu (i) mitos
penciptaan (creation myths), (ii) mitos alam (nature myths), dan (iii) mitos
kepahlawanan (hero myths). Di samping ketiga pembagian menurut Huck
tersebut ada juga mitos yang terkait dengan sejarah, maka kiranya perlu
ditambahkan satu jenis lagi, yaitun mitos sejarah.
(1) Mitos penciptaan. Mitos penciptaan (creation myths) atau disebut juga
mitos asli (origin myths) adalah mitos yang menceritakan dan atau
menjelaskan awal mula kejadian sesuatu. Mitos jenis ini merupakan
bagian dari cerita rakyat yang oleh Fang (1976) dikategorikan ke
dalam cerita asal-usul diatas. Misalnya mitos tentang terjadinya
Gunung Merapi, kabut yang mengelilingi Gunung Merapi itu, kejadian
binatang tertentu, dan lain-lain.
(2) Mitos alam. Mitos alam (nature myths) adalah cerita yang
menjelaskan hal-hal yang bersifat alamiah seperti formasi bumi,
pergerakan matahari dan bumi, perbintangan, perubahan cuaca,
karakteristik binatang, dan lain-lain. Contoh mitos ini yaitu cerita
tentang Nyai Rara Kidul (Ratu Laut Selatan) yang mampu
menaklukkan laut yang terkenal dengan gelombangnya yang ganas.
(3) Mitos kepahlawanan. Mitos kepahlawanan (hero myths) adalah mitos
yang mengisahkan seorang tokoh yang menjadi pahlawan karena
kualifikasi dirinya yang memiliki keajaiban tertentu di luar nalar
kemanusiaan. Jadi, tokoh cerita yang ditampilkan adalah tokoh yang
memiiliki kekuatan supranatural, keajaiban, atau kualifikasi lain
sebagaimana yang dimiliki dewa-dewa, atau manusia setengah dewa,
yang dikisahkan dalam perjalanan hidupnya yang luar biasa. Contoh
mitos ini yaitu cerita Kisah hidup Nyai Rara Kidul atau Ratu Laut
Selatan selain itu ada juga mitos Sunan Lawu di puncak Gunung lawu,
dan lain-lain.
(4) Mitos sejarah. Mitos ini merupakan mitos yang hubungannya dengan
peristiwa sejarah, peristiwa dan tokoh yang benar-benar ada dan
terjadi. Jadi, ia merupakan gabungan antara cerita mitos dengan tokoh
dan peristiwa sejarah. Contoh mitos ini yaitu cerita tentang
Penembahan Senapati, pendiri dan raja pertama kerajaan Mataram.
2. Legenda
Hakikat legenda. Legenda (legends) dapat dipahami sebagai cerita magis
yang sering dikaitkan dengan tokoh, peristiwa, dan tempat-tempat yang nyata
(Mitchell, 2003:238). Berbagai cerita yang diangkat menjadi legenda adalah
tokoh dan peristiwa yang memang nyata, ada dan terjadi di dalam sejarah.
Jenis legenda. Legenda dapat dibedakan ke dalam legenda tokoh, tempat,
dan peristiwa.
(1) Legenda tokoh. Legenda tokoh dimaksudkan sebagai sebuah cerita
legenda yang mengisahkan ketokohan seorang tokoh. Dengan kata
lain, tokoh itulah yang menjadi legenda dan atau dilegendakan karena
kehebatan, kebijakan, atau kualifikasi jati dirinya yang lain yang
menyebabkan kekaguman orang atasnya. Tokoh-tokoh yang
dilegendakan adalah tokoh yang dapat ditemukan dalam sejarah atau
dianggap pernah ada dalam sejarah. Misalnya kisah Jaka Tingkir,
kisah Si Pitung dan lain-lain.
(2) Legenda tempat peninggalan. Legenda tentang tempat-tempat
peninggalan atau cerita asal-usul dimaksudkan sebagai cerita yang
berkaitan dengan adanya peninggalan-peninggalan tertentu dan atau
asal-usul terjadinya sesuatu dan penamaan tempat-tempat tertentu.
Legenda ini dapat berupa cerita tentang adanya kejadian-kejadian
tertentu menyebabkan adanya tempat-tempat peninggalan yang hingga
kini masih dapat dilihat, seperti Gunung Baka, Gunung
Tangkubanprahu, Gunung Kendeng, Rawa Pening, Telaga Warna,
Selat Bali, dan lain-lain.
(3) Legenda peristiwa. Legenda peristiwa adalah adanya peristiwa-
peristiwa besar tertentu yang kemudian menjadi legenda karenanya.
Legenda yang berkaitan dengan peristiwa besar tersebut tidak dapat
dipisahkan dengan tokoh-tokoh besar yang dilegendakan. Misalnya
tenggelamnya kapal pesiar supermewah Titanic pada awal abad ke-20.
Dan juga kisah Malin Kundang dari Sumatera Barat, di Pantai Air
Manis.
3. Cerita Binatang
Hakikat cerita binatang. Cerita binatang (fables, fabel) adalah salah satu
bentuk cerita (tradisonal) yang menampilkan binatang sebagai tokoh cerita.
Binatang-binatang tersebut dapat berpikir dan berinteraksi layaknya manusia.
Cerita binatang hadir sebagai personifikasi manusia, baik yang
menyangkut penokohan lengkap dengan karakternya maupun persoalan hidup
yang diungkapkannya. Tokoh-tokoh binatang yang ditampilkan dalam cerita
bersifat impersonal dan hanya dikenali lewat jenisnya. Dan pada umumnya
cerita binatang bentuknya singkat dengan alur yang sederhana sehingga
mudah diikuti.
Asal usul cerita binatang. Menurut Fang (1975:3) paling tidak ada dua
pendapat yang memberikan argumentasi hal ini. Pertama, cerita binatang
sudah muncul sejak manusia masih primitif, dan dalam masyarakat primitif
orang tiap hari berkumpul dengan binatang. Kedua, cerita binatang berasal
dari India dan kemudian menyebar ke Asia dan Eropa karena di India terdapat
banyak cerita binatang yang termashur.
4. Dongeng
Hakikat dongeng. Dongeng merupakan salah satu cerita rakyat (folktale)
yang cukup beragam cakupannya. Istilah dongeng dapat dipahami sebagai
cerita yang tidak benar-benar terjadi dan dalam banyak hal seering tidak
masuk akal. Dari sudut pandang ini ia dapat dipandang sebagai cerita fantasi.
Pada umumnya dongeng tidak terikat oleh waktu dan tempat, dapat terjadi
di mana saja dan kapan saja tanpa harus ada pelataran. Isi dongeng pun
sebenarnya bukannya tanpa unsur kebanaran dalam arti hal-hal yang
dikisahkan itu berangkat dari tokoh dan peristiwa yang benar-benar ada dan
terjadi. Dari segi penokohan, tokoh-tokoh dongeng pada umumnya terbelah
menjadi dua macam, yaitu tokoh berkarakter baik dan buruk.
Dongeng selain berfungsi untuk memberikan hiburan, juga sebagai sarana
untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
Dongeng merupakan suatu bentuk cerita rakyat yang bersifat universal yang
dapat ditemukan di berbagai pelosok masyarakat dunia.
5. Cerita Wayang
Warisan seni-budaya adiluhung. Bangsa indonesia memiliki warisan
seni-budaya yang tinggi nilainya, yaitu yang berupa cerita wayang. Cerita
wayang dan perwayangan merupakan sebuah warisan budaya nenek moyang
yang telah bereksistensi sejah zaman prasejarah.
Wayang adalah sebuah wiracerita yang berpakem pada dua karya besar,
yaitu Ramayana dan Mahabharata. Cerita wayang mula-mula diceritakan
secara lisan turun-temurun dan tiap pencerita-penyanyi menambah dari yang
sebelumnya, termasuk mengkreasikan bahasa penyampaiannya.
Nilai cerita wayang. Nilai cerita wayang dapat ditentukan dalam berbagai
aspek perwayangan, baik yang menyangkut unsur-unsur cerita wayang
maupun yang melibatkan aspek pementasannya sebagaimana terlihat dalam
pentas wayang kulit. Unsur cerita wayang yang dimaksud antara lain dan
terutama dapat dilihat dari aspek ajaran moral yang dikandung, alur cerita,
dan karakter tokoh.
Cerita wayang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang
berwatak baik dalam menghadapi dan menumpas tokoh yang berwatak jahat.
Plot cerita wayang juga sudah memiliki pola alur yang sudah pasti sesuai
dengan ajaran moral yang ingin disampaikan. Ajaran moral dan pola alur
yang sudah pasti terkandung dalam cerita wayang dapat terjadi karena
didukung oleh pola karakter yang juga sudah pasti.
Pelestarian cerita wayang. Cerita wayang haruslah diperkenalkan kepada
anak-anak Indonesia yang salah satunya lewat bacaan sastra. Artinya, cerita
wayang dikemas ulang ke dalam berbagai genre sastra anak untuk dijadikan
sebagai salah satu bacaan alternatif. Hal ini mengingat bahwa cerita wayang
selama ini kurang populer dan mewaris lewat pertunjukan wayang kulit.
Selain penulisan ulang dan penyediaan buku cerita wayang, pelestarian
cerita wayang juga dapat ditempuh lewat cara-cara tradisonal dan alami. Cara
yang dimaksud adalah mengishkan cerita wayang itu kepada anak-anak secara
lisan.
6. Nyanyian Rakyat
Nyanyian rakyat (folksong) merupakan salah satu bentuk sastra tradisonal
yang benyak dikenal dan dinyanyikan hingga kini. Sebagai salah satu bentuk
kesenian tradisonal, pada umumnya nyanyian rakyat tidak diketahui
penciptanya karena saat nyanyian itu diciptakan rasa kebersamaan masih jauh
lebih dipentingkan daripada kepentingan individual. Dan nyanyian rakyat
juga tidak dituliskan, maka ia juga mewaris secara turun-temurun secara lisan
dengan dinyanyikan secara langsung.
Di berbagai daerah kelompok masyarakat Indonesia dapat ditemukan
berbagai nyanyian rakyat khas daerah-daerah itu, misalnya nyanyian rakyat
Sunda, Bali, Bugis, Maluku, Jawa, dan lain-lain.