Anda di halaman 1dari 18

KONSEP DASAR DAN

KARAKTERISTIK SASTRA

Disusun oleh
1. Agus Zan Krisman Waruwu.
NIM.212124004.
2. Friska Sotania Bate’e.
NIM. 212124041.
3. Sesiwarniwati Gulo.
Nim. 212124091.

Dosem pengampu
Yanida Bu’ulolo S.Pd.,M.Pd.

YAYASAN PERGURUAN TINGGI NIAS


UNIVERSITAS NIAS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, atas berkat-
Nya kami kelompok I dapat menyelesaikan makalah kami ini tepat waktu.
Adapun tujuan makalah kami ini, yakni untuk memenuhi tugas kelompok pada
mata kuliah kajian dan kritik sastra.
Pada kesempatan ini, kami kelompok mengucapkan terimakasih kepada
ibu Yanida Bu’ulolo S.Pd.,M.Pd. yang telah membimbing kami dalam pembuatan
makalah kami ini. Begitu juga dengan semua pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah ini kami dari kelompok lima mengucapkan banyak
terimakasih.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih, YA’AHOWU.

Guunungsitoli 12 Maret 2022.


Hormat kami

Kelompok I.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan masalah...................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2
A. Pengertian sastra........................................................................................ 2
B. Fungsi dan manfaat sastra ......................................................................... 3
C. Konsep dasar sastra ................................................................................... 4
D. Karakteristik sastra .................................................................................... 9
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 14
A. Kesimpulan ............................................................................................... 14
B. Saran .......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang.
sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Melalui karya sastra,
seorang pengarang dapat menuangkan pikiran dan hasil imajinasinya berupa
tulisan maupun lisan. Karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang mengandung
nilai-nilai dan norma yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang pengarang menggunakan karya sastra untuk menyampaikan
pandangannya tentang kehidupan yang ada di sekitarnya. Sastra merupakan hasil
dari proses pengolahan jiwa pengarangnya, dihasilkan melalui proses perenungan
yang panjang mengenai hakikat hidup dan kehidupan. Sastra ditulis dengan penuh
penghayatan dan sentuhan jiwa yang dikemas dalam imajinasi yang dalam tentang
kehidupan.
Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk
mengungkapkan eksistensinya yang berisi ide, gagasan, dan pesan tertentu yang
diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang serta menggunakan
media bahasa sebagai penyampainya. Karya sastra merupakan fenomena sosial
budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Karya satra lahir dari
pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa pengarang secara
mendalam melalui proses imajinasi.
B. Rumusan masalah.
1. Apa pengertian sasta?
2. Apa saja fungsi dan manfaat sastra?
3. Bagaimana konsep dasar sastra?
4. Bagaimana kaakteristik sastra?
C. Tujuan.
1. Mengetahui pengertian sastra.
2. Mengeahui fungsi dan manfaat sastra.
3. Mengetahui konsep dasar sastra.
4. Mengetahui karakteristik dari sastra.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sastra.
Kata “Sastra” dalam Bahasa Indonesia, sebenarnya mengambil istilah dari
bahasa Sansekerta yaitu “shastra”. Kata “sas” memiliki makna instruksi atau
pedoman, dan “tra” berarti alat atau sarana. Sastra merupakan salah satu hasil dari
cipta, rasa dan karsa manusia. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya
seni.
Karya sastra merupakan media bagi pengarang untuk menuangkan dan
mengungkapkan ide-ide hasil perenungan tentang makna dan hakikat hidup yang
dialami, dirasakan dan disaksikan. Seorang pengarang sebagai salah satu anggota
masyarakat yang kreatif dan selektif ingin mengungkapkan pengalamannya dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari kepada para penikmatnya.
Sebagai karya seni bermediumkan, sastra berisi ekspresi pikiran spontan dari
perasaan mendalam penciptanya. Ekspresi tersebut berisi ide, pandangan,
perasaan, dan semua kegiatan mental manusia, yang diungkapkan dalam bentuk
keindahan. Sementara itu, bila ditinjau dari potensinya, sastra disusun melalui
refleksi pengalaman, yang memiliki berbagai macam bentuk representasi
kehidupan. Sebab itu, sastra merupakan sumber pemahaman tentang manusia,
peristiwa, dan kehidupan manusia yang beragam.
Ada 2 unsur utama dalam karya sastra yaitu :
1. Isi, yaitu sesuatu yang merupakan gagasan/pikiran, perasaan, pengalaman,
ide, semangat, dan tanggapan pengarang terhadap lingkungan kehidupan
sosial yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca;
2. Bentuk, yaitu media ekspresi yang berbentuk seni sastra, yang pada
umumnya bermediumkan bahasa beserta unsur-unsur yang mendukung
totalitas makna yang terkandung di dalamnya.
Sastra sebagai refleksi kehidupan berarti pantulan kembali
problem dasar kehidupan manusia, meliputi: maut, cinta, tragedi,
harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan hidup, serta hal-
hal yang transedental dalam kehidupan manusia. Problem kehidupan
itu oleh sastrawan dikonkretisasikan ke dalam gubahan bahasa baik

2
3

dalam bentuk prosa, puisi, maupun lakon (drama). Jadi membaca karya
sastra berarti membaca pantulan problem kehidupan dalam wujud
gubahan seni berbahasa (Santosa, 1993:40).
Dengan demikian, karya sastra adalah suatu hasil karya seni baik
lisan maupun tertulis yang –lazimnya-- menggunakan bahasa sebagai
mediumnya dan memberikan gambaran tentang kehidupan dengan
segala kompleksitas, problema, dan keunikannya baik tentang cita-cita,
keinginan dan harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan
hidup, perjuangan, eksistensi dan ambisi manusia, juga cinta, benci dan
iri hati, tragedi dan kematian, serta hal-hal yang bersifat transedental
dalam kehidupan manusia. Jadi, karya sastra mengungkapkan gagasan
pengarang yang berkaitan dengan hakikat dan nilai-nilai kehidupan,
serta eksistensi manusia yang meliputi dimensi kemanusiaan, sosial, kultural,
moral, politik, gender, pendidikan maupun ketuhanan atau religiusitas.
B. Fungsi dan manfaat sastra.
Pendapat klasik mengenai fungsi sastra memiliki fungsi menghibur dan
berguna Dengan ungkapan yang berbeda, menyatakan bahwa fungsi sastra adalah
didactic heresy: menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu. Jadi, sastra di samping
memberikan kesenangan kepada para pembacanya juga berdaya guna atau
bermanfaat bagi kehidupan batiniah. Pendek kata, sastra berguna untuk
memberikan hiburan sekaligus berguna bagi pengayaan spiritual atau menambah
khasanah batin. Hal itu dapat dipahami, mengingat sastra merupakan wahana
untuk memberikan tanggapan personal tentang isu-isu dalam kehidupan.
Berdasarkan fungsi sastra di atas, ada berbagai manfaat yang dapat diberikan
oleh cipta sastra. Berbagai manfaat yang diperoleh dari karya sastra ini adalah
sebagai berikut.
1. Sastra sebagai Ilmu Artinya sastra sebagai salah satu disiplin ilmu yang
bersifat konventif yang diajarkan di bangku sekolah secara formal, dalam
sub bidang bahasa Indonesia.
2. Sastra sebagai Seni Sastra memiliki semboyan dulce et utile (menghibur
dan berguna). Jadi, sastra di samping memberikan kesenangan kepada para
pembacanya juga berdaya guna atau bermanfaat bagi kehidupan
4

manusia. Artinya, sastra bermanfaat untuk memberikan hiburan


sekaligus bermanfaat untuk pengayaan spiritual atau khasanah batin.
3. Sastra sebagai Kebudayaan Dalam hal ini sastra mencakup segala
kehidupan manusia baik secara lahir maupun batin. Secara lahir sastra
sejajar dengan bahasa yang berfungsi sebagai pemersatu bangsa, sarana
pergaulan, alat komunikasi antara manusia dan antarbangsa. Hal ini dapat
dilihat dan saling dikenalnya para pengarang di seluruh penjuru dunia
melalui hasil karyanya.
Tugas sastra sebagai suatu seni adalah menawarkan pengalaman yang unik
tentang berbagai model kehidupan. Sastra bukan sekedar dokumen sejarah,
ataupun laporan tentang cerita kehidupan, persepsi moral, filosofi, dan religi.
Sastra merupakan perluasan penjelasan dari hidup itu sendiri. Oleh karena itu,
tujuan utama pembacanya adalah untuk menambah pengalaman batin.
C. Konsep dasar sastra.
Sastra merupakan salah satu hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia. Sastra
adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Keberadaan sastra dalam
kehidupan manusia telah menyedot perhatian dari para penikmat seni. Sebagai
salah satu seni, sastra memiliki konsep dasar yang menjadikan sastra berbeda
dengan seni lainnya. Ada empat konsep , yaitu: (1) kaidah sastra; (2) ciri-ciri
sastra; (3) wilayah studi sastra; dan (4) wilayah kesusastraan. Keempat konsep
tersebut adalah sebagai berikut ini.
1. Kaidah Sastra
Kaidah sastra atau daya tarik sastra terdapat pada unsur-unsur karya sastra
tersebut. Pada karya cerita fiksi, daya tariknya terletak pada unsur ceritanya yakni
cerita atau kisah dari tokoh-tokoh yang diceritakan sepanjang cerita yang
dimaksud. Selain itu, faktor bahasa juga memegang peranan penting dalam
menciptakan daya pikat. Kemudian gayanya dan hal-hal yang khas yang dapat
menyebabkan karya itu memikat pembaca. Khusus pada cerita fiksi, ada empat hal
lagi yang membantu menciptakan daya tarik suatu cerita rekaan, yaitu: (1)
kreativitas; (2) tegangan (suspense); (3) konflik; dan (4) jarak estetika.
5

 Kreativitas Tanpa kreativitas, karya sastra yang diciptakan pengarang


tidak mungkin menempati perhatian pembaca. Kreativitas di¬tandai
dengan adanya penemuan baru dalam proses penceritaan. Pengarang-
pengarang yang lazim disebut "avantgarde" atau pelo¬por, biasanya
menunjukkan daya kreativitas yang menonjol yang membedakan karya
rekaannya dari karya yang mendahului. Dalam sejarah sastra Indonesia,
kita mengenal para pemba¬haru sastra Indonesia yang menunjukkan daya
kreativitas mereka seperti Marah Rusli (Siti Nurbaya), Abdul Muis (Salah
Asuhan), Sutan Takdir Alisyahbana (Layar Terkembang), Armijn Pane
(Belenggu), Achdiat Kartamiharja (Atheis), Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada
Ujung), dan sebagainya. Penemuan-penemuan hal yang baru itu mungkin
melalui peniruan terhadap karya yang sudah ada dengan jalan
memper¬baharui, namun mungkin juga melalui pencarian secara modern
harus banyak bersusah payah untuk menemu¬kan sesuatu yang baru,
untuk tidak hanya mengulang-ulang apa yang sudah diucapkan/
diungkapkan oleh pengarang lain.
 Tegangan ( Suspense) Di depan telah dibicarakan tentang tegangan atau
suspense. Tidak mungkin ada daya tarik tanpa menciptakan tegangan
dalam sebuah cerita. Jalinan cerita yang menimbulkan rasa ingin tahu yang
besar dari pembaca merupakan tegangan cerita itu. Tegangan bermula dari
ketidakpastian cerita yang berlanjut, yang mendebarkan bagi pembaca
/pendengar cerita. Tegangan meno¬pang keingintahuan pembaca akan
kelanjutan cerita. Tegangan diakibatkan oleh kemahiran pencerita di dalam
merangkai kisah seperti yang sudah dikemukakan di depan. Tanpa
tegangan, cerita tidak memikat. penulis/pencerita yang mahir akan
memelihara tegangan itu, sehingga mampu mempermainkan hasrat ingin
tahu pembaca. Bahkan kadang¬kadang segenap pikiran dan perasaan
pembaca terkonsentrasikan ke dalam cerita itu, karena kuatnya tegangan
yang dirangkai oleh sang penulis. Dalam menjawab hasrat ingin tahu
pembaca/ pendengar, penulis/pencerita memberikan jawaban-jawaban
yang mengejutkan. Tinggi rendahnya kadar kejutan itu bergantung dari
kecakapan dan kreativitas pengarang. Penga¬rang-pengarang cerita rekaan
6

besar seperti Agata Christie, Sherlock Holmes, Pramudya Ananta Toer,


dan sebagainya mampu mencip¬takan jawaban-jawaban cerita yang penuh
kejutan sehingga cerita¬nya memiliki suspense yang memikat.
 Konflik Membicarakan daya tarik cerita rekaan harus menghubungkannya
dengan konflik yang dibangun. Jika konflik itu tidak wajar dan tidak kuat,
maka jalan ceritanya akan datar dan tidak menimbulkan daya tarik.
Konflik yang wajar artinya konflik yang manusiawi, yang mungkin terjadi
dalam kehidupan ini dan antara kedua orang yang mengalami konflik itu
mempunyai posisi yang kurang lebih seimbang. Jika posisinya sudah
nampak tidak seimbang, maka konflik menjadi tidak wajar karena
pem¬baca segera akan menebak kelanjutan jalan ceritanya.
Konflik itu juga harus kuat. Dalam kisah kehidupan se¬hari-hari, konflik
yang kuat biasanya berkaitan dengan problem manusia yang penting dan
melibatkan berbagai aspek kehidupan. Konflik itu bersifat
multidimensional yang tidak mudah menye¬lesaikannya. Roman Salah
Asuhan dan Belenggu memiliki kon¬flik yang cukup kuat karena problem
yang menyebabkan konflik itu adalah problem hakiki dalam kehidupan
manusia. Konflik itu juga sukar menyelesaikannya karena tidak mungkin
adanya satu jawaban saja. Hal ini berbeda dengan konflik yang dibangun
me¬lalui cerita wayang. Karena tokohnya hitam putih, maka konflik
dalam cerita wayang segera dapat ditebak jawabannya.
Dalam novel-novel mutakhir, jalinan konflik itu cukup bervariasi. Karena
konflik menjadi dasar cerita, maka perhatian pengarang kepada konflik ini
kiranya memungkinkan mereka akan lebih mampu menjalin cerita yang
memikat.
 Jarak Estetika Daya pikat sebuah cerita fiksi juga muncul akibat
penga¬rang memiliki jarak estetika yang cukup pekat dengan cerita dan
tokoh-tokoh cerita itu. Seolah-olah pengarang menguasai benar-benar
dunia dari tokoh itu, sehingga pengarang benar-benar ikut terlibat dalam
diri tokoh dan ceritanya. Jika keadaan ini dapat dilakukan oleh pengarang,
pembaca akan lebih yakin akan hadir¬nya cerita dan tokoh itu, seakan-
akan cerita fiksi itu bukan hanya tiruan dari kenyataan itu, namun adalah
7

kenyataan sendiri yang mengejawantah. Pengarang akan menciptakan


jarak estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa benar-benar
hidup. Seperti halnya dalam cerita Mushashi, pembaca akan merasa ikut
terlibat dalam peristiwa-peristiwa karena kekuatan cerita itu. Ketika pada
adegan terakhir Mushashi mengalahkan Sasaki Kojiro, pembaca mungkin
akan merasa menyaksikan dua ksatria bertempur di tepi pantai Parangtritis,
di siang hari ketika matahari terik, dan tiba¬-tiba Mushashi melompat
menghantam kepala Koliro dengan pedang. Ini dapat terjadi karena
kekuatan cerita yang pengarang ciptakan dengan membuat jarak estetis
yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa benar-benar hidup.
2. Ciri-ciri sastra
Ada beberapa ciri-ciri sastra sebagai berikut: (1) menimbulkan efek yang
mengasingkan; (2) fiksionalitas; (3) ciptaan; (4) tujuan yang tidak praktis; (5)
pengolahan dan penyampaian melalui media bahasa; (6) imajinasi; (7) bermakna
lebih; (8) berlabel sastra; dan (9) merupakan konvensi masyarakat sebagai ciri-ciri
sastra. Selain itu, Lexemburg, (1984:9) menambahkan beberapa ciri lagi yaitu: (1)
bukan imitasi; (2) otonom; (3) koherensi; (4) sintesa; dan (5) mengungkapkan
yang tak terungkapkan sebagai ciri sastra yang lainnya. Dengan demikian sudah
teridentifikasi empat belas ciri sastra. Tentu pendapat lain dapat pula
ditambahkan, seperti pendapat yang dipegang pada zaman Romantik, bahwa
sastra itu merupakan luapan emosi spontan, sedangkan menurut kaum Formalis,
sastra selain menunjukkan cirinya pada aspek sintaktik, juga pada grafiknya.
3. Wilayah Studi Sastra
Yang merupakan tiga cabang studi sastra itu adalah teori sastra, sejarah sastra,
dan kritik sastra .
a. Teori sastra adalah bidang studi sastra yang berhubungan dengan teori
kesusastraan, seperti studi tentang apakah kesusastraan itu, bagaimana
unsur-unsur atau lapis-lapis normanya; studi tentang jenis sastra
(genre), yaitu apakah jenis sastra dan masalah umum yang
berhubungan dengan jenis sastra, kemungkinan dan kriteria untuk
membedakan jenis sastra, dan sebagainya. Perihal unsur-unsur atau
lapis-lapis norma karya sastra dijelaskan lebih lanjut oleh Fananie
8

yakni menyangkut aspek-aspek dasar dalam teks sastra. Aspek-aspek


tersebut meliputi aspek intrinsik dan ekstrinsik sastra. Teori intrinsik
sastra berhubungan erat dengan bahasa sebagai sistem, sedang
konvensi ekstrinsik berkaitan dengan aspek-aspek yang
melatarbelakangi penciptaan sastra. Aspek tersebut meliputi aliran,
unsur-unsur budaya, filsafat, politik, agama, psokologi, dan
sebagainya.
b. Sejarah sastra adalah studi sastra yang membicarakan lahirnya
kesusastraan Indonesia modern, sejarah sastra membicarakan sejarah
jenis sastra, membicarakan periode-periode sastra, dan sebagainya;
pokoknya semua pembicaraan yang berhubungan dengan kesejarahan
sastra, baik pembicaraan jenis, bentuk, pikiran-pikiran, gaya-gaya
bahasa yang terdapat dalam karya sastra dari periode ke periode.
Berdasarkan aspek kajiannya, sejarah sastra dibedakan menjadi:
 Sejarah genre, yaitu sejarah sastra yang mengkaji
perkembang¬an karya-karya sastra seperti puisi dan prosa
yang meliputi cerpen, novel, drama, atau sub genre seperti
pantun, syair, talibun, dan sebagainya. Kajian tersebut
dititikberatkan pada proses kelahirannya,
perkembangannya, dan pengaruh-penga¬ruh yang
menyertainya.
 Sejarah sastra secara kronologis, yaitu sejarah sastra yang
mengkaji karya-karya sastra berdasarkan periodesasi atau
ba-bakan waktu tertentu. Di Indonesia penulisan sejarah
sastra secara kronologis, misalnya klasifikasi periodesasi
tahun 20-an, yang melahirkan Angkatan Balai Pustaka,
tahun 30-an yang melahirkan Angkatan Pujangga Baru,
tahun 42, sastra Jepang, tahun 45, Angkatan 45, tahun 60-
an yang melahirkan Angkatan 66, dan sastra mutakhir atau
kontemporer.
9

 Sejarah sastra komparatif, yaitu sejarah sastra yang


mengkaji dan membandingkan beberapa karya sastra pada
masa lalu, pertengahan, dan masa kini.
c. Kritik Sastra ialah studi sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra
dengan langsung, menganalisis, menginterpretasi, memberi komentar,
dan memberikan penilaian. Kritik sastra itu semacam pertimbangan
untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan juga kekurangan
yang terdapat dalam karya sastra. Karena itu hasil dari kritik sastra
biasanya mencakup dua hal , yaitu baik dan buruk.
4. Wilayah Kesusastraan.
Kesusastraan dibagi menjadi tiga wilayah. Tiga wilayah kesusastraan itu
adalah: (1) wilayah penciptaan sastra; (2) wilayah penikmatan sastra; dan (3)
wilayah penelitian sastra. Ketiga wilayah dalam kehidupan kesusastraan itu saling
berhubungan dan saling membantu. Maksud dari ketiga wilayah tersebut
dijelaskannya sebagai berikut ini. “Wilayah penciptaan kesusastraan ialah
wilayah para sastrawan, yang diisi dengan ciptaan-ciptaan yang baik dan bermutu.
Persoalan mereka ialah bagaimana menciptakan ciptasastra yang baik dan
bermutu.
Wilayah penelitian ialah wilayah para ahli dan para kritikus. Mereka berusaha
menjelaskan, menafsirkan dan memberikan penilaian terhadap ciptasastra-
ciptasastra. Tentu saja mereka harus memperlengkapi diri mereka dengan segala
pengetahuan yang mungkin diperlukan untuk memahami ciptasastra-ciptasastra
yang mereka hadapi. Wilayah para penikmat adalah wilayah para pembaca.
Wilayah ini tidak kurang pentingnya, karena untuk merekalah sesungguhnya
ciptasastra-ciptasastra ditulis oleh para pengarang”.
D. Karakteristik sastra.
Sastra di Indonesia selalu mengalami perubahan pada setiap masanya yang
disebabkan oleh keadaan dan peristiwa yang telah terjadi pada saat itu. Hal itu
mewarnai sejarah sastra di Indonesia sehingga banyak menghasilkan karya sastra
yang sangat menarik. Para sastrawan menghadirkan sastra yang berbeda pada
setiap tahunnya.
10

Setiap sastra memiliki karakteristik atau keistimewaan tersendiri pada


zamannya. Banyak hal yang melatar belakangi saat sastra itu dibuat dan
diterbitkan, begitupun dengan sastra Indonesia. Banyak peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi pada perkembangan sastra di Indonesia yang menjadikannya
sebagai karakteristik dari sastra tersebut. Membicarakan karakteristik dari sastra
Indonesia adalah suatu hal yang menarik untuk dibahas karena Indonesia sangat
melekat pada sastra. Di Indonesia sastra bisa dijadikan media untuk memberikan
kritikan terhadap suatu aturan atau kebijakan.
Untuk lebih memudahkan dan memahami karakteristik sastra dari masing-
masing periode maka dari itu kita harus membagikannya sesuai dengan angkatan
sastra. Angkatan sastra adalah penggolongan karya sastra ke dalam suatu periode.
Berdasarkan urutan waktunya sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan,
yaitu:
1. Angkatan Sastra Indonesia Lama
Karya sastra lama adalah kesusastraan yang tumbuh dari
kebudayaan masyarakat pada saat itu. Pada angkatan ini karya sastra lebih
bersifat moral, nasihat, pendidikan, ajaran agama, dan adat istiadat. Pada
masa ini didominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Penyebaran
sastra pada angkatan ini disampaikan secara lisan yaitu dari mulut ke
mulut selain itu, penulis dari karya sastra tidak diketahui atau disebut
dengan anonim. Karya sastra angkatan Indonesia lama menggunakan
bahasa yang tidak sesuai dengan etika kebahasaan Indonesia. Cerita selalu
diawali dengan dengan kata hubung yang memberitahukan bahwa cerita
tersebut tidak menjelaskan tempat dan waktu. Penggunaan kata hubung
maka biasanya selalu dipakai di awal kalimat.
2. Angkatan Balai Pustaka.
Pada angkatan ini sastra di Indonesia mengalami banyak perubahan
karena balai pustaka turut mengawasi, hal ini sejalan dengan tujuan
didirikannya balai pustaka, yaitu untuk mencegah bacaan cabul dan liar.
Bacaan cabul dan liar yang dimaksud adalah isi dari karya tersebut
menyoroti kehidupan pernyaian dan dianggap memiliki misi politis
(propaganda). Membicarakan angkatan balai pustaka ada tokoh sastrawan
11

yang terkenal di masa ini, yaitu Nur Iskandar Muda. Nur Iskandar Muda
banyak menghasilkan karya sastra pada periode ini.
Karakteristik atau ciri karya pada periode ini, yaitu gaya bahasa
yang digunakan diungkapkan secara peribahasa, menggunakan alur lurus.
Alur lurus atau alur maju adalah rangkaian peristiwa yang diceritakan
berdasarkan urutan waktu (kronologis). Selain itu, cerita yang ditulis
berdasarkan dengan realita kehidupan pada masa itu. Puisi pada masa ini
berbentuk syair dan pantun.
3. Angkatan Pujangga Baru.
Angkatan Pujangga Baru merupakan sebagai reaksi atau bentuk
protes dari kebijakan balai pustaka. Sastra pada masa ini lebih bersifat
nasionalisme dan kebangsaan. Oleh karena itu, para sastrawan angkatan
ini terdiri dari berbagai keanekaragaman yang ingin membentuk sebuah
kebudayaan persatuan kebangsaan Indonesia. Bahasa yang digunakan
adalah melayu modern dan sudah meninggalkan bahasa klise serta
membuat gaya bahasa sendiri sehingga memunculkan tema baru yaitu
berupa masalah yang kompleks tidak lagi seputar adat. Tema emansipasi
wanita dan kehidupan kaum intelek lebih ditonjolkan pada angkatan ini.
4. Angkatan 1945.
Pada angkatan ini keadaan sastra sangat berbeda dengan tahun-
tahun sebelumnya karena sastra angkatan 45 lahir di tengah pergolakan
politik yang kuat dan itu mempengaruhi corak sastra yang berkembang.
Sastra angkatan 45 ini disebut juga sebagai angkatan Chairil Anwar,
karena beliau sangat berpengaruh pada dalam membentuk angkatan 45.
Pada periode diwarnai dengan banyaknya karya-karya puisi atau sajak.
Para pengarang di era ini lebih bersifat bebas atau lebih berekspresi tanpa
harus mengikuti aturan-aturan yang ada. Contohnya pada puisi Chairil
Anwar yang ditulis pada masa ini adalah puisi bebas yang tidak terikat
oleh struktur dari puisi itu sendiri seperti jumlah baris dan suku kata
karena puisi pada masa ini lebih mementingkan isi. Selain itu, pada
angkatan ini pengarang lebih realistis atau dengan apa adanya tanpa
ditambah emosi dan harapan. Dan lebih berpandangan luas.
12

5. Angkatan 1950.
Pada angkatan ini dipengaruhi oleh partai politik dan menganut
sistem parlementer sehingga setiap partai politik memiliki lembaga
kebudayaan sendiri, seperti PKI dengan lembaga kebudayaannya, yaitu
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Lekra ini bersemboyan "seni untuk
rakyat" dan "politik sebagai panglima" yang mengakibatkan terjadinya
perpecahan antara diantara kalangan sastrawan di Indonesia. Kondisi
tersebut berdampak besar pada kesusastraan Indonesia karena berhentinya
perkembangan sastra yang diakhiri dengan tragedi G30S PKI. Karya sastra
yang paling banyak perkembangan adalah cerpen, balada, dan puisi.
Angkatan ini tidak jauh berbeda dengan angkatan 45 bahkan bisa dibilang
bahwa angkatan 50 adalah lanjutan dari angkatan 45 yang membedakan
hanyalah situasi atau latar belakang pada masa itu.
6. Angkatan 1970.
Angkatan ini ditandai dengan perkembangan puisi kontemporer.
Puisi pada angkatan 70 memiliki kekhasan tersendiri, yaitu dari segi
bentuk dan pemakaian kata. Pada awal 70-an muncul puisi yang bercorak
baru, yaitu puisi mantra, puisi mbeling, puisi imajis, dan puisi prosais.
Dalam periode ini pengarang berusaha melakukan sebuah cara untuk
keluar dari batasan yang telah ada, seperti prosa dalam bentuk cerpen dan
pengarang sudah mulai berani membuat cerpen hanya dengan 1-2 kalimat
dengan demikian terlihat seperti sajak. Perkembangan sastra di angkatan
ini sangat bebas untuk diterbitkan dalam berbagai bentuk.
7. Angkatan 2000.
Angkatan ini menghadirkan pembaharuan yang sangat menarik,
yaitu banyak bermunculan pengarang atau penulis wanita dengan
pandangan yang kritis dan luas, seperti Ayu Utami, Dewi Lestari, dan
Djenar Maesa Ayu. Pada masa ini sastra bersifat kontemporer. Semangat
para penulis di angkatan ini sangat terasa, yaitu dengan membahas hal-hal
yang masih dianggap tabu, seperti membahas masalah seks dan
feminisme. Di samping itu, ada beberapa penulis yang mulai mengangkat
tema religi hal itu sebanding dengan banyak kehadiran para pengarang
13

Islam yang berada di dalam lembaga Forum Lingkar Pena (FLP). Pada era
ini penulis sangat bebas untuk mengemukakan segala hal dengan bahasa
yang modern tidak lagi terpaku dengan bahasa baku.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kata “Sastra” dalam Bahasa Indonesia, sebenarnya mengambil istilah dari
bahasa Sansekerta yaitu “shastra”. Kata “sas” memiliki makna instruksi atau
pedoman, dan “tra” berarti alat atau sarana. Sastra merupakan salah satu hasil dari
cipta, rasa dan karsa manusia. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya
seni. Pendapat klasik mengenai fungsi sastra memiliki fungsi menghibur dan
berguna Dengan ungkapan yang berbeda. Ada empat konsep , yaitu: (1) kaidah
sastra; (2) ciri-ciri sastra; (3) wilayah studi sastra; dan (4) wilayah kesusastraan.
Sastra di Indonesia selalu mengalami perubahan pada setiap masanya yang
disebabkan oleh keadaan dan peristiwa yang telah terjadi pada saat itu.
1. Angkatan Sastra Indonesia Lama
2. Angkatan Balai Pustaka.
3. Angkatan Pujangga Baru.
4. Angkatan 1945.
5. Angkatan 1950.
6. Angkatan 1970.
7. Angkatan 2000.
B. Saran
Makalah ini dapat dikembangkan lebih baik lagi dengan referensi yang
memadai, dan semoga makalah dapat bermanfaat bagi pembaca. Dan kami
menharapkan komentar yang membangun agar makalah ini dapat disempurnakan.

14
DAFTAR PUSTAKA.
Prof Dr.Ali Imron Al-ma’aruf, Dr, Farida Nugrahani.2017. PENGKAJIAN
SASTRA teori dan aplikasi. Surakarta: CV.Djiwa Amorto Press.
Efendi agik nur.2020. KRITIK SASTRA pengantar teori,kritik, dan pembelajaran.
Malang: Madza Media.
Suyati suminto. 2021. Konsep dasar teori dan penerapannya pada karya sastra.
Yogyakarta: Gama Media.
Mustadid Ali, dkk. 2021. Filosofi, teori dan kosep bahasa dan sastra Indonesia
sekolah dasar. Yogyakarta: UNY Press.

15

Anda mungkin juga menyukai