c om
A.A. Navis
Sang Sastrawan dengan Julukan ‘Sang Pencemooh’
Gemala
telah lama Ranti, komplikasi
mengidap kepada Wartawan
jantung, Tokoh Indonesia
asma dan mengatakan
diabetes. sastrawanmeninggal
Dua hari sebelum besar ini
dunia, ia masih meminta puterinya itu untuk membalas surat kepada Kongres Budaya
Padang bahwa tidak bisa ikut Kongres di Bali pada Mei nanti. Serta minta dikirimkan surat
balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka.
Sebelum dikebumikan sejumlah tokoh, budayawan, seniman, pejabat, akademis dan
masyarakat umum, melayat ke rumah duka di Jalan Bengkuang Nomor 5, Padang. Di
antaranya Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah A Syafii Maarif, Gubernur Sumbar Zainal
Bakar, mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, dan mantan Gubernur Sumbar Hasan Basri
Durin serta penyair Rusli Marzuki Sariah.
Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini
menjulang dalam sastra Indonesia sejak cerpennya yang fenomenal Robohnya Surau Kami
terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah
cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang
bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya,
orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.
Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya
Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan
dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Ia memang sosok
budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.
Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup
kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi bamyak sastrawan. Ia
seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di
pentas nasional dan internasional. Ia banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya
sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel,
puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga
penulisan otobiografi dan biografi.
Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru
mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan
sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima
antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi luar negeri serta 106 makalah
yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan
dihimpun dalam buku „Yang Berjalan Sepanjang Jalan‟. Novel terbarunya, Saraswati,
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami (1955) adalah
Bianglala (1963), Hujan Panas (1964); Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi,
(1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Dialektika
Minangkabau (editor 1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Hujan Panas dan Kabut
Musim (1990), Cerita Rakyat Sumbar (1994), dan Jodoh (1998).
Ia seorang penulis yang tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja
menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas
kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun
pada saat usianya genap 75 tahun. Cerpenis gaek dari Padang, A.A. Navis pada 17
November lalu genap berusia 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya
sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland
Wereldemroep 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin
(cerpen pemenang majalah Femina 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora dan Ibu.
Ada yang ditulis tahun 1990-an ada yang ditulis tahun 1950-an.
Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran
serius dan santai. ”Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam sebuah
tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan.
Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun,
semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak
pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di
Jakarta, dua tahun lalu.
Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena
menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri
memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? ”Soalnya, senjata saya
hanya menulis,” katanya. Baginya menulis adalah salah satu alat dalam
kehidupannya. ”Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideol ogi saya.
Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis
cerpen,” katanya seperti dikutip Kompas. Minggu, 7 Desember 1997.
Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus
diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca
tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang
penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi
pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang
bodoh.
Ia juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang
sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti
kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis
dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.
Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai
perguruan tinggi orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan orang mengemukakan pikiran.
Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-
anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-
perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis,
jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.
Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang
merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi
pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. “Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang
Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang
Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang
Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu
kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi,” katanya.
3. Ia mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian
dari
sastrapimpinan media cetak
dalam berbagai sekitar
bentuk. Ia 1955,
telah itu telah menghasilkan
menulis sebanyak
22 buku, ditambah lima 65 karya
antologi
bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi luar negeri serta 106 makalah yang
ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri.
4. Ia seorang penulis yang tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja
menulis. Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi
pemikiran serius dan santai. ”Tidak semua gagasan dan ide dapat
diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu
20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan.
Refleksi dari tokoh yang saya tulis dengan diri saya sendiri, beberapa ada kemiripan. Yaitu :
1. Saya suka mengkritik orang lain apa adanya, sama seperti A.A Navis yang suka
ceplas – ceplos dalam berkomentar dan berpendapat.
2. Saya suka berfikir ke depan, sama seperti A.A Navis yaitu seniman yang
pemikirannya perspektif jauh ke depan
3. H. A.A. Navis suka membuat karya tulis seperti cerpen, tetapi saya senang
membaca cerpen
Hal-hal yang dapat saya teladani dengan tokoh yang saya tulis, yaitu :