Anda di halaman 1dari 23

BIODATA

Salah satu berkah dari keterbukaan politik pasca jatuhnya


pemerintahan Soeharto, adalah berkembang-biaknya karya-karya
sastra. Keterbukaan membuat orang berani bereksperimen,
mengembangkan imajinasi, lalu menuangkannya dalam baris-baris
yang indah.

Dari perkembangan karya sastra yang pesat itu lalu muncul berbagai
aliran atau bahkan perkubuan dalam dunia sastra kontemporer
Indonesia. Muncul perdebatan tentang genre-genre sastra tertentu,
yang perdebatan-perdebatan itu makin memperkaya perkembangan
kesusastraan dan terkadang mempertajam perbedaan di kalangan
sastrawan yang telah ada.Bagi Linda Christanty, salah seorang
sastrawan terkemuka Indonesia saat ini, dunia kesusastraan dengan
beragam aliran, perdebatan, dan perkubuan itu menarik dan dapat
menyuarakan masalah-masalah kemanusiaan secara lebih luas,
termasuk yang selama ini ditutup-tutupi oleh mesin-mesin ideologi
kekuasaan maupun stereotip-stereotip dalam masyarakat yang
berkembang akibat interpretasi terhadap agama dan nilai-nilai
tertentu. Hal inilah yang kemudian membuat sastra menjadi suara
dari mereka yang dibungkam. Suara yang harus memastikan bahwa
ketidakadilan bukanlah masa depan dari peradaban manusia.Di masa
sekarang, lanjut Linda, sensor yang masif dan menyeluruh seperti
terjadi pada era orba memang tidak ada lagi, tapi bukan berarti
hilang sama sekali. Dia mengambil contoh dengan menyoroti berita-
berita politik dan kasus-kasus protes rakyat yang tidak selalu dimuat
dengan perspektif yang benar dan adil. Sejumlah media arus utama
misalnya juga cenderung menjadi corong kekuasaan.“Ini dapat
dinilai sebagai sebuah kemunduran dibanding masa-masa
sebelumnya setelah reformasi,” cetusnya.Dalam pengamatan Linda,
kehidupan sastra pasca reformasi cukup berkembang dan menarik,
dengan tema-tema cerita yang juga beragam. Namun sebagian orang
kemudian lebih tertarik membatasi pengamatan dan kesimpulan
mereka terhadap sastra Indonesia pasca reformasi sebagai “sastra
perempuan”, lalu dikaitkan dengan seks dan seksualitas perempuan.
Penulis perempuan dianggap lebih berani membicarakan perihal
tubuh dalam cerita-cerita mereka yang tidak terjadi di masa
sebelumnya.Linda Christanty mengamati, perkembangan yang jauh
lebih menarik sebenarnya justru terjadi dalam dua sampai tiga tahun
terakhir ini. Sejumlah penulis generasi yang lebih muda,
menurutnya, menunjukkan kemampuan berbahasa yang jauh lebih
baik dibanding banyak penulis dari generasi sebelumnya dan mereka
menciptakan karya-karya sastra yang luar biasa dari segi kekuatan
naratifnya. Beberapa karya bahkan dapat dianggap baru dari segi
sudut pandang maupun penceritaan.Ziggy Zezsyazoviennazabrizkie,
misalnya, menulis sebuah novel yang mengisahkan sebuah
kehidupan atau kosmos yang ternyata sebuah tempat pembuangan
sampah akhir. Sabda Armandio Alif, sastrawan segenerasi dengan
Ziggy, menulis cerita detektif gaya baru. Dalam novel Armandio,
interogasi-interogasi panjang yang ganjil diurai dengan lucu, tidak
membosankan, dan membuat orang tertarik membaca novelnya,
sambil berpikir bahwa jangan-jangan proses sekonyol ini mungkin
saja terjadi di kantor-kantor polisi kita. Selain mereka berdua, ada
Faisal Oddang, Mahfud Ikhwan, Dea Anugerah, Felix K. Nesi, dan
beberapa nama lain.“Nama-nama ini membuat kita percaya bahwa
sastra Indonesia hari ini begitu cemerlang, terlebih bila kita
menjadikan karya-karya mereka sebagai rujukan,” ujar Linda yang
dua kali meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA),
melalui buku kumpulan cerita pendeknya Kuda Terbang Maria
Pinto (2004) dan Rahasia Selma (2010).Selain mereka, menurut
Linda, penulis pasca reformasi yang menjadi salah seorang
sastrawan terpenting Indonesia saat ini adalah Azhari Aiyub. Belum
lama ini Azhari menerbitkan Kura-Kura Berjanggut, sebuah novel
tentang situasi Aceh dan Nusantara sekitar abad ke-16 yang luar
biasa, baik ketebalan maupun kualitasnya.Novel ini adalah novel
maritim Nusantara yang dapat disejajarkan dengan novel
maritim Arus Balik yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. Sebagian
kalangan menilai kemampuan Azhari mengolah bahasa, ironi dan
metafora bahkan melampaui Pramoedya“Ada orang-orang yang
menganggap novel Pramoedya adalah sebuah upaya menafsir sejarah
secara kritis melalui fiksi, sedangkan kemampuan Azhari
menyuguhkan cerita dengan detail dan kecanggihannya bercerita
membuat sejumlah orang percaya bahwa semua tokoh ceritanya
adalah tokoh-tokoh sejarah.”

***
Berbincang dengan Linda Christanty terasa sekali kehangatan dan
keramahan dibalut tutur kata bernas yang mengalir deras. Ceria,
penuh tawa, dan sorot mata berbinar. Pengetahuan yang luas dan
prestasi segudang tak membuatnya canggung berbincang dengan
para yunior yang minim pengalaman.Perjalanan kesusasteraan Linda
tidak terlepas dari kebiasaannya membaca buku sejak belia. Tanpa
buku, katanya, dia tidak akan menjadi penulis seperti
sekarang.“Membaca dan menulis adalah dua hal yang saling terkait
erat, mirip sepasang kekasih yang saling setia,” cetus Linda yang
baru saja menggenapi 49 tahun usianya.Lahir di Pulau Bangka 18
Maret 1970, sejak kecil Linda telah menulis puisi, cerpen, dan novel.
Linda menulis novel dengan tulisan tangan dalam beberapa buku
tulis tipis di masa sekolah dasar. Pada secarik kertas kecil pada
sampul muka buku-buku itu ditulisnya keterangan: Novel oleh Linda
Christanty.Kemampuannya mengolah kalimat, menciptakan karakter
atau tokoh cerita dipelajarinya dari buku-buku yang dibacanya. Ini
ditunjang oleh perpustakaan keluarga di rumah yang menyimpan
buku-buku koleksi ibu, ayah, dan kakeknya.Setiap akhir pekan, sang
ayah biasa mengajak keluarganya untuk jalan-jalan ke kota
Pangkalpinang yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari tempat
tinggalnya. Di kota ini mereka selalu mampir di sebuah toko buku
bernama Toko Buku Pemuda. Toko buku itu bagaikan surga bagi
Linda dan adik-adiknya untuk mendapatkan buku-buku terbitan
terbaru yang tak ditemui di kota tempat tinggalnya.“Sebulan sekali
kami boleh memilih sebuah buku untuk dibeli. Saya masih ingat
sejumlah buku yang dibeli orangtua kami di toko tersebut. Astrid
Dibajak karya Djokolelono, Genderang Perang dari Wamena karya
Djokolelono, seri Lima Sekawan yang ditulis Enid Blyton, Delapan
Puluh Hari Mengelilingi Dunia karya Jules Verne versi untuk anak-
anak yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, buku-buku
dongeng Indonesia dan negara-negara lain,” kenang
Linda.Kebiasaan membaca buku sebenarnya ditularkan oleh
kakeknya. Kata Linda, sang kakek adalah seorang kutu buku. Minat
kakeknya adalah politik dan sejarah. Biasanya sang kakek membaca
iklan atau promosi buku di suratkabar dan menitip dibelikan buku
oleh ayahnya.Selain membaca, Linda dan adik-adiknya mempunyai
kebiasaan unik. Mereka senang berkirim surat kepada sejumlah
kedutaan asing di Indonesia, seperti Kedutaan Malaysia, Korea,
Amerika Serikat dan Inggris. Mereka meminta dikirimi buku. Ini
mungkin karena karena buku-buku yang ada di rumahnya sudah
dibaca semua dan jumlah buku yang dibelikan orang tua mereka
setiap bulan tidak berbanding lurus dengan kecepatan membaca
anak-anaknya.Alamat-alamat kedutaan diperoleh dari buku agenda
milik sang ayah, sedangkan sang ibu kebagian tugas mengirimkan
surat-surat itu ke kantor pos.Rupanya kedutaan-kedutaan itu
memiliki persediaan buku gratis untuk dikirim. Linda pun mengingat
Kedutaan Korea, misalnya, mengirim kumpulan cerita dongeng
dalam Bahasa Melayu. “Mereka menerjemahkan cerita-cerita
berbahasa Korea ke dalam Bahasa Melayu,” katanya. Beberapa
cerita di situ yang masih dia ingat, antara lain “Istri Lukisan” dan
“Lebai Malang”. Adapun Kedutaan Amerika tidak mengirim buku-
buku cerita, melainkan Majalah Titian.

Linda memiliki beberapa sahabat pena waktu masih di sekolah


dasar. Ada tiga sahabat pena yang namanya hingga kini masih
diingat: Dian Ambarwati Setyoadi, Evi Setianingsih, dan Aan
Almaidah Anwar. Dian Ambarwati tinggal di Palimanan – Cirebon,
Evi Setianingsih tinggal di Tangerang, dan Aan Almaidah Anwar
(cucu Rosihan Anwar) tinggal di Bali waktu itu. “Kebiasaan
berkorespondensi itu melatih saya berbahasa dengan baik dan
menulis. Ibu mendukung saya menjalin persahabatan dengan orang-
orang di daerah-daerah lain untuk bertukar cerita dan pikiran.“Linda
meninggalkan Pulau Bangka, karena disekolahkan orangtuanya di
Bandung, Jawa Barat. Di kota kembang ini dia menamatkan SMA
dan lalu melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra jurusan Sastra
Indonesia, Universitas Indonesia, di Jakarta.Beranjak dewasa, buku-
buku yang dibacanya lebih beragam dan membuatnya semakin kritis.
Di berbagai kota di berbagai negara yang pernah dia singgahi, Linda
menyempatkan pergi ke toko buku. Salah satu toko buku yang paling
dia sukai adalah Book People. Toko buku ini berada di kota Austin,
Amerika Serikat. Buku-buku berbagai kategori dijual di sana.
Tempatnya luas dan nyaman. “Saya selalu merindukan untuk
kembali ke sana,” tuturnya.Linda juga menyukai buku-buku Colm
Toibin, seorang penulis Irlandia. Sebuah bukunya, The Sign of the
Cross: Travels in Catholic Europe, bukan sekadar catatan dari
perjalanan-perjalanan ziarah yang biasa, melainkan membukakan
mata kita tentang sebab-sebab perang di Balkan. Salah satu bagian
dari buku ini mengungkapkan bahwa praktik ketidakadilan yang
dilakukan penguasa telah memicu perang atau konflik antar-
golongan, ras, dan agama. Di lain pihak, kaum agamawan atau
rohaniawan, dalam konteks buku ini adalah gereja, yang
memengaruhi pemerintahan telah ikut memiliki andil dalam
terjadinya perang di sebuah negeri.Di Indonesia sendiri, konflik
antar-pemeluk agama di Maluku dan Maluku Utara telah dipicu oleh
persaingan politik, masalah pertambangan dan perbatasan, dan
persoalan sehari-hari dalam masyarakat yang tidak cepat ditindak
secara hukum dengan cepat, benar, dan adil.“Saya mengetahui hal
ini berdasarkan pengalaman meliput dan mewawancarai orang-orang
di sana. Selain itu, media sering terlibat dalam memprovokasi
masalah menjadi lebih luas dan makin panas. Sebab pemilik media
ternyata memihak kepada kelompok tertentu ataupun turut berpolitik
untuk kepentingan bisnisnya. Tidak hanya di Indonesia hal seperti
ini terjadi. Di negara-negara lain juga terjadi.”Linda juga menyukai
catatan perjalanan ataupun otobiografi yang ditulis Walter Benjamin,
Jose Saramago, dan Gabriel Garcia Marquez. Cerita-cerita hidup
mereka membuat kita menyimak bagaimana dan mengapa orang-
orang ini dapat menjadi tokoh pemikiran dan sastra yang penting di
abad ke-20.Dari dunia jurnalisme, Linda menyukai reportase
Charlotta Gall tentang Afghanistan, The Wrong Enemy, dengan
pembandingnya reportase Sebastian Junger yang juga tentang
Afghanistan, berjudul War, dan Little America: The War Within the
War for Afghanistan yang ditulis Rajiv Candrasekaran.“Saya juga
menyukai esai dan reportase yang ditulis wartawan Inggris Robert
Fisk. Dia menulis tanpa bias, tentang negara-negara Timur Tengah
dan Asia Tengah.”Adapun penulis-penulis Indonesia yang karya-
karyanya dia kagumi adalah Mohammad Diponegoro, Pramoedya
Ananta Toer, Mochtar Lubis, Nasjah Djamin, Sapardi Djoko
Damono, Marianne Katoppo, NH. Dini, dan Budi Darma.

***

Menyerap bahasa dan berlatih menggunakan bahasa sejak dini


merupakan proses panjang yang menyiapkan dirinya menjadi penulis
handal dengan segudang prestasi. Terbukti, Linda berhasil menjadi
salah seorang peraih Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas pada
1989 dalam usia yang cukup belia: 19 tahun.Dia menjadi satu-
satunya pemenang termuda dalam lomba yang diadakan sebagai
rangkaian perayaan hari ulang tahun ke-25 harian Kompas dan
terbuka untuk umum. Karya Linda berhasil menyisihkan lebih dari
7.000 cerpen lain yang dibaca para juri. Selain Linda, pemenang
lainnya adalah Putu Wijaya, Satyagraha Hoerip, dan Bre Redana,
penulis-penulis yang jauh lebih senior.“Perasaan saya cukup senang
dan berpikir kira-kira apa ya yang bisa saya beli dari uang hadiah
waktu itu. Ha ha ha….” cetusnya.Dan yang tak disangka, ternyata
salah seorang jurinya adalah Sapardi Djoko Damono, seorang
profesor sastra di Universitas Indonesia, yang juga dosennya sendiri.
Nama-nama penulis pada cerpen-cerpen yang ikut lomba tersebut
dihapus dan diganti dengan angka-angka. Ketika karya-karya
pemenang sudah diketahui, nama-nama di balik angka itu dibuka.
Profesor Sapardi pun cukup kaget waktu dia mengetahui bahwa
salah seorang pemenang adalah mahasiswa fakultas sastra di
kampusnya.Setelah memperoleh penghargaan cerpen itu, Linda
makin rajin menulis. Dia mulai mengirim karya-karyanya ke
berbagai surat kabar. Memang tidak semua cerpen yang dikirim
memperoleh kesempatan dimuat. Banyak juga yang ditolak dan
dikembalikan. Tapi itu tak membuatnya patah arang.Tema cerpen
Linda cukup beragam. Cerpen pertamanya tentang lesbianisme
dimuat surat kabar Suara Karya pada 1993. Judulnya “Suatu Pagi”.
Sepasang kekasih sesama jenis mengadopsi seorang anak
perempuan. Linda mengisahkan keseharian mereka dan tantangan
hidup yang dihadapi pasangan ini. Pemuatannya tidak berjauhan
dengan cerpen berikutnya yang berjudul “Rumput Liar” di surat
kabar Media Indonesia, yang mengisahkan kehidupan sebuah
keluarga dengan salah seorang anak menjadi aktivis yang melawan
pemerintah.Cerpen Linda yang bernuansa politik yakni,
“Pengkhianatan”, dimuat Media Indonesia pada 1997. Tentang dua
bersaudara yang berseberangan pendapat dalam politik. Salah
seorang dari mereka bekerja untuk lembaga intelijen negara. Cerpen
terakhir Linda di masa Soeharto dimuat Media Indonesia pada 1998.
Sebuah kisah cinta, “Katya”.Saat masih aktif di Partai Rakyat
Demokratik (PRD) Linda tidak menulis cerpen-cerpen tentang
pengorganisasian buruh. Alasannya, hal itu merupakan pekerjaan
organisasi yang sifatnya tertutup. “Tapi saya tetap menulis beberapa
cerpen dengan tema politik di masa itu dan mengirim cerpen-cerpen
tersebut ke surat kabar.”Pada 1995, misalnya, Linda menulis cerpen
tentang Timor Timur, mengisahkan kehidupan seorang pejuang
perempuan, anggota pasukan bersenjata Falintil. Cerpen dikirim
ke Kompas, tapi tidak dimuat oleh redaksi Kompas.Kemudian Linda
mengirim “Ketika Melihat Langit” juga ke Kompas. Cerpen itu
bertutur tentang seorang laki-laki, santri di sebuah pesantren, yang
dituduh melawan pemerintah yang berkuasa. Dia ditangkap sejumlah
orang tak dikenal. Lagi-lagi cerpen itu tak dimuat.Kini, Linda tetap
teguh pada jalurnya. Sebagai sastrawan idealis dengan ratusan
karyanya yang luar biasa, Linda tak tertarik untuk menjadi politikus
atau anggota parlemen atau berkecimpung di dunia pemerintahan.
Tak sedikit kawan-kawannya dulu yang berperan dalam
pemerintahan sekarang. Ada yang menjadi menteri. Ada yang
menjadi legislator. Ada yang menjadi komisaris di perusahaan
negara. Namun ada pula yang masih berjuang sampai hari ini
bersama masyarakat dan mengalami kekecewaan-kekecewaan akibat
kebijakan pemerintah. Ada juga yang tidak lagi kritis dan tidak
menjabat apa pun, tapi sangat memuja pemerintah. Ada yang takut
bersuara kritis. Ada pula yang tidak peduli lagi terhadap
politik.Menurut Linda, untuk menata negeri ini, kita membutuhkan
orang yang cerdas, cerdik dan bijak, yang mengerti benar perannya
dalam sebuah negeri yang besar dan dihuni beragam suku yang
menganut kepercayaan dan adat yang berbeda-beda.Generasi
sekarang sebetulnya lebih diuntungkan dengan kemajuan teknologi.
Untuk mencari informasi, termasuk untuk mengirim tulisan ke
penerbit, bisa lewat surat elektronik. Teknologi itu memudahkan,
tapi ketika teknologi justru memudahkan, orang juga tidak selalu
memanfaatkannya untuk hal-hal yang berguna dan tujuan-tujuan
yang mulia.Meski demikian Linda beranggapan sesungguhnya
masalah yang dihadapi anak zaman sekarang tidak kalah berat
dibandingkan apa yang dia alami di masa Soeharto dulu. Bahkan,
katanya, mungkin jauh lebih berat. “Karena sekarang ini ruang untuk
berpikir kritis itu yang coba dihilangkan secara sistematis. Melalui
teknologi digital yang efektif dampaknya bisa berlipat ganda, masif,
meluas dan tanpa batas. Sebagian besar media di Indonesia maupun
dunia tetap saja dikendalikan pemain-pemain di dunia bisnis dan
politik, sedangkan banyak orang memercayai begitu saja semua
berita dan cerita yang mereka baca atau dengar. Di internet misalnya
kita kadang-kadang menemukan situs pengoreksi berita atau cerita
yang entah dibuat oleh entah siapa. Situs itu juga dikelola pihak
tertentu dengan motif tertentu. Tidak ada jaminan dapat dipercaya.
Akses untuk memverifikasi itu sukar didapat.”

Karena itulah perlunya budaya literasi digalakkan. Dengan banyak


membaca buku-buku berkualitas, anak-anak milenial akan terbiasa
menyaring informasi yang baik dan benar. Itu pula yang harus
dilakukan oleh penulis pemula.“Menulis itu tidak pernah terpisah
dari membaca buku-buku yang bermutu dan memperkaya
pengalaman hidup, juga membiasakan diri berpikir kritis. Itu hanya
saran,” pungkas Linda tanpa mau menggurui.#

Riwayat Hidup
Nama : Linda Christanty

Lahir : Bangka, 18 Maret 1970

Pendidikan: Sarjana 1, Fakultas Sastra jurusan Sastra Indonesia, UI


Bibliografi

1. Kuda Terbang Maria Pinto (Kumpulan cerpen,


2004)
2. Dari Jawa Menuju Atjeh (Kumpulan esai, 2008)
3. Rahasia Selma (Kumpulan cerpen, 2010)
4. Jangan Tulis Kami Teroris (Kumpulan esai, 2011)
5. Seekor Anjing Mati di Bala Murghab (Kumpulan
cerpen, 2013)
6. Seekor Burung Kecil Biru di Naha (Kumpulan esai,
2015)
7. Para Raja dan Revolusi (Kumpulan esai, 2016)

Penghargaan
1. Daun-Daun Kering (1989), cerpen terbaik Harian
Kompas 1989.
2. Militerisme dan Kekerasan di Timor Timur (1998),
esai terbaik HAM.
3. Kuda Terbang Maria Pinto, kumpulan cerpen
terbaik Khatulistiwa Literary Award 2004.
4. Rahasia Selma, kumpulan cerpen terbaik
Khatulistiwa Literary Award 2010.
5. Dari Jawa Menuju Atjeh, Penghargaan Prosa dari
Pusat Bahasa-Kementerian Pendidikan Nasional,
2010
6. Women and Media Award 2010, Radio Komunitas
Suara Perempuan, Aceh.
7. Seekor Anjing Mati di Bala Murghab, Penghargaan
Prosa dari Pusat Bahasa-Kementerian Pendidikan
Nasional, 2013
8. Penghargaan Sastra Asia Tenggara (SEA Write
Award, 2013) dari Kerajaan Thailand.
9. Kartini Award 2014

Perpisahan
HANS, tiap kali kita berdiri di tepi sungai itu, kamu
selalu mengatakan hal yang sama, seraya menunjuk
permukaan sungai yang kehijauan dan
memantulkan bayangan kita: mereka menemukan
tubuh Rosa*) di sini. Alirannya membelah kotamu,
mengalir sampai ke Berlin, kota terakhir yang kamu
bayangkan sebagai tempat memulai kehidupan baru
setelah letih mengelana dan menjauhinya berulang
kali.

Tiga hari setelah ibumu meninggal, kamu,


kembaranmu Fabian dan ayahmu pergi ke Sungai
Spree dan mengenang masa silam yang kini bagai
mimpi. Sejak itu kamu ingin lebih dekat dengan
mereka. Kamu akan mengunjungi ayahmu sebulan
sekali setidaknya jika menetap dan bekerja di Berlin.

Kita sekarang berdiri dan menatap sungai yang


sama, di bagian tubuhnya yang lain.

”Hampir tiga belas tahun saya meninggalkan rumah


orangtua saya. Setelah Ibu tidak ada, keinginan saya
untuk menengok rumah jadi lebih kuat. Kamar saya
juga masih ada,” katamu memandang ke seberang
sungai.
Sudah dua kali kita bertemu di kota ini. Setelah
seminar tentang negara-negara berkembang dan
masalah-masalah yang tidak pernah selesai, kita
bergegas mencari tempat untuk minum kopi dan
menghirup udara luar. Bedanya, ibumu sudah tidak
ada.

Namun, ibumu tidak pergi seperti Rosa. Ia


meninggal dalam kamar yang tenang ketika kamu
tengah mengemudi dengan kecepatan tinggi untuk
menemuinya terakhir kali.
Empat hari sebelum itu, ia minta dipindahkan ke
sebuah rumah tempat orang-orang menunggu
kematian. Ia ingin menyongsong mautnya sendiri.

Seperti apa ibumu waktu hidup, aku ingin tahu,


menyesal tidak sempat bertemu dan mulai hanyut
dalam kenangan kematian itu.

”Ibu saya seorang guru, kepala sekolah yang baik


dan serius bekerja, sangat memperhatikan anak-
anaknya, sedikit tidak sabar, dan kadang-kadang
khawatir,” katamu.

Kamu menatapku, tapi sebenarnya tidak sungguh-


sungguh. Kamu melihat seseorang yang tidak ada.

”Ibu saya meninggal dengan berani.” Kali ini kamu


berseru sambil mengamati permukaan sungai yang
mulai bergetar. Bayangan hijau kita masih di situ.

Tidak ada yang ganjil dan keliru dalam pilihan


ibumu. Sebagian tubuh yang sekarat sama seperti
dia. Mereka sengaja menjauh dari siapa pun yang
mengenalnya, yang pernah mesra. Mereka sengaja
mencipta jarak yang kelak akan terus memanjang
ketika perpisahan itu benar-benar datang.

Ibumu ingin kalian terbiasa dengan


ketidakhadirannya atau ia memang ingin melepas
semua ikatan dengan kehidupan lebih dini, seperti
menuang ikan-ikan kecil di akuarium ke dalam
sungai ini dengan kesadaran untuk tidak mencari
mereka lagi dan memang mustahil. Ia bahkan
berkata pada ayahmu untuk mencari seseorang yang
lain sebagai penggantinya. Ia juga sudah melepas
ikatan mereka yang membuat kamu dan Fabian ada.

Kamu masih ingat suatu hari bersama ibumu. Musim


panas terakhir. Fabian belum kembali dari Frankfurt
karena ia harus menunggu pembukaan pameran
lukisannya. Ayahmu di lantai bawah. Dari jendela
apartemen, puncak-puncak gedung dan langit
bersih terlihat jelas dan seolah lebih nyata dari hari-
hari sebelumnya karena baru sekarang perhatianmu
benar-benar tercurah pada pemandangan di luar
sana, ketika tidak banyak yang menyita pikiran
kecuali sosok kurus yang terbaring sakit di ranjang.

Ibumu tiba-tiba berkata, lirih, ”Hidup saya begitu


indah.”

Kamu tertegun. Tidak percaya Ibumu mengucap


kalimat itu, kata-kata yang sangat dalam maknanya
dan menghapus seketika sedih yang muncul dari
rasa tidak berdaya sekaligus kegagalan untuk
berbuat lebih baik dan lebih sering terhadapnya
sejak dulu.

Setelah itu, ia tidak berkata sepatah kata pun selama


hampir tiga jam. Kamu memijat lembut kaki-
kakinya. Kamu belum siap berpisah.

Ketika suara ibumu benar-benar hilang karena sakit


yang makin parah, percakapan kalian bertukar
dengan sentuhan, sama seperti saat kamu lahir
dulu, saat terdorong keluar dari rahimnya yang
hangat. Kamu mencari-cari tubuhnya dan sentuhan
ibumu adalah rasa aman dan tenang. Kamu ibarat
ulat mungil dalam sebuah kepompong, sebelum
menjadi kupu-kupu dan terbang.

”Saya sudah pergi ke mana-mana, kadang


meninggalkan negara ini dan sekarang saatnya
tinggal. Tapi sebenarnya negara yang mana ya?
Negara saya sudah tidak ada,” tuturmu seraya
tertawa.

Usiamu 10 tahun saat tembok itu hancur. Orang-


orang di timur bebas pergi ke barat, lalu kata
”timur” dan ”barat” itu benar-benar lenyap.

Kesenyapan dalam kamar ibumu masih terasa dalam


hati, di satu bagian yang selalu kosong setelah ia
pergi. Kesenyapan itu pernah menjelma luka yang
dalam dan kini bekasnya tetap ada.

”Selalu di sana.” Kamu meraih tanganku dan


menggenggamnya erat. Barangkali orang-orang
yang lewat menyangka kita pasangan kekasih.

Di kamar ibumu, benakmu dipenuhi kenangan dari


masa kanak-kanak, masa yang sudah lama berlalu
serta paling berarti dari semua kenangan, dan inilah
yang ganjil dari bagian yang seharusnya sayup itu:
semua kesedihan dan kebahagiaan berasal dari
sana, ada di masa kini dan terbawa ke masa depan.
Suatu hari kamu, Fabian, dan orangtuamu tamasya
ke pantai. Angin bertiup dari Laut Baltik. Kamu
berlari-lari di pasir. Ibumu berdiri di pinggir pantai,
memandang kejauhan. Kamu merasakan butir-butir
pasir yang hangat, melihat ombak putih bergulung-
gulung. Tiba-tiba ibumu menoleh ke arahmu,
melambai seraya tersenyum.

”Musim panas seharusnya lebih panjang.” Suaramu


terdengar jauh dan kelam.

Kutatap matamu yang coklat dan ingin mengatakan


sesuatu, lalu menganggapnya tidak lagi perlu.
Mungkin nanti saja, saat kita punya waktu lebih
panjang atau saat kamu sudah siap. Tapi
kelihatannya waktu kita pendek, tidak pernah
terulang. Apa ya nama perasaan semacam ini?
Rasanya seperti sesak dan aku memang mengidap
asma. Kamu tersenyum, lalu menatapku sungguh-
sungguh, ”Mungkin itu namanya kesedihan.” Setelah
itu, kamu melihat ke sungai dan berkata lagi, datar
dan pelan, ”Saya tidak tahu. Mungkin juga bukan
kesedihan. Hanya kamu yang tahu.” Kita sama-sama
menghela napas.

Ayahmu juga terlambat sampai di rumah itu.


Perawat mengabarkan bahwa kematian datang lima
menit yang lalu dan Ibumu telah pergi bersamanya.
Suntikan morfin membuat rasa sakit sama sekali
tidak mengganggu prosesi itu, perawat meyakinkan
ayahmu yang pucat dan sedih. Ayahmu lantas
menghibur diri lebih keras bahwa inilah cara pergi
yang diinginkan istrinya.

”Ayah sudah punya seseorang sekarang, yang dia


sedikit cinta. Saya senang dia kembali hidup”. Kamu
terdengar merestui hubungan mereka.

Udara dingin. Apakah kita akan makan siang di


restoran yang sama? Seperti tahun lalu?
”Kita makan di restoran yang sama saja, ya.
Pelayannya mungkin masih ingat kita.”

Aku benar-benar letih. Kita melangkah bersisian,


meninggalkan tepi sungai. Pohon-pohon menaungi
kita. Daun-daun berguguran di trotoar. Kamu sudah
memiliki seseorang.

Semalam kamu mimpi aneh.

”Dalam mimpi itu saya berbaring dan ketika saya


membuka mata saya, saya melihat Ibu saya
berbaring di arah yang berlawanan. Saya lalu
bertanya kepadanya, bukankah Ibu sudah
meninggal. Ibu saya bilang, dia belum meninggal,
tapi hanya koma. Waktu itu saya panik sekali,
waduh, bagaimana ini Ibu saya kok hidup lagi
padahal Ayah saya sudah dengan seseorang.” Kamu
menghela napas.

”Mungkin saya belum sepenuhnya bisa menerima


orang lain yang menggantikan Ibu saya dalam hidup
Ayah.”
Tiba-tiba kamu berhenti melangkah, ”Tolong kamu
pikirkan ini baik-baik. Jangan hidup sendirian. Siapa
pacarmu sekarang?”

Aku merengkuh pundakmu, mengajakmu terus


melangkah, tiada berkata-kata. Kamu tertawa.
Rasanya enak berjalan seperti ini.

”Sudah lama, ya, kita tidak berjalan seperti ini.”


Kamu memelukku.

Atau kukatakan saja sekarang?

Tapi aku malah bercerita tentang kematian Ayahku.


Setelah dia meninggal, aku pulang ke rumah
sebentar untuk menengok ibuku.

Di kamar orangtuaku, ada satu lemari besar khusus


untuk menyimpan barang-barang ayah agar tidak
berdesakan dengan milik ibu di lemari yang lain.
Aku membukanya, melihat pakaianpakaian Ayah
tergantung dan terlipat rapi. Waktu kubuka salah
satu laci, kutemukan baju baletku waktu berusia
tujuh tahun, sepatu baletku yang tali-talinya telah
kumal, kacamata-kacamataku waktu di sekolah
dasar, jepit-jepit rambut dengan hiasan beruang
kecil.

”Barangkali Ayahmu merindukan kamu yang tidak


pernah pulang dan benda-benda itu menghiburnya,”
katamu pelan.

Udara benar-benar dingin. Patung beruang di muka


satu galeri itu tampak begitu tua.

Hans, kita tidak akan bertemu lagi tahun depan atau


bahkan sebelum tahun itu tiba. Setelah
meninggalkan Berlin, aku akan menulis surat
terakhir untukmu: tentang sel-sel penyakit yang
berkembang dan menjalar dalam kesenyapan, dan
hari-hari yang tidak akan kita miliki lagi di mana
pun.***

*) Rosa Luxemburg, seorang tokoh sosialis Jerman.


Dia meninggal ditembak pada 1919, mayatnya
dibuang ke sungai.

Anda mungkin juga menyukai