Anda di halaman 1dari 9

Tentang Buku, Membaca, dan

Menulis

B uku, Cinta, dan Pesta adalah tiga kata populer di


kalangan mahasiswa Fakultas Sastra UI dekade
1960an. Tema ini sekaligus mengingatkan watak kosmo-
politan kelas menengah golongan mahasiswa terdidik di
Indonesia yang merupakan segelintir elite dalam masya-
rakat yang sebagian besar masih tinggal di desa-desa per-
tanian agraris pada saat itu. Ong memiliki ketiga kata itu
semuanya sampai akhir hidupnya.
Saya tidak ingin menulis tentang cinta dan pesta.
Sudah cukup banyak tulisan –dan pasti lebih baik—ten-
tang itu. Dalam kesempatan ini, saya lebih ingin mem-
bahas tentang buku dan kaitannya dengan kegiatan tak
kalah penting dalam kehidupan Ong: membaca dan me-
nulis. Kedua kata kerja itu ibarat dua mata koin yang sa-
ling melengkapi sosok Ong sebagai seorang sejarawan,
tidak kalah menarik dengan cinta dan pesta.

r
31
sang guru dan secangkir kopi

Buku dan perpustakaan—dua hal ini lekat dengan Ong.


Di samping rumahnya yang indah, pemikiran yang ori-
sinil, buku dan perpustakaan adalah kebanggaan pribadi
Ong. Perpustakaan pribadi menjadi tempat menjamu
tamu sambil menunjukkan koleksi-koleksi menarik yang
ada di dalamnya. Atau terkadang sambil duduk santai
tamu-tamunya mengagumi isi perpustakaannya. Tetapi
Ong tidak akan santai apabila yang datang adalah maha-
siswa. Matanya memandang tajam dan menyelidik.
Saya tidak tahu persis berapa banyak jumlah buku
dalam perpustakaan Ong. Sejarah, sastra, dan sedikit ten-
tang ilmu-ilmu sosial memenuhi rak. Beberapa tercecer
dan tak terawat. Tetesan air hujan membuatnya mengu-
ning, terkelupas kulitnya dan saling lengket di antara be-
berapa halaman. Sebagian bahkan menjadi tempat rayap
berkembang biak. Semua dibiarkan seperti itu. “Saya
tidak suka dengan lemari buku yang tertutup kaca,” kata
Ong. “Itu semua seperti memenjarakan buku. Saya lebih
suka membiarkannya begitu... bergerak bebas.”
“Mengurus buku lebih mudah dibanding anak dan
istri,” canda Ong suatu hari. “Tidak rewel dan mudah di-
pindahkan.” Saat itu kami berdua tertawa. Tapi sebuah
bayangan menyusup dalam pikiran: bagaimana perasaan
Ong andaikata buku kesayangannya hilang atau rusak?
Apakah kita menangis seperti menangisi kehilangan
orang-orang tercinta dalam hidup kita?
Koleksi perpustakaan Ong unik. Berbeda dengan
pustaka-pustaka pribadi “biasa” yang saya temui dari
beberapa orang yang saya kenal. Bisa jadi mereka
memiliki koleksi dengan judul dan tema yang luas. Tetapi
tidak ada hiburan dalam pustaka itu. Pustaka Ong mem-
berikan hiburan tersendiri. Buku-buku yang aneh kulit-
nya, khususnya buku-buku tua dari abad ke-18 dan ke-19

32
buku, membaca, menulis

Perpustakaan Onghokham. “Saya tidak suka dengan lemari buku


yang tertutup kaca,” kata Ong. “Itu seperti memenjarakan buku.”

yang menjadi koleksi kesayangan karena nilai historis dan


keindahan gambar dan ilustrasi dalam buku yang dibuat
melalui lukisan tangan yang berbeda setiap edisi cetakan-
nya. Untuk merasakan keindahan, coba saja bayangkan
kita memegang sebuah buku. Satu dibeli dari toko buku
(atau pesan lewat internet), dan satu lagi sebuah buku
cetakan abad ke-18 yang kita temukan di lorong sempit
toko buku bekas.

r
Buku memang bagian tak terpisahkan dalam hidup Ong
sebagai seorang sarjana yang selalu haus pengetahuan.
Tetapi mengumpulkan buku adalah kecintaan lain, se-
buah hasrat tak henti akan keindahan dan minat pribadi,
bukan cuma sebuah upaya mengisi pengetahuan. Kulit
buku yang menarik terkadang menjadi alasan untuk mem-
beli dan menyimpannya di perpustakaan. Dan menda-
patkan buku langka, karena umur yang tua atau edisi yang
langka, ibarat kemenangan seorang pemburu yang me-

33
sang guru dan secangkir kopi

manggul hasil buruannya. Dan buku disimpan sebagai


kenangan atas hasil perburuan.
Ong pernah menuturkan bahwa ketika masih muda,
ia pernah bertemu dengan seorang Tionghoa terpandang
yang memiliki koleksi buku-buku menawan. Ia menda-
patkan beberapa koleksi buku langka dari kepustakaan
orang tersebut. Ong tidak menyebutkan siapa yang dimak-
sudnya. Begitu juga dalam perjalanan di sekitar Madiun
sewaktu masih menjadi mahasiswa sejarah FSUI, Ong
bertemu dengan keluarga priyayi bekas pejabat tinggi
zaman kolonial yang memiliki koleksi buku-buku me-
narik berbahasa Belanda. Tidak jelas apakah Ong men-
dapatkan beberapa koleksi dari pertemuan itu untuk
dibawanya pulang.
Koleksi lainnya adalah kiriman dari teman-teman di
luar negeri seperti Dan Lev dan Benedict Anderson, yang
bukunya tentang nasionalisme menjadi bacaan di berba-
gai universitas di dunia. Dalam korespondensi mereka,
selain meminta dukungan finansial, Ong sering meminta
judul-judul buku terbaru yang sudah terbit di Amerika
Serikat atau Eropa. Ketika Ong semakin tua dan menjadi
sejarawan terkenal, orang-orang yang datang, sahabat dari
dalam dan luar negeri, sering menghadiahinya buku-buku
terbitan terbaru tentang Indonesia atau tentang topik yang
tengah berkembang, selain sudah tentu membawakan
whisky, keju dan coklat yang digemarinya. Tidak heran
apabila koleksi perpustakaan Ong begitu luas dengan
buku-buku dengan catatan pengantar dari orang-orang
yang memberikannya.
Tetapi Ong juga seorang pemburu buku. Ia suka
menjelajahi kios-kios penjual buku tua di Jakarta. Cerita-
cerita Ong tentang perburuan buku mengingatkan saya
terhadap filsuf Walter Benjamin yang juga pencinta buku

34
buku, membaca, menulis

sejati. Salah satu esainya, “Unpacking My Library,” me-


nyinggung soal buku dan artinya bagi kolektor. Kolektor
sejati menyimpan buku bukan sekadar “buku”. Buku ada-
lah hasil perburuan. Dan dari hasil perburuan ada kelahir-
an kembali. Kolektor sejati bisa diibaratkan kanak-kanak
yang menyimpan benda-benda koleksi mereka. Meman-
dangnya, menatanya, menyentuh dan menimangnya
seperti sebuah kelahiran kembali, sebuah mode of existence
tentang diri pribadi di dunia ini. Dan begitulah. Buku
memberi hidup, dan menata tumpukan buku seperti me-
nata semua kenangan tentang tempat yang pernah di-
kunjungi, tentang orang yang pernah ditemui, tentang
suasana ketika buku hadir di rak pustaka kolektor, atau
buku yang menumpuk di atas loteng dan membangkitkan
kenangan indah dengan seseorang di masa lalu.
Sebagai pengunjung kita sering dibuat terheran-heran
oleh koleksi pustaka Ong yang begitu luas. Dan benar
seperti dikatakan Benjamin, koleksi perpustakaan Ong
adalah perburuan sepanjang hidupnya. Setiap hari ba-
rangkali Ong mendapatkan kelahiran kembali dengan
buku-buku yang ada dalam koleksinya. Saya memban-
dingkan koleksi pustaka pribadi milik saya dan Ong. Jauh
sekali jaraknya dan juga riwayat perburuannya. Koleksi
Ong adalah hasil perburuan panjang. Sedangkan sebagian
besar buku yang saya simpan masih bisa dicari di toko
buku manapun di Indonesia atau hasil titipan teman yang
berkunjung ke luar negeri. Perburuan yang saya lakukan
pun masih pendek jarak waktunya. Koleksi tertua yang
saya punya adalah Thomas Carlyle tentang sejarah Revo-
lusi Perancis, edisi akhir abad ke-19 yang saya dapatkan
ketika berjalan-jalan di sekitar toko buku bekas di Lon-
don. Memang benar. Terasa berbeda ketika menyentuh,
mencium aroma kertas tua dan pelan-pelan membolak-

35
sang guru dan secangkir kopi

balik halamannya. Bukan cuma dibaca, tetapi merasakan


aliran kekaguman dalam diri di setiap halaman dan
barisan kata-kata yang tercetak di atas kertas.
Perpustakaan Ong membangkitkan mimpi. Mimpi
terhadap masa lalu yang tak terbatas ketika membaca
kata-kata tercetak dengan huruf gothik di atas lembar
tebal yang menguning. Dan juga mimpi tentang perbu-
ruan tak terbatas atas setiap riwayat buku yang dikum-
pulkan dengan susah payah. Mungkin kecintaan Ong
terhadap buku bisa dibandingkan kecintaan Duke of
Windsor atau lebih dikenal sebagai Raja Edward VIII dari
Inggris yang meninggalkan tahta demi perempuan yang
dicintainya. Raja ini terkenal akan kesukaan mengumpul-
kan buku sejak masa kanak-kanak sampai ia meninggal
pada 1972. Ketika pustakanya dilelang oleh pengusaha
kaya Mohamad Al-Fayed (ayah Dodi Al-Fayed kekasih
putri Diana yang turut meninggal dalam kecelakaan tragis
di terowongan Perancis) yang membeli mansion Bois de
Boulogne Prancis dan termasuk koleksi di dalamnya, ter-
dapat buku John F. Kennedy Profiles of Courage dengan
tulisan tangan pengarang “untuk Duke dan Duchess
Windsor dengan penuh rasa hormat.” Bagi para biblio-
phile, Raja Edward adalah contoh seorang pencinta buku
sejati. Boleh saja ia meninggalkan tahta kerajaan untuk
perempuan yang dicintainya. Tetapi ia tidak meninggal-
kan perpustakaan pribadi miliknya yang diwariskan ke-
pada perempuan Amerika yang menjadi kekasih seumur
hidup, Wallis Warfield Simpson.

r
Erat dengan buku adalah membaca dan menulis. Sering-
kali orang bertanya apakah kita membaca semua buku

36
buku, membaca, menulis

yang ada dalam pustaka pribadi? Sebuah pertanyaan yang


memang tidak perlu dijawab. Menyimpan dan membaca
buku adalah dua hal yang berbeda. Masing-masing de-
ngan kesenangan tersendiri. Dengan membaca kita berke-
nalan dengan sebuah pengetahuan baru. Tetapi terkadang
membaca memberi kesenangan atas kegiatan membaca
itu sendiri, di luar pengetahuan yang didapat darinya.
Saya dan Ong setuju dengan ini. Tetapi ada tekanan ke-
tika kita membaca untuk mengembangkan pemikiran.
Dan ini menjelaskan mengapa banyak orang membaca
tapi pikirannya tetap tidak kreatif. Sekadar “juru kutip”
menurut istilah Ong.
Membaca itu berdialog dengan buku. Pikiran kita
bergerak, dan buku pun menjadi hidup. Ibaratnya kita
mempertanyakan banyak hal dalam setiap baris kalimat,
paragraf, dan bab sebuah buku. “Lakukan dialog dengan
buku. Buku itu teman dialog buat kita,” demikian saran
Ong mengenai “cara” membaca. Dan nampaknya benar.
Membaca adalah sebuah praktik dialogis. Kita tetap awas,
mengajukan banyak pertanyaan, menentang setiap kali-
mat, dan merenung arti sebuah paragraf. Dan buku tidak
pernah mengajukan protes ketika kita melemparnya di
samping tempat tidur setelah bosan dan mengantuk.
Dialog dengan buku membawa kita untuk terus
menghasilkan pikiran baru dan pengalaman baru setiap
membaca sebuah buku yang sama dalam kesempatan
yang berbeda. Saran seperti ini nampaknya layak di-
tanamkan bagi anak-anak di sekolah dasar yang mulai
mengenal buku untuk dibaca.
Ada kebiasaan Ong yang mempengaruhi saya dalam
membaca. Ong biasa membaca sebelum tidur. Dan untuk
memudahkannya pasca stroke, Ong meminta pembantu-
nya mengambilkan beberapa buku, disusun di atas ran-

37
sang guru dan secangkir kopi

jang, tergeletak tepat di sampingnya. Ini sebuah kegiatan


menyenangkan dan menjadi salah satu kebiasaan yang
saya lakukan juga sekarang ini. Sepertinya ada teman
yang siap mendampingi setiap saat sebelum lelap tidur.
Tentu saja saran ini tidak berlaku umum.

r
Dan menulis. Ong juga seorang penulis produktif. Sejak
muda ia sudah terbiasa menulis, sebagai koresponden, se-
bagai asisten peneliti, dan juga sebagai komentator atas
apa yang terjadi dalam masyarakat. Dan kegiatan menulis
tidak berhenti meski serangan stroke melumpuhkan ta-
ngan kanannya. Menyaksikan Ong duduk di depan kom-
puter dan mengetik dengan satu tangan yang dapat di-
gunakannya, sampai kemudian waktu beristirahat kadang
memberikan kesenangan tersendiri bagi saya.
Sewaktu saya belajar di Nottingham, seorang
profesor mengingatkan tentang kegiatan menulis. “Ja-
ngan pernah menunggu ide untuk menulis,” katanya.
“Perlakukan kegiatan menulis selayaknya rezim tangan
besi yang mengontrol hidup kamu. Menulis adalah prak-
tik rutin di bawah rezim menulis!” Saya berterima kasih
atas saran itu.
Dengan Ong, saya teringat sebuah percakapan ten-
tang kegiatan menulis ini. Menulis memang pekerjaan
berat. “Kecepatan otak kita berpikir tidak sama dengan
kecepatan jari-jari kita mengetik... dan kita seringkali
tidak bisa menyeimbangkannya,” ujar Ong. Di sini me-
nulis sepertinya memang seperti seorang nelayan men-
jaring tangkapannya. Ide bergerak secepat ikan-ikan yang
terus berusaha lolos dari jeratan. Tugas kita sebagai pe-
nulis adalah menangkapnya dan terus menangkapnya,

38
buku, membaca, menulis

meski terkadang jaring kita hanya mengenai kayu busuk,


lumpur, dan sampah plastik yang terbenam di dasar
danau.
Ada yang menarik dalam praktik Ong menulis. Ba-
hasa sepertinya menjadi unsur sekunder. Versi awal
tulisan-tulisan Ong dari segi bahasa biasanya “beran-
takan”. Kalimat tidak lengkap. Aktif dan pasif berta-
brakan. Susunan kata jungkir balik. Tetapi tulisan Ong
selalu memiliki “sesuatu” dan menjadi sangat indah se-
telah editor merangkai kembali kalimat-kalimatnya.
Ringkasnya, kekacauan bahasa tidak menghalangi ke-
indahan ide yang ada dalam setiap tulisan. Goenawan
Muhammad, Ruth McVey, dan jajaran editor Prisma nam-
paknya memang orang-orang handal yang mengerti jalan
pikiran Ong dan menjadikan ide yang terkandung dalam
tulisannya memberi inspirasi baru bagi pembaca.
Tentang bagaimana ide yang tertuang selalu menarik
tetap sebuah misteri bagi saya. Pokok yang jelas adalah
diri Ong selalu tampil dalam setiap tulisannya. “Keba-
nyakan kita sering berlindung di balik jargon, di balik ku-
tipan, di balik kata-kata yang membingungkan,” Ong
menyampaikan hal ini. “Tetapi lebih sering orang tidak
tahu apa yang ingin disampaikannya!” Dalam kaitan ini,
saya mencoba memahami bahwa kejelasan pikiran adalah
pokok penting yang membentuk karakter tulisan-tulisan
Ong dibanding wujud penyampaiannya. “Tulis... just do
it!” Kata-kata ini selalu terngiang ketika mulai mengetik.

39

Anda mungkin juga menyukai