Anda di halaman 1dari 93

KUCING HITAM ,,

@PEes @NARCHOPUNKI'JI,£
8 ~PERSONALPRoPERTYlD*
:?Vo.~~~~~~~~~~~~~
<S> eloo@Nl!!~IRI
No C<lMF'l'.?®IT <F TI!IS PffiSESSI<N MAY BE <N LCWI OR lllil'Ll<;i\TED
IN ANY FORM OR BY ANY MEANS WITII 00 PRIOR. ACQJIESCl'1,CE FR(lf
TIIE AUTIIORISED PROPRIETOR. ALL RIGITTs RESERVED.

Edgar Allan
Poe
SERI FI KS I KLASIK

Edgar Allan
Poe
KUCING HITAM

NUAMSA
k I a s i k
Kode Penerbitan: YNC-081-02-04
Kucing Hitam
Edgar Allan Poe
Diterjemahkan dari Edgar Allan Poe: Great American Short Sto-
ries (Golden Books, Kuala Lumpur: 1995)

Penerjemah: Anton Kurnia


Editor: Mathori A Elwa

Hak cipta dilindungi undang- undang


®All rights reserved

Cetakan I, September 2004

Diterbitkan oleh:
Penerbit Nuansa
Yayasan Nuansa Cendekia
Komp . Cijambe Indah
JI. Vijaya Kusuma Il/E-06
Ujungberung - Bandung 40619
Telp: 70775264,Fax:022-7833682
E-mail: ynuansa@te lkom .net
Anggota IKAPI

Tata Letak: Wahyu Agung Pratama


Ilustrasi isi: James McConnell
Desain Cover: Tatang Rukyat

ISBN : 979-9481-62-7
TENTANG PENGARANG

E
dgar Allan Poe (1809-1949) memiliki
kisah hidup yang penuh penderitaa·n
layaknya isi cerpen-cerpennya. Orang-
tuanya adalah aktor keliling yang meninggal
dunia sebelum ia genap berumur dua tahun.
Penjaganya yang makmur tak memberinya
· warisan yang menjadi haknya. la lalu dikeluar-
kan dari Universitas Virginia dan West Point
karena berutang akibat berjudi dan mabuk- .
. mabukan. lstrinya, yang masih terhitung
EDGAR ALLAN POE (1 809-1949)

saudara sepupunya, mati karena tuberkulosis


pada usia awal dua puluhan.
Namun, ia memiliki bakat besar sebagai
penulis dan merupakan seorang pekerja keras.
la menu Iis puisi, cerpen dan kritik sastra. Kisah-
kisahnya mengenai misteri, horor dan ke-

61 Edgar Allan Poe


jahatan menjadi dasar bagi cerita detektif mo-
dern. Hanya segelintir penulis yang mampu
mendekati pencapaian Poe dalam hal kekuat-
an dramatis dan intensitas emosional.
Poe bisa dibilang merupakan arsitek
cerpen mod ern. Pada 1832, ia merupakan
orang pertama yang berkeras bahwa cerpen
seharusnya membangun sebuah efek tunggal.
Gagasannya yang lain berkaitan dengan
panjang sebuah cerpen. la meyakini bahwa
seorang pembaca seharusnya bisa menun-
taskan sebuah cerpen "dalam sekali duduk."
Poe tidak menciptakan cerpen sebagai
sebuah karya sastra. Namun, ia adalah orang
pertama yang menciptakan "ilmu" cerpen
melalui perumusan aturan-aturannya.
Poe diakui secara luas sebagai salah
seorang pengarang Amerika paling penting di
abad ke-19. la diingat karena sajak-sajak dan
cerita-cerita horor populernya. Jika ketegangan
merupakan kesukaan Anda, apa yang Anda
cari ada pada karya-karya Poe.[IJ

Tentang Pengarang 17
PENGANTAR PENERJEMAH

P
roses pertemuan dengan sesuatu yang
asing-negeri-negeri yang jauh, orang-
orang dengan akar budaya yang
berbeda-entah itu dalam konteks wacana
maupun pengalaman empirik, selalu me-
ngandung peluang bagi terciptanya interaksi
antar budaya. Sebuah perbenturan yang
membuka kemungkinan-kemungkinan baru
akan tercapainya rasa saling pengertian di
balik segala perbedaan yang tersingkap.
Selain untuk lebih memperkenalkan para
pengarang terkemuka dunia di masa lalu, seri
te·rjemahan kumpulan cerpen klasik ini di-
susun sebagai upaya untuk lebih mengenal
dan memahami budaya lain dengan segala
keunikan dan persoalannya, tanpa terhalang
oleh sekat-sekat perbedaan bangsa, budaya
dan bahasa.
Lalu, apakah gunanya bagi kita membaca
cerpen-cerpen klasik di zaman yang tel ah jauh
melaju ini?
· Sastra klasik bukanlah sebuah genre.
lstilah itu dipahami sebagai kategorisasi
terhadap karya terbaik yang pernah ditullis di
suatu tempat, pada suatu masa. Karya sastra
klasik akan tetap abadi, tak peduli kita mem-
bacanya atau tidak. Tidak seperti karya-karya
best-seller, mereka tak terpengaruh oleh selera
kita. Setidak-tidaknya, mengutip kalimat ltalo
Calv.ino, s·astrawan terkemuka Italia, dal~m
sebuah esainya yang berjudul Mengapa
Membaca Karya Klasik?(l 999), "Alasan utama

I
10 Edgar Allan Poe
membaca karya klasik adalah karena mem-
bacanya lebih baik daripada tidak mem-
bacanya."
Melalui teks-teks sastra, terkadang kita
disadarkan bahwa apa yang terjadi jauh di
ujung dunia sana ternyata pada hakikatnya
memiliki makna yang relevan dengan apa
yang terjadi dekat di sini, dalam kenyataan
hidup kita sehari-hari, entah itu bernama
permasalahan ketidakadilan, kisah cinta
sepasang anak manusia, maupun ilusi-ill.:1si
personal seorang individu. Semua itu mem-
baJik kesadaran kita akan adanya sebuah
pijakan bersama di balik perbedaan-per-
bedaan yang tampak bahwa sesungguhnya
kita adalah satu dalam semesta kemanusiaan.
Dalam buku ini, terkumpul cerpen-
cerpen Edgar Allan Poe (1809-1949), seorang
cerpenis, penyair, wartawan dan kritikus seni
yang berpengaruh besar terhadap para pe-
ngarang Amerika setelahnya. Poe banyak
menulis kisah misteri dan cerita detektif.

I
Pengantar Penerjemah 11
Cerpen-cerpennya yang berkisah mengenai
misteri, horor dan kejahatan-seperti yang
tampak dalam keempat cerpen dalam buku
ini-menjadi dasar bagi cerita-cerita detektif
modern. la bisa dibilang merupakan arsitek
cerpen modern dan diakui secara luas sebagai
salah seorang pengarang Amerika paling
penting di abad kesembilan belas.
Di tengah terbatasnya karya serupa,
semoga buku ini sedikit banyak dapat ber-
manfaat bagi perkembangan sastra dan kebu-
dayaan kita secara luas. Setidak-tidaknya,
buku ini tu rut memperkaya khazanah literatur
sastra kita.
Salam dan selamat membaca.rJ

ANTON KuRNIA

12 j Edgar Allan Poe


DAFTAR ISi

Tentang Pengarang - 5
Kata Pengantar Penerjemah - 9
Tong Anggur- 15
Topeng Maut Merah- 35
Sebuah Kisah - 51
Kucing Hitam -69

Pengantar Penerjemah I13


TONG ANGGUR
Seberapajauh Anda mau melakukan
balas dendam atas sebuah penghinaan?
Dalam kisah aneh ini, Anda akan
berjumpa dengan dua orang kaya yang
menyukai anggur. Yang seorang
sombong, tetapi bodoh. Yang satunya
pandai, tetapi jahat. Gabungan
keduanya bisa mematikan.
TONG ANGGUR

F
ortunato tel ah menyerangku ribuan kali
dan aku bersabar sebisa mungkin.
Namun, saat ia menghinaku, aku ber-
sumpah akan membalasnya. Tentu saja aku
tak mengatakan hal ini pada Fortunato. Aku
tahu aku akan membalas dendamku, tak
masalah berapa lama aku harus menunggu.
Karena aku tak tergesa-gesa, aku bisa
menyusun rencana dengan cermat. Tak ada
risiko buatku. Bu.kan hanya aku akan meng-
hukum Fortunato, melainkan aku akan meng-
hukumnya tanpa membahayakan diriku
sendiri. Tak ada asyiknya membalas dendam
jika kau sendiri menanggung hukuman se-
telahnya. Juga tak ada asyiknya kecuali jika
kau memastikan bahwa musuhmu tahu apa
yang tengah kau lakukan padanya.
Kau harus mengerti bahwa aku tak pernah
mengatakan atau melakukan sesuatu agar For-
tunato tahu apa yang tengah kupikirkan. la tak
ragu bahwa aku adalah sahabatnya. Seperti
biasa, aku selalu tersenyum padanya. la tak
j menyangka bahwa aku tersenyum karena me-
t mikirkan balas dendamku .
Nyaris dalam segala hal Fortunato meru-
pakan orang yang dihormati dan disegani. Ta-
pi ia punya kelemahan . Fortunato arnat bang-
ga dengan pengetahuannya tentang anggur.
lni merupakan kesamaan kami-kami berdua
tahu banyak tentang anggur yang baik. Aku
membeli anggur enak sesering mungkin. Lalu
aku menyimpan harta karunku itu dalam

I
18 Edgar Allan Poe
ruangan bawah tanah rumahku. Di sana,
bersama tulang belulang para leluhurku,
anggur itu tetap terjaga.
Sekitar senja hari, pada suatu petang saat
musim karnaval, aku berlari menghampiri
Fortunato. la menyalamiku dengan hangat
karena ia tengah menikmati karnaval. la
mengenakan pakaian pesta berwarna cerah,
termasuk sebuah topi berbandul lonceng-
lonceng mungil. Aku begitu senang bertemu
dengannya sehingga aku menyalaminya
begitu lama.
Aku berkata, "Fortunatb yang baik, aku
senang berjumpa denganmu.\:au tampak he-
bat! Dengar, aku baru membeli satu tong ang-
gur. Penjualnya bilang padaku itu anggur a-
montillado yang terkenal enak, tapi aku ragu."
"Bagaimana kau mendapatkannya?
Susah sekal i menemukan anggur semacam .itu
di tengah musim karnaval!" ujar Fortunato.
"Yah, aku tak yakin itu sungguh-sungguh
anggur amontillado. Agak bodoh sebetulnya

I
Tong Anggur 19
membayar penuh harganya tanpa memintamu
mencicipinya terlebih dulu. Aku tak berhasil
menemukanmu di mana pun dan aku takut
keduluan orang."
"Amontillado!" ujar Fortunato.
"Aku ragu," ujarku.
"Amontillado!"
"Aku harus memastikannya," sahutku.
"Amontillado!" ujarnya lagi.
"Kulihat kau sibuk. Aku akan mengun-
jungi Luchesi. la tahu banyak soal anggur.
Mungkin ia bisa membantuku," kataku.
"Luchesi tak tahu perbedaan amontillado
dengan anggur merah biasa," ujar Fortunato.
"Tapi beberapa orang tolol mengatakan
bahwa citarasa Luchesi tentang anggur sama
baiknya denganmu," kataku.
"Ayo, kita pergi," ujar Fortunato.
"Ke mana?"
"Tentu saj,a ke ruang bawah tanahmu;''
ujar Fortunato.

I
·20 Edgar Allan Poe
"Tidak, kawanku. Kulihat kau sibuk. Aku
tak ingin ll)engganggumu. Luchesi ... " ujarku.
"Tak apa-apa. Ayo kita pergi."
"Tidak, kawanku. Kulihat kau sedang
kedinginan. Ruang bawah tanahku sangat
lembab. Tak baik buatmu."
"Ayolah. Dingin ini tak seberapa. Amon-
tillado! Luchesi tak tahu apa-apa soal anggur.
Seperti yang kubilang, ia tak tahu perbedaan
amontillado dengan anggur merah biasa."
Seraya bicara, Fortunato meraih lengan-
ku. Kubiarkan iamembawaku ke arah rumah-
ku. Semua pelayanku sedang pergi. Mereka
tengah menikmati karnaval. Kubilang pada
m.ereka aku tak akan kembali sebelum pagi
tiba. Lalu aku menyuruh mereka agar tinggal
di dalam rumah. Aku tahu mereka akan me-
langgarnya. Begitu aku pergi, aku yakin me-
reka akan segera pergi menonton karnaval.
Maka, Fortunato dan aku sendirian di rumah
ini, tiada yang mengganggu.

TongAnggur 121
, (
Aku membawanya melalui banyak rua-
ngan menuju pintu ruang bawah tanah. Kami
membawa obor ag'3r bisa mel ihat jalan yang
kami lalui. Aku berkata padanya agar berhati-
hati saat menuruni tangga yang panjang dan
berangin. Akhirnya, kami sampai di dasar
tangga. Kami berdiri bersama di atas lantai
lembab kuburan bawah tanah keluarga Mon-
tressor. lni adalah tempat pemakaman ke-
luargaku.
Kawanku agak goyah kakinya. Lonceng-
lonceng kecil di topinya berbunyi saat ia
sampai.
"Mana tong anggur amontillado itu?"
"Masih jauh," kataku. Lalu, Fortunato
terbatuk. la terus batuk-batuk selama beberapa
men it.
"Ayo," kataku. "Kita kembali saja. Kese-
I hatanmu amat berharga. Kau kaya, dihormati,
dikagumi dan dicintai. Kau seorang lelaki yang
I. bahagia, seperti aku d.ulu. Kau seseorang yang
I
akan dirindukan. Untukku, itu bukan soal. Kita

I
22 Edgar Allan Poe
Karena aku tak tergesa-gesa, aku bisa
n1enyusun rencana dengan cermat.
Tak ada risiko buatku. Bukan hanya aku akan
menghukum Fortunato, melainkan aku akan
menghukumnya tanpa membahayakan diriku

sendiri. Tak ada asyiknya membalas


dendam jika k.au sendiri menanggung
hukuman setelahnya. Ju~a tak ada
asyiknya kecuali jika kau

memastikan bahwa

musuhmu
tahu apa yang tengah

kau
lakukan padanya
kembali sekarang. Kalu tidak, kau akan sakit,
dan aku tak mau disalahkan. Lagi pula, ada
Luchesi ... "
"Cukup," ujarnya . "Batuk ini tak se-
berapa. Tak akan membunuhku. Aku tak akan
mati karena batuk."
"Betul," kataku. "Tentu aku tak bermaksud
membuatmu cemas, tapi kau sebaiknya lebih
berhati-hati dengan kesehatanmu. Seteguk
anggur merah ini akan melindungi kita dari
kelembaban di bawah sini." Aku memilih se-
buah botol dari barisan bagian bawah di anta-
ra botol-botol yang berjejer sepanjang dinding.
"Minumlah," kataku seraya menggeng-
gamkan botol itu padanya.
la mengangkatnya hingga menempel di
bibirnya. Sejenak ia berhenti dan mengangguk
padaku. Lonceng-lonceng kecil di topinya
berbunyi.
la berkata, "Aku minum untuk mereka
yang dimakamkan di sini dan beristirahat di
ruang bawah tanah ini."

I
24 Edgar Allan Poe
"Dan aku minum agar kau panjang umur,"
kataku.
la merengkuh lenganku lagi dan kami
meneruskan perjalanan.
"Ruang pemakaman ini memakan
banyak tempat," ujarnya.
'"Keluarga Montressor adalah sebuah
keluarga besar yang hebat," sahutku.
"Aku lupa seperti apakah lambang ke-
luargamu," kata Fortunato.
"Kaki manusia berukuran besar terbuat
dari emas dengan latar belakang berwarna
biru. Kaki itu menginjak seekor ular yang ta-
ringnya terbenam pada tumit."
"Dan kalimat apa yang tertulis dalam
lambang itu?" tanya Fortunato.
"Tak seorang pun melukaiku tanpa di-
hukum," jawabku.
"Hebat!" ujarnya.
Anggur itu membuat matanya berbinar
dan lonceng-lonceng itu kembali berdenting.
Kami telah melintasi dinding tempat tulang

I
Tong Anggur 25
belulang manusia ditumpuk. Tong-tong dan .
botol-botol anggur tersimpan di sana-sini.
Kami terus berjalan ke bagian terdalam ruang
bawah tanah itu. Lalu aku berhenti lagi, tapi
kali ini aku meraih siku Fortunato.
· "Kita di bawah aliran sungai kini. Lihat
bagaimana tetesan air menitik di antara tulang
belulang. Ayo, kita kembali saja sebelum
terlambat. Batukmu .... "
"ltu tak seberapa," katanya. "Kita terus
saja. Tapi sebelumnya, ayo kita cicipi anggur
merah lagi."
Aku membuka botol lain. la meminum-
nya dan matanya berkilau samar. la tertawa
dan melemparkan botol itu ke depan dengan
sebuah gerakan yang tak kupahami .
Aku menatapnya dengan kaget. la me-
ngu langi gerak tubuh yang aneh itu.
"Kau tak paham?" tanyanya.
"Tidak," sahutku.
"Berarti kau bukan bagian kelompok
persaudaraan."
'

I' I
26 Edgar Allan Poe
I

I
I ~
"Maksudmu?" kataku tak paham.
"Kau bukan anggota kelompok keba-
tinan," ujarnya. Hingga saat itu, aku tak tahu
kalau Fortunato merupakan anggota kelom-
pok rahas-ia itu.
'.'Ya, memang bukan," kataku .
.. "Kau? Tak mungkin! Kau tak mungkin bu-
kan anggota kelompok kebatinan," katanya.
"Memang bukan," aku berkeras.
"Beri aku tanda," ujarnya.
"lni," jawabku seraya mengeluarkan
sebuah tajak dari balik mantelku. Alat ini, di-
gunakan untuk mengaduk semen, merupakan
bagian dari rencanaku.
"Kau bergurau!" ujar Fortunato seraya
melangkah mundur. "Tapi, ayo kita menuju
amontillado."
"Baiklah," ujarku seraya menyimpan alat
itu di balik mantelku. Aku mengulurkan ta-
ngan dan ia bertumpu padanya. Kami me-
neruskan berjalan, melintasi beberapa bagian
yang berlangit-langit rendah. Kami masuk

TongAnggur j 27
makin dalam ke ruang bawah tanah itu dan
akhirnya sampai di sebuah kubah yang dalam.
Udara di ruangan ini berbau apak. Di bagian
ujung ruangan ini terdapat sebuah jalan ke
ruang lain yang lebih kecil. Ketiga dindingnya
dipenuhi belulang manusia yang bertumpuk
tinggi. Tulang bel~lang itu tampaknya terjatuh
dari dinding keempat. Belulang itu terserak
menggunduk di atas lantai. Dinding keempat
membuka ke ruang lain. Tingginya sekitar
empat kaki, lebarnya empat kaki dan tingginya
tujuh kaki. Ruang yang sempit itu tampaknya
dibangun tanpa alasan khusus. Ruangan itu
hanya mengambil tempat antara dua kisi yang
menopang langit-langit ruang bawah tanah.
Bagian belakang dinding ruangan ini terbuat
dari batu pejal.
Fortunato mengangkat obornya, men-
coba melihat ke dalam ruangan kecil itu. Tapi
cahaya obor tak cukup terang untuk bisa mem-
buatnya melihat ke ujung ruangan.

I
28 Edgar Allan Poe
"Kau bukan anggota kelompok

.. keba-
,,
ttnan, ujarnya. Hingga

saat itu, aku tak tahu kalau

For tuna to merupakan

anggota kelompok
rahasia itu.
"Masuklah," kataku. "Anggur amon-
tillado itu ada di sana. Luchesi ... "
"Luchesi itu tolol," potong Fortunato saat
ia melangkah maju. Aku mengikuti tepat di
belakangnya. Sekejap ia sudah mencapai
ujung dinding ruangan itu. Saat ia sadar tak
bisa masuk lebih jauh, ia berdiri di sana,
kebingungan .
Sejenak kemudian, aku merantainya ke
dinding. Dinding itu dipasangi aua cincin besi,
terpisah sekitar dua kaki. Sebuah rantai pendek
menggantung di salah satu cincin besi ini.
Sebuah kunci menempel pada cincin yang
satunya. Seraya melingkarkan rantai itu ke
pinggangnya, aku menguncinya dengan cepat
pada cincin yang lain. Fortunato terlalu kaget
untuk melawan. Seraya mengambil anak kun-
ci dari lubangnya, aku melangkah mundur.
"Rabalah dinding itu," kataku. "Kau akan
tahu itu lembab sekali . Sekali lagi, ayo kita
kembal i saja. Tidak? Kai au begitu aku harus

I
30 Edgar Allan Poe
meninggalkanmu di sini. Tapi aku harus
memberimu dulu sesuatu."
"Amontillado!" teriaknya, masih berpikir
aku ingin ia mencicipi anggur. la belum pulih
dari kagetnya.
"Benar," sahutku. "Amontillado."
Saat mengatakan kalimat itu, aku berbalik
ke arah tumpukan tulang di !antai. Aku
menyibaknya ke samping dan tampaklah
tumpukan batu dan semen . Menggunakan
tajak, aku mulai membuat sebuah dinding di
depan Fortunato.
Aku dengan susah payah berhasi I menye-
lesai kan barisan batu pertama saat kulihat
Fortunato terisak. Aku mendengarnya me-
nangis meratap. ltu bukan tangisan orang
mabuk. Setelah itu, kesunyian lama terasa.
Aku membuat baris kedua, ketiga dan
keempat. Lalu aku mendengar suara denting
rantai. Keributan itu hanya terdengar
beberapa menit. Untuk lebih menikmati suara

Tong Anggur j 31
llu, Jkll b •rh ·mi m mbuat dinding dan duduk
di l lt · tu mpuk n tulang.
, l k ributan itu akhirnya sirna, aku
Ii meraih tajak. Aku membuat baris
k lim , keenam dan ketujuh. Dinding itu kini
nyari s setinggi dadaku. Aku berhenti lagi, lalu
kuangkat oborku di atas dinding sehingga aku
bisa melihat sosok di dalamnya.
Seketika Fortunato memeki~ dan menjerit-
jerit. Jeritan ini keluar secara tiba-tiba dari
tenggorokannya sehingga keributan itu sempat
mengejutkanku dan membuatku terjajar ke
belakang. Sejenak aku tak tahu apa yang harus
kulakukan . Aku gemetar. Lalu aku mendekati
dinding dan balas meneriaki Fortunato. Setiap
kali ia menjerit, aku memekik lebih keras. lni
berlangsung beberapa saat, lalu ia diam.
Kini sudah tengah malam dan tugasku
nyaris usai. Aku telah menyelesaikan baris
kedelapan, kesembilan dan kesepuluh. Aku
hampir menyelesaikan baris terakhir, baris
keseb~ las . Hanya ada ruang untuk sebongkah

I
32 Edgar Allan Poe
batu lagi. Aku berjuang mengangkat batu
terakhir itu dan menempatkannya di ruang
yang tersisa. Lalu aku mendengar suara tawa
lirih yang membuat bulu kudukku berdiri.
Setelah itu, aku mendengar suara sedih, yang
kemudian berhasil kukenali sebagai suara For-
tunato yang biasanya penuh kesombongan .
.
Suara itu berbunyi, "Ha! Ha! Ha! He! He!
Benar-benar sebuah lelucon hebat-lelucon
istimewa. Kita akan menertawakannya se-
telahnya-sambil minum segelas anggur. He!
He! He!"
"Sambil minum segelas anggur amon-
ti II ado!" seru ku.
"Ha! Ha! Ya, amontillado. Tapi tidakkah
ini sudah larut? Tidakkah ada seseorang yang
menunggu kita di rumahmu? Ayo kita pergi."
"Ya, ayo kita pergi," kataku.
"Demi cinta Tuhan. Montressor!"
"Ya," ujarku. "Demi cinta Tuhan!"
Aku menanti kata-katanya lagi, tapdak
kunjung terdengar. Aku jadi tak sabar.

Tong Anggur 133


Aku berseru nyaring, "Fortunato!"
Masih tak ada jawaban. Aku menekan
oborku melalui lubang yang tersisa dan
membiarkannya jatuh ke dalam. Yang
kudengar hanyalah denting lonceng mungil.
Aku merasa mual-karena kelembaban ruang
bawah tanah ini. Aku segera menyelesaikan
dinding itu. Kurapatkan batu terakhir pada
tempatnya. Lalu aku merekatkannya dengan
semen. Terakhir, aku menumpuk belulang
menutupi dinding baru itu. Hingga setengah
abad tak seorang pun mengusik mereka.
Beristirahat dengan damai!IJ

I
34 Edgar Allan Poe
TOPENG MA.UT MERAH
Bisakah kekayaan clan kekuasaan
mencegah nasib buruk? Dalam kisah
ini, seorang pangeran yang panclai
mencoba menyelamatkan clirinya clan
teman-temannya clari sebuah wabah
maut. Akankah rencananya berhasil?
Atau akankah penyakit maut itu
menerkam mereka?
TOPENG MAUT MERAH

M
aut Merah" tel ah meneror negeri
itu selama berbu Ian-bu I an.
Penyakit itu dinamai berdasarkan
warna darah. Tak pernah ada penyakit yang
begitu mematikan dan amat mengerikan.
Pertama, korban-korbannya merasa amat
kesakitan dan tiba-tiba menderita pusing. Lalu
mereka mengeluarkan darah dari seluruh pori-
pori ku I it. Kematian menyusu I tak lama
kemudian. Bintik-bintik merah di wajah

Topeng Maut Merah j 37


mereka membuat orang lain menghindari
mereka. Seluruh proses itu hanya memakan
waktu setengah jam dari mula hingga ajal tiba.
Setengah dari penduduk kerajaan Pa~ ·
ngeran Prospero telah mati karena Maut
Merah. Namun, Pangeran Prospero tidak
takut. Pangeran yang pandai ini berencana
meloloskan diri dari penyakit itu. la meminta
seribu orang bangsawan lelaki dan perem-
puan untuk ikut pergi bersamanya. Bersama-
sama mereka pergi ke sebuah puri besar
miliknya di luar wilayah negeri itu. Gedung
ini indah dan megah, didesain oleh sang
pangeran sendiri. Sebuah dinding tinggi yang
kokoh melingkarinya. Dinding itu dilengkapi
gerbang besi. Setelah semua orang masuk,
pintu gerbang dikunci rapat. Tak seorang pun
diizinkan masuk dan mereka yang ada di
dalam tidak boleh keluar.
Setiap orang dalam puri mendapat
banyak makanan dan minuman. Pangeran
te lah m empersiapkan agar mereka bisa

I
38 Edgar Allan Poe
bertahan hingga wabah penyakit itu sirna.
Orang-orang selain mereka harus bertahan
sendiri. Pada saat itu, bersedih atau me-
mikirkan soal itu adalah kebodohan. Pangeran
menyiapkan segalanya untuk membuat tamu-
tamunya merasa nyaman. Ada badut-badut,
pemain sandiwara, penari dan pemain musik.
Dan yang terbaik dari semuanya, ada rasa
aman di dalam dinding·puri. Di luar sana Maut
Merah tengah mengganas.
Lima atau enam bu Ian telah lewat. Di luar
puri, wabah penyakit kian mengganas.
Namun, di dalam dinding puri, Pangeran
Prospero bersiap menghibur kawan-kawannya
dengan sebuah pesta topeng. Pesta besar itu
diselenggarakan dalam bangsal puri yang pa-
1ing indah.
Ada tujuh ruangan besar dalam bangsal
itu. Setiap 20 atau 30 depa, terdapat sebuah
belokan tajam dari satu ruangan ke ruangan
lain. Dalam tiap belokan, ruangan itu menjadi
amat berbeda. Di sebelah kanan dan kiri, di

I
Topeng Maut Merah 39
tengah tiap dinding, terdapat jendela sempit
yang tinggi. Setiap jendela mengfiadap pada
sebuah lorong bercabang yang tak mengarah
ke mana pun. Jendela-jendela itu bertutup
kaca buram. Warna kaca sesuai dengan
warna segala benda yang terdapat dalam
ruangan itu. Misalnya, jendela di sisi timur
berwarna biru-sewarna dengan tirai, karpet
dan perabotan dalam ruangan itu . Ruangan
kedua memiliki perabotan berwarna ungu dan
hiasan dinding yang juga ungu-di ruangan
ini kaca jendela juga berwarna ungu. Ruangan
ketiga berwarna serba hijau, begitu juga
jendelanya. Ruangan keempat berwarna
jingga. Ruangan kelima putih dan ruangan
keenam berwarna violet. Ruangan ketujuh
dipasangi beludru hitam, menggantung dari
langit-langit menutupi dinding. Tirai itu jatuh
berlipat di atas karpet beludru hitam. Hanya
di ruangan ini warna jendela tidak sama
dengan hiasan. Kaea jendela di ruangan ini
berwarna merah-sewarna darah kental.

I
40 Edgar Allan Poe
Setengah dari penduduk kerajaan Pangeran
Prospero telah matl karena Maut Merah.
Namun, Pangeran Prospero tidak
taku t. Pangeran yang pandai ini berencana
meloloskan diri dari penyaki t
itu. la meminta seribu orang bangsawan lelaki
clan perempuan untuk ikut pergi· bersamanya.
Bersama-sama mereka pergi ke sebuah

puri besar
miliknya di luar wilayah negeri itu.
-Tak satu pun di antara seluruh ruangan
itu yang dilengkapi lampu atau lilin. Tapi, tepat
di luar kaca jendela, di lorong yang ber-
cabang, s.ebuah tungku api menyala di atas
sebuah meja besar. Cahaya api ini menerangi
ruangan-ruangan itu . Karena warna-warni
kaca jendela yang beraneka, nyala api
menghasilkan dampak yang aneh dan
fantastis. Namun, di ruangan yang berwarna
hitam, nyala api itu benar-benar tampak
mengerikan. Wajah setiap orang yang yang
masuk ke ruangan itu tertutup oleh cahaya
merah yang menakutkan. Hanya segelintir saja
di antara para tamu yang berani menginjakkan
kaki ke dalam ruangan itu.
Sebuah jam raksasa terbuat dari kayu
eboni, sebuah kayu hitam yang tebal, juga
terdapat di ruangan hitam . Bandulnya
bergerak-gerak dengan suara yang berat dan
membosankan. Setiap jam lonceng jam itu
berbunyi. Bunyi yang nyaring itu t.erdengar
jernih, dalam dan berirama. Nada aneh yang

I
42 Edgar Allan Poe
terd~ngar membuat para pemusik dan penari
menghentikan apapun yang tengah mereka
lakukan untuk mendengarkannya. Saat
lonceng aneh itu berbunyi, bahkan orang pa-
1ing bahagia di ruangan itu sekalipun akan
menjadi pucat.
Beberapa tamu mengibaskan tangan
mereka seakan-akan kebingungan. Namun,
saat bunyi lonceng itu ·berakhir, para tamu
kembali tertawa. Para musisi saling ber-
pandangan dan tersenyum. Mereka berjanji
bahwa lain kali bunyi lonceng itu tak akan
membuat mereka terpana lagi. Mereka berjanji
jika lonceng itu berbunyi lagi, mereka akan
terus bermain musik. Namun, setiap jam, saat
jam itu berdentang, semua orang kembali
terdiam. Seakan-akan mereka tak mampu
mencegahnya.
Terlepas dari semua itu, pesta itu amat
meriah. Pangeran bekerja keras untuk me-
mastikan bahwa tamu-tamunya· terhibur.
Warna-warni hiasan yang berlainan di ke tujuh

I
TopengMautMerah 43
ruangan adalah gagasannya. la memerin-
tahkan para tamunya memilih busana mereka
sendiri . Busana yang mereka kenakan amat
beragam. Beberapa tampak unik, yang lainnya
tampak indah. Sebagian kelihatan aneh, yang
lainnya kelihatan menakutkan. Beberapa lagi
bahkan bisa dibilang menjijikkan.
Seraya tertawa-tawa dan saling bercakap,
para tamu berseliweran di ketujuh ruangan.
Saat mereka bergerak, mereka mengisi warna-
warn i berbagai ruangan, seakan-akan ter-
pantul dalam nyala api. Musik orkestra yang
terdengar liar seolah-olah menggema dalam
I
11 langkah-langkah mereka. Dan sepanjang
malam; jam eboni itu terus menerus berbunyi.
Setiap kali jam itu berbunyi, semua orang
terdiam dan hening terasa kecuali suara jam
tersebut. Lalu gema lonceng berhenti dan
kembali terdengar suara tawa riang.
Saat malam tiba, tak seorang tamu pun
berani masuk ke ruangan hitam. Namun,
ruangan lainnya dipenuhi orang dan pesta

I
44 Edgar Allan Poe
terus berlangsung. Akhirnya jam eboni itu ber-
dentang tanda tengah ma lam tel ah tiba. Saat
lonceng berdentang, segenap musik dan
tarian terhenti. Seperti sebelumnya, seluruh
tawa dan percakapan pun terhenti pula. Tapi
kali ir:ii 1 ada dua belas kali dentangan lonceng
jam itu. Sebelum dentang terakhir sirna,
banyak orang dalam kerumunan 'melihat
sosok seorang asing. Sebelumnya, tak seorang
pun sadar akan kehadiran sosok bertopeng ini.
Sebuah dengungan, sebuah gumaman, mun-
cul dari kerumunan. Dengungan ini berubah
menjadi ekspresi ketakutan, kengerian dan
rasa jijik.
Dalam pesta topeng biasa, tentu_saja,
sebuah pakaian yang mengerikan tak akan
menyebabkan reaksi semacam itu. Memang
benar, pakaian itu mengerikan, menyeramkan,
sekaligus menjijikkan. Tapi sosok baru yang
aneh itu telah melampaui batas-batas yang
bisa diterima. Bahkan, bagi orang-orang yang
sedang bergurau tentang hidup dan mati pun,

I
Topeng Maut Merah 45
ada hal-hal yang tak patut dijadikan bahan
gurauan. Tiba-tiba saja semua orang larigsung
merasa bahwa busana orang asing itu tidak
lucu dan tidak pantas dipakai.
Sosok itu tinggi dan kurus. Tubuhnya
ditutupi kain kafan dari ujung kepala hingga
ujung kaki. Topeng yang menyembunyikan
wajahnya tampak seperti wajah sesosok
mayat. ltu mungkin masih bisa diterima oleh
para tamu, kecuali satu hal. Sosok itu me-
lampaui batas dengan merias diri seperti
korban wabah Maut Merah. Pakaiannya
tertutupi darah. Dan seluruh wajahnya
dipenuhi bintik-bintik wabah maut itu.
Ketika pandangan Pangeran Prospero
jatuh pada bayangan menakutkan ini, ia
bergidik. la bergidik karena takut atau jijik-
tak seorang pun benar-benar yakin. Namun,
sesaat kemudian, wajah sang pangeran me-
merah karena marah.
"Siapa yang berani berbuat serupa itu?"
desaknya. "Tangkap dia dan buka topengnya!

I
46 Edgar Allan Poe
\

Setelah itu kita bisa tahu siapa yang akan kita


gantung di dinding puri saat fa jar tiba!"
Saat berkata demikian, Pangeran Pros-
pero tengah berdiri di ruangan biru. Kata-
katanya bergema nyaring dan jelas di seluruh
ruangan. lni karena sang pangeran memiliki
suara yang kuat dan tegas, juga karena suara
musik terhenti.
Pada mulanya, setelah sang pangeran
bicara, sejumlah orang mulai bergegas me-
ngejar si orang asing. Tapi di saat itu juga, si
orang asing bergerak mendekati pangeran.
Seluru~ tamu pesta itu merasakan ketakutan
tak bernama yang dibangkitkan oleh si orang
asing. Tak seorang pun mengulurkan tangan
untuk menghentikannya. Segera ia telah
menjadi begitu dekat pada sang pangeran. -
Pada saat yang sama, para tamu, seakan
menyatu, terjajar mundur ke dinding. Orang
asing itu begerak tanpa hambatan dari
ruangan biru ke ruangan ungu. Lalu berpin-
dah dari ruang ungu ke hijau, lalu ke ruang

TopengMautMerah j 47
jingga. Dari situ ia terus bergerak ke ruang
putih, lalu violet. Masih tak ada gerakan untuk
mencegahnya. Para tamu seolah membeku di
tempat mereka.
Pangeran Prospero menjadi murka dan
malu atas rasa takutnya. la bergegas melintasi
keenam ruangan. Tak seorang pun mengi-
kutinya karena semua orang diliputi rasa takut.
Sang pangeran menghunus sebilah belati saat
ia mendekati si orang asing. Ketika sosok ber-
topeng itu mencapai ruangan hitam, ia tiba-
tiba berbalik dan berhadapan dengan sang
pangeran . Sekonyong-konyong sang pa-
ngeran menjerit dan menjatuhkan belatinya
ke atas karpet hitam. Lalu, Pangeran Prospero
sendiri menyusul rubuh di atas karpet. Mati.
Didorong oleh keberanian yang timbul
dari keputusasaan, sekelompok tamu berlari
masuk ke ruang hitam. Mereka menangkap
sosok kurus yang berdiri dalam bayangan jam
eboni. Saat berhasil merengkuh pakaian dan
topeng serupa mayat itu, mereka mendesah

48 j Edgar Allan Poe


ketakutan. Ternyata tak ada apa-apa di dalam
pakaian itu!
Kini mereka sadar bahwa Malit Merah
telah tiba. la datang seperti seorang pencuri
di malam hari. Satu demi satu ia merubuhkan
para tamu di atas lantai bangsal puri yang kini
penuh darah. Mereka semua mati dalam rasa
putus asa. Jam eboni berhenti berdetak ber-
samaan dengan rubuhnya tamu terakhir.
Nyala api pun padam. Kegelapan dan Ang-
kara Maut Merah kini meraja.15

Topeng Maut Merah 149


SEBUAH KISAH

enar! Aku me.mang merasa gugup-

B sangat, sangat gugup. Tapi mengapa


kau mengatakan bahwa aku ini gila?
Penyakit ini telah membuat inderaku jadi lebih
peka. Penyakit itu tak merusaknya atau
membuatnya tumpul. Di atas semuanya,
indera pendengaranku jadi amat tajam. Aku
bisa mendengar semua yang ada di bumi dan
langit. Bagaimana mungkin kau menyebutku
gila? Dengarkan! Kau harus tahu betapa sehat

1 s3
dan tenang aku ini sehingga bisa menceritakan
kisah ini padamu.
Mustah iI mengatakan dari man a aku
pertama kali mendapat gagasan ini. Tapi
begitu aku memikirkannya, gagasan itu terus
mengejarku siang dan malam. Tak ada alasan
bagus untuknya. Aku tak membenci lelaki tua
itu. Aku mencintainya. la tak pernah melaku-
kan sesuatu yang menyerangku. Dan ia tak per-
nah menghinaku. Aku juga tak punya kei-
nginan sama sekali untuk merampok hartanya.
Kukira yang menjadi sebab adalah mata-
nya! Ya, itulah sebabnya. Salah satu matanya
tampak seperti mata bu rung nasar. Mata itu itu
berwarna biru pucat, dengan sebuah baya-
ngan di atasnya. Bila ia m~natapku, darahku
berdesir. Dan sedikit demi sedikit, secara amat
perlahan, timbul gagasanku untuk mem-
bunuhnya. Dengan begitu, aku akan meng-
enyahkan mata itu untuk selamanya.
Kini inilah soalnya. Kau kira aku gi1a.
Namun, seorang gila tak tahu apa-apa. Kau

I
54 Edgar Allan Poe
harus melihatku dan betapa bijak aku ber-
perilaku. Aku amat berhati-hati dan penuh
perencanaan. Aku tak pernah memberi ke-
sempatan pada lelaki tua itu untuk curiga
padaku . Kenyataannya, aku tak pernah ber-
laku lebih baik padanya dibanding seminggu
penuh sebelum aku membunuhnya.
Setiap malam, sekitar tengah ma lam, aku
memutar gerendel pintu dan membukanya-
ah, begitu lembut! Saat aku membukanya
cukup lebar, aku menyorongkan sebuah
lentera gelap melalui celah yang terbuka.
Lentera itu tertutup, sehingga tiada cahaya
yang bersinar darinya. Lalu aku melongokkan
kepala di pintu yang tel ah terbuka.
Oh, kau akan tertawa bila melihatku
melakukannya! Aku bergerak perlahan-
lahan-amat sangat perlahan, sehingga aku
tak q.kan mengganggu tidur si lelaki tua. Perlu
waktu satu jam untuk melongokkan seluruh
kepalaku ke dalam ruangan itu agar aku bi-sa
melihat lelaki tua itu. Hahl Mana ada orang

!
Sebuah Kisah SS
gila berbuat secerdas ini? Lalu, ketika kepalaku
telah masuk dengan nyaman di ruangan itu,
aku membuka penutup lentera. Aku melaku-
kannya dengan sangat berhati-hati karena
engsel-engselnya suka berbunyi. Aku mem-
buka penutupnya sedemikian rupa sehingga
secercah sinar panjang jatuh menerpa mata-
nya yang seperti mata burung nasar.
Aku melakukannya selama tujuh malam,
setiap malam pada tengah malam. Tapi
matanya selalu terpejam. Jadi mustahil me-
lakukan pekerjaanku. Kau tahu, bukan lelaki
tua itu yang membuatku gusar, melainkan
m~ta jahatnya itu. Setiap pagi, bila hari tiba,
aku pergi ke kamarnya dengan berani, me-·
manggil namanya dengan suara ramah. Aku
bertanya padanya bagaimana ia semalam. Aku
tahu, ia tak tahu bahwa setiap malam, pada
tengah malam, aku mengintipnya saat ia tidur.
Pada malam kedelapan, aku lebih ber-
hati-hati daripada biasanya. Jarum jam
bergerak lebih cepat daripada tanganku. Tak

I
56 Edgar Allan Poe
pernah sebelumnya aku merasa betapa ~ijak
dan kuatnya aku. Aku sulit mengendalikan
rasa kemenanganku. Di sanalah aku, mem-
buka pintu, sedikit demi sedikit. Aku tahu
lelaki tua itu bahkan tak mampu memimpikan
tindakan atau pikiran rahasiaku. Gagasan itu
nyaris membuatku tertawa terbahak-bahak.
Mungkin ia mendengarku, karena ia
bergerak di atas ranjang secara tiba-tiba.
Seakan-akan ia terkejut karena sesuatu. Kini
kau mengira aku akan mundur, tapi tidak.
Ruangan itu segelap aspal, karena tirai jendela
tertutup rapat. Aku tahu ia tak akan bisa
melihat pintu yang terbuka. Maka aku terus
membukanya-perlahan-lahan.
Aku melongokkan kepalaku ke dalam
dan hampir membuka penutup lentera ketika
ibu jariku terpeleset. Keributan kecil
menyebabkan lelaki tua itu terduduk di atas
ranjang. Kudengar ia berteriak, "Siapa itu?" tapi
aku tetap diam tak bersuara. Selama satu jam
penuh aku tak menggerakkan sebuah otot pun.

I
Sebuah Kisah 57
Pada saat itu, aku tak mendengar ia kembali
berbaring. la masih duduk di atas ranjang, men-
dengarkan.
Sejenak kemudian, kudengar rintihan
samar. Aku tahu itu sebuah rintihan ketakutan.
Bukan rintihan kesakitan atau ratapan ke-
sedihan. Oh, tidak! ltu suara lirih yang berasal
dari dasar jiwa ketika diliputi oleh kengerian.
Aku tahu su.ara itu dengan baik. Sekian malam
yang lewat, pada tengah malam, aku pernah
merintih seperti itu. Saat aku melakukannya,
suara itu justru membuat rasa takutku kian
memburuk. Oh, ya, aku amat mengenal suara
itu. .
Aku tahu apa yang dirasakan oleh lelaki ·
tua itu dan aku mengasihaninya-walaupun
aku tertawa dalam hati. Aku tahu ia· telah
terjaga sejak keributan kecil pertama. Rasa
takutnya meningkat saat ia berbalik di ranjang.
la mencoba berbicara sendiri untuk menge-
nyahkan rasa takutnya, tapi ia tak 'mampu. la
berkata pada diri sendiri, "ltu bukan apa-apa

I
58 Edgar Allan Poe
hanya deru angin di cerobong asap. ltu hanya
seekor tikus yang melintasi lantai. ltu cuma
derikan seekor jangkrik."
Ya, aku tahu ia mencoba berbicara pada
diri sendiri untuk mengusir rasa takut. Tapi itu
tak berh~sil. Maut, yangtengah mendekatinya,
telah. memperlihatkan bayangan hitam di
hadapannya. Kini korban telah terkepung.
Bayangan maut yang tak kasat mata membuat
lelaki tua itu merasakan kedekatanku. la tak
bisa melihat atau mendengarku, tapi ia bisa
merasakan kehadiran kepalaku di ruangan itu.
Setelah menunggu cukup lama, aku
memutuskan untuk niembuka lentera sedikit.
Kau tak bisa membayangkan betapa hati-hati
aku melakukannya. Akhirnya, secercah
cahaya samar, seperti jaring laba"'laba, ter-
pancar dan jatuh pada mata burung nasar itu.
Mata itu terbuka-terbelalak lebar. Aku
menjadi marah melihatnya. Aku melihatnya
dengan jelas. Mata itu biru pucat, dengan
bayangan buruk di atasnya. Pemandangan itu

I
Sebuah Kisah 59
menggetarkan belulangku. Aku tak bisa
melihat bagian lain wajahnya. Pancaran sinar
itu tepat mengarah ke matanya.
Apakah aku belum bercerita padamu
bahwa apa yang kau kira sebagai kegilaan
hanyalah ketajaman segenap inderaku? Kini,
kukatakan, aku mulai mendengar sebuah
suara lirih yang cepat. Terdengar seperti detak
sebuah jam terbungkus kain katun . Aku juga
mengenal dengan baik suara itu. ltu adalah
detak jantung lelaki tua itu. Entah bagaimana,
suara itu membuatku m·akin marah-seperti
dentum sebuah drum yang membuat seorang
serdadu jadi pemberani. .
Tapi aku tetap diam. Aku bahkan ·sulit
bernapas. Aku mencoba melihat betapa
tenang aku menjaga sinar lentera menerangi
mata itu. Aku mendengar jantungnya berdetak
makin cepat. Detaknya makin cepat dan kian
cepat, makin nyaring dan kian nyaring. Rasa
takut lelaki tua itu bertambah setiap saat! Detak
jantungnya kian kencang. Kubilang, makin

I
60 Edgar Allan Poe
kudengar tintihan samar. Aku tahu itu
sebuah rintihan ketakutan. Bukan rintihan
kesakitan atau ratapan kesedihan. Oh, tidak! Itu
suara lirih yang berasal dari dasar jiwa ketika

diliputi oleh kengerian,Aku tahu


suara itu dengan baik. Sekian malam yang lewat,

pada tengah malam, aku


pernah merintih
seperti itu. Saat aku melakukannya, suara itu

justru membuat rasa takutku kian


mem-
buruk.
kencang setiap saat! Apakah kau men-
dengarku?
Aku telah mengatakan padamu bahwa
aku merasa gugup. ltu benar. Dan kini, dalam
kesunyian menyebalkan rumah tua itu, keri-
,butan ini membuatku ngeri. Namun, untuk
beberapa saat berikutnya, aku tetap diam.
Namun, detak jantung itu makin nyaring,
makin nyaring! Jantungnya seakan hendak
meledak. Tiba-tiba sebuah rasa takut yang baru
melandaku. Aku takut suara itu terdengar oleh
tetangga!
Saat lelaki tua itu telah tiba! Dengan
sebuah teriakan nyaring, aku membuka
penutup lentera dan menyerbu masu~
ruangan itu. la menjerit satu kali-hanya satµ
kali. Secepat kilat, aku menyeretnya ke lantai
dan menindihnya dengan ranjang yang berat.
Lalu aku tersenyum, merasa tugasku segera
akan tuntas. Namun, untl.~k beberapa saat,
jantungnya berdetak dengan bunyi aneh. lni
tak menggangguku. Di bawah ranjang yang

I
62 Edgar Allan Poe
'1

berat, syara itu tak akan terdengar hin gg


menembus dinding.
Akhirnya suara itu berhenti. Lelaki tua itu
sudah mati. Aku memindahkan ranjang itu
dan menatap mayatnya. Ya, ia sudah mati
kaku. Kuletakkan tanganku di dekatt jantung-
nya dan membiarkannya di sana beberapa
saat. Tak ada detakan . la sudah mati. Mata
yang menakutkan itu tak akan meng:gangguku
lagi.
Jika kau masih mengira aku ini gila, kau
tak akan lagi menganggapku begitu bila
kuceri.takan padamu apa yang kulakukan
selanjutnya. Aku memikirkan cara terbaik
untuk menyembunyikan tubuhnya. Maka
kupotong-potong tubuhnya menjadi be-
berapa bagian. Kupotong kepalanya, lengan-
lengannya dan sepasang kakinya.
Lalu aku mengambil tiga bilah papan dari
lantai ruang tidur itu. Kuletakkan tubuhnya
yang tercabik di bawah lantai, kemudian
kuletakkan kembali papan itu di tempatnya

Sebuah Kisah j 63
<m11l.1. Al u m I kukannya dengan sangat
r .~pl ( hin rg tak ada mata manusia-bahkan
1

1lr1L1 juga matanya-bisa mengenali adanya


· uatu yang tidak beres. Tak ada yang perlu
dicuci. Tak ada noda apa pun. Tak ada bercak
. darah sama sekali. Aku terlalu berhati-hati
untuk melakukan kesalahan semacam itu.
Seember airtelah membereskan semuanya-
ha, ha, ha!
Saat aku menyelesaikan semua itu waktu
menunjukkan jam em pat subuh. Masih kelam
seperti tengah malam. Saat jam dinding
berdentang empat kali, kudengar sebuah
ketukan di pintu depan. Dengan hati tenang,
aku beranjak untuk membuka pintu. Mata
jahat itu telah sirna. Tak ada lagi yang perlu
ditakuti. Tiga orang lelaki masuk. Mereka
me"!lperkenalkan diri sebagai polisi. Mereka
bilang seorang tetangga mendengar sebuah
jeritan tadi malam. Kesalahan dalam per-
mainan dicurigai. Sebuah laporan dibuat di

I
64 Edgar Allan Poe
kantor polisi. Beberapa petugas dikirim untuk
meneliti rumah ini.
Aku tersenyum-apa lagi yang perlu
kutakutkan? Aku menyambut mereka dengan
ramah. Jeritan itu, kubilang, adalah teriakanku
sendiri. Tadi malam aku bermimpi buruk.
Lelaki tua itu sedang berlibur ke desa, kataku.
Aku mengajak mereka berkeliling rumah. Aku
mempersi lakan mereka meryieriksa-me-
meriksa dengan baik. Akhirnya, aku mem-
bawanya ke kamarnya. Aku menunjukkan
barang-barangnya, aman dan tak terganggu.
Merasa amat percaya diri, aku membawa
kursi-kursi ke ruangan itu. Aku mempersilakan
mereka beristirahat sejenak. Dengan penuh
percaya diri, aku bahkan meletakkan kursiku
tepat di atas mayat lelaki tua itu.
Para petugas itu mempercayaiku. Aku
merasa lega. Mereka duduk di sana sejenak,
bercakap-cakap tentang soal keseharian ..
Namun, tak lama, aku merasa wajahku
memucat. Aku meminta mereka pergi. Ke-

Sebuah Kisah j 65
palaku pusing dan kukira aku merasa ada yang
berdenging di kupingku. Namun, mereka
masih juga duduk mengobrol. Denging;:i.n di
telingaku makin nyaring. Aku berbicara lebih
banyak untuk mengusir perasaan itu. Tapi
suara bising itu makin nyaring. Akhirnya, aku
sadar suara itu bukan berasal dari kupingku.
Aku makin pucat. Aku berbicara lebih
cepat, dengan suara lebih keras. Tapi bunyi
itu makin nyaring. Apa yang bisa kulakukan?
ltu adalah suara lirih yang cepat. Terdengar
seperti detak jam terbungkus kain katun. Aku
menarik napas. Para polisi itu tak mendengar-
nya. Aku berbicara lebih cepat dan lebih keras,
tapi bunyi bising itu makin nyaring. Aku
berdiri dan berjalan berkeliling. Aku berbicara
tentang hal-hal yang tak penting. Aku bicara
dengan suara tinggi dan gerakan keras-tapi
bunyi bising itu kian nyaring.
Mengapa mereka tak juga pergi? Aku
berjalan mondar-mandir dengan langkah berat,
tapi bunyi itu makin nyaring. Oh, Tuhan! Apa

I
66 Edgar Allan Poe
yang bisa kulakukan? Bunyi bising itu makin
nyaring, makin nyaring, makin nyaring! Dan
orang-orang itu terus saja mengobrol dengan
riang. Mungkinkah mereka tak mendengar
suara itu? Tuhan Yang Mahakuasa! Tidak, tidak!
Mereka mendengarnya! Mereka curiga!
Mereka tahu! Mereka mempermainkan aku!
lnilah yang kupikirkan dan masih juga ku-
pikirkan.
Tapi ada yang lebih baik daripada
kepedihan ini! Ada sesuatu yang lebih baik
daripada membiarkan mereka menipuku! Aku
tak bisa melihat senyum mereka lebih lama
lagi ! Aku merasa harus menjerit atau aku mati !
Dan kini, lagi-lagi, dengarkan! Bunyi itu makin
nyaring! Makin nyaring!
"Bangsat!" jeritku. "Jangan berpura-pura!
Kuakui perbuatanku! Buka papan lantai itu!
Di sini! lni bunyi detak jantungnya yang ter-
sembunyi !"Ill

I
Sebuah Kisah 67
KUCl'NG HITAM
Bisakah kecanduan membuat orang
melakukan kejahatan? Kisah ini
menunjukkan kehancuran bertahap
sebuah pikiran yang sakit. Setiap saat,
tokoh utama cerita ini tenggelam makin
dalam ke dalam neraka yang ia ciptakan
sendiri. Sebuah gambaran tentang
perusakan diri
KUCING HITAM

A
ku tak berharap seorang pun akan
percaya kisah fantastis yang akan
kuceritakan ini. Aku harus jadi gila
dulu untuk berharap agar orang mempercayai
ceritaku. Aku sendiri sulit mempercayainya-
dan kulihat segala yang terjadi. Tapi, aku tidak
gila--dan kutahu ini bukan mimpi. Besok aku
akan mati. Kini aku ingin meringankan beban
jiwaku.

I71
Aku ingin menceritakan serangkaia'n
kejadian biasa pada dunia. Aku mau me-
lakukannya dengan cara yang terang dan
jelas, tanpa komentar. Kejadian-kejadian ini
membuat aku ngeri-membuatku merasa
tersiksa-dan menghancurkanku. Namun,
aku tak akan mencoba m~njelaskan kejadian-
kejad ian itu. Bagiku, mereka hanya me-
nyebabkan rasa takut. Setelah aku mati,
mungkin seseorang akan dapat menemukan
alasan untuk segala yang terjadi. Atau
mungkin orang lain akan melihat bahwa
kejadian-kejadian itu tak lebih daripada
serangkaian hubungan sebab-akibat yang
bersifat alamiah.
Sejak bayi, aku dikenal karena bertingkah
manis dan baik hati. Kenyataannya, teman-
temanku menjadikannya bahan gurauan. Aku
sangat menyukai binatang dan orang tuaku
mengizinkanku memeliharanya. Saat aku
benar-benar merasa bahagia adalah ketika aku
memberi makan dan bermain dengan mereka.

-721 Edgar Allan Poe


Sifat ini tumbuh makin kuat ketika aku
dewasa. Waktu aku telah menjadi seorang
lelaki dewasa, kecintaanku terhadap binatang
peliharaan menjadi salah satu sumber kese-
nanganku. Aku tak perlu menerangkan soal
ini pada siapapun yang mencintai seekor
anjing pintar yang setia. Ada sesuatu dalam
cinta yang tak egois pada seekor binatang
yang meresap langsung di hati seseorang.
Aku kawin muda dan merasa bahagia saat
tahu istriku memiliki sifat yang sama de-
nganku. Ketika ia melihat betapa aku me-
nyukai binatang peliharaan, ia memelihara
banyak binatang peliharaan dari jenis terbaik.
Kami punya burung-bu_rung, banyak ikan
mas, seekor anjing, kelinci-kelinci, seekor
monyet mungil dan seekor kucing.
Kucing ini amat besar dan indah. War-
nany11 hitam legam dan amat pintar. lstriku
yang pertama kali menyadari betapa pintar
kucing itu. Menjadi agak bertahayul, ia bilang
padaku bahwa dongeng kuno mengatakan

I
Kucing Hitam 73
bahwa kucing hitam biasanya memiliki
kekuatan sihir. Tentu saja ia tak sungguh-
sungguh soal ini. Aku menyebutkan hal ini
karena tiba-tiba saja aku ingat.
t<ucing itu bernama Pluto. la adalah
hinatang peliharaan kegemaranku dan teman
bermain buatku. Aku sendiri yang mem-
berinya makan dan ia membuntutiku ke mana
pun aku pergi di dalam rumah. la bahkan
selalu mencoba mengikutiku apabila aku
hendak pergi ke luar rumah.
Hubungan kami yang seperti itu tidak
berubah selama beberapa tahun. Sampai
kemudian peri laku dan sifatku menjadi
semakin buruk. lni karena aku mulai terlalu
banyak minum. Hari ke hari, aku semakin sulit
untuk ditemani. Aku tidak lagi peduli pada
perasaan orang lain. Aku bahkan mengucap-
kan kata-kata kasar pada istriku. Puncaknya,
aku menjadi kejam padanya.
Hewan-hewan peliharaanku, tentu saja
ikut menderita. Aku tidak hanya menelantar-

74 j Edgar Allan Poe


kan mereka, tapi juga memperlakukan mereka
dengan amat kasar. Aku masih cukup peduli
pada Pluto untuk tidak mengasarinya. Tetapi
aku tak peduli lagi jika aku melakukannya
pada kelinci, monyet ataupun anjing yang
menggangguku. Penyakitku semakin parah
dan penyakit apakah yang lebih parah dari
kecanduan alkohol! Akhirnya, aku bahkan
mulai mengasari Pluto yang kini menjadi
semakin tua.
Suatu malam, aku pulang dalam keadaan
mabuk dan membayangkan kucing itu seperti
sedang menghindar dariku. Ketika kudekati,
ia jadi amat ketakutan . KuCing itu menggigit
tanganku dan meninggalkan Iuka bekas
cakaran. Aku sangat marah hingga tak bisa lagi
kukenali diriku sendiri. Sepertinya jiwaku yang
asli meninggalkan tubuhku dan sesosok setan
durjana mengambil alih tubuhku. Aku me-
ngambil pisau saku dari kantong rompiku dan
menghunusnya. Lalu aku mencekik hewan
malang itu dan mencungkil salah satu bola

I
Kucing Hitam 75
matanya! Aku malu, terbakar dan gemetar
mengingat kekejian itu.
Aku sadar pagi harinya. Pengaruh alkohol
telah le~yap. Tapi aku merasakan sesuatu-
separuh takut dan separuh menyesal- atas
apa yang tel ah kulakukan. Pada akhirnya yang
terasa adalah sebuah perasaan lemah. Jiwaku
menjadi tak tersentuh. Kembali aku mulai
minum. Dengan segera ingatan tentang per-
buatanku larut dalam anggur.
Pada saat itu kucing itu mulai sembuh.
Rongga matanya yang bolong tampak me-
ngeri kan, tapi ia tak kelihatan kesakitan.
Kucing itu berkeliaran dalam rumah seperti
biasa, ta pi ia selalu kabur apabi la aku
mendekat. Tentu saja ia takut padaku. Pada
mulanya aku merasa sedih karena binatang
yang tadinya mencintaiku jadi membenciku.
Namun, rasa sedih itu segera beruba:h menjadi
rasa sebal. Dan kemudian berubah menjadi
sebuah semangat jahat.

76 j Edgar Allan Poe


Semangat jahat itu tak bisa kita paharTJi.
Tapi aku yakin itu ada pada setiap hati
manusia. la memberi arah pada sifat manusia.
Siapakah yang tak pernah melakukan sesuatu
yang jahat atau bodoh-bukan karena alasan
lain selain karena ia tahu bahwa ia tak boleh
melakukannya? Tidakkah kita semua memiliki
sebuah hasrat untuk m~langgar aturan hanya
karena itu ~daiah aturan? Semangat jahat ini
datang sebagai kejatuhan akhirku. lni adalah
kerinduan jiwaku yang tiada berakhir untuk
berbuat salah hanya karena ingin berbuat
salah.
Sifat jahat dalam diriku membuatku ingin
melukai kucing itu lebih parah lagi. Suatu pagi,
dengan darah dingin, kuselipkan jerat rne-
ngelilingi leher kucing itu. Lalu aku meng-
gantungnya di dahan sebuah pohon. Aku
melakukannya dengan air mata mengalir. Saat
melakukannya aku merasa bersalah dalam
hati. la kugantung karena aku tahu bahwa
kucing itu pernah mencintaiku. Aku melaku-

I
Kucing Hitam 77
kannya justru karena kucing itu tak memberiku
alasan untuk melukainya. Kulakukan per-
buatan itu karena aku tahu bahwa dengan
melakukannya aku telah berbuat dosa. Aku
tahu bahwa itu adalah sebuah dosa maut yang
tak berampun.
Malam itu aku terjaga karena suara
kobaran api. Kelambu di sekeliling ranjangku
adalah lidah api. Seluruh rumah menyala!
Dengan susah payah, istriku, seorang pem-
bantu dan aku berhasil keluar dari rumah itu.
Sebelum malam berakhir seluruh rum~h itu
telah hangus terbakar. Semua hartaku musnah.
Aku merasa putus asa.
Aku mencoba untuk tidak berkata bahwa
akulah yang telah menyebabkan kebakaran
itu terjadi. Tidak! Aku hanya mengatakan
bahwa segala sesuatu terjadi karena harus
terjadi.
Esok hari setelah kejadian itu, aku
melihat-lihat puing rumahku. Semuanya
musnah kecuali sebuah dindihg. Dinding itu

I
78 Edgar Allan Poe
masih berdiri tegak di tempat yang se-
belumnya merupakan bagian tengah ruma.h.
Kepala tempat tidurku berhadapan dengan
dinding itu. Aku teringat dinding ini baru
ditembok ulang. Mungkin itu yang menye-
1amatkan nya.
Kerumunan orang mengelilingi dinding
itu. Aku bisa mendengar beberapa orang
berkata, "Aneh!" Yang .lainnya menimpali,
"Luar biasa!" Saat aku mendekat, kulihat
gambar seekor kucing raksasa di atas dinding.
Seakan-akan gambar itu dipahat di sana. Ada
seutas tali menjerat leher kucing itu .
Saat aku pertama melihatnya, aku merasa
amat ketakutan. Lalu aku ingat bahwa kucing
itu telah kugantrung di sebuah kebun dekat
rumahku. Saat kebakaran mulai terjadi se-
kumpulan orang berkerumun di kebun.
Seseorang pasti melihat kucing itu, memotong
tali yang mengikatnya ke pohon dan
melemparkannya melalui jendela kamarku.
Mungkin mereka melakukannya untuk mem-

I
Kucing Hitam 79
bangunkanku. Rubuhnya dinding lain
mungkin menindih bangkai kucing itu ke
dinding yang baru ditembok ulang. Lalu, api
yang berkobar, entah bagaimana, menghasil-
kan akibat aneh pada dinding. ·'
Walupun aku bisa menjelaskan apa yang
telah terjadi, toh itu tetap saja menakutkan.
Selama berbulan-bulan aku tak dapat melu-
pakan pemandangan sosok seekor kucing di
atas dinding. Aku merasa menyesal, tetapi itu
bukan sungguh-su,ngguh sebuah penyesalan.
Aku merindukan binatang itu dan mulai
mencari-cari kucing lain yang mirip dengan
si hitam manis Pluto.
Suatu ma lam aku pergi ke sebuah bar, aku
melihat sesosok benda hitam di sudut ru-
angan. Karena aku tahu apa itu, aku mendekat
untuk melihatnya dengan lebih jelas. ltu
adalah seekor kucing hitam yang sangat besar.
Kucing itu seukuran Pluto dan amat mirip
dengannya dalam segala hal, kecuali satu. ·
Pluto tak memiliki bulu putih di bagian

I
80 Edgar Allan Poe
Walupun aku bisa menjelaskan apa yang telah
terjadi, toh itu tetap saja menakutkan.
Selama berbulan-bu1an aku tak dapat melu-
pakan pemandangan sosok seekor

kucing di atas dinding. Aku merasa


menyesal tetapi itu bukan

sungguh-sungguh sebuah penyesalan.

Aku
merindukan
binatang itu dan

mulai mencari-cari kucing lain yang mirip

dengan si hitam manis


Pluto.
manapun tubuhnya. Kucing yang ini memiliki
sekelompok bulu putih di dadanya.
Saat kusentuh, kucing itu melonjak
girang. la mengeong nyaring, menggosok-
gosokkan tubuhnya pada tanganku dan
tampak amat senang. Tampaknya inilah
kucing yang aku cari. Aku menawarkan diri
untuk membelinya pada pemilik bar. Namun,
katanya ia tak pernah melihat kucing itu se-
belumnya.
Aku terus bermain . dengan kucing itu
hingga aku hendak pulang. Saat aku akan
pergi, kucing itu seperti ingin mengikutiku.
Aku membiarkannya berbuat begitu. Aku
membungkuk dan bermain dengannya sambil
kami berjalan. Ketika kami tiba di rumah, ia
tampak cocok di tempat itu. Sejak awal, ia
langsung disukai oleh istriku.
Aku sendiri, dengan segera menjadi tidak
suka pada kucing itu. lni berlawanan dengan
apa yang kuharapkan. Aku tak bisa men-
jelaskan bagaimana atau mengapa, tapi rasa

I
82 Edgar Allan Poe
senang kucing itu padaku membuat aku jijik
dan merasa terganggu. Perlahan-lahan pe-
rasaan ini berubah menjadi kebencian. Aku
menghindari binatang itu. Hanya rasa malu
atas apa yang tel ah kulakukan pada Pluto yang
rnencegahku melukai kueing itu.
Selama beberapa minggu aku tak mela-
kukan apa pun yang membahayakannya.
Tapi, perlahan-lahan aku mulai melihat kucing
itu dengan penuh kebencian. Jika kucing itu
masuk ke kamarku, aku segera pergi, seakan-
akan aku tengah mengh i ndari sebuah pe-
n ya kit berbahaya.
Mungkin aku lupa mengatakan tentang
hal aneh yang kemudian kusadari terjadi esok
pagi setelah kucing itu kubawa ke rumah. Saat
itu, ketika kulihat kucing itu, ia ternyata ke-
hilangan sebelah matanya seperti Pluto. Ke-
nyataan ini, bagaimanapun, justru membuat
istriku semakin mencintainya.
Makin kubenci kucing itu ia justru makin
suka padaku. Kucing itu membuntutiku

Kucing Hitam j 83
kemana pun aku pergi .Saat aku duduk ia akan
merunduk di bawah kursiku atau melompat
ke pangkuanku. Jika aku bangkit dan berjalan,
ia akan . menyelinap di antara kakiku dan
mengikutiku. Terkadang ia mencakar bajuku
lalu memanjat ke dadaku. Seringkali aku ingin
' .
memusnahkan kucing itu dengan sekali
gebuk. Namun, aku berhasil menahan diri
karena satu hal, aku malu atas apa yang ku-
lakukan pada Pluto . Tapi., alasan sesung-
guhnya adalah karena ternyata aku takut pada
kucing itu.
Bukan bahaya fisik yang kutakuti, tapi aku
tak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku
nyaris malu mengakuinya bahkan hingga saat
aku duduk dalam sel penjara. Rasa ngeri dan
takut yang dibangkitkan kucing itu pada diriku
disebabkan oleh bulu-bulu putih di badannya.
Bulu-bulu putih inilah satu-satunya perbedaan
antara kucing ini dengan kucing yang pernah
kubunuh.

841 Edgar Allan Poe


Saat pertama aku melihat kucing itu,
tanda ini tidak menyerupai sesuatu. Tapi
perlahan-lahan, bentuk itu makin jelas. Kini
ia tampak seperti sebuah benda yang
membuatku bergidik hanya karena me-
nyebutnya. Tanda putih itu membentuk se-
suatu yang menakutkan: tiang gantungan! Ya,
tempat penggantungan ! Oh, tempat kejahatan
yang mengerikan, tern pat pen uh kesakitan dan
maut!
Karena tanda yang menakutkan ini, aku
kini menderita. Andai saja aku berani, akan
kuenyahkan kucing itu. Siang dan malam aku
tidak bisa beristirahat. Siang hari, kucing itu
tak mau meninggalkanku sendirian sekejap
pun. Di malam hari, aku bermimpi buruk yang
membuatku terjaga setiap jam. S~tiap kali
terbangun, kurasakan nafas kucing itu di
wajahku. Kemudian aku tahu bahwa kucing
itu menindih jantungku!
Kini aku mulai diganggu pikiran jahat. Aku
jadi membenci segala hal dan semua orang.

I
Kucing Hitam 85
lstriku yang malang menderita karena suasana
hatiku yang buruk walaupun dia tak pernah
mengeluh.
Suatu hari istriku mengikutiku ke ruang
bawah tanah rumah kami. Saat kami berjalan,
kucing itu ikut menuruni tangga. Menyelinap
di sela kakiku, ia nyaris membuatku terje-
rembab. lni membuatku murka, membuatku
lupa pada rasa takut yang hingga saat itu
mencegahku bertindak lebih lanjut.
Tanpa pikir panjang, kuangkat sebilah
kapak dan kulayangkan ke arah kucing itu.
Serangan ini pasti akan langsung mem-
bunuhnya jika tepat mengenai sasaran. Na-
mun, istriku menghentikanku sebelum aku
berhasil mengayunkan tangan. Aku menjadi
makin murka . Aku melepaskan diri dari
cekalan istriku dan menancapkan kapak itu
di kepalanya! lstriku langsung tewas tanpa
sempat menjerit.
Aku tahu aku harus melakukan sesuatu
untuk menyembunyikan mayatnya. Aku tak

I
86 Edgar Allan Poe
Bukan bahaya fisik yang kutakuti, tapi aku tak
tahu bagaimana menjelaskannya. Aku nyaris
malu mengakuinya bahkan hingga
.
saat aku duduk dalam sel pen Jara.

Rasa ngeri dan


takU t yang dibangkitkan kucing itu
pada diriku disebabkan oleh bulu-bulu putih di

Bulu-bulu
badannya.

pU tih inilah satu-

satunya perbedaan antara kucing ini dengan


kucing yang pernah

kubunuh.
mungkin membawanya ke luar rumah, siang
atau malam. ltu terlalu berbahaya karena bisa
saja terlihat oleh para tetangga.
Gagasan-gagasan lain mel i ntas di
benakku. Salah satunya adalah membakar
mayat itu. Atau menguburnya di lantai ruang
bawah tanah. Aku juga berpikir tentang
membuangnya ke sumur yang terletak di
halaman rumah . Sempat terlintas pula untuk
membungkusnya dalam sebuah kotak, seolah-
olah dia semacam barang dagangan. Lalu aku
akan menyuruh pelayanku untuk mem-
bawanya ke luar rumah. Akhirnya aku me-
r:nutuskan untuk menemboknya di ruang
bawah tanah.
Ruang bawah tanah itu cukup cocok
untuk tujuan itu. Dindingnya rapuh dan be Ium
lama ini dilapisi kembali dengan semen kasar.
Kelembaban udara mencegah adonan semen
itu mengeras. Lagi pula, salah satu dinding itu
memiliki bagian yang dulunya merupakan
perapian. Perapian itu diratakan sehingga

I
88 Edgar Allan Poe
tampak seperti bagian lain ruang bawah tanah
itu . Aku tahu cukup mudah membongkar
lapisan batu bata yang menyusun dinding itu.
Lalu aku akan melekatkan mayat itu di dalam-
nya dan menembok kembali dinding itu. Tak
seorang pun akan tahu perbedaannya.
Aku menggunakan sebuah linggis untuk
membongkar lapisan batu bata. Lalu, dengan
hati-hati aku meletakkan mayat itu dekat
dinding bagian dalam perapian. Soal gam-
pang mengembalikan lapisan batu bata itu ke
tempat semula. Kemudian dengan cermat
kutembok kembali lapisan batu bata itu . Saat
aku selesai, aku melangkah mundur untuk
melihat hasil karyaku. Dinding itu tampak
sempurna. Tak seorang pun akan merasa ter-
ganggu olehnya.
Lalu aku mencari-cari kucing pembuat
onar itu. Aku ingin membunuhnya. Jika aku
melihatnya saat itu, tak diragukan lagi apa yang
akan kulakukan padanya. Tapi binatang itu
sekaan-akan bersembunyi di suatu tempat. la

Kucing Hitam j 89
pasti ketakutan oleh aksi kemarahanku. Aku
tak bisa menemukannya di mana pun. Dania
tak juga muncul sepanjang malam. Akibatnya,
setidak-tidaknya untuk semalam, aku bisa
tidur lel~p. ltu adalah malam damai pertamaku
sejak kucing itu kubawa pulang ke rumah.
Hari kedua dan ketiga berlalu dan kucing
itu belum muncul juga. Betapa bahagia hati-
ku! Pikiran tentang apa yang telah kulakukan
pada istriku hanya sedikit menggangguku. Be-
bepara orang bertanya tentangnya, tapi aku '
mengarang cerita untuk menjelaskan soal itu.
Penyelidikan sempat dilakukan tapi tentu saja
tak ditemukan apapun. Kini aku menatap ke-
bahagiaan masa depanku dengan pasti.
Pada hari keempat, polisi datang lagi ke
rumahku. Mereka kembali menyelidiki tempat
tinggal kami, kali ini termasuk lantai dan ruang
bawah tanah. Mereka tak menyisakan satu
sudut pun tanpa mereka sentuh. Akhirnya,
mereka turun ke ruang bawah tanah. Aku tak
merasa gugup. Jantungku berdetak tenang

I
90 Edgar Allan Poe
seakan-akan sedang tidur dan bermimpi
indah. Aku mondar-mandir di ruang bawah
tanah, bersedekap. Akhirnya polisi-polisi itu
bersiap untuk pergi.
Saat mereka pergi aku berbicara pada
mereka, kebahagiaan yang kurasakan dalam
· hatiku terlalu kuat untuk ditahan. "Bapak-
bapak, aku senang bisa rnembantu. Aku ber-
harap kalian diberkati kesehatan. Rumah ini
dib,angun dengan sangat rapi. Tidakkah kalian
setuju?" kataku (aku tak tahu mengapa aku
terus saja berbicara, seolah-olah aku tak bisa
menahan diri). "Dinding ini sangat kokoh,"
ujarku. Aku memegang sebatang tongkat di
tanganku yang kugunakan untuk memukul-
mukul dinding itu. Aku melakukannya tepat
pada bagian dinding tempatku menyem-
bunyikan mayat istriku!
Segera setelah suara ribut karena aku
memukul-mukul dinding menghilang dalam
kesunyian, sebuah suara terdengar dari dalam
dinding. ltu adalah sebuah tangisan. Pada

Kucing Hitam 191


mulanya lirih dan lembut, seperti isakan
seorang anak kecil. Tapi suara itu dengan
cepat menjadi sebuah jeritan panjang yang
nyaring. ltu bukan suara manusia. ltu adalah
sebuah lolon'gan, separuh ketakutan dan
separuh penuh kemenangan. Tampak bodoh
untuk mengatakan apa yang sedang kupikir-
kan. Nyaris terengah-engah, aku terjajar ke
dinding yang berlawanan. Sejenak para polisi
itu terdiam di tangga, membeku ketakutan.
Saat berikutnya selusin tangan kekar
merobohkan dinding itu. Dinding itu runtuh
dengan mudah. Mayat istriku yang sudah
mulai membusuk terbaring di sana, di
hadapan para polisi itu. Di dekat kepalanya,
duduk seekor kucing hitam yang memandang
pada kami dengan matanya yang tinggal
sebelah. Kucing itulah yang telah membuatku
membunuh istriku dan kemudian membawa-
ku ke tiang gantungan. Rupanya aku tel ah me-
nembok monster itu dalam kuburan istriku.IJ

I
92 Edgar Allan Poe
·~

Anda mungkin juga menyukai