Anda di halaman 1dari 11

NAMA : Robbie Handoko

NPM : 6052201407
DOSEN : Ibu Kurniasih Ani

ESAI AKADEMIK :

Riwayat Kematian Buku dan


Tangisan Pohon
"...buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi." - Jorge Luis Borges
Bibliosida kurang lebih memiliki makna pembunuhan atau pemusnahan buku. Aksi bibliosida,
seingat saya, muncul sebagai tema utama pada novel karangan Ray Bradbury berjudul
Fahrenheit 451. Di situ, Bradbury menuliskan kisah Guy Montag, seorang pemadam
kebakaran yang tiba-tiba merasa risau.
Ia risau pada profesinya sendiri lantaran di suatu masa di mana kisah itu diceritakan, peran
seorang pemadam kebakaran terbilang amat aneh. Alih-alih memadamkan kobaran api,
Montag sebagai seorang pemadam kebakaran justru mesti membakar habis buku-buku yang
ia temui.
Kerisauan yang serupa juga menghantui Fernando Báez, seorang pakar perbukuan dan
perpustakaan asal Venezuela. Sekitar tahun 2003, museum-museum dan perpustakaan-
perpustakaan di Baghdad dihancurkan. Jutaan buku dan arsip berharga lenyap bersama
kobaran api. Kepada Báez, seorang mahasiswa Baghdad melempar sebuah pertanyaan
sederhana yang sekaligus begitu mengusik: mengapa orang menghancurkan buku-buku.
Pertanyaan itu begitu menusuk, sehingga melalui karyanya yang berjudul "Penghancuran
Buku Dari Masa ke Masa", Baez berusaha menjawab. Dengan segenap rasa penasaran dan
mungkin juga ngeri, Baez pun memasuki peradaban-peradaban paling kelam di masa lampau,
di mana pada saat itu buku menghadapi episode-episode kematian yang mengenaskan.
Buku menyimpan ingatan-ingatan. Dalam lembar-lembar kertas berjilid itu, ia mampu
merangkum ingatan-ingatan bahkan dari masa yang amat jauh. Sebagai perangkat ingatan, di
dalamnya tersimpan manfaat sekaligus dampak bahaya dalam waktu bersamaan.
Anak perempuan yang terkurung di tempat persembunyian akibat perang, misalnya, bisa saja
menulis sebuah memoar selama masa-masa suram itu sebelum pada akhirnya ia meninggal
akibat typhus di kamp konsentrasi. Kita lantas mengenal gadis itu dengan nama Anne Frank.
Catatan harian gadis itupun menjadi fenomena. Selang pasca catatan harian itu akhirnya
ditemukan dan dipublikasi, nama Anne Frank menjadi legenda baru. Berjuta-juta kopi buku
diary itupun terjual di mana-mana, beragam karya visual pun dibuat berdasarkan adaptasi
kisahnya.
The Diary Of A Young Girl, judul buku harian gadis remaja itu, dengan amat luar biasa mampu
menjadi inspirasi sekaligus mengundang rasa simpati jutaan orang di seluruh dunia. Keluguan
Anne Frank yang tertulis di buku diary itupun pada akhirnya sudah lebih dari cukup untuk
membikin seluruh dunia kian geram terhadap kekejian Jerman pada masa perang dan
mengutuk tragedi Holocaust hingga saat ini.
Di lain sisi, buku juga mengandung ingatan-ingatan berbahaya. Buku adalah musuh dan
ancaman serius bagi sistem yang tengah berjalan. Ia kerap dianggap terlalu rusuh merecoki
kepentingan-kepentingan mereka yang sedang duduk di kursi kekuasaan.
Ibarat kokok ayam di kala fajar, ingatan-ingatan yang tertulis di dalam sebuah buku bisa
teramat gaduh sampai-sampai mampu membangunkan mereka para penguasa yang telah
nyenyak dalam tidurnya, sekaligus menyadarkan mereka kelompok yang selama ini dicekik
segala macam penindasan.
Melalui skema bibliosida, masa lalu atau sejarah coba dihapus untuk selanjutnya bisa ditulis
ulang sesuai kepentingan sang penguasa. Dengan demikian, penguasa yang totaliter akan
lebih mudah mengontrol persepsi dan pola pikir masyarakat yang berada di bawa h ketiak
kekuasaannya sesuai dengan apa yang diinginkan. George Orwell menggambarkan skema
mengerikan semacam ini dalam novelnya yang fenomenal berjudul "1984".
Pendeknya, dari kasus-kasus pembunuhan buku yang pernah terjadi sepanjang sejarah
peradaban manusia, latar belakang di balik itu semua nyaris serupa, yaitu paranoia akan
ingatan. Peraih nobel sastra Milan Kundera dalam bukunya “The Book Of Laughter And
Forgetting" sampai tak lupa mewanti-wanti kita bahwa,
“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa."
Kekejian terhadap buku nyatanya tak usai sampai di situ saja. Di Indonesia sendiri,
belakangan kekerasan terhadap buku memiliki bentuk yang cukup berbeda, yaitu berupa
pelarangan ataupun pencekalan. Pada pertengahan 2017, setidaknya tercatat ada dua kali
pelarangan terhadap acara kajian buku.
Yang pertama, yaitu penolakan terhadap acara bedah buku berjudul "Islam Tuhan Islam
Manusia" karya Haidar Bagir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Sekelompok
massa yang menamai diri sebagai Perhimpunan Pecinta Keluarga Nabi (PPKN) itu melakukan
pelarangan lantaran menilai Haidar Bagir sebagai penganut Syiah.
Tak jauh berbeda dengan itu, acara kajian buku bertajuk “Bedah Buku Salju di Aleppo"
bersama penulis Dina Sulaeman yang diselenggarakan oleh Laboratorium Hubungan
Internasional FISIP Universitas Brawijaya terpaksa dibatalkan. Pembatalan itu dilakukan
lantaran adanya desakan dari kelompok Ormas yang menamai diri Jama’ah Ansharusy
Syari’ah. Alasannya lagi-lagi serupa, pemateri acara bedah buku itu dianggap menganut
paham Syiah.
Meski gerakan pelarangan tidak termasuk ke dalam gerakan kelompok bibliokas (sebutan
untuk penghancur buku), namun dilihat dari motifnya gerakan mereka nyaris serupa. Menurut
Umberto Eco, seorang bibliokas fundamentalis tidak membenci buku sebagai objek, mereka
takut akan isinya dan tidak mau orang lain membacanya. Gerakan penghancuran itu dilakukan
atas dasar fanatisme, motif yang juga seringkali ditemui pada gerakan pelarangan.
Apabila kita membahas satu demi satu tragedi yang pernah dihadapi oleh buku rasanya tidak
akan selesai, sementara persoalan lain di dunia buku terus bergulir. Setelah kita tahu bahwa
konsekuensi logis atas kematian buku di antaranya yaitu risiko akan hancurnya ingatan,
gagasan, pengetahuan, sejarah, identitas, ideologi, budaya, dan lainnya.
Manusia kini dihadapkan oleh realitas baru yang tak kalah pelik, yaitu perubahan iklim.
Realitas baru ini hadir layaknya kotak pandora, memunculkan persoalan baru nan dilematis
di dunia buku, utamanya di dunia kertas.
Pohon-pohon, yang menurut para ahli berperan menjaga kestabilan iklim, selama ini ditebang
dan dikorbankan salah satunya demi keperluan pemenuhan produksi kertas, pemenuhan
kebutuhan manusia. Buku, di satu sisi membawa manfaat literasi dan lain-lain, sementara di
sisi lainnya ia mengorbankan banyak hal. Satu kutipan ironis ini barangkali tepat:
"Every time you open a book and read it, a tree smiles knowing there's life after death."
Manusia menghadapi dilema. Perubahan iklim sama sekali bukanlah wacana propagandis
yang digaung-gaungkan oleh para politikus, melainkan realitas alami yang kelak menantang
eksistensi manusia juga pada akhirnya. Tetapi bukankah di lain sisi manusia juga toh tak bisa
diam saja membiarkan ingatan-ingatan berserakan lenyap belaka sementara para penguasa
amat mudahnya lupa. Lantas bagaimana?
Revolusi pun coba dilakukan. Manusia beramai-ramai menciptakan peradaban baru, yaitu
peradaban dunia tanpa kertas (paperless society). Konsep buku yang semula adalah kertas-
kertas yang dijilid rapi, berisi tulisan dan memiliki ketebalan tertentu, kini manusia harus
mampu beradaptasi dengan konsep yang sama sekali baru.
Persepsi tentang buku pun coba digeser. Di mana semula buku dianggap memiliki format
fisik, sekarang ia berbentuk nir-kertas atau digital, yang mana mesti dibaca dengan
menggunakan gawai pintar. Karenanya orang-orang pun menambahkan istilah "elektronik"
setelah kata "buku" sebagai sebutan baru untuk perangkat buku tanpa kertas ini. Istilah "buku
elektronik" atau dalam bahasa Inggris "ebook" muncul.
Tak hanya buku, aspek-aspek hidup manusia yang lain juga terkena imbas revolusi peradaban
ini. Hampir segalanya coba dibiasakan untuk mampu beradaptasi tanpa kertas. Sebut saja tiket
elektronik, undangan elektronik, surat elektronik, uang elektronik, dan lain-lain.
Meski ebook sebagai alternatif perangkat bacaan tampaknya cukup menjanjikan, namun
nyatanya itu tidak serta-merta berjalan semulus layar gawai pintar. Dari data Ikatan Penerbit
Indonesia (IKAPI) yang terangkum dalam "Industri Penerbitan Buku Indonesia: Dalam Data
dan Fakta" (2015), kita lantas mengetahui bahwa penjualan ebook di Indonesia baru mencapai
2 persen saja. Tentu saja banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa si buku elektronik
ini tidak lantas menjadi pilihan. Tetapi saya menduga keras romantika kertas adalah salah satu
biang keladinya.
Tak dapat dipungkiri, aroma kertas yang khas dan pengalaman ketika membolak-balik
halaman buku memiliki rasa tersendiri, yang mana itu tak dapat ditemui pada saat membaca
buku elektronik. Romantika bersama kertas tampaknya telah menjadi satu kebiasaan yang
terlanjur melekat pada hidup manusia hingga kehadiran buku elektronik yang coba
menawarkan segala kepraktisan pun tidak cukup berhasil.
Romantisme semacam inilah yang lantas mampu mengikat manusia untuk tetap merasa
nyaman berlama-lama membaca buku fisik ketimbang buku elektronik. Nyatanya,
demikianlah peradaban bekerja. Manusia sekali lagi dihadapkan dengan zaman transisi,
sebagaimana para pendahulu kita mesti menghadapi transisi dari yang semula tablet kuno ke
gulungan perkamen, dan dari gulungan perkamen ke buku.
Kini, kita mesti siap berhadapan dengan buku elektronik, spesies baru buku tanpa kertas itu.
Akan tetapi, jika memang kita belum benar-benar siap menjadi bagian masyarakat tanpa
kertas (paperless society), maka kita mesti bergegas mencari alternatif lain bagaimana supaya
buku tetap hidup sementara pohon-pohon tidak menemui kematian.
Dengan demikian, di satu sore di masa-masa yang akan datang orang-orang dapat membaca
buku sembari berteduh di bawah pohon rindang, bukan hanya mengurung diri di dalam kamar
lantaran bumi sudah terlalu gersang. Akhirnya, kutipan ironis tentang buku dan pohon yang
saya sebut di atas barangkali dapat kita revisi menjadi begini: "Every time you open a book
and read it, a tree smiles knowing himself still alive."

B. PERTANYAAN
1. Bagaimana judul dari esai tersebut? Apakah menarik minat membaca?
2. Tentukan thesis statement!
3. Tentukan mana yang merupakan pendahuluan, paragraf isi, dan paragraf penutup !
4. Mengapa menurut anda paragraf-paragraf tersebut merupakan pendahuluan, isi, dan
penutup? Apa yang menunjukkan bahwa paragraf tersebut merupakan pendahuluan, penutup,
dan isi ?
5. Berikan 3 contoh kalimat argumentasi dari penulis?
6. Bagaimana/ dengan cara apa penulis memperkuat argumen-argumennya?
7. Adakah parafrase dalam paragraf-paragraf tersebut?
8. Mengapa penulis menggunakan kutipan dalam esai tersebut?
9. Apakah ada kohesi dan koherensi dalam esai tersebut?
10. Bagaimana penulis menulis paragraf isi? Apakah dengan klasifikasi, analisis,
perbandingan, atau hal lain?

C. JAWABAN
1. Ya, menarik untuk minat membaca karena dalam pemilihan judul oleh penulis terdapat kata
“Kematian” dan “Tangisan” dimana kata tersebut memiliki makna yang menyeramkan
dan cenderung menimbulkan pertayaan serta rasa penasaran yang menimbulkan sikap
empati terhadap kesedihan yang terjadi apabila kita selaku pembaca tertarik untuk
membaca tulisan tersebut.
2. Buku elektronik (ebook) dapat menjadi solusi atas pembunuhan buku sepanjang sejarah
peradaban manusia
3. a. Pendahuluan : "...buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi." - Jorge Luis
Borges Bibliosida kurang lebih memiliki makna pembunuhan atau pemusnahan buku.
Aksi bibliosida, seingat saya, muncul sebagai tema utama pada novel karangan Ray
Bradbury berjudul Fahrenheit 451. Di situ, Bradbury menuliskan kisah Guy Montag,
seorang pemadam kebakaran yang tiba-tiba merasa risau. Ia risau pada profesinya
sendiri lantaran di suatu masa di mana kisah itu diceritakan, peran seorang pemadam
kebakaran terbilang amat aneh. Alih-alih memadamkan kobaran api, Montag sebagai
seorang pemadam kebakaran justru mesti membakar habis buku-buku yang ia temui.
Kerisauan yang serupa juga menghantui Fernando Báez, seorang pakar perbukuan dan
perpustakaan asal Venezuela. Sekitar tahun 2003, museum-museum dan perpustakaan-
perpustakaan di Baghdad dihancurkan. Jutaan buku dan arsip berharga lenyap bersama
kobaran api. Kepada Báez, seorang mahasiswa Baghdad melempar sebuah pertanyaan
sederhana yang sekaligus begitu mengusik: mengapa orang menghancurkan buku-
buku. Pertanyaan itu begitu menusuk, sehingga melalui karyanya yang berjudul
"Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa", Baez berusaha menjawab. Dengan segenap
rasa penasaran dan mungkin juga ngeri, Baez pun memasuki peradaban-peradaban
paling kelam di masa lampau, di mana pada saat itu buku menghadapi episode-episode
kematian yang mengenaskan.
b. Paragraf isi : Buku menyimpan ingatan-ingatan. Dalam lembar-lembar kertas
berjilid itu, ia mampu merangkum ingatan-ingatan bahkan dari masa yang amat jauh.
Sebagai perangkat ingatan, di dalamnya tersimpan manfaat sekaligus dampak bahaya
dalam waktu bersamaan. Anak perempuan yang terkurung di tempat persembunyian
akibat perang, misalnya, bisa saja menulis sebuah memoar selama masa-masa suram
itu sebelum pada akhirnya ia meninggal akibat typhus di kamp konsentrasi. Kita lantas
mengenal gadis itu dengan nama Anne Frank. Catatan harian gadis itupun menjadi
fenomena. Selang pasca catatan harian itu akhirnya ditemukan dan dipublikasi, nama
Anne Frank menjadi legenda baru. Berjuta-juta kopi buku diary itupun terjual di
mana-mana, beragam karya visual pun dibuat berdasarkan adaptasi kisahnya. The
Diary Of A Young Girl, judul buku harian gadis remaja itu, dengan amat luar biasa
mampu menjadi inspirasi sekaligus mengundang rasa simpati jutaan orang di seluruh
dunia. Keluguan Anne Frank yang tertulis di buku diary itupun pada akhirnya sudah
lebih dari cukup untuk membikin seluruh dunia kian geram terhadap kekejian Jerman
pada masa perang dan mengutuk tragedi Holocaust hingga saat ini. Di lain sisi, buku
juga mengandung ingatan-ingatan berbahaya. Buku adalah musuh dan ancaman
serius bagi sistem yang tengah berjalan. Ia kerap dianggap terlalu rusuh merecoki
kepentingan-kepentingan mereka yang sedang duduk di kursi kekuasaan. Ibarat kokok
ayam di kala fajar, ingatan-ingatan yang tertulis di dalam sebuah buku bisa teramat
gaduh sampai-sampai mampu membangunkan mereka para penguasa yang telah
nyenyak dalam tidurnya, sekaligus menyadarkan mereka kelompok yang selama ini
dicekik segala macam penindasan. Melalui skema bibliosida, masa lalu atau sejarah
coba dihapus untuk selanjutnya bisa ditulis ulang sesuai kepentingan sang penguasa.
Dengan demikian, penguasa yang totaliter akan lebih mudah mengontrol persepsi dan
pola pikir masyarakat yang berada di bawah ketiak kekuasaannya sesuai dengan apa
yang diinginkan. George Orwell menggambarkan skema mengerikan semacam ini
dalam novelnya yang fenomenal berjudul "1984". Pendeknya, dari kasus-kasus
pembunuhan buku yang pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia, latar
belakang di balik itu semua nyaris serupa, yaitu paranoia akan ingatan. Peraih nobel
sastra Milan Kundera dalam bukunya “The Book Of Laughter And Forgetting" sampai
tak lupa mewanti-wanti kita bahwa, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan
adalah perjuangan ingatan melawan lupa." Kekejian terhadap buku nyatanya tak usai
sampai di situ saja. Di Indonesia sendiri, belakangan kekerasan terhadap buku
memiliki bentuk yang cukup berbeda, yaitu berupa pelarangan ataupun pencekalan.
Pada pertengahan 2017, setidaknya tercatat ada dua kali pelarangan terhadap acara
kajian buku. Yang pertama, yaitu penolakan terhadap acara bedah buku berjudul
"Islam Tuhan Islam Manusia" karya Haidar Bagir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Surakarta. Sekelompok massa yang menamai diri sebagai Perhimpunan Pecinta
Keluarga Nabi (PPKN) itu melakukan pelarangan lantaran menilai Haidar Bagir sebagai
penganut Syiah. Tak jauh berbeda dengan itu, acara kajian buku bertajuk “Bedah
Buku Salju di Aleppo" bersama penulis Dina Sulaeman yang diselenggarakan oleh
Laboratorium Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya terpaksa
dibatalkan. Pembatalan itu dilakukan lantaran adanya desakan dari kelompok Ormas
yang menamai diri Jama’ah Ansharusy Syari’ah. Alasannya lagi-lagi serupa, pemateri
acara bedah buku itu dianggap menganut paham Syiah. Meski gerakan pelarangan
tidak termasuk ke dalam gerakan kelompok bibliokas (sebutan untuk penghancur
buku), namun dilihat dari motifnya gerakan mereka nyaris serupa. Menurut Umberto
Eco, seorang bibliokas fundamentalis tidak membenci buku sebagai objek, mereka
takut akan isinya dan tidak mau orang lain membacanya. Gerakan penghancuran itu
dilakukan atas dasar fanatisme, motif yang juga seringkali ditemui pada gerakan
pelarangan. Apabila kita membahas satu demi satu tragedi yang pernah dihadapi oleh
buku rasanya tidak akan selesai, sementara persoalan lain di dunia buku terus
bergulir. Setelah kita tahu bahwa konsekuensi logis atas kematian buku di antaranya
yaitu risiko akan hancurnya ingatan, gagasan, pengetahuan, sejarah, identitas,
ideologi, budaya, dan lainnya. Manusia kini dihadapkan oleh realitas baru yang tak
kalah pelik, yaitu perubahan iklim. Realitas baru ini hadir layaknya kotak pandora,
memunculkan persoalan baru nan dilematis di dunia buku, utamanya di dunia
kertas. Pohon-pohon, yang menurut para ahli berperan menjaga kestabilan iklim,
selama ini ditebang dan dikorbankan salah satunya demi keperluan pemenuhan
produksi kertas, pemenuhan kebutuhan manusia. Buku, di satu sisi membawa
manfaat literasi dan lain-lain, sementara di sisi lainnya ia mengorbankan banyak hal.
Satu kutipan ironis ini barangkali tepat: "Every time you open a book and read it, a
tree smiles knowing there's life after death." Manusia menghadapi dilema. Perubahan
iklim sama sekali bukanlah wacana propagandis yang digaung-gaungkan oleh para
politikus, melainkan realitas alami yang kelak menantang eksistensi manusia juga
pada akhirnya. Tetapi bukankah di lain sisi manusia juga toh tak bisa diam saja
membiarkan ingatan-ingatan berserakan lenyap belaka sementara para penguasa
amat mudahnya lupa. Lantas bagaimana? Revolusi pun coba dilakukan. Manusia
beramai-ramai menciptakan peradaban baru, yaitu peradaban dunia tanpa kertas
(paperless society). Konsep buku yang semula adalah kertas-kertas yang dijilid rapi,
berisi tulisan dan memiliki ketebalan tertentu, kini manusia harus mampu beradaptasi
dengan konsep yang sama sekali baru. Persepsi tentang buku pun coba digeser. Di
mana semula buku dianggap memiliki format fisik, sekarang ia berbentuk nir-kertas
atau digital, yang mana mesti dibaca dengan menggunakan gawai pintar. Karenanya
orang-orang pun menambahkan istilah "elektronik" setelah kata "buku" sebagai
sebutan baru untuk perangkat buku tanpa kertas ini. Istilah "buku elektronik" atau
dalam bahasa Inggris "ebook" muncul. Tak hanya buku, aspek-aspek hidup manusia
yang lain juga terkena imbas revolusi peradaban ini. Hampir segalanya coba
dibiasakan untuk mampu beradaptasi tanpa kertas. Sebut saja tiket elektronik,
undangan elektronik, surat elektronik, uang elektronik, dan lain-lain.
Meski ebook sebagai alternatif perangkat bacaan tampaknya cukup menjanjikan,
namun nyatanya itu tidak serta-merta berjalan semulus layar gawai pintar. Dari data
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang terangkum dalam "Industri Penerbitan Buku
Indonesia: Dalam Data dan Fakta" (2015), kita lantas mengetahui bahwa
penjualan ebook di Indonesia baru mencapai 2 persen saja. Tentu saja banyak faktor
yang menjadi penyebab mengapa si buku elektronik ini tidak lantas menjadi pilihan.
Tetapi saya menduga keras romantika kertas adalah salah satu biang keladinya. Tak
dapat dipungkiri, aroma kertas yang khas dan pengalaman ketika membolak-balik
halaman buku memiliki rasa tersendiri, yang mana itu tak dapat ditemui pada saat
membaca buku elektronik. Romantika bersama kertas tampaknya telah menjadi satu
kebiasaan yang terlanjur melekat pada hidup manusia hingga kehadiran buku
elektronik yang coba menawarkan segala kepraktisan pun tidak cukup berhasil.
Romantisme semacam inilah yang lantas mampu mengikat manusia untuk tetap
merasa nyaman berlama-lama membaca buku fisik ketimbang buku elektronik.
Nyatanya, demikianlah peradaban bekerja. Manusia sekali lagi dihadapkan dengan
zaman transisi, sebagaimana para pendahulu kita mesti menghadapi transisi dari yang
semula tablet kuno ke gulungan perkamen, dan dari gulungan perkamen ke buku. Kini,
kita mesti siap berhadapan dengan buku elektronik, spesies baru buku tanpa kertas
itu. Akan tetapi, jika memang kita belum benar-benar siap menjadi bagian masyarakat
tanpa kertas (paperless society), maka kita mesti bergegas mencari alternatif lain
bagaimana supaya buku tetap hidup sementara pohon-pohon tidak menemui
kematian.
c. Paragraf penutup : Dengan demikian, di satu sore di masa-masa yang akan datang
orang-orang dapat membaca buku sembari berteduh di bawah pohon rindang, bukan
hanya mengurung diri di dalam kamar lantaran bumi sudah terlalu gersang. Akhirnya,
kutipan ironis tentang buku dan pohon yang saya sebut di atas barangkali dapat kita
revisi menjadi begini: "Every time you open a book and read it, a tree smiles knowing
himself still alive."
4. Dari jawaban nomer 3 saya menyimpulkan Pendahuluan karena berfungsi sebagai
pengantar sebelum masuk ke dalam inti materi bacaan, Dan saya katakana Paragraf isi karena
isinya sudah mulai masuk ke dalam isi cerita yang akan dijelaskan beserta runtutan cerita, serta
saya jelaskan sebagai Paragraf penutup karena ada kata dengan demikian yang menandakan
ujung dari sebuah cerita.
5. a. Buku menyimpan ingatan-ingatan
b. Buku adalah musuh dan ancaman serius bagi sistem yang tengah berjalan
c. Buku, di satu sisi membawa manfaat literasi dan lain-lain, sementara di sisi lainnya
ia mengorbankan banyak hal
6. Penulis memperkuat argumennya melalui buku-buku literatur yang ia baca serta dari
pengalaman atau kejadian yang dirasakan secara langsung oleh penulis.
7. Ada yaitu seperti kalimat “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah
perjuangan ingatan melawan lupa." yang disadur dari isi buku “The Book Of Laughter And
Forgetting"
8. karena penulis ingin memperkuat atau meyakinkan pembaca melalui kutipan dari
beberapa orang sehingga cerita tersebut memiliki nilai historis dan menyerupai kejadian
yang sebenarnya.
9. Ya ada,banyak sekali seperti salah satunya kata “Di lain sisi, buku juga mengandung
ingatan-ingatan berbahaya” diikuti kalimat Buku adalah musuh dan ancaman serius bagi
sistem yang tengah berjalan yang merupakan kohesi dari untuk menjelaskan akibat yang
ditinbulkan cukup serius dan menimbulkan dampak secara luas. Dan kalimat “Revolusi
pun coba dilakukan” memiliki makna yang memiliki kemiripan dengan kata peradaban
baru pada kalimat “Manusia beramai-ramai menciptakan peradaban baru”.
10. Penulis menulis paragraf isi dengan cara perbandingan dan analisis kasus yaitu
berdasarkan literatur buku maupun beberapa kejadian yang pernah dialami oleh penulis
sehingga paragraf isi lebih banyak membahas topik pengalaman seseorang maupun
membandingkan suatu kejadian yang tengah berlangsung saat menceritakan kejadian
tersebut, baik dari para pelaku maupun dari sisi latar belakang cerita dimana judul tulisan
ini dibuat.

Anda mungkin juga menyukai