Anda di halaman 1dari 6

Ironi Rasionalitas dalam melahirkan Nihilisme (Ironi Modernitas)

“Apa yang akan terjadi jika besok semua orang akan mati?” Sebuah pertanyaan aneh
yang merepresentasikan paham Absurd yang digagas oleh Albert Camus melalui karakter
tokoh Mersault dalam novel The Stranger. Saya akui novel tersebut begitu sangat kuat dalam
menggambarkan pemikiran Absurd Camus dimana saat Ibu dari tokoh utama yaitu Mersault
meninggal dia hanya lebih memilih merokok dan minum kopi disamping peti Ibunya
daripada menangisi Ibunya seperti yang dilakukan oleh orang kebanyakan.
Paham Absurd Camus seakan menggambarkan ironi rasional, dimana jika seseorang
sadar akan sebuah kehidupannya/rutinitas dan pola hidupnya hal-hal yang aslinya memiliki
makna dan arti menjadi tidak lagi memiliki arti nilai dan makna. Di sinilah absurd muncul
dan terkadang mendorong seseorang menjadi bersikap hampa terhadap peristiwa maupun
fenomena yang terjadi maka dari situlah muncul sebuah pertanyaan yang terkesan gelap dari
Albert Camus yaitu “bagaimana jadinya jika besok semua orang akan mati?” sejauh yang
saya bisa menjawab pertanyaan ini sejak pertama kali saya berkenalan dengan Albert Camus
saya mengajukan beberapa kemungkinan-kemungkinan. Kemungkinan yang pertama mereka
akan mengisi waktu-waktu akhir mereka dengan memenuhkan hasrat mereka untuk
memperoleh kebahagiaan seperti yang diajukan oleh pemikir-pemikir hedonis. Yang kedua
mereka akan bertaubat secara massal agar mereka memperoleh dunia sana. Dan yang terakhir
mereka akan bersikap biasa-biasa saja seperti karakter Mersault yang menikmati rokok dan
kopi di samping mayat Ibunya.
Namun sepertinya dari tiga kemungkinan itu saya semakin yakin bahwasannya
membuktikan betapa kompleksnya masyarakat mungkin diantara mereka ada yang akan
menggunakan kemungkinan pertama, ada yang menggunakan kemungkinan kedua, dan yang
terakhir adalah menggunakan kemungkinan yang ketiga dan itu tergantung dengan pikiran-
pikiran mereka atau ideologi-ideologi yang mereka anut. Tentu kita harus memaklumi
bahwasannya kematian merupakan hal yang sifatnya tidak bisa dialami secara sadar. Karena
begitu kita mati maka kesadaran kita juga secara otomatis mati oleh karena itu saya sebut
kematian sebagai hal yang sifatnya apriori yang berarti tidak aposteriori karena dia benar-
benar berada diluar jangkauan pengalaman.
Namun apakah dengan diri kita mati kita akan mampu merasakan pengalamannya? Tentu
saja hal itu tidak bisa karena dengan kita mati kesadaran kita menjadi tidak sadar karena kita
telah mati. Lalu apakah kematian itu menakutkan? Tentu saja itu tergantung kepada paham-
paham yang kita anut masing-masing.
Singkatnya jika kemungkinan besok ada sebuah bencana yang begitu hebat dan mampu
mengoyak bumi maka bisa kita katakan eksistensi kita akan lenyap. Namun menariknya
eksistensi tata surya kita maupun galaksi kita akan tetap ada dan hanya bumi saja yang akan
hancur. Inilah sebuah gambaran sederhana bahwa manusia hanyalah serpihan debu kecil dari
begitu banyaknya planet dan tata surya yang berada di jagad raya ini. Kita mungkin sering
mengatakan bahwasannya dunia itu kejam, indah, baik dan buruk. Seakan apa yang kita
katakan mewakili dunia itu sendiri padahal jika kita kaji lebih dalam kita hanyalah serpihan
kecil dari begitu banyaknya galaksi-galaksi.
Lalu untuk apa kita menangisi sebuah kematian jika eksistensi kita saja didalam jagad raya
ini seakan tidak memiliki eksistensi. Inilah ironisnya dari sebuah pemikiran “rasional” bukan
berarti saya menolak dan membenci pada sebuah pikiran “rasional” namun akibat dari pikiran
yang terlalu “sadar” malah membuat seseorang seakan berada dalam bibir jurang nihilis.
Di zaman saat ini pengetahuan dan teknologi telah berkembang dengan sangat cepat
bahkan pertanyaan-pertanyaan mendasar saja mengenai “hal” yang sifatnya takhayul bisa
terjawab hanya dengan ilmu-ilmu alam dan matematika praktis. Namun ternyata dibalik
gemilangnya peradaban modern ini ternyata juga membuat banyaknya orang memilih untuk
mengakhiri hidupnya karena tekanan efisiensi dan kecepatan yang ditawarkan oleh peradaban
maju saat ini.
Lewat paham absurdnya, Albert Camus mengkritik paham optivisme ilmu pengetahuan
seperti itu karena baginya ilmu adalah sebuah kecelakaan kenapa demikian? Di satu sisi ilmu
pengetahuan menawarkan kepada manusia peradaban yang begitu sangat-sangat maju namun
di sisi lain masa depan juga yang akan memusnahkan manusia. Tesis ini dia kemukakan
secara implisit di novel nya berjudul The Stranger lewat pemandangan dunia dengan
perspektif karakter tokoh Mersault.
Dan ternyata pandangan Albert Camus mempengaruhi ahli sosiolog Jerman Ulrich Beck
dengan teorinya yaitu “Masyarakat Resiko”. Masyarakat resiko pada teori Ulrich Beck adalah
kondisi nasyarakat yang rentan terhadap pengaruh modernasi. Modernasi telah membawa
kemajuan teknologi dan industri tetapi juga menyebabkan ketidakpastian dalam kehidupan.
Masyarakat hanya ingin sebuah kenyamanan, aman, dan keamanan namun itu semua tidak
bisa terwujud karena kehidupan selalu penuh dengan risiko dan ketidakpastian yang tentu
tidak dapat untuk dihindari. Selain itu harapan modernasi adalah masyarakat harus mampu
menghadapi persaingan yang terjadi. Namun yang menjadi persoalannya masyarakat sudah
merasa takut akan adanya persaingan inilah yang dinamakan “Masyarakat Resiko”.
Jauh-jauh sebelum mereka berdua mengemukakan pandangan dan kritiknya terhadap
zaman modern dan optivisme ilmu pengetahuan Friederich Nietzsche telah memprediksi
fenomena-fenomena tersebut dalam buku nya berjudul Twilight Of The Idols. Dalam buku
tersebut Nietzsche mengkritik bagaimana hal-hal yang maju dan sederhana akan membuat
manusia menjadi lemah dan tak berdaya didepan realitas.
Dirinya menyebut demikian karena akibat dari modernitas banyak sekali orang-orang di
zamannya yang menderita dan membutuhkan pegangan atau penawar dari penderitaan
tersebut dengan hal yang bersifat metafisika palsu yaitu agama. Dan jika mereka keluar dan
menyadari bahwasanya pegangan itu tidak bernilai dan bermakna mereka akan mengalami
krisis eksistensi. Di zaman itulah orang-orang banyak yang mendewakan science, stag
terhadap agama dan fanatik yang berlebihan.
Awal peradaban Modern sampai Post Modern
Setelah ilmu pengetahuan bangkit dan menginfeksi Eropa manusia mulai banyak
mendewakan ilmu pengetahuan yang telah diperdebatkan oleh Descartes dan para kaum
empiris yang finalnya didamaikan filsuf besar Jerman Immanuel Kant. Kant dengan beberapa
teorinya tentang ilmu pengetahuan alam dan jargonnya yang terkenal yaitu “Das Ding
Ansich” telah mengubah paradigma akademisi-akademisi yang akhirnya beberapa teori Kant
tetap digunakan untuk science saat ini. Tak hanya itu hal-hal yang bersifat irasional dianggap
sudah tidak perlu digunakan maupun dipelajari. Harus diakui pada Zaman ini orang-orang
cenderung berpikir secara rasional dan empiris. Dan banyak sekali perkembangan-
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang meningkat secara drastis.
Hal ini menyebabkan peran agama seakan terkikis dalam masyarakat dan mereka
seakan dituntut secara paksa untuk menggenalisir ayat-ayat atau teks-teks dalam kitab suci
untuk membenarkan sains. Itu harus diakui karena masyarakat eropa masih memiliki trauma
terhadap zaman kegelapan karena pada masa itu banyak sekali korupsi-korupsi yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dan gereja-gereja yang sehingga menyebabkan tokoh-
tokoh besar seperti Galileo galilei dikucilkan dan diisolasi di rumah sampai akhir hayatnya.
Hal ini lah yang mendorong Descartes untuk mendobrak sistem gereja yang ketat. Setelah
rasionalisme jaya Descartes harus menghadapi kaum-kaum empiris setelah dirinya meninggal
yang dipelopori oleh John Locke dan David Hume. Perdebatan antara dua kaum ini
berlangsung beradab-abad hingga sampailah Immanuel Kant mendamaikan kedua aliran ini
dengan mengadili rasionalisme dan empirisme menggunakan akal sehat yang tertuang dalam
bukunya berjudul The Critique Of Pure Reason.
Dibalik gemilangnya Zaman Pencerahan disudut gelapnya badai Friederich Nietzsche
Menyatakan perang terhadap zamannya dan menyebarkan kilatan-kilatan petir aforisme yang
menyambar Optivisme Pengetahuan. Menurutnya kemajuan rasional dan sains meskipun
mendorong manusia menuju peradaban yang maju namun itu akan mengalami krisis secara
universal meliputi ; eksistensi, budaya, agama, dsb.
Dan hal yang paling mendasar yang membuatnya geram adalah “stag” nya topik-topik
filsafat dan mandeg nya gairah para akademisi untuk berperang dan mencetak para pemuda
yang berkualitas. Dirinya menyebut bahwasannya filsafat-filsafat Jerman tak lebih hanya
masalah yang berputar-putar dan tidak berkembang secara signifikan. Selain itu slogannya
yang paling terkenal yaitu “Tuhan telah mati dan kitalah yang membunuhnya” juga termasuk
ironi dari abad ke 18 dan 19.
Dan itu menyebabkan/membuktikan bahwasannya zaman pencerahan (auf klarung)
adalah peradaban nihilis karena mereka berusaha sekeras mungkin untuk menyingkap topeng
realitas secara sembarangan yang tidak memikirkan konsekuensi yang akan terjadi
kedepannya hingga Nietzsche mengkritik mereka di aforisme 145 di buku Beyond Good and
Evil “Sebelum kalian membunuh monster lihatlah terlebih dahulu supaya kalian tidak
menjadi monster dan jika kalian menatap jurqang kegelapan maka jurang itu akan berbalik
menatap kamu”.
Meskipun dalam artikel ini posisi Nietzsche seakan seperti penasihat bagi para
ilmuwan, namun secara Orisinil ide-ide Nietzsche seakan buldoseer yang mengeruk
pemikiran-pemikiran filsuf sebelum dirinya termasuk Socrates dan Plato.
Secara Harfiah arti dari Aforisme 145 Beyond Good and Evil adalah sebelum kita
melakukan hal yang besar maka sebaiknya kita melihat terlebih dahulu konsekuensinya inilah
mengapa Nietzsche membenci tokoh seperti Immanuel Kant karena lewat kategoris-kategoris
yang diciptakan Kant membuat orang-orang sekan memandang bahwa sains adalah Tuhan
baru dan Ilmu Pengetahuan adalah agama yang baru yang lebih pasti yang disini terlihat
bahwasannya sains lebih seperti narkose baru untuk peradaban daripada agama dan malahan
menyingkap bahwasannya dunia memang kosong dan hampir tidak ada makna dan arti sama
sekali dan untuk formulasi dari nitu semua Nietzsche memberikan gagasan yaitu konsep
manusia unggul/ubermencsh dan gagasan tentang kembalinya semua nilai serta kehendak
untuk berkuasa.
Dari pandangan-pandangan inilah muncul sebuah filsafat eksistensialisme dan
absurdisme yang dikemukakan oleh 2 tokoh terkenal yaitu Albert Camus yang kita singgung
diawal tadi dan Jean Paul Sartre. Setelah Nietzsche memberikan formulasi tersebut secara
tidak langsung dirinya telah menabur biji-biji embrio “Post” tepatnya waktu perang dunia
kedua dan pasca perang dunia kedua apa yang diramalkan Nietzsche dibuku-buku nya
menjadi kenyataan etika-etika seperti utilitarianisme dan altruisme telah dianggap sebagai
alat pembusukan semata. Keberadaan “sang penyelamat” juga hanya dianggap sebagai
lelucon oleh negara-negara penjajah. Dan dari sini masyarakat mulai sadar bahwasannya
dunia dan eksisnya sangat tidak memiliki arti dan nilai hidup. Hidup mereka seakan hanya di
pegang oleh konstitusi, peluru, dan artileri tidak ada malaikat yang bekerja disana.
Perkawinan pada umumnya dipandang sebagai bentuk yang mulia yang akan menjauhkan
manusia dari dosa dan perbuatan seperti zina ternyata merupakan alat konstitusi untuk
mencetak prajurit-prajurit militer.
Dari sini kita telah melihat bahwasannya tidak ada kebenaran mutlak tidak ada
kebaikan mutlak semua hanyalah bentuk gimmick semata yang dibungkus oleh narasi-narasi
seperti ilmu pengetahuan, idelogi, dan kepercayaan. Tentu dalam melancarkannya mereka
menggunakan kalimat-kalimat yang seakan berbau mutiara dan manis padahal di dalamnya
jutaan bangkai tersimpan di dalamnya yang busuk aromanya bahkan lebih busuk dari bangkai
manapun.
Lalu muncullah filsuf-filsuf Post Modern dan Post Strukturalis seperti Jaques Derrida,
Michael Foucault, Jaques Lacan, Albert Camus, dan Jean Paul Sartre. Lunturnya makna dan
banyaknya krisis tentu membuat orang-orang gelisah namun disisi lain itu membuat orang-
orang semakin mengerti bahwasannya modernitas adalah sumber malapetaka namun sebagian
dari mereka ternyata ada yang bertahan dan menciptakan pedoman-pedoman untuk diri
mereka sendiri. Seniman-seniman dan musisi-musisi di abad saat itu lebih cenderung
mengutamakan hal-hal yang berbau nasionalis dan suara-suara piano seperti sebuah teriakan
penghapus lara(musik-musik anarkis dan eksistensial).
Setelah pasca perang dunia kedua ilmuwan-ilmuwan mulai menggunakan
pertimbangan-pertimbangan dalam eksperimen mereka. Jati diri ilmu pengetahuan di zaman
pasca perang mulai terbentuk. Sains sudah menetapkan etika dalam dirinya membuat seakan-
akan sains menjadi ramah dan mulai membalut post modern menjadi era modern yang lebih
ramah namun tetap ini merupakan skenario yang kejam. Mandeg nya ilmu pengetahuan dan
ironi rasionalitas setelah kita mempelajari bagaimana perkembangan-perkembangan
modernitas abad pencerahan sampai saat ini kita telah menemukan benang merahnya yaitu
peradaban yang mengerikan.
Bahkan di negara kita sendiri yaitu Indonesia kita telah melihat bagaimana modernitas
membuat manusia tersiksa seperti tuntutan kerja yang semakin membuat kelas bawah
menderita, akademisi menjadi perdagangan, agama menjadi obat candu, banyaknya pemuda-
pemuda yang tidak bisa bertarung secara argumen.
Hal yang paling utama disini kita terlalu termakan oleh doktrinasi dan dogmatisme hal
inilah yang membuat mengapa era modernitas adalah zaman penyakitan. Dan yang kedua kita
saat ini lebih sering menjadi pendengar dan penurut daripada menjadi manusia yang ril.
Sedikit kritik untuk Pola pikiran di Indonesia
Ada beberapa proposisi yang ingin saya sampaikan terkait dengan situasi pendidikan
dan penalaran di Indonesia saat ini yaitu yang pertama adalah kita lebih sering mengatakan
“benar” yang memiliki bahasa yang runut katakanlah Roky Gerung. Kenapa beliau mampu
tersohor namanya? Karena beliau mampu berargumen dengan runut dan mampu
menggunakan daya pikirnya secara penuh sehingga kita mengaguminya terjadilah perasaan
bahwa “saya harus menjadi seperti dia” dengan kita mati-matian membela beliau dan
membuat sebuah narasi-narasi bahwa orang seperti Rocky Gerung adalah kebenaran.
Menurut saya secara pribadi hal demikian malah membuat sifat nalar dan pikiran
“manusia” itu sendiri menjadi mati kenapa demikian? Karena kita benar-benar membuat
Roky Gerung sebagai “Idola” dengan kita merelakan diri kita menjadi robot penggerak untuk
dirinya sehingga menyebabkan perasaan berlebih tentang dia, sehingga kita tidak bisa
membedakan mana yang “benar” dan mana yang memang benar-benar “benar” fanatisme-
fanatisme seperti inilah yang membuat orang menjadi sakit secara pikiran maupun fisik dan
membuat mandeg nya ilmu pengetahuan.
Proposisi yang kedua adalah dengan berlangsungnya pendidikan yang
tersistemasi/terstandarisasi ini hanya akan membuat manusia tidak menjadi manusia.
Mengapa demikian? Ketika sebuah ilmu pengetahuan terstandarisasi seorang siswa dari SD
sampai ke taraf SMA mereka tidak akan mampu untuk berargumen maupun memunculkan
dialektika hal itu disebabkan karena mereka akan hanya fokus terhadap sebuah bab-bab yang
telah disusun dalam sistem kurikulum. Bukan berarti disini saya menyalahkan seratus persen
kurikulumnya namun ketidak mampuan seorang tenaga pendidik dan kapasitas mereka untuk
memfasilitasi ruang dialektika akibatnya seorang siswa dari SD sampai SMA mereka hanya
tahu bahwa pendidikan hanyalah soal kebutuhan layaknya makanan bukan sebagai sumber
ilmu pengetahuan.
Sebagai konklusi dari dua proposisi ini kita telah melihat bagaimana manusia dan
pendidikan saat ini seakan-akan menjadikan manusia sebagai “robot” tidak ada manusia yang
menjadi unggul namun dalam hal ini kita masih bisa untuk memulihkan dan merombak
kembali sistem dengan cara membebaskan pikiran-pikiran anak dalam mengkritisi maupun
dengan menghina. Dengan cara demikian anak-anak akan mampu untuk belajar bagaimana
menjadi kritis sedikit demi sedikit dan membebaskan para siswa dengan bacaan-bacaan yang
menantang mereka untuk berpikir dan berefleksi secara dalam.
Konklusi dan penegasan ulang untuk Ironi Rasionalitas
Sampailah kita di bab final di artikel ini. Saya hanya akan membahas sedikit tentang
bagaimana skema-skema ironi tersebut bisa muncul. Sesuai yang saya katakan dalam bab
sebelum-sebelumnya ketika seorang subjek dirinya telah mengetahui jika kalau dirinya hanya
dipermainkan oleh sistem dan apa-apa yang mereka anut ini ternyata hanyalah ilusi belaka
mereka akan terjebak dalam gua nihilis yang dimana dia akan mulai menganggap
bahwasannya orang-orang disekitar dia itu absurd dan apa yang dia lihat hanya kekosongan
belaka karena dia telah mengetahui bahwasannya ide-ide yang dicanangkan/diangkat itu
memang tidak berarti.
Inilah yang saya sebut sebagai ironi dari rasionalitas karena ketika pemikiran rasional-
rasional yang menjajikan kebebasan berpikir dan mampu mendobrak ideologi ternyata malah
menjatuhkan manusia kedalam jurang nihilistik yang begitu dalam akibatnya banyak diantara
mereka yang membunuh dirinya sendiri karena tidak sanggup dengan kondisi kekosongan
tersebut. Seperti yang saya katakan di bagian cerita perang dunia ke-2 hanya peranglah yang
mampu membuat suatu spesies seperti manusia menjadi sadar akan realitas dunia dan akan
naluri hidupnya karena dirinya tidak lagi terikat oleh ideologi-ideologi yang terlihat
menjajikan dirinya akan melihat bahwa idoelogi tersebut adalah palu yang hanya
diperuntukkan untuk mencetak robot-robot belaka. Inilah yang Albert Camus mengatakan
bahwa “ribuan orang berusaha menjadi normal sedangkan hidupnya saja tidak pernah
sekalipun dia meliriknya”.

Daftar Pustaka :
Nietzsche : Senjakala Berhala dan Anti Krist : Cet.1 : 2017 : Yogyakarta : Narasi Pustaka
Promethea
Albert Camus : Sampar : 2013 : Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Albert Camus : Orang Asing : 2013 : Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
A. Setyo Wibowo : Gaya Filsafat Nietzsche : 2017 : Kanisius
Immanuel Kant : Critique Of Pure Reason : 2017 : Jakarta : Indo Literasi

Anda mungkin juga menyukai