Anda di halaman 1dari 6

Rasionalisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut:

Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik. Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewadewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewadewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.

Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciriciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adatistiadat atau kepercayaan yang sedang populer. Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan Ren Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.

[sunting]
Selasa, 11 Oktober 2011

Setelah dua pertemuan membahas latar belakang sejarah, kelas Filsafat untuk Pemula mulai mengerucut membahas pemikiran demi pemikiran. Tema besarnya tetap: "Ada Apa dengan Filsafat Modern?" kali ini dengan subtema "Rasionalisme".

Diceritakan dulu awal mulanya dua pemikir besar dari jalur Rasionalisme. Yang pertama tentu saja Rene Descartes. Dengan cogito ergo sum-nya, Descartes disebut-sebut sebagai Bapak Filsafat Modern. "Aku berpikir maka aku ada," kata Descartes, sebuah ungkapan yang optimis tentang adanya "kepastian yang tak terbantahkan yang bermula dari keraguan". Setelah itu ada yang bernama Boruch Spinoza, seorang Yahudi yang diusir dari komunitasnya oleh sebab paham panteisme. Baginya, alam semesta adalah Tuhan, dan Tuhan adalah alam semesta itu juga. Pada masa itu, pemahaman seperti dianggap bid'ah dan mesti disingkirkan.

Masa itu, sekitar abad ke-17 atau tak lama pasca berakhirnya Renaisans, Eropa berada dalam masa yang disebut Barok. Masa dimana oleh sebab Perang Tiga Puluh Tahun yang berkepanjangan (dicurigai adalah perang Katolik versus Protestan), rakyat menjadi menderita namun para penguasa terus menerus memperkaya dirinya. Istana Versailles adalah contoh nyata jaman Barok, bagaimana sebuah pusat kerajaan megah dibangun di tengah-tengah rakyat yang sengsara. Di istana itu sendiri termuat ornamen-ornamen yang sangat detail dan terkesan kurang esensial. Misalnya, ada gargoyle di ujung atap yang diukir secara detail, padahal mungkin tak akan ada seorangpun yang akan memperhatikannya! Ini sejalan dengan jaman itu yang mana kaum bangsawannya rajin menggunakan wig serta kaum wanitanya mengenakan renda-renda. Seolah-olah memang banyak yang harus ditutup-tutupi.

Kang Rosihan Fahmi mempresentasikan Rasionalisme

Rasionalisme adalah salah satu produk nyata era Barok. Ada kecenderungan memang, bahwa pemikiran yang ditawarkan cenderung "mengawang-ngawang" dan mengabaikan fakta-fakta indrawi seperti semangat jaman yang dianutnya. Namun perlu diakui juga bahwa filsafat adalah upaya memotret jamannya secara refleksif. Jadi yang terpenting adalah bukan mengatakan "Ah, pemikiran

tersebut telah ketinggalan," tapi lebih baik merenungkan bahwa, "Yang demikian adalah relevan pada jamannya." Hal ini terutama untuk membela tuduhan yang kerap disematkan pada Rasionalisme, tentang kenyataan bahwa nalar yang mereka agungkan bertanggungjawab pada banyaknya perang di jaman Modern atas nama nalar. Holocaust misalnya, Perang Dunia, Perang Dingin, apalagi kalau bukan nalar yang membenarkan semua itu?

Filsafat Rasionalisme satu aliran filsafat modern, yaitu empirisme. Kali ini saya akan menggali lebih dalam tentang aliran kontra empirisme, taitu Rasionalisme. Rasionalisme sangat bertentangan dengan empirisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sangat sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail, Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan). Tokoh-tokohnya 1. Rene 2. Nicholas 3. B. De 4. 5. Christian 6. Blaise

Descartes (1596 -1650) Malerbranche (1638 -1775) Spinoza (1632 -1677 M) G.W.Leibniz (1946-1716) Wolff (1679 -1754) Pascal (1623 -1662 M)

MENGKAJI FENOMENA KESEHARIAN Dari sedut pandang pemikiran filsafat Rasinalisme tersebut, sekiranya saya dapat mengambil contoh tentang logika di dalam agama. Dari salam satu tulisan yang saya temukan di internet, Ada sebuah ungkapan, terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah, yang arti harfiahnya Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir. demikian ungkapan tersebut. Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah?

Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini relatif? Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan atau angan-angan yang mungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara kodrati dan spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia. Maka sebagai contoh ungkapan dari Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah. Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalau seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir juga naif. Tak bermakna. Tak juga perlu dipikirkan. Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika pernyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Dan sangat Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil. Dilihat dari segi pandangan umum, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof (pecinta kebijaksanaan) besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-realkan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mungkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat kebenaran spiritual. Dan

sekali lagi alih-alih logika menentang agama, tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami. Jadi apakah Logika dalam Agama = kebenaran spiritual ?!
Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal.Selain itu tidak ada sumber kebeneran yang hakiki selajn rasio. Sebuah ungkapan sederhana namun cukup representatif akan arti istilah rasionalisme ialah apa yang telah diungkapkan oleh F. Budi Hardiman, bahwa konsep rasionalisme mengacu pada sebuah aliran falsafah yang berpandangan bahwa pengetahuan (episteme). tidak didasarkan pada pengalaman empiris, melainkan pada asas-asas a-priori yang ada dalam rasio. Rasionalisme menghadirkan aksioma-aksioma, prinsip-prinsip atau definisidefinisi umum sebagai dasar atau titik tolak, sebelum akhirnya menjelaskan kenyataan atau memahami sesuatu. Sepaham dengan ini, ialah apa yang dikatakan oleh Ahmad Tafsir, bahwa rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Dengan demikian, rasionalisme sebagai sebuah epistemologi atau metode memperoleh pengetahuan, merupakan sebuah aliran falsafah yang ingin mengkaji seluk beluk pengetahuan, dengan menitikberatkan akal sebagai basis dan sumber pengetahuan itu sendiri. Dalam pandangan rasionalisme, sumber dan dasar pengetahuan adalah akal (reason). Kalangan rasionalis menyatakan bahwa akal itu universal dalam semua manusia, dan pemikiran (akal aktif) merupakan elemen penting manusia. Pemikiran merupakan satusatunya instrumen kepastian pengetahuan, dan akal merupakan satu-satunya jalan untuk menentukan kebenaran atau kesalahan. Bagi filosof rasionalis, pengetahuan yang dapat memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah, adalah hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akal. Dalam pandangan kaum rasionalis, akal dipahamai sebagai sejenis perantara khusus, di mana dengan akal kebenaran dapat dikenal dan ditemukan. Karena itu, kunci pengetahuan dan keabsahannya, bagi rasionalisme, adalah akal. Dalam prosedur praksisnya, kalangan rasionalisme memulai dengan menghadirkan aksioma-aksioma, prinsip-prinsip atau definisi-definisi umum sebagai dasar atau titik tolak, sebelum akhirnya menjelaskan kenyataan atau memahami sesuatu. Aksioma-aksioma yang dipakai dasar pengetahuan itu, diturunkan dari ide yang dipandang sudah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia. Sebuah contoh sederhana yang sering digunakan kalangan rasionalis untuk mendeskripsikan sistem rasionalisme ialah, aksioma geometri. Bagi para rasionalis, aksioma geometri adalah ide yang jelas lagi tegas, yang dari aksioma itu dapat dideduksikan sebuah sistem yang terdiri dari subaksioma-subaksioma. Misalnya sebuah aksioma geometri yang menyatakan bahwa, garis lurus merupakan jarak terdekat antara dua titik. Aksioma ini merupakan prinsip yang sudah ada dalam pikiran, yang dengan prinsip itu semua keadaan serupa dapat dijelaskan (baca: dideduksikan). Secara khusus Rene Descartes mengetengahkan bahwa agar falsafah, termasuk epistemologi, dapat meraih kepastian absolut dan diakui benar secara universal, sehingga bisa mencapai kebenaran akhir yang pasti, maka falsafah harus menggunakan metode matematika sebagai idealismenya. Karena bagi Descartes, hanya matematikalah satu-satunya disiplin yang dapat menghasilkan pemikiran yang terbukti dan pasti. Artinya, bila falsafah ingin menemukan hasil atau pemikiran yang pasti, maka harus menjadikan metode matematika sebagai idealismenya. Menurut Descartes, matematika mungkin melakukan itu lantaran ia mempunyai dua pengoperasian mental. Di mana dengan dua hal itulah, pengetahuan yang sesungguhnya akan bisa diraih.

Pertama, intuisi. Intuisi merupakan pemahaman kita atas prinsip bukti diri. Misalnya persamaan aritmatika bahwa, 2 + 5 = 7. Pembuktian akan kebenaran persamaan ini adalah menggunakan pemikiran atau akal, dirasiokan. Dalam hal ini, matematika mempunyai prinsip-prinsip yang kebenarannya telah diakui dalam akal, yang dipahami bahwa itu benar. Kedua, deduksi. Deduksi yang dimaksud di sini ialah pemikiran atau kesimpulan logis yang diturunkan dari prinsip bukti diri. Persamaan aritmatika di atas misalnya, dengan persamaan itu kita bisa mendeduksikan, yakni menurunkan kesimpulan-kesimpulan lain yang serupa. Jadi, intuisi dan deduksi itulah yang ada dalam metode matematika. Ketika sebuah metode pengetahuan (baca: epistemologi) mampu beroperasi seperti metode matematika itu, maka, bagi kalangan rasionalis, pasti akan menghasilkan pengetahuan yang tidak bisa diragukan lagi, pengetahuan yang tetap dan pasti, absolut dan universal. Zaman Rasaionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII.Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuik menemukan kebenaran..Adalah Rene Descartes (1596-1650), selain disebut sebagai bapak filsafat modern ,ia adalah bapak rasionalisme.Ide terkenelnya bahwa cogito ergo sum (Prancis : je pense, Donc Je Suis), telah menjadi tonggak awal bagi babak baru falsafah , yaitu era modern. Di samping Descartes , ada Baruch Spinoza atau Benedictus de Spinoza (1632-1677), dan Gotiefried Wilhelm von Leibniz (1646-1716). Rasionalisme baru kemudian muncul bahwa ternyata kebenaran akal yang pada awalnya titik tekannya pada kebenaran matematis, akan tetapi tidak hanya itu, kebenaran rasional harus bisa mengakomodasi hal yang anmatematis.

Anda mungkin juga menyukai