Masalah terpecahkan secara benar, maka manusia akan membuat aturan cara berfikir.
Hal ini dikenal, dengan sebutan logika artificialis (logika buatan).
2. Zaman yunani
Mantiq (logika) sebagai ilmu di Yunan pada abad ke-3 SM oleh ahli-ahli filsafat
Yunani kuno. Tercatat sebagai pencetus pertamanya adalah Socrates. Kemudian dilanjutkan
oleh Plato dan disusun dengan rapi sebagai dasar falsafat oleh Aristoteles, itulah sebabnya
beliau dinyatakan sebagai guru pertama dari ilmu pengetahuan. Beberapa logika yang
terdapat pada masa ini, diantaranya sebagai berikut :
Apabila orang mau meneliti perkataan orang-orang dahulu, maka akan tampak kepada
kita bahwa perkataannya penuh dengan mantiq, hanya saja belum terhimpun seperti apa yang
kita lihat sekarang ini, perkataan mereka dalam jumlah besar masih berserak-serak.
Permasalahannya belum tersusun bab per bab, dan metodenya belum sistematis, sehingga
lahirlah di Yunani suatu aliran yang disebut Sofisma pada pertengahan abad kelima Sebelum
Masehi, yang berusaha meruntuhkan tata kehidupan masyarakat, agama dan akhlak dengan
cara menyesatkan akal pikiran dengan menggunakan qadhiyah-qadhiyah yang menipu
(palsu). Seperti dikatakan: “Yang indah ialah apa yang kelihatannya indah dan yang jelek
ialah apa yang kelihatannya jelek, apa yang dianggap seseorang benar itulah benar, dan apa
yang dianggap bohong itulah bohong. Mereka tidak mempunyai ukuran, mana yang baik dan
mana yang buruk, demikian pula mana yang benar dan mana yang bohong, setiap orang
mengukur kebenaran itu menurut dirinya masing-masing, dan setiap orang menempatkan
dirinya untuk memilih apa yang ia anggap lebih banyak gunanya bagi dirinya”.
Terhadap pendapat tersebut, maka Aristoteles dan Socrates dalam membimbing akal
dan menampakkan kebenaran-kebenaran yang hakiki menempuh metode soal jawab dan
diskusi dengan murid-muridnya, sehingga sampailah seseorang di antara mereka dengan
usaha dirinya sendiri dapat menyingkap hakikat kebaikan-kebaikan yang sebenarnya dan
berhenti pada hakikat keutamaan-keutamaan itu. Oleh karena itu, ia (Socrates) dipandang
sebagai perintis jalan ke arah penyusunan Ilmu Mantiq.
Di antara tokoh-tokoh logika/ilmu mantiq yang dicatat oleh para pakar adalah,
Abdullah ibnu Al-muqoffa, ya’qub ibnu ishaq al-khindi, ibnu sinna, abu hamid al-ghozali,
ibnu rusyd al-qurtubi, abu ali al haitsam, abdu abdillah al-khawarizmi, al tibrisi, ibnu bajah
al-ashmawi, al-samarkandi.
3. Zaman pertengahan
Logika dikembangkan dan dihargai pada masa ini, orang eropa belajar dengan orang
islam. Diantaranya pada saat permulaan Daulat Abbasiyah – yaitu oleh ibnu sina dan ibn
rusyd dalam penerjemahan dan pengodifikasian – Bangsa Arab mengetuk perpustakaan
Yunani dan menerjemahkan banyak sekali ilmu-ilmu mereka ke dalam bahasa Arab,
termasuk di dalamnya ilmu mantiq yang telah mereka peroleh yang kemudian setelah itu
mereka beri komentar dan tafsirkan, mereka banyak menyusun kitab-kitab pada waktu itu,
yang senantiasa kita pelajari sampai sekarang ini. Di antara sarjana-sarjana Islam yang tekun
mempelajari ilmu mantiq dan terkenal sebagai pengarang dan penerjemah pada waktu itu
ialah Abdullah ibn al-Muqaffa’, sekretaris Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, filsuf Ya’kub
ibnu Ishaq al-Kindi, Abu Nashar al-Farabi, Abu Hamid al- Ghazali, dan Ibn Rusyad al-
Qurtubi. Diantara sarjana-sarjana Islam yang tampak memiliki ilmu ini pada masa
kebangkitan Islam dewasa ini adalah dua reformer besar Sayid Jamaluddin al-Afghani dan
Syaikh Muhamad Abduh, rahimahullah.
Kemudian, dari pada itu orang-orang Barat menjadikan ilmu mantiq ini semakin luas
cakupannya, jelas sistematika dan objeknya, terutama mengenai bab istinbath (keputusan), di
mana orang berpegangan kepadanya dalam meletakkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan
dalam usaha penelitian ilmiah. Sesuai dengan kepayahannya, mereka mendapat kemajuan
sampai di puncaknya di dalam berbagai bidang. ilmu pengetahuan. Mereka mempunyai
kelebihan dalam mempergunakan ilmu mantiq pada ilmu-ilmu modern, dan hasilnya ditinjau
dari segi ilmiah telah banyak membuahkan hasil-hasil yang bermanfaat.
Sehingga ibnu rusyd sebagai pemikir besar islam beliau berani melawan secara
meindstrim dalam bukunya “tahuft al tahafuth” sebagai komentator (yang berpihak) atas
aliran Aristoteles. Perlawanan terus berlanjut bahkan sampai puncaknya pada abad ke 13 dan
14. Pada masa inilah pengikisan mantiq mulai terlihat. Imam al-dzahbi yang juga melakukan
perlawanan terhadap perjalanan filsafat dan Mantiq Yunani. Hal-hal yang dilakukannya guna
membendung fitnah dalam pentakuilan teks-teks suci al-qur’an dan hadits. Kemudian
muncullah al-ghazali, ibnu khaldun, al-farabi yang juga mendukung aliran-aliran Aristoteles.
Al-ghazali menyatakan bahwa teologi retoris sangat kering jika hanya berkaitan
dengan logika tanpa bersama epistem demonstratif sehingga butuh upaya pengharmonisasian
demi mencapai teologi yang mampu menghilangkan skeptisisme. Dalam pandangan ini
mantiq terbagi 2 yaitu: pertama, Mantiq Aristoteles yang mencakup segala penetahuan
kecuali Teologis. Kedua, Mantiq Kashfi yang hanya mencakup masalah Ketuhanan.
Menurut Ibnu Khaldun, logika empirik juga dapat diklaifikasikan sebagi bagian dari
mantiq yang mendasari problematika kemasyarakatan dengan mengunggulkan metode
Analogi (Qiyas)dari pada eksplorasi (istiqra) karena dianggap tidak dapat membenarkan
Teori Ketuhanan.
Menurut Al-farabi, logika memberikan aturan-aturan yang dengannya manusia dapat
membedakan yang benar dan yang salah dan terhindar dari kemungkinan terjatuh pada
kekeliruan. Logika bukan saja mengajarkan bagaimana cara berfikir manusia melalui
rangkaian proses dari premis premis sampai konklusi yang pasti
4. Zaman Modern
Zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans. Renaisans adalah periode
perkembangan peradaban sesudah abad kegelapan. Sehingga ciri utama ilmu mantiq dizaman
ini bersifat humanisme, empirisisme, dan rasionalisme. Mantiq dalam sains sangat
berkembang karena semangat dan hasil empirisme. Sementara kristen semakin ditinggalkan
karena semangat humanisme
Pada masa modern, logika Aristotle mulai ditinjau ulang Francis Bacon, misalnya,
menciptakan Novum Organum (1620) yang mengedepankan induksi, sementara Aristotle
mengutamakan deduksi. Logika deduktif adalah logika yang bertolakdari pengetahuan lama
bersifat umum menuju pengetahuan baru bersifat khusus secara silogistik. Sebaiknya, logika
induktif adalah logika yang beranjak dari pengetahuan lama bersifat khusus menuju
pengetahuan bar bersifat umum melalui observasi empiris. Logika deduktif yang identik
dengan Aristotle itu sering disebut juga dengan ligika klasik, sedangkan logika induktif
sering disebut dengan logika modern.
Metode induktif untuk menemukan kebenaran yang direncanakan Francis Bacon,
didasarkan pada pengamatan empiris, analisis data yang diamati, penyimpulan yang terwujud
dalam hipotesis (kesimpulan sementara), dan verifikasi hipotesis melalui pengamatan dan
eksperimen lebih lanjut. Penghalang bagi metode ini adalah prakonsepsi dan prasangka yang
dikelompokkan Francis Bacon ke dalam empat klarifikasi.
1. The Idols Of Tribe (Idola Tribus). Sumber kesesatan ini pada hakikatnya berdasarkan pada
kodrat manusia sendiri, pada ras manusia, misalnya bahwa manusia hanya mempunyai lima
indera dan tidak lebih.
2. The Idols of the Cave (idola Specus) atau prasangka pribadi. Jiwa manusia merupakan
sesuatu yang berubah-ubah, penuh gangguan, dan seakan-akan diperintah oleh kemungkinan
yang tidak pasti.
3. The Idols of the Market Place (Idola Fori) disebabkan seseorang tidak membuat
pembatasan pada term-term yang dipakai untuk berpikir dan berkomunikasi.
4. The Idols of the Theatre (Idola Theatri), yakni sikap menerima secara membuta terhadap
tradisi otoritas.
Penggunaan metode induktif Francis Bacon mengharuskan pencabutan hal yang hakiki
dari hal yang tidak hakiki dan penemuan struktur atau bentuk yang mendasari fenomena yang
sedang diteliti. Caranya dengan:
a) Membandingkan contoh-contoh hal yang diteliti,
b) Menelaah variasi-variasi yang menyertainya, dan
c) Menyingkirkan contoh-contoh yang negatif.
John Stuart Mill (1806-1716) merumuskan sebab suatu kejadian sebagai seluruh jumlah
kondisi positif dan negatif yang diperlukan. Metodenya adalah:
1. Method of agreement: metode mencocokkan
Sebab disimpulkan dari adanya kecocokan sumber kejadian.
2. Method of difference: metode membedakan
sebab disimpulkan dari adanya kelainan dalam peristiwa yang terjadi.
3. Join method of agreement and difference; metode mencocokkan dan membedakan
Metode ini merupakan gabungan dari metode 1 dan 2.
4. Method of concomitant variations: metode perubahan selang-seling yang seiring.
5. Method of residues: metode menyisakan
Ciri metode menyisakan dapat dikatakan deduktif karena bertumpu kuat pada hukum-
hukum kausal yang sudah terbukti sebelumnya. Kesimpulan yang dapat dicari melalui
metode menyisakan sifatnya hanya probable, dan tidak dapat dideduksikan secara sah dari
premis-premisnya.
Metode J.S Mill ini didasarkan pada asumsi-asumsi:
1. Tiada factor dapat merupakan sebab dari suatu akibat manakala factor
tersebut tidak ada sewaktu akibat tersebut terjadi.
2. Tiada factor dapat merupakan sebab dari suatu akibat manakala faktor
tersebut ada dan akibatnya tidak terjadi. Metode J.S Mill menuntut peneliti
untuk mendekati masalah sebab dan akibat sbg berikut :
- Pertama, peneliti harus sadar akan adanya suatu masalah. Ia harus sadar
akan adanya suatu gejala yang meminta penjelasan dan ia ingin mencari
sebanya.
- Ia harus menyatakan masalahnya dengan jelas.
- Ia harus mengamati segala factor yang ada hubungannya dengan masalah.
- Sesudah itu, peneliti dapat mencatat factor-faktor mana yang ada dan
factor-faktor mana yang tidak ada manakala gejala tersebut terjadi.
Menurut Newman terdapat tiga macam bentuk pemikiran:
1. Formal inference: dalam bentuk pemikiran ini kesimpulan diambil dari
premis-premis yang dirumuska dengan tajam menurut peraturan logika.
2. Informal inference: bentuk pemikiran ini merupakan sarana untuk
mengetahui benda-benda individual kongkret. Jika yang pertama perupakan
sketsa, maka informal inference merupakan potret.
3. Natural inference: bentuk ini adalah bentuk pemikiran kita sehari-hari.
Bentuk ini adalah khas mahluk yang berakal, apapun juga tingkat
pendidikannya.