Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“EPISTEMOLOGI ISLAM”

Bertujuan untuk Memenuhi Tugas Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:

Endah Winarti M.Pdi

Disusun Oleh:
Hilmi Tsaqif
(16650104)

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam mencari ilmu, harus mengetahui strategi yang benar sehingga mencari
ilmu dapat dilakukan dengan mudah. Untuk mengetahui strategi mencari ilmu, dapat
dilihat dalam pelajaran filsafat ilmu karena didalamnya membahas tentang tata cara
atau prosedur mecari ilmu dengan baik dan benar. Prosedur mencari ilmu tersebut
dibahas dalam materi epistemologi.

Objek Epistemologi sendiri yaitu pengetahuan. Sehingga dasar dari materi


Epistemologi adalah tentang bagaiamana asal mula pengetahuan dan bagaimana cara
memperolehnya. Dalam Epistemologis sendiri menurut kajian pemikiran islam,
terdapat 3 gaya berfikir dalam islam yakni bayani, irfani, dan burhani. Ketiganya
mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan. Namun, seiring
berjalannya waktu, Epistemologi mengalami perkembangan bahkan sampai muncul
Epistemologi kontemporer. Maka dalam kesempatan ini, penulis akan mencoba
menjelaskan tentang perkembangan Epistemologi Islam.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana perkembangan Epistemologi Islam dari massa ke massa?
2. Bagaimana Epistemologi Islam Kontemporer?
3. Bagaimana Analitis Kritis Epistimologi Islam terhadap Islamic discourse dan
Islamic Civilization?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui tentang tentang perkembangan Epistemologi Islam dan
Epistemologi Islam kontemporer.
2. Agar mengetahui analisis tentang Epistimologi Islam terhadap Islamic
discourse dan Islamic Civilization.

1
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Epistemologi Islam dari Massa ke Massa

A. Pegertian Epistemologi Islam

Epistemologi terdiri dari dua kata yaitu episteme dan logos yang berarti ilmu
atau diskursus. Jadi epistemologi, secara harfiah adalah ilmu atau diskursus tentang
pengetahuan dan dalam konteks filsafat epistemologi adalah filsafat pengetahuan.1
Istilah lain yang mempunyai arti yang sama dengan “Epistemologi” dalam filsafat
terkadang disebut juga logika material, criteriology, kritika pengetahuan, gnosiology,
dan dalam bahasa Indonesia lazim menggunakan istilah “Filsafat Pengetahuan”. 2

Epistimologi Islam menurut Harun Nasution berasal dari kata episteme yang
berarti pengetahuan dan epistimologi adalah ilmu yang membahas tentang apa
pengetahuan dan bahaimana memperoleh pengetahuan. Selanjutnya, R.B.S
Furdyartanto memberikan pengertian epistimologi yakni ilmu filsafat tentang
pengetahuan atau filsafat pengetahuan.3 Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa epistimologi bersangkutan dengan masalah-masalah yang meliputi:

a) Filsafat yaitu ilmu yang berusaha mencari hakekat dan


kebenaranpengetahuan.
b) Metode yaitu sebagai metode yang bertujuan mengantarkan manusia untuk
memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
c) Sistem yaitu sebagai suatu sistem yang bertujuan memperoleh realitas
kebenaran pengetahuan.

Sedangkan pengertian Islam menurut Maulana Muhammad Ali dapat


dipahami dari Firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 208 yang artinya: Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya,
dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu. Dan juga dapat dipahami dari surat al Anfal ayat 61 yang
artinya: dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya

1
Arifin, Syamsul dan Ajang Budiman. 2004. “Pengantar Filsafat (Pendekatan Sistematis) PSIF”. UMM
Press, Malang, hal 129.
2
Surajiyo. 2007. “Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia”. PT Bumi Akses. Jakarta. Hal 24.
3
Azzimar Shidqy Pramushinta. “Mengenal Epistemologi Islam dalam Perkembangan Ilmu Hukum”.
Hukum Khaira Ummah. vol. 12. No. 2 Juni 2017, hal 198-199.
2
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Menurut Harun Nasution, Islam menurut istilah adalah agama yang berisi
ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan melalui Nabi Muhammad SAW untuk
diajarkan kepada umat manusia. Islam mengajarkan tentang kehidupan manusia.4

Dari dua pengertian tersebut, dapat ditemukan pengertian bahwa


Epistimologi Islam adalah filsafat hukum yag menganalisis hukum islam secara
metodologis dan sistematis, sehingga mendapatkan penjelasan yang mendasar atau
menganalisis hukum islam secara ilmiah dengan pendekatan filsafat sebagai alatnya.
Oleh karena itu, Epistimologi Islam juga disebut dengan Filsafat Hukum Islam.5

B. Perkembangan Epistimologi Islam

Pada dasarnya, kata filsafat memang tidak ada dalam Al-Qur’an dan As
Sunnah, namun bukan berarti kedua sumber tersebut tidak mengenal tentang
falsafah, tetapi dalam Al-Qur’an dan As Sunnah mengenalnya dengan kata lain yaitu
hikmah. Al-Qur’an dan As Sunnah juga mendorong manusia untuk menggunakan
pikirannya dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan, seperti masalah yang
menyangkut akidah dan keyakinan agama. Akibat dorongan dari kedua sumber
tersebut, maka lahirlah sebuah pemikiran terhadap Hukum Islam pada awal sejarah
umat islam.6

Al-Asy’ari, yang dijuluki sebagai Bapak Teologi Umat Islam Indonesia dan
merupakan salah seorang tokoh pemrakarsa berfilsafat dengan hukum Islam. Al-
Asy’ari adalaha generasi kedua setelah Al-Kindi (185 H/ 801 M – 260 H/ 873 M).
Al-Kindi sangat menguasai bahasa yunani dan syiria. Sehingga beliau terkenal
sebagai penjelas dan penerjemah buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
Salah satu buku yang telah diulas dan diterjemahkan adalah buku Plotinus yang
berjudul Enneads. Yang mana buku tersebut mengajarkan tentang ajaran-ajaran Plato

4
Ibid., hal 199.
5
Azzimar Shidqy Pramushinta. “Mengenal Epistemologi Islam dalam Perkembangan Ilmu Hukum”.
Hukum Khaira Ummah. vol. 12. No. 2 Juni 2017, hal 199.
6
Ibid, hal 199.
3
dan Aristoteles. Itulah asal mula filsafat dan ilmu pengetahuan dikenal di dunia
Islam.7 Al-Kindi meneybutkan ada 3 macam pengetahuan manusia, yaitu:

a) Pengetahuan Inderawi, yaitu pengetahuan yang didapat ketika mengamati


obyek-obyek material dan prosesnya tanpa ada tenggang waktu dan tanpa
berpindah ke imajinasi. Pengetahunannya bersifat dinamis, selalu berubah-
ubah setiap waktu.
b) Pengetahuan Rasional, yaitu pengetahuan yang didapat dari akal yang
bersifat universal, tidak parsial dan bersifat immaterial.
c) Pengetahuan Intuisi, yaitu pengetahuan yang didapat langsung dari Tuhan.
Seperti pengetahuan yang diperoleh para Nabi dari Allah SWQ yang berisi
ajaran-ajaran kehidupan untuk umat manusia.8

Al-Farabi (870-950 M), mengatakan bahwa manusia mendapatkan


pengetahuan melalui 3 cara:

a) Jism, yaitu indra yang memungkinkan manusia membau, mendengar,


meraba, melihat dan menerima rangsangan seperti panas dan dingin.
b) Nafs, yaitu menghayal yang memungkinkan manusia untuk
memperoleh kesan dari hal-hal yang dirasakan setelah obyek tersebut
jauh dari jangkauan indra.
c) ‘Aql, yaitu berfikir yang memungkinkan manusia memahami sesuatu,
sehingga dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk.9

Ibn Sina (980-1037 M), mengatakan teori al-Rūh alMuqaddas (ruh yang
disucikan), yaitu jiwa insani yang dipersiapkan dari keterjagaan dan berhubungan
dengan akal, ilham, dan wahyu. Ibnu Sina menyatakan bahwa seluruh pengetahuan
dapat diperoleh lewat akal, sehingga kita mampu mendapatkan kebenaran yang
hakiki dan membangun kepribadian.10

Ibn Rushd (1126-1198 M), mengatakan bahwa jalan untuk mencapai


pengetahuan ada 2 macam, yakni indera dan rasio. Ia berpendapat bahwa

7
Ibid, hal 200.
8
Mufid, Fathul. “Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam”. Jurnal Studi
Keislaman. Vol.17 No. 17, 1 Juni 2013. Hal 24, 25.
9
Ibid, hal 25.
10
Ibid, hal 26.
4
pengetahuan dari hasil rasio dianggap sebagai pengetahuan sejati. Sedangkan
pengetahuan dari hasil indra tidak sampai dianggap sebagai pengetahuan sejati
karena masih bisa tertipu oleh imajinasi sendiri.11

Al-Ghazali (1058-1111 M) mengemukakan pendapatnya bahwa manusia


mempunyai 3 alat untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu:

a) Inder, melalui panca indera dapat menghasilkan pengetahuan


inderawi. Namun ilmu yang didapat tidak meyakinkan karena masih
banyak kelemahannya dan bukan ilmu yang nyata.
b) Akal, melalui akal pikiran dapat menghasilkan pengetahuan. Dalam
proses berfikir, dibutuhkan indra untuk membantu akal karena akan
mengolah hasil rangsangan dari indra itu sendiri.
c) Qalb, melalui hati dapat memperoleh pengetahuan hakiki. Ilmu yang
diperoleh dari hati merupakan ilmu yang diberikan langsung dari
Tuhan untuk manusia.12

2.2 Epistimologi Islam Kontemporer

Ilmu Pengetahuan mengalami perkembangan yang pesat pada masa modern,


dimana masyarakat telah memasuki tahap berpikir rasional.13 Para tokoh
rekonstruksi islam seperti S.H. Nashr, S.M.N. Al-Attas, dan Ziauddin Sardar
menemukan pemikiran islam kontemporer. Mereka mempunyai prinsip tujuan yang
sama yaitu merumuskan sebuah konstruksi Epistemologi Islam yang ideal, yang
relevan dengan nilai-nilai Islam, namun dalam beberapa segi tertentu mereka saling
berbeda.14

Nasr, mengembangkan konsep epistimologi berbasis metafisika. Nasr secara


tegas mengecam dan membeberkan kelemahan-kelemahan dan krisis yang dihadapi
epistimologi modern. Epistimologi modern mempunyai karakteristik yang sekuler
sehingga dapat digunakan sebagai antitesis nilai-nilai tradisi dan agama, yang hanya

11
Mufid, Fathul. “Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam”. Jurnal Studi
Keislaman. Vol.17 No. 17, 1 Juni 2013. Hal 26.
12
Ibid, Hal 27
13
Noeng Muhadjir. Filsafat Ilmu, Kualitatif dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian.
Edisi III. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006, 101.
14
Fuad Ramly. “Kontribusi Pemikiran Islam Kontemporer Bagi Pengembangan Filsafat Ilmu-Ilmu
Keislaman” . Ar -Raniry: International Journal of Islamic Studies Vol. 1 No.2, Desember 2014. Hal 224.
5
mengandalkan otoritas akal dan pengalaman manusia sebagai sumber segala bentuk
pengetahuan yang paling valid. Masyarakat menganggap bahwa satu-satunya
kemajuan peradaban adalah dari keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
karena itu, Al-Attas membuat pernyataan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi
umat islam jaman sekarang adalah tantangan pengetahuan, yang telah serbarluaskan
ke segala penjuru dunia oleh peradaban barat. Sedangkan Sardar menilai peradaban
dapat ditentukan oleh epistimologi karena epistimologi menuntun semua aspek studi
manusia dari filsafat, ilmu murni, dan ilmu sosial.15

Pemikiran ketiga tokoh tersebut dengan karakteristik masing-masing, dapat


dikontribusikan untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman pada masa sekarang.
Mereka juga memberikan gagasan-gagasan baru tentang Filsafat Ilmu dan
Epistimologi Ilmu agar dapat dijadikan landasan dalam membangun kerangka
Filsafat Ilmu Keislaman yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pengembangan
Ilmu Keislaman tidak dapat dilakukan tanpa Filsafat Ilmu Keislaman yang bahan
utamanya dari konstruksi Filsafat Keilmuan para pemikir Islam Kontemporer
tersebut.16

Dalam bahasan Epistemologi Islam Kontemporer, ada tokoh lain yang


bernama Abid al-jabiri. Ia membuat diskursus yang berisi model-model
Epistemologi, yakni Epistemologi bayani, irfani, dan Burhani.

1) Epistemologi Bayani merupakan model epistemologi yang menekankan


otoritas teks secara langsung dan tidak langsung. Dalam hal ini, secara
langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan yang sudah ada dan
langsung diaplikasikan tanpa pemikiran. Sedangkan arti dari tidak langsung
adalah memahami teks sebagai suatu pengetahuan yang masih belum bisa
diaplikasikan secara langsung sehingga perlu ditafsirkan dengan penalaran.
Untuk mendapatkan pengetahuan dari teks dapat dilakukan melalui 2 cara
yaitu berpegang pada redaksi teks dan berpegang pada makna teks yang
mana analisinya menggunakan rasio dan logika.
2) Epistemologi Irfani merupakan model epistemologi yang menggunakan
metode penghayatan batin. Secara metodologis, pengetahuan irfani diperoleh
15
Fuad Ramly. “Kontribusi Pemikiran Islam Kontemporer Bagi Pengembangan Filsafat Ilmu-Ilmu
Keislaman” . Ar -Raniry: International Journal of Islamic Studies Vol. 1 No.2, Desember 2014. Hal 224
16
Ibid, hal 225.
6
menggunakan kesadaran intuitif dan spiritual. Pengetahuan yang dihasilkan
adalah pengetahuan dasar dan sederhana. Pola pikir yang digunakan adalah
Zahir sebagai hakikat dan batin sebagai pelindung atau penynar yang artinya
pengetahuan didapatkan dari ma’na menuju lafadz.
3) Epistemologi Burhani merupakan Epistemologi menjadikan kekuatan rasio
sebagai dasar dalam melakukan pendekatan melalui dalil-dalil logika.
Epistemologi Burhani tidak menjadikan teks dan pengalaman spiritual
sebagai dasar sehingga Burhani sangat berbeda dengan Bayani dan Irfani.
Burhani bersumber pada rasio sehingga diperoleh penilain dan keputusan
terhadap informasi yang masuk melalui indera. Cara Burhani mendapatkan
pengetahuan yakni menggunakan aturan silogisme yang mengacu pada
makna asal dan pengumpulan. Epistemologi Burhani bersumber pada realitas,
baik realitas, sosial, humanitas, alam, mapun keagamaan.17

2.3 Analis Epistimologi Islam terhadap Islamic Discourse dan Islamic Civilization

Wacana Peradaban Islam yang berkembang saat ini salah satunya adalah
masalah pernikahan beda agama. Banyak masyarakat indonesia yang melakukan
pernikahan beda agama. Seperti yang kalian tahu artis-artis indonesia seperti Lydia
Kandou dan Jamal Mirdad.

Pada hakikatnya pernikahan merupakan syariat Agama Islam. Dalam surat


Al-Hujurat ayat 13 telah dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki
dan perempuan, kemudian mereka dijadikan berbangsa-bangsa, bersuku-suku agar
saling mengenal. Interaksi yang dilakukan antar pria dan wanita menimbulkan rasa
saling tertarik yang mana akan berlanjut ke jenjang pernikahan yang sesuai dengan
prinsip syariat. Namun, di era modern saat ini, banyak pria dan wanita yang
melakukan interaksi atau pergaulan yang melampaui batas suku, kebangsaan bahkan
keagamaan. Mereka berpendapat bahwa perbedaan-perbedaan tersebut bukan
menjadi penghalang dalam melakukan pergaulan bahkan pernikahan. Bagi umat
Islam perkawinan beda suku dan bangsa bukanlah penghalang selama keduanya
sama-sama beragama Islam. Namun permasalahan akan berbeda ketika dua orang
yang berbeda agama melakukan pernikahan.

17
Mufid, Fathul. “Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam”. Jurnal Studi
Keislaman. Vol.17 No. 17, 1 Juni 2013. Hal 35-36.
7
Dasar hukum dilarangnya perkawinan beda agama, terdapat dua golongan
non muslim dalam Al-Qur’an yakni Ahli Kitab dan Musyrik. Al-Qur’an menjelaskan
bahwa pernikahan beda agama boleh dilakukan dengan wanita Ahli Kitabiyah.

Didalam ayat 5 Surah Al-Maidah disebutkan:

َ ‫صنَاتُ ِمنَ الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت‬


...‫َاب ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم‬ َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬
ِ ‫صنَاتُ ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنَا‬
َ ْ‫و ْال ُمح‬...
َ

“(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara


wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.”

Sedangkan pihak yang dilarang untuk dikawini oleh seorang muslim adalah
Musyrik sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 221:

‫ت َحت َّ ٰى يُ ْؤ ِمنَّ ۚ َو ََل َ َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ َخي ٌْر ِم ْن ُمش ِْر َك ٍة َولَ ْو أ َ ْع َجبَتْ ُك ْم ۗ َو ََل ت ُ ْن ِك ُحوا‬ ِ ‫َو ََل ت َ ْن ِك ُحوا ا ْل ُمش ِْركَا‬
ۖ ‫عونَ إِ َلى النَّ ِار‬ ُ ‫ا ْل ُمش ِْر ِكينَ َحت َّ ٰى يُ ْؤ ِمنُوا ۚ َولَعَ ْب ٌد ُم ْؤ ِمنٌ َخي ٌْر ِم ْن ُمش ِْركٍ َولَ ْو أ َ ْع َجبَ ُك ْم ۗ أُو ٰلَئِكَ يَ ْد‬
َ‫اس َلعَلَّ ُه ْم يَتَذَك َُّرون‬ ِ َّ‫َّللاُ يَ ْدعُو إِ َلى ا ْل َجنَّ ِة َوا ْل َم ْغ ِف َر ِة ِب ِإ ْذنِ ِه ۖ َويُبَ ِينُ آيَاتِ ِه ِللن‬
َّ ‫َو‬

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Salah satu Hadits yang diriwayatkan oleh Muttafaq Alaih dari Abi Hurairah
r.a juga menjelaskan tentang bagaimana memilih pasangan. Dalam Hadits tersebut
dijelaskan bahwa wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal :

1. karena hartanya
2. karena (asal-usul) keturunannya
3. karena kecantikannya
4. karena agama.

8
Oleh karena itu, kita sebagai umat islam harus berpegang teguh kepada yang
nomor 4 yakni agama Islam agar hidup menjadi barokah.

9
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Epistemologi merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas


tentang bagaimana asal pengetahuan dan cara mendapatkan pengetahuan.
Epistemologi mempelajari semua yang berhubungan dengan pengetahuan manusia
sehingga kita dapat mengetahui hakikat pengetahuan dan dapat menguji kebenaran
pengetahuan yang telah kita dapatkan.

Epistemologi mempunyai banyak metode dalam mencari ilmu seperti


Epistemologi bayani, irfani dan burhani. Yang mana ketiga metode tersebut
mempunyai karakteristik masing-masing yakni bayani menggunakan teks, irfani
menggunaka metode penghayatan batin dan burhani menggunakan rasio sebagai
dasar dalam melakukan pendekatan keilmuan.

Mengenai masalah nikah beda agama, ketika dilihat dari segi epistemologi
maka termasuk pembahasan yang bayani yang menitik beratkan pada ayat al-quran
pada surat al baqarah ayat 221 yang mengatakan bahwa “janganlah kamu (mukmin)
menikahi orang musyrik meskipun orang musyrik terebut membuat kamu takjub,”
dari potongan ayat ini mengidentifikasikan bahwasanya menikah dengan beda agama
dalam Islam itu sangat tidak dianjurkan. Banyak akibat yang nantinya berimbas yang
tidak baik terhadap orang yang melakukan nikah beda agama terebut. Terutama
apabila yang melakukan itu adalah orang Islam sendiri.

10
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Syamsul dan Ajang Budiman. 2004. “Pengantar Filsafat (Pendekatan


Sistematis) PSIF”. UMM Press, Malang.

Azzimar Shidqy Pramushinta. 2017 “Mengenal Epistemologi Islam dalam


Perkembangan Ilmu Hukum”. Hukum Khaira Ummah. vol. 12. No. 2.

Mufid, Fathul. 2013.“Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat


Islam”. Jurnal Studi Keislaman. Vol.17 No. 17.

Ramly, Fuad. 2014. “Kontribusi Pemikiran Islam Kontemporer Bagi Pengembangan


Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman” . Ar -Raniry: International Journal of Islamic
Studies Vol. 1 No.2.

Noeng, Muhadjir. 2006. “Filsafat Ilmu, Kualitatif dan Kuantitatif untuk


Pengembangan Ilmu dan Penelitian. Edisi III”. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Surajiyo. 2007. “Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia”. PT Bumi Akses.


Jakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai