Sejarah pertumbuhan ilmu, berkaitan dengan tujuan perang. Ilmu dapat menguasai
alam dan dapat memerangi dan menguasai sesama manusia. Hal lainnya untuk diperhatikan
bahwa perkembangan ilmu sering melupakan factor manusia, dalam arti, manusialah yang
harus menyesuaikan diri dengan teknologi daripada teknologi yang perkembangannya seiring
dengan kebutuhan manusia. Sehingga teknologi kehilangan fungsi sebagai sarana yang
memberi kemudahan bagi kehidupan manusia, karena seakan teknologi hadir untuk
mewujudkan eksistensinya sendiri.
Dewasa ini Ilmu bukan saja menciptakan gejala dehumanisasi, atau sebagai sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun dengan kemungkinan mengubah
hakikat kemanusiaan itu sendiri, dalam arti ilmu juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Kenyataan ini membawa para ilmuwan memikirkan bukan lagi tentang gejala alam tapi
berkembang kepada mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya, yang oleh para
ilmuwan sezaman Copernicus, Galileo bukan menjadi wilayah ilmu namun berkembang oleh
ilmuwan abad 20 yang mengalami perang dunia I dan II dalam bayang-bayang kekhawatiran
perang dunia III. Sehingga ilmuwan berpaling pada hakikat moral. Keterkaitan ilmu dan
masalah-masalah moral dapat disakssikan melalui sejarah. Copernicus (1473-1543) dengan
teori tentang kesemestaan alam, “bumi yang berputar mengelilingi matahari”, dan bukan
sebaliknya, seperti ajaran agama menyebabkan munculnya reaksi konflik antara ilmu dan
agama dari penafsiran metafisik ini yang memuncak pada pengadilan inkuisisi Galileo di
tahun 11633, yang dipakasa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari. Pengadilan inkuisis Galileo sangat berpengaruh pada proses
perkembangan berpikir di Eropa sebagai wujud dari upaya ilmu untuk memiliki otonomi
yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatic untuk dapat dengan leluasa
mengembangkan dirinya. Kemudian muncul pengembangan konsepsional yang bersifat
kontemplatif disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah pada masalah praktis. Konsep
ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk kongkret yang berupa teknologi. Dalam
pengertian teknologi sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah
praktis, baik berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam
hal ini tujuan ilmu lebih berkembang lagi dengan memanipulasinfaktor-faktor yang terkait
dalam gejala alam untuk mengontrol dan mnegarahkan proses yang terjadi. Betrand
Russelnya sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi ke manipulasi”. Kalau dalam tahap
kontemplasi. Masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuwan maka dalam tahap
manipulasi, masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Secara
filsafati dapat dikalimatkan sebagai berikut: dalam tahap pengembangan konsep terdapat
masalah moral ditinjau dari ontology keilmuwan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep
terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuwan. Dengan pengertian sebagai
berikut: Ontologi adalah pengkajian mengenai hakikat realitas dari obyek yang ditelaah
dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, dan epistemology membahas cara untuk
mendapatkan pengetahuan yang disebut metode ilmiah. Tiga hal ini adalah dasar
pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah.
Revolusi Genetika
Revolusi genetika merupakan babak baru dalam sejarah keilmuwan manusia sebab
sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan itu sendiri.
Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi berbeda, karena yang ditelaah bukan
lagi organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan
kemudahan bagi kita, seperti penelitian jantung untuk mengatasi masalah penyakit jantung;
melainkan manusia itu sendiri menjadi obyek penelaahan yang akan menghasilkan teknologi
untuk mengubah manusia itu sendiri. Mengenai hal ini, kembali pada hakikat ilmu itu sendiri.
Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya. Tujuan hidup ini berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu sendiri, bersifat
otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah. Kesimpulannya adalah sikap yang
menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai obyek penelitian genetika. Ssecara formal
dilakukan evaluasi etis terhadap suatu obyek dalam obyek formal (ontologis) ilmu.
Menghadapi nuklir sebagai suatu kenyataan, maka moral hanya mampu memberikan
penilaian yang bersifat aksiologis, dengan mempergunakan tenaga nuklir untuk keluhuran
martabat manusia. Menghadapi revolusi genetika yang baru di ambang pintu, belum
terlambat kita menerapkan pilihan ontologis.