Anda di halaman 1dari 4

Nama : Yuansari Octaviana Kansil

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu


NIM :190402032

Aksiologi : Nilai kegunaan ilmu

Ilmu dan Moral


Berangkat dari satu kesimpulan ilmuwan kerbau dalam makalahnnya yang berkata
begini, penalaran otak orang itu luar biasa, namun mereka itu curang dan serakah. Sedangkan
sebodoh-bodoh umat kerbau, kita tidak curang dan serakah. Pernyataan ini, menggelitik
nurani, namun sesuai kenyataan. Sehubungan dengan kesimpulan tersebut, muncul berbagai
pertanyaan tentang apakah kemampuan berpikir/bernalar manusia diimbangi dengan
kemampuan bertindak dalam kebenaran? Untuk memahami persoalan ini, maka ungkapan
Profesor Ace Patadiredja dalam pidato pengukuhannya selaku guru besar ilmu ekonomi di
UGM, tentang harapannya agar muncul ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan,
menjadi penting untuk diingat.

Kenyataannya bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki peranan penting


dalam peradaban manusia, yang perwujudannya dalam pemenuhan kebutuhan manusia secara
cepat dan lebih muda dibandingkan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti
kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi. Menjadi pertanyaan,
apakah ilmu selau merupakan berkah, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan
kesengsaraan?

Sejarah pertumbuhan ilmu, berkaitan dengan tujuan perang. Ilmu dapat menguasai
alam dan dapat memerangi dan menguasai sesama manusia. Hal lainnya untuk diperhatikan
bahwa perkembangan ilmu sering melupakan factor manusia, dalam arti, manusialah yang
harus menyesuaikan diri dengan teknologi daripada teknologi yang perkembangannya seiring
dengan kebutuhan manusia. Sehingga teknologi kehilangan fungsi sebagai sarana yang
memberi kemudahan bagi kehidupan manusia, karena seakan teknologi hadir untuk
mewujudkan eksistensinya sendiri.

Dewasa ini Ilmu bukan saja menciptakan gejala dehumanisasi, atau sebagai sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun dengan kemungkinan mengubah
hakikat kemanusiaan itu sendiri, dalam arti ilmu juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Kenyataan ini membawa para ilmuwan memikirkan bukan lagi tentang gejala alam tapi
berkembang kepada mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya, yang oleh para
ilmuwan sezaman Copernicus, Galileo bukan menjadi wilayah ilmu namun berkembang oleh
ilmuwan abad 20 yang mengalami perang dunia I dan II dalam bayang-bayang kekhawatiran
perang dunia III. Sehingga ilmuwan berpaling pada hakikat moral. Keterkaitan ilmu dan
masalah-masalah moral dapat disakssikan melalui sejarah. Copernicus (1473-1543) dengan
teori tentang kesemestaan alam, “bumi yang berputar mengelilingi matahari”, dan bukan
sebaliknya, seperti ajaran agama menyebabkan munculnya reaksi konflik antara ilmu dan
agama dari penafsiran metafisik ini yang memuncak pada pengadilan inkuisisi Galileo di
tahun 11633, yang dipakasa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari. Pengadilan inkuisis Galileo sangat berpengaruh pada proses
perkembangan berpikir di Eropa sebagai wujud dari upaya ilmu untuk memiliki otonomi
yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatic untuk dapat dengan leluasa
mengembangkan dirinya. Kemudian muncul pengembangan konsepsional yang bersifat
kontemplatif disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah pada masalah praktis. Konsep
ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk kongkret yang berupa teknologi. Dalam
pengertian teknologi sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah
praktis, baik berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam
hal ini tujuan ilmu lebih berkembang lagi dengan memanipulasinfaktor-faktor yang terkait
dalam gejala alam untuk mengontrol dan mnegarahkan proses yang terjadi. Betrand
Russelnya sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi ke manipulasi”. Kalau dalam tahap
kontemplasi. Masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuwan maka dalam tahap
manipulasi, masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Secara
filsafati dapat dikalimatkan sebagai berikut: dalam tahap pengembangan konsep terdapat
masalah moral ditinjau dari ontology keilmuwan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep
terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuwan. Dengan pengertian sebagai
berikut: Ontologi adalah pengkajian mengenai hakikat realitas dari obyek yang ditelaah
dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, dan epistemology membahas cara untuk
mendapatkan pengetahuan yang disebut metode ilmiah. Tiga hal ini adalah dasar
pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah.

Menyaksikan bahwa masalah teknologi yang berakibat pada proses dehumanisasi


sebagai masalah kebudayaan lebih dari pada masalah moral, maka masyarakat harus
menetapkan strategi pengembangan teknologi secara konseptual agar sesuai dengan nilai-
nilai budaya yang dijunjungnya. Seperti buku Erich Schumacher yang berjudul Small is
Beautifull, sebagau suatu usaha mencari alternative penerapan teknologi yang lebih bersifat
manusiawi. Dalam menghadapi masalah moral, ilmu dan teknologi yang bersifat merusak,
maka para ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan
ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik ontologis dan aksiologis. Golongan kedua,
berpendapat sebaliknya bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya terbatas pada
metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaanya, bahkan dalam pemilihan obyek
penelitian kegiatan ilmu harus berlandaskan asas-asas moral. Seperti ungkapan Charles
Darwin, “tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia adalah ketika kita menyadari
bahwa kita seyogyanya mengotrol pikiran kita. Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi
kenetralan ilmu secara total seperti di era Galileo, sedangkan golongan ke dua mencoba
menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan
masyarakat. Golongan kedua mendasrkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: 1. Ilmu
yang dalam prakteknya digunakan secara destruktif oleh manusia, yang dapat dilihat melalui
adanya dua perang dunia; 2. Perkembangan pesat ilmu yang makin esoteric sehingga kaum
ilmuwan lebih mengetahui ekses-ekses yang mungkin terjadi bila disalah gunakan; 3. Dalam
perkembangannya, terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti kasus revolusi genetika dan teknik perubahan social.
Dari ketiga hal ini, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus
ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat
kemanusiaan.

Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan


Ilmu diciptakan oleh manusia secara perseorangan namun komunikasi dan
penggunaan ilmu bersifat social. Penemuan ilmu secara personal oleh para ilmuwan seperti
Newton dan Edison menonjolkan peran individu dalam kemajuan ilmu yang dapat mengubah
wajah peradaban. Sehingga tak dapat dipisahkan antara kreativitas individu, system
komunikasi social yang berifat terbuka, sebagai proses pengembangan ilmu yang berjalan
sangat efektif. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab social yang terpikul dibahunya,
karena fungsinya dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak
berhenti pada penelaahan dan keilmuwan secara individual namun juga ikut bertanggung
jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Tanggung
jawab social seorang ilmuwan juga memberikan perspektif yang benar: untung dan ruginya,
baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang obyektif dapat dimungkinkan. Kemampuan
analisis seorang ilmuwan dapat digunakan untuk mengubah kegiatan non produktif menjadi
kegiatan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Singkatnya, seorang ilmuwan
dengan kemampuan pengetahuannya harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap
masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari.

Nuklir dan Pilihan Moral


Surat Albert Einstein pada tanggal 2 Agustus 1939 kepada Presiden Amerika Serikat,
Franklin D. Roosevelt yang memuat rekomendasi mengenai serangkaian kegiatan yang
kemudian mengarah pada pembuatan bom atom, secara eksplisit mengemukakan
kekhawatirannya mengenai kemungkinan pembuatan bom atom oleh NAZI. Sebagai seorang
ilmuwan yang menemukan rumus E = mc2 yang menjadi dasar pembuatan bom atom yang
dahsyat itu, menunjukkan keberpihakkan Einstein kepada kemanusiaan yang besar, yang
tidak mengenal batas georgafis, system politik, atau system kemasyarakatn lainnya. Secara
moral, seorang ilmuwan tidak akan menggunakan hasil penemuannya untuk menindas bangsa
lain, meskipun yang mempergunakan itu adalah bangsanya sendiri. Ternyata dalam soal-soal
kemanusiaan para ilmuwan tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara ketika
dibutuhkan oleh kemanusiaan.

Revolusi Genetika
Revolusi genetika merupakan babak baru dalam sejarah keilmuwan manusia sebab
sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan itu sendiri.
Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi berbeda, karena yang ditelaah bukan
lagi organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan
kemudahan bagi kita, seperti penelitian jantung untuk mengatasi masalah penyakit jantung;
melainkan manusia itu sendiri menjadi obyek penelaahan yang akan menghasilkan teknologi
untuk mengubah manusia itu sendiri. Mengenai hal ini, kembali pada hakikat ilmu itu sendiri.
Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya. Tujuan hidup ini berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu sendiri, bersifat
otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah. Kesimpulannya adalah sikap yang
menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai obyek penelitian genetika. Ssecara formal
dilakukan evaluasi etis terhadap suatu obyek dalam obyek formal (ontologis) ilmu.
Menghadapi nuklir sebagai suatu kenyataan, maka moral hanya mampu memberikan
penilaian yang bersifat aksiologis, dengan mempergunakan tenaga nuklir untuk keluhuran
martabat manusia. Menghadapi revolusi genetika yang baru di ambang pintu, belum
terlambat kita menerapkan pilihan ontologis.

Anda mungkin juga menyukai