Anda di halaman 1dari 15

Peran Islam Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi

Ditulis oleh M. Shiddiq al-Jawi

Sabtu, 21 Mei 2005

RingkasanPeran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang
seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang.
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran
(qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah
Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi
segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat
diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh
diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar
bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang
seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme)
seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan
iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam
boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu
aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya,
walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan
manusia.PengantarPerkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi
memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai
sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat.
Dengan ditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum
jahit. Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya bisa 23 tusukan per menit
(Qardhawi, 1997). Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan
sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh
Columbus (?). Lalu di abad XIX Orang Eropa perlu 2 minggu untuk memperoleh berita
pembunuhan Presiden Abraham Lincoln. Tapi pada 1969, dengan sarana komunikasi
canggih, dunia hanya perlu waktu 1,3 detik untuk mengetahui kabar pendaratan Neil
Amstrong di bulan (Winarno, 2004). Dulu orang naik haji dengan kapal laut bisa memakan
waktu 17-20 hari untuk sampai ke Jeddah. Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya
perlu 12 jam saja. Subhanallah…Tapi di sisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena
merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah
menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Pada tahun
1995, Elizabetta, seorang bayi Italia, lahir dari rahim bibinya setelah dua tahun ibunya
(bernama Luigi) meninggal. Ovum dan sperma orang tuanya yang asli, ternyata telah
disimpan di “bank” dan kemudian baru dititipkan pada bibinya, Elenna adik Luigi (Kompas,
16/01/1995). Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal usul sperma dan ovumnya
bukan dari suami isteri (Hadipermono, 1995). Bioteknologi dapat digunakan untuk mengubah
mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya mengubah sifat
genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam beberapa menit saja
(Bakry, 1996). Kloning hewan rintisan Ian Willmut yang sukses menghasilkan domba
kloning bernama Dolly, akhir-akhir ini diterapkan pada manusia (human cloning).
Lingkungan hidup seperti laut, atjosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami
kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman
pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak
sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan
dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian.Di
sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk ditengok kembali.
Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja,
seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin? Sejauh manakah agama Islam
dapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern? Tulisan ini bertujuan
menjelaskan peran Islam dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi
tersebut.Paradigma Hubungan Agama-IptekUntuk memperjelas, akan disebutkan dulu
beberapa pengertian dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam
yang diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific method) (Jujun S.
Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan yang
merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari (Jujun S.
Suriasumantri, 1986). Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran
untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek (Agus, 1999). Agama yang
dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad Saw, untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah
dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak,
makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan
mu’amalah dan uqubat/sistem pidana) (An-Nabhani, 2001).Bagaimana hubungan agama dan
iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya,
terdapat 3 (tiga) jenis paradigma (Lihat Yahya Farghal, 1990: 99-119):Pertama, paradagima
sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain.
Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din
‘an al-hayah). Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam
hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan
umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan
mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis
(berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara
memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai jalan keluar dari
kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan penemuan ilmu pengetahuan
modern. Semula ajaran Kristen dijadikan standar kebenaran ilmu pengetahuan. Tapi ternyata
banyak ayat Bible yang berkontradiksi dan tidak relevan dengan fakta ilmu pengetahuan.
Contohnya, menurut ajaran gereja yang resmi, bumi itu datar seperti halnya meja dengan
empat sudutnya. Padahal faktanya, bumi itu bulat berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan
yang diperoleh dari hasil pelayaran Magellan. Dalam Bible dikatakan:“Kemudian daripada
itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru angin bumi dan mereka
menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut, atau di
pohon-pohon.” (Wahyu-Wahyu 7:1) Kalau konsisten dengan teks Bible, maka fakta sains
bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan oleh teks Bible (Adian Husaini, Mengapa Barat
Menjadi Sekular-Liberal, www.insistnet.com) Ini tidak masuk akal dan problematis. Maka,
agar tidak problematis, ajaran Kristen dan ilmu pengetahuan akhirnya dipisah satu sama lain
dan tidak boleh saling intervensi.Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi
sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada
hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas
secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih
ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan
keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan.
Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada
(in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.Paradigma tersebut didasarkan pada
pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan memandang agama (Kristen) sebagai candu
masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan
kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan:“Religion is the sigh of the oppressed
creature, the heart of the heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the
opium of the people.” (Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia
yang tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit.
Agama adalah candu bagi rakyat) (Lihat Karl Marx, Contribution to The Critique of Hegel’s
Philosophy of Right, termuat dalam On Religion, 1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-
166).Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali
dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma sosialis didasarkan pada
ide dasar materialisme, khususnya Materialisme Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112).
Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang memandang adanya keseluruhan proses
perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-
pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung benih perkembanganitu sendiri
(Ramly, 2000: 110).Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa
agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-
Hadits-- menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya
dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani,
2001).Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang
pertama kali turun (artinya) :“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan.” (Qs. sl-‘Alaq [96]: 1).Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk
membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya
itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu
tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash,
1995: 81).Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan
berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu
Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya Farghal, 1994: 117). Firman Allah
SWT:“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. an-Nisaa` [4]:
126).“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs. ath-
Thalaq [65]: 12).Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang meletakkan
Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu
pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu setelah itu menjadikan
aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan
misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang
bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, “Gerhana matahari
ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah Saw segera
menjelaskan:“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau
kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya…” [HR. al-Bukhari dan an-Nasa`i]
(Al-Baghdadi, 1996: 10).Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan
Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena
alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib
seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam al-Qur`an:“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190).Inilah
paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang
muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi
sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini
yang dapat dilihat pada masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 – 1400 M. Pada
masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-
Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli
astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan
kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi
(Tentang kejayaan iptek Dunia Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein
Bahreisj, 1995; Ahmed dkk, 1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan
Shoelhi, 2003). Aqidah Islam Sebagai Dasar IptekInilah peran pertama yang dimainkan Islam
dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah
paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw. Paradigma Islam
inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler
seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam
sikap membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya
hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang
bisa menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang Islam, diajarkan
sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal haram. Eksistensi paradigma
sekuler itu menjelaskan pula mengapa tetap diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan
dengan keyakinan dan keimanan muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan sekaligus
bertolak belakang dengan Aqidah Islam. Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini
tentu perlu perubahan fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma
sekuler yang ada saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam
(bukan paham sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu
pengetahuan manusia.Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah
Islam dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari al-
Qur`an dan al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi benar
salahnya dengan tolok ukur al-Qur`an dan al-Hadits dan tidak boleh bertentangan dengan
keduanya (Al-Baghdadi, 1996: 12). Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan
iptek, bukan berarti bahwa ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus
didasarkan pada ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang cocok
dengan fakta sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu (lihat
Qs. an-Nisaa` [4]:126 dan Qs. ath-Thalaq [65]: 12), bukan berarti konsep iptek harus
bersumber pada ayat atau hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang
menjelaskan bahwa matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (Qs. Nuh [71]: 16), bahwa
langit (bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-galaksi tercipta dari
kondensasi (pemekatan) gas tersebut (Qs. Fushshilat [41]: 11-12), dan seterusnya. Ada sekitar
750 ayat dalam al-Qur`an yang semacam ini (Lihat Al-Baghdadi, 2005: 113). Ayat-ayat ini
menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah sehingga meliputi segala sesuatu, dan menjadi tolok
ukur kesimpulan iptek, bukan berarti bahwa konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat
tertentu. Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek bukanlah
bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada al-Qur`an dan al-Hadits, tapi yang dimaksud,
bahwa iptek wajib berstandar pada al-Qur`an dan al-Hadits. Ringkasnya, al-Qur`an dan al-
Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa
pun konsep iptek yang dikembangkan, harus sesuai dengan al-Qur`an dan al-Hadits, dan tidak
boleh bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits itu. Jika suatu konsep iptek bertentangan
dengan al-Qur`an dan al-Hadits, maka konsep itu berarti harus ditolak. Misalnya saja Teori
Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari organisme sederhana yang
selama jutaan tahun berevolusi melalui seleksi alam menjadi organisme yang lebih kompleks
hingga menjadi manusia modern sekarang. Berarti, manusia sekarang bukan keturunan
manusia pertama, Nabi Adam AS, tapi hasil dari evolusi organisme sederhana. Ini
bertentangan dengan firman Allah SWT yang menegaskan, Adam AS adalah manusia
pertama, dan bahwa seluruh manusia sekarang adalah keturunan Adam AS itu, bukan
keturunan makhluk lainnya sebagaimana fantasi Teori Darwin (Zallum, 2001). Firman Allah
SWT:“(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia
menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (mani).” (Qs. as-Sajdah [32]: 7).“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal.” (Qs. al-Hujuraat [49]: 13).Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an
dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam
boleh mengambi iptek dari sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi Saw
menerapkan penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari
tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi Saw juga pernah memerintahkan dua
sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu
penduduknya adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah mengambil sistem
administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang
beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek
dapat diadopsi dari kaum kafir. Syariah Islam Standar Pemanfaatan IptekPeran kedua Islam
dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus dijadikan standar pemanfaatan
iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam
pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah
yang telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan,
adalah yang telah diharamkan syariah Islam.Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan
pada banyak ayat dan juga hadits yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya
(termasuk menggunakan iptek) dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain
firman Allah:“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…”
(Qs. an-Nisaa` [4]: 65).“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah
kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya…[i/]” (Qs. al-A’raaf [7]: 3).Sabda
Rasulullah Saw:“[i]Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami
atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim].Kontras dengan ini, adalah apa yang ada
di Barat sekarang dan juga negeri-negeri muslim yang bertaqlid dan mengikuti Barat secara
membabi buta. Standar pemanfaatan iptek menurut mereka adalah manfaat, apakah itu
dinamakan pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat
memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk dilaksanakan.
Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama. Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat
menjelaskan, mengapa orang Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak
berperikemanusiaan, dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom
atom untuk membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa
melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti), mengkloning manusia
(berarti manusia bereproduksi secara a-seksual, bukan seksual), mengekploitasi alam secara
serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan seterusnya.Karena itu,
sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti dengan standar yang
benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu yang ilmu-Nya meliputi segala
sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara hakiki bermanfaat bagi manusia, dan mana
yang secara hakiki berbahaya bagi manusia. Standar itu adalah segala perintah dan larangan
Allah SWT yang bentuknya secara praktis dan konkret adalah syariah Islam. PenutupDari
uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek
setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan
ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma Islam, dan bukannya paradigma sekuler, yang seharusnya
diambil oleh umat Islam dalam membangun struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan
syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar
manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam
mengaplikasikan iptek.Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik,
insyaallah akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat
manusia. Mari kita simak firman-Nya:“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (Qs. al-A’raaf [7]: 96). Wallahu a’lam
ILMU PENGETAUAN DAN TEKNOLOGI DALAM PANDANGAN ISLAM

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) merupakan salah satu faktor penunjang
kemajuan Sumber Daya Manusia (SDM), karena dengan adanya Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi suatu negara bisa bersaing dan disetarakan dengan negara-negara lain. Setiap
manusia diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah SWT, agar menjadi orang berkualitas yang
dapat menjunjung tinggi derajatnya. Maka dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi manusia
akan lebih bermanfaat, baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat. Akan tetapi, semua itu
tergantung kemampuan yang timbul dari orang itu sendiri.

1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Sebelum memaparkan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu diketahui sekilas tentang
perbedaan antara pengetahuan dan ilmu agar tidak terjebak pada kesalahpahaman mengenai
keduanya, sehingga bisa memahami dengan mudah dan benar apa yang dimaksud dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi,
tersistem, dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu menurut Al-
Qur’an adalah rangkaian keterangan yang bersumber dari Allah yang diberikan kepada
manusia baik melalui Rasulnya atau langsung kepada manusia yang menghendakinya tentang
alam semesta sebagai ciptaan Allah yang bergantung menurut ketentuan dan kepastian-Nya.

Sementara itu, pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik
mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang
berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu
karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Jadi ilmu lebih khusus daripada
pengetahuan, tetapi tidak berarti semua ilmu adalah pengetahuan. Menurut Sutrisno Hadi,
ilmu kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah
orang-orang yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur. Sedangkan
teknologi adalah kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta dan
berdasarkan proses teknis.

2. IPTEK dilihat dari pandangan Islam

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menurut pandangan Al-Qur’an mengundang


kita untuk menengok sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya.
Menurut ulama terdapat 750 ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang alam beserta
fenomenanya dan memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkannya. Allah
SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 31 yang artinya :“Dan dia ajarkan kepada Adam
nama-nama (benda) semuanya, kemudian diperintahkan kepada malaikat-malaikat, seraya
berfirman “Sebutkan kepadaku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar”. Dari ayat di
atas yang dimaksud nama-nama adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia
berpotensi mengetahui rahasia alam semesta. Adanya potensi tersebut, dan tersedianya lahan
yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam untuk membangkang pada perintah dan
hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukum-
hukum alam. Karenanya, semua itu menghantarkan pada manusia berpotensi untuk
memanfaatkan alam itu merupakan buah dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an
memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya.
Jangankan manusia biasa, Rasul Allah Muhammad SAW pun diperintahkan agar berusaha
dan berdoa agar selalu ditambah pengetahuannya (QS Yusuf : 72).

Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan teknologi dengan
memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Karena itu, laju IPTEK
memang tidak dapat dibendung, hanya saja mabusia dapat berusaha mengarahkan diri agar
tidak diperturutkan nafsunya untuk mengumpulkan harta dan IPTEK yang dapat
membahayakan dirinya dan yang lainnya.

2.1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di jaman Islam

Islam pernah berjaya di bidang IPTEK sekitar abad VIII sampai dengan abad XIII.
Tradisi keilmuan umat Islam dipelopori oleh Al-Kindi (filosof penggerak dan pengembang
ilmu pengetahuan) yang mengatakan bahwa Islam itu dapat memperoleh ilmu pengetahuan
dan teknologi dari manapun sumbernya, asalkan tidak bertenangan dengan akidah dan
syariat. Hal ini sejalan dengan hadits nabi yang menyuruh umatnya berlayar sampai ke negeri
China untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Padahal China adalah negara non muslim.
Menurut Harun Nasution, pemikiran rasional berkembang pada jaman Islam (650-1250 M).
Pemikiran ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti
yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadits. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama
dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban
Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak),
Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia). W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa
ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan
dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah
terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan
kemudian pada sekitar tahun 900 M ke Baghdad. Maka para khalifah dan para pemimpin
kaum Muslim lainnya menyadari apa yang harus dipelajari dari ilmu pengetahuan Yunani.
Mereka mengagendakan agar menerjemahkan sejumlah buku penting dapat diterjemahkan.
Beberapa terjemahan sudah mulai dikerjakan pada abad kedelapan. Penerjemahan secara
serius baru dimulai pada masa pemerintahan al-Ma’mūn (813-833 M). Dia mendirikan Bayt
al-Ḥikmah, sebuah lembaga khusus penerjemahan. Sejak saat itu dan seterusnya, terdapat
banjir penerjemahan besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung sepanjang abad
kesembilan dan sebagian besar abad kesepuluh.

2.2. Masa kejayaan dan kemuduran IPTEK di kalangan Islam

Dari buku “Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah” yang ditulis oleh M. Natsir Arsyad,
diperoleh beberapa informasi tentang nama-nama ilmuwan Islam yang mengharumkan
namanya. Diantaranya adalah Al-Khawārizmī (Algorismus atau Alghoarismus) merupakan
tokoh penting dalam bidang matematika dan astronomi. Istilah teknis algorisme diambil dari
namanya. Dia memberi landasan untuk aljabar. Istilah “algebra” diambil dari judul karyanya.
Karya-karyanya adalah rintisan pertama dalam bidang aritmatika yang menggunakan cara
penulisan desimal seperti yang ada dewasa ini, yakni angka-angka Arab. Al-Khawārizmī dan
para penerusnya menghasilkan metode-metode untuk menjalankan operasi-operasi
matematika yang secara aritmatis mengandung berbagai kerumitan, misalnya mendapatkan
akar kuadrat dari satu angka. Di antara ahli matematika yang karyanya telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin adalah al-Nayrīzī atau Anaritius (w. 922 M) dan Ibn al-Haytham atau
Alhazen (w. 1039 M). Ibn al-Haytham menentang teori Eucleides dan Ptolemeus yang
menyatakan bahwa sinar visual memancar dari mata ke obyeknya, dan mempertahankan
pandangan kebalikannya bahwa cahayalah yang memancar dari obyek ke mata. Di bidang
astronomi, al-Battānī (Albategnius) menghasilkan table-tabel astronomi yang luar biasa
akuratnya pada sekitar tahun 900 M. Ketepatan observasi-observasinya tentang gerhana telah
digunakan untuk tujuan-tujuan perbandingan sampai tahun 1749 M. Selain al-Battānī, ada
Jābir ibn Aflaḥ (Geber) dan al-Biṭrūjī (Alpetragius). Jābir ibn Aflaḥ dikenal karena karyanya
di bidang trigonometri sperik. Di bidang astronomi dan matematika, ada juga Maslamah al-
Majrīṭī (w. 1007 M), Ibn al-Samḥ, dan Ibn al-Ṣaffār. Ibn Abī al-Rijāl (Abenragel) di bidang
astrologi.

Dalam bidang kedokteran ada Abū Bakar Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī atau Rhazes
(250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M) , Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), Ibn Rushd
atau Averroes (1126-1198 M), Abū al-Qāsim al-Zahrāwī (Abulcasis), dan Ibn Ẓuhr atau
Avenzoar (w. 1161 M). Al-Ḥāwī karya al-Rāzī merupakan sebuah ensiklopedi mengenai
seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. Untuk setiap penyakit dia
menyertakan pandangan-pandangan dari para pengarang Yunani, Syiria, India, Persia, dan
Arab, dan kemudian menambah catatan hasil observasi klinisnya sendiri dan menyatakan
pendapat finalnya. Buku Canon of Medicine karya Ibnu Sīnā sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin pada abad ke-12 M dan terus mendominasi pengajaran kedokteran di Eropa
setidak-setidaknya sampai akhir abad ke-16 M dan seterusnya. Tulisan Abū al-Qāsim al-
Zahrāwī tentang pembedahan (operasi) dan alat-alatnya merupakan sumbangan yang
berharga dalam bidang kedokteran.
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M).
Sebagian karya Jābir ibn Ḥayyān memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia
maupun metode pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-
bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-
karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat
yang mencapai ketepatan tinggi. Tetapi dari tahun ke tahun para ilmuwan muslim yang
muncul semakin sedikit, salah satunya dari Negara Indonesia adalah Prof. Dr. B. J. Habibie
dalam bidang kedirgantaraan.

Disamping dari tahun ke tahun ilmuwan muslim yang muncul sedikit, menurut Prof. Dr.
Abdus Salam dalam bukunya “Sains dan Dunia Islam” yang diterjemahkan oleh Prof. Dr.
Achmad Baiquni yang mengatakan : “Pada hemat saya, matinya kegiatan sains di
persemakmuran Islam lebih banyak disebabkan faktor-faktor internal”. Ibnu Khaldun seorang
tokoh sejarahwan sosial mengatakan : “Kita mendengar baru-baru ini, bahwa di tanah bangsa
Franka dan di pesisir Timur Tengah sedang ditumbuhkan ilmu-ilmu filsafat dengan giat”.
Atas perkataan Ibnu Khaldun di atas, Prof. Abdus Salam mengatakan : “Ibnu Khaldun tidak
memperlihatkan sikap ingin tahu atau menyesal, justru sikap acuh yang hampir mendekati
permusuhan”. Dari ungkapan Prof. Abdus Salam tersebut, sejak saat itu telah muncul
dikotomi antara ayat-ayat kitabiyyah dan ayat-ayat khauniyyah dikalangan muslim. Jadi
timbul persepsi bahwa Islam hanya berbicara tentang ilmu-ilmu sesuai dengan Al-Qur’an,
tetapi tanpa mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu yang ada di Al-Qur’an dengan
melihat fenomena-fenomena alam semesta. Sehingga itu merupakan salah satu faktor
kemunduran ilmu pengetahuan di kalangan Islam.

Kita juga sering mendengar ungkapan cendekiawan Islam maupun ulama bahwa
penemuan-penemuan ilmiah yang mutakhir diungkap dari Al-Qur’an. Tetapi fakta berbicara
bahwa yang menemukan bukanlah orang Islam, tetapi orang-orang baratlah yang
menemukan. Kalangan Islam baru sadar bahwa prinsip ilmu itu ada dalam Al-Qur’an setelah
ilmu itu diketemukan oleh orang non Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kalangan
Islam senantiasa tertinggal dalam perkembangan IPTEK dan terlambat dalam menafsirkan
kebenaran ilmu itu dari Al-Qur’an.

Demikian sekilas gambaran kemajuan dan kemunduran IPTEK di kalangan Islam,


sehingga saat ini ilmuwan di kalangan Islam sedikit memberikan sumbangsih pada
pertumbuhan dan kemajuan IPTEK secara keseluruhan.

Syarat bangkitnya Ilmu Pegetahuan dan Teknologi (IPTEK) di kalangan Islam

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh kalangan Islam apabila berkehendak untuk
membangkitkan kembali IPTEK di dunia Islam.
Pertama, kita harus menyadari dan memahami kembali bahwa tugas kekhalifahan tidak
lain adalah memakmurkan bumi dan berupaya menciptakan bayang-bayang syurga di bumi.
Alat untuk mengemban tugas tersebut adalah IPTEK.

Kedua, kita harus mampu menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam wahyu yang
pertama kali turun. Jika diperhatikan kata iqra’ (baca), maka kita akan dapati bahwa tidak ada
obyek khusus yang harus di baca, tetapi obyeknya bersifat umum, meliputi segala sesuatu
yang dapat dijangkau oleh kata tersebut, yaitu alam semesta, masyarakat dan manusia itu
sendiri.

Ketiga, kalangan Islam harus menyadari dan memahami bahwa hampir seperdelapan ayat-
ayat Al-Qur’an sebenarnya kita ditegur, agar kalangan Islam senantiasa mempelajari alam
semesta, untuk berfikir dengan menggunakan penalaran yang sebaik-baiknya, untuk
menjadikan kegiatan ilmiah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat
Islam.

Keempat, kita harus ingat sabda Nab Muhammad SAW : “ Sesungguhnya orang yang
berilmu adalah pewaris Nabi” , kalimat tersebut mempunyai dua sisi yang merupakan satu
kesatuan. Sisi pertama, memang orang berilmulah yang berhak disebut sebagai pewaris Nabi,
dan sisi kedua, orang-orang yang mewarisi akhlak Nabilah yang layak disebut sebagai
pewaris Nabi. Dengan demikian orang memiliki ilmu dan berakhlakul karimah Nabi yang
layak disebut pewaris Nabi dalam segala bidang ilmu apapun yang ditekuninya.

Kelima, kita harus menyadari dan memahami bahwa Al-Qur’an QS Az Zumar ayat 9
menekankan bahwa apakah sama orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dengan orang-
orang yang tidak berpengetahuan. Ayat di atas merupakan sindiran untuk menyadarkan
kalangan Islam agar mempunyai kesadaran ilmiah.

Keenam, Para penguasa (pengambil keputusan) hendaknya menyadari dan memahami


bahwa kedudukan mereka sangat startegis dalam menumbuhkan suasan kehidupan ilmiah,
karena tumbuh suburnya IPTEK ergantung pada kebijakan-kebijakan yang dilahirkan.

Ketujuh, para konglongmerat muslim seharusnya bersatu dalam suatu wadah untuk
membiayai proyek atau program-program yang berkenaan dengan pengembangan IPTEK.
Kedelapan, para pengasuh pondok pesantren mulai membuka diri pada IPTEK, dengan
memasukkan IPTEK pada kurikulum dan kegiatannya, tanpa menggeser agama.

Dari delapan syarat di atas, merupakan faktor penting bagi kebangkitan IPTEK di kalangan
Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Sudarmanto. Agus. M.Si, 2011, ILMU PENGETAUAN DAN TEKNOLOGI DALAM


PANDANGAN ISLAM,http://4g0e5.wordpress.com/2011/12/23/ilmu-pengetauan-dan-
teknologi-dalam-pandangan-islam-2/, diakses pada tanggal 22 November 2012
Arsitektur dalam Perspektif Islam

Oleh: Halimatussa’diyah

Dalam ilmu asas perancangan kita akan menemukan berbagai definisi dan keindahan tentang
arsitektur . Ada yang mengatakan bahwa Arsitektur adalah gubahan artistik, ada juga yang
mengatakan Arsitektur ialah wadah kegiatan, yang satu lagi mengatakan Arsitektur
Penggubah tingkah laku. Sedangkan ditengah ragamnya pendapat yang lain, ada juga yang
menyatakan bahwa Arsitektur itu lambang budaya, dan seterusnya. Lantas manakah dari
semua defini diatas yang benar atau paling tidak mendekati kebenaran? Semuanya benar tapi
seperti yang disinggung di atas, tidaklah Seutuhnya benar, namun paling tidak mendekati
kebenaran. Lalu apakah arti arsitektur seutuhnya itu?

Menurut catatan dari berbagai sumber, pengertian arsitektur seutuhnya adalah Central Of
Design (pusatnya berbagai desain). Hal ini berdasarkan pada fakta bahwa hanya orang arsitek
saja yang ketika mendesain suatu bangunan atau lainnya mesti memikirkan berbagai faktor
hingga pada factor-faktor yang sebenarnya itu tidak terkait dengan arsitektur. Contohnya,
ketika seorang arsitek ingin mendesain sebuah rumah sakit, ia harus mengetahui betul
kebutuhan ruang seorang dokter dalam beraktivitas, ia juga harus mengetahui betul
kebutuhan ruang bagi pasien, pengunjung dan lain sebagainya.

Hal ini diperlukan agar desain rumah sakitnya tidak justru memberikan kerugian bagi
penggunanya padahal pengetahuan akan aktivitas dokter bukanlah pengetahuan arsitektur.
Contoh yang lain, ketika ingin mendesain sebuah bangunan penangkal petir, ia harus
mengetahui betul tentang kelistrikan. Hal ini diperlukan agar bangunan penangkal petir
benar-benar menjadi penangkal bukan malah penyambar petir padahal, pengetahuan tentang
kelistrikan bukanlah pengetahuan asitektur namun pengetahuan elektro. Begitulah arsitektur
bisa dan memang harus ditempatkan sebagai Center of Design dilihat dari segi begitu banyak
factor yang mesti dilihat ketika mendesain segala sesuatu.

Arsitektur Dan Islam

Sebelumnya, Banyak dari kalangan muslim dan non muslim yang meragukan fakta kedekatan
Islam dengan dunia arsitektur. Beberapa keraguan diatas muncul diakibatkan mereka belum
memahami secara benar apa arti hakiki Islam, bagaimana dan mengapa Islam dipilih oleh
Allah Swt sebagai agama umat manusia dan ajaran yang paling paripurna. Pertama, orang-
orang muslim yang tidak menyadari bahwa:

1. Di seluruh Dunia Islam, kesatuan arsitektural merupakan satu segi dari kesatuan umat
dibawah Islam. Sebelum kedatangan Islam, kesatuan arsitektural belum ada. Sebelumnya,
gaya arsitektur dimana-mana saling berbeda. Kesatuan gaya justru muncul bersama Islam,
yaitu : saat arsitektur khas Islam mulai mendominasi, dengan memperbolehkan munculnya
variasi-variasi untuk hal non-esensial, sehingga gaya tersebut bisa menyesuaikan diri dengan
iklim setempat, serta hal-hal istimewa peninggalan nenek moyang atau pakem adat istiadat.

2. Karakteristik gaya-gaya arsitektur yang terdapat di seluruh Dunia Islam dilengkapi dan
diilhami oleh Islam. Seluruh standar arsitektural tepat guna pertama-tama diterapkan di
Madinah, Baitul Maqdis, Damaskus, Qayrawan, dan Baghdad, lalu menyebar ke seluruh
Dunia Islam, seiring perkembangan dan penyebaran agama Islam.

3. Seperti halnya cabang seni rupa lain, arsitektur merupakan ekspresi keindahan umat Islam,
sesuai dengan keunikan serta perbedaan pandangan mereka terhadap realitas, ruang, waktu,
sejarah, sikap personal, serta hubungan organiknya dengan arsitektur. Islam merupakan
agama yang lengkap dan sangat komprehensif, baik pandangan hidup maupun kebendaannya.
Pengaruh Islam meresap ke seluruh sendi kehidupan. Islam mengatur cara berpakaian,
makan, istirahat, bermuamalah, bahkan bersantai atau rekreasi. Tentu saja hal itu sangat
mempengaruhi, sangat menentukan kebiasaan manusia. Meskipun faktanya standar arsitektur
Islam sepertinya hanya berlaku dalam pembangunan masjid ( dalam hal pemilihan dekorasi,
desain atap, kerajinan kayu, sistem penerangan, corak permadani), namun bisa ditelusuri
bahwasanya pola dasar tersebut mempengaruhi seluruh gaya arsitektur Islami.

Dari penjelasan diatas tersebut, maka pandangan-pandangan keliru mengenai Islam dalam
kaitannya dengan arsitektur, dengan sendirinya akan terbantahkan. Karena sebelumnya
kalangan orientalis berpandangan bahwa islam hanya mengatur masalah peribadatan saja, dan
tidak mampu menyentuh aspek yang lainnya. Disinilah Islam menjawab keraguan kalangan
orientalis tersebut dengan menyerukan pentingnya bermuamalah dengan tuhan, bermuamalah
dengan manusia, juga yang tak kalah pentingnya menurut Islam adalah berinteraksi dengan
alam semesta (termasuk didalamnya dunia arsitektur).

Sebelumnya sudah disinggung pula bahwa arsitektur adalah Center of Design. Artinya,
arsitektur bisa digunakan untuk merusak juga bisa digunakan untuk memperbaiki. Dari sini,
peran agama nampak terlihat dan sangat dibutuhkan. Ketika agama tidak berperan dalam
mendesain sesuatu maka yang terjadi adalah kerusakan dan tidak adanya keindahan. Namun,
ketika agama ikut berperan dalam mendesain sesuatu maka yang terjadi adalah kebaikan dan
keindahan. Agama yang dimaksud disini adalah Islam. Contoh nyatanya ialah Islam menjaga
betul apa yang disebut aurat. Aurat adalah kehormatan yang harus dijaga dari orang asing
yang tidak berhak.

Dengan standar ini, seorang arsitek akan membuat sebuah bangunan yang bisa menjaga aurat
penghuninya baik ada maupun tidak adanya tamu.

Selain itu, Islam pun mencintai keindahan.


“Sesungguhnya Allah itu indah, suka kepada keindahan”

Dalam hal ini, para arsitek-arsitek Islam dahulu kala telah mengimplementasikannya dalam
bentuk bangunan monumental yang sulit mencari tandingannya dari segi keindahan yang
lainnya.

Contoh kecilnya adalah Taj mahal. Taj mahal ini memiliki keindahan arsitektur yang tinggi.
Bahan pualam putih sebagai material masjid diolah sedemikian rupa sehingga warna masjid
ini senantiasa berubah sepanjang waktu-waktu tertentu. Keindahan masjid ini memberikan
banyak inspirasi desain bagi siapa saja yang melihatnya secara langsung.

Penutup

Demikianlah sekelumit tentang arsitektur dalam perspektif Islam. Ternyata, kalau diteliti
lebih mendalam kajiannya sangat luas dan komprehensif. Dan tulisan ini hanyalah pengantar
semata. Yang perlu di catat di sini adalah pengetahuan arsitektur akan menjadi pengetahuan
belaka ketika tidak diimplementasikan. Namun disisi lain juga, Implementasi tersebut akan
menjadi buruk dan berbahaya apabila agama tidak ikut berperan. Dan hanya Islamlah yang
bisa mengarahkan implementasi Arsitektur tersebut menuju implementasi yang
Memanusiakan Manusia.

Sumber

http://archirevo.com

Dyayadi. 2008. Tata Kota menurut Islam: Konsep Pembangunan Kota yang Ramah
Lingkungan, Estetik dan Berbasis Sosial. Jakarta: Khalifa

Laurens, Joyce Marcella. 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasind

Anda mungkin juga menyukai