Anda di halaman 1dari 7

Kaitan Antara Etika dan Ilmu Pengetahuan

Maqbul Halim
L2G04026

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG 2004

Kaitan Antara Etika dan Ilmu Pengetahuan


Oleh : Maqbul Halim
(L2G04026)

Pertentangan Ontologis: Ilmuan dan Gereja


Copernicus (1473-1543) dan kemudian diteruskan oleh Galileo (1564-
1642), berteori tentang “bumi berputar mengelilingi matahari”, bukan sebaliknya
seperti yang diyakini dalam ajaran gereja. Agama (gereja) adalah mata air sebagian
besar tatanan moral dalam pengertian metafisik menentang pernyataan Copernicus
itu. Perbedaan pendapat antara ilmuan dan kalangan gereja ini menandai babak
dimulainya pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Galileolah yang
kemudian menjadi tumbal pada puncak pertentangan ini ketika menghadapi
pengadilan agama agar ia mencabut pernyataannya bahwa bumi mengelilingi
matahari.
Pertentangan ini sesungguhnya terjadi pada wilayah medan ontologis
(metafisika). Petualangan untuk mengungkap kebenaran dalam gejala alam
semesta mestilah bebas dari nilai. Sementara pada tahap ini, petunjuk-petunjuk
agama sebagai suatu nilai kebenaran tentang alam semesta, membatasi kontemplasi
ontologis kalangan ilmuan untuk mengungkap hakikat dari realitas alam. Dapat
dikatakan bahwa pertarungan sesungguhnya yang terjadi antara ilmuan dan
agamawan ketika itu adalah upaya otoritas agama untuk mempertahankan
maknanya tentang realitas, sementara kalangan ilmuan lebih pada perjuangan
untuk membebaskan diri dari nilai-nilai untuk mengungkap hakikat realitas.
Pertentangan dalam ruang ontologis inilah yang sesungguhnya dialami antara
otoritas gereja dengan Copernicus, Galileo, Socrates, dan sebagainya.
Kegigihan ilmuan tersebut di atas sebenarnya merupakan sebuah tekad
untuk menemukan kebenaran, sebab menemukan kebenaran—apalagi
mempertahankannya, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi
dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawahnya dalam
mepertahankan kebenaran apa yang mereka anggap benar (Jujun S. Suriasumantri
1994). Demikian untuk hal ini, perlawanan yang dilakukan ilmuan ini adalah
sebuah perlawan ontologis: kebenaran asali tentang alam semesta. Pihak gereja
mendasarkan legitimasinya tentang kebenaran alam semesta menurut panduan al-
Kitab sementara kalangan ilmuan mendasarkannya pada prinsip-prinsip
kontemplasi yang positivistik.
Pada tahun 1800-an, akhirnya ilmuan memperoleh otonominya secara utuh.
Otonomi dalam artian bahwa kegiatan kontemplasi “ontologis” ilmu untuk
menyibak hakikat realitas terbebas dari pengaruh nilai-nilai dari luar wilayah
ontologis itu seperti agama, ideologi atau pertimbangan etis. Di sinilah ilmu
pengetahuan mendapatkan otonomi untuk mengembangkan kajian dan
penelitiannya. Mempelajari gejala alam menurut hukum-hukum yang bekerja dan
mengatur kejadian-kejadian alam, bukan menurut ketentuan-ketentuan yang
diidealkan oleh ajaran agama dari al-kitab atau ideologi tertentu.

Otonomi Pengembangan Ilmu


Berkat otonomi ini pula, ilmuan dapat berekspansi melalui proses-proses
ontologis sehingga melahirkan berbagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini
dibangun atas dasar kajian-kajian epistemologis terhadap obyek-obyek
pengetahuan yang dilahirkan oleh proses ontologis sebelumnya. Ilmu pengetahuan
berkembang pesat pada tahap ini, karena berbagai macam metode ilmiah untuk
mendapatkan pengetahuan, dikembangkan dikembangkan terus oleh para ilmuan.
Gejala alam dan gejala kehidupan manusia (sosial-humaniora), satu-satu persatu
ditemukan dan terus menambah perbendaharaan pengetahuan manusia. Begitu
pula, obyek material melahirkan juga ilmu-ilmu murni maupun terapan (sesuai
dengan obyek formalnya), seperti ilmu ekonomi, biologi, hukum, fisika,
kedokteran, fisika, pertanian, sosiologi, antropologi, politik, dan sebagainya.
Seperti disebutkan tadi, bahwa obyek-obyek material ilmu dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok—dasarnya dalam filsafat ilmu: yakni ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial. Ilmu alam melahirkan sejumlah obyek formal yang
dikaji oleh dan menurut disiplinnya sendiri seperti biologi, fisika, farmasi,
pertanian, peternakan, kedokteran, peternakan, matematika, kimia, geologi, dan
sebagainya. Ilmu-ilmu yang tergolong ke dalam ilmu alam ini dibagi menjadi dua,
yaitu: ilmu murni yang mencakup biologi, fisika, matematika, dan kimia; dan ilmu
terapan yang mencakup fisika terapan, biologi terapan, kimia terapan, peternakan,
pertanian, geologi, teknologi dan sejenisnya.
Sedangkan yang tercakup ke dalam ilmu-ilmu sosial adalah sosiologi,
antropologi, politik, administrasi, ekonomi, hukum, budaya, komunikasi, psikologi,
dan sebagainya. Seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga dibagi ke dalam dua
kelompok, yakni ilmu murni dan ilmu terapan. Ilmu murni mencakup antropologi,
politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, budaya, hukum, dan sejenisnya. Sementara
yang tergolong ke dalam ilmu terapan antara lain komunikasi, pemerintahan
(politik terapan), kependudukan (sosiologi terapan), administrasi, manajemen atau
akuntansi (ekonomi terapan), hukum tata negara (hukum terapan), dan sebagainya.
Kembali kepada tiga dasar terbentuknya ilmu penetahuan dalam filsafat
ilmu: ontologis, epistemologis, dan aksiologis, maka ilmu-ilmu murni yang telah
dikemukakan sebelumnya mengembangkan dirinya dalam wilayah dasar ontologis
dan epistemologis. Sementara untuk ilmu-ilmu terapan berkembang dalam wilayah
dasar aksiologis. Tulisan ini akan berlanjut pada kemajuan yang dicapai ilmu
pengetahuan pada tingkatan aksiologis. Tingkatan ini akan berbicara mengenai
manfaat dan kegunaan hasil ilmu pengetahuan ini untuk meningkatkan mutu
kehidupan manusia.

Tingkatan Aksiologi Pengetahuan


Dalam filsafat ilmu, menurut Bertrand Russel, tahap ini disebut juga tahap
manipulasi. Dalam tahap ini, ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala
alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman (ontologi dan epistemologi),
melainkan juga untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan alam untuk
mengontrol dan mengarahkan proses-proses alam yang terjadi. Konsep ilmiah
tentang gejala alam sifatnya abstrak menjelma bentuk jadi kongkret berupa
teknologi, misalnya (Jujun S. Suriasumantri 1994).
Teknologi yang dapat diartikan sebagai penerapan konsep-konsep ilmiah
untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis, dalam perjalan dan pencapaian-
pencapaiannya, justru menimbulkan masalah lain. Eksesnya yang dapat disebutkan
misalnya dehumanisasi, degradasi eksistensi kemanusiaan, dan pengrusakan
lingkungan hidup. Sejarah kehidupan manusia memang telah mencatatkan bahwa
Perang Dunia I dan II merupakan ajang pemanfaatan hasil temuan-temuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Penggunaannya secara destruktif ini menimbulkan
kontroversi. Pada satu sisi hal itu menimbulkan efek kehancuran pada manusia dan
alam, sementara pada sisi lainnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang kemudian banyak dimanfaatkan dalam peperangan dan kehancuran alam
adalah bagian dari rangkain perjalan ilmu untuk mengunkap hakikat gejala alam
dan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering melupakan
faktor-faktor manusia. Misalnya, manusia mesti menyesuaikan diri terhadap
teknologi-teknologi baru (Jaques Ellul 1964). Akhirnya, eksistensi manusia
terpinggirkan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Jujun S.
Suriasumantri 1984).
Bencana-bencana yang ditimbulkan oleh pamanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi (science and technology) antara kerusakan ekologi. Banyak yang dapat
disebutkan tentang kehancura ekologi: kontaminasi air, udara, tanah, dampak
rumah kaca, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan,
akumulasi limba-limba toksik, penipisan laporan ozon (CO1) pada atmosfir bumi,
kerusakan ekosistem lingkungan hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, musuh
kemanusiaan, yaitu perang. Perang Dunia I dan II yang meluluhlantakkan Eropa
dan sejumlah kawasan di Asia dan Pasifik menggoreskan luka kemanusiaan.
Berapa korban manusia berguguran akibat bom atom yang dijatuhkan di Hirosima
dan Nagasaki, Jepang. Atau kawasan Asia Tengah, yaitu Afganistan yang menjadi
ajang ujicoba penemuan mutakhir teknologi perang buatan Amerika Serikat dan
Uni Soviet (sekarang Rusia).
Pada akhirnya ilmuan memang tiba pada opsi-opsi: apakah ilmu
pengetahuan dan teknologi netral dari segala nilai atau justru batas petualangan dan
prospek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh mengingkari
suatu nilai, seperti nilai moral, religius, dan ideologi. Ilmu pengetahuan sudah
sangat jauh tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri, sementara teknologi
atau ilmu pengetahuan terapan lain terus bergulir mengikuti logika dan
perspektifnya sendiri—dalam hal ini tak ada nilai-nilai lain yang diizinkan
memberikan kontribusi. Kecemasan tertinggi di tengah kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi terjadi ketika ilmu kedokteran berhasil menyelesaikan
proyek eksperimennya mengembangkan janin dengan metode yang disebut “bayi
tabung”.
Lalu kemudian ternyata masih ada yang lebih mutakhir dari pada “bayi
tabung” itu, yakni suksesnya para ilmuan merampungkan eksperimen kloningnya.
Yang terakhir ini mengubah hakikat manusia secara dramatis; ilmu pengetahuan
yang diciptakan oleh manusia mampu menciptakan manusia juga. Bahkan, ilmu
pengetahuan yang diproyeksi untuk membantu dan memudahkan manusia
mencapai tujuan-tujuan hidupnya, justru berkembang dimana ilmu pengetahuan
dan teknologi itu sendiri mengkreasikan tujuan-tujuan hidup itu sendiri.

Pertentangan Aksiologis: Ilmuan dan Humanis


Kalangan humanis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan etis yang
penting. Antara lain pertanyaan itu adalah: untuk apa sebenarnya ilmu harus
dipergunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan
ini tidak urgen bagi ilmuan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi
perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penelaahan tujuan ilmu pengetahuan
itu dikembangkan dan diterapkan, untuk tulisan ini, cukup penting. Karena ide
dasar penerapan hasil-hasil ilmu pengetahuan adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan dan penghidupan manusia. Seperti disebutkan sebelumnya,
ekspektasi besar manusia pada ilmu pengetahuan bahwa itu dapat membantu dan
memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Namun yang terjadi
kemudian adalah absuditas (paradoks): bahwa ilmu pengetahuan justru
membiaskan kehancuran dan malapetaka bagi alam dan manusia (kehancuran itu
telah disebutkan pada pragraf sebelumnya).
Adakah ini berarti bahwa gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebaiknya cukup sampai di sini? Atau boleh dilanjutkan tetapi menurut
konsideran dari otoritas-otoritas tertentu (bukan otoritas administratif dan institusi
keagamaan atau ideologi)? Akan tetapi, bila ruang gerak prospek ilmu pengetahuan
dan teknologi ini dipagari, berarti kita telah melangkah mundur hingga pada
jamannya Galileo atau Socrates. Konsekuensinya, kemandirian ilmu pengetahuan
untuk berkembang terkebiri, sementara problem yang muncul sesungguhnya tidak
bersumber pada pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi itu.
Untuk sementara, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis
terbentuknya pengetahuan perlu diungkit kembali untuk mempetakan persoalan
yang ditimbulkan oleh pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut dasar-dasar ini, suatu pengetahuan merupakan hasil kontemplasi yang
menguak hakikat realitas alam dan manusia sebagai suatu obyek empiris (tahap
ontologis). Ketika realitas yang berbentuk obyek itu berusaha dipahami dan
dimengerti (diketahui), maka itulah tahap epistemologis. Intervensi kepentingan
manusia dan nilai-nilai etika, moral, dan agama tidak ditemukan dalam tahap ini
dan memang tidak relevan ditempatkan dalam proses itu. Ketika ada pertanyaan
tentang manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan manusia, berarti yang
dimaksudkan adalah tahap aksiologis dari pengetahuan itu. Dalam tahap ini,
persitwa alam dan manusia tidak lagi bergerak secara orisinal menurut
kecenderungan alamiahnya, tetapi sudah merupakan proses yang artikulatif dan
manipulatif. Dalam artian bahwa, kepentingan manusia sudah dapat berinfiltrasi ke
dalam penerapan pengetahuan itu.
Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keilmuan suatu
pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini
dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi dan
manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya.
KEPENTINGAN manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang pada
manusia itu sendiri. Jadi, fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat aksiologis
ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang manusia akan
sangat membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana
sebaiknya ilmu pengatahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam
tataran aksiologi. Sekaligus pula diperperterang kembali bahwa pertentangan
antara kalangan humanis dan ilmuan pada abad ini adalah berkisar pada tingkatan
aksiologis itu. Berbeda pada zamam Copernicus atau Galileo, di mana ilmuan
bertentangan dan saling mempertahankan keyakinan dengan kalangan gerja pada
tataran ontologis. Oleh karena itu, tuntutan kemanusiaan pada wilayah aksiologi
ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendapat permakluman secara luas.

Aspek Etika (Moral) Ilmu Pengetahuan


Kembali, kita akan fokus pada manusia sebagai manipulator dan artikulator
dalam mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal
konsep diri daru Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”.
“Id” adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis
(hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido
(konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara
“id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili
ideal, hati nurani (Jalaluddin Rakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif
manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis,
mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa
manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya
dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak
berfungsi optimal, maka tentu—atau juga nafsu angkara murka yang
mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu
pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang diperoleh manusia, atau malah
mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan,
penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang
mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai
adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab
manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi
sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu
pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai
dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka
manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah
etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup
serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan
mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya
(ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang
baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian
dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral (Herman Soewardi 1999).
Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen
bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau
keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat
kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya (executor) tidak
ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek berhadap opsi baik atau
buruk—yang baik itulah materi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.

Rujukan:
Jaques Ellul, 1964, “The Tecnological Society”. Alfred Knopf, New York.
Rakhmat, Jalaluddin, 1985, “Psikologi Komunikasi”, Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Suriasumantri Jujun S., 1984, “Filsasfat Ilmu”, sebuah pengantar populer.
Pustaka Sinar Harapan: Jakarta
Soewardi, Herman, 1999, “Roda Berputar Dunia Bergulir” Kognisi Baru Tentang
Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, Bakti Mandiri, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai