Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Perkembangan Ilmu dan Teknologi

K
ecepatan perubahan dan perkembangan teknologi dewasa ini sungguh mengagumkan.
Perubahan dan perkembangan itu terjadi di sekeliling kita, di sekitar lingkungan kita.
Perhatikan betapa cepatnya mesin komputer dan telepon genggam berkembang menjadi
lebih baik dalam waktu yang singkat. Baru beberapa bulan sebuah komputer dan telepon
genggam diperkenalkan, telah muncul lagi model baru yang lebih canggih dan lebih nyaman
digunakan. Dapat dipastikan bahwa produk teknologi yang lebih baru mempunyai keunggulan
dibandingkan dengan produk teknologi sebelumnya.
Teknologi merupakan salah satu produk dari ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh umat
manusia. Dengan ilmu pengetahuan, manusia senantiasa menciptakan dan memperbaiki
teknologi, dari yang sangat sederhana hingga yang sangat canggih. Secara terus-menerus,
manusia selalu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan hidupnya dengan
teknologi yang diciptakannya. Penyempurnaan teknologi ini berjalan seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan. Semakin maju ilmu pengetahuan sebuah peradaban akan semakin cepat juga
proses perbaikan teknologinya.
Sesungguhnya proses perubahan dan perbaikan teknologi telah berlangsung setua
peradaban manusia. Yang berbeda adalah laju perubahan dan perkembangan teknologi itu. Jika
kita membandingkan, selama berabad-abad manusia menggunakan teknologi kertas untuk
membuat buku guna mendokumentasikan sejarah, pengetahuan, dan teknologi. Sebelumnya
bahkan manusia menggunakan media berupa pahatan batu dan kulit pohon untuk tujuan yang
sama. Pada saat ini, kita menyaksikan bagaimana sebuah telepon genggam atau komputer tablet
bisa menggantikan peran buku dalam wujudnya yang lebih efektif. Melalui media baru ini, dengan
mudah dan cepat kita bisa memperoleh update dari pengetahuan yang ada. Dengan peralatan
modern ini kita juga bisa mengikuti animasi yang mempermudah pemahaman untuk
pengetahuan dan teknologi yang rumit. Di dalam satu media komputer mini kita dapat
menyimpan ratusan buku dalam bentuk e-book dan memanfaatkannya dengan mudah.
Contoh di atas hanyalah sedikit saja dari keberhasilan manusia dalam meningkatkan
kenyamanan hidup melalui teknologi baru. Penciptaan dan pengembangan teknologi baru ini
dimungkinkan melalui ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin modern dan semakin
canggih. Jika diperkirakan keberadaan manusia di bumi sudah berlangsung sejak satu juta tahun
yang lalu, eksistensi sains sebagai faktor dominan dalam menentukan kepercayaan masyarakat
terpelajar dimulai sejak sekitar 350-400 tahun yang lalu. Sains kemudian berkembang menjadi
sumberdaya utama teknologi yang mengembangkan ekonomi sejak 200 tahun yang lalu. Dalam
waktu yang relatif singkat ini, sains terbukti telah berperan sebagai kekuatan revolusioner dalam
perkembangan perekonomian (Russell, 1968).
Pengaruh sains terhadap peradaban manusia sangat luas dan sangat beragam. Ada pengaruh
langsung terhadap intelektualitas seperti misalnya dalam menghapus kepercayaan-kepercayaan
tradisional dengan mengadopsi pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah. Ada
pengaruh terhadap teknologi yang selanjutnya mempengaruhi dunia industri dan militer. Yang
terakhir ini mempunyai dampak terhadap perkembangan politik, ekonomi, dan sosial suatu
bangsa. Perkembangan sains juga mempunyai dampak langsung terhadap lingkungan hidup, baik
dalam arti yang positif maupun negatif. Akhirnya, sains juga berpengaruh terhadap
perkembangan filsafat yang dapat mengubah konsep keberadaan manusia di alam raya ini
(Russell, 1968).
Selain melahirkan berbagai teknologi baru, sains juga dapat melahirkan sains baru. Ilmu
pengetahuan menghasilkan ilmu pengetahuan baru. Proses-proses ini berlangsung semakin
cepat karena generasi berikutnya bisa menggunakan informasi dan temuan dari generasi
sebelumnya. Dalam proses penemuan atau pengembangan pengetahuan dan teknologi baru juga
terjadi perbaikan dan penyempurnaan. Penemuan baru selalu bisa mengacu kepada penemuan
sebelumnya sehingga tidak perlu mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama. Proses-proses ini
berlangsung secara sistematis dan terdokumentasi. Penemuan ilmu pengetahuan bisa bertujuan
untuk menemukan hal-hal yang benar-benar baru atau bisa juga mengkritisi, memperbaiki,
memodifikasi, atau bahkan menolak pengetahuan lama jika ternyata salah. Proses penemuan
pengetahuan dan teknologi ini tidak hanya bersifat mencoba-coba (trial and error) tetapi juga
menggunakan penalaran dan logika yang jelas (tidak berdasarkan kepercayaan dan takhayul),
bersifat transparan, dan bisa diikuti oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Metode penemuan
pengetahuan dan teknologi seperti ini secara umum kita sebut sebagai metode yang ilmiah atau
disebut juga metode ilmiah.

1.2 Cakupan dan Topik Bahasan


Buku ini merupakan pengantar untuk memahami seluk-beluk metode ilmiah, mulai dari sejarah,
prinsip, hingga aplikasinya yang umumnya berbentuk kegiatan penelitian ilmiah. Bagian awal
buku ini memberikan review latar belakang untuk memahami ihwal filsafat ilmu dan
perkembangan metode ilmiah serta membahas kaitan antara metode penelitian, metode ilmiah,
dan filsafat ilmu. Selanjutnya diuraikan prinsip-prinsip umum penelitian ilmiah dan relevansi
antara tahapan-tahapan teknis penelitian ilmiah dengan prinsip dasar filsafat ilmu. Bagian akhir
buku menyajikan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan kegiatan penelitian ilmiah dan
bahasan singkat tentang publikasi karya ilmiah.

1.3 Ihwal dan Takrif Filsafat Ilmu


Ilmu pengetahuan atau ilmu, berkembang dari filsafat. Oleh karena itu, filsafat dan ilmu
merupakan dua kata yang saling terkait baik secara substansial maupun historis. Ilmu dilahirkan
oleh filsafat dan selanjutnya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat (Bakhtiar,
2013). Berdasarkan fakta ini maka pembahasan filsafat ilmu juga memerlukan pembahasan
tentang ihwal filsafat.

2
Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan
pengaruh filsafat yang berawal pada masa Yunani kuno. Pada masa itu, filsafat identik dengan
ilmu pengetahuan. Semua hasil pemikiran manusia pada era itu disebut filsafat dan antara
pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan (Wibisono dan Munir, 1999).
Keadaan ini kemudian berubah. Pada abad pertengahan, filsafat menjadi identik dengan agama
dan pemikiran filsafat menjadi satu dengan dogma gereja. Akhirnya terjadi lagi perubahan yang
lebih baik dengan munculnya era Renaisance pada Abad 15 dan Aufklaerung pada Abad 18.
Pada era pencerahan ini filsafat memisahkan diri dari agama dan para pemikir mulai bebas
mengeluarkan pendapat tanpa takut dihukum oleh gereja. Selanjutnya, pada zaman sekarang ini
filsafat tetap bersifat sekuler tetapi seolah-olah telah ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang semula berkembang dari filsafat kemudian berdiri sendiri dan terspesialisasi
menjadi berbagai cabang ilmu (Bakhtiar, 2013; Wibisono & Munir, 1999).
Sejarah mencatat bahwa filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran bangsa Yunani dan
umat manusia dari pemikiran-pemikiran yang berlandaskan kepada takhayul dan mitos kepada
pemikiran-pemikiran yang menggunakan logika, bukti, dan prinsip-prinsip ilmiah. Pada zaman
sebelum berkembangnya filsafat, bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia percaya bahwa seluruh
kejadian di semesta ini diatur dan dipengaruhi oleh para dewa. Berkembangnya filsafat telah
mengubah pandangan itu. Kejadian gerhana, misalnya, tidak lagi dianggap sebagai kegiatan dewa
yang tertidur tetapi disebabkan oleh matahari, bulan, dan bumi berada pada garis yang sejajar
sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian permukaan bumi. Perubahan pandangan ini
disebut sebagai perubahan dari mitosentris ke logosentris (Bakhtiar, 2013)
Perubahan pola pikir mitosenteris ke logosentris terbukti berakibat sangat luas terhadap
ilmu pengetahuan dan peradaban umat manusia. Alam dan gejalanya yang sebelumnya ditakuti
kemudian dipelajari, diteliti, dan bahkan dieksploitasi. Dari penyelidikan-penyelidikan terhadap
gejala alam ini kemudian ditemukan berbagai hukum dan teori ilmiah yang menjelaskan
perubahan yang terjadi, baik di alam jagad raya (makrokosmos) maupun di alam manusia
(mikrokosmos). Dari penelitian alam jagad raya lahirlah ilmu-ilmu astronomi, kosmologi, fisika,
kimia, dan sebagainya. Sedangkan dari penyelidikan mikrokosmos manusia berkembang ilmu
biologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Seiring dengan perjalanan waktu, ilmu-ilmu tersebut
kemudian berkembang menjadi semakin terspesialisasi dan semakin aplikatif (Bakhtiar, 2013).
Dalam bentuknya yang lebih temerap, ilmu menghasilkan teknologi yang berdampak langsung
dan luas terhadap peradaban, baik dalam arti positif maupun negatif.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan filsafat sehingga diyakini mempunyai kekuatan
yang dahsyat dalam mengubah peradaban umat manusia? Istilah “filsafat” di dalam Bahasa
Inggris disebut “philosophy” yang berasal dari kata Yunani “philosophia”. Istilah ini berasal dari
dua kata, yaitu philos (cinta) atau philia (persahabatan) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan,
pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis, intelegensia). Dengan demikian, secara etimologi
filsafat bermakna “cinta kebijaksanaan atau kebenaran” (love of wisdom). Para pemikir filsafat
disebut “filsuf” yang dalam bahasa Arab disebut failasuf (Bakhtiar, 2013).
Mengingat filsafat merupakan bidang kajian yang sangat luas dan berkaitan dengan segala
yang ada di dalam semesta ini, di dalam pustaka tersedia banyak takrif (definition) dan pengertian
pokok tentang filsafat. Sudah barang tentu para pakar mempunyai penekanan yang berbeda-beda
ketika menakrifkan filsafat sesuai dengan minat yang ditekuninya. Namun demikian terdapat
karakteristik umum yang menjadi ciri filsafat. Menurut Suriasumantri (1999), pemikiran filsafat
mempunyai tiga karakteristik utama, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.
Karakteristik berpikir menyeluruh dalam filsafat antara lain menuntut bahwa seorang ilmuwan
atau pemikir filsafat tidak boleh puas mengenal ilmu hanya dari sudut pandang bidang ilmu itu
3
tetapi harus mempelajari hakikat ilmu di dalam konstelasi ilmu pengetahuan lainnya. Pemikir
filsafat juga harus melintas batas dan mengetahui kaitan ilmu yang dipelajarinya dengan etika,
moral, dan agama. Seorang filsuf ingin yakin apakah ilmu yang dipelajarinya membawa
kebahagiaan kepada dirinya. Selanjutnya, dengan berpikir mendasar seorang filsuf tidak begitu
saja percaya bahwa ilmu yang dipelajari adalah benar. Pemikir filsafat harus yakin mengapa ilmu
itu dianggap “benar”, harus tahu yang disebut “benar” itu seperti apa, dan dan harus paham
bagaimana prosesnya agar penilaiannya yang menghasilkan tentang yang benar itu tidak salah.
Sedangkan karakteristik berpikir spekulatif dalam filsafat menunjukkan bahwa seorang filsuf
juga harus mampu menetapkan titik spekulasi awal dalam perjalanannya menembus
pengetahuan untuk mencari kebenaran. Ibarat menyusuri sebuah lingkaran, bagaimanapun
seseorang harus memulai dari satu titik yang mungkin harus dipilihnya secara spekulatif.
Dengan memahami tiga karakteristik berpikir filsafati di atas maka kita mempunyai gam-
baran umum tentang apa itu filsafat. Dengan pemahaman ini, mungkin kita tidak perlu
membandingkan berbagai pengertian terminologis tentang filsafat mengingat beragam dan lu-
asnya area bidang kajian ini. Jika pembaca ingin mempelajari lebih lanjut ragam pengertian
terminologi filsafat, dipersilakan untuk merujuk pada pustaka-pustaka khusus tentang filsafat.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan “filsafat ilmu” atau philosophy
of science? Apa kaitan antara filsafat ilmu dan ilmu fisafat? Apa perbedaan antara filsafat ilmu
dan filsafat? Apa kaitan antara filsafat, filsafat ilmu, dan metode ilmiah? Dalam bab ini dibahas
jawaban dari tiga pertanyaan pertama, sedangkan pertanyaan terakhir dibahas pada bab lain di
dalam buku ini.
Dalam perspektif filsafati, filsafat ilmu merupakan elemen atau unsur penting dari
penyelidikan ilmiah. Filsafat ilmu adalah disiplin filsafat yang mempelajari asumsi, dasar,
metode, implikasi, serta pemanfaatan dan hakekat ilmu atau sains. Pertanyaan sentral di dalam
filsafat ilmu umumnya berkaitan dengan kriteria ilmu, keandalan teori-teori ilmiah, serta hakekat
dari tujuan suatu ilmu pengetahuan. Bidang filsafat ilmu kadang-kadang berselisip (overlapped)
dengan metafisik, ontologi, dan epistemologi ketika mengeksplorasi apakah penemuan ilmiah
mencakup pencarian kebenaran. Filsafat ilmu mempelajari berbagai cabang ilmu dan
strukturnya. Filsafat ilmu dapat juga dipandang sebagai cara untuk mendeskripsikan bagaimana
suatu riset dilaksanakan (Kitcher, 2015).
Sejarah mencatat bahwa pemikiran-pemikiran filsafati tentang ilmu pengetahuan telah
dimulai sejak era Aristoteles. Sedangkan perkembangan filsafat ilmu sebagai salah satu disiplin
dari ilmu pengetahuan dimulai pada pertengahan Abad 20 seiring dengan maraknya gerakan
positivisme logis (logical postivism movement) yang juga disebut empirisme logis (logical
empirism). Aliran empirisme logis ini berpandangan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan
satu-satunya pengetahuan faktual dan bahwa semua doktrin metafisik tradisional harus ditolak.
Pandangan logical postivism menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus berlandaskan kepada
hasil verifikasi atau konfirmasi percobaan yang bersifat publik. Hal ini berbeda dengan
paham empirisme dan positivisme periode sebelumnya yang menggunakan verifikasi dan
konfirmasi personal (Kitcher, 2015).
Ilmu pengetahuan memiliki dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal.
Obyek material adalah sesuatu yang menjadi sasaran penyelidikan atau bidang kajian dari ilmu,
seperti misalnya tumbuh-tumbuhan merupakan obyek material dari ilmu botani dan tubuh
manusia menjadi obyek material dari ilmu kedokteran. Sedangkan obyek formal merupakan
metode untuk memahami obyek material dari ilmu. Contoh dari obyek formal dari ilmu adalah
pendekatan deduktif dan induktif yang banyak dipelajari dalam filsafat ilmu.

4
Sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan, filsafat juga memiliki obyek material dan
formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, yang mencakup yang tampak maupun
tidak tampak, yang berada dalam dunia empiris maupun metafisik. Adapun obyek formal filsafat
adalah sudut pandang dan pemikiran yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang
ada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bidang kajian filsafat lebih luas daripada ilmu
karena ilmu hanya mempelajari obyek material yang bersifat empiris sedangkan kajian filsafat
meliputi obyek empiris dan non empiris. Namun demikian, dalam perkembangannya filsafat
tidak hanya dipandang sebagai induk dan sumber dari ilmu tetapi menjadi bagian dari ilmu itu
sendiri, yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf ini, filsafat tidak mencakup keseluruhan
tetapi sudah menjadi sektoral sehingga kita mengenal filsafat agama, filsafat hukum, dan
filsafat ilmu (Bakhtiar, 2013). Dengan demikian, filsafat ilmu merupakan bagian dari
perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral. Adalah tugas filsafat untuk menyatukan visi
keilmuan agar tidak terjadi konflik antarbidang keilmuan.

BAB 2
LANDASAN, SARANA, DAN
TINGKATAN ILMU

K
ebiasaan mencari pengetahuan yang sebenar-benarnya diawali dengan tradisi para filsuf
yang selalu ingin memperoleh pengetahuan secara tuntas. Demikian juga, pencarian
jawaban semendalam mungkin atas suatu masalah atau pertanyaan merupakan salah
satu ciri di dalam bidang filsafat. Berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang
segala yang ada tersebut, ilmu filsafat mengelompokkannya menjadi tiga ranah (domain), yaitu
ranah ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi berkaitan dengan “apa” yang dibahas
oleh sebuah ilmu pengetahuan. Di dalam bahasa awamnya, ontologi membahas dan membatasi
obyek apa yang menjadi bidang kajian suatu ilmu. Tanpa batasan ontologi yang jelas, terjadi
kemungkinan seseorang yang mencari kebenaran di dalam ilmu akan terjebak dalam
kebingungan karena banyak faktor yang berpengaruh terhadap obyek yang diselidikinya.
Selanjutnya, epistemologi berkaitan dengan “bagaimana” cara mempelajari dan memahami
kebenaran obyek tersebut. Dengan epistemologi seorang ilmuwan akan berusaha memahami
berbagai prosedur atau metode yang sesuai agar obyek yang sedang dipelajari memberikan hasil
sebagaimana yang diharapkan. Epistemologi adalah cara untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Sedangkan aksiologi berhubungan dengan “nilai” atau “manfaat” dari obyek yang kita pelajari.

2.1 Landasan Ilmu

2.1.1 Ontologi

Secara historis, ontologi berkembang dari cabang filsafat yang dikenal sebagai metafisika, yang
berkaitan dengan sifat realitas - dari apa yang ada. Cabang dasar filsafat ini berkaitan dengan
analisis berbagai jenis atau modus eksistensi, sering dengan perhatian khusus pada hubungan
antara obyek riil dan karakteristiknya, antara sifat intrinsik dan ekstrinsiknya, dan antara esensi
5
dan eksistensinya. Singkatnya, ontologi membahas keberadaan obyek yang bersifat konkret atau
nyata. Tujuan tradisional pengkajian ontologis adalah untuk menemukan kategori fundamental
suatu obyek (Benjamin et al. , 1994).
Tokoh Yunani yang dikenal memiliki pandangan yang bersifat ontologis adalah Thales, Plato,
dan Aristoteles. Pada era tokoh-tokoh ini, kebanyakan orang belum membedakan
antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang berpendapat bahwa
mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka, sehingga sesuatu itu tidak
bisa dianggap ada dan berdiri sendiri.
Hakekat dari kenyataan atau realitas suatu obyek bisa dikaji secara ontologis melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif
mempertanyakan apakah kenyataan itu bersifat tunggal atau jamak. Sedangkan pendekatan
kualitatif mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu,
seperti misalnya emas yang berwarna kuning kemilau, baja yang keras, kapas yang lembut, daun
yang berwarna kehijauan, bunga yang berbau harum, dan sebagainya. Secara sederhana ontologi
bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme. Istilah-istilah
terpenting yang terkait dengan ontologi antara lain: yang-ada (being), kenyataan/realitas
(reality), eksistensi (existence), esensi (essence), substansi (substance), perubahan (change),
tunggal (one), jamak (many) (Anonim, 2015a).
Di atas telah kita tegaskan bahwa suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai
pengetahuan ilmiah atau ilmu apabila obyek yang dikaji di dalam pengetahuan tersebut adalah
fakta atau obyek empirik. Inilah dasar ontologi ilmu yang kita gunakan pada pembahasan di
dalam buku ini. Ilmu membatasi diri hanya kepada obyek, fakta, atau kejadian empiris, yaitu
seluruh aspek kehidupan yang dapat diukur, dideteksi, atau diuji dengan pancaindera manusia
atau menggunakan alat bantu pancaindera. Pada era modern, alat bantu ini bisa berupa
mikroskop, teleskop, radar, sensor, dan berbagai peralatan canggih lainnya yang memungkinkan
manusia untuk mendeteksi, merekam, mengukur, serta menganalisis obyek-obyek yang berada
di luar jangkauan indera biasa. Ruang lingkup kemampuan pancaindera manusia dan peralatan
yang dikembangkan untuk membantu kerja pancaindera tersebut membentuk apa yang dikenal
dengan dunia empiris (Suriasumantri, 1994). Pembatasan hanya pada obyek, fakta, dan kejadian
empiris ini berkaitan erat dengan proses dan metode penemuan pengetahuan ilmiah yang
mementingkan pengujian dan pembuktian ulang.
Sebagaimana diketahui, fakta non-empiris selain tidak bisa diuji dan dibuktikan ulang juga
tidak selalu memberikan hasil yang sama. Sebagai contoh, seseorang bisa saja tiba-tiba mampu
melakukan pengobatan suatu penyakit setelah mengalami peristiwa mimpi ‘aneh’. Di kalangan
masyarakat, orang yang mempunyai kemampuan seperti ini disebut sebagai “orang pintar” atau
“dukun”. Kenyataannya beberapa orang memang bisa benar-benar sembuh setelah berobat
kepada ‘dukun’. Tetapi pengetahuannya sebagai dukun itu tidak masuk di dalam kategori
pengetahuan ilmiah karena proses atau peristiwa mimpi ‘aneh’ yang dialami bukanlah kejadian
empirik dan tidak mungkin dibuktikan ulang oleh orang lain. Demikian juga seseorang yang
mengalami ‘mati suri’ dan kemudian hidup kembali. Jika orang tersebut menceriterakan
pengalamannya ketika ‘mati’ maka pengalaman tersebut bukanlah pengalaman empiris karena
akan sangat sulit untuk dibuktikan atau diulangi oleh orang lain.
Obyek empirik mempunyai beberapa asumsi agar memenuhi kriteria ontologis keilmuan.
Menurut Suriamantri (1994), ilmu mensyaratkan obyek empiris mempunyai tiga asumsi dasar
agar dapat dikategorikan sebagai obyek atau fakta ilmiah. Asumsi pertama, bahwa obyek atau

6
fakta empiris yang menjadi telaahan ilmu mempunyai sifat keserupaan, memperlihatkan sifat
berulang, dan semuanya jalin-menjalin secara teratur. Asumsi ini menegaskan bahwa suatu
peristiwa atau fakta empiris tidak terjadi secara kebetulan. Sebuah kejadian empiris cenderung
mempunyai pola, ciri, dan gejala yang mirip atau sama sehingga akan memberikan hasil yang
mirip atau sama apabila diulang. Asumsi ini juga menjelaskan bahwa obyek-obyek empiris
mempunyai keserupaan dalam hal bentuk, struktur, dan sifat-sifat lainnya. Berdasarkan asumsi
ini maka muncul pendekatan klasifikasi dan lahirlah cabang ilmu taksonomi sebagai cabang
keilmuan yang paling awal. Selanjutnya berkembang konsep keilmuan yang lebih lanjut seperti
misalnya konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif. Linneaus (1707-1778) adalah
pelopor penggolongan hewan dan tumbuhan secara sistematis.
Asumsi kedua menyatakan bahwa suatu benda empiris haruslah berada dalam bentuk
tetap (tidak berubah) setidaknya dalam jangka waktu tertentu. Hal ini berkaitan dengan kegiatan
keilmuan yang bertujuan mempelajari suatu fenomena atau perilaku suatu obyek dalam periode
tertentu. Kegiatan yang ilmiah tidak mungkin bisa dilakukan atas suatu obyek yang selalu
berubah bentuk setiap saat. Perlu dipahami bahwa dalam jangka yang lebih panjang obyek
empiris bisa berubah menjadi bentuk lain sebagaimana misalnya air yang bisa berubah ke dalam
bentuk padat berupa es pada kondisi suhu rendah.
Asumsi ketiga dari obyek empiris adalah determinisme yang merujuk bahwa setiap gejala
bukanlah merupakan kejadian yang bersifat kebetulan melainkan mempunyai pola tertentu
dengan mengikuti urutan-urutan yang baku. Sebagai contoh, apabila tanaman diberi pupuk maka
pertumbuhannya akan menjadi lebih baik. Kondisi ini bukanlah sebuah kebetulan karena apabila
dicoba berbagai jenis tanaman maka semua akan memperoleh hasil yang kurang lebih sama.
Demikian juga jika kita perhatikan gejala alam, kondisi langit yang sudah bermendung tebal maka
biasanya akan disusul oleh turunnya hujan. Namun, ilmu tidak menuntut adanya hubungan
sebab-akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu kadang-kadang diikuti dengan
kejadian yang berbeda. Dalam pengertian ilmu, determinisme mempunyai konotasi yang bersifat
probabilistik sehingga memerlukan ilmu statistika untuk menjelaskan hubungan probabilistik
antargejala yang ada (Suriasumantri, 1994).

2.2 Pengetahuan Ilmiah Vs. Non-Ilmiah


Semua hal yang kita ketahui di dalam hidup ini secara umum disebut pengetahuan (knowledge).
Pengetahuan manusia sangatlah luas dan setiap saat bertambah. Setiap berganti lingkungan
mungkin juga bertambah pengetahuan baru sehingga masing-masing dari kita menguasi
beberapa jenis pengetahuan. Pengetahuan yang paling kita kuasai adalah yang berasal dari
lingkungan kita sehari-hari. Masyarakat yang tinggal di lingkungan bersalju akan sangat paham
dengan seluk-beluk salju sebagaimana orang Eskimo yang bisa membedakan jenis-jenis salju.
Masyarakat yang berada di lingkungan laut pada umumnya lebih paham tentang karakter laut
dan jenis-jenis ikan dan hewan laut dibandingkan oleh masyarakat pedalaman.
Di antara beberapa jenis pengetahuan yang dikenal manusia, yang menjadi topik bahasan
kita adalah pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) atau disebut sebagai ilmu
pengetahuan dan sering disebut juga ilmu atau sains (science), yaitu kumpulan pengetahuan
yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan pengetahuan-pengetahuan
lainnya. Sains bukanlah sekadar sekumpulan dari fakta, konsep, atau ide yang bermanfaat tentang
alam, atau bahkan tentang penyelidikan sistematis tentang alam, meskipun kedua pengertian ini
sering digunakan untuk menakrifkan sains. Ilmu pengetahuan juga menyangkut proses
penemuannya sehingga membedakannya dengan pengetahuan non-ilmiah (Suriasumantri,
7
1994). Tradisi dan penemuan pengetahuan ilmiah ini telah berlangsung berabad-abad dan
sebagian dari tradisi ini masih dilaksanakan di kalangan dunia ilmiah hingga saat ini.
Pengetahuan sebagai buah dari proses berpikir manusia jumlahnya sangat banyak dan
sangat beragam. Namun, pada hakekatnya upaya manusia di dalam memperoleh pengetahuan
sebenarnya didasari oleh tiga masalah pokok atau bertujuan untuk menjawab tiga pertanyaan
utama. Ketiga pertanyaan itu adalah: Pengetahuan apa yang ingin diketahui? Bagaimana cara
memperoleh pengetahuan tersebut? Serta, untuk apa pengetahuan tersebut (apa nilai atau
manfaat-nya)? Secara ringkas,pencarian pengetahuan oleh manusia selalu berkaitan dengan tiga
pertanyaan sederhana, yaitu: apa, bagaimana, dan untuk apa. (What? How? What for?)
(Suriasumantri, 1994). Jawaban atas ketiga pertanyaan inilah yang selanjutnya membedakan
apakah suatu pengetahuan yang kita miliki layak disebut sebagai “ilmu pengetahuan” ataukah
termasuk di dalam pengetahuan “lainnya” atau “non ilmiah”. Berdasarkan jawaban atas ketiga
pertanyaan di atas kita bisa menilai apakah pengetahuan yang kita hasilkan adalah “pengetahuan
ilmiah” sehingga bisa disebut sebagai “ilmu pengetahuan” yang secara umum juga disebut “ilmu”.
Kembali ke pertanyaan semula, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “ilmu pengetahuan”
atau “ilmu”? Apa kriterianya? Bagaimana ciri-cirinya? Pertanyaan sederhana ini dapat
menghasilkan jawaban yang panjang. Namun demikian, buku ini membatasi pemaknaan yang
relevan dengan topik lain yang juga menjadi tujuan inti dari penulisan buku ini, yaitu penelitian
ilmiah. Atas dasar ini maka pendekatan yang digunakan di dalam buku ini adalah: bahwa ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang obyek materialnya berupa benda atau fakta empiris. Hal
ini perlu ditekankan mengingat bahwa terdapat juga pandangan yang menyatakan bahwa obyek
material ilmu tidak harus obyek empiris. Kartanegara (2003), misalnya, berpendapat bahwa
obyek ilmu tidak harus empirik karena realitas itu tidak hanya merupakan benda atau fakta
empiris. Dinyatakan bahwa realitas non-empiris sesungguhnya lebih luas daripada yang empiris.
Atas dasar ini maka Kartanegara memasukkan pengetahuan tentang agama (teologi) ke dalam
ilmu bersama dengan ilmu-ilmu lainnya. Pendapat ini tentu tidak salah dan harus dihormati
karena sesungguhnya mustahil bahwa alam semesta ini hanya berisi benda-benda empiris.
Pengetahuan yang tersedia di alam ini begitu luas sehingga sampai kapanpun kita tidak akan
pernah memahami semuanya. Itulah sesungguhnya hakikat kita sebagai manusia yang tidak lain
hanya merupakan suatu titik kecil dari alam semesta raya ini.
Dari penjelasan-penjelasan di atas kita paham bahwa proses pencarian pengetahuan tidak
selalu menghasilkan ilmu (pengetahuan ilmiah). Tetapi semua hasil proses pencarian tersebut
adalah pengetahuan, meskipun itu adalah pengetahuan lain atau non-sains seperti misalnya
pengetahuan agama, pengetahuan mistik, pengetahuan takhayul, pengetahuan coba-coba,
pengetahuan kebetulan, dan sebagainya. Perlu digarisbawahi bahwa pengetahuan ilmiah atau
ilmu/sains tidaklah selalu benar. Dan sebaliknya, pengetahuan yang non-ilmiah juga belum
tentu salah. Sejarah juga telah membuktikan bahwa suatu pengetahuan yang selama bertahun-
tahun dianggap benar secara ilmiah ternyata mengandung kesalahan dan pada akhirnya harus
ditolak karena tidak lolos pada pengujian-pengujian ilmiah yang berlangsung secara terus-
menerus.
Salah satu contoh pengetahuan yang ditolak kebenarannya melalui proses pembuktian
ilmiah adalah teori spontaneus generation atau anomalous generation. Teori tentang asal
muasal makhluk hidup ini menyatakan bahwa makhluk hidup dapat terbentuk dari jenis makhluk
yang berbeda sebagaimana larva lalat yang dapat muncul dari bangkai hewan. Teori spontaneous
generation yang bertahan selama lebih dari 2000 tahun itu sejalan dengan sintesis Aristoteles
yang banyak menghasilkan teori tentang asal muasal kehidupan sebelum berkembangnya ilmu
biologi (Brack, 1998). Percobaan-percobaan Louis Pasteur pada Abad 19 akhirnya mematahkan
8
teori spontaneous generation dengan pembuktiannya bahwa tidak ada larva lalat yang muncul
pada daging apabila daging tersebut dalam kondisi tertutup rapat. Pembuktian-pembuktian
Louis Pasteur tersebut sekaligus menolak hasil percobaan-percobaan yang mendukung teori
Aristoteles seperti yang dilakukan oleh Francesco Redi pada Abad 17. Namun demikian,
pengakuan terhadap keabsahan percobaan Louis Pasteur mengalami proses yang panjang karena
beberapa ilmuwan masih mempercayai kebenaran teori spontaneous generation. John Tyndall
adalah salah satu ilmuwan yang melakukan percobaan-percobaan untuk mendukung teori
spontaneous generation tersebut dan sekaligus menolak teori Louis Pasteur (Tyndall, 1905). Pada
akhirnya, teori yang sudah dianut selama dua milenium tersebut benar-benar tergantikan dengan
berkembangnya pengetahuan tentang sel dan dan mikroba.
Berikut ini adalah sekadar contoh dari beberapa teori yang sudah ditolak kebenarannya di
kalangan dunia ilmiah (disarikan dari berbagai sumber di internet):
a. Teori-teori awal tentang evolusi, seperti misalnya teori transmutasi spesies dan teori
Lamarck, yang tidak didukung dengan percobaan. Teori-terori tersebut akhirnya ditolak
oleh kalangan ilmiah seiring dengan berkembangnya teori evolusi yang dikembangkan
oleh Darwin dan teori genetika oleh yang dipelopori oleh Mendel.
b. Genetika Mendel, genetika klasik, dan teori kromosom Boveri–Sutton yang tumbuh pada
awal perkembangan ilmu genetika. Teori-teori ini mulai digantikan oleh genetika
molekuler yang lebih canggih
c. Teori Preformasi yang menyatakan bahwa seluruh organisme telah ada sejak awal
kehidupan dan gamet berisi miniatur individu organisme yang sudah lengkap. Seiring
dengan penemuan mikroskop, penemuan DNA, dan berkembangnya bidang sitologi maka
teori preformasi dinyatakan ditolak.
d. Teori vitalisme yang menyatakan bahwa suatu organisme itu bisa hidup karena adanya
vital force (kekuatan utama) yang independen. Teori ini secara bertahap ditolak seiring
dengan berkembangnya bidang kimia organik, biokimia, dan biologi molekuler. Ketiga
bidang ilmu ini semula dianggap gagal menemukan vital vorce yang dimaksud.
Keberhasilan Friedrich Wöhler dalam menyintesis urea dari amonium sianat menjadi
langkah awal dari proses yang panjang dalam penolakan teori vitalisme.
e. Teori atom Dalton dinyatakan ditolak dengan adanya penemuan isotop, partikel sub-
atom, dan reaksi nuklir.
f. Teori emisi yang menyatakan bahwa mata kita mampu melihat benda karena adanya
cahaya yang keluar dari mata. Teori ini akhirnya ditolak setelah penemuan Ibn al-
Haytham (Alhazen) yang membuktikan bahwa bukan mata yang memancarkan sinar
kepada benda yang membuat mata kita berfungsi; sebaliknya, bendalah yang
memantulkan cahaya kepada lensa mata
g. Teori-teori fisika Aristoteles akhirnya digantikan dengan teori Newton
h. Sistem tatasurya geosentris Ptolomeus yang menyatakan bahwa bumi merupakan pusat
orbit tatasurya digantikan dengan model heliosentris Nicolaus Copernicus yang
menyatakan bahwa pusat tatasurya adalah matahari.
i. Sistem heliosentris akhirnya digantikan dengan penemuan struktur Milky Way.
Heliosentrisme akhirnya hanya berlaku sebagian, karena pusat matahari tidak berada
pada titik pusat massa dari solar system.
j. Teori gravitasi Newton digantikan dengan teori relativitas.
9
Jika di satu sisi ada ilmu pengetahuan yang ditolak, di sisi yang lain ada berbagai
pengetahuan yang bermanfaat dan digunakan oleh masyarakat meskipun tidak diperoleh melalui
metode ilmiah. Pengetahuan yang bersifat turun-temurun sering kali tidak diperoleh secara
ilmiah tetapi memberikan manfaat bagi masyarakat. Demikian juga pengetahuan agama yang
diyakini kebenarannya oleh masyarakat dilaksanakan secara massal meskipun pengetahuan
tersebut bagi sebagian kalangan dianggap tidak ilmiah. Dari pemahaman ini maka menjadi jelas
bahwa pengetahuan dan kebenaran itu begitu luas, hanya sebagian saja yang kita pelajari secara
ilmiah (Gambar 1. 1). Buku ini secara khusus membahas pengetahuan ilmiah serta metodologi
sistematis yang mempermudah kita di dalam memperoleh pengetahuan ilmiah dan
melaksanakan penelitian ilmiah.

Gambar 1. 1. Pengetahuan Vs. Ilmu pengetahuan atau sains.

2.2.1 Epistemologi

Epistemologi berasal dari kata Latin episteme (pengetahuan, pengertian) dan logos (ilmu).
Epistemologi, disebut juga “teori pengetahuan”, merupakan cabang dari ilmu filsafat yang
membahas deskripsi, cakupan, dan sumber pengetahuan. Istilah epistemologi diperkenalkan oleh
James Frederick Ferrier (1808-1864), seorang filsuf dari Skotlandia (“Encyclopaedia Britannica
Online,” 2007). Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam
usaha untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu,
yang disebut metode keilmuan, disebut sebagai ilmu. Dengan demikian, ilmu lebih bersifat
kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsi atau digunakan (Suriasumantri,
1994) atau lebih dari sekedar pemahaman tentang pengetahuan (Kuhn, 2010). Karena ilmu
merupakan sebagian dari pengetahuan (yakni pengetahuan yang mempunyai sifat-sifat tertentu)
(Gambar 1.1), maka ilmu dapat disebut juga pengetahuan keilmuan (Suriasumantri, 1994).
Karena ilmu lebih bersifat sebagai proses maka ilmu juga bersifat dinamis dan tidak statis.
Dengan demikian, hakekat ilmu tidak ditentukan oleh siapa pelaku keilmuannya melainkan oleh
bagaimana proses berpikir dari pelaku keilmuan tersebut di dalam pencarian pengetahuan yang
dia inginkan. Proses berpikir yang dapat menghasilkan ilmu disebut berpikir ilmiah.

10
2.2.2 Aksiologi

Istilah ‘axiologi’ berasal dari bahasa Latin axia yang berarti ‘nilai’ dan logos yang bermakna
“ilmu”. Aksiologi termasuk cabang keilmuan yang relatif baru. Pertama kali istilah aksiologi
digunakan oleh Paul Lapie pada tahun 1902 di dalam bukunya Logique de la Volonte dan oleh E.
von Hartman di dalam Grunriss der Axiology (Hart, 1971). Secara alamiah,masalah yang dicakup
oleh aksiologi –yaitu yang berkaitan dengan nilai dan manfaat dari setiap pengetahuan yang
ditemukan oleh manusia- merupakan alasan utama mengapa manusia berusaha untuk
memperoleh pengetahuan dan mengembangkan teknologi. Seluruh pengetahuan dan teknologi
yang diperoleh oleh manusia pada dasarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia dan pada akhirnya untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraannya. Sejarah ilmu
filsafat menunjukkan bahwa umat manusia mempunyai perhatian yang sangat tinggi terhadap
‘nilai’, tentang ‘baik’ dan ‘buruk’, ‘benar’ dan ‘salah’, ‘indah’ dan ‘buruk’, dan sebagainya. Dibalik
seluruh kepentingan, obsesi, perilaku, dan usaha keras yang diupayakan oleh manusia tidak
terlepas dari keyakinan adanya ‘nilai’ atau ‘value’ dari seluruh upaya tersebut (Hart, 1971).
Jika dikaitkan dengan kegiatan penelitian atau riset, aksiologi secara spesifik membahas apa
manfaat dari suatu riset apabila tujuan-tujuan khusus dari suatu riset terpenuhi. Secara
umum, ‘manfaat’ dari sebuah pengetahuan atau hasil penelitian adalah tahap lanjutan dari
tercapainya pengetahuan itu sendiri. Karena aksiologi adalah teori atau ilmu tentang nilai
maka dengan sendirinya sikap, keyakinan, dan moral dari seorang ilmuwan sangat berpengaruh
terhadap bagaimana ilmuwan tersebut berproses di dalam menemukan ilmu dan selanjutnya
juga berpengaruh terhadap warna dari ilmu yang ditemukan atau ditekuninya. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika seorang ilmuwan sekuler akan cenderung membuat kesimpulan-
kesimpulan yang materialistik dan sekuler; dan sebaliknya ilmuwan religius akan cenderung
mengaitkan kesimpulan-kesimpulan temuannya dengan keyakinan yang dianutnya.
Telah lama terdapat perbedaan dan perdebatan tentang apa sebenarnya nilai atau manfaat
sesungguhnya dari suatu penemuan pengetahuan. Kelompok pertama adalah mereka yang
berkeyakinan bahwa manfaat suatu pengetahuan adalah untuk pengetahuan itu sendiri. Aliran
ini adalah paham Aristotelian yang cenderung menganggap bahwa suatu pengetahuan adalah
hasil akhir dan memisahkan proses pencarian pengetahuan dengan realitas kehidupan yang
sesungguhnya. Dalam konteks sekarang, aliran ini bisa dikonotasikan ke dalam kelompok
penyelidikan ilmu-ilmu dasar (basic sciences) atau ilmu murni. Kelompok kedua berpendapat
bahwa suatu pengetahuan haruslah bermanfaat sebagai sarana informasi, transformasi, dan
memungkinkan terjadinya suatu efek perubahan lebih lanjut. Paham ini bisa dikonotasikan
dengan ilmu terapan (applied sciences) atau penelitian terapan (applied research). Secara umum,
hubungan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam membentuk hakekat keilmuan
dapat digambarkan seperti skema pada Gambar 2.1 (Graham Durant-Law, 2014). Sedangkan
garis besar perbedaan antara ilmu pengetahuan (sains, ilmu), agama, dan seni disajikan pada
Tabel 2. 1.

11
Gambar 2.1. Hubungan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam membentuk
suatu falsafah keilmuan (Graham Durant-Law, 2014).

Tabel 2.1. Ringkasan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang


membedakan antara ilmu pengetahuan (sains), agama, dan seni (dirangkum oleh
Adimihardja, 2010).

Sains Agama
Seni
Ontologi:
Merupakan penjelasan/ Merupakan Merupakan penjelasan/deskripsi
deskripsi apa adanya penjelasan/deskripsi suatu obyek/gejala dengan sepenuh
tentang hubungan rasional yang bersifat makna.
antara beberapa faktor transendental dari Bermakna bagi pencipta seni dan
yang mempengaruhi suatu obyek yang menjadi masyarakat yang mengapresiasinya.
obyek atau gejala. bahasan. Bersifat emosional, tidak selalu
Merupakan kesimpulan rasional.
bersifat umum dan Tidak selalu sistematis, terkadang
impersonal. rumit dan komprehensif.
Obyek bersifat empiris. Bersifat individual dan personal
karena dipengaruhi oleh
pengalaman hidup masing-masing
individu.
Epistemologi:

Metode penemuannya logis, Metode penemuannya Metode penemuannya melalui


sistematis, terbuka untuk melalui wahyu dan penghayatan atas berbagai
diuji oleh siapapun, tidak bisa dibuktikan pengalaman hidup dan
reproducible. oleh orang lain, tidak penerjemahan terhadap hasil
reproducible interaksi pencipta seni dengan
lingkungannya.

Aksiologi:

12
Menjawab permasalahan Memberikan arah dan Karya seni ditujukan kepada
kehidupan sehari-hari pegangan hidup manusia dengan harapan bahwa
dengan menjelaskan, manusia agar pencipta dan obyek yang
memprediksi, dan mencapai keselarasan diungkapkannya mampu
mengendalikan gejala alam antarsesama dan berkomunikasi dengan manusia
dengan lingkungannya; yang memungkinkan dia menangkap
untuk mencapai pesan yang dibawa oleh karya seni
keseimbangan antara itu.
duniawi dan spiritual.

2.3 Tingkatan dan Klasifikasi Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan telah berkembang sangat pesat dan karenanya telah membentuk spesialisasi
yang makin banyak sehingga telah banyak versi klasifikasinya. Pada mulanya, semua ilmu
pengetahuan yang sekarang kita kenal adalah bagian dari filsafat. Oleh karena itu, filsafat
dianggap sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan (mater scientiarum) dan pada awalnya
filsafat mencakup seluruh upaya pemikiran manusia tentang masyarakat dan kehidupan
(Soekanto, 1978). Filsafat kemudian berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga
membentuk cabang-cabang filsafat yang lebih khusus. Para pemikir Yunani, misalnya, membuat
tiga klasifikasi ilmu pengetahuan, yaitu Ilmu Fisika, Etika, dan Politik. Demikian juga, Francis
Bacon pada tahun 1605 membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan kemampuan dasar
manusia, yaitu daya memori, daya maginasi, dan daya pemikiran. Ilmu pengetahuan yang
dilandasi oleh memori atau ingatan disebut sejarah, yang dilandasi oleh daya imaginasi disebut
puisi, dan yang dilandasi oleh daya pemikiran disebut fisika, kimia, dan sebagainya. (Hjorland,
2008; Priya, 2014)
Menurut Miksa (1998), upaya pengklasifikasian ilmu pengetahuan dengan cara baru
pertama kali muncul pada Abad 17 dan meluas secara signifikan pada Abad 19, kemudian
gerakan ini seolah berhenti pada permulaan Abad 20. Klasifikasi sains oleh Auguste Comte
(1798-1853) didasarkan atas perkembangan intelektual manusia yang dibagi dalam tiga tahapan.
Tahap yang pertama disebut tahap teologis atau tahap fiktif. Pada fase ini manusia menafsirkan
gejala-gejala di sekelilingnya secara teologis dan mengaitkannya dengan kekuatan roh para dewa
atau dengan kekuatan Tuhan. Penafsiran ini dianggap penting bagi manusia ketika ia harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang memusuhinya dan untuk berlindung dari faktor-
faktor yang tidak terduga. Perkembangan dari tahap teologis adalah tahap metafisik, yaitu
ketika manusia menganggap bahwa pada setiap gejala alam terdapat kekuatan yang pada
akhirnya akan dapat diungkapkan. Karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita manusia
terkait dengan suatu realitas, pada tahapan ini tradisi verifikasi atau pembuktian belum tumbuh
dan belum ada usaha untuk menemukan dan mempelajari pola gejala. Tradisi mempelajari pola
gejala alam ini muncul pada tahapan yang ketiga yang oleh Comte disebut tahapan ilmu
pengetahuan positif (Soekanto, 1978). Menurut Comte, ilmu pengetahuan positif adalah
tahapan ketika sains telah memusatkan perhatian kepada gejala-gejala nyata yang konkrit tanpa
ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, maka dimungkinkan
untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan cara
mengukur dan membahas isinya yang positif serta sampai seberapa jauh ilmu pengetahuan
tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif (Soekanto, 1978).

13
Dengan latar belakang pemikiran di atas, Auguste Comte berpendapat bahwa tingkatan
cabang ilmu pengetahuan dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks atau
menyeluruh adalah sebagai berikut: (1) matematika, (2) astronomi, (3) fisika, (4) kimia, (5)
biologi, dan (6) sosiologi. Comte juga berpendapat bahwa matematika merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang sangat penting dan merupakan alat utama yang diperlukan di dalam
penyelidikan tentang hukum-hukum alam. Selanjutnya Comte membagi matematika menjadi
matematika abstrak (abstract mathematics) atau kalkulus dan matematika nyata (concrete
mathematics) yang meliputi geometri umum dan matematika rasional. Atas dasar pemikiran
inilah maka derajat enam cabang ilmu pengetahuan pengelompokan Comte disusun berdasarkan
perkembangannya sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Bagan tingkatan kelompok Ilmu oleh Auguste Comte.

Berdasarkan bagan tersebut maka ilmu sosiologi dinilai merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang paling baru dan tingkat kepastiannya lebih rendah dibandingkan dengan
cabang-cabang ilmu yang telah berkembang sebelumnya. Bagan tersebut juga mengindikasikan
bahwa untuk memahami ilmu sosiologi maka kita juga harus mempunyai pemahaman yang
memadai tentang ilmu-ilmu yang lainnya. Dengan kata lain, ilmu sosiologi adalah ilmu yang
paling kompleks karena berkaitan dengan perilaku dan tanggapan manusia terhadap
lingkungannya yang sangat kompleks (Soekanto, 1978).

14
elain Comte, terdapat beberapa pemikir lain yang mengklasifikasi ilmu pengetahuan.
Ilmuwan dan filsuf Amerika Serikat, Charles S. Peirce (1839–1914), dalam karyanya An Outline
Classification of the Sciences yang terbit pada tahun 1903 mengelompokkan sains dalam tiga
kelas utama, yaitu science of discovery (theoretical science), science of review; dan practical
science. Science of discovery atau theoretical science bertujuan menemukan kebenaran atau
pengetahuan baru untuk keperluan pengetahuan itu sendiri. Kini kelompok sains ini dikenal
dengan istilah basic sciences atau pure sciences (sains dasar atau ilmu pengetahuan murni).
Sementara itu, practical science bertujuan mengembangkan ilmu pengetahuan yang mempunyai
tujuan khusus atau bermanfaat langsung untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Penemuan practical sciences diikuti dengan pengembangan penerapannya agar memberi manfaat
langsung. Dewasa ini kelompok ilmu pengetahuan jenis ini disebut sebagai applied sciences atau
ilmu pengetahuan terapan. Di antara kedua kelompok ilmu di atas, Peirce menempatkan
kelompok theoritical sciences (ilmu pengetahuan teoretis) yang mempunyai berbagai jenis
tujuan, baik untuk tujuan praktis, filosofis, pendidikan, atau bahkan hanya untuk memenuhi rasa
keingintahuan ilmuwan (Pietarinen, 2006) (Gambar 2.3 dan Tabel 2.2).

Gambar 2.3. Bagan Klasifikasi utama theorietical science menurut Peirce (1903). Ilmu

pengetahuan dikelompokan ke dalam tiga kelas utama, yaitu: science of discovery


(theoretical science), science of review; dan practical science.

Tabel 2.2. Klasifikasi Sciences of Discovery menurut Peirce (dalam Pietarinen, 2006).

Other Taxa
Classes Subclasses Orders
(suborders, families, etc. )
I. Mathematics. A. Mathematics of Logic.
B. Mathematics of Discrete Series.
C. Mathematics of Continua and Pseudocontinua.
Epistêmy A. Phenomenology (or Categorics or Phaneroscopy).

15
B. Normative i. Esthetics.
Science. ii. Ethics. (Study of right and wrong).
iii. Logic 1. Speculative Grammar
(Semiotic / (Philosophical /Universal
Formal Grammar/Stechiology)
Semiotic) 2. Critic (Logical Critic, Critical
(Study of Logic, Logic Proper)
II. Cenos-copy true and
(Philo-sophy) false. ) 3. Methodeutic (Speculative Rhetoric,
Universal /Philosophical Rhetoric)
C. Metaphysics. i. Ontology or General. (Locus of Peirce's Scholastic
Realism. )
ii. Phychical 1. God.
or 2. freedom (ex. destiny).
Religious.
3. immortality
iii. Physical
Theôric Chronotheory & Topotheory
III. Idioscopy Physical i. Nomological or i. Molar Dynamics &
(Special Sciences) General. Physics. Gravitation.
ii. Elaterics (elasticity, expansibility[20])
Molecular &
Physics. Thermodynamics
iii. Ethereal
Optics & Electrics
Physics.
ii. Classificatory. i. Crystallography
ii. Chemis- 1. Physical.
try. 2. Organic. Aliphatic & Aromatic.
3. Inorganic
iii. Biology. 1. Physiology.
2. Anatomy.
iii. Descriptive. Geognosy & Astronomy.
Psychical i. Nomological i. Introspectional.
Psychics, ii. Experimental.
or Psychology. iii. Physiological.
iv. Child.
ii. Classifica-tory 1. Special 1. Individual Psychology
Psychics, Psychology. 2. Psychical Heredity
or Ethnology. 3. Abnormal Psychology 4. Mob
Psychology
5. Race Psychology
6. Animal Psychology
2. Linguis- 1. Word Linguistics
tics. 2. Grammar
3. Ethno- 1. Ethnology of Social Developments,
logy. customs, laws, religion, and tradition.
2. Ethnology of Technology
iii. Descriptive 1. History proper.
Psychics, or 2. Biography
History
3. Criticism 1. Literary criticism
2. Art criticism

16
Sebagaimana diuraikan di atas, semenjak permulaan Abad 20 para ilmuwan tidak lagi
mencurahkan pikiran mereka untuk membuat klasifikasi ilmu pengetahuan seperti di masa lalu.
Sekarang ini pengelompokan ilmu pengetahuan lebih bersifat praktis dan sering kali mengikuti
pengelompokan divisi-divisi administratif yang ada pada lembaga universitas, seperti misalnya
kelompok sains, teknologi, seni dan humaniora, dan ilmu-ilmu sosial (Hjorland, 2008).
Sebagian ilmuwan bahkan mengelompokkan bidang-bidang ilmu untuk tujuan yang lebih teknis-
praktis, yaitu untuk mendukung pengaturan sistem katalog pada perpustakaan atau untuk tujuan
evaluasi riset (misalnya A New Classification Scheme of Science Fields and Subfields Designed for
Scientometric Evaluation Purposes yang terbit pada Jurnal Scientometrics (Glanzel & Shubert,
2003).

BAB 3
PERKEMBANGAN MENUJU METODE
ILMIAH
3.1 Rasionalisme Vs. Empirisme

M
etode ilmiah mendasari seluruh kegiatan riset yang dilakukan oleh para ilmuwan pada
saat ini. Meskipun antardisiplin keilmuan mungkin masih memiliki perbedaan dalam
beberapa prosedurnya, secara umum komunitas ilmuwan menerapkan prinsip-prinsip
universal yang ada dalam metode ilmiah. Kesamaan ini juga terlihat pada tahapan-tahapan yang
ditempuh oleh para ilmuwan dari berbagai bidang dalam melakukan riset, mulai dari pengajuan
masalah dan pengembangan pertanyaan riset (research question), hingga ke pengembangan
hipotesis, pembuktian hipotesis, dan pengambilan kesimpulannya.
Adanya kesamaan dalam konsepsi metode ilmiah yang ada pada saat ini sebenarnya
merupakan titik temu dari perdebatan yang panjang dari aliran-aliran penting di masa lalu,
terutama antara penganut rasionalisme dan empirisme. Perdebatan antara paham
rasionalisme dan empirisme terutama berkaitan dengan masalah seberapa penting sebenarnya
peranan pengalaman inderawi di dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Pengikut
paham rasionalisme mengklaim bahwa pengetahuan manusia bisa terbentuk tanpa melalui
pengalaman inderawi (sense experience); sementara penganut paham empirisme mengklaim
bahwa pengalaman inderawi atau pengalaman empiris merupakan sumber mutlak dari lahirnya
sebuah konsep dan pengetahuan (Markie, 2013).
Aliran rasionalisme berpendapat bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan bukan
diturunkan dari dunia pengalaman melainkan dari dunia pikiran. Baik Plato maupun Descartes
menganggap bahwa pengetahuan yang benar sudah ada bersama kita dalam bentuk ide-ide, yang
tidak kita peroleh atau kita pelajari melainkan merupakan bawaan. Kaum rasionalis berpendapat
bahwa dunia yang kita ketahui dengan metode intuisi rasional adalah dunia yang nyata.
Kebenaran atau kesalahan terletak pada ide dan bukan pada benda tersebut (Honer & Hunt,
1994).
Penganut rasionalisme pada umumnya mengembangkan pandangannya dalam dua cara.
Pertama, mereka berargumentasi bahwa terdapat banyak kasus di mana isi dari konsep atau
pengetahuan yang kita kembangkan seringkali melebihi dari apa yang bisa disediakan oleh
pengalaman inderawi. Sebagai ilustrasi dari pandangan ini, mungkin dapat dibayangkan konsep
17
dimensi benda. Kita mengenal adanya benda satu dimensi, misalnya yang berupa sebuah gambar
titik dalam sebuah kertas. Ketika gambar beberapa titik dihubungkan maka akan membentuk
sebuah gambar yang kita kenal, misalnya gambar seekor hewan atau suatu tumbuhan. Ketika
gambar tersebut dicetak atau dipahat dalam bentuk patung maka membentuk benda tiga
dimensi. Selanjutnya, penganut aliran rasionalisme mungkin berpendapat bahwa kalau ada
benda yang memiliki satu, dua, dan tiga dimensi maka pasti ada benda dengan properti empat
dimensi. Namun demikian, kemampuan inderawi manusia tidak mampu menangkap benda
empat dimensi sebagaimana yang dituangkan dalam konsep rasional tersebut. Pada titik ini maka
penganut paham empirisme akan sulit menerimanya karena belum ada bukti empiris yang
membuktikan keberadaan benda empat dimensi.
Dalam pandangan kedua, penganut rasionalisme meyakini bahwa dalam banyak hal
berbagai pengetahuan duniawi dapat diperoleh melalui proses penalaran atau reasoning. Pada
sisi yang lain, penganut empirisme percaya bahwa pengalaman nyata merupakan dasar dari
eksistensi informasi yang diakui oleh kaum rasionalis. Jadi yang paling utama adalah bahwa
pengalaman empiris merupakan esensi dari timbulnya suatu pengetahuan atau konsep.
Kelompok penganut empirisme memilih untuk bersikap skeptis daripada rasional: jika suatu
pengetahuan atau konsep yang dikembangkan oleh kaum rasionalis tidak mempunyai bukti
empiris maka pengetahuan atau konsep tersebut dianggap tidak ada. Selain itu, penganut
empirisme juga tidak setuju dengan pemikiran kaum rasionalis yang meyakini bahwa penalaran
merupakan sumber dari suatu konsep atau pengetahuan (Markie, 2013).

3.1.1 Rasionalisme

Paham rasionalisme mempunyai beberapa kelemahan dan dikritik oleh beberapa ahli filsafat.
Kritik-kritik terhadap paham aliran rasionalisme antara lain (Honer & Hunt, 1994):
a. Pengetahuan rasional dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat maupun diraba.
Eksistensi tentang ide yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum
dapat dikuatkan oleh manusia dengan keyakinan yang sama. Selain itu, di antara tokoh
rasionalis terdapat perbedaan dalam hal kebenaran dasar yang menjadi landasan
bernalar. Plato dan Descartes, misalnya, masing-masing mengembangkan teori rasional
yang berbeda.
b. Kecenderungan terhadap abstraksi dan dalam menyangkal keabsahan pengalaman
inderawi telah dikritik secara serius. Kaum rasionalis dianggap telah memperlakukan ide
atau konsep seperti layaknya benda yang obyektif. Pengunaan abstraksi yang kadang-
kadang bersifat samar sebagai pengganti pengalaman inderawi (empiris) dinilai sebagai
metode penemuan pengetahuan yang meragukan.
c. Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan
manusia. Banyak ide yang sudah pasti pada suatu waktu kemudian berubah menjadi
meragukan atau salah pada waktu yang lain. Sebagai contoh, ide bahwa bumi adalah pusat
dari sistem tatasurya yang semula dianggap benar telah berubah menjadi sesuatu yang
dianggap salah secara pasti. Konsep bahwa bumi merupakan pusat dari sistem tatasurya
kita (geosentris) berasal dari rasio yang kemudian dipatahkan oleh bukti-bukti empiris
yang menunjukkan bahwa pusat tatasurya adalah matahari (heliosentris), bukan bumi.

18
3.1.2 Empirisme

Empirisme adalah teori pengetahuan yang menyatakan bahwa pengetahuan terutama hanya
diperoleh melalui pengalaman inderawi (sensory experience)(Sober, 2008). Penganut paham ini
menekankan pentingnya peranan pengalaman (experience) –terutama pengalaman inderawi-
dan bukti (evidence) dan tidak mementingkan peranan dari intuisi maupun tradisi. Namun
demikian, penganut empirisme sebenarnya mengakui bahwa suatu tradisi bisa muncul sebagai
akibat dari adanya pengalaman-pengalaman yang telah terjadi. Pengalaman ini tidak lain adalah
fakta empiris.
Di dalam filsafat ilmu, empirisme menekankan pentingnya bukti, terutama yang diperoleh
melalui percobaan atau eksperimen. Oleh karena itu, paham empirisme mengharuskan bahwa
seluruh hipotesis dan teori harus diuji melalui pengamatan-pengamatan dunia nyata dan bukan
hanya melalui penalaran apriori, intuisi, ataupun melalui wahyu. Empirisme, sering ditekuni oleh
para ilmuwan naturalis, menyatakan bahwa “pengetahuan adalah berdasarkan kepada
pengalaman” dan “pengetahuan bersifat tentatif dan probabilistik dan harus selalu direvisi dan
difalsifikasi secara terus-menerus” (Shelley, 2006). Para ilmuwan yang sering diasosiasikan
dengan aliran empirisme antara lain: Aristoteles, Alhazen, Ibnu Sinna, Ibn Tufail, Thomas
Aquinas, Robert Grosseteste, William of Ockham, Francis Bacon, Thomas Hobbes, Robert Boyle,
John Locke, George Berkeley, Hermann von Helmholtz, David Hume, Leopold von Ranke, John
Stuart Mill, dan Leonardo da Vinci.
Konsep utama di dalam sains dan metode ilmiah menekankan bahwa ilmu harus diperoleh
berdasarkan bukti-bukti empiris. Baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu sosial, keduanya
menggunakan hipotesis yang dapat diuji melalui observasi dan percobaan. Apabila suatu metode
teoritis dikembangkan tidak melalui percobaan empiris tetapi hanya menggunakan aksioma-
aksioma dasar, melalui hukum-hukum ilmiah yang telah diakui, serta menggunakan hasil-hasil
percobaan yang sudah ada maka metode itu disebut semi-empiris. Kelompok ilmuwan empiris
filsafati (philosophical empiriscists) meyakini bahwa suatu ilmu atau teori harus dikembangkan
berdasarkan pembuktian empiris.

3.1.3 Metode Ilmiah

Bagi anggota masyarakat yang terpelajar, istilah “metode ilmiah” bukanlah istilah yang asing
meskipun mungkin istilah ini ditakrifkan secara berbeda-beda. Sebagai istilah umum dan
mencakup aspek kehidupan yang sangat luas, adalah wajar apabila terjadi keragaman yang luas
dalam hal definisi atau takrif dari “metode ilmiah”. Namun demikian, meskipun terdapat banyak
ragam aspek dan sudut pandang untuk menakrifkan “metode ilmiah”, terdapat beberapa prinsip
umum yang perlu diperhatikan agar kita bisa memperoleh pemahaman yang baik tentang apa
sebenarnya “metode ilmiah”.
Metode ilmiah adalah serangkaian teknik untuk menyelidiki suatu fenomena, memperoleh
pengetahuan baru, atau mengoreksi dan mengintegrasikan pengetahuan yang sudah ada
(Goldhaber & Nieto, 2008). Secara sederhana, metode ilmiah merupakan perpaduan antara
paham rasionalisme dan empirisme. Untuk layak disebut sebagai “ilmiah”, metode pencarian
pengetahuan tersebut harus berdasarkan kepada bukti empiris dan dapat diukur yang mengikuti
prinsip-prinsip khas penalaran (Newton et al. , 1999). Oxford English Dictionary, menakrifkan
metode ilmiah sebagai “a method of procedure that has characterized natural science since the 17th
century, consisting in systematic observation, measurement, and experiment, and the formulation,
testing, and modification of hypotheses’ (“suatu metode atau prosedur yang mencirikan ilmu

19
pengetahuan alam sejak Abad 17, terdiri atas rangkaian pengamatan, pengukuran dan percobaan
secara sistematis serta menggunakan formulasi, pengujian, dan modifikasi suatu hipotesis”)
(Oxford Dictionary, 2010).
Berdasarkan takrif di atas, pada umumnya disepakati bahwa terdapat beberapa ciri utama
yang membedakan metode ilmiah dengan metode-metode lain di dalam penemuan pengetahuan
baru. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah adanya keharusan bagi para ilmuwan (pelaku metode
ilmiah) untuk menggunakan bukti untuk mendukung pengetahuan yang ditemukan dengan
cara mengkonfirmasi suatu teori yang sudah ada jika prediksi-prediksinya terbukti benar dan
menolak teori tersebut jika prediksinya terbukti salah. Meskipun terdapat banyak ragam
prosedur, metode penemuan pengetahuan secara ilmiah mempunyai karakteristik yang
membedakannya dengan metode-metode yang lain. Peneliti ilmiah atau ilmuwan mengajukan
hipotesis sebagai penjelasan dari fenomena yang diselidikinya serta merancang percobaan atau
penelitian untuk menguji hipotesis yang dibuatnya. Tahapan-tahapan percobaan atau penelitian
ini harus dapat diulang untuk mencegah terjadinya kesalahan. Sementara itu, teori yang
mencakup ranah penyelidikan yang lebih luas mungkin saja merupakan paduan dari beberapa
hipotesis independen yang digabung di dalam struktur teori yang terpadu. Teori-teori ini
selanjutnya bisa membentuk hipotesis baru atau menjadi sekelompok hipotesis di dalam sebuah
konteks. Ciri lain dari penyelidikan ilmiah adalah pengutamaan sifat obyektif untuk
mengurangi interpretasi yang bias. Penyelidikan ilmiah juga memerlukan dokumentasi
metodologi, data, dan hasil penyelidikan sehingga tersedia bagi para ilmuwan lain untuk
melakukan pengujian ulang, penyanggahan, atau verifikasi. Praktik-praktik ini menuntut
penyelidikan ilmiah merupakan kegiatan terbuka yang tidak dirahasiakan (full disclosure) dan
juga memungkinkan analisis statistika untuk menguji keabsahan data yang diperoleh.
Prinsip umum dan ketentuan yang berlaku di dalam metode ilmiah disebut metodologi
ilmiah. Metodologi ilmiah mempunyai dua komponen, yaitu prinsip-prinsip umum yang
berlaku universal untuk semua bidang ilmu dan teknik khusus yang biasanya berlaku di dalam
bidang keilmuan tertentu. Kedua komponen ini masing-masing tidak bisa saling menggantikan,
tetapi kombinasi dari keduanya dapat meningkatkan produktivitas dan perspektif sains (Gauch
Jr, 2003). Karena terdapat banyak sekali bidang khusus maka terdapat banyak ragam teknik dan
metode pada masing-masing bidang ilmu sehingga tidak bisa dibahas di dalam satu bidang
keahlian khusus. Sedangkan prinsip-prinsip umum metode ilmiah berlaku untuk semua bidang
keilmuan.
Karena keberagaman sains, sebagian ahli berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada yang
disebut “metode ilmiah” atau “scientific method”. Para ahli ini pada umumnya berpendapat bahwa
metode ilmiah sering disalahartikan sebagai “rangkaian tahapan atau prosedur untuk
menemukan pengetahuan”. Kelompok ini bersetuju bahwa lebih tepat apabila metode ilmiah
dianggap sebagai “proses yang sangat bervariasi dan kreatif”. Batasan ini sejalan dengan definisi
yang diberikan oleh American Association for Advancement of Science (AAAS), sebuah organisasi
masyarakat ilmiah terbesar di dunia yang menaungi ratusan organisasi profesi keilmuan dan
menerbitkan berbagai jurnal ilmiah terkenal (salah satunya adalah jurnal ilmiah ‘Science’ yang
sangat tersohor). AAAS memandang metode ilmiah sebagai kombinasi dari prinsip-prinsip
umum dan teknik khusus sebagaimana digambarkan pada Gambar 3.1 (Gauch Jr, 2003).
Pengelompokan seperti yang terlihat pada gambar di atas mungkin dilandasi bahwa
berbagai disiplin keilmuan mempunyai kemiripan dalam hal keharusannya untuk menggunakan
bukti, hipotesis dan teori, logika, serta hal-hal lainnya. Namun demikian, ilmuwan menghadapi
fenomena yang berbeda-beda sehingga mempunyai cara yang berbeda pula dalam melaksanakan
penelitiannya. Perbedaan ini antara lain dipengaruhi oleh data atau temuan-temuan
20
percobaannya, metode yang digunakannya (apakah kualitatif atau kuantitatif), sumberdaya yang
dimiliki, dan pengaruh penemuan-penemuan lain dalam bidang ilmu lainnya. Secara organisasi,
sains dapat dianggap sebagai kumpulan dari semua bidang keilmuan atau disiplin yang berbeda-
beda. Dari antropologi hingga zoologi, terdapat banyak disiplin keilmuan. Namun demikian,
berdasarkan tujuan dan falsafahnya, semua metodologi tersebut adalah ilmiah dan secara
bersama-sama membentuk ilmu pengetahuan atau sains (AAAS, 1989: 25-26, 29).

Gambar 3.1. Metodologi dalam lima disiplin ilmu, sebagian sama dan sebagian lagi
berbeda. Metode ilmiah mempunyai dua komponen, yaitu prinsip umum metode ilmiah
yang memayungi seluruh disiplin dan teknik khusus yang berlaku untuk bidang ilmu
tertentu (Gauch Jr, 2003).

Secara historis, istilah “metode ilmiah” semula merujuk kepada suatu prosedur penemuan
ilmiah yang berawal dari ilmu mekanika, cabang ilmu fisika yang dipelopori oleh Isaac Newton
(1642-1727). Prosedur ini menjelaskan prinsip pergerakan suatu benda pada suatu ruang dalam
waktu tertentu, tidak hanya di bumi tetapi juga di seluruh alam raya. Metode yang dikembangkan
oleh Newton ini selanjutnya diikuti dengan hipotesis generalisasi yang menginspirasi timbulnya
ide status ‘hukum alam’ (natural law). Yang memungkinkan ilmuwan dapat memprediksi suatu
kejadian dalam kedaaan tertentu. Mula-mula, para ilmuwan mengadakan percobaan dengan
memperlakukan alam atau lingkungan sebagai laboratorium. Namun, perannya kemudian dibalik
sehingga laboratorium diperlakukan sebagai pengganti alam atau lingkungan itu sendiri (Fuller,
1997). Penyebaran aliran ‘Newtonian’ ini hingga paruh pertama Abad 20 antara lain didukung
oleh filsuf pragmatis, John Dewey (1589-1952), dengan bukunya yang berjudul ‘How We Think’
(1908). Dalam buku tersebut Dewey membahas apa yang membedakan antara berpikir biasa
dengan berpikir secara sistematis dan apa yang diperlukan untuk melatih diri agar menguasai
seni berpikir. Dewey juga membahas bagaimana kita menyalurkan rasa keingintahuan alami
secara produktif ketika tersedia informasi yang melimpah.

21
Sementara itu, para ilmuwan –terutama di luar bidang fisika- lebih mengikuti prinsip
metode ilmiah yang digunakan oleh Charles Darwin (1809-1882), bapak teori evolusi modern.
Paham Darwinian yang bersebarangan dengan aliran Newton ini antara lain dipelopori oleh
Stephen Jay Gould, pakar palaeontologi yang sangat berpengaruh dari Universitas Harvard. Jika
aliran Newton percaya bahwa fenomena alam cenderung mengikuti proses aparatus matematis,
aliran Darwin lebih meyakini bahwa fenomena alam merupakan akibat dari hukum alam yang
tidak terlepas dari penyimpangan-penyimpangan yang hanya diketahui oleh sang pencipta alam.
Dengan mengandalkan hanya kepada hukum-hukum fisika dan status alam (lingkungan) sebelum
suatu kejadian atau fenomena terjadi, aliran mekanika klasik Newtonian beranggapan bahwa
‘sejarah’ dapat diprediksi. Sementara itu, penganut aliran teori evolusi Darwinian berpendapat
bahwa kita tidak dapat menentukan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi tanpa
mengetahui seluruh aspek yang berpengaruh terhadap fenomena yang kita hadapi (Fuller, 1997).
Dari uraian pada paragraf di atas, kita bisa menilai bahwa terdapat perbedaan pandangan
yang cukup mencolok antara kelompok ilmuwan ilmu pasti/fisika dan kelompok ilmuwan
evolusi/biologi lingkungan dalam memandang hakekat metode ilmiah. Perbedaan ini mungkin
bersumber dari adanya perbedaan kondisi antara kedua bidang ilmu tersebut. Ilmu-ilmu
pasti/ilmu fisika mempelajari obyek yang cenderung lebih mudah diukur dan diprediksi (lebih
berada dalam jangkauan aparatus matematis) sehingga percobaan-percobaan laboratorium
dapat memprediksi fenomena yang akan datang. Sebaliknya, ilmu-ilmu biologi/evolusi berkaitan
dengan banyak faktor alam yang hasilnya lebih sulit untuk diprediksi secara matematis atau
menggunakan aparatus laboratorium karena tingginya unsur-unsur ketidakpastian yang
berpengaruh. Dengan sendirinya, dalam bidang biologi dan evolusi, maka hasil suatu kejadian
akan dipengaruhi juga oleh penyimpangan-penyimpangan yang mungkin di luar kendali ilmuwan
sehingga akhirnya diyakini sebagai campur tangan dari kekuatan sang pencipta alam. Namun,
meskipun terdapat perbedaan pandangan antara kedua aliran di atas, seluruh kalangan ilmuwan
umumnya berpendapat bahwa secara teknis prinsip umum metode ilmiah berlaku secara
universal. Bukan hanya antara kelompok ilmu eksakta dan biologi, tetapi juga antara ilmu-ilmu
eksakta, biologi, dan ilmu sosial. Dengan demikian maka suatu karya penelitian ilmiah modern
sedapat mungkin mengikuti tahapan-tahapan metode ilmiah (bab berikutnya).
Dalam metode ilmiah modern, rasionalisme dan empirisme menjadi bagian penting yang
saling mendukung. Dalam skema proses kegiatan keilmuan yang diilustrasikan oleh
Suriasumantri (1994) (Gambar 3. 2), rasionalisme berada dalam bidang khazanah ilmu dan
mengandalkan inferensi deduksi untuk menghasilkan prediksi-prediksi dalam sains. Dalam
inferensi deduksi ini, logika matematika berperan utama. Sedangkan empirisme ditempatkan
dalam satu bidang dengan proses pengujian yang mengutamakan prosedur inferensi induksi
dengan mengandalkan statistika sebagai instrumen utamanya. Suriasumantri (1994) juga
menegaskan bahwa dunia rasional adalah koheren, logis, dan sistematis dengan menggunakan
logika deduktif sebagai pengikatnya. Sedangkan dunia empiris bersifat obyektif dan berorientasi
kepada fakta bagaimana adanya. Dengan demikian, kebenaran keilmuan bukan saja merupakan
kesimpulan rasional yang koheren dengan sistem pengetahuan yang berlaku, tetapi juga harus
sesuai dengan fakta.

22
Gambar 3. 2. Skema kegiatan keilmuan sebagai sebuah proses (Suriasumantri, 1994).

3.2 Tokoh dan Perkembangan Metode Ilmiah

3.2.1 Al Hassan Ibnu al-Haytham (Alhazen)

Ada pendapat yang mengklaim bahwa metode ilmiah modern dimulai pada awal Abad 17 dan
dimotori oleh Isaac Newton, Francis Bacon, dan Rene Descarte. Namun demikian, sejarah
mencatat bahwa jauh sebelum Isaac Newton telah hadir ilmuwan besar yang meletakkan dasar-
dasar penting metode ilmiah. Ia adalah Al Hassan Ibnu al- Haytham (Alhazen) yang hidup pada
masa tahun 965 – 1039 di wilayah yang saat ini menjadi Negeri Iraq. Ibnu al-Haytham adalah
ilmuwan Arab yang hidup pada era keemasan peradaban Islam dan oleh sebagian kalangan
dianggap sebagai Bapak Metodologi Ilmiah Modern (Al-Khalili, 2009). Pada masa kejayaan
peradaban Islam antara Abad 9 hingga 13, kemajuan pesat terjadi dalam bidang matematika,
astronomi, kedokteran, fisika, kimia, dan filsafat. Pada era inilah al-Haytham menekankan
pentingnya data percobaan dan keterulangan suatu hasil percobaan sehingga ia dianggap sebagai
“world’s first true scientist” atau “ilmuwan pertama di dunia”. Prinsip penggunaan data
eksperimen dan keterulangan hasil percobaan hingga kini dianggap merupakan bagian prinsip
dari proses ilmiah (Al-Khalili, 2009).
Al Haytham dikenal sebagai ilmuwan pertama yang mampu menjelaskan dengan benar
bagaimana proses mata kita bisa melihat suatu benda. Ia berhasil membuktikan dengan
percobaan bahwa apa yang disebut dengan “teori emisi” (yang menyatakan bahwa cahaya dari
mata menyinari benda, sebagaimana diajukan oleh Plato, Euclid, dan Ptolomeus) ternyata salah.
Al Haytham berhasil membuktikan fakta modern bahwa kita bisa melihat benda karena cahaya
memasuki mata kita. Dia juga menggunakan matematika untuk mendeskripsikan dan
membuktikan proses ini sehingga Al Haytham juga dianggap sebagai ilmuwan fisika teori
pertama. Salah satu penemuannya yang terkenal adalah “kamera lubang jarum”. Penelitian-
penelitian lain yang dilakukan oleh Haytham antara lain: ekperimen dispersi cahaya yang
menghasilkan warna-warna pembentuknya; fenomena pelangi dan gerhana matahari;
pendugaan ketinggian atmosfer (dengan memanfaatkan mekanisme defraksi cahaya pada

23
atmosfir Haytham menduga ketinggian atmosfir dengan cukup baik, yaitu sekitar 100 km)
(Parsons, 2012; Al-Khalili, 2009).

3.2.2 Abu Rayhan Al-Biruni

Al-Biruni adalah ilmuwan Persia yang juga dianggap memperkenalkan metode ilmiah pada
beberapa bidang yang berbeda antara tahun 1020-an hingga 1030-an. Al-Biruni menulis Kitab
al-Jawahir (Buku tentang Batu Mulia) yang dinilai menggambarkan kemampuannya sebagai
seorang ilmuwan yang menerapkan eksperimen eksakta. Sementara itu, di dalam penelaahannya
tentang India Al-Biruni dinilai merupakan pionir dalam bidang sosiologi komparatif. Dalam
telaahnya Al-Biruni lebih mengandalkan kepada “pengalaman dan informasi lapangan” dan
menyatakan bahwa di dalam risetnya tidak digunakan metode geometrik. Metode-metode
penemuan yang digunakan oleh Al-Biruni dinilai menyerupai metode ilmiah modern, terutama
dalam penekanannya untuk menggunakan percobaan berulang. Al-Biruni juga telah
mengembangkan upaya untuk mencegah terjadinya kesalahan sistematis (systematic errors) dan
bias pengamatan seperti misalnya kesalahan yang diakibatkan oleh peralatan dan akibat
kesalahan manusia (human errors). Al-Biruni beragumentasi bahwa jika peralatan
mengakibatkan timbulnya kesalahan maka pengamatan berulang harus dilakukan sehingga bisa
ditetapkan hasil yang paling masuk akal dan konstan, baik diperoleh melalui rerata atau dugaan
yang andal (Sardar, 1998). Al-Biruni juga berjasa dalam mengembangkan metode eksperimen
untuk mekanika pada awal perkembangannya.

24

Anda mungkin juga menyukai