Anda di halaman 1dari 9

Ilmu telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Indikasi
untuk itu adalah munculnya ilmu-ilmu yang baru, semakin bertambahnya
cabang-cabang dari ilmu tertentu yang telah ada, serta ditemukannya
teori-teori ilmiah dalam berbagai bidang. Berkembangnya ilmu membawa
keuntungan dan kemudahan bagi kehidupan manusia yaitu banyaknya
persoalan yang dapat terpecahkan dan banyaknya pekerjaan yang dapat
diselesaikan secara efektif dan efisien. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu
beserta penerapannya, yaitu teknologi, merupakan unsur kebudayaan
yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia.
Berkembangnya ilmu yang demikian pesat tidak selalu
mendatangkan keuntungan bagi umat manusia. Sejarah telah mencacat
tragedi kemanusiaan yang luar biasa dasyat diantaranya dijatuhkannya
bom atom di Hirozima dan Nagasaki dalam perang dunia II, kebocoran
reaktor nuklir di Chernobyl, dan penggunaan bom biologis dalam
peperangan di beberapa tempat.
Selain sisi negatif berupa tragedi seperti disebutkan di atas, masih
ada sisi negatif lainnya menyangkut perkembangan ilmu, diantaranya
dalam bidang bioteknologi, yaitu adanya kontroversi berkenaan dengan
teknologi kloning. Kloning merupakan teknik penggandaan gen yang
menghasilkan turunan yang sama sifat baik dari segi hereditas maupun
penampakannya (Wikipedia, 2008). Kloning menjadi sorotan publik tahun
1997 ketika teknologi ini berhasil diterapkan untuk pertama kali pada
hewan tingkat tinggi oleh tim peneliti dari Institut Roslin di Skotlandia
pimpinan Ian Wilmut (Witarto.wordpress.com, 2008).
Kontroversi kloning semakin hebat ketika teknologi ini diterapkan
untuk manusia. Dengan memperhatikan sisi positif dan sisi negatifnya,
ada desakan agar para agamawan, ahli politik, ahli hukum dan pakar
kemasyarakatan segera merumuskan aturan mengenai pemakaian
teknologi kloning. Desakan tersebut antara lain didasarkan pandangan
bahwa kloning merupakan “intervensi penciptaan” yang dilakukan
manusia terhadap “tugas penciptaan” yang dilakukan oleh Sang Pencipta.
Selain masalah etis yang menjadi keprihatinan utama, para ilmuwan
yang sudah melakukan kloning binatang juga mengingatkan bahwa
banyak masalah yang muncul pada hasil kloning misalnya pada sapi.
Mereka menganggap bahwa kloning manusia merupakan tindakan yang
gegabah jika masalah kloning binatang saja belum bisa di atasi. Terlebih
lagi jika teknologi tersebut ditangani oleh ilmuwan yang tidak
bertanggung jawab.
Penolakan terhadap kloning pada manusia juga terjadi dinegara yang
sangat maju seperti Amerika Serikat. Jajak pendapat yang dilakukan
beberapa waktu yang lalu menunjukkan bahwa 89 persen masyarakat
Amerika Serikat menentang penerapan teknologi tersebut pada manusia
(Kompas, 2008). Meskipun banyak mendapatkan tantangan, mereka yang
prokloning yakin bahwa kontroversi kloning akan berakhir sama dengan
kontroversi bayi IVF 20 tahun silam. Sebelum Louise Brown, bayi hasil
teknologi IVT 25 tahun silam, dilahirkan, 85 persen masyarakat Amerika
Serikat menentang teknologi bayi tabung, namun kini, menurut mereka
yang prokloning, masyarakat di negara tersebut tidak lagi menentangnya.

Context of Discovery dan Context of Justification


Polemik di atas menunjukkan bahwa ilmu tidak terlepas dengan sistem
nilai. Kaitan ilmu dan sistem nilai telah lama menjadi bahan pembahasan
para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, Wilardjo, Slamet Iman
Santoso, dan Suriasumantri (Jujun Suriasumantri, 1996 : 2). Pertanyaan
umum yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah :
apakah ilmu itu bebas dari sistem nilai ? Ataukah sebaliknya, ilmu itu
terikat pada sistem nilai ?
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama
dari para ilmuwan apa lagi dari masyarakat luas. Ada dua kelompok
ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap masalah
tersebut. Kelompok pertama, kelompok yang memiliki kecenderungan
puritan-elitis, menghendaki ilmu harus bersifat netral terhadap sistem
nilai (Keraf dan Dua, 2001: 151). Mereka berusaha agar ilmu
dikembangkan demi ilmu. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah
menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan
untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut
campur. Kelompok kedua, kelompok yang memiliki kecenderungan
pragmatis, beranggapan bahwa ilmu dikembangkan demi mencari dan
memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan dalam alam semesta
ini (Keraf dan Dua, 2001: 153). Mereka juga berpendapat bahwa netralitas
ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan
keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral (Jujun S., 2005 : 235).
Adanya perbedaan pandangan tersebut dapat dipahami dari konteks
perkembangan ilmu. Ada dua konteks berkenaan dengan hal tersebut,
yaitu context of discovery dan context of justification. Kedua konteks ini
merupakan jawaban sekaligus jalan keluar terhadap polemik di atas
(Keraf dan Dua, 2001: 154).
1. Context of Discovery
Yang dimaksud dengan context of discovery adalah konteks di
mana ilmu dikembangkan (Keraf dan Dua, 2001: 154). Tidak
dapat dipungkiri bahwa ilmu ditemukan dan berkembang dalam
konteks ruang, waktu, dan situasi tertentu. Ilmu tidak muncul
secara tiba-tiba, ada konteks tertentu yang melatar belakangi
muncul dan berkembangnya ilmu. Tidak bisa disangkal bahwa
ilmuwan dalam melakukan kegiatan ilmiahnya termotivasi oleh
keinginan tertentu, baik yang bersifat personal maupun kolektif,
baik untuk penelitian ilmiah murni maupun untuk memecahkan
masalah yang ada dalam kehidupan. Berkenaan dengan motivasi
yang disebutkan terakhir, Rinjin (1997: 10) menyatakan
bahwa necessity is the mother of science, bahwa kebutuhan bisa
menjadi ibunya penemuan.
Berdasarkan tinjauan context of discovery dapat dipahami
bahwa ilmu tidak bebas nilai. Bahwa ilmu muncul dan
berkembang karena desakan dari nilai-nilai tertentu.
2. Context of justification
Context of justification adalah konteks pengujian ilmiah
terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah (Keraf dan Dua,
2001: 156). Ada paradigma yang menyatakan bahwa ilmu
merupakan kesatuan dari proses, prosedur, dan produk. Sebagai
suatu produk, ilmu merupakan pengetahuan sistematis yang
diperoleh dari aktivitas yang didasarkan pada prosedur-prosedur
tertentu. Dalam hal inilah kebenaran ilmiah merupakan satu-
satunya nilai yang harus dijadikan acuan. Nilai-nilai lain, diluar
nilai kebenaran ilmiah harus dikesampingkan.
Aspek Aksiologi

Aspek aksiologis dari filsafat membahas tentang masalah nilai atau moral
yang berlaku di kehidupan manusia. Dari aksiologi, secara garis besar
muncullah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup
manusia, yaitu etika dan estetika.

Mengapa dalam filsafat ada pandangan yang mengatakan nilai sangatlah


penting, itu karena filsafat sebagai philosophy of life mengajarkan nilai-
nilai yang ada dalam kehidupan yang berfungsi sebagai pengontrol sifat
keilmuan manusia. Teori nilai ini sama halnya dengan agama yang menjadi
pedoman kehidupan manusia.

1. Etika

Etika merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang membahas moralitas
nilai baik dan buruk, etika bisa di definisikan sebagai nilai-nilai atau
norma-norma yang menjadi pegangan manusia atau masyarakat yang
mengatur tingkah lakunya.

Etika berasal dari dua kata ethos yang berarti sifat, watak, kebiasaan,
ethikos berarti susila, keadaban atau kelakuan dan perbuatan yang baik.

Dalam istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa latin mores,
jamak dari mos yang berarti adat, kebiasaan. Dalam bahasa arab disebut
akhlaq yang berarti budi pekerti dan dalam bahasa Indonesia dinamakan
tata susila.

Dalam hal ini ada berbagai pembagian etika yang dibuat oleh para ahli
etika, beberapa ahli membagi ke dalam dua bagian, yaitu etika deskriptif
dan etika normative, ada juga yang menambahkan yaitu etika metaetika.

a. Etika deskriptif

Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas
seperti: adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang
di perbolehkan atau tidak. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang
terdapat pada individu, kebudayaan atau sub-kultur tertentu. Oleh karena
itu, etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian apapun, ia hanya
memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifat netral. Misalnya,
penggambaran tentang adat mangayau kepala pada suku primitive.

Etika deskriptif dibagi ke dalam dua bagian: pertama, sejarah moral, yang
meneliti cita-cita, norma-norma yang pernah di berlakukan dalam
kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau
dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa. Kedua,
fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas
dari berbagai fenomena moral yang ada.

b. Etika Normatif

Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat


mempersoalkan norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara
lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu benar atau tidak.
Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan
petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut
baik atau buruk.

Etika normatif kerap kali juga disebut filsafat moral atau juga disebut etika
filsafati. Etika normatif dapat dibagi kedalam dua teori, yaitu teori nilai dan
teori keharusan. Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan
teori keharusan membahas tingkah laku. Adapula yang membagi etika
normative kedalam dua golongan sebagai berikut: konsekuensialis dan
nonkonsekuensialis. Konsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu
tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun nonkonsekuensialis
berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab
yang menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat
hakikinya atau oleh keberadaanya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dan prinsip-prinsip tertentu.

2. Estetika

Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan.


Istilah estetika berasal dari kata Yunai yang mempunyai arti aesthesis, yang
berati pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berati
pengamatan spiritual. Istilah art berasal dari kata latin ars, yang berarti
seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan.

Estetika adalah cabang filsafat yang memberikan perhatian pada sifat


keindahan, seni, rasa, atau selera, kreasi, dan apresiasi tentang keindahan.
Secara ilmiahnya, ia didefinisikan sebagai studi tentang nilai-nilai yang
dihasilkan dari emosi-sensorik yang kadang dinamakan nilai
sentimentalitas atau cita rasa atau selera. Secara luasnya, estetika
didefinisikan sebagai refleksi kritis tentang seni, budaya, dan alam. Estetika
dikaitkan dengan aksiologi sebagai cabang filsafat dan juga diasosiasikan
dengan filsafat seni.

Estetika dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan
estetika normative. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan
fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika normative
mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran pengalaman
keindahan. Adapula yang membagi estetika kedalam filsafat seni
(philosophy of art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty). Filsafat
seni mempersoalkan status ontologis dari karya-karya seni dan
memepertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta
apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia
dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu ada
apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.

Isu Aksiologi

Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan


dengan masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat
nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini pemakalah sedikit akan
membahas beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan
berkaitan dengan masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah
ini misalnya apakah nilai itu subjektif atau objektif.

Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu


menarik perhatian. Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif
sehingga ia bersifat universal. Di mana pun tempatnya, kapanpun
waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal
mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan perbuatan
tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan sepakat
bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai
objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi objektivitas nilai.

Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai
subjektif. Nilai itu tentu saja bersifat subjektif karena berbicara tentang
nilai berarti berbicara tentang penilaian yang diberikan oleh seseorang
terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda
tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya, adat,
agama, pendidikan, yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi
orang Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat orang mati) merupakan
suatu bentuk penghormatan terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu
dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu
diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka
sama suka hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi
orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan salah. Bagi orang-orang terdahulu,
ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak
pantas tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang
sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat subjektif
tergantung siapa yang menilai, waktu dan tempatnya.

Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan
salah dan benar. Apa yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi
pihak yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik juga belum tentu benar
misalnya lukisan porno tentu bagus setiap orang tidak mengingkarinya
kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoral, tapi itu tidak benar.
Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu orang dalam
tindakan kejahatan adalah tidak benar.

Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu
sendiri timbul karena ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada
sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai nilai. Sesuatu itu baru
mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada
objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada
manusia yang melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidak ada
mata manusia yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau
manusia tidak ada, atau manusia tidak melihatnya. Bunga-bunga itu tidak
indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang mengaguminya. Karena,
nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia sebagai
subjek dan barang sebagai objek.”

Kesimpulan

Aksiologi berasal dari bahasa yunani yaitu axios yang memiliki arti nilai,
dan kata logos yang mempunyai arti ilmu atau teori. Jadi, Aksiologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang teori tentang nilai.

Dalam mendefinisikan Aksiologis banyak para filusuf mendefinisikannya


dengan berbagai macam ragam definisi salah satunya itu Menurut Bramel,
aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan
moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic
expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan
melahirkan filsafst sosio-politik.

Studi tentang tindakan manusia biasanya hanya semata menggambarkan


siapakah mereka dan bagaimana mereka. Dalam hal seperti ini, ilmu
antropologi atau filsafat manusia memainkan peranan penting, misalnya ia
menggambarkan berbagai macam kebudayaan manusia yang menunjukkan
kebiasaan, adat, cara bahasa dan lainnya. Jadi, pertanyaannya Apakah
manusia?

Tetapi, ketika pertanyaannya adalah Apa yang (se) harus (nya) dilakukan
manusia?, inilah wilayah ilmu etika atau juga disebut sebagai filsafat
kesusilaan. Hal ini berangkat dari fakta bahwa dalam hidup manusia bukan
hanya bertindak, malainkan menilai tindakannya. Jadi, studi etika bukan
berdasar pada what is, tetapi how to.
Manfaat IPS
1)   Membekali peserta didik dengan pengetahuan sosial yang berguna dalam kehidupannya kelak
di masyarakat. 
2)  Membekali peserta didik dengan kemampuan mengidentifikasi, menganalisis dan menyusun
alternatif pemecahan masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan di masyarakat. 
3) Membekali peserta didik dengan kemampuan berkomunikasi dengan sesama warga masyarakat
dan berbagai bidang keilmuan serta bidang keahlian. 
4) Membekali peserta didik dengan kesadaran, sikap mental yang positif dan keterampilan
terhadap pemanfaatan lingkungan hidup yang menjadi bagian dari kehidupan tersebut. 
5) Membekali peserta didik dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keilmuan IPS
sesuai dengan perkembangan kehidupan, masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di sisi lain, melalui pembelajaran IPS diharapkan mampu dikembangkan aspek pengetahuan dan
pengertian (knowledge and understanding), aspek sikap dan nilai (atitude and value), dan aspek
keterampilan (skill) (Skeel, 1995; Jarolimek, 1993). Untuk skala Indonesia, maka tujuan IPS
khususnya pembelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar sebagimana tecantum dalam Kurikulum
IPS-SD Tahun 2006 adalah agar peserta didik mampu mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupannya sehari-hari (Depdiknas,
2006). Ilmu pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya,
yaitu lingkungan masyarakat dimana anak didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari
masyarakat, dan dihadapkan pada berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan
sekitarnya. 

Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) tahun 2016: Mengenalkan siswa
mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Membantu siswa memiliki kemampuan dasar untuk memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi, berfikir kritis namun logis, inkuiri, dapat memecahkan masalah sendiri dan memiliki
keterampilan serta dapat membawa diri dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Meningkatkan komitmen dan kesadaran mengenai nilai-nilai sosial kemanusiaan. Melatih
keterampilan komunikasi siswa, semangat kerjasama dan berkompetisi secara sehat dalam
masyarakat baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Manfaat Pelajaran IPS Secara
Umum: Pelajaran IPS membekali siswa pengetahuan sosial yang nantinya bisa diterapkan
langsung dalam kehidupan bermasayarakat kelak. Membekai siswa kemampuan
menganalisis, mengidentifikasi serta menyusul alternatif dalam memecahkan masalah sosial
yang dihadapinya dalam kehidupan masayarakat. Membekali siswa kemampuan
berkomunikasi dengan masyarakat untuk berbagi ilmu  dan keahlian mereka. Membekali
siswa mengenai kesadaran sikap mental yang positif dan keterampilan untuk berkontribusi
di masyarakat kelak. Memberikan bekal kepada siswa kemampuan untuk mengembangkan
pengetahuan sesuai perkembangan kehidupan masyarakat, ilmu pnegtahuan dan teknologi.
Mempelajari IPS membantu siswa untuk mengetahui cara berinteraksi dengan orang di
sekitarnya, baik itu interaksi dalam kelompok kecil maupun kelompok besar. Dengan
mempelajari IPS, memudahkan siswa untuk terjun dan hidup dalam satu kelompok baru
karena meraka sudah dibekali pengetahuan mengenai tradisi yang ada dalam kelompok
tersebut. Melatih dan membentuk jiwa sosial kepada siswa. Melatih sifat teliti dan ekonomis
Mengajari siswa untuk mensyukuri kehidupan yang dimilikinya karena apa yang sedang
mereka jalani saat ini merupakan bagian dari proses-proses sosial yang harus dilewati.
Dengan mempelajari IPS diharapkan siswa mampu mengembangkan aspek pengetahuan
dan pemahaman (knowledge and understanding) serta aspek keterampilan (skill).

Terima kasih atas kunjungan Anda di websitependidikan.com, semoga artikel ini


bermanfaat. Khusus untuk para Blogger: Selamat, Anda telah berhasil copy paste artikel ini.
Jika Anda menyalin artikel dari websitependidikan.com dengan niat untuk dipublikasikan di
blog Anda, sebaiknya urungkan niat Anda, karena waktu Anda lebih baik digunakan untuk
berlatih menulis artikel sendiri. Boleh nyuplik sebagian, namun canumkan sumber ini:
https://www.websitependidikan.com/2017/07/manfaat-mempelajari-ips-bagi-siswa.html

Anda mungkin juga menyukai