Anda di halaman 1dari 5

I. Hubungan antara ilmu dengan nilai-nilai hidup.

Pertimbangan nilai-nilai sangat berpengaruh pada penentuan tujuan ilmu


pengetahuan dan kegiatan ilmiah pada umumnya. Berdasarkan pertimbangan nilai
yang diperhatikannya, maka pandangan para ilmuwan dapat dibedakan menjadi 2
golongan, yaitu:
a. Para ilmuwan yang hanya menggunakan satu pertimbangan nilai, yaitu nilai
kebenaran dan dengan mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai
metafisik yang lain, yaitu nilai etik, kesusilaan dan kegunannya akan sampai pada
prinsip, bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Prinsip tentang ilmu
pengetahuan yang bebas nilai akan menjadikan kebenaran sebagai satu-satunya
ukuran dan segala-galanya bagi seluruh kegiatan ilmiah, termasuk penentuan tujuan
bagi ilmu pengetahuan. The Liang Gie menunjjukan beberapa pandangan ilmuwan
yang berbeda bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai, yaitu (The Liang Gie,
1984):
 Jacob Bronowski yang berpendapat:
“The end of science is to discover what is true about the world. The activity of the
science is directed to seek the truth, and it is judged by the criteration of being true to
the facts” (Yujuan pokkok ilmu adalah mencari sesuatu yang benar tentang dunia.
Aktivitas ilmu diarahkan untuk melihat kebenaran, dan hal ini dinilai dengan ukura
pembenaran fakta-fakta).
 Victor Reisskop yang berpendapat:
“The primary aim of science is not in application. It is in gaining insights into the
cause and laws governing natural processes”. (Tujuan pokok ilmu bukan pada
penerapan, tujuan ilmu ialah mencapai pemahaman-pemahaman terhadap sebab
dan kaidah-kaidah tentang proses-proses ilmiah).
 Carl G. Hempel dan Paul Oppenheim yang berpendapat:
Menjelaskan fenomena dalam dunia pengalaman, menjawab pertanyaan
‘mengapa?’ daripada semata-mata pertanyaan ;apa?’ merupakan salah satu dari
tujuan-tujuan utama semua penyelidikan rasional; dan khususnya penelitian ilmiah
dalam aneka cabangnya berusaha melampaui sekedar hanya suatu pelukisan
mengenai pokok soalnya dengan menyajikan suatu penjelasan mengenai fenomena
yang diselidiki).
 Maurice Richter yang berpendapat:
Tujuan ilmu sebagaimana biasanya diakui dewasa ini meliputi perolehan
pengetahuan yang digeneralisasi, sisistemisasi mengenai dunia alamiah;
pengetahuan yang membantu manusia untuk memahami alam, meramal kejadian-
kejadian alamiah dan mengendalikan kekuatan-kekuatan alamiah).
b. Para ilmuwan yang memandang sangat perlu dimasukkan pertimbangan nilai-
nilai etik, kesusilaan dan kegunaan untuk melengkapi pertimbangan nilai kebenaran,
yang akhirnya sampai pada prinsip, bahwa ilmu pengetahuan harus taut (gayut) nilai.
Beberapa pandangan yang berprinsip, bahwa ilmu pengetahuan harus taut nilai,
yaitu:
 Francis Bacon berpenda[at bahwa ilmu pengaetahuan adalah kekuasaan, lebih
lanjut dijelaskan mengenai tujuan ilmu bahwa tujuan yang sah dan senyatanya
dari ilmu-ilmu ialah sumbangan terhadap hidup manusia dengan ciptaan-ciptaan
dan kekayaan baru (The Liang Gie, 1984).
 Daoed Yoesoes berpendapat bahwa ilmu pengetahuan memang merupakan
suatu kebenaran tersedniri, tetapi otonomi ini tidak dapat diartikan bahwa ilmu
pengetahuan itu bebas nilai (Daoed Yoesoef, 1986).
 Soeroso H. Prawirohardjo menunjukkan pandangan beberapa ilmuwan yang
berdasar pada prinsip, bahwa ilmu pengetahuan harus taut nilai, yaitu:
1. Myrdal berpendapat bahwa ilmu ekonomi telah menjadi terlalu matematik,
steril dan tidak realistik. Objektivitas ilmiah yang secara ketat nilainya sebagai mitos,
karena dibalik teori-teori ekonomi terdapat nilai-nilai etik.
2. Bacan berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial harus mempunyai komitme pada
usaha untuk membangun dunia dan merumuskan metode-metode yang cocok untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat yang mendesak (Soeroso H.
Prawirodiharjo, 1986).
 CA van Peursen mengemukakan pandangan, bahwa dalam meninjau
perkembangan ilmu pengetahuan secara menyeluruh tidak lepas dari tiga
pembahasan yaitu teori pengetahuan, teknik, dan etik. Lebih lanjut, ketiga
persoalan ini harus dibahas secara bersama, karena teori pengetahuan
melahirkan teknik, dan teknik bersentuhan langsung dengan pertimbangan nilai
etik. Bersama dengan itu van Peursen juga mengajukan pendapatnya, bahwa
pengetahuan lebih berkuasa daripada teknik, dan teknik lebih berkuasa daripada
etik. Pengetahuan, teknik dan etik adalah tiga unsur yang tidak dapat
dipisahkan. Ketiganya berhubungan dan jakin menjalin serta saling
mempengaruhi, satu terhadap yang lainnya. Ketiganya merupakan hal yang
sambung menyambung, artinya bahwa kewibawaan ilmu pengetahuan
dilaksanakan didalam dunia teknik. Secara lebih terinci van Peursen
berpendapat sebagai berikut.
“... betul bahwa ilmu merupakan sistem dalam suatu konteks. Tidak betul
bahwa ilmu dilarutkan dalam konteks itu, betul bahwa d=fungsi ilmu berubah
sesuai dengan lingkungan budaya dan konstelasi sosial. Dalam arti ini ilmu
harus sanggup mengakui pengaruh timbal balik dari penelitian. Namun
demikian jangan sampai larut, karena ilmu justru merupakan imbangan yang
berharga menghadapi ideologi. Apabila ilmu diserap oleh ideologi, hilanglah
kemungkinan akan kritik diri. Ketegangan antara yang satu dengan yang
lainnya hendaknya dipertahakannya, karena dapat menjernihkan kedua
belah pihak” (van Peursen, 1985).

II. Landasan ilmu pengetahuan


a. Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain
merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu
berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan
objek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris,
karena objeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman
manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca
indera manusia. Berlainan dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang
lain, ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-kejadian yang bersifat empiris,
selalu berorientasi terhadap dunia empiris.
b. Epistimologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat
dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, epistimologi adalah
suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui
proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari
pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan
pengetahuan tersebut diperoleh dengan menggunakan metode keilmuan, sah
disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada
istilah ilmu sebagai kata benda. Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berfikir yang
dilakukan menurut syarat keilmuan, yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran
di atas segala-galanya (Jujun S. Suriasumantri, 1991, hal. 9).
c. Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia
dari pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah
memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-
kekuatan alam. Dengan mempelajari atom kita dapat memanfaatkannya untuk
sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan
malapateka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas
persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan
mengancam keselamatan umat manusia.

III. Kesimpulan untuk diaplikasikan dalam bioanimal dan industry sistem

Peran Filsafat Dalam Pengembangan Teknologi


di Bidang Peternakan Sapi Potong

Industri peternakan sapi potong merupakan sektor penting dalam pemenuhan


kebutuhan protein hewani nasional. Menurut BPS (2019) konsumsi protein nasional
adalah 23,59 kg/kapita/tahun dimana 25,79% adalah protein hewani. Namun disisi
lain, daging sapi segar sebagai salah satu jenis daging yang banyak dikonsumsi
selain daging ayam, justru laju peningkatan konsumsinya tidak sebanding dengan
laju penambahan populasi sapi potong nasional. Menurut Ditjen PKH (2018)
konsumsi daging sapi segar tahun 2013 adalah 0,261 kg/kapita/tahun dan meningkat
hampir 45% menjadi 0,469 kg/kapita/tahun ditahun 2017. Namun peningkatan
populasi ternaknya secara nasional pada tahun 2014 14.726.875 ekor hanya
mengalami peningkatan 13,6 % menjadi 17.050.000 ekor di tahun 2018 (Ditjen PKH,
2018). Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan suatu
terobosan melalui pengembangan teknologi, baik dibidang pakan, perbibitan,
perbaikan mutu genetik, pasca panen ataupun sosial ekonominya. Untuk
menghindari timbulnya pro dan kontra di kalangan masyarakat mengenai penerapan
teknologi pada sektor industri peternakan, maka tugas seorang ilmuwan harus
melihat dari aspek pengembangan ilmu pengetahuan (ilmiah), dengan jalan
mempertanyakan apa, bagaimana proses/metodologi dan apa manfaatnya teknologi
bagi pengembangan ternak maupun untuk kehidupan/kesejahteraan manusia.
Dengan kata lain bahwa teknologi tidak hanya bersifat puritan-elitis, tetapi
juga pragmatis ditinjau dari segi filsafat ilmu pengetahuan. Hal ini berarti bahwa
teknologi ini tidak hanya berhenti untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia, tetapi
juga membantu manusia untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya terutama
dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak guna memenuhi kebutuhan
manusia akan protein hewani. Oleh karenanya tulisan ini akan menguraikan tentang
peranan teknologi dalam industri peternakan ditinjau dari aspek filsafat sains.
Aspek Ontologis
Dalam hubungannya dengan teknologi peternakan, pertanyaan mendasar yang
muncul bila berbicara tentang ontologi adalah apa dan bagaimana sejarah teknologi
itu sehingga akan sampai pada tujuan akhir bahwa teknologi tersebut memang benar
dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil dalam suatu industri peternakan.
Aspek Epistimologis
Dalam sebuah proses penerapan teknologi, tentu akan selalu diawali dengan
perencanaan dan penelitian terkait potensi ataupun peluang sebuah teknologi dalam
penerapannya secara nyata nantinya. Oleh karena itu, sangat diperlukan cara
berpikir secara epistimologis dalam perumusan masalah, hipotesis, metodologi
ilmiah dan hasil pembuktian secara ilmiah dalam proses perencanaan dan penelitian
sebuah teknologi.
Aspek Aksiologi
Dalam aksiologi akan dipelajari tentang bagaimana mengenali suatu pengetahuan
atau apa manfaat pengetahuan tersebut untuk kesejahteraan manusia. Pada konteks
pengembangan teknologi peternakan, salah satu contoh besar tentang penerapan
teknologi di industri peternakan adalah teknologi Inseminasi Buatan (IB) di bidang
reproduksi ternak, pengawetan pakan ternak (silase, hay) di bidang pakan ternak,
teknologi transgenik di bidang genetika ternak, dan berbagai rumus ekonomi serta
kajian sosial di bidang sosial ekonomi peternakan.

Anda mungkin juga menyukai