Anda di halaman 1dari 9

Rekonstruksi dan Humaniora; Metode, Hukum, dan Teori Ilmiah

Fauziyah Kurniawati
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
20201011024@student.uin-suka.ac.id

Pendahuluan
Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak
pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari kebenaran yang
sesungguhnya dengan bertanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban
tidak selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk
mengukur yang dimaksud di sini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, namun
kebenaran yang bersifat ilmiah, yakni kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara
ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah
menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin
menggiatkan manusia untuk terus mencari kebenaran yang berlandaskan pada teori-teori
yang sudah ada sebelumnya untuk menguji suatu teori baru atau menggugurkan teori
sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian
yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya.
Hal tersebut tidak akan berhenti pada satu titik, namun akan terus berlangsung seiring
dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunia.
Untuk memperoleh kebenaran suatu ilmu pengetahuan tentu dibutuhkan suatu
metode ilmiah, di antaranya telah diulas pada makalah sebelumnya terkait metode ilmu
deduktif dan induktif. Adapun pada makalah ini akan dibahas mengenai metode ilmu
rekonstruksi dan humaniora. Dengan kata lain, sebagai Ilmu pengetahuan dapat ditelaah
dari hakikat lahirnya ilmu pengetahuan itu sendiri, yakni kehadirannya untuk mencari
kebenaran dan fungsinya dalam hal kemanusiaan dan sosial masyarakat. Ilmu
pengetahuan sesungguhnya mengkaji dan meneliti hubungan sebab akibat antara
berbagai peristiwa dalam alam dan dalam hidup manusia. Hubungan ini dianggap
sebagai suatu hubungan yang bersifat pasti, karena ketika satu peristiwa terjadi,

1
peristiwa lain dengan sendirinya akan menyusul atau pasti telah terjadi sebelumnya.
Inilah hubungan yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum.1
Dari uraian di atas, penting kiranya pembahasan perihal metode ilmu
rekonstruksi, metode ilmu humaniora, hukum sebab-akibat dalam ilmu pengetahuan,
evolusi dan kontinuitas pengetahuan, serta bagaimana suatu hukum menuju sebuah teori
diulas secara ilmiah. Melalui makalah sederhana ini, diharapkan bisa memberikan
tambahan khazanah pemahaman yang lebih berarti perihal filsafat ilmu.

Metode Ilmu Rekonstruksi


Ilmu rekonstruktif atau yang dalam bahasa Arab disebut istirdadi merupakan
salah satu jenis ilmu yang digolongkan berdasarkan cara kerja atau metodenya. Ilmu ini
bekerja atas dasar peninggalan peristiwa yang tidak dapat terjadi lagi. 2 Metode ilmu ini
disebut juga sebagai metode historik, yakni suatu metode yang dilakukan dengan
merekonstruksi atau menyusun dan mereka kembali hal-hal terkait masa lampau sampai
ditemukan adanya prediksi suatu peristiwa serta simpulan persoalannya.3
Kendatipun peristiwa di masa lalu merupakan pokok studi dalam sejarah ilmiah,
namun aturan umum yang ditarik dari peristiwa-peristiwa ini tidak saja berlaku hanya
untuk masa lalu saja. Aturan tersebut juga berlaku untuk masa sekarang dan mendatang.
Aspek ini, yang terdapat dalam sejarah ilmiah, membuat sejarah ilmiah sangat
bermanfaat bagi manusia. Sejarah ilmiah bermanfaat sebagai sumber pengetahuan, dan
membantu manusia mengendalikan masa depannya.4 Dalam hal ini, metode ilmu
rekonstruksi melakukan teknik heuristik yang membutuhkan alat bantu dari
peninggalan-peninggalan sejarah berupa dokumen-dokumen sebagai sumber pertama
sejarah (primary sources), prasasti, dan benda-benda peninggalan sejarah lainnya.
Dari pernyataan di atas, Dedi Irwanto dan Alian Sair menambahkan bahwa
sejarah sebagai ilmu memiliki metode sendiri. Prosedur kerja para sejarawan untuk
menulis kisah masa lalu berdasarkan peniunggalan-peninggalan peristiwa masa lalu atau

1
A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: PT.
Kanisius, 2016), cet. 18, hlm. 119.
2
Intisari Materi Kuliah Filsafat Ilmu bersama Prof. Dr. H. Machasin, M.A. tentang Pengetahuan dan
Ilmu, pada Rabu, 14 Oktober 2020, jam 10:40-12:20.
3
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik, (Bandung: Tarsito,
1991), ed. 7, cet. 4, hlm. 134.
4
Dedi Irwanto & Alian Sair, Metodologi dan Historiografi Sejarah, (Yogyakarta: EJA PUBLISHER,
2014), hlm. 3.

2
sumber-sumber sejarah, terdiri atas: 1) mencari jejak-jejak masa lampau; 2) meneliti
jejak-jejak tersebut secara kritis; 3) berdasarkan informasi yang diperoleh dari jejak-
jejak tersebut, berusaha membayangkan bagaimana gambaran masa lampau; dan 4)
menyampaikan hasil-hasil rekonstruksi imijinatif tentang masa lampau sehingga sesuai
dengan jejak-jejak tersebut atau imajinasi ilmiah. 5 Hal ini jelas berkaitan dengan ilmu
rekonstruktif dalam pembahasan ini.
Seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan dewasa kini, metode ilmu
rekonstruktif dalam pemakaiannya, tidak hanya terbatas pada ilmu sejarah belaka,
namun juga pada bidang lain yang memerlukan bukti-bukti autentik untuk mengungkap
sebuah kebenaran di balik peristiwa dan menyimpulkan latar belakang persoalannya.
Sebut saja di sini di bidang hukum dan jurnalistik, di mana seorang jurnalis tidak
mungkin serta merta menulis sebuah berita tanpa adanya bukti dan alat baantu yang
mendukung terbitnya berita tersebut. Semisal dalam meliput masalah kriminalitas
pembunuhan. Hal-hal terkait pembunuhan tersebut, meliputi alat yang digunakan untuk
membunuh, sidik jari pelaku, lokasi pembunuhan dan yang lainnya butuh direka ulang
dan diselidiki lebih lanjut agar nantinya berita yang dikeluarkan sesuai dengan
kenyataan serta hukum yang diputuskan sesuai dengan kebenaran yang ada.

Metode Ilmu Humaniora


Elwood (1975) mendefinisikan ‘humaniora’ sebagai seperangkat sikap dan
perilaku moral manusia terhadap sesamanya, yakni terhadap Sang Pencipta, sesama
manusia, dan alam.6 Ilmu humaniora (humanities) atau disebut juga ilmu budaya
merupakan salah satu jenis ilmu yang digolongkan berdasarkan objeknya. Adapun objek
ilmu humaniora adalah buatan manusia yang khas, seperti bahasa daerah. 7 Fungsi ilmu
adalah untuk menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol, terutama ilmu alam. Dalam
ilmu humaniora, selain tiga fungsi ilmu tersebut, juga ada fungsi kejiwaan, yaitu
memberikan semacam cermin untuk melihat diri sendiri sebagai sarana introspeksi lalu
mengambil pelajaran daripadanya sebagai hikmah. Dengan ilmu, manusia juga akan

5
Dedi Irwanto & Alian Sair, Metodologi dan Historiografi Sejarah, .................... hlm. 12.
6
L. Wilardjo, “Ilmu dan Humaniora”, dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah
Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hlm. 318.
7
Intisari Materi Kuliah Filsafat Ilmu bersama Prof. Dr. H. Machasin, M.A. tentang Pengetahuan dan
Ilmu, pada Rabu, 14 Oktober 2020, jam 10:40-12:20.

3
memperoleh pemuliaan kehidupan, yaitu dengan sedikit konsumsi fisik dan memiliki
banyak kesempatan untuk kerja akal dan mental.8
Ilmu humaniora mencakup bahasa, ilmu bahasa, kesusasteraan, pendidikan,
sejarah, ilmu hukum, filsafat, arkeologi, seni, dan ilmu-ilmu sosial yang mempunyai isi
yang humanistik. Ilmu sosial meliputi sosiologi, antropologi, psikologi, pendidikan,
ekonomi, dan politik. Pada proses perkembangannya, ilmu sosial dan ilmu humaniora
“saling berebut” subject matter (pokok persoalan), bahkan adakalanya pendekatan dari
satu ilmu tertentu diambil atau diserap oleh ilmu lainnya. Adapun subject matter kedua
rumpun ilmu tersebut yaitu manusia beserta dinamika perilakunya. Manusia memiliki
perkembangan akal, daya, dan karsa yang kemudian diejawantahkan dalam berbagai
praktik kebudayaan material dan non-material. Proses pengejawantahan inilah yang
memungkinkan munculnya berbagai tafsir atas perilaku individu dan pengaruhnya
terhadap gejala (interaksi-relasi) sosial umum yang ada. Karena itulah, menyebut
humaniora sebagai rumpun ilmu sesungguhnya memberikan kesempatan bagi masuknya
segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia beserta perilakunya ke dalam subject
matternya, tanpa terkecuali pokok persoalan yang ada pada ilmu sosial.9
Dewasa kini, posisi dan peran ilmu-ilmu humaniora sangat taktis untuk
memandu perilaku manusia menuju masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Ilmu-ilmu humaniora memandang manusia sebagai makhluk berkehendak
bebas yang bertindak karena memiliki kapasitas dan kemampuan untuk melakukan
tindakan itu, bukan karena ada stimulus sebagai penyebab untuk bertindak. Dengan
demikian, di hadapan ilmu-ilmu humaniora manusia adalah makhluk paling kreatif yang
memiliki derajat dan martabat sangat tinggi. Misalnya, sebagai bagian dari ilmu
humaniora, bahasa memandang manusia sebagai makhluk pemilik, penghasil dan
pengguna bahasa. Sebab, hanya manusia yang memiliki bahasa. Dia pula yang bisa
mengembangkan dan menggunakannya sesuai maksud yang dikehendaki. Karena
bahasa tersebut, manusia bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban
sebagaimana peradaban manusia saat ini.10

8
Intisari Materi Kuliah Filsafat Ilmu bersama Prof. Dr. H. Machasin, M.A. tentang Epistemologi dan
Aksiologi, pada Rabu, 21 Oktober 2020, jam 10:40-12:20.
9
M. Alie Humaedi, “Pemikiran Islam dalam Jejak Kajian Humaniora”, Jurnal Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2
November 2012, hlm. 398-399.
10
Mudjia Rahardjo, “Masa Depan Ilmu-ilmu Humaniora”, dalam GEMA, 10 Oktober 2010, Malang.

4
Prof. Mudjia Rahardjo11 menambahkan, adapun wilayah kajian ilmu-ilmu
humaniora memang bukan objek empirik, melainkan wilayah abstrak yang meliputi
perasaan, kesan, pandangan hidup, cita-cita dan sebagainya. Sebagaimana diketahui
berdasarkan filsafat ilmu ada dua macam realitas, yakni realitas empirik (yang dikaji
oleh ilmu-ilmu alam atau eksakta) dan realitas abstrak (yang dikaji oleh ilmu-ilmu sosial
dan humaniora. Khusus untuk bahasa, realitas yang dikaji berupa realitas simbolik,
sebab pada hakikatnya bahasa adalah simbol, simbol bunyi. Dan secara holistik, ilmu
humaniora bertugas mengkaji aspek-aspek kemanusiaan. Disebut demikian karena yang
dikaji bukan hanya manusianya saja, melalui pikiran dan ide yang dimiliki, melainkan
juga ciptaannya sebagai buah dari kreasi otak dan pikirannya.

Hukum: Hubungan Sebab Akibat


Hubungan sebab akibat merupakan suatu hubungan yang terjadi karena adanya
satu peristiwa yang menjadi sebab dari peristiwa lain terjadi, atau satu peristiwa menjadi
akibat dan satu peristiwa lain menjadi sebabnya. Dalam ilmu pengetahuan, hubungan
seperti ini dinamakan hukum yang sekaligus merupakan objek material utama dari ilmu
pengetahuan itu sendiri. Dari sini terciptalah sebuah konklusi bahwasanya tujuan utama
dari ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan hukum ilmiah yang bisa menjelaskan
suatu peristiwa yang menjadi sebuah masalah.12
Berkiblat pada pernyataan di atas, hubungan sebab akibat sering dipahami
sebagai hubungan susul-menyusul di antara dua peristiwa atau lebih yang terjadi di alam
ini. Namun tidak semua peristiwa yang terjadi secara susul-menyusul dianggap
mempunyai hubungan sebab-akibat. Dua peristiwa atau lebih hanya bisa dianggap
mempunyai hubungan sebab akibat, yang menjadi sebuah hukum ilmiah, apabila
keduanya terjadi secara susul-menyusul dan punya kaitan langsung tanpa kecuali.
Dengan demikian, peristiwa A dan B mempunyai hubungan sebab akibat jika peristiwa
B terjadi hanya karena telah didahului oleh peristiwa A. Demikian pula jika A terjadi,
maka peristiwa B pasti akan terjadi dengan sendirinya tanpa terkecuali. Hal ini
menunjukkan bahwa A adalah sebab dari B.13

11
Mudjia Rahardjo, “Masa Depan Ilmu-ilmu Humaniora”, dalam GEMA, 10 Oktober 2010, Malang.
12
A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan.................... hlm. 119.
13
A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan.................... hlm. 120.

5
Dari keterangan di atas, dapat kita ambil contoh air mendidih (peristiwa B) dan
air dipanaskan (peristiwa A). Hubungan antara peristiwa A dan B adalah hubungan
sebab akibat. Dengan demikian disebut sebagai hukum ilmiah, karena keduanya terjadi
secara susul-menyusul tanpa terkecuali. Artinya, setiap kali air dipanaskan, pasti air
tersebut akan mendidih dengan sendirinya. Susul-menyusul kedua peristiwa itu terjadi
secara pasti.
Adapun sifat-sifat dari hukum ilmiah adalah sebagai berikut:14
1. Lebih pasti
Hukum ilmiah sesungguhnya adalah perkembangan lebih lanjut dari
hipotesis yang telah mendapat status yang lebih pasti sifatnya, karena telah
terbukti benar dengan didukung oleh fakta dan data yang tidak terbantahkan. Itu
artinya, semakin pasti sebuah hipotesis maka akan berubah menjadi sebuah
hukum ilmiah. Namun perlu selalu diingat bahwa setiap hukum ilmiah
bagaimana pun juga tetap mengandung unsur hipotesis. Dengan demikian,
walaupun bersifat lebih pasti, selalu saja kebenarannya bersifat sementara atau
tidak definitif. Selalu saja ada kemungkinan, kendati sangat kecil, bahwa hukum
tersebut kelak akan dibantah atau gugur oleh penemuan ilmiah yang baru.
2. Berlaku umum atau universal
Sifat universal dari hukum ilmiah ini berkaitan dengan sifat hukum yang
lebih pasti di atas. Karena hukum lebih pasti sifatnya, dengan sendirinya akan
lebih umum atau universal pula keberlakuannya. Hukum bersifat umum karena
mengungkapkan hubungan yang bersifat universal antara dua peristiwa dan
hubungan tersebut telah disepakati juga diakui benar oleh siapa saja.
3. Punya daya terang yang lebih luas
Adapun hal yang paling membedakan hukum dari hipotesis adalah bahwa
hukum mempunyai daya terang yang jauh lebih jelas. Dengan hukum ilmiah,
ilmuwan ingin mendapatkan penjelasan ilmiah (scientific explanation) yang
memperlihatkan secara gamblang hubungan antara satu peristiwa dengan
peristiwa lainnya, antara satu unsur dengan unsur lainnya. Dengan hukum yang
memberi penjelasan mengenai hubungan antara peristiwa yang dikaji, peristiwa-
peristiwa tersebut menjadi bisa dimengerti dan masuk akal.
14
C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu,
(Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 44-45.

6
Evolusi dan Kontinuitas Pengetahuan
Evolusi, sebagai cabang Biologi dalam rumpun Sains adalah ilmu yang
mempelajari tentang perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur menuju kesesuaian
dengan waktu dan tempat. Sebagai imu pengetahuan, kajian evolusi didasarkan atas data
keanekaragaman dan keseragaman makhluk hidup dalam tingkat komunitas, dan
kemudian dalam perkembangan berikutnya didukung oleh data-data penemuan fosil,
sehingga tidak pernah dapat menerangkan dengan lengkap apa yang pernah terjadi pada
masa lampau.15
Sonny Keraf dan Mikhael Dua16 mempertanyakan apakah pengetahuan ilmiah
kita juga mengalami evolusi. Banyak filsuf seperti Peirce yang memandang adanya
kecocokan antara akal budi manusia dengan alam. Evolusi dan kontinuitas tidak hanya
merupakan kenyataan alam, melainkan juga kenyataan pengetahuan itu sendiri. Ini
disebabkan karena pemikiran manusia selalu mengalami perkembangan. Setiap
ilmuwan selalu bertumbuh dan berkembang selama penelitiannya berkembang.
Selain pemikiran, metode ilmu pengetahuan juga mengalami perkembangan dari
zaman ke zaman. Metode ilmu yang kita temukan dewasa ini juga merupakan hasil dari
usaha panjang ilmu pengetahuan. Pendahulu-pendahulu kita dalam bidang ilmu
pengetahuan membentuk sejarah panjang dari metode ilmu pengetahuan yang selalu
diperbaiki, dikritik, dan dipertahankan.
Seorang ilmuwan melihat ilmu pengetahuan sebagai proses suatu penelitian yang
hidup tanpa henti. Dengan keyakinan yang teguh akan keunggulan metodenya, ia terus
berusaha meneliti alam. Penelitian terus dijalankan dengan dua sikap, yaitu
kepercaayaan bahwa alam dapat dipahami dan kerendahan hati bahwa prestasi
ilmiahnya bukanlah apa-apa dibandingkan dengan problematika alam yang belum
dijawabnya secara tuntas.

Dari Hukum Menuju Teori


Masih merujuk pada pendapat Sonny Keraf dan Mikhael Dua dalam bukunya 17,
dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu alam, ada kecenderungan umum yang
cukup kuat untuk menyempurnakan hipotesis yang ada menjadi semakin pasti dan
15
Victoria Henuhili, dkk, Diktat Kuliah Evolusi Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Negeri
Yogyakarta, 2012, hlm. 3.
16
A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan..................... hlm. 127-128.
17
A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan..................... hlm. 129-130.

7
akhirnya dapat diterima sebagai hukum ilmiah. Namun proses ini tidak hanya berhenti
di sini saja, ilmuwan juga ingin menemukan teori untuk bisa memahami hukum ilmiah
atau hubungan sebab akibat antara berbagai peristiwa dalam alam semesta ini.
Teori dihadirkan untuk menjelaskan hukum ilmiah. Oleh karena itu, antara
hukum dan teori ada kaitan yang sangat erat. Namun demikian ada perbedaan
substansial di antara keduanya. Hukum lebih bersifat empiris dan harus diperiksa juga
ditolak berdasarkan fakta empiris. Sebaliknya, teori lebih merupakan pandangan umum
yang sulit diperiksa langsung secara empiris. Teori dimaksudkan sebagai himpunan
pengetahuan yang meliputi banyak kenyataan dan hukum yang sudah diketahui dan
diperiksa berdasarkan kenyataan empiris. Jadi, teori mencakup pada hukum.
Adapun fungsi dari teori adalah, pertama, teori merupakan upaya tentatif untuk
membangun hubungan yang cukup luas antara sejumlah hukum ilmiah. Kedua, teori
berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang mempunyai hubungan satu sama lain,
sehingga hukum-hukum tersebut dapat dipahami sebagai suatu hukum yang masuk akal.
Sebagai contoh misalnya, (1) Hukum Boyle, menyatakan bahwa “tekanan
berbanding terbalik dengan volume.” Jika volume dikurangi menjadi setengah, maka
tekanan meningkat dua kali lipat. (2) Hukum Gay-Lussac, menyatakan bahwa “dengan
volume yang tetap, tekanan meningkat sesuai dengan meningkatnya suhu”. Demikian
pula berbagai hukum lainnya yang menyangkut sifat fisik gas, seperti hukum yang
menyatakan hubungan di antara tekanan gas dan kemampuannya untuk mengantarkan
panas. Semua hukum ini dihubungkan dan dijelaskan secara masuk akal oleh apa yang
dikenal sebagai “Teori Dinamika Panas”.

Kesimpulan
Sebagai makhluk pencari kebenaran ilmu pengetahuan, manusia tidak akan
pernah berhenti mencari sampai menemukan jawaban dari setiap keingintahuannya
melalui cara dan metode ilmiah. Sebut saja metode ilmu rekonstruksi atau disebut juga
sebagai metode historik merupakan suatu metode yang dilakukan dengan
merekonstruksi atau menyusun dan mereka kembali hal-hal terkait masa lampau sampai
ditemukan adanya prediksi suatu peristiwa serta simpulan persoalannya. Dan metode
ilmu humaniora yang secara holistik bertugas mengkaji aspek-aspek kemanusiaan,
bukan hanya manusianya saja, melalui pikiran dan ide yang dimiliki, melainkan juga

8
ciptaannya sebagai buah dari kreasi otak dan pikirannya. Dengan ilmu, manusia akan
memperoleh pemuliaan kehidupan, yaitu dengan sedikit konsumsi fisik dan memiliki
banyak kesempatan untuk kerja akal dan mental.
Adapun tujuan utama dari ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan hukum
ilmiah yang bisa menjelaskan suatu peristiwa yang menjadi sebuah masalah. Hukum
tersebut dinamakan juga sebagai hubungan sebab akibat yang merupakan suatu
hubungan yang terjadi karena adanya satu peristiwa yang menjadi sebab dari peristiwa
lain terjadi. Evolusi dan kontinuitas pun tidak hanya merupakan kenyataan alam,
melainkan juga kenyataan pengetahuan itu sendiri. Ini disebabkan karena pemikiran
manusia selalu mengalami perkembangan. Dari perkembangan itulah, teori dihadirkan
untuk menjelaskan sebuah hukum ilmiah. Sehingga hukum-hukum tersebut nantinya
dapat dipahami sebagai suatu hukum yang masuk akal.

Daftar Pustaka
Henuhili, Victoria dkk. (2012). Diktat Kuliah Evolusi. Jurusan Pendidikan Biologi
Universitas Negeri Yogyakarta.
Humaedi, M. Alie . (2012). Pemikiran Islam dalam Jejak Kajian Humaniora dalam
Jurnal Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November 2012.
Irwanto, Dedi & Alian Sair. (2014). Metodologi dan Historiografi Sejarah. Yogyakarta:
EJA PUBLISHER.
Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua. (2016). Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis
(Cetakan ke-18). Yogyakarta: PT. Kanisius.
Rahardjo, Mudjia. (2010). Masa Depan Ilmu-ilmu Humaniora dalam GEMA, 10
Oktober 2010, Malang.
Surakhmad, Winarno. (1991). Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik
(Cetakan ke-4). Bandung: Tarsito.
Verhaak, C. dan R. Haryono Imam. (1989). Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas
Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia.
Wilardjo, L. Ilmu dan Humaniora dalam Jujun S. Suriasumantri. (2015). Ilmu dalam
Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai