Jawaban :
A. Landasan Ontologis
Ontologis berasal dari bahasa Yunani yaitu Ontos yang berarti berada atau yang ada,
merupaka salah satu aspek dalam ilmu pfilsafat yang keberadaannya bertujuan untuk
mengkaji hakikat ada dan muncul nya sesuatu dengan proses yang runtut sesuatu dengan
hukum sebab akibat. Menurut Nursalim dalam jurnal nya berjudul Landasan Otologis,
Epistemologis, dan Aksiologi dalam penelitian Pendidikan halaman 394, ontologi ialah ilmu
itu meliputi hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang
tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana “ada” itu. Suriasumantri
(2009) , dalam bukunya berjudul Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, halaman 69
berpendapat ontologi itu ialah kajian hakikat sebenarnya dari objek yang ditelaah untuk
menciptakan suatu ilmu pengetahuan. Berarti dapat disimpulkan bahwa Ontologis itu ialah
suatu landasan yang membahas tentang makna dari keberadaan suatu ilmu pengetahuan yang
akan menjadi pelengkap dari keberadaan manusia. Landasan yang mendasari Ontologis ialah,
objek yang ditelaah, hakikat dari objek yang ditelaah tersebut, serta pola pikir manusia untuk
mencerna objek yang ditelaah. Landasan ontologis dalam filsafat ilmu menganggap bahwa
seluruh aspek yang ada di muka bumi ini dikuasai oleh aturan-aturan yang sesuai dengan nilai
moral. Terciptanya manusia untuk hidup di muka bumi ini hakikatnya untuk merasakan
kesenangan, dan kebahagiaan yang dipersiapkan oleh dunia. Ilmu yang ada di dunia ini ilalah
bagian dari pengetahuan yang mencoba untuk mendalami dan menafsirkan hakikat alam
sebagai mana kenyataannya. Maka dari itu, manusia yang merupakan bagian dari makhluk
yang mendiami bumu, yang memakan sebagian dari hasil kerja bumi tidak dapat menghindari
permasalahan-permasalahan yang muncul dibumi, yang bahkan seringkali masalah tersebut
hadir karena perbuatan manusia itu sendiri. Suriasumantri dalam bukunya mengatakan
bahwa, par filsuf sebelum kita bertanya-tanya apakah gejala alam dan kejadian-kejadian yang
terjadi di muka bumi ini tunduk kepada determinisme, yang mana determinisme itu ialah
hukum alam yang bersifat luas
B. Landasan Epistemologis
Epistemologis berasal dari bahasa Yunasi “Episteme”, artinya pengetahuan dan
“Logos”, berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai sebuah landasan dalam ilmu
filsafat yang mengkaji tentang bagaimana cara mendapatkan dan memperoleh ilmu
pengetahuan. Selain itu, banyak ahli yang juga mengatakan bahwa Epistemologi ini mengkaji
tentang asal mula muncul dan berkembangnya ilmu pengetahuan di peradaban manusia.
Nursalim dalam jurnal nya berjudul Landasan Otologis, Epistemologis, dan Aksiologi dalam
penelitian Pendidikan halaman 394, mengatakan Epistemologi itu tidak hanya membahas
tentang munculnya ilmu pengetahuan namun juga struktur, metode, dan validasi pengetahuan
yang bersifat evaluative, normative, dan kritis. Hardanti dalam jurnalnya berjudul Landasan
Ontologis, Aksiologis, Epistemologis Aliran Filsafat Esensialisme dan Pandangannya
Terhadap Pendidikan halaman 89, untuk memahami Epistemologi secara mendalam dapat
dilakukan dengan mengulik teori kepribadian manudia, yang dimana manusia merupakan
cerminan dari tuhan. Manusia ialah makhluk yang diicptakan oleh Tuhan yang memiliki
semesta alam, dimana penciptaan manusia dilakukan oleh tugan dengan sesempuran
mungkin, tanpa ada suatu kesalahan. Sempurnanya ciptaan tuhan ini merefleksikan betapa
sempurna nya tuhan, tak ada celah yang dapat menurunkan derajat keagungan dan
kesempurnaan tuhan. Manusia diciptakan sekaligus dengan kesempurnaan pada pikirannya,
yakni kecerdasan yang hakiki. Kecerdasan ini tidak diturunkan oleh tuhan kepada makhluk
manapun, kecuali manusia. Maka dari itu, manusia dapat diharpkan dapat dan mampu dengan
seksama memikirkan alam dan segala aspek yang ada di muka bumi dengan memanfaatkan
kecerdasannya. Sebab itu manusia dapat menggunakan kecerdasan yang dimiliki untuk
menciptakan pembaharuan berupa ilmu pengetahuan untuk kepentingan khalayak banya.
Menurut Jujun Suriasumantri tidak ada perbedaan antara setiap pengetahuan, karena semua
hal yang kita ketahui itu ialah pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu luas, dan dapat diperoleh
dari berbagai hal dan berbagai pengalaman. Manusia adalah makhluk yang cerdas, semua hal
yang ada disekitar manusia, selalu memberikan informasi berupa ilmu pengetahuan baru
tentang berbagai aspek kehidupan.
C. Landasan Aksiologis
Aksiologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Axsion” yang berarti nilai dan “Logos”
berarti teori. Jaid Aksiologis ialah sebuah teori yang membahas tentang nilai. Dalam filsafat
pendidikan, aksiologis biasa diketahui sebagai landasan yang mengkaji tentang nilai
kegunaan ilmu. Menurut Jihn Sinclair aksiologis merupakan teori nilai, yang mana ditujukan
khusus pada suatu pola pikir manusia, ilmu politik, ilmu agama, dan ilmu sosial. Menurut
Suriasumantri, dalam bukunya berjudul Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, halaman 229
aksiologis itu ialah teori nilai berhubungan dengan fungsi dan manfaat dari pengetahuan
yang ia miliki. Menrut Nursalim dalam jurnal nya berjudul Landasan Otologis,
Epistemologis, dan Aksiologi dalam penelitian Pendidikan halaman 394, aksiologis meliputi
nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran dan kenyataan
sebagaimana biasa kita temua dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, aksiologi juga harus
kita hormati keberadaanya, baik dalam menuntut ilmu, maupun kegiatan lain seperti riset dan
observasi. Aksiologi juga dapat dikatakan sebagai suatu cabang filsafat ilmu yang mendalami
nilai-nilai kebenaran, estetika, dan keagamaan. Niali-nilai tersebut saling berkaitan satu sama
lain, untuk mendukung terciptanya penerapan teori aksiologis dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini sangat diperlukan agar terciptanya dunia yang aman dan sejahtera, karena ilmu
pengetahuan dimanfaatkan dengan semestinya untuk hal-hal yang baik.
4. Jelaskan apa yang menjadi Issu utama Rasionalisme maupun Empirisme? Apa yang
membedakan di antara keduanya itu dilihat dari aspek ontologis maupun
epistemologis?
Jawaban :
Dari pandangan filsafat, secara epistemologis terdapat dua aliran yang diciptakan
untuk mengkaji tentang munculnya kebenaran dan metode yang menyebabkan kemunculan
kebenaran itu, yakni Rasionalisme dan Empirisme. Menurut Machmud dalam jurnalnya
berjudul Rasionalisme dan Empirisme, Kontribusi dan Dampaknya pada Perkembangan
Filsafat Matematika, hal 113. Rasionalisme adalah suatu aliran filsafat yang berupaya untuk
meluas metodologi yang dipersepsi terhadap seluruh ilmu pengetahuan. Secara umum dalam
ilmu filsafat rasionalisme ialah suatu kepercayaan atau paham yang menyatakan bahwa alam
gagasan dan kemampuan manusia mengembangkan potensi pikirannya dan bukan tradisi dan
kepercayaan yang diikuti secara membuta. Sedangkan Empirisme ialah sautu doktrin filsafat
yang fokus pada tugas dari pengalaman manusia dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan
mengecilkan peranan akal. Perbedaan dari kedua paham ini ialah, dalam Empirisme
menyatakan bahwa seluruh ilmu pengetahuan harus diperoleh melalui pengalaman hidup
manusia, yang mana ilmu tersebut merupakan gabungan dari apa yang pernah terjadi dalam
hidup manusia. Sedangkan Rasionalisme menyatakan bahwa pengetahuan itu pada hakikat
dan berdasarkan fakta sebenarnya tentang segala hal yang terjadi di muka bumu ini hanya
didapatkan dari penalaran yang dituntu logika. Hal ini menunjukan perbedaan yang sangat
signifikan antara paham Rasionalisme dan Empirisme, yang mana menurut paham
Rasionalisme, tidak ada peran dari pengalaman hidup manusia secara signifikan terhadap
pemerolehan ilmu pengetahuan yang mereka miliki saat ini. Dilain sisi, mengutip dari Dr.
Akhyar Yusuf Lubis, dalam bukunya berjudul Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer,
halaman 87 dan 112, perbedaan antara kedua paham ini, yakni paham Rasionalisme dan
Empirisme, dimana Rasionalisme percaya bahwa dengan proses pemikiran mendalam,
manusia dapat mencapai kebenaran fundamental yang tidak dapat disangkal mengenai apa
yang ada serta strukturnya, dan tentang alam semesta pada umumnya. Rasionalisme juga
meyakini bahwa kebenaran dapat diperoleh tanpa menerapkan cara empiris. Rasionalisme
juga percaya bahwa pikiran manusia dapat dengan mudah memepelajari realitas, dengan
mendahului pengalaman apapun. Rasionalisme juga percaya bahwa budi pekerti adalah dasar
dari ilmu pengetahuan. Selain itu, rasionalisme juga percaya bahwa realitas tidak dapat diuji
melalui verifikasi indrawi, akan tetapi melalui logika. Rasionalisme percaya bahwa alam
semesta mengikuti hukum-hukum alam yang rasional. Sedangkan paham Empirisme,
mempercayai bahwa sumber pengetahuan ialah pengalaman, Emprisme juga sangat
menekankan metode empiris-emperimental, serta paham Empirisme menggunakan penalaran
induktif.
5. Sebetulnya apa yang membedakan antara Positivisme, Positivisme Logis dan Post-
Positivisme? Apa kritik Post-Positivisme terhadap Positivisme?
Jawaban :
Positivisme merupakan sebuah aliran yang dikemukakan oleh Auguste Comte dan
menyatakan bahwa positivisme ialah cara pandang dan pemahaman akan dunia dengan
menggunakan sains. Menurut Comte, teori sains dapat dibtnuk mulai dari tingkat yang paling
sederhana hingga tingkat paling kompleks. Megutip dari Dr. Akhyar dalam Filsafat Ilmu
Klasik hingga Kontemporer halaman 141, pada aliran positivisme ini Comte mengemukakan
gagasan “agama humanitas” Comte, yang mana agama tersebut memuja nilai-nilai
kemanusiaan. Agama ini dicetuskan oleh Comte bersama istrinya Clotilde de Vaux. Namun,
setelah melihat terjadinya kematian terhadap istrinya, Comte merubah kepercayaannya
terhadap agama tersebut, dan muncullah gagasan baru yakni agama itu didasari oleh
Positivisme dan nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan Comte mengenai agama postivisme ini
banyak membantu dalam mengembangkan kajian-kajian ilmiah dalam dunia pendidikan.
Selain itu, positivisme ini berkerja keras untuk membebaskan klaim-klaim metafisik dari ilmu
pengetahuan. Hal ini berarti berdasarkan aliran positivisme, ilmu pengetahuan itu hanya
berkaitan dengan hal-hal yang nyata, tidak ada kaitannya dengan dunia-duni atau paham yang
tidak benar.
Positivisme Logis dikemukakan oleh beberapa filsuf termasuk Comte. Pada
positivisme logis memiliki prinsip bahwa pengalaman yang dimiliki oleh manusia merupakan
satu-satunya sumber munculnya ilmu pengetahuan. Hal ini memiliki persamaan paham
dengan Epirisme yang mana, segala sumber dari ilmu pengetahuan ialah pengalaman. Paham
positivisme logis fokus hanya pada pendapat bahwa pengetahuan itu hanya ada satu, yakni
pengalaman dan dapat dibuktikan dengan bahasa logis dan matematis. Sama seperti
positivisme, positivisme logis juga tidak menyangkut pautkan proses pemerolehan ilmu
pengetahun itu melalu metafisika. Pandangan positivisme logis terkadang dianggap
pandangna yang berbau fundasionalisme, yakni suatu pandangan yang mengemukakan bahwa
ada landasan kuat yang terpercaya untuk memperoleh ilmu pegetahuan yang hakiki.
Sedangkan, pandangan positivisme Comte, menyatakan bahwa positivisme itu ialah bentuk
lain dari relaisme ontologis, yan gmana pandangan ini sangat percaya bahwa relitas yang
terjadi ada karena hukum-hukum alam.
Paradigma yang dikemukakan oleh Thomas Khun memiliki pengaruh yang sangat
penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Menguitp dari Dr.
Akhyar dalam bukunya berjudul Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer, halaman 162. Hal
ini dikarenakan, Thomas Khun menciptakan sebuah paradigma baru, sebagai sebuah upaya
pembrontakan terhadap paradigma positivisme. Konsep paradigam yang diciptakannya,
dirasa sebagai sebuah karya dahsyatnya mengenai perkembangan sejarah dan filsafat ilmu
pengetahuan. Khun mencoba untuk merubah pandangan mengenai ilmu pengetahuan yang di
cetuskan oleh popper, yang mana Popper mempercayai konsep positivisme, yakni
memandang perkembangan ilmu pengetahuan akan terjadi terus menerus sebagai akibat dari
riset dan observasi yang dilakukan oleh ilmuwan. Positivisme juga memastikan bahwa
kriteria ilmiah dan tidak ilmiah suatu ilmu pengetahuan ditentukan melalui falsifikasi. Hal ini,
mendapatk perhatian khusu dari Khun, bawhwa pendapat dari Popper itu tidak sesuai dengan
fakta yang sebenarnya terjadi. Khun menjabarkan perkembangan ilmu penetahuan itu tidak
terjadi berdasarkan upaya empiris melalui proses falsifikasi terhadap teori, namun
perkembangan tersebut terjadi karena adanya perubahan yang terjadi pada revolusi ilmiah
dan revolusi ilmiah tersebut terjadi karena adanya perubahan paradigma.