Anda di halaman 1dari 61

TUGAS MATA KULIAH METODE PENELITIAN

OLEH :
AMANA
NPM : 162426066 SPP

DOSEN PEMBIMBING
Dr. IDA SAMIDAH, Skp, M.Kes

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DEHASEN BENGKULU


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
TAHUN 2017
BAB I

Jawablah soal dibawah ini dengan penjelasan yang sederhana tetapi lengkap.

1. Jelaskan mengapa manusia melakukan penelitian untuk menghasilkan ilmu


pengetahuan.
2. Jelaskan yang dimaksud bahwa dalam pengembangan ilmu pengetahuan didasarkan
landasan metafisis/ontologis, epistemologis, dan aksiologi
3. Jelaskan yang dimaksud dengan objektivitas dan originalitas ilmu pengetahuan! Buatlah
analisis kritik terhadap faham Empirisme dan Rasionalisme serta Positivisme tentang
pengetahuan
4. Jelaskan peranan sarana berpikir ilmiah dan metode ilmiah
5. Jelaskan hubungan antara ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan agama,
serta perubahan sosial. Berikan contoh.
6. Jelaskan peranan Etika bagi pengembangan dan penerapan dalam bidang keperawatan.
7. Bagaimana tanggung jawab sosial ilmuwan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa,
dan bernegara Republik Indonesia Berikan contoh dalam hubungannya dengan
nasionalisme dan wawasan kebangsaan!

JAWAB

1. manusia melakukan penelitian untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dengan


tujuan : mencari tahu rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi menjadi
misteri, menemukan atau menguji fakta baru maupun fakta lama, melakukan analisis
terhadap hubungan antara fakta-fakta yang di temukan, menjelaskan tentang fakta yang
ditemukan serta hubungannya dengan teori yang ada.

2. Landasan ontologis : adalah tentang objek yang ditelaah ilmu.

Landasan epistemologis : adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah
sehingga diperolehnya ilmu tersebut.

Landasan aksiologi : adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut


dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia

3. Objektivitas :
Artinya Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal baik-buruk dan si
pemilik pengetahuan itulah yang memiliki sikap. Dengan kata lain netralitas ilmu
terletak pada epistemologinya, jika hitam katakan hitam, jika putih katakan putih;
tanpa berpihak kepada siapapun kecuali kebenaran.

Originalitas :
Artinya ilmu pengetahuan merupakan Hasil dari pencarian hakekat pengetahuan
dan kebenaran Ilmu pengetahuan membutuhkan kebebasan berpikir yang sangat luas.
Analisis kritik terhadap faham Empirisme dan Rasionalisme serta Positivisme
tentang pengetahuan

1
Empirisme
adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada
bukti empiris. Dengan empirisme aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat.
Empirisme juga memiliki kekurangan yaitu ia belum terukur. Empirisme hanya sampai
pada konsep-konsep yang umum. kita dapat memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman. Pengetahuan diperoleh dengan perantaraan indera.
Kelebihan empirisme adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan
yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di
lapangan.
Kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Indra terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil
2. indera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulanya rasanya pahit, udara
panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang
salah juga.
3. Objek yang menipu. Contohnya : ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu
sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera, ia membohongi
indera. Ini jelas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
4. Indera dan objek sekaligus. Empirisme lemah karena keterbatasan indera
manusia

Rasionalisme
adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur
pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Dicari dengan akal ialah dicari dengan berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji
apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah. Dengan akal
itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa
kebenaran itu bersumber pada akal.
Rasionalisme itu berpendirian, sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan
karena Rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-
paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.[2] Rasionalisme adalah
paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam
memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan
Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman-
pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka
yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir
menjelaskan dan menekankan kala budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua
manusia, mampu menyusun sistem-sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia.
Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas
sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam, sekaligus memulai
permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem-
sistem filosofis yang subjektif tersebut, doktrin-doktrin filsafat rasio cenderung
mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar
dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara
peka.

2
Positivisme
adalah mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisnya, yang
terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting positivisme.Positivisme sudah dapat
disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur
alam. Positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan
fakta-fakta sajalah yang dapat menjadi obyek pengetahuan.Dengan demikian,
positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek dibelakang fakta, menolak
segala penggunaan metoda diluar yang digunakan untuk menelaah fakta.

4. peranan sarana berpikir ilmiah dan metode berpikir ilmiah


digunakan berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat Sarana berpikir
ilmiah yang dimiliki manusia yaitu bahasa, logika, matematika dan statistika. Bahasa
yaitu sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain
logika yaitu sebagai sarana berpikir analisis untuk menghasilkan simpulan yang valid
Matematika yaitu sebagai sarana berpikir deduktif (proses pengambilan kesimpulan
yang didasarkan pada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan)
statistika yaitu sarana karena adanya keinginan untuk memperoleh sesuatu yang terbaik
di antara banyak pilihan.

5. Hubungan Ilmu dengan teknologi


Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat, akan tercipta
pula teknologi-teknologi yang dipakai oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena teknologi
tercipta sebagai penerapan sistematis dari pengetahuan-pengetahuan ilmiah untuk
memudahkan kehidupan manusia.
Masyarakat yang maju senantiasa dinilai dari banyaknya teknologi yang dihasilkan
karena pada dasarnya teknologi senantiasa mencerminkan kualitas sumber daya manusia
di dalamnya. Teknologi bisa membawa 2 dampak yaitu positif maupun negatif. Sebagai
contoh yaitu lahirnya teknologi komunikasi seperti handphone, yang memudahkan antar
manusia untuk berkomunikasi jarak jauh dengan lebih cepat, ini merupakan dampak
positif.
Namun tidak dipungkiri bahwa masyarakat yang tidak siap dengan perkembangan
teknologi yang begitu cepat, justru akan merasakan dampak negatif dari teknologi itu
sendiri. Sebagai contoh yaitu teknologi internet, selain manfaat positif yang ada, dampak
negatif yang muncul yaitu kemudahan akses terhadap pornografi, lengkapnya informasi
yang ada di internet kadang membuat masyarakat tidak lagi mampu menyaring info
yang didapat sehingga menyebabkan degradasi nilai pada masyarakat, budaya membaca
buku juga sudah mulai tergantikan. Adanya ketergantungan pada teknologi akan
menjadikan manusia terlena dari eksistensi dirinya sehingga menjadi tidak sadar bahwa
mereka dipenjarakan oleh teknologi.
Kesimpulannya, sinergi antara ilmu dan teknologi, akan menghasilkan berbagai
kemudahan dalam kehidupan manusia. Hal ini berdampak pada perubahan budaya dan
kehidupan sosial di masyarakat. Untuk yang dapat memetik manfaat positif akan
semakin dimudahkan dalam kehidupannya; namun yang tidak siap akan kehadiran
teknologi, bisa menuai dampak negatif dari teknologi

Hubungan Ilmu pengetahuan dengan Kebudayaan


Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahun merupakan unsure dari
kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup dan

3
sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan
yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan 3
dengan kehidupan bernegara. Pengambangan kebudayaan nasional merupakan bagian
kegiatan dari suatu bangsa, baik disari atau tidak maupun dinyatakan secara eksplisit
atau tidak.
Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling
mempengaruhi. Pada suatu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat
tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan dilain pihak, pengembangan ilmu
akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu terpadu secara intim dengan
keseluruhan struktur sosial dan tradisi kebudayaan, mereka saling mendukung satu sama
lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembangkan secara pesat, demikian
sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung
perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapannya.
Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan
kebudayaan. Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu
bangsa.

Hubungan Ilmu pengetahuan dan agama


bertujuan sama, yaitu: kebenaran. Ilmu pengetahuan, dengan tidak merasa terikat oleh
ikatan apapun, kecuali oleh ikatan metodenya sendiri, mencari kebenaran tentang alam
dan (termasuk didalamnya) manusia
Agama dengan wataknya sendiri pula, menghampiri kebenaran, baik tentang alam
maupun tentang manusia (yang belum atau tidak daspat dijawa oleh ilmu, karena diluar
atau diatas jangkauannya) ataupun tentang Tuhan. Agama, dengan karakteristiknya
sendiri pula, memberikan jawaban atas, segala persoalan asasi yang dipertanyakan
manusia; baik tentang alam maupun tentang manusia ataupun tentang Tuhan serta
perubahan sosial.
Agama mengatur ilmu pengetahuan supaya bermoral dan beretika yang menegaskan
bahwa secara positif dan secara konkrit unsur-unsur mana yang tidak boleh dilanggar
dalam pengembangan ilmu pengetahuan

6. Peranan Etika bagi pengembangan dan penerapan dalam bidang keperawatan


Etika adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas. Etika adalah
sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Secara lebih detail, etika merupakan ilmu yang
membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.
Lebih lanjut, moral mengandung 4 pengertian yaitu (1) baik-buruk, benar-salah, tepat-
tidak tepat dalam kehidupan manusia; (2) tindakan benar, adil dan wajar; (3) kapasitas
untuk diarahkan pada kesadaran benar-salah dan kepastian untuk mengarahkan kepada
orang lain sesuai dengan kaidah tingkah laku yang dinilai benar-salah dan (4) sikap
seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, etika mencakup
analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggung jawab.
Etika dalam profesi keperawatan merupakan alat pengukur perilaku moral dalam
keperawatan. Dalam penyusunan alat pengukur ini, keputusan diambil berdasarkan pada
kode etik sebagai standar yang mengukur dan mengevaluasi perilaku perawat dengan

4
ngunakan kode etik keperawatan, organisasi profesi keperawatan dapat meletakkan
kerangka berpikir perawat untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab kepada
masyarakat, anggota tim kesehatan lain, dan kepada profesi. Untuk itu, etika
keperawatan saat ini penting sekali untuk dilakukan agar perawat dalam melakukan
asuhan keperawatan berperilaku sesuai dengan kode etik keperawatan sehingga tidak
menimbulkan kerugian pada pasien. Kerugian yang dialami pasien akan menyebabkan
ketidakpuasan pasien yang berdampak pada citra perawat dan profesi keperawatan.
7. Tanggung jawab social ilmuwan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa
Dan bernegara Republik Indonesia dalam hubungannya dengan nasionalisme
dan wawasan kebangsaan
dengan cara mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat untuk di terapkan langsung
kepada masyarakat baik melalui penelitian maupun dalam bentuk produk yang
bermanfaat bagi masyarakat.
Akhir-akhir ini berbagai produk aplikatif telah mulai banyak dipamerkan pada publik
Indonesia, yang semuanya merupakan karya anak bangsa. Sebagai sikap nasionalisme

Contohnya : (1) diproduksinya pesawat terbang CN 235 oleh PT DIRGANTARA (2)


pembuatan gerbong kereta api oleh PT INKA Madiun, (3) diproduksinya panser oleh PT
PINDAD sebagai hasil karya salah satudi produksi oleh personel TNI AD, (4) prototipe
mobil bertenaga hibrid (solar cell dan biodiesel) dari UGM, (5) launching gold
messenger, media jejaring sosial oleh mahasiswa UNS, (6) penggunaan anyaman pohon
pisang untuk pembuatan studio kedap suara, (7) produk-produk penelitian PKM DIKTI
yang jumlahnya ratusan per tahun menunggu untuk diangkat dalam skala produksi.
Semuanya merupakan produk asli, buatan ilmuwan muda Indonesia, yang prospektif.
Apabila Pemerintah bersedia untuk memfasilitasi hal ini, bukan tidak mungkin produk-
produk ini bisa mendunia, Apabila produk ini mampu bersaing dan digunakan di luar
Indonesia, maka kebanggaansebagai bangsa Indonesia akan meningkat. Hal ini akan
meningkatkannasionalisme dan wawasan kebangsaan kita semua.
Dengan demikian, semua ilmuwan Indonesia hendaknya bahu membahu untuk
melakukan inovasi terus menerus dan berkesinambungan untuk menghasilkan produk
teknologi terapan, yang mampu bersaing dan digunakan, baik di dalam maupun luar
negeri.

5
BAB II
1. Prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan suatu
penelitian disebut.....
2. Sebutkan unsur metode ilmiah
3. Hasil serapan indra dan pemikiran rasional yang terbuka terhadap pengujian lebih lanjut
menggunakan metode-metode ilmiah disebut....
4. Sebutkan keunggulan serta peranan Metode Ilmiah dalam perkembangan ilmu
pengetahuan...

JAWAB

1. Metode penelitian

2. Unsur metode ilmiah adalah :


a. Karakterisasi ( Pengamatan dan Pengukuran )
b. Hipotesis ( penjelasan teoretis yang merupakan dugaan atas hasil pengamatan dan
pengukuran Prediksi ( Dedukasi dari hipotesis )
c. Eksperimen (pengujian atas semua hal di atas)

3. Pengetahuan Pra ilmiah


4. Keunggulan metode ilmiah :
a. Mencintai kebenaran obyektif, bersifat adil dan kebenaran tidak absolut karena
kebenaran dicari secara terus menerus
b. dengan ilmu pengetahuan kita tidak dapat dengan mudah percaya pada takhayul,
astrologi maupun untung-untungan karena terjadi proses yang teratur di alam
c. dengan ilmu pengetahuan kita memiliki rasa ingin tahu yang lebih banyak
d. dengan ilmu pengetahuan kita tidak mudah berprasangka tetapi dapat berpikir
secara terbuka, obyektif, dan toleran
e. dengan metode ilmiah kita tidak mudah percaya tanpa bukti
f. dengan metode ilmiah kita jadi memiliki sikap optimis, teliti, berani membuat
pernyataan yang benar menurut ilmiah

6
BAB III
1. Indentifikasi salah satu fenomena keperawatan yang menarik dan akan mengangangkat
sebagai masalah penelitian

2. Berdasarkan fencmena tersebut, susunlah


a. Judul penelitian
b. Latar belakang
c. Masalah dan rumusan masalah
d. Tujuan Umum dan Khusus

JAWAB

1. FENOMENA
Sebagai tindak lanjut dari program pemerintah tentang penangganan status gizi
kurang pada balita atau BGM maka Puskesmas Muara Kati Melakukan Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) di berikan pada anak balita bawah garis merah (BGM) , gizi
kurang dan gizi buruk.
pada anak balita umur 6 bulan ke atas dilaksanakan di wilyah kerja puskesmas Muara
Kati, setelah di berikan PMT berupa susu, biskuit, bubur dan sebagainya peningkatan
status gizi balita tetap lamban, bahkan pernah dalam satu kasus gizi kurang tidak terjadi
peninkatan berat badan (BB) yang berarti. Dengan demikian penulis tertarik melakukan
penelitian secara mendalam tentang hubungan PMT terhadap status gizi balita dalam
hubungannya terhadap peningkatan BB Balita pada gizi kurang / gizi buruk di Puskesmas
Muara kati , Kecamatan Tiang Pumpung kepungut Kabupaten Musi Rawas.

2. A. JUDUL PENELITIAN

HUBUNGAN PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN (PMT) DAN


PENDIDIKAN SERTA POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP
PENINGKATAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI
DI PUSKESMAS MUARA KATI

Oleh: Amana, Program studi S1 Keperawatan Stikes Dehasen bengkulu

B. LATAR BELAKANG

Salah satu tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)


2005-2009 bidang kesehatan adalah memberikan prioritas kepada perbaikan kesehatan
masyarakat, perbaikan gizi pada bayi dan anak. Rencana strategi pemerintah untuk
menindaklanjuti tujuan RPJMN yang paling utama adalah menurunkan prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk, yaitu 2 (dua) masalah gizi utama yang disebabkan oleh
kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan protein (Depkes RI, 2006).
Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab masalah gizi di Indonesia seperti
keadaan fisiologis, keadaan ekonomi, sosial, politik, dan budaya Namun akar
permasalahan terletak pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai pertengahan

7
tahun 1997 yang sampai saat ini masih kita rasaka. Keadaan ini menyebabkan semakin
meningkatnya jumlah keluarga miskin yang diikuti dengan peningkatan prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk. Meningkatnya prevalensi gizi kurang maupun gizi buruk
memberi dampak terhadap kualitas sumber daya manusia di masa datang (Depkes RI,
2003). Hasil RISKESDAS tahun 2007 yaitu status gizi anak Balita untuk gizi kurang
dan Gizi Buruk tingkat nasional 18,4%, sedangkan NTB 24,8%, dan Kabupaten
Lombok Barat 27,6%. Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Propinsi NTB tersebut.
Tujuan pembangunan nasional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia
yang sehat dan mandiri. Strategi pencapaian tujuan tersebut adalah Melalui
Indonesia sehat 2010 dengan fokus membentuk manusia berkualitas. Indikatornya
adalah manusia yang mampu hidup lebih lama (terukur dengan umur harapan hidup),
menikmati hidup ehat (terukur dengan angka kesakitan dan kurang gizi),
mempunyai kesempatan meningkatkan ilmu pengetahuan (terukur dengan angka melek
huruf dan tingkat pendidikan), dan hidup sejahtera (terukur dengan tingkat pendapatan
per kapita yang cukup memadai atau bebas kemiskinan) (Yayuk Farida Baliwati dkk,
2004 : 8).
Usia dibawah 5 tahun atau balita merupakan usia penting dalam pertumbuhandan
perkembangan fisik anak. Pada usia ini anak masih rawan dengan gangguankesehatan,
baik jasmani maupun rohani. Salah satu faktor yang menentukan dayatahan tubuh
seorang anak adalah keadaan gizinya. Pertumbuhan anak pada masa balita sangatlah
pesat, sehingga membutuhkan zat gizi yang relatif lebih tinggi dari padaorang dewasa
kasus gizi buruk umumnya menimpa balita dengan latar belakang ekonomi lemah.
Gizi kurang dan gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Asupan gizi yang baik sering tidak bisa dipenuhi oleh seorang anak,
diantaranya karena faktor ekonomi keluarga, pendidikan, dan jumlah keluarga.
Pertumbuhan anak pada masa balitasangatlah pesat, sehingga membutuhkan zat gizi
yang relatif lebih tinggi dari pada orang dewasa
Salah satu tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2005-2009 bidang kesehatan adalah memberikan prioritas kepada perbaikan kesehatan
masyarakat, perbaikan gizi pada bayi dan anak. Rencana strategi pemerintah untuk
menindaklanjuti tujuan RPJMN yang paling utama adalah menurunkan prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk, yaitu 2 (dua) masalah gizi utama yang disebabkan oleh
kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan protein (Depkes RI, 2006).
Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab masalah gizi di Indonesia seperti
keadaan fisiologis, keadaan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Namun akar
permasalahan terletak pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai pertengahan
tahun 1997 yang sampai saat ini masih kita rasakan. Keadaan ini menyebabkan
semakin meningkatnya jumlah keluarga miskin yang diikuti dengan peningkatan
prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Meningkatnya prevalensi gizi kurang maupun
gizi buruk memberi dampak terhadap kualitas sumber daya manusia di masa datang
(Depkes RI, 2003). Hasil RISKESDAS tahun 2007 yaitu status gizi anak Balita untuk
gizi kurang dan Gizi Buruk tingkat nasional 18,4%, sedangkan NTB 24,8%, dan
Kabupaten Lombok Barat 27,6%. Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Propinsi
NTB tersebut masih jauh dari target pencapaian nasional yaitu 18,5% pada tahun 2015.
Keadaan ini akan terus meningkat jika tidak memperoleh penanganan yang tepat dan
baik (Depkes RI, 2009). Untuk menanggulangi permasalahan tersebut di atas, sejumlah

8
kegiatan dilakukan bertumpu kepada perubahan perilaku terutama dalam program
pemberikan air susu ibu (ASI) eksklusif pada bayi mulai lahir sampai berusia 6 bulan
dan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) yang cukup setiap hari.
Nilai gizi yang dianjurkan untuk MP-ASI bayi dan anak yaitu 250 kalori, protein 6–8
gram untuk bayi usia 6–11 bulan, dan sebanyak 450 kalori, 12–15 gram protein untuk
usia anak 12–24 bulan (WHO, 1998). UNICEF pada tahun 1999, dalam penelitiannya
menemukan adanya kualitas MP-ASI yang dibuat di rumah tangga terdiri dari 50% dari
kecukupan energi, cukup protein, rendah zat gizi mikro (30% Zn dan Fe), serta 50%
Vitamin (Depkes RI, 2003). Beberapa jenis MP-ASI buatan pabrik memberi
kemudahan bagi ibu-ibu yang tidak sempat menyediakan makanan tambahan bagi bayi
dan anaknya, namun harganya masih relatif mahal bagi kelompok masyarakat miskin.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan prevalensi gizi
kurang/buruk adalah dengan pemberian MP-ASI blendeed food (difortifikasi) yang
diberikan secara gratis, jenis MPASI yang diberikan bermerek vetadele yang
merupakan proyek bantuan UNICEF. Program MPASI ini sejak tahun 2003 hingga
tahun 2016 terus diberikan pada anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk pada
tahap rehabilitasi secara nasional
Upaya pemerintah tersebut belum juga dapat menuntaskan kasus gizi kurang
dan gizi buruk. Oleh karena itu, perlu suatu teorbosan yang dilakukan oleh, dari, dan
untuk masyarakat melalui model perbaikan gizi dengan Kelompok Gizi Masyarakat.
Diharapkan dengan membentuk kelompok, masyarakat dapat berperan aktif,
meningkatkan kemampuan, dan kemandirian masyarakat untuk peduli dalam
memecahkan dan menerapkan keluarga sadar gizi untuk meningkatkan status gizi anak
balitanya (Depkes RI, 2009). Untuk mengetahui peran metode kelompok gizi dalam
pemberian makanan tambahan agar memberi hasil sesuai dengan tujuan dan mampu
memenuhi kebutuhan sasaran, terutama kaitannya dalam meningkatkan status gizi,
maka perlu dilakukan studi yang tujuannya mengetahui apakah ada pengaruh
pemberian makanan tambahan melalui metode kelompok gizi terhadap peningkatan
status gizi anak balita BGM Di wilayah kerja puskesmas muara kati .
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan tujuan
perbaikan gizi adalah untuk meningkatkan mutu gizi perorangan dan masyarakat. Mutu
gizi akan tercapai antara lain melalui penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu
dan profesional di semua institusi pelayanan kesehatan. Salah satu pelayanan kesehatan
yang penting adalah pelayanan gizi di Puskesmas, baik pada Puskesmas Rawat Inap
maupun pada Puskesmas Non Rawat Inap. Pendekatan pelayanan gizi dilakukan
melalui kegiatan spesifik dan sensitif, sehingga peran program dan sector terkait harus
berjalan sinergis. Pembinaan tenaga kesehatan/tenaga gizi puskesmas dalam
pemberdayaan masyarakat menjadi hal sangat penting.
Puskesmas merupakan penanggung jawab penyelenggara upaya kesehatan
tingkat pertama. Untuk menjangkau seluruh wilayah kerjanya, Puskesmas diperkuat
denganPuskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, dan Upaya Kesehatanan
Berbasis Masyarakat (UKBM) yang disebut sebagai Puskesmas dan jejaringnya.
Sedangkan untuk daerah yang jauh dari sarana pelayanan rujukan, didirikan Puskesmas
Rawat Inap. Menurut data dari Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan
per Desember tahun 2011 jumlah Puskesmas di seluruh Indonesia adalah 9.321
unit,diantaranya 3.025 unit Puskesmas Rawat Inap, dan selebihnya yaitu 6.296 unit

9
Puskesmas non Rawat Inap Puskesmas dan jejaringnya harus membina
Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat.
Pelayanan gizi di Puskesmas terdiri dari kegiatan pelayanan gizi di dalam
gedung dan di luar gedung. Pelayanan gizi di dalam gedung umumnya bersifat
individual, dapat berupa pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Kegiatan di dalam gedung juga meliputi perencanaan program pelayanan gizi yang
akan dilakukan di luar gedung. Sedangkan pelayanan gizi di luar gedung umumnya
pelayanan gizi pada kelompok dan masyarakat dalam bentuk promotif dan preventif.
Dalam pelaksanaan pelayanan gizi di Puskesmas, diperlukan pelayanan yang bermutu,
sehingga dapat menghasilkan status gizi yang optimal dan mempercepat proses
penyembuhan pasien. Pelayanan gizi yang bermutu dapat diwujudkan apabila tersedia
acuan untuk melaksanakan pelayanan gizi yang bermutu sesuai dengan 4 pilar dalam
Pedoman Gizi Seimbang (PGS).
Puskesmas Muara kati merupakan pusat pelayanan kesehatan yang
berada di kecamatan Tiang Pumpung kepungut Kabupaten Musi rawas, provinsi
Sumatera Selatan, mempunyai 10 desa binaan, menyelenggarakan upaya kesehatan
yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh
masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat
dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan
dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai
derajad kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada
perorangan.
Salah satu pelayanan UKM yang dilaksanakan adalah pelayanan gizi
masyarakat, Masi terdapat nya kasus gizi kurang di wilayah kerja puskesmas muara
kati memicu penulis untuk menilai efek dari pemberian makanan tambahan terhadap
status gizi balita yang mendapatkan pelayanan
Bagaimanakah masalah gizi buruk di indonesia ?
Sebagai salah satu Indikator yang mudah ditemui dan diukur dari Ketahanan
Pangan Rumah Tangga, status Gizi Balita saat ini perlu mendapat perhatian yang
khusus.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, besaran masalah gizi pada
balita di Indonesia yaitu 19,6% gizi kurang, diantaranya 5,7% gizi buruk; gizi lebih
11,9%,stunting (pendek) 37,2%. Proporsi gemuk menurut kelompok umur, terdapat
angka tertinggi baik pada balita perempuan dan laki-laki pada periode umur 0-5 bulan
dan 6-11 bulan dibandingkan kelompok umur lain. Hal ini menunjukkan bahwa
sampai saat ini masih banyak masyarakat khususnya ibu balita yang mempunyai
persepsi tidak benar terhadap balita gemuk. Data masalah Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium (GAKI) berdasarkan hasil survei nasional tahun 2003 sebesar
11,1% dan menurut hasil Riskesdas 2013, anemia pada ibu hamil sebesar 37,1%.
Apabila ditinjau menurut provinsi, terlihat ada 19 provinsi yang mempunyai
proporsi lebih tinggi dari angka Nasional. Proporsi tertinggi Balita Giburkur terdapat
pada provinsi Nusa Tenggara Timur (33%). Sedangkan proporsi terendah Giburkur
pada provinsi Bali (13,2 %).
Salah satu masalah gizi kurang Indonesia yaitu Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

10
Dampak dari tingginya angka BBLR ini akan berpengaruh pada tingginya angka
kematian bayi. Selain itu, masalah gizi kurang lainnya yaitu kurang gizi makro seperti
kurang kalori protein, dan kurang gizi mikro seperti gangguan akibat kekurangan
yodium, anemia kekurangan zat gizi besi serta kekurangan vitamin A.
Berdasarkan data Departemen kesehatan tahun 2014 yang dikutip dari BPS tahun
2014, dapat diketahui bahwa dari sekitar 5 juta anak balita terdapat 27,5 persen yang
kekurangan gizi, 19,2 persen yang berada dalam tingkat gizi kurang, dan 8,3 persen
termasuk gizi buruk, meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit, kasus gizi buruk lebih
cepat menarik perhatian media massa karena dapat terlihat nyata dengan penderitaan
anak yaitu sakit, kurus, bengkak (busung), dan lemah. Selain itu mereka mudah dikenal
dan dihitung karena dibawa ke rumah sakit. Berbeda dengan anak gizi kurang,
meskipun jumlahnya lebih banyak, mereka kurang mendapat perhatian karena tidak
mudah diketahui secara umum.
Pada dasarnya banyak cara yang dapat dilakukan oleh orang tua dan masyarakat
untuk menjaga agar anak yang sehat dan bergizi kurang dapat terhindar dari gizi buruk.
Salah satunya adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak (terutama
baduta) dengan KMS.
Data tahun 2016 di Kabupaten Musi rawas menunjukkan masih banyak balita
yang status gizinya berada dibawah garis standar yaitu sebanyak 12,04%. Dari hasil
survei di Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas diketahui bahwa dari beberapa
Puskesmas yang ada dilakukan pemantauan status gizi pada balita dengan sampel
tertentu didapatkan 5 Puskesmas yang terdapat kasus gizi kurang dan gizi buruk
secara berturut-turut adalah sebagai berikut : Puskesmas Cecar 13,3%,
Puskesmas ciptodadi 12,6%, Puskesmas Muara Kelingi 11,4%, Puskesmas
Muara Kati 2,8% (Dinkes Kab. Musi Rawas : 2017).
Balita yang berada dibawah garis merah (BGM) di Puskesmas Muara Kati pada
tahun 2016 yaitu 2,8%. Pada tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 1,08%
(Dinkes Kab. Musi Rawas, 2017 ).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti ingin mengetahui apakah ada
hubungan antara pemberian makanan tambahan terhadap peningkatan status gizi anak
balita di Puskesmas Muara Kati

Penyebab Timbulnya Masalah Gizi Kurang dan Gizi Buruk

1. Penyebab langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya
gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga
penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada
akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula anak yang tidak memperoleh
cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang
penyakit. Asupan makanan yang kurang, dalam hal ini pemberian Air Susu Ibu dan
pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) merupakan penyebab langsung
terjadinya gizi kurang dan gizi buruk.
2. Penyebab tidak langsung terdapat tiga penyebab tidak langsung yang menyebabkan
gizi kurang dan gizi buruk yaitu:

11
1) Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diaharapkan
mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam
jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Namun kadang-kadang
bencana alam, perang, maupun kebijaksanaan politik maupun ekonomi yang
memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini.
2) Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan masyarakat
diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak
agar dapat tumbuh kembang dengan baik, baik fisik, mental, dan sosial. Suatu
studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan anak
balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang
tua mereka semuanya berprofesi sebagi petani. Dari studi ini diketahui pola
pengasuhan anak berpengaruh terhadap timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh
ibunya sendiri dengan kasih sayang, mengerti akan pentingnya ASI, Posyandu,
kebersihan, anaknya akan lebih sehat.
3) Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistem pelayanan
kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana
pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan. Pelayan kesehatan yang dimaksu yaitu imunisasi, penanganan
diare dengan oralit, tindakan cepat pada anak balita yang tidak naik berat badan,
pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di
Posyandu, Penyediaan Air Bersih, kebersihan lingkungan, dan sebagainya.
Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan
keterampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan
keterampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola
pengasuhan maka akan makin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan
kesehatan.

Pokok masalah dimasyarakat


Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya
masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langsung. Akar
masalah Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya pemanfaatan
sumber daya masyarakat terkait dengan meningkatnya pengangguran, inflasi dan
kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi, politik dan keresahan sosial yang
menimpa Indonesia sejak tahun 1997. Keadaan tersebut telah memicu munculnya
kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan ke luarga yang tidak
memadai.

Bagaimana peran pemerintah dalam menanggulangi masalah gizi buruk


di Indonesia
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut di atas, sejumlah kegiatan dilakukan
bertumpu kepada perubahan perilaku terutama dalam program pemberikan air susu ibu
(ASI) eksklusif pada bayi mulai lahir sampai berusia 6 bulan dan memberikan
makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) yang cukup setiap hari. Nilai gizi yang
dianjurkan untuk MP-ASI bayi dan anak yaitu 250 kalori, protein 6–8 gram untuk bayi
usia 6–11 bulan, dan sebanyak 450 kalori, 12–15 gram protein untuk usia anak 12–24

12
bulan (WHO, 1998). UNICEF pada tahun 1999, dalam penelitiannya menemukan
adanya kualitas MP-ASI yang dibuat di rumah tangga terdiri dari 50% dari kecukupan
energi, cukup protein, rendah zat gizi mikro (30% Zn dan Fe), serta 50% Vitamin
(Depkes RI, 2003).

Beberapa jenis MP-ASI buatan pabrik memberi kemudahan bagi ibu-ibu yang
tidak sempat menyediakan makanan tambahan bagi bayi dan anaknya, namun harganya
masih relatif mahal bagi kelompok masyarakat miskin.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan prevalensi gizi
kurang/buruk adalah dengan pemberian MP-ASI blendeed food (difortifikasi) yang
diberikan secara gratis, jenis MPASI yang diberikan merupakan proyek bantuan
UNICEF dan MP ASI biskuit untuk usia balita yang pada kemasannya berlabel
DEPKES RI untuk direktorat gizi masyarakat yang mengandung 10 vitamin dan 7
mineral, Program MPASI ini sejak tahun 2003 hingga tahun 2016 terus diberikan pada
anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk pada tahap rehabilitasi secara
nasional (Depkes RI, 2003). PB/U (tidak ada perbedaan yang bermakna secara
statistik). Upaya pemerintah tersebut belum juga dapat menuntaskan kasus gizi kurang
dan gizi buruk di Indonesia.

C. MASALAH DAN RUMUSAN MASALAH

1. Apakah ada hubungan antara pemberian makan tambahan ( PMT ), makanan


pendamping air susu ibu ( MP ASI) pada balita bawa garis merah ( BGM )
dengan peningkatan status gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Muara Kati
Kabupaten Musi rawas ?
2. Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan pola makan
balita di wilayah kerja Puskesmas Muara Kati Kabupaten Musi rawas ?
3. Apakah ada hubungan antara pola makan balita dengan status gizi balita di
wilayah kerja Puskesmas Muara kati KabupatenMusi rawas ?
4. Apakah ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita di
wilayah kerja Puskesmas Muara kati Kabupaten Musi Rawas ?

D. TUJUAN UMUM DAN TUJUAN KHUSUS

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Apakah ada pengaruh pemberian makan tambahan terhadap
peningkatan status gizi balita kurang energi protein terhadap peningkatan status
gizi anak Balita BGM di wilayah kerja Puskesmas Muara Kati Kabupaten Musi
Rawas.

2. Tujuan Khusus
a) Apakah ada hubungan antara pola makan balita dengan status gizi balita di
wilayah kerja Puskesmas Muara kati Kabupaten Musi Rawas
b) Apakah ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita di

13
wilayah kerja Puskesmas Muara kati Kabupaten Musi Rawas
c) Membantu masyarakat dalam upaya mencegah bertambahnya penderita gizi
buruk di Indonesia
d) Untuk Mengetahui pran pemerintah dalam mengatasi masalah Gizi di
Indonesia
e) Mengetahui pokok permasalahan di masyarakat
f) untuk mengetahui pengaruh Pemberian Makanan Tambahan melalui Metode
Kelompok Gizi terhadap peningkatan status gizi anak Balita BGM di
wilayah kerja Puskesmas Muara kati
g) Untuk memenuhi tugas belajar mata kuliah metode penelitian

14
BAB IV
A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengetahuan Gizi

Menurut Depdikbud (1994 : 991), pengetahuan adalah segala sesuatu yang


diketahui; kepandaian. Gizi adalah zat makanan pokok yang diperlukan
bagipertumbuhan dan kesehatan badan (Depdikbud, 1994 : 320). Menurut
Soekidjo Notoatmodjo (2003 : 122-123) pengetahuan yang tercakup dalam
domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu sebagai berikut :

a) Tahu (know)
diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah.
b) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai mengingat suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c) Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagi kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipejari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
d) Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Sintesis
(synthetis) Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada.
e) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Menurut Suhardjo dkk, (1986 : 31), suatu hal yang meyakinkan tentang
pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :
1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
2) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya
mampumenyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang
optimal, pemeliharaan dan energi.
3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan panan dengan baik bagi kesejahteraan gizi

15
2. Pola Makan

Lie Goan Hong dalam Soegeng Santoso dan Anne lies Ranti (1999 : 89)
mengemukakan bahwa pola makan adalah berbagai informasi yang memberi
gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari
oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat
tertentu. Menurut Suhardjo dkk, (1986 : 251), pola makan adalah cara yang
ditempuh seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan dan
mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, udaya
dan sosial. Pola makan adalah informasi tentang macam-macam dan jumlah
zatzat gizi dalam bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh seseorang.

a. Macam-Macam Zat Gizi

Pangan dan gizi sangat berkaitan erat karena gizi seseorang sangat tergantung
pada kondisi pangan yang dikonsumsinya. Masalah pangan antara lain
menyangkut ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang
dipengaruhi oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan adat/kepercayaan
yang terkait dengan tabu makanan. Sementara, permasalahan gizi tidak hanya
terbatas pada kondisi kekurangan gizi saja, melainkan tercakup pula kondisi
kelebihan gizi (Yayuk Farida Baliwati dkk, 2004 : 19).

Menurut Sunita Almatsier (2004 : 1), zat gizi adalah ikatan kimia yang
diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan
energi,membangun dan memelihara jaringan serta mengatur proses-proses
kehidupan.
Zat-zat makanan yang diperlukan tubuh dapat dikelompokkan menjadi
5, yaitu : karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
1) Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber tenaga utama kegiatan sehari-hari
Terdiri dari unsur C, H, dan O. Berdasarkan gugus penyusun gulanya
dapat dibedakan menjadi monosakarida, disakarida dan polisakarida.
Karbohidrat terdiri dari tepung terigu seperti : nasi; kentang; mie;
ubi; singkong dll., gula seperti : gula pasir; gula merah dll. Dampak
yang ditimbulkan apabila kekurangan karbohidrat sebagai sumber
energi dan kekurangan protein adalah KEP (Kurang Energi Protein).
2) Protein
3) Terdiri dari unsur C, H, O dan N, dan kadang – kadang S dan P,
diperoleh melalui tumbuh-tumbuhan (protein nabati) dan melalui
hewan (protein hewani) berfungsi : Membangun sel – sel yang telah
rusak ; membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon ;
membentuk zat anti energi, dalam hal ini tiap gram protein
menghasilkan sekitar 4,1 kalori Perlu diperhatikan bahwa apabila
tubuh menderita kekurangan protein, maka serangan penyakit busung
lapar (hongeroedeem) akan selalu terjadi. Protein banyak terdapat

16
4) pada ikan, daging, telur, susu tahu, tempe dll. Lemak Lemak juga
merupakan sumber tenaga. Lemak merupakan senyawa organik yang
majemuk, terdiri dari unsur-unsur C, H, O yang membentuk senyawa
asam lemak dan gliserol (gliserin) apabila bergabung dengan zat lain
akan membentuk lipoid --- fosfolipid dan sterol. Berfungsi : penghasil
kalori terbesar yang dalam hal ini tiap gram lemak menghasilkan
sekitar 9,3 kalori ; sebagai pelarut vitamin tertentu, seperti A, D, E, K
; sebagai pelindung alat-alat tubuh dan sebagai pelindung tubuh dari
temperatur rendah.
5) Vitamin
Vitamin dikelompokkan menjadi; vitamin yang larut dalam air,
meliputi vitamin B dan C dan vitamin yang larut dalam lemak/minyak
meliputi A, D, E, dan K. di Indonesia saat ini anak kelompok balita
menunjukkan prevalensi tinggi untuk defisiensi vitamin A. Vitamin A
(Aseroftol) berfungsi : penting bagi pertumbuhan sel-sel epitel dan
penting dalam proses oksidasi dalam tubuh serta sebagai pengatur
kepekaan rangsang sinar pada saraf mata.
6) Mineral
merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang sangat
sedikit. Contoh mineral adalah zat besi/Fe, zat fosfor (P), zat kapur
(Ca), zat fluor (F), natrium (Na), chlor (Cl), dan kalium (K).
Umumnya mineral terdapat cukup di dalam makanan sehari-hari.
Mineral mempunyai fungsi : sebagai pembentuk berbagai jaringan
tubuh, tulang, hormon, dan enzim ; sebagai zat pengatur berbagai
proses metabolisme, keseimbangan cairan tubuh, proses pembekuan
darah. Zat besi atau Fe berfungsi sebagai komponen sitokrom yang
penting dalam pernafasan dan sebagai komponen dalam hemoglobin
yang penting dalam mengikat oksigen dalam sel darah merah.

b. Kebutuhan Gizi Balita

Gizi kurang banyak menimpa anak-anak balita sehingga golongan


anak ini disebut golongan rawan gizi. Masa peralihan antara saat disapih dan
mulai mengikuti pola makanan orang dewasa atau bukan anak merupakan
masa gawat karena ibu atau pengasuh anak mengikuti kebiasaan yang keliru
(Sajogyo et al, 1994 : 31). Kebutuhan zat gizi tidak sama bagi semua orang,
tetapi tergantung banyak hal antara lain umur (Soekirman, 1999/2000:38). Di
bawah ini adalah angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada bayi
dan balita (per orang per hari).

Tabel 1Kebutuhan Zat Gizi Balita


Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Rata-Rata Per Hari

17
Golongan Berat Tinggi Energi Protein Vitamin Besi/Fe
Umur Badan Badan (cm) (Kkal) (g) A (RE) (mg)
(kg)
0-6 bln 5.5 60 560 12 350 3
7-12 bln 8.5 71 800 15 350 5
1-3 bln 12 90 1250 23 350 8
4-6 bln 18 110 1750 32 460 9
sumber : Muhilal, Fasli Djalal dan hardinsyah (1998, Angka kecukupan gizi yang dianjurkan,
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI, Jakarta:LIPI) dalam Soekirman, 1999/2000 : 39

Tabel 2. Pola Makanan Balita

Umur Bentuk Makanan

0-6 ASI Ekslusif

6-12 Makanan Lumat


Makanan Lembek
12-24 Makanan Keluarga
1-11/2 Piring Nasi / penganti
2-3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati ½ mangkuk sayur
2-3 potong buah-buahan 1 gelas susu

24 ke atas 1-3 piring nasi/pengganti


2-3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati
1-1½ mangkuk sayur
2-3 potong buah-buahan 1-2 gelas susu

Sumber : DepKes RI,


Keketerangan :
- Makanan lumat yaitu makanan yang dihancurkan dibuat dari tepung dan
tampak homogen.
Contoh : bubur susu,bubur sumsum, biskuit ditambah air panas, pepaya
saring, pisang saring dll.
- Makanan lembek atau lunak yaitu makanan yang dimasak dengan banyak
air dan tampak berair.
Contoh : bubur nasi, bubur ayam, bubur kacang ijo (DKK RI, 2000 : 33).

Suatu makanan campuran dengan pangan pokok sebagai sumber protein


yang baik, beberapa buah dan sayuran serta beberapa lemak atau minyak akan
mengandung komponen pokok makanan seimbang jika dimakan dalam jumlah
yang cukup dan sehat. Pemilihan pangan yang dimakan sedapat-dapatnya harus
beraneka ragam. Suatu ketentuan yang baik untuk diikuti ialah makan sekurang-
kurangnya sepuluh jenis pangan yang berlainan setiap hari (Suhardjo dkk, 1986 :
110).

18
Pengetahuan tentang kadar zat gizi dalam berbagai bahan makanan bagi
kesehatan keluarga dapat membantu ibu memilih bahan makanan yang harganya
tida begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi (Sjahmien Moehji, 2002 : 6).
Setiap anggota keluarga khususnya balita harus cukup makan setiap hari
untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sehingga keluarga perlu belajar menyediakan
gizi yang baik di rumah melalui pangan yang disiapkan dan dihidangkan serta
perlu membagikan pangan di dalam keluarga secara merata, sehingga setiaporang
dapat makan cukup pangan yang beraneka ragam jenisnya guna memenuhi
kebutuhan perorangan (Suhardjo dkk, 1986 : 114).
Membentuk pola makan yang baik untuk seorang anak menuntut kesabaran
seorang ibu. Pada usia pra sekolah, anak-anak seringkali mengalami fasesulit
makan. Kalau problem makan ini berkepanjangan maka dapat
mengganggutumbuh kembang anak karena jumlah dan jenis gizi yang masuk
dalam tubuhnya kurang (Ali Khomsan, 2004 : 33).

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan

1) Pendapatan
Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi
pertama pada kondisi yang umum (Suhardjo, 2003 : 8). Pada umumnya
jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung
untuk membaik juga (Suhardjo dkk, 1986 : 25).
Besar kecilnya pendapatan keluarga berpengaruh terhadap pola
konsumsi makanan dan pola konsumsi makanan dipengaruhi pula oleh
faktor sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu bagi suatu masyarakat
dengan tingkat pendapatan rendah, usaha perbaikan gizi erat
hubungannya dengan usaha peningkatan pendapatan dan pembangunan
sumber daya manusia (Djiteng Roedjito D., 1989:1).
2) Banyaknya anggota keluarga
Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin,
akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus
diberi makan jumlahnya sedikit. Anak yang tumbuh dalam suatu
keluarga yang miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara
seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling
terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebagian memang demikian,
sebab seandainya besarnya keluarga bertambah, maka pangan untuk
setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa
anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak
daripada anak-anak yang lebih tua (Suhardjo dkk, 1986 : 28).
3) Budaya
Berbagai kebiasaan yang bertalian dengan pantang makan
makanan tertentu masih sering kita jumpai terutama di daerah pedesaan,
misalnya larangan terhadap anak untuk makan telur, ikan ataupun
daging hanya berdasarkan kebiasaan yang tidak ada dasarnya dan hanya
diwarisi secara turun temurun, padahal anak itu sendiri sangat
memerlukan bahan makanan seperti itu guna keperluan pertumbuhan
tubuhnya (Sjahmien Moehji, 2002 : 5).
19
Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan
penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip
ilmu gizi. Misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh sesuatu budaya
masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan
tertentu (Suhardjo, 2003 : 9). Dikemukakan juga oleh Yetty Nency dan
Muhamad Thohar (2005 : 4), bahwa kebiasaan, mitos atau
kepercayaan/adapt istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam
pemberian makan akan sangat merugikan anak.
A. Berg (1986) dalam Peranan Gizi Dalam Pelaksanaan
Pembangunan Nasional yang dikutip oleh G. Kartasapoetra dan
Marsetyo (2002 : 13), mengatakan bahwa diberbagai negara atau daerah
terdapat tiga kelompok masyarakat yang biasanya mempunyai makanan
pantangan, yaitu anak kecil, ibu hamil dan ibu menyusui. Khusus
mengenai hal itu di Indonesia antara lain dikemukannya bahwa pada
anak kecil di banyak daerah, makanan yang bergizi dijauhkan dari anak,
karena takut akan akibat-akibat yang sebaliknya. Di berbagai daerah
ikan dilarang untuk anak-anak karena menurut kepercayaan mereka,
ikan dapat menyebabkan cacingan, sakit mata atau sakit kulit. Di tempat
lain kacang-kacangan yang kaya dengan protein seringkali tidak
diberikan kepada anak-anak karena khawatir perutnya anaknya akan
kembung.
4) Pengetahuan
Faktor yang mempengaruhi pola makan dalam keluarga khususnya pada
balita adalah faktor pengetahuan. Pembahasan tentang pengetahuan
telah diuraikan pada bagian pengetahuan gizi ibu.

3. Status Gizi

a. Pengertian Status Gizi


Menurut Suhardjo (2003 : 55), status gizi adalah keadaan kesehatan
individu-individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat
kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan
makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. Status gizi adalah
ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau
perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu. Contoh : KEP
merupakan keadaan tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran energi dan
protein di dalam tubuh seseorang (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 18).
Menurut Dorice M. dalam Sarwono Waspadji (2004 : 88), mengatakan bahwa
status gizi optimal adalah keseimbangan antara asupan zat gizi dengan
kebutuhan zat gizi. Dengan demikian asupan zat gizi mempengaruhi status gizi
seseorang. Status gizi adalah keadaan kesehatan individu yang ditentukan oleh
keseimbangan antara asupan zat gizi dengan keburtuhan zat gizi.

b. Penilaian Status Gizi

Menurut I Dewa Nyoman Supariasa dkk, (2001 : 19), penilaian status gizi

20
dibagi menjadi 2 yaitu penilaian status gizi secara langsung dan penilaian
status gizi secara tidak langsung.

1) Penilaian Status Gizi Secara langsung


Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi 4 penilaian
yaitu : antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.
(a). Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia.
Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (I Dewa Nyoman
Supariasa dkk, 2001 : 19). Antropometri secara umum digunakan
untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.
Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan
proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh
(I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 19). Indeks antropometri ada 3
yaitu :
(1) Berat badan menurut umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan
gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap
perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang
penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunny a
jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan normal,
dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara
konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan
berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam
keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan
berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari
keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka
indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu
cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan
yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status
gizi seseorang saat ini. (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 :
56).
(b). Tinggi badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan
normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.
Pertumbuhan tingi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang
sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak
dalam waktu yang relatiflama.
Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini
menggambarkan status gizi masa lalu (I Dewa Nyoman
Supariasa dkk, 2001 : 57).
(c). Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

21
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi
badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan
searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan
tertentu. (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 19). Dari
berbagai jenis-jenis indeks tersebut, untuk
menginterpretasikannya dibutuhkan ambang batas, penentuan
ambang batas diperlukan kesepakatan para Ahli Gizi. Ambang
batas dapat disajikan kedalam 3 cara yaitu, persen terhadap
median, persentil dan standar deviasi unit.
i). Persentil Terhadap Median Median adalah nilai tengah dari suatu
populasi. Dalam antropometri gizi median sama dengan persentil 50

Tabel 3. Klasifikasi Status Gizi Menggunakan Persen


Terhadap Median

Indeks
Status Gizi
BB/U TB/U BB/TB

Gizi Baik > 80 % > 90 % > 90 % > 90 %

Gizi Sedang 71 % - 80 % 81 % – 90% 81 % –90%

Gizi Kurang 61 % - 70% 71 % - 80 % 71 % - 80 %

Gizi Buruk ≤ 60 % ≤70% ≤70%

Sumber : Yayah K. Husaini, Antropometri Sebagai Indeks gizi dan


Kesehatan Masyarakat. Medika, No.8 Th.XXIII, 1997. Hlm 269 dalam
(I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 70).

ii). Persentil
Para pakar merasa kurang puas dengan menggunakan persen terhadap
median, akhirnya mereka memilih cara persentil. Persentil 50 sama dengan
median atau nilai tengah dari jumlah populasi berada di atasnya dan
setengahnya berada di bawahnya. National Center for Health Statistics
(NCHS) merekomendasikan persentil ke 5 sebagai batas gizi baik dan
kurang, serta persentil 95 sebagai batas gizi lebih dan gizi baik (I Dewa
Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 70). iii). Standar Deviasi Unit (SD)
Standar deviasi unit disebut juga Z-skor. WHO menyarankan
menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan (I
Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 70).
Rumus perhitungan Z – Skor :
Z – Skor = Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku Rujukan
NilaiSimpang Baku Rujukan
Tabel 4.
Klasifikasi Status Gizi Menggunakan Z – Skor

Status Gizi Indeks BB/U, TB/U, BB/TB

Gizi Lebih ≥ + 2 SD
Gizi Baik ≥ - 2 SD dan < + 2 SD
Gizi Kurang ≥ - 3 SD dan < - 2 SD
Gizi Buruk < - 3 SD
Sumber : Soekirman, 1999/2000 : 76.

b. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk
menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas
perubahanperubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
(supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa
oral atau pada organorgan yang dekat dengan permukaan tubuh seperti
kelenjar tiroid (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 19).
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei secara cepat.
Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara tepat tanda-tanda klinis
umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu
digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan
melakukan pemeriksaan secara fisik yaitu tanda (sign) dan gejala
(symptom) atau riwayat penyakit (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001
: 19).
c. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain :
darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot
(I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 19).
Metode ini digunakan untuk peringatan bahwa kemungkinan akan
terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis
yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak
23
menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik (I Dewa
Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 19).

d. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan
status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan)
dan melihat perubahan struktur dari jaringan (I Dewa Nyoman Supariasa
dkk, 2001 : 20) .
Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian
buta senja epidemik. Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap (I
Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 20)

2). Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu :
survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
a. Survei Konsumsi Pangan
Survei konsumsi pangan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 20). Pengumpulan
data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang
konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu.
Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat
gizi (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 20).
b. Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab
tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi (I Dewa
Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 20).
Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak
langsung pengukuran status gizi masyarakat (I Dewa Nyoman
Supariasa dkk, 2001 : 19).
c. Faktor Ekologi
Bengoa dalam I Dewa Nyoman Supariasa dkk, (2001 : 21),
mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai
hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.
Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi
seperti iklim, tanah, irigasi dll.
Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk
mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar
untuk melakukan program intervensi gizi (I Dewa Nyoman Supariasa
dkk, 2001 : 21).

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi


Menurut Sjahmien Moehji (2002 : 4), ada beberapa hal yang sering
24
merupakan penyebab terjadinya gangguan gizi, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Sebagai penyebab langsung gangguan gizi, khususnya
gangguan gizi pada bayi dan balita adalah tidak sesuainya jumlah zat gizi
yang mereka eroleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh mereka atau pola
makan yang salah dan adanya penyakit infeksi atau status kesehatan.
Pembahasan tentang pola makan telah diuraikan di atas. Anak balita
merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan pesat, sehingga
memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak
balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita
akibat kekurangan gizi (KKP). Beberapa kondisi dan anggapan orang tua dan
masyarakat justru merugikan penyediaan makan bagi kelompok balita ini :

1) Anak balita masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke makanan
orang dewasa, jadi masih memerlukan adaptasi.
2) Anak balita dianggap kelompok umur yang paling belum berguna bagi
keluarga, baik tenaga maupun kesanggupan kerja penambah
keuangan.anak itu sudah tidak begitu diperhatikan dan pengurusannya
sering diserahkan kepada saudaranya yang lebih tua, tetapi sering belum
cukup umur untuk mempunyai pengalaman dan ketrampilan untuk
mengurus anak dengan baik.
3) Ibu sering sudah mempunyai anak kecil lagi atau sudah bekerja penuh,
sehingga tidak lagi dapat memberikan perhatian kepada anak balita,
apalagi mengurusnya.
4) Anak balita masih belum dapat mengurus sendiri dengan baik, dan
belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukannya
untuk makanannya.
5) Anak balita mulai turun ke tanah dan berkenalan dengan berbagai
kondisi yang memberikan infeksi atau penyakit lain, padahal tubuhnya
belum cukup mempunyai immunitas atau daya tahan untuk melawan
bahaya kepada dirinya (Achmad Djaeni Sediaoetama, 2000 : 239).
Infeksi dan demam dapat menyebabkan merosotnya nafsu makan
atau menimbulkan kesulitan manelan dan mencerna makanan. Parasit
dalam usus, seperti cacing gelang dan cacing pita bersaing dengan tubuh
dalam memperoleh makanan dan dengan demikian menghalangi zat gizi
ke dalam arus darah. Keadaan yang demikian membantu terjadinya
kurang gizi (Suhardjo dkk, 1986 : 33).

d. Hubungan antara Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Makan Balita dengan


Status Gizi Balita

Menurut Suhardjo (2003 : 11), dalam penyediaan makanan keluarga


dalam hal ini dilakukan oleh seorang ibu, banyak yang tidak memanfaatkan
bahan makanan yang bergizi, hal ini disebabkan salah satunya karena
kurangnya pengetahuan akan bahan makanan yang bergizi.
Semakin banyak pengetahuan gizinya, semakin diperhitungkan jenis dan
kwantum makanan yang dipilih untuk dikonsumsinya. Awam yang tidak
25
mempunyai cukup pengetahuan gizi, akan memilih makanan yang paling
menarik pancaindera, dan tidak mengadakan pilihan berdasarkan nilai gizi
makanan. Sebaliknya mereka yang semakin banyak pengetahuan gizinya, lebih
mempergunakan pertimbangan rasional dan pengetahuan tentang gizi makanan
tersebut (Achmad Djaeni Sedioetama, 2000 : 13).
Kondisi status gizi yang baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup
zat-zat gizi yang akan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
terjadinya pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja untuk
mencapai tingkat kesehatan optimal (Depkes RI, 2003 : 1). Tingkat konsumsi
ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan
menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan
hidangan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain (Soegeng Santoso
dan Anne Lies Ranti, 1999 : 70).
Dengan pengetahuan tentang gizi yang baik, seorang ibu dapat memilih dan
memberikan makan bagi balita baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang
memenuhi angka kecukupan gizi. Asupan makanan yang sesuai dengan
kebutuhan gizi dapat mempengaruhi status gizi

e. Pengaruh Status Gizi Terhadap Kekebalan Tubuh

Telah lama diketahui adanya interaksi sinergistis antara malnutrisi dan


infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Infeksi berat
dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan makanannya
dan meningginya kehilangan zat – zat gizi esensial tubuh.
Sebaliknya malnutrisi, walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap
daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua – duanya bekerja sinergistik, maka
malnutrisi bersama – sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih
besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi secara
sendiri – sendiri (Pudjiadi, 2001).
Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena
kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan)
asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi
buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena
infeksi (Yetti dan Muhamad, 2005).
Menurunnya status gizi berakibat menurunnya kekebalan tubuh terhadap
berbagi infeksi. Tubuh memiliki 3 macam pertahanan untuk menolak infeksi :
a. melalui sel (imunitas seluler), b. melalui cairan (imunitas humoral), c.
aktivitas leukosit polimorfonuklear. Dari penyelidikan terdahulu dapat diambil
kesimpulan walaupun Dari kadar imunoglobulin tidak menurun, bahkan
meninggi, tetapi pada KEP terdapat gangguan imunitas humoral yang
disebabkan oleh menurunnya komplemen protein, dan pada penderita KEP
aktivitas leukosit untuk memfagosit maupun membunuh kuman menurun
(Tandyo, 2005)
26

f. Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

1. Sistem Pemberian PMT


PMT yang diterima subyek penelitian merupakan salah satu bentuk
program perbaikan gizi khususnya pada balita. PMT diberikan setiap hari
selama 3 bulan. Proses pemberian PMT dari puskesmas adalah dalam
bentuk Biskuit dan makanan mentah diberikan setiap 2 minggu sekali,
selanjutnya ibu balita diajari cara mengolah makanan dan dianjurkan untuk
memberikan makanan tambahan tersebut setiap hari serta apabila anak
menderita sakit diberikan pengobatan. Selanjutnya setiap bulan dilakukan
pengukuran berat badan dan status gizi subyek penelitian.

2. Jenis PMT yang diberikan

Bentuk makanan tambahan yang diberikan kepada subyek penelitian


adalah berupa bahan makanan. Adapun jenis dan nilai gizi energi dan protein
dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5. PMT balita KEP di wilayah kerja Puskesmas Muara kati tahun 2017
No Jenis bahan makanan jumlah Nilai Gizi Energi
Energi Protein
1 Telur ayam 60 gr 97, 2 kkal 7,68 gr
2 Susu 30 gr 152,7 kkal 7,38 gr
3 Gula Jawa 50 gr 193 kkal 1,5 gr
4 Kacang Hijau 50 gr 172,5 kkal 11,1 gr
5 Biskuit 120 gr 450 kkal 9 gr
Jumlah 310 gr 1066,4 kkal 36,66 gr

Dari tabel di atas tampak bahwa jenis PMT yang diberikan setiap hari
adalah bahan mentah dari bahan – bahan lokal dan memberikan tambahan
asupan makanan dengan nilai gizi energi 1066,4 kalori dan protein 36,66
gram. Nilai gizi ini cukup tinggi dan bahkan melampaui standart pedoman
pemberian makanan tambahan nasional (Energi 300 - 400 kkal dan 5 – 6 gr
Protein). jika proses pelaksanaan dilakukan dengan baik, sampai sasaran
dapat diterima dengan tepat oleh balita, akan meningkatkan tingkat asupan
energi dan protein sehari-hari, sehingga mampu meningkatkan status
gizinya.

3. Perubahan Berat Badan


a. Berat badan sebelum program PMT
Pada penelitian didapatkan hasil bahwa rata – rata berat badan Subyek
penelitian sebelum diberikan makanan tambahan adalah 8,673 kg dengan
27
berat badan terendah 4,4 kg dan berat badan tertinggi 11,0 kg, dengan
range 6,6 kg.
b. Berat badan sesudah program PMT
Setelah dilakukan pengukuran berat badan awal selanjutnya subyek
penelitian mendapat perlakuan dengan adanya program pemberian PMT
pada bulan Juli sampai September 2017 Untuk mengetahui ada atau
tidak perbedaan berat badan setelah adanya program pemberian makanan
tambahan maka setiap bulan dilakukan pemantauan berat badan pada
awal bulan Juli, Agustus, september. Tahun 2017

Grafik 1. Hasil pengukuran berat


Dan hasil pengukuran berat sesudah program PMT tampak pada gambar berikut :

16
14
12
10
8
6
4
2
0
Sebelum * Bulan Ke -1 * Bulan Ke- 2 * Bulan Ke- 3
PMT
Keterangan :
BB Maksimal
BB Rat- rata
Range
BB Minimal

Berdasarkan gambar di atas terlihat adanya perubahan berat badan


pada bulan pertam setelah subyek penelitian mendapat PMT. Berat badan
terendah meningkat dari 4,4 kg menjadi 4,6 kg berat badan tertinggi juga
meningkat dari 11 kg menjadi 11,2 kg dan rata – rata berat badan 8,953 kg.
Pada bulan ke-dua program pemberian makanan tambahan berat badan
terendah meningkat dari 4,6 kg menjadi 4,8 kg , berat badan tertinggi juga
meningkat dari 11,2 kg menjadi 12,5 kg dan rata – rata berat badan
9,293kg. Dan pada bulan ke-tiga perubahan berat badan terjadi pada berat
badan terendah meningkat dari 4,8 kg menjadi 4,9 kg , berat badan
tertinggi tetap 12,5 kg dan rata – rata berat badan 9,550 kg. Perubahan
berat badan ini juga disertai dengan perubahan status gizi subyek
penelitian.

4. Perubahan Status Gizi


1. Status Gizi awal
28
Status Gizi awal penelitian dari hasil penelitian status gizi Subyek
penelitian sebelum diberikan makanan tambahan adalah gizi buruk
sejumlah 10 anak (26,7%) dan gizi baik 10 anak (26,7%)
2. Perubahan Status Gizi subyek penelitian setelah mendapat PMT

30
25
20
15
10

6
0

Sebelum * Bulan Ke -1 * Bulan Ke- 2 * Bulan Ke- 3


PMT
Grafik 2.
Perubahan status gizi balita KEP di wilayah kerja Puskesmas Muara kati
tahun 2017

Peningkatan status gizi pada subyek penelitian setelah diberi PMT


selama satu bulan terjadi pada status gizi kurang menjadi gizi baik
sejumlah 2 anak (6,7%),jumlah subyek dengan status gizi kurang
menurun dari 22 (73,3) menjadi 20 (66,7). Pada bulan ke-dua setelah
program pemberian makanan tambahan peningkatan status gizi terjadi
pada subyek dengan status gizi kurang bertambah dari 20 (66,7%)
menjadi 25 (83,3%) Kondisi status gizi tersebut tetap pada bulan ke-tiga
pelaksanaan program PMT

5. Pengaruh PMT Terhadap Status Gizi

Tabel 6.
Pengaruh pemberian makanan tambahan(PMT) terhadap peningkatan status gizi
balita KEPdi wilayah kerja Puskesmas

Kondisi Status Gizi P Value X2


Gizi Gizi Gizi Gizi
Lebih Baik Kurang Buruk

Sebelum 0 0 22 (76,3%) 0 0,000 33,80


PMT
Sesudah 0 2 (6,7%) 25 (83,3) 0
PMT

29
Hasil uji statistik chi square diperoleh X2 = 33,80 dan nilai p = 0,000
pada α= 0,05, berarti ada perbedaan yang bermakna status gizi sebelum dan
sesudah mendapat PMT. Hal ini menunjukkan ada pengaruh pemberian
makanan tambahan terhadap peningkatan status gizi balita Kurang energi
protein (KEP) di wilayah kerja Puskesmas Muara Kati

B. KERANGKA TEORI

Pendidikan ibu
Pemilihan Bahan
makaanan Balita Pola Makan
PMT Karbohidrat
Protein
-Vitamin
-Fe
Pengetahuan
Gizi Ibu

Pemberian
Makanan Pada
Jumlah anggota balita
keluarga

Status sosial Genetik Status gizi


ekonomi/
pendapatan
keluarga

Penyakit
Infeksi
Budaya Setempat

Pelayanan
Kesehatan

Gambar 1
Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi peneliti dari teori Call dan Levinson (1871) dalam I Dewa
Nyoman Supariasa dkk, 2002 : 6 dan Soekirman, 1999/2000 : 84

30
C. KERANGKA KONSEP

Variabel Bebas Variabel Antara Variabel Terikat


Pengetahuan Gizi PMT Lokal Status Gizi Balita
Ibu

Variabel Penganggu

a. Penyakit Infeksi
b. Pelayanan Kesehatan
c. Pendapatan Perkapita
d. Budaya Setempat
e. Genetik

Gambar 1
Kerangka Konsep
Sumber : Modifikasi peneliti dari teori Call dan Levinson (1871) dalam I Dewa
Nyoman Supariasa dkk, 2002 : 6 dan Soekirman, 1999/2000 : 84

D . HIPOTESIS PENELITIAN

1. Ho : Tidak da hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan PMT balita
Ha : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan PMT balita.
2. Ho : Tidak ada hubungan antara PMT balita dengan status gizi balita.
Ha : Tidak ada hubungan antara PMT balita dengan status gizi balita
3. Ho : Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status
gizi balita
Ha : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi
balita
4. Ho : Tidak ada hubungan pendapatan perkapita terhadap status gizi balita
Ha : Ada hubungan pendapatan perkapita terhadap status gizi balita
5. Ho : Tidak ada hubungan budaya setempat dengan status gizi balita
Ha : Ada hubungan budaya setempat dengan status gizi balita
6. Ho : Tidak ada hubungan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita
Ha : Ada hubungan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita
7. Ho : Tidak ada hubungan penyakit/Infeksi terhadap status gizi balita
Ha : Ada hubungan penyakit/Infeksi terhadap status gizi balita
8. Ho : Tidak ada hubungan genetika dengan status gizi balita
9. Ha : Ada hubungan genetika dengan status gizi balita

31
BAB V

1. Tentukan desain penelitian berdasarkan masalah, tujuan, dan kerangka konsep penelitian
yang anda angkat pada pertemuan sebelumnya
2. Buatlah gambar/bagan desain penelitian tersebut sesuai dengan variabel-variabel yang
anda angkat pada penelitian tersebut!
3. Jelaskan alasan memilih desain tersebut pada penelitian anda!

JAWAB

1. Desain penelitian

Desain penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional merupakan suatu


penelitian untuk mempelajari dimana faktor-faktor resiko dengan cara pendekatan
observasi atau pengumpulan data, Metode survey analitik ini digunakan untuk mengatur
hubungan antara PMT ,polah makan dan tingkat pengetahuan ibu terhadap status gizi
balita di Puskesmas Muara kati
Jenis penelitian yang digunakan adalah Observasional Analitik atau penelitian yang
mencoba mengali bagaimana hubungan antar variabel dengan melakukan suatu analisa
terhadap data yang dikumpulkan . Peneliti mencoba mengali tentang hubungan Makanan
tambahan, polah asuh , pendidikan ibu terhadap status gizi balita (gizi kurang/BGM) di
Puskesmas Muara kati

2. Bagan Desain penelitian

32
3. Keuntungan yang utama dari desain cross-sectional adalah memungkinkan penggunaan
populasi dari masyarakat umum, tidak hanya para pasien yang mencari pengobatan,
hingga generalisasinya cukup memadai, Desain ini relatif mudah, murah, dan hasilnya
cepat dapat diperoleh, Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus,Jarang
terancam loss to follow-up (drop out), Dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertama suatu
penelitian kohort atau eksperimen, tanpa atau dengan sedikit sekali menambah
biaya,.Dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat lebih
konklusif.

33
BAB VI

1. Tentukan variabel penelitian berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka konsep yang
anda tentukan pada pertemuan sebelumnya!
2. Buatlah bagan variabel penelitian tersebut!
3. Buatlah tabel defenisi opersional penelitian masing-masing variabel tersebut!

JAWAB

1. Variabel yang di gunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan variabel
terikat
1) Variabel terikat :
Yang di gunankan dalam penelitian ini adalah status gizi buruk pada balita.
2) Variabel bebas
PMT Pada Balita Gizi kurang
status sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit penyerta ,ASI, BBLR,dan
kelengkapan imunisasi.

Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas: Klasifikasi PMT pada balita


2. Variabel antara: Pola maakan
3. Variabel terikat : Status gizi Balita
4. Variabel Penganggu : berat badan di bawah garis merah , pertumbuhan BB tidak
normal menurut umur dan Tinggi badan

34
2. Bagan variable penelitian

Catatan Balita Gizi


kurang di Puskesmas
Muara kati / Subyek
Penelitian
Kriteria
evaluasi
Kriteria inkulsi
Kiteria ekskulsi

Balita Gizi kurang Balita Gizi


yang mendapatkan Baik (kontrol)
PMT (kasus)

Pencatatan faktor resiko status sosial ,ekonomi , pendidikan


ibu, penyakit penyerta, imunisasi, ASI, BBLR
Analisa Data

hasil

35
3. Tabel defenisi operasional penelitian

No Variabl Defenisi Alat Hasil ukur Skala


e Operasional ukur Cara ukur Ukur

1 Pengetah Seberapa bnyk Kuision Mengisi -baik jika menjawab oridinal


uan ibu ibu mengerti er kuisioner 7-10
terdiri dari 10
pertanyaan -cukup jika menjawab
dgn jawaban 5-6 pertanyaan
skor
-rendah bila
-benar : 1 menjawab <4
pertanyaan
-salah : 0

2 Tingkat Tingkat Cheklist Bertanya Tinggi : >9th Oridinal


pendidika pendidikan ibu dan lansung
n penderita minimal wawan kepada ibu Rendah: <9th
9 tahun cara

3 Tingkat memenuhi Cheklist Bertanya Tinggi jika Nominal


pendapata kebutuhan agar dan lansung berpenghasilan Di
n/ status mencapai wawan kepada ibu atas Rp.2000.000
ekonomi kemakmuran cara
hidup dan yang
mengenai
masyarakat dapat Rendah Jika Dibawah
diukur dengan Rp. 1000.000
menggunakan
tingkat pekerjaan
dan penggunaan
pembiayaan

4 PMT memenuhi Mengis Kuisioner Kandungan zat gizi oridinal


kebutuhan agar i PMT
mencapai BB kuision
Normal Mengandung
er karbohidrat,protein,mi
neral

1 : Ya

2 : Tidak

5 Jumlah Seberapa cukup Timban kuisioner 1: Baik Jika nominal


anggota anggota keluarga gan berjumlah 4 orang
keluarga memenuhi asupan makana 2: Buruk : Jika lebih
nutrisi n dari 4 orang

6 Berat Berat badan di Timban Dimasukan BB: ... Kg ratio


badan ukur tanpa gan ke dlm kain
busana yang berat timbangan
berlebihan badan
mengunakan
timbangan berat
badan dicatat
dalam satuan
kilogram

7 Genetik Faktor Cheklist kuisioner 1 : Jika Tidak ada oridinal


keturunan yang dan keluarga
di maksud wawan Stunting
adalah riwayat cara
stunting pada 0 : Ada anggota
keluarga keluarga stunting

8 Budaya Faktor kebiasan Cheklist kuisioner 1 : Jika mempunyai oridinal


Setempat daerah setempat dan budaya
tetntang wawan pantangan
kebiasaaan cara terhadap jenis
dalam makanan
memberikan tertentu
makanan balita,
0 : Jika tidak
mempunyai
budaya
pantangan
terhadap jenis
makanan tertentu

37
BAB VII

1. Jelaskan jenis jenis pengambilan sampel


2. Tentukan populasi, besar dan teknik pengambilan sampel, kriteria inklusi dan berdasarkan
desain penelitian yang anda tentukan pada pertemuan sebelumnya

JAWAB

1. Jenis jenis Pengambilan sampel secara garis besar dapat di kelompokan menjadi 2 garis
besar yaitu Probability sampling (sampel acak) dan Non probability sampling
(Sugiono,2000)

A. Probability sampling :
1) Random sampling
adalah metode penarikan dari sebuah populasi atau semesta dengan cara tertentu
sehingga setiap anggota populasi atau semesta tadi memiliki peluang yang sama untuk
terpilih atau terambil..pengambilansampel acak sederhana setiap angota atau unit dari
populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel
2) Proportionate stratified random sampling
teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel bila populasinya berstrata atau
bertingkat
3) Disproportionate stratified random sampling Sugiyono (2001: 59) menyatakan bahwa
teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel bila populasinya berstrata tetapi
kurang proporsiona Area (cluster) sampling (sampling menurut daerah) Teknik ini
disebut juga cluster random sampling. teknik ini digunakan bilamana populasi tidak
terdiri dari individu-individu, melainkan terdiri dari kelompok kelompok individu atau
cluster.

B. Non probability sampling


adalah sebuah teknik sampling yang tidak memperhatikan banyak variabel dalam
penarikan sampel. Sampel-sampel dari Nonprobability Sampling juga disebut sebagai
subjek penelitian dimana hasil dari uji yang dilakukan pada sampling tidak memiliki
hubungan dengan populasi.
Tujuan penggunaan teknik sampling ini lebih banyak melekat pada materi yang diujikan
sedangkan pada random samplin atau probability Sampling, tujuan penelitian melekat
pada nilai dari materi pada populasi yang diujikan.
1) Sampling sistematis
adalah teknik penentuan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah
diberi nomor urut
2) Sampling aksidental
teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara
kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang
orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2001)
3) Quota sampling adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang
mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan. Pengumpulan

38
4) data dilakukan langsung pada unit sampling. Setelah kuota terpenuhi, pengumpulan
data dihentikan.
5) Purposive sampling
purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Menurut Margono (2004:128), pemilihan sekelompok subjek dalam purposive
sampling didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut
yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya, dengan kata lain
unit sampel yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang
diterapkan berdasarkan tujuan penelitian.
6) Sampling jenuh
Menurut Sugiyono (2001:61) sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila
semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila
jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang. Istilah lain sampel jenuh adalah
sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel.
7) Snowball sampling (Sugiyono, 2001: 61),
Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula
jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih teman-temannya untuk
dijadikan sampel begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak.
Ibarat bola salju yang menggelinding semakin lama semakin besar. Pada penelitian
kualitatif banyak menggunakan purposive dan snowball sampling.

2. Populasi Sampel
 Populasi pada penelitian ini adalah semua balita yang Mengalami Status Gizi
kurang di Puskesmas Muara Kati
Penentuan Populasi
Populasi adalah kumpulan semua individu dalam suatu batas tertentu
(Eko Budiarto, 2002 : 7). Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2002 : 79),
populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Populasi Kasus, yaitu seluruh balita dengan status gizi kurang di wilayah
kerja Puskesmas Muara kati dengan jumlah 20 balita.
2) Populasi Kontrol, yaitu seluruh balita dengan status gizi baik di wilayah kerja
Puskesmas Muara kati dengan jumlah 980 balita
 besar sampel
Besarnya sampel pada penelitian ini adalah semua anak balita dengan klasifikasi
Gizi Kurang di Puskesmas Muara Kati Kecamatan Tp Kepungut Kabupaten Musi
Rawas Dan sebagai kontrol adalah balita yang tidak trklasifikasi Gizi Kurang
sebanyak balita dengan klasifikasi Gizi Kurang dari bulan Januari sampai Agustus
2017.
 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan cara total sampling.
 kriteria inkulsi
1. Tinggal di tempat yang sama yaitu di wilayah kerja Puskesmas Muara kati
2. Sampel adalah orang yang menggunakan Puskesmas Muara kati sebagi tempat
pelayanan kesehatan.
3. Sampel terdiri dari balita yang diasuh oleh ibunya dan dalam 1 bulan terakhir

39
tidak menderita penyakit infeksi.
4. Responden adalah ibu yang tidak bekerja.
5. Pandapatan perkapita Rp. 850.000

40
BAB VIII

1. Susunlah instrumen pengumpulan data pada penelitian yang telah anda


rencanakan pada pertemuan sebelumnya!
2. Tentukan rencana yang akan anda lakukan terhadap validitas dan reliabilitas
instrumen penelitian tersebut

JAWAB
1. Instrumen Yang Digunakan
1). Kuesioner
Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah
matang, dimana responden tinggal memberikan jawabannya. Kuesioner dalam
penelitian ini berupa pertanyaan tentang pengetahuan gizi ibu.
2). Formulir Recall
Formulir Recall dalam penelitian ini berupa daftar makanan dan minuman yang
benar-benar dikonsumsi balita dalam 2 x 24 jam untuk mengetahui pola makan pada
balita.
3). Timbangan Injak
Timbangan injak digunakan untuk megukur berat badan balita sehingga dapat
diketahui status gizinya

 Teknik Pengambilan Data

 Wawancara

Wawancara ialah proses interaksi atau komunikasi secara langsung antara


pewawancara dengan responden (Eko Budiarto, 2001 : 13). Wawancara dilakukan
untuk mengetahui tingkat pengetahuan gizi ibu dan pola makan balita. Pola makan
balita ditanyakan kepada responden tentang recall makanan dan minuman yang
benar-benar dikonsumsi balita selama 2 x 24 jam.

 Observasi

Dalam penelitian ini peneliti melakukan survei awal tentang banyaknya sampel.
Observasi juga dilakukan untuk mengetahui ukuran rumah tangga dalam
mengkonsumsi makanan.

 Dokumentasi

Dokumentasi merupakan metode untuk mengumpulkan data dari suatu dokumen


resmi. Didalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menggunakan data KMS
balita dan profil kesehatan Puskesmas Muara Kati maupun dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Musi rawas

41
 Pengukuran
Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran berat badan dengan dengan
menggunakan timbangan injak.

 Teknik Analisis Data


Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Analisis
univariat meliputi distribusi dan prosentase dari tiap variabel pengetahuan gizi ibu,
pola makan balita dan status gizi balita.
2) Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan
atau berkorelasi. Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan dan
membuktikan hipotesis dua variabel. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-
Square karena data yang digunakan adalah nominal dan nominal. Taraf
signifikansi yang digunakan adalah 95% dengan nilai kemaknaan 5%. Untuk
mengetahui tingkat keeratan hubungan antara variabel bebas dengan variabel
terikat, maka digunakan Coefisien Contingensi (CC). Kriteria keeratan
hubungan dengan menggunakan koefisien kontingen yaitu sebagai berikut :
1) 0,00 – 0,19 = hubungan sangat lemah
2) 0,20 – 0,39 = hubungan lemah
3) 0,40 – 0,59 = hubungan cukup kuat
4) 0,60 – 0,79 = hubungan kuat
5) 0,80 – 1,00 = hubungan sangat kuat
(Sugiyono, 2002 : 216).
Rumus Chi- Square :

(OP +E )2
#//? #))

x2 = ∑∑
EP #

Sumber : Sugiyono, 2002 : 224.

2. Rencana yang akan dilakukan terhadap Validitas dan reabilitas instrumen


Penelitian

 Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur (Soekidjo Notoatmodjo, 2002 : 129). Menurut Triton PB.
(2006 243) uji validitas atau kesahihan digunakan untuk mengetahui secara tepat
suatu alat ukur mampu melakukan fungsinya.
Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun tersebut mampu mengukur apa
yang hendak kita ukur, maka perlu diuji dengan uji korelasi antara skor (nilai) tiap-
tiap item (pertanyaan) dengan skor total kuesioner tersebut. Selanjutnya dihitung

42
korelasi antara skor masing-masing pertanyaan dengan skor total. Teknik korelasi
yang dipakai adalah teknik
korelasi product moment dengan Pearson yang rumusnya sebagai berikut :

R= N ∑XY - (∑X) (∑Y)

√ {𝑁 ∑ 𝑋 2 − ( ∑ 𝑋)2 }{N∑ 𝑌 2 (∑ 𝑌)2}

Keterangan :
X = Aitem soal
Y = Skor total
N = Jumlah anggota sampel
(Soekidjo Notoatmodjo, 2002 : 129-131).

Berdasarkan hasil uji validitas kuesioner penelitian dengan 20 responden pada


lampiran ditunjukkan bahwa dari 17 butir pertanyaan tentang pengetahuan gizi ibu
yang diujicobakan semuanya valid, karena memiliki p < 0,05. Sehingga pertanyaan
tentang pengetahuan gizi ibu dapat digunakan untuk mengumpulkan data.

 Reliabilitas

Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur
dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil
pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas bila dilakukan pengukuran dua kali
atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama
(Soekidjo Notoatmodjo, 2002 : 133).
Metode untuk melakukan uji reliabilitas adalah dengan menggunakan metode
Alpha-Cronbach. Standar yang digunakan dalam menentukan reliabel atau tidaknya
suatu instrumen penelitian umumnya adalah perbandingan nilai r hitung dengan r
tabel pada taraf kepercayaa 95% atau tingkat signifikan 5%. Menurut Santoso yang
dikutip oleh Triton PB. (2006 : 248), apabila alpa hitung lebih besar daripada r tabel
dan alpa hitung bernilai positif, maka suatu instrument penelitian dapat disebut
reliabel. Rumus koefisiensi reliabilitas Alfa Cronbach

43
BAB IX

1. Buatlah hasil penelitian dan pembahasan dari salah satu penelitian keperawatan Yang
ada di perpustakaan
2. Susunlah kesimpulan dan saran berdasarkan tujuan, hipotesis, hasil penelitian dan
pembahasan pada penelitian tersebut
3. Buatlah daftar pustaka dari penelitian tersebut!

HASIL PENELITIAN
a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian dan Deskripsi Data

1) Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Wilayah kerja Puskesmas Kedungwuni II ada 8 desa yang merupakan bagian


wilayah di Kecamatan Kedungwuni, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut
- Sebelah Utara : Wilayah kerja Puskesmas muara kati
- Sebelah Selatan : Wilayah kerja puskesmas Muarakat
- Sebelah Timur : kecamatan jaya Loka Wilayah Kerja Puskesmas
- Sebelah Barat : Kecamatan Muara beliti

Tabel 6. Wilayah Kerja Puskesmas muara kati

Luas Penduduk Kepadatan


No Nama desa Wilayah Penduduk
(𝑲𝒎𝟐 ) Jum
L P lah
1 SP gegas T 1.04 753 714 1467 14.19
2 Rantau Bingin 1,4 971 998 1969 18.93
3 M.Kati Baru 2 1,02 344 380 724 7.09
4 M.Kati Baru 1 0,8 856 873 1729 21.61
5 M.Kati Lama 1,03 670 620 1290 11.73
6 Batu Bandung 1,02 423 406 829 8.1
7 Lb. Besar 1,04 1.158 1.135 2.293 22.04
8 Kebur 1,11 664 557 1221 11.00
9 Rt. Serik 1,03 775 870 1645 15.97
10 Kebur Jaya 0,84 653 493 1146 13.64
Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Kedungwuni II tahun 2005.
Tabel 6, menunjukkan bahwa kepadatan penduduk yang paling tinggi
terdapat di Desa Muara kati baru I dengan kepadatan penduduk/km2 adalah
21.61Kepadatan penduduk yang paling rendah terdapat terdapat di Desa
Muara kati baru II dengan kepadatan penduduk/km2 adalah 7. 09

2) Deskripsi Data

Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Hubungan Pemberian makanan


tambahan (pmt) dan pendidikan serta pola asuh orng tua tehadap peningkatan
status gizi anak balita di Puskesmas Muara Kati Kabupaten Musi rawas dengan
20 responden sebagai kasus dan 20 responden sebagai kontrol diperoleh data
sebagai berikut :
44
3) Umur Responden

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Menurut Umur Responden

Umur Kasus Kontrol Total


Responden Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)
(Tahun)
20-25 2 14,0 2 12,0 4 13,0

26-31 8 48,0 8 52,0 16 50,0

32-37 8 24,0 7 26,0 15 25,0

38-43 2 14,0 3 10,0 5 12,0

Jumlah 20 100 20 100 40 100

Tabel 7 menunjukkan bahwa responden yang berumur antara 20-25 tahun


pada kelompok kasus sejumlah 2 orang (14,0%) dan pada kelompok kontrol
sejumlah 2 orang (12,0%). Responden yang berumur antara 26-31 tahun pada
kelompok kasus sejumlah 8 orang (48,0%) dan pada kelompok kontrol
sejumlah 8 orang (52,0%). Responden yang berumur antara 32-37 tahun pada
kelompok kasus sejumlah 8 orang (24,0%) dan pada kelompok kontrol
sejumlah 7 orang (26,0%). Responden yang berumur antara 38-43 tahun pada
kelompok kasus sejumlah 2 orang (14,0%) dan pada kelompok kontrol
sejumlah 3 orang (10,0%). Dari data distribusi ini terlihat bahwa sebagian
besar responden pada kelompok kasus berumur antara 26-31 tahun sejumlah 8
orang (48,0%), demikian juga pada kelompok kontrol sejumlah 8 orang
(52,0%).

45
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik 1 di bawah ini

60 48 52

50

40

30 14 12 26

20 24 14 10

10
0

20-25 26-31 32-37 38-43

4). Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat Pendidikan Kasus Kontrol Total


Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)
Tidak tamat SD 8 38,0 0 0,0 5 19,0
Tamat SD 9 40,0 8 32,0 5 36,0
Tamat SLTP 2 18,0 10 52,0 7 35,0
Tamat SMA 1 4,0 2 16,0 3 10,0
Jumlah 20 100 20 100 40 100
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Menurut Tingkat Pendidikan Responden
Tabel 8 menunjukkan bahwa responden yang tidak tamat SD pada kelompok
kasus sejumlah 8 orang (38,0%). Responden yang tamat SD pada kelompok kasus
sejumlah 9 orang (40,0%) dan pada kelompok kontrol sejumlah 2 orang (32,0%).
Responden yang tamat SLTP pada kelompok kasus sejumlah 2 orang (18,0%) dan
pada kelompok kontrol sejumlah 26 orang (52,0%). Responden yang tamat SLTA
pada kelompok kasus sejumlah 1 orang (4,0%) dan pada kelompok kontrol sejumlah
3 orang (16,0%). Dari data distribusi ini terlihat bahwa sebagian besar responden
pada kelompok kasus adalah tamat SD sejumlah 5 orang (40,0%), sedangkan
kelompok kontrol sebagian besar pendidikannya tamat SLTP yaitu sejumlah 7 orang
(32,0%).

46
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik 2 di bawah ini :

60 52

50 38 40

40 32

30 18

20 10

10 4

0 0

Gambar 2 Distribusi Tingkat Pendidikan Responden

5. Umur Balita
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Menurut Umur Balita

Umur Reaponden Kasus Kontrol Total


(Bulan) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)
15-25 4 22,0 2 18,0 6 20,0
26-36 9 40,0 4 24,0 13 32,0
37-47 6 26,0 6 26,0 12 26,0
48-58 1 12,0 8 32,0 9 22,0
Jumlah 20 100 20 100 40 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa balita yang berumur antara 15-25 bulan pada
kelompok kasus sejumlah 4 balita (22,0%) dan pada kelompok kontrol sejumlah 2 balita
(18,0%). Balita yang berumur antara 26-36 bulan pada kelompok kasus sejumlah 9
balita (40,0%) dan pada kelompok kontrol sejumlah 4 balita (24,0%). Balita yang
berumur antara 37-47 bulan pada kelompok kasus sejumlah 6 balita (26,0%) dan pada
kelompok kontrol sejumlah 6 balita (26,0%). Balita yang berumur antara 48-58 tahun
pada kelompok kasus sejumlah 1 balita (12,0%) dan pada kelompok kontrol sejumlah 8
balita (32,0%). Dari data distribusi ini erlihat bahwa sebagian besar responden pada
kelompok kasus berumur antara 26-36 tahun sejumlah 4 balita (40,0%), sedangkan
kelompok kontrol sebagian besar berumur 48-58 bulan sejumlah 1 balita (32,0%).

47
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik 3 di bawah ini

60
50 40

40 26 26 32

30 22 18 24

20 12

10

0 0

Grafik 3 Distribusi Umur Balita

5. Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel-variabel penelitian. Pada analisis
ini akan menghasilkan distribusi frekuensi dari tiap variabel Varibel yang
berhubungan dengan status gizi balita. Adapun variabelvariabel yang dianalisis yaitu

a) Pengetahuan Gizi Ibu

Tabel 10.
Distribusi Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan Kasus Kontrol Total


Gizi Ibu Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)
Kurang baik 9 48,0 4 12,0 13 70,0
Baik 11 52,0 16 88,0 27 30,0
Jumlah 20 100 20 100 100 100

Tabel 10 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai


pengetahuan tentang gizi kurang baik pada kelompok kasus sejumlah 9 orang
(48,0%) dan pada kelompok kontrol sejumlah 4 orang (12,0%). Responden
yang mempunyai pengetahuan tentang gizi baik pada kelompok kasus
sejumlah 11 orang (52,0%) dan pada kelompok kontrol sejumlah 16 orang
(88,0%). Dari data distribusi ini terlihat bahwa sebagian besar tingkat
pengetahuan gizi ibu pada kelompok kasus dan kontrol adalah sama yaitu
pada kategori baik. Pada kelompok kasus memiliki persentase 52,0%
sedangkan pada kelompok kontrol memiliki persentase sebesar 88,0%.

48
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik 4 di bawah ini

88

100

80 52

60

40 24 12

20

persen baik kurang baik


tase kontrol
Kasus

Grafik 4 Distribusi Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu

49
b) Pola Makan Balita

Tabel 11.
Distribusi Pola Makan Balita

Pengetahuan Kasus Kontrol Total


Gizi Ibu Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)
Tidak baik 13 64 % 4 18,0 17 41,0
Baik 7 36 % 16 82,0 23 59,0
Jumlah 20 100 20 100 40 100

Tabel 11 menunjukkan bahwa balita yang mempunyai pola makantidak


baik pada kelompok kasus sejumlah 13 balita (64,0%) dan pada kelompok
kontrol sejumlah 4 balita (18,0%). Balita yang mempunyai pola makan baik
pada kelompok kasus sejumlah 7 balita (36,0%) dan pada kelompok kontrol
sejumlah 16 balita (82,0%). Dari data distribusi ini terlihat bahwa sebagian
besar pola makan pada balita pada kelompok kasus adalah tidak baik dengan
persentase 64,0%, sedangkan pola makan balita pada kelompok kontrol
termasuk dalam kategori baik dengan persentase 82,0%.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik 5 di bawah ini

100 82

80 64

60

40 36 18

20

persen baik Tidak baik


tase kontrol
Kasus

c) Analisis Bivariat

Analisis bivariat pada penelitian tentang hubungan antara tingkat


pengetahuan gizi ibu, pola makan balita dengan status gizi balita adalah
sebagai berikut :

(1). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola


Makan Balita

50
Tabel 12.
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Makan Balita

Pengetahuan Pola makan Total p value CC QR


Gizi Ibu
Tidak (%) Baik (%) Jumlah (%)
Baik
Kurang baik 13 64,0 4 10,0 17 30,0 0,000 0,46 12,5

Baik 7 36,0 16 89,0 23 70,0

Jumlah 20 100% 20 100 40 100

Tabel 12 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai


pengetahuan kurang baik dengan pola makan balitanya tidak baik
sejumlah 13 orang (58,5%), sedangkan yang pola makan balitanya baik
sejumlah 4 orang (10,2%). Responden yang mempunyai pengetahuan
baik dengan pola makan balitanya tidak baik sejumlah 7 orang (41,5%),
sedangkan yang pola makan balitanya baik sejumlah 16 orang (89,8%).
Uji Chi square yang dilakukan terhadap pengetahuan gizi ibu dengan
pola makan balita didapatkan p value sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05
(0,000 < 0,05), sehingga Ha diterima yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan pola makan balita,
serta diperoleh koefisisen kontingensi (CC = 0,46), artinya ada
hubungan yang cukup kuat antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan
pola makan balita. Hasil perhitungan Odd Rasio di atas,
pengelompokan tingkat pengetahuan gizi ibu dikategorikan menjadi dua
yaitu baik dan kurang baik. Nilai Odd Rasio yang diperoleh adalah 12,5
yang berarti bahwa balita yang memiliki ibu pada tingkat pengetahuan
gizi kurang baik mempunyai risiko pola makan pada balitanya tidak
baik 12,5 kali lebih besar daripada balita yang memiliki ibu pada tingkat
pengetahuan gizi baik

(2) Hubungan antara Pola Makan Balita dengan Status Gizi Balita
Tabel 13.
Hubungan antara Pola Makan Balita dengan Status gizi balita

Pola makan Kasus Kontrol Total p value CC QR


Balita
Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)

Tidak Baik 13 64,0 4 18,0 17 59,0 0,000 0,42 8,1


Baik 7 36,0 16 82,0 23 41,0

Jumlah 20 100% 20 100 40 100

51
Uji Chi square yang dilakukan terhadap pola makan balita dengan status
gizi balita kelompok kasus dan kontrol didapatkan p value sebesar 0,000
lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), sehingga Ha diterima yang menyatakan
bahwa ada hubungan antara pola makan balita dengan status gizi balita,
serta diperoleh koefisisen kontingensi (CC = 0,42), artinya ada hubungan
yang cukup kuat antara pola makan balita dengan status gizi balita. Hasil
perhitungan Odd Rasio di atas, pengelompokan pola makan dikategorikan
menjadi dua yaitu baik dan tidak baik. Nilai Odd Rasio yang diperoleh
adalah 8,1 yang berarti bahwa balita dengan pola makan tidak baik
mempunyai risiko untuk mengalami status gizi kurang 8,1 kali lebih besar
daripada balita dengan pola makan baik.
(3). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi Balita
Tabel 14.
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi Balita

Pengetahuan
gizi ibu Kasus Kontrol Total p value CC QR

Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)

Kurang Baik 13 64,0 4 18,0 17 0,000 0,37 6,8


Baik 7 36,0 16 82,0 23 41,0

Jumlah 20 100% 20 100 40 100

Uji Chi square yang dilakukan terhadap tingkat pengetahuan gizi ibu
dengan status gizi balita kelompok kasus dan kontrol didapatkan p value
sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), sehingga Ha diterima
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu
dengan status gizi balita, serta diperoleh koefisisen kontingensi (CC = 0,37),
artinya ada hubungan yang lemah antara tingkat pengetahuan gizi ibu
dengan status gizi balita. Hasil perhitungan Odd Rasio di atas,
pengelompokan tingkat pengetahuan gizi ibu dikategorikan menjadi dua
yaitu baik dan kurang baik. Nilai Odd Rasio yang diperoleh adalah 6,8 yang
berarti bahwa balita yang memiliki ibu pada tingkat pengetahuan gizi kurang
baik mempunyai risiko untuk mengalami status gizi kurang 6,8 kali lebih
besar daripada balita yang memiliki ibu pada tingkat pengetahuan gizi baik.

PEMBAHASAN
a) Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Makan Balita

Berdasarkan hasil penelitian dengan 20 responden diketahui bahwa responden


yang mempunyai pengetahuan kurang baik dengan pola makan balitanya tidak baik
sejumlah 16 orang (58,8%), sedangkan yang pola makan balitanya baik sejumlah 4
orang (10,2%). Responden yang mempunyai pengetahuan baik dengan pola makan
balitanya tidak baik sejumlah 4 orang (41,5%), sedangkan yang pola makan balitanya
baik sejumlah 9 orang (89,8%). Dari hasil wawancara kepada responden didapatkan
52
tingkat responden tentang gizi masih ada yang kurang. Pengetahuan gizi ibu yang
kurang akan mempengaruhi pemilihan dan pemberian makanan dalam keluarga
khususnya pada balita sehingga dapat mempengaruhi pola makan balita. Uji Chi square
yang dilakukan terhadap pengetahuan gizi ibu dengan pola makan balita didapatkan p
value sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), sehingga Ha diterima yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan pola
makan balita, serta diperoleh koefisisen kontingensi (CC = 0,46), artinya ada hubungan
yang cukup kuat antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan pola makan balita. Nilai
Odd Rasio yang diperoleh adalah 12,5 yang berarti bahwa balita yang memiliki ibu pada
tingkat pengetahuan gizi kurang baik mempunyai risiko pola makan pada balitanya tidak
baik 12,5 kali lebih besar daripada balita yang memiliki ibu pada tingkat pengetahuan
gizi baik.
Menurut Suhardjo (2003:11) dalam penyediaan makanan keluarga dalam hal ini
biasanya dilakukan oleh seorang ibu, banyak yang tidak memanfaatkan bahan makanan
yang bergizi, hal ini disebabkan salah satunya karena kurangnya pengetahuan akanbahan
makanan yang bergizi. Dalam penyediaan makanan untuk keluarga khususnya bagi
balita yang masih dalam proses pertumbuhan harus diperhatikan aspek gizinya sehingga
kebutuhan akan zat-zat gizi yang penting bagi tubuh dapat terpenuhi seperti karbohidrat,
protein, vitamin A dan zat besi. Untuk dapat menyusun menu yang adekuat, seseorang
perlu pengetahuan mengenai bahan makanan dan zat gizi, kebutuhan gizi seseorang serta
pengetahuan hidangan dan pengolahannya. (Soegeng Santoso dan Anne Lies Ranti,
1999 : 123).
Apabila perilaku penyediaan makanan didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan
sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila
perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung
lama (Soekidjo Notoatmodjo, 2003 : 121).
Dengan kelanggengan tersebut akan tertanam kebiasaan pola makan yang baik
dalam keluarga khususnya pada balita.

b) Hubungan antara Pola Makan Balita dengan Status Gizi Balita


Berdasarkan hasil penelitian dengan 100 responden diketahui bahwa balita yang
mempunyai pola makan tidak baik pada kelompok kasus sejumlah 10 balita (64,0%) dan
pada kelompok kontrol sejumlah 9 balita (18,0%). Balita yang mempunyai pola makan
baik pada kelompok kasus sejumlah 18 balita (36,0%) dan pada kelompok kontrol
sejumlah 10 balita (82,0%). Dari hasil wawancara kepada responden tentang recall
makanan dan minuman yang benar-benar dikonsumsi balitanya didapatkan pola makan
pada balita masih ada yang tidak baik. Pola makan balita yang tidak baik akan
mempengaruhi status gizi. Uji Chi square yang dilakukan terhadap pola makan balita
dengan status gizi balita kelompok kasus dan kontrol didapatkan p value sebesar 0,000
lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), sehingga Ha diterima yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara pola makan balita dengan status gizi balita, serta diperoleh koefisisen
kontingensi (CC = 0,42), artinya ada hubungan yang cukup kuat antara pola makan
balita dengan status gizi balita. Nilai Odd Rasio yang diperoleh adalah 8,1 yang berarti
bahwa balita dengan pola makan tidak baik mempunyai risiko untuk mengalami status
gizi kurang 8,1 kali lebih besar daripada balita dengan pola makan baik. Konsumsi
makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Kondisi status gizi baik dapat
dicapai bila tubuh memperoleh cukup zatzat gizi yang akan digunakan secara efisien,
sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan
kerja untuk mencapai tingkat kesehatan optimal (Depkes RI, 2003 : 1).
53
Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas
hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan
hidangan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain (Soegeng Santoso dan
Anne Lies Ranti, 1999 : 70).

c). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi
Balita Berdasarkan hasil penelitian dengan 20 responden diketahui bahwa
responden yang mempunyai pengetahuan kurang baik pada kelompok kasus sejumlah 9
orang (48,0%), sedangkan pada kelompok kontrol sejumlah 6 orang (12,0%). Responden
yang mempunyai pengetahuan baik pada kelompok kasus sejumlah 6 orang (52,0%),
sedangkan pada kelompok kontrol sejumlah 18 orang (88,0%). Uji Chi square yang
dilakukan terhadap tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita kelompok
kasus dan kontrol didapatkan p value sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05),
sehingga Ha diterima yang menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan
gizi ibu dengan status gizi balita, serta diperoleh koefisisen kontingensi (CC = 0,37),
artinya ada hubungan yang lemah antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi
balita. Nilai Odd Rasio yang diperoleh adalah 6,8 yang berarti bahwa balita yang
memiliki ibu pada tingkat pengetahuan gizi kurang baik mempunyai risiko untuk
mengalami status gizi kurang 6,8 kali lebih besar daripada balita yang memiliki ibu pada
tingkat pengetahuan gizi baik. Menurut Suhardjo (1986 : 31),
suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada
tiga kenyataan :
1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan;
2) setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal,
pemeliharaan dan energi;
3) ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi. Tingkat pengetahuan ibu
tentang gizi yang tinggi dapat mempengaruhi pola makan balita yang pada akhirnya
akan mempengaruhi status gizi balita. Dengan pengetahuan yang baik, seorang ibu dapat
memilih dan memberikan makan bagi balita baik dari segi kualitas maupun kuantitas
yang memenuhi angka kecukupan gizi bagi balita. Asupan makanan yang sesuai dengan
angka kecukupan gizi yang dibutuhkan oleh seorang balita dapat mempengaruhi status
gizi balita.

d.). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi

Pada awal sebelum pemberian makanan tambahan rata-rata berat badan anak
adalah 8,673 kg dan rata-rata berat badan anak setelah diberi PMT adalah 9,550 kg.
Ada peningkatan rata-rata berat badan anak anak sebelum dan sesudah diberi PMT
sebesar 0,9 kg . Peningkatan berat badan anak ini juga akan mempengaruhi
peningkatan status gizi anak. Status gizi anak sebelum pemberian makanan tambahan
adalah dari 30 anak terdapat 10 (30,3 %) anak dengan status gizi kurang. Tiga bulan
setelah pemberian makanan tambahan terdapat 8 (24%) anak dengan status gizi kurang,
dan 2 orang balita (20%) dengan gizi baik.

Penurunann jumlah gizi kurang sebesar 20% (dari 10 anak menjadi 8 anak) Hal ini
menunjukkan bahwa adanya program PMT dapat meningkatkan status gizi anak. PMT

54
adalah program pemberian makanan tambahan bagi balita yang menderita KEP,
jika proses pelaksanaan dilakukan dengan baik, sampai sasaran dapat diterima dengan
tepat oleh balita, akan meningkatkan tingkat asupan energi dan protein sehari-hari,
sehingga mampu meningkatkan status gizinya. Sebagaimana dijelaskan Depkes (2000)
kasus balita KEP ini terkait dengan jumlah makanan yang dimakan balita setiap hari
makanan yang dimakan balita sangat kurang baik kuantitas maupun kualitasnya.
Kurang Energi Protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi
angka kecukupan gizi (Depkes, 1999). Makanan dan penyakit dapat secara langsung
mempengaruhi status gizi Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan
makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Balita yang mendapat cukup makanan
tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian
pula pada balita yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan
melemah dan akan mudah terserang penyakit.

Menurut Supariasa, dkk (2001) kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari- hari dan atau gangguan penyakit
tertentu. Anak disebut KEP apabila berat badan dibandingkan dengan panjang (tinggi)
badan < –2 SD standart baku WHO-NCHS.Kurang Energi Protein adalah suatu kondisi
kekurangan bahan-bahan nutrisi esensial pada tingkat seluler sebagai akibat dari faktor
fisiologi, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya dan politik. Status gizi dipengaruhi
secara langsung oleh konsumsi makanan dan ada atau tidaknya penyakit infeksi.
Disamping kedua faktor tesebut secara tidak langsung status gizi dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain: nilai gizi makanan yang dimakan, ada tidaknya pemberian
makanan tambahan dari luar keluarga, pendapatan atau daya beli keluarga,
pengetahuan atau kebiasaan ibu terhadap gizi dan kesehatan, jangkauan pelayanan
kesehatan dan faktor lingkungan sosial (Supariasa, 2002 ). Program PMT adalah
program pemberian makanan tambahan bagi balita yang menderita KEP, guna
melengkapi makanan yang sudah diberikan sehari-hari, untuk mencukupi kebutuhan
zat gizi balita agar meningkat status gizinya, sehingga mencapai status gizi yang baik.
(Depkes RI, 1997) Kandungan gizi pada PMT, terutama energi dan protein harus
tersedia dan harus bisa menambah asupan energi dan protein yang diperoleh dari
hidangan makan keluarga setiap hari. Jumlah kalori yang disediakan untuk PMT
pemulihan dalam sehari harus mengandung energi 300 - 400 kal dan 5 – 6 gr protein
atau setara dengan 1/3 kebutuhan kalori dan protein Balita per-hari. (Depkes RI, 1997).
Sedangkan nilai gizi dari program PMT ini adalah energi 615,4 kalori dan protein
27,66 gram. Kondisi ini jauh melebihi standart yang ditetapkan dalam pedoman
pelaksanaan program PMT. Soekirman (2000) menjelaskan bahwa status gizi balita
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial terdekat. Disamping itu peran keluarga
sangat besar dalam membentuk kepribadian anak. Pola pendidikan yang tepat yang
diterapkan oleh orang tua akan sangat membantu anak dalam menghadapi kondisi
lingkungan pada masa yang akan datang. Kenyataan membuktikan bahwa seorang
anak belajar dari lingkungan yang paling dekat sehingga orang tua menjadi

orang yang paling dibutuhkan oleh anaknya. Orang tua merupakan tempat
bergantung anak-anaknya dan harus memberikan kasih sayang dan perhatian
sepenuhnya pada anak hingga remaja. Untuk memenuhi kebutuhan dan kasih sayang

55
tersebut sangat tergantung pada kondisi keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan
dasar bagi anak khususnya kebutuhan gizi, pengetahuan ibu tentang makanan anak
memegang peranan yang sangat penting. Seseorang yang berpengetahuan baik dalam
memberi makan anak akan mempengaruhi status gizi anak. Ibu akan selalu
memperhatikan kecukupan makan anak sesuai dengan kebutuhan. Ibu akan memilih
bahan makanan yang baik dan bergizi untuk anaknya. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Khabib Mualim(2000) status gizi balita sebelum
PMT-P program JPS- BK rata – rata adalah berstatus gizi buruk, sesudah PMT-P
program JPS-BK rata – rata adalah berstatus gizi KEP sedang.

Uji T-test for paired sample menunjukkan ada perbedaan status gizi balita sebelum
dan sesudah PMT-P program JPS-BK dengan peningkatan status gizi 7,87%, ada
perbedaan tingkat kecukupan energi sebelum dan sesudah PMT-P program JPS-BK
dengan peningkatan 9% dan ada peningkatan tingkat kecukupan

protein sebelum dan sesudah PMT-P program JPS-BK dengan peningkatan 10,4%.
Sejalan dengan penelitian Joko Arif Isnandar (2003) , bahwa status gizi anak sebelum
dan sesudah pemberian makanan tambahan pemulihan pada balita KEP umur 12
sampai 36 bulan di wilayah Puskesmas Sambi II Kabupaten Boyolali berdasarkan
indeks BB/U ada peningkatan rata – rata nilai Z skor sebesar 0.18, demikian juga pada
indeks BB/PB ada peningkatan sebesar 0,47. Namun nilai rata – rata pada PB/U
mengalami penurunan sebesar 0,52. Hasi penelitian ini juga sesuai dengan penelitian
Nurqomariah (2006) bahwa ada perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah di
lakukan PMT

perlakuan pada masing–masing kelompok, hal tersebut berarti pemberian PMT


PAN ENTERAL maupun Biskuit MP-ASI dapat meningkatkan status gizi balita
sampel yang mengalami gizi kurang Hasil ini juga sejalan dengan pendapat Karjati
(1985) dalam Soegeng Santoso (1999), bahwa penurunan angka prevalensi gizi salah
pada anak balita dapat dicapai dengan peningkatan status gizi dan kesehatan anak. Gizi
kurang pada anak disebabkan oleh tidak cukupnya makanan tambahan dan penyakit
infeksi yang keduanya dapat berawal dari kemiskinan serta lingkungan yang tidak
sehat dan sanitasi yang buruk. Sehingga untuk mempertahankan status gizi yang baik
perlu intervensi gizi melalui pemberian makanan tambahan (PMT) khususnya kepada
anak

e). Hambatan dan Kelemahan Penelitian


Hambatan dan kelemahan dalam penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain :
1) Daya ingat responden dalam mengingat makanan dan minuman yang benar-benar
dikonsumsi balitanya.
2) Ketelitian dan ketepatan dalam melakukan survei rumah tangga untuk menentukan
berat makanan.
3) Jumlah sampel penelitian yang sedikit karena keterbatasan peneliti sehingga dapat
berpengaruh pada ketelitian dan hasil penelitian.

56
2. KESIMPULAN DAN SARAN
Pada awal sebelum pemberian makanan tambahan rata-rata berat badan anak adalah
8,673 kg dan rata-rata berat badan anak setelah diberi PMT adalah 9,550 kg. Ada
peningkatan rata-rata berat badan anak anak sebelum dan sesudah diberi PMT sebesar
0,9 kg . Peningkatan berat badan anak ini juga akan mempengaruhi peningkatan status
gizi anak. Status gizi anak sebelum pemberian makanan tambahan adalah dari 30 anak
terdapat 10 (30,3 %) anak dengan status gizi kurang. Tiga bulan setelah pemberian
makanan tambahan terdapat 8 (24%) anak dengan status gizi kurang, dan 2 orang balita
(20%) dengan gizi baik.

Penurunann jumlah gizi kurang sebesar 20% (dari 10 anak menjadi 8 anak) Hal ini
menunjukkan bahwa adanya program PMT dapat meningkatkan status gizi anak. PMT
adalah program pemberian makanan tambahan bagi balita yang menderita KEP, jika
proses pelaksanaan dilakukan dengan baik, sampai sasaran dapat diterima dengan tepat
oleh balita, akan meningkatkan tingkat asupan energi dan protein sehari-hari, sehingga
mampu meningkatkan status gizinya. Sebagaimana dijelaskan Depkes (2000) kasus
balita KEP ini terkait dengan jumlah makanan yang dimakan balita setiap hari makanan
yang dimakan balita sangat kurang baik kuantitas maupun kualitasnya. Kurang Energi
Protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi
(Depkes, 1999). Makanan dan penyakit dapat secara langsung mempengaruhi status gizi
Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi
juga penyakit. Balita yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada
akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada balita yang tidak
memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah
terserang penyakit.

Menurut Supariasa, dkk (2001) kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari- hari dan atau gangguan penyakit
tertentu. Anak disebut KEP apabila berat badan dibandingkan dengan panjang (tinggi)
badan < –2 SD standart baku WHO-NCHS.Kurang Energi Protein adalah suatu kondisi
kekurangan bahan-bahan nutrisi esensial pada tingkat seluler sebagai akibat dari faktor
fisiologi, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya dan politik. Status gizi dipengaruhi secara
langsung oleh konsumsi makanan dan ada atau tidaknya penyakit infeksi. Disamping
kedua faktor tesebut secara tidak langsung status gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: nilai gizi makanan yang dimakan, ada tidaknya pemberian makanan
tambahan dari luar keluarga, pendapatan atau daya beli keluarga, pengetahuan atau
kebiasaan ibu terhadap gizi dan kesehatan, jangkauan pelayanan kesehatan dan faktor
lingkungan sosial (Supariasa, 2002 ). Program PMT adalah program pemberian
makanan tambahan bagi balita yang menderita KEP, guna melengkapi makanan yang
sudah diberikan sehari-hari, untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita agar meningkat
status gizinya, sehingga mencapai status gizi yang baik. (Depkes RI, 1997) Kandungan
gizi pada PMT, terutama energi dan protein harus tersedia dan harus bisa menambah
asupan energi dan protein yang diperoleh dari hidangan makan keluarga setiap hari.
Jumlah kalori yang disediakan untuk PMT pemulihan dalam sehari harus mengandung
energi 300 - 400 kal dan 5 – 6 gr protein atau setara dengan 1/3 kebutuhan kalori dan

57
protein Balita per-hari. (Depkes RI, 1997). Sedangkan nilai gizi dari program PMT
ini adalah energi 615,4 kalori dan protein 27,66 gram. Kondisi ini jauh melebihi standart
yang ditetapkan dalam pedoman pelaksanaan program PMT. Soekirman (2000)
menjelaskan bahwa status gizi balita sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial terdekat.
Disamping itu peran keluarga sangat besar dalam membentuk kepribadian anak. Pola
pendidikan yang tepat yang diterapkan oleh orang tua akan sangat membantu anak
dalam menghadapi kondisi lingkungan pada masa yang akan datang. Kenyataan
membuktikan bahwa seorang anak belajar dari lingkungan yang paling dekat sehingga
orang tua menjadi

orang yang paling dibutuhkan oleh anaknya. Orang tua merupakan tempat
bergantung anak-anaknya dan harus memberikan kasih sayang dan perhatian
sepenuhnya pada anak hingga remaja. Untuk memenuhi kebutuhan dan kasih sayang
tersebut sangat tergantung pada kondisi keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan dasar
bagi anak khususnya kebutuhan gizi, pengetahuan ibu tentang makanan anak memegang
peranan yang sangat penting. Seseorang yang berpengetahuan baik dalam memberi
makan anak akan mempengaruhi status gizi anak. Ibu akan selalu memperhatikan
kecukupan makan anak sesuai dengan kebutuhan. Ibu akan memilih bahan makanan
yang baik dan bergizi untuk anaknya. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Khabib Mualim(2000) status gizi balita sebelum PMT-P program JPS- BK
rata – rata adalah berstatus gizi buruk, sesudah PMT-P program JPS-BK rata – rata
adalah berstatus gizi KEP sedang.

Uji T-test for paired sample menunjukkan ada perbedaan status gizi balita sebelum
dan sesudah PMT-P program JPS-BK dengan peningkatan status gizi 7,87%, ada
perbedaan tingkat kecukupan energi sebelum dan sesudah PMT-P program JPS-BK
dengan peningkatan 9% dan ada peningkatan tingkat kecukupan

protein sebelum dan sesudah PMT-P program JPS-BK dengan peningkatan 10,4%.
Sejalan dengan penelitian Joko Arif Isnandar (2003) , bahwa status gizi anak sebelum
dan sesudah pemberian makanan tambahan pemulihan pada balita KEP umur 12 sampai
36 bulan di wilayah Puskesmas Sambi II Kabupaten Boyolali berdasarkan indeks BB/U
ada peningkatan rata – rata nilai Z skor sebesar 0.18, demikian juga pada indeks BB/PB
ada peningkatan sebesar 0,47. Namun nilai rata – rata pada PB/U mengalami penurunan
sebesar 0,52. Hasi penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Nurqomariah (2006)
bahwa ada perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah di lakukan PMT

perlakuan pada masing–masing kelompok, hal tersebut berarti pemberian PMT


PAN ENTERAL maupun Biskuit MP-ASI dapat meningkatkan status gizi balita sampel
yang mengalami gizi kurang Hasil ini juga sejalan dengan pendapat Karjati (1985)
dalam Soegeng Santoso (1999), bahwa penurunan angka prevalensi gizi salah pada anak
balita dapat dicapai dengan peningkatan status gizi dan kesehatan anak. Gizi kurang
pada anak disebabkan oleh tidak cukupnya makanan tambahan dan penyakit infeksi
yang keduanya dapat berawal dari kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat dan
sanitasi yang buruk. Sehingga untuk mempertahankan status gizi yang baik perlu
intervensi gizi melalui pemberian makanan tambahan (PMT) khususnya kepada anak

58
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan PMT balita di
wilayah kerja Puskesmas Muara Kati
2. Ada hubungan antara PMT balita dengan status gizi balita di wilayah kerja
Puskesmas Muara Kati .
3. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita di
wilayah kerja Puskesmas Muara Kati .
4. Ada hubungan pendapatan perkapita terhadap status gizi balita di wilayah kerja
Puskesmas Muara Kati
5. Tidak Ada hubungan budaya setempat dengan status gizi balita di wilayah kerja
Puskesmas Muara Kati

B. SARAN
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas Peningkatan pembinaan ke
Puskesmas dalam menangani kasus gizi kurang dan buruk terutama
Puskesmas yang terdapat kasus gizi kurang dan buruk paling tinggi.
2. Bagi Puskesmas Muara Kati Kabupaten Musi Rawas
Penyuluhan tentang keluarga sadar gizi (Kadarzi) untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat khususnya ibu sehingga dalam penyediaan makanan
dalam keluarga khususnya bagi balita dapat memperhatikan aspek gizinya
Perlunya pemantauan status gizi pada balita secara berkala oleh sub bagian
gizi sehingga keadaan status gizi balita dapat diketahui dan segera dilakukan
penggulangan apabila terjadi penurunan status gizi. Bekerja sama dengan
organisasi masyarakat seperti kader PKK dan Karang Taruna untuk
meningkatkan program penyuluhan kesehatan masyarakat dan program
pemantauan status gizi balita.
3. Bagi Masyarakat Terutama Kaum Ibu
Hendaknya para ibu mengikuti perkembangan informasi kesehatan khususnya
menyangkut balita baik melalui kegiatan penyuluhan maupun dari media cetak
dan elektronik. Hendaknya para ibu selalu aktif mengikuti Posyandu sehingga
dapat diketahui perkembangan status gizi balitanya

59
DAFTAR PUSTAKA

Noto Atmojo S, Metode penelitian kesehatan. Jakarta Rineka Cipta 2010

Gizi, Depkes, 2009 “ Analisis Antropometri Balita – susenars 2017diakses dari


http://www.gizi.net

Rencana aksi nasional dan Penanggulangan gizi Buruk Depkes RI 2015

makalah-gizi-buruk-lengkap_akperRST diakses dari http:// www.slideshare.net

Makalah Gizi Buruk dan Penanggulangannya ~ Health and Daily Information


survepi.blogspot.co.id

Pusat Kesehatan Masyarakat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia


bebasid.wikipedia.org

MPASI Diberikan setelah Bayi Berusia 6 Bulan - Alodokter www.alodokter.com

MAKALAH GIZI BURUK 2014 | Alifiana Nuraini – Academi

Departemen Kesehatan RI. Panduan Kelompok Gizi Masyarakat (KGM). Jakarta:


Depkes RI, 2009.

JURNAL KESEHATAN PRIMA VOL. 5 NO. 2, AGUSTUS 2011

WHO. Global Strategy For Infant And Young Child Feeding (Report By The
Secretariat). Fifty Fourth World Health Assembly. WHO, 2010

Sarwono Waspadji dkk. 2013. Pengkajian Status Gizi Studi Epidemiologi. Jakarta :
FKUI

Sjahmien Moehji. 2012. Ilmu Gizi (Pengetahuan Dasar ilmu Gizi). Jakarta : PT.
Bhratara

Sunita Almatsier. 2011. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Sugiyono. 2010. Statistik Untuk Penelitian. Bandung : CV Alfabeta

Suhardjo. 2010. Perencanaan Pangan dan Gizi Jakarta : PT. Bumi Aksara

60

Anda mungkin juga menyukai