OLEH :
AMANA
NPM : 162426066 SPP
DOSEN PEMBIMBING
Dr. IDA SAMIDAH, Skp, M.Kes
Jawablah soal dibawah ini dengan penjelasan yang sederhana tetapi lengkap.
JAWAB
Landasan epistemologis : adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah
sehingga diperolehnya ilmu tersebut.
3. Objektivitas :
Artinya Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal baik-buruk dan si
pemilik pengetahuan itulah yang memiliki sikap. Dengan kata lain netralitas ilmu
terletak pada epistemologinya, jika hitam katakan hitam, jika putih katakan putih;
tanpa berpihak kepada siapapun kecuali kebenaran.
Originalitas :
Artinya ilmu pengetahuan merupakan Hasil dari pencarian hakekat pengetahuan
dan kebenaran Ilmu pengetahuan membutuhkan kebebasan berpikir yang sangat luas.
Analisis kritik terhadap faham Empirisme dan Rasionalisme serta Positivisme
tentang pengetahuan
1
Empirisme
adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada
bukti empiris. Dengan empirisme aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat.
Empirisme juga memiliki kekurangan yaitu ia belum terukur. Empirisme hanya sampai
pada konsep-konsep yang umum. kita dapat memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman. Pengetahuan diperoleh dengan perantaraan indera.
Kelebihan empirisme adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan
yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di
lapangan.
Kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Indra terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil
2. indera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulanya rasanya pahit, udara
panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang
salah juga.
3. Objek yang menipu. Contohnya : ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu
sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera, ia membohongi
indera. Ini jelas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
4. Indera dan objek sekaligus. Empirisme lemah karena keterbatasan indera
manusia
Rasionalisme
adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur
pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Dicari dengan akal ialah dicari dengan berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji
apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah. Dengan akal
itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa
kebenaran itu bersumber pada akal.
Rasionalisme itu berpendirian, sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan
karena Rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-
paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.[2] Rasionalisme adalah
paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam
memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan
Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman-
pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka
yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir
menjelaskan dan menekankan kala budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua
manusia, mampu menyusun sistem-sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia.
Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas
sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam, sekaligus memulai
permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem-
sistem filosofis yang subjektif tersebut, doktrin-doktrin filsafat rasio cenderung
mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar
dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara
peka.
2
Positivisme
adalah mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisnya, yang
terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting positivisme.Positivisme sudah dapat
disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur
alam. Positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan
fakta-fakta sajalah yang dapat menjadi obyek pengetahuan.Dengan demikian,
positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek dibelakang fakta, menolak
segala penggunaan metoda diluar yang digunakan untuk menelaah fakta.
3
sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan
yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan 3
dengan kehidupan bernegara. Pengambangan kebudayaan nasional merupakan bagian
kegiatan dari suatu bangsa, baik disari atau tidak maupun dinyatakan secara eksplisit
atau tidak.
Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling
mempengaruhi. Pada suatu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat
tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan dilain pihak, pengembangan ilmu
akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu terpadu secara intim dengan
keseluruhan struktur sosial dan tradisi kebudayaan, mereka saling mendukung satu sama
lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembangkan secara pesat, demikian
sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung
perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapannya.
Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan
kebudayaan. Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu
bangsa.
4
ngunakan kode etik keperawatan, organisasi profesi keperawatan dapat meletakkan
kerangka berpikir perawat untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab kepada
masyarakat, anggota tim kesehatan lain, dan kepada profesi. Untuk itu, etika
keperawatan saat ini penting sekali untuk dilakukan agar perawat dalam melakukan
asuhan keperawatan berperilaku sesuai dengan kode etik keperawatan sehingga tidak
menimbulkan kerugian pada pasien. Kerugian yang dialami pasien akan menyebabkan
ketidakpuasan pasien yang berdampak pada citra perawat dan profesi keperawatan.
7. Tanggung jawab social ilmuwan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa
Dan bernegara Republik Indonesia dalam hubungannya dengan nasionalisme
dan wawasan kebangsaan
dengan cara mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat untuk di terapkan langsung
kepada masyarakat baik melalui penelitian maupun dalam bentuk produk yang
bermanfaat bagi masyarakat.
Akhir-akhir ini berbagai produk aplikatif telah mulai banyak dipamerkan pada publik
Indonesia, yang semuanya merupakan karya anak bangsa. Sebagai sikap nasionalisme
5
BAB II
1. Prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan suatu
penelitian disebut.....
2. Sebutkan unsur metode ilmiah
3. Hasil serapan indra dan pemikiran rasional yang terbuka terhadap pengujian lebih lanjut
menggunakan metode-metode ilmiah disebut....
4. Sebutkan keunggulan serta peranan Metode Ilmiah dalam perkembangan ilmu
pengetahuan...
JAWAB
1. Metode penelitian
6
BAB III
1. Indentifikasi salah satu fenomena keperawatan yang menarik dan akan mengangangkat
sebagai masalah penelitian
JAWAB
1. FENOMENA
Sebagai tindak lanjut dari program pemerintah tentang penangganan status gizi
kurang pada balita atau BGM maka Puskesmas Muara Kati Melakukan Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) di berikan pada anak balita bawah garis merah (BGM) , gizi
kurang dan gizi buruk.
pada anak balita umur 6 bulan ke atas dilaksanakan di wilyah kerja puskesmas Muara
Kati, setelah di berikan PMT berupa susu, biskuit, bubur dan sebagainya peningkatan
status gizi balita tetap lamban, bahkan pernah dalam satu kasus gizi kurang tidak terjadi
peninkatan berat badan (BB) yang berarti. Dengan demikian penulis tertarik melakukan
penelitian secara mendalam tentang hubungan PMT terhadap status gizi balita dalam
hubungannya terhadap peningkatan BB Balita pada gizi kurang / gizi buruk di Puskesmas
Muara kati , Kecamatan Tiang Pumpung kepungut Kabupaten Musi Rawas.
2. A. JUDUL PENELITIAN
B. LATAR BELAKANG
7
tahun 1997 yang sampai saat ini masih kita rasaka. Keadaan ini menyebabkan semakin
meningkatnya jumlah keluarga miskin yang diikuti dengan peningkatan prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk. Meningkatnya prevalensi gizi kurang maupun gizi buruk
memberi dampak terhadap kualitas sumber daya manusia di masa datang (Depkes RI,
2003). Hasil RISKESDAS tahun 2007 yaitu status gizi anak Balita untuk gizi kurang
dan Gizi Buruk tingkat nasional 18,4%, sedangkan NTB 24,8%, dan Kabupaten
Lombok Barat 27,6%. Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Propinsi NTB tersebut.
Tujuan pembangunan nasional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia
yang sehat dan mandiri. Strategi pencapaian tujuan tersebut adalah Melalui
Indonesia sehat 2010 dengan fokus membentuk manusia berkualitas. Indikatornya
adalah manusia yang mampu hidup lebih lama (terukur dengan umur harapan hidup),
menikmati hidup ehat (terukur dengan angka kesakitan dan kurang gizi),
mempunyai kesempatan meningkatkan ilmu pengetahuan (terukur dengan angka melek
huruf dan tingkat pendidikan), dan hidup sejahtera (terukur dengan tingkat pendapatan
per kapita yang cukup memadai atau bebas kemiskinan) (Yayuk Farida Baliwati dkk,
2004 : 8).
Usia dibawah 5 tahun atau balita merupakan usia penting dalam pertumbuhandan
perkembangan fisik anak. Pada usia ini anak masih rawan dengan gangguankesehatan,
baik jasmani maupun rohani. Salah satu faktor yang menentukan dayatahan tubuh
seorang anak adalah keadaan gizinya. Pertumbuhan anak pada masa balita sangatlah
pesat, sehingga membutuhkan zat gizi yang relatif lebih tinggi dari padaorang dewasa
kasus gizi buruk umumnya menimpa balita dengan latar belakang ekonomi lemah.
Gizi kurang dan gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Asupan gizi yang baik sering tidak bisa dipenuhi oleh seorang anak,
diantaranya karena faktor ekonomi keluarga, pendidikan, dan jumlah keluarga.
Pertumbuhan anak pada masa balitasangatlah pesat, sehingga membutuhkan zat gizi
yang relatif lebih tinggi dari pada orang dewasa
Salah satu tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2005-2009 bidang kesehatan adalah memberikan prioritas kepada perbaikan kesehatan
masyarakat, perbaikan gizi pada bayi dan anak. Rencana strategi pemerintah untuk
menindaklanjuti tujuan RPJMN yang paling utama adalah menurunkan prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk, yaitu 2 (dua) masalah gizi utama yang disebabkan oleh
kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan protein (Depkes RI, 2006).
Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab masalah gizi di Indonesia seperti
keadaan fisiologis, keadaan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Namun akar
permasalahan terletak pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai pertengahan
tahun 1997 yang sampai saat ini masih kita rasakan. Keadaan ini menyebabkan
semakin meningkatnya jumlah keluarga miskin yang diikuti dengan peningkatan
prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Meningkatnya prevalensi gizi kurang maupun
gizi buruk memberi dampak terhadap kualitas sumber daya manusia di masa datang
(Depkes RI, 2003). Hasil RISKESDAS tahun 2007 yaitu status gizi anak Balita untuk
gizi kurang dan Gizi Buruk tingkat nasional 18,4%, sedangkan NTB 24,8%, dan
Kabupaten Lombok Barat 27,6%. Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Propinsi
NTB tersebut masih jauh dari target pencapaian nasional yaitu 18,5% pada tahun 2015.
Keadaan ini akan terus meningkat jika tidak memperoleh penanganan yang tepat dan
baik (Depkes RI, 2009). Untuk menanggulangi permasalahan tersebut di atas, sejumlah
8
kegiatan dilakukan bertumpu kepada perubahan perilaku terutama dalam program
pemberikan air susu ibu (ASI) eksklusif pada bayi mulai lahir sampai berusia 6 bulan
dan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) yang cukup setiap hari.
Nilai gizi yang dianjurkan untuk MP-ASI bayi dan anak yaitu 250 kalori, protein 6–8
gram untuk bayi usia 6–11 bulan, dan sebanyak 450 kalori, 12–15 gram protein untuk
usia anak 12–24 bulan (WHO, 1998). UNICEF pada tahun 1999, dalam penelitiannya
menemukan adanya kualitas MP-ASI yang dibuat di rumah tangga terdiri dari 50% dari
kecukupan energi, cukup protein, rendah zat gizi mikro (30% Zn dan Fe), serta 50%
Vitamin (Depkes RI, 2003). Beberapa jenis MP-ASI buatan pabrik memberi
kemudahan bagi ibu-ibu yang tidak sempat menyediakan makanan tambahan bagi bayi
dan anaknya, namun harganya masih relatif mahal bagi kelompok masyarakat miskin.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan prevalensi gizi
kurang/buruk adalah dengan pemberian MP-ASI blendeed food (difortifikasi) yang
diberikan secara gratis, jenis MPASI yang diberikan bermerek vetadele yang
merupakan proyek bantuan UNICEF. Program MPASI ini sejak tahun 2003 hingga
tahun 2016 terus diberikan pada anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk pada
tahap rehabilitasi secara nasional
Upaya pemerintah tersebut belum juga dapat menuntaskan kasus gizi kurang
dan gizi buruk. Oleh karena itu, perlu suatu teorbosan yang dilakukan oleh, dari, dan
untuk masyarakat melalui model perbaikan gizi dengan Kelompok Gizi Masyarakat.
Diharapkan dengan membentuk kelompok, masyarakat dapat berperan aktif,
meningkatkan kemampuan, dan kemandirian masyarakat untuk peduli dalam
memecahkan dan menerapkan keluarga sadar gizi untuk meningkatkan status gizi anak
balitanya (Depkes RI, 2009). Untuk mengetahui peran metode kelompok gizi dalam
pemberian makanan tambahan agar memberi hasil sesuai dengan tujuan dan mampu
memenuhi kebutuhan sasaran, terutama kaitannya dalam meningkatkan status gizi,
maka perlu dilakukan studi yang tujuannya mengetahui apakah ada pengaruh
pemberian makanan tambahan melalui metode kelompok gizi terhadap peningkatan
status gizi anak balita BGM Di wilayah kerja puskesmas muara kati .
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan tujuan
perbaikan gizi adalah untuk meningkatkan mutu gizi perorangan dan masyarakat. Mutu
gizi akan tercapai antara lain melalui penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu
dan profesional di semua institusi pelayanan kesehatan. Salah satu pelayanan kesehatan
yang penting adalah pelayanan gizi di Puskesmas, baik pada Puskesmas Rawat Inap
maupun pada Puskesmas Non Rawat Inap. Pendekatan pelayanan gizi dilakukan
melalui kegiatan spesifik dan sensitif, sehingga peran program dan sector terkait harus
berjalan sinergis. Pembinaan tenaga kesehatan/tenaga gizi puskesmas dalam
pemberdayaan masyarakat menjadi hal sangat penting.
Puskesmas merupakan penanggung jawab penyelenggara upaya kesehatan
tingkat pertama. Untuk menjangkau seluruh wilayah kerjanya, Puskesmas diperkuat
denganPuskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, dan Upaya Kesehatanan
Berbasis Masyarakat (UKBM) yang disebut sebagai Puskesmas dan jejaringnya.
Sedangkan untuk daerah yang jauh dari sarana pelayanan rujukan, didirikan Puskesmas
Rawat Inap. Menurut data dari Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan
per Desember tahun 2011 jumlah Puskesmas di seluruh Indonesia adalah 9.321
unit,diantaranya 3.025 unit Puskesmas Rawat Inap, dan selebihnya yaitu 6.296 unit
9
Puskesmas non Rawat Inap Puskesmas dan jejaringnya harus membina
Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat.
Pelayanan gizi di Puskesmas terdiri dari kegiatan pelayanan gizi di dalam
gedung dan di luar gedung. Pelayanan gizi di dalam gedung umumnya bersifat
individual, dapat berupa pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Kegiatan di dalam gedung juga meliputi perencanaan program pelayanan gizi yang
akan dilakukan di luar gedung. Sedangkan pelayanan gizi di luar gedung umumnya
pelayanan gizi pada kelompok dan masyarakat dalam bentuk promotif dan preventif.
Dalam pelaksanaan pelayanan gizi di Puskesmas, diperlukan pelayanan yang bermutu,
sehingga dapat menghasilkan status gizi yang optimal dan mempercepat proses
penyembuhan pasien. Pelayanan gizi yang bermutu dapat diwujudkan apabila tersedia
acuan untuk melaksanakan pelayanan gizi yang bermutu sesuai dengan 4 pilar dalam
Pedoman Gizi Seimbang (PGS).
Puskesmas Muara kati merupakan pusat pelayanan kesehatan yang
berada di kecamatan Tiang Pumpung kepungut Kabupaten Musi rawas, provinsi
Sumatera Selatan, mempunyai 10 desa binaan, menyelenggarakan upaya kesehatan
yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh
masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat
dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan
dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai
derajad kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada
perorangan.
Salah satu pelayanan UKM yang dilaksanakan adalah pelayanan gizi
masyarakat, Masi terdapat nya kasus gizi kurang di wilayah kerja puskesmas muara
kati memicu penulis untuk menilai efek dari pemberian makanan tambahan terhadap
status gizi balita yang mendapatkan pelayanan
Bagaimanakah masalah gizi buruk di indonesia ?
Sebagai salah satu Indikator yang mudah ditemui dan diukur dari Ketahanan
Pangan Rumah Tangga, status Gizi Balita saat ini perlu mendapat perhatian yang
khusus.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, besaran masalah gizi pada
balita di Indonesia yaitu 19,6% gizi kurang, diantaranya 5,7% gizi buruk; gizi lebih
11,9%,stunting (pendek) 37,2%. Proporsi gemuk menurut kelompok umur, terdapat
angka tertinggi baik pada balita perempuan dan laki-laki pada periode umur 0-5 bulan
dan 6-11 bulan dibandingkan kelompok umur lain. Hal ini menunjukkan bahwa
sampai saat ini masih banyak masyarakat khususnya ibu balita yang mempunyai
persepsi tidak benar terhadap balita gemuk. Data masalah Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium (GAKI) berdasarkan hasil survei nasional tahun 2003 sebesar
11,1% dan menurut hasil Riskesdas 2013, anemia pada ibu hamil sebesar 37,1%.
Apabila ditinjau menurut provinsi, terlihat ada 19 provinsi yang mempunyai
proporsi lebih tinggi dari angka Nasional. Proporsi tertinggi Balita Giburkur terdapat
pada provinsi Nusa Tenggara Timur (33%). Sedangkan proporsi terendah Giburkur
pada provinsi Bali (13,2 %).
Salah satu masalah gizi kurang Indonesia yaitu Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
10
Dampak dari tingginya angka BBLR ini akan berpengaruh pada tingginya angka
kematian bayi. Selain itu, masalah gizi kurang lainnya yaitu kurang gizi makro seperti
kurang kalori protein, dan kurang gizi mikro seperti gangguan akibat kekurangan
yodium, anemia kekurangan zat gizi besi serta kekurangan vitamin A.
Berdasarkan data Departemen kesehatan tahun 2014 yang dikutip dari BPS tahun
2014, dapat diketahui bahwa dari sekitar 5 juta anak balita terdapat 27,5 persen yang
kekurangan gizi, 19,2 persen yang berada dalam tingkat gizi kurang, dan 8,3 persen
termasuk gizi buruk, meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit, kasus gizi buruk lebih
cepat menarik perhatian media massa karena dapat terlihat nyata dengan penderitaan
anak yaitu sakit, kurus, bengkak (busung), dan lemah. Selain itu mereka mudah dikenal
dan dihitung karena dibawa ke rumah sakit. Berbeda dengan anak gizi kurang,
meskipun jumlahnya lebih banyak, mereka kurang mendapat perhatian karena tidak
mudah diketahui secara umum.
Pada dasarnya banyak cara yang dapat dilakukan oleh orang tua dan masyarakat
untuk menjaga agar anak yang sehat dan bergizi kurang dapat terhindar dari gizi buruk.
Salah satunya adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak (terutama
baduta) dengan KMS.
Data tahun 2016 di Kabupaten Musi rawas menunjukkan masih banyak balita
yang status gizinya berada dibawah garis standar yaitu sebanyak 12,04%. Dari hasil
survei di Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas diketahui bahwa dari beberapa
Puskesmas yang ada dilakukan pemantauan status gizi pada balita dengan sampel
tertentu didapatkan 5 Puskesmas yang terdapat kasus gizi kurang dan gizi buruk
secara berturut-turut adalah sebagai berikut : Puskesmas Cecar 13,3%,
Puskesmas ciptodadi 12,6%, Puskesmas Muara Kelingi 11,4%, Puskesmas
Muara Kati 2,8% (Dinkes Kab. Musi Rawas : 2017).
Balita yang berada dibawah garis merah (BGM) di Puskesmas Muara Kati pada
tahun 2016 yaitu 2,8%. Pada tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 1,08%
(Dinkes Kab. Musi Rawas, 2017 ).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti ingin mengetahui apakah ada
hubungan antara pemberian makanan tambahan terhadap peningkatan status gizi anak
balita di Puskesmas Muara Kati
1. Penyebab langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya
gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga
penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada
akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula anak yang tidak memperoleh
cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang
penyakit. Asupan makanan yang kurang, dalam hal ini pemberian Air Susu Ibu dan
pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) merupakan penyebab langsung
terjadinya gizi kurang dan gizi buruk.
2. Penyebab tidak langsung terdapat tiga penyebab tidak langsung yang menyebabkan
gizi kurang dan gizi buruk yaitu:
11
1) Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diaharapkan
mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam
jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Namun kadang-kadang
bencana alam, perang, maupun kebijaksanaan politik maupun ekonomi yang
memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini.
2) Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan masyarakat
diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak
agar dapat tumbuh kembang dengan baik, baik fisik, mental, dan sosial. Suatu
studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan anak
balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang
tua mereka semuanya berprofesi sebagi petani. Dari studi ini diketahui pola
pengasuhan anak berpengaruh terhadap timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh
ibunya sendiri dengan kasih sayang, mengerti akan pentingnya ASI, Posyandu,
kebersihan, anaknya akan lebih sehat.
3) Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistem pelayanan
kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana
pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan. Pelayan kesehatan yang dimaksu yaitu imunisasi, penanganan
diare dengan oralit, tindakan cepat pada anak balita yang tidak naik berat badan,
pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di
Posyandu, Penyediaan Air Bersih, kebersihan lingkungan, dan sebagainya.
Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan
keterampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan
keterampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola
pengasuhan maka akan makin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan
kesehatan.
12
bulan (WHO, 1998). UNICEF pada tahun 1999, dalam penelitiannya menemukan
adanya kualitas MP-ASI yang dibuat di rumah tangga terdiri dari 50% dari kecukupan
energi, cukup protein, rendah zat gizi mikro (30% Zn dan Fe), serta 50% Vitamin
(Depkes RI, 2003).
Beberapa jenis MP-ASI buatan pabrik memberi kemudahan bagi ibu-ibu yang
tidak sempat menyediakan makanan tambahan bagi bayi dan anaknya, namun harganya
masih relatif mahal bagi kelompok masyarakat miskin.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan prevalensi gizi
kurang/buruk adalah dengan pemberian MP-ASI blendeed food (difortifikasi) yang
diberikan secara gratis, jenis MPASI yang diberikan merupakan proyek bantuan
UNICEF dan MP ASI biskuit untuk usia balita yang pada kemasannya berlabel
DEPKES RI untuk direktorat gizi masyarakat yang mengandung 10 vitamin dan 7
mineral, Program MPASI ini sejak tahun 2003 hingga tahun 2016 terus diberikan pada
anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk pada tahap rehabilitasi secara
nasional (Depkes RI, 2003). PB/U (tidak ada perbedaan yang bermakna secara
statistik). Upaya pemerintah tersebut belum juga dapat menuntaskan kasus gizi kurang
dan gizi buruk di Indonesia.
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Apakah ada pengaruh pemberian makan tambahan terhadap
peningkatan status gizi balita kurang energi protein terhadap peningkatan status
gizi anak Balita BGM di wilayah kerja Puskesmas Muara Kati Kabupaten Musi
Rawas.
2. Tujuan Khusus
a) Apakah ada hubungan antara pola makan balita dengan status gizi balita di
wilayah kerja Puskesmas Muara kati Kabupaten Musi Rawas
b) Apakah ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita di
13
wilayah kerja Puskesmas Muara kati Kabupaten Musi Rawas
c) Membantu masyarakat dalam upaya mencegah bertambahnya penderita gizi
buruk di Indonesia
d) Untuk Mengetahui pran pemerintah dalam mengatasi masalah Gizi di
Indonesia
e) Mengetahui pokok permasalahan di masyarakat
f) untuk mengetahui pengaruh Pemberian Makanan Tambahan melalui Metode
Kelompok Gizi terhadap peningkatan status gizi anak Balita BGM di
wilayah kerja Puskesmas Muara kati
g) Untuk memenuhi tugas belajar mata kuliah metode penelitian
14
BAB IV
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengetahuan Gizi
a) Tahu (know)
diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah.
b) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai mengingat suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c) Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagi kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipejari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
d) Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Sintesis
(synthetis) Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada.
e) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Menurut Suhardjo dkk, (1986 : 31), suatu hal yang meyakinkan tentang
pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :
1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
2) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya
mampumenyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang
optimal, pemeliharaan dan energi.
3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan panan dengan baik bagi kesejahteraan gizi
15
2. Pola Makan
Lie Goan Hong dalam Soegeng Santoso dan Anne lies Ranti (1999 : 89)
mengemukakan bahwa pola makan adalah berbagai informasi yang memberi
gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari
oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat
tertentu. Menurut Suhardjo dkk, (1986 : 251), pola makan adalah cara yang
ditempuh seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan dan
mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, udaya
dan sosial. Pola makan adalah informasi tentang macam-macam dan jumlah
zatzat gizi dalam bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh seseorang.
Pangan dan gizi sangat berkaitan erat karena gizi seseorang sangat tergantung
pada kondisi pangan yang dikonsumsinya. Masalah pangan antara lain
menyangkut ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang
dipengaruhi oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan adat/kepercayaan
yang terkait dengan tabu makanan. Sementara, permasalahan gizi tidak hanya
terbatas pada kondisi kekurangan gizi saja, melainkan tercakup pula kondisi
kelebihan gizi (Yayuk Farida Baliwati dkk, 2004 : 19).
Menurut Sunita Almatsier (2004 : 1), zat gizi adalah ikatan kimia yang
diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan
energi,membangun dan memelihara jaringan serta mengatur proses-proses
kehidupan.
Zat-zat makanan yang diperlukan tubuh dapat dikelompokkan menjadi
5, yaitu : karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
1) Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber tenaga utama kegiatan sehari-hari
Terdiri dari unsur C, H, dan O. Berdasarkan gugus penyusun gulanya
dapat dibedakan menjadi monosakarida, disakarida dan polisakarida.
Karbohidrat terdiri dari tepung terigu seperti : nasi; kentang; mie;
ubi; singkong dll., gula seperti : gula pasir; gula merah dll. Dampak
yang ditimbulkan apabila kekurangan karbohidrat sebagai sumber
energi dan kekurangan protein adalah KEP (Kurang Energi Protein).
2) Protein
3) Terdiri dari unsur C, H, O dan N, dan kadang – kadang S dan P,
diperoleh melalui tumbuh-tumbuhan (protein nabati) dan melalui
hewan (protein hewani) berfungsi : Membangun sel – sel yang telah
rusak ; membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon ;
membentuk zat anti energi, dalam hal ini tiap gram protein
menghasilkan sekitar 4,1 kalori Perlu diperhatikan bahwa apabila
tubuh menderita kekurangan protein, maka serangan penyakit busung
lapar (hongeroedeem) akan selalu terjadi. Protein banyak terdapat
16
4) pada ikan, daging, telur, susu tahu, tempe dll. Lemak Lemak juga
merupakan sumber tenaga. Lemak merupakan senyawa organik yang
majemuk, terdiri dari unsur-unsur C, H, O yang membentuk senyawa
asam lemak dan gliserol (gliserin) apabila bergabung dengan zat lain
akan membentuk lipoid --- fosfolipid dan sterol. Berfungsi : penghasil
kalori terbesar yang dalam hal ini tiap gram lemak menghasilkan
sekitar 9,3 kalori ; sebagai pelarut vitamin tertentu, seperti A, D, E, K
; sebagai pelindung alat-alat tubuh dan sebagai pelindung tubuh dari
temperatur rendah.
5) Vitamin
Vitamin dikelompokkan menjadi; vitamin yang larut dalam air,
meliputi vitamin B dan C dan vitamin yang larut dalam lemak/minyak
meliputi A, D, E, dan K. di Indonesia saat ini anak kelompok balita
menunjukkan prevalensi tinggi untuk defisiensi vitamin A. Vitamin A
(Aseroftol) berfungsi : penting bagi pertumbuhan sel-sel epitel dan
penting dalam proses oksidasi dalam tubuh serta sebagai pengatur
kepekaan rangsang sinar pada saraf mata.
6) Mineral
merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang sangat
sedikit. Contoh mineral adalah zat besi/Fe, zat fosfor (P), zat kapur
(Ca), zat fluor (F), natrium (Na), chlor (Cl), dan kalium (K).
Umumnya mineral terdapat cukup di dalam makanan sehari-hari.
Mineral mempunyai fungsi : sebagai pembentuk berbagai jaringan
tubuh, tulang, hormon, dan enzim ; sebagai zat pengatur berbagai
proses metabolisme, keseimbangan cairan tubuh, proses pembekuan
darah. Zat besi atau Fe berfungsi sebagai komponen sitokrom yang
penting dalam pernafasan dan sebagai komponen dalam hemoglobin
yang penting dalam mengikat oksigen dalam sel darah merah.
17
Golongan Berat Tinggi Energi Protein Vitamin Besi/Fe
Umur Badan Badan (cm) (Kkal) (g) A (RE) (mg)
(kg)
0-6 bln 5.5 60 560 12 350 3
7-12 bln 8.5 71 800 15 350 5
1-3 bln 12 90 1250 23 350 8
4-6 bln 18 110 1750 32 460 9
sumber : Muhilal, Fasli Djalal dan hardinsyah (1998, Angka kecukupan gizi yang dianjurkan,
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI, Jakarta:LIPI) dalam Soekirman, 1999/2000 : 39
18
Pengetahuan tentang kadar zat gizi dalam berbagai bahan makanan bagi
kesehatan keluarga dapat membantu ibu memilih bahan makanan yang harganya
tida begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi (Sjahmien Moehji, 2002 : 6).
Setiap anggota keluarga khususnya balita harus cukup makan setiap hari
untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sehingga keluarga perlu belajar menyediakan
gizi yang baik di rumah melalui pangan yang disiapkan dan dihidangkan serta
perlu membagikan pangan di dalam keluarga secara merata, sehingga setiaporang
dapat makan cukup pangan yang beraneka ragam jenisnya guna memenuhi
kebutuhan perorangan (Suhardjo dkk, 1986 : 114).
Membentuk pola makan yang baik untuk seorang anak menuntut kesabaran
seorang ibu. Pada usia pra sekolah, anak-anak seringkali mengalami fasesulit
makan. Kalau problem makan ini berkepanjangan maka dapat
mengganggutumbuh kembang anak karena jumlah dan jenis gizi yang masuk
dalam tubuhnya kurang (Ali Khomsan, 2004 : 33).
1) Pendapatan
Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi
pertama pada kondisi yang umum (Suhardjo, 2003 : 8). Pada umumnya
jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung
untuk membaik juga (Suhardjo dkk, 1986 : 25).
Besar kecilnya pendapatan keluarga berpengaruh terhadap pola
konsumsi makanan dan pola konsumsi makanan dipengaruhi pula oleh
faktor sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu bagi suatu masyarakat
dengan tingkat pendapatan rendah, usaha perbaikan gizi erat
hubungannya dengan usaha peningkatan pendapatan dan pembangunan
sumber daya manusia (Djiteng Roedjito D., 1989:1).
2) Banyaknya anggota keluarga
Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin,
akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus
diberi makan jumlahnya sedikit. Anak yang tumbuh dalam suatu
keluarga yang miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara
seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling
terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebagian memang demikian,
sebab seandainya besarnya keluarga bertambah, maka pangan untuk
setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa
anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak
daripada anak-anak yang lebih tua (Suhardjo dkk, 1986 : 28).
3) Budaya
Berbagai kebiasaan yang bertalian dengan pantang makan
makanan tertentu masih sering kita jumpai terutama di daerah pedesaan,
misalnya larangan terhadap anak untuk makan telur, ikan ataupun
daging hanya berdasarkan kebiasaan yang tidak ada dasarnya dan hanya
diwarisi secara turun temurun, padahal anak itu sendiri sangat
memerlukan bahan makanan seperti itu guna keperluan pertumbuhan
tubuhnya (Sjahmien Moehji, 2002 : 5).
19
Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan
penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip
ilmu gizi. Misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh sesuatu budaya
masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan
tertentu (Suhardjo, 2003 : 9). Dikemukakan juga oleh Yetty Nency dan
Muhamad Thohar (2005 : 4), bahwa kebiasaan, mitos atau
kepercayaan/adapt istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam
pemberian makan akan sangat merugikan anak.
A. Berg (1986) dalam Peranan Gizi Dalam Pelaksanaan
Pembangunan Nasional yang dikutip oleh G. Kartasapoetra dan
Marsetyo (2002 : 13), mengatakan bahwa diberbagai negara atau daerah
terdapat tiga kelompok masyarakat yang biasanya mempunyai makanan
pantangan, yaitu anak kecil, ibu hamil dan ibu menyusui. Khusus
mengenai hal itu di Indonesia antara lain dikemukannya bahwa pada
anak kecil di banyak daerah, makanan yang bergizi dijauhkan dari anak,
karena takut akan akibat-akibat yang sebaliknya. Di berbagai daerah
ikan dilarang untuk anak-anak karena menurut kepercayaan mereka,
ikan dapat menyebabkan cacingan, sakit mata atau sakit kulit. Di tempat
lain kacang-kacangan yang kaya dengan protein seringkali tidak
diberikan kepada anak-anak karena khawatir perutnya anaknya akan
kembung.
4) Pengetahuan
Faktor yang mempengaruhi pola makan dalam keluarga khususnya pada
balita adalah faktor pengetahuan. Pembahasan tentang pengetahuan
telah diuraikan pada bagian pengetahuan gizi ibu.
3. Status Gizi
Menurut I Dewa Nyoman Supariasa dkk, (2001 : 19), penilaian status gizi
20
dibagi menjadi 2 yaitu penilaian status gizi secara langsung dan penilaian
status gizi secara tidak langsung.
21
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi
badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan
searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan
tertentu. (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 19). Dari
berbagai jenis-jenis indeks tersebut, untuk
menginterpretasikannya dibutuhkan ambang batas, penentuan
ambang batas diperlukan kesepakatan para Ahli Gizi. Ambang
batas dapat disajikan kedalam 3 cara yaitu, persen terhadap
median, persentil dan standar deviasi unit.
i). Persentil Terhadap Median Median adalah nilai tengah dari suatu
populasi. Dalam antropometri gizi median sama dengan persentil 50
Indeks
Status Gizi
BB/U TB/U BB/TB
ii). Persentil
Para pakar merasa kurang puas dengan menggunakan persen terhadap
median, akhirnya mereka memilih cara persentil. Persentil 50 sama dengan
median atau nilai tengah dari jumlah populasi berada di atasnya dan
setengahnya berada di bawahnya. National Center for Health Statistics
(NCHS) merekomendasikan persentil ke 5 sebagai batas gizi baik dan
kurang, serta persentil 95 sebagai batas gizi lebih dan gizi baik (I Dewa
Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 70). iii). Standar Deviasi Unit (SD)
Standar deviasi unit disebut juga Z-skor. WHO menyarankan
menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan (I
Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 70).
Rumus perhitungan Z – Skor :
Z – Skor = Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku Rujukan
NilaiSimpang Baku Rujukan
Tabel 4.
Klasifikasi Status Gizi Menggunakan Z – Skor
Gizi Lebih ≥ + 2 SD
Gizi Baik ≥ - 2 SD dan < + 2 SD
Gizi Kurang ≥ - 3 SD dan < - 2 SD
Gizi Buruk < - 3 SD
Sumber : Soekirman, 1999/2000 : 76.
b. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk
menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas
perubahanperubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
(supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa
oral atau pada organorgan yang dekat dengan permukaan tubuh seperti
kelenjar tiroid (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 19).
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei secara cepat.
Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara tepat tanda-tanda klinis
umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu
digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan
melakukan pemeriksaan secara fisik yaitu tanda (sign) dan gejala
(symptom) atau riwayat penyakit (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001
: 19).
c. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain :
darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot
(I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 19).
Metode ini digunakan untuk peringatan bahwa kemungkinan akan
terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis
yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak
23
menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik (I Dewa
Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 19).
d. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan
status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan)
dan melihat perubahan struktur dari jaringan (I Dewa Nyoman Supariasa
dkk, 2001 : 20) .
Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian
buta senja epidemik. Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap (I
Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 20)
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu :
survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
a. Survei Konsumsi Pangan
Survei konsumsi pangan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 20). Pengumpulan
data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang
konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu.
Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat
gizi (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 20).
b. Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab
tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi (I Dewa
Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 20).
Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak
langsung pengukuran status gizi masyarakat (I Dewa Nyoman
Supariasa dkk, 2001 : 19).
c. Faktor Ekologi
Bengoa dalam I Dewa Nyoman Supariasa dkk, (2001 : 21),
mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai
hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.
Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi
seperti iklim, tanah, irigasi dll.
Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk
mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar
untuk melakukan program intervensi gizi (I Dewa Nyoman Supariasa
dkk, 2001 : 21).
1) Anak balita masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke makanan
orang dewasa, jadi masih memerlukan adaptasi.
2) Anak balita dianggap kelompok umur yang paling belum berguna bagi
keluarga, baik tenaga maupun kesanggupan kerja penambah
keuangan.anak itu sudah tidak begitu diperhatikan dan pengurusannya
sering diserahkan kepada saudaranya yang lebih tua, tetapi sering belum
cukup umur untuk mempunyai pengalaman dan ketrampilan untuk
mengurus anak dengan baik.
3) Ibu sering sudah mempunyai anak kecil lagi atau sudah bekerja penuh,
sehingga tidak lagi dapat memberikan perhatian kepada anak balita,
apalagi mengurusnya.
4) Anak balita masih belum dapat mengurus sendiri dengan baik, dan
belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukannya
untuk makanannya.
5) Anak balita mulai turun ke tanah dan berkenalan dengan berbagai
kondisi yang memberikan infeksi atau penyakit lain, padahal tubuhnya
belum cukup mempunyai immunitas atau daya tahan untuk melawan
bahaya kepada dirinya (Achmad Djaeni Sediaoetama, 2000 : 239).
Infeksi dan demam dapat menyebabkan merosotnya nafsu makan
atau menimbulkan kesulitan manelan dan mencerna makanan. Parasit
dalam usus, seperti cacing gelang dan cacing pita bersaing dengan tubuh
dalam memperoleh makanan dan dengan demikian menghalangi zat gizi
ke dalam arus darah. Keadaan yang demikian membantu terjadinya
kurang gizi (Suhardjo dkk, 1986 : 33).
Tabel 5. PMT balita KEP di wilayah kerja Puskesmas Muara kati tahun 2017
No Jenis bahan makanan jumlah Nilai Gizi Energi
Energi Protein
1 Telur ayam 60 gr 97, 2 kkal 7,68 gr
2 Susu 30 gr 152,7 kkal 7,38 gr
3 Gula Jawa 50 gr 193 kkal 1,5 gr
4 Kacang Hijau 50 gr 172,5 kkal 11,1 gr
5 Biskuit 120 gr 450 kkal 9 gr
Jumlah 310 gr 1066,4 kkal 36,66 gr
Dari tabel di atas tampak bahwa jenis PMT yang diberikan setiap hari
adalah bahan mentah dari bahan – bahan lokal dan memberikan tambahan
asupan makanan dengan nilai gizi energi 1066,4 kalori dan protein 36,66
gram. Nilai gizi ini cukup tinggi dan bahkan melampaui standart pedoman
pemberian makanan tambahan nasional (Energi 300 - 400 kkal dan 5 – 6 gr
Protein). jika proses pelaksanaan dilakukan dengan baik, sampai sasaran
dapat diterima dengan tepat oleh balita, akan meningkatkan tingkat asupan
energi dan protein sehari-hari, sehingga mampu meningkatkan status
gizinya.
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Sebelum * Bulan Ke -1 * Bulan Ke- 2 * Bulan Ke- 3
PMT
Keterangan :
BB Maksimal
BB Rat- rata
Range
BB Minimal
30
25
20
15
10
6
0
Tabel 6.
Pengaruh pemberian makanan tambahan(PMT) terhadap peningkatan status gizi
balita KEPdi wilayah kerja Puskesmas
29
Hasil uji statistik chi square diperoleh X2 = 33,80 dan nilai p = 0,000
pada α= 0,05, berarti ada perbedaan yang bermakna status gizi sebelum dan
sesudah mendapat PMT. Hal ini menunjukkan ada pengaruh pemberian
makanan tambahan terhadap peningkatan status gizi balita Kurang energi
protein (KEP) di wilayah kerja Puskesmas Muara Kati
B. KERANGKA TEORI
Pendidikan ibu
Pemilihan Bahan
makaanan Balita Pola Makan
PMT Karbohidrat
Protein
-Vitamin
-Fe
Pengetahuan
Gizi Ibu
Pemberian
Makanan Pada
Jumlah anggota balita
keluarga
Penyakit
Infeksi
Budaya Setempat
Pelayanan
Kesehatan
Gambar 1
Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi peneliti dari teori Call dan Levinson (1871) dalam I Dewa
Nyoman Supariasa dkk, 2002 : 6 dan Soekirman, 1999/2000 : 84
30
C. KERANGKA KONSEP
Variabel Penganggu
a. Penyakit Infeksi
b. Pelayanan Kesehatan
c. Pendapatan Perkapita
d. Budaya Setempat
e. Genetik
Gambar 1
Kerangka Konsep
Sumber : Modifikasi peneliti dari teori Call dan Levinson (1871) dalam I Dewa
Nyoman Supariasa dkk, 2002 : 6 dan Soekirman, 1999/2000 : 84
D . HIPOTESIS PENELITIAN
1. Ho : Tidak da hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan PMT balita
Ha : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan PMT balita.
2. Ho : Tidak ada hubungan antara PMT balita dengan status gizi balita.
Ha : Tidak ada hubungan antara PMT balita dengan status gizi balita
3. Ho : Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status
gizi balita
Ha : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi
balita
4. Ho : Tidak ada hubungan pendapatan perkapita terhadap status gizi balita
Ha : Ada hubungan pendapatan perkapita terhadap status gizi balita
5. Ho : Tidak ada hubungan budaya setempat dengan status gizi balita
Ha : Ada hubungan budaya setempat dengan status gizi balita
6. Ho : Tidak ada hubungan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita
Ha : Ada hubungan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita
7. Ho : Tidak ada hubungan penyakit/Infeksi terhadap status gizi balita
Ha : Ada hubungan penyakit/Infeksi terhadap status gizi balita
8. Ho : Tidak ada hubungan genetika dengan status gizi balita
9. Ha : Ada hubungan genetika dengan status gizi balita
31
BAB V
1. Tentukan desain penelitian berdasarkan masalah, tujuan, dan kerangka konsep penelitian
yang anda angkat pada pertemuan sebelumnya
2. Buatlah gambar/bagan desain penelitian tersebut sesuai dengan variabel-variabel yang
anda angkat pada penelitian tersebut!
3. Jelaskan alasan memilih desain tersebut pada penelitian anda!
JAWAB
1. Desain penelitian
32
3. Keuntungan yang utama dari desain cross-sectional adalah memungkinkan penggunaan
populasi dari masyarakat umum, tidak hanya para pasien yang mencari pengobatan,
hingga generalisasinya cukup memadai, Desain ini relatif mudah, murah, dan hasilnya
cepat dapat diperoleh, Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus,Jarang
terancam loss to follow-up (drop out), Dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertama suatu
penelitian kohort atau eksperimen, tanpa atau dengan sedikit sekali menambah
biaya,.Dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat lebih
konklusif.
33
BAB VI
1. Tentukan variabel penelitian berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka konsep yang
anda tentukan pada pertemuan sebelumnya!
2. Buatlah bagan variabel penelitian tersebut!
3. Buatlah tabel defenisi opersional penelitian masing-masing variabel tersebut!
JAWAB
1. Variabel yang di gunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan variabel
terikat
1) Variabel terikat :
Yang di gunankan dalam penelitian ini adalah status gizi buruk pada balita.
2) Variabel bebas
PMT Pada Balita Gizi kurang
status sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit penyerta ,ASI, BBLR,dan
kelengkapan imunisasi.
34
2. Bagan variable penelitian
hasil
35
3. Tabel defenisi operasional penelitian
1 : Ya
2 : Tidak
37
BAB VII
JAWAB
1. Jenis jenis Pengambilan sampel secara garis besar dapat di kelompokan menjadi 2 garis
besar yaitu Probability sampling (sampel acak) dan Non probability sampling
(Sugiono,2000)
A. Probability sampling :
1) Random sampling
adalah metode penarikan dari sebuah populasi atau semesta dengan cara tertentu
sehingga setiap anggota populasi atau semesta tadi memiliki peluang yang sama untuk
terpilih atau terambil..pengambilansampel acak sederhana setiap angota atau unit dari
populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel
2) Proportionate stratified random sampling
teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel bila populasinya berstrata atau
bertingkat
3) Disproportionate stratified random sampling Sugiyono (2001: 59) menyatakan bahwa
teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel bila populasinya berstrata tetapi
kurang proporsiona Area (cluster) sampling (sampling menurut daerah) Teknik ini
disebut juga cluster random sampling. teknik ini digunakan bilamana populasi tidak
terdiri dari individu-individu, melainkan terdiri dari kelompok kelompok individu atau
cluster.
38
4) data dilakukan langsung pada unit sampling. Setelah kuota terpenuhi, pengumpulan
data dihentikan.
5) Purposive sampling
purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Menurut Margono (2004:128), pemilihan sekelompok subjek dalam purposive
sampling didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut
yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya, dengan kata lain
unit sampel yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang
diterapkan berdasarkan tujuan penelitian.
6) Sampling jenuh
Menurut Sugiyono (2001:61) sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila
semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila
jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang. Istilah lain sampel jenuh adalah
sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel.
7) Snowball sampling (Sugiyono, 2001: 61),
Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula
jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih teman-temannya untuk
dijadikan sampel begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak.
Ibarat bola salju yang menggelinding semakin lama semakin besar. Pada penelitian
kualitatif banyak menggunakan purposive dan snowball sampling.
2. Populasi Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah semua balita yang Mengalami Status Gizi
kurang di Puskesmas Muara Kati
Penentuan Populasi
Populasi adalah kumpulan semua individu dalam suatu batas tertentu
(Eko Budiarto, 2002 : 7). Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2002 : 79),
populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Populasi Kasus, yaitu seluruh balita dengan status gizi kurang di wilayah
kerja Puskesmas Muara kati dengan jumlah 20 balita.
2) Populasi Kontrol, yaitu seluruh balita dengan status gizi baik di wilayah kerja
Puskesmas Muara kati dengan jumlah 980 balita
besar sampel
Besarnya sampel pada penelitian ini adalah semua anak balita dengan klasifikasi
Gizi Kurang di Puskesmas Muara Kati Kecamatan Tp Kepungut Kabupaten Musi
Rawas Dan sebagai kontrol adalah balita yang tidak trklasifikasi Gizi Kurang
sebanyak balita dengan klasifikasi Gizi Kurang dari bulan Januari sampai Agustus
2017.
Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan cara total sampling.
kriteria inkulsi
1. Tinggal di tempat yang sama yaitu di wilayah kerja Puskesmas Muara kati
2. Sampel adalah orang yang menggunakan Puskesmas Muara kati sebagi tempat
pelayanan kesehatan.
3. Sampel terdiri dari balita yang diasuh oleh ibunya dan dalam 1 bulan terakhir
39
tidak menderita penyakit infeksi.
4. Responden adalah ibu yang tidak bekerja.
5. Pandapatan perkapita Rp. 850.000
40
BAB VIII
JAWAB
1. Instrumen Yang Digunakan
1). Kuesioner
Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah
matang, dimana responden tinggal memberikan jawabannya. Kuesioner dalam
penelitian ini berupa pertanyaan tentang pengetahuan gizi ibu.
2). Formulir Recall
Formulir Recall dalam penelitian ini berupa daftar makanan dan minuman yang
benar-benar dikonsumsi balita dalam 2 x 24 jam untuk mengetahui pola makan pada
balita.
3). Timbangan Injak
Timbangan injak digunakan untuk megukur berat badan balita sehingga dapat
diketahui status gizinya
Wawancara
Observasi
Dalam penelitian ini peneliti melakukan survei awal tentang banyaknya sampel.
Observasi juga dilakukan untuk mengetahui ukuran rumah tangga dalam
mengkonsumsi makanan.
Dokumentasi
41
Pengukuran
Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran berat badan dengan dengan
menggunakan timbangan injak.
(OP +E )2
#//? #))
x2 = ∑∑
EP #
Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur (Soekidjo Notoatmodjo, 2002 : 129). Menurut Triton PB.
(2006 243) uji validitas atau kesahihan digunakan untuk mengetahui secara tepat
suatu alat ukur mampu melakukan fungsinya.
Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun tersebut mampu mengukur apa
yang hendak kita ukur, maka perlu diuji dengan uji korelasi antara skor (nilai) tiap-
tiap item (pertanyaan) dengan skor total kuesioner tersebut. Selanjutnya dihitung
42
korelasi antara skor masing-masing pertanyaan dengan skor total. Teknik korelasi
yang dipakai adalah teknik
korelasi product moment dengan Pearson yang rumusnya sebagai berikut :
Keterangan :
X = Aitem soal
Y = Skor total
N = Jumlah anggota sampel
(Soekidjo Notoatmodjo, 2002 : 129-131).
Reliabilitas
Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur
dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil
pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas bila dilakukan pengukuran dua kali
atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama
(Soekidjo Notoatmodjo, 2002 : 133).
Metode untuk melakukan uji reliabilitas adalah dengan menggunakan metode
Alpha-Cronbach. Standar yang digunakan dalam menentukan reliabel atau tidaknya
suatu instrumen penelitian umumnya adalah perbandingan nilai r hitung dengan r
tabel pada taraf kepercayaa 95% atau tingkat signifikan 5%. Menurut Santoso yang
dikutip oleh Triton PB. (2006 : 248), apabila alpa hitung lebih besar daripada r tabel
dan alpa hitung bernilai positif, maka suatu instrument penelitian dapat disebut
reliabel. Rumus koefisiensi reliabilitas Alfa Cronbach
43
BAB IX
1. Buatlah hasil penelitian dan pembahasan dari salah satu penelitian keperawatan Yang
ada di perpustakaan
2. Susunlah kesimpulan dan saran berdasarkan tujuan, hipotesis, hasil penelitian dan
pembahasan pada penelitian tersebut
3. Buatlah daftar pustaka dari penelitian tersebut!
HASIL PENELITIAN
a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian dan Deskripsi Data
2) Deskripsi Data
45
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik 1 di bawah ini
60 48 52
50
40
30 14 12 26
20 24 14 10
10
0
46
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik 2 di bawah ini :
60 52
50 38 40
40 32
30 18
20 10
10 4
0 0
5. Umur Balita
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Menurut Umur Balita
Tabel 9 menunjukkan bahwa balita yang berumur antara 15-25 bulan pada
kelompok kasus sejumlah 4 balita (22,0%) dan pada kelompok kontrol sejumlah 2 balita
(18,0%). Balita yang berumur antara 26-36 bulan pada kelompok kasus sejumlah 9
balita (40,0%) dan pada kelompok kontrol sejumlah 4 balita (24,0%). Balita yang
berumur antara 37-47 bulan pada kelompok kasus sejumlah 6 balita (26,0%) dan pada
kelompok kontrol sejumlah 6 balita (26,0%). Balita yang berumur antara 48-58 tahun
pada kelompok kasus sejumlah 1 balita (12,0%) dan pada kelompok kontrol sejumlah 8
balita (32,0%). Dari data distribusi ini erlihat bahwa sebagian besar responden pada
kelompok kasus berumur antara 26-36 tahun sejumlah 4 balita (40,0%), sedangkan
kelompok kontrol sebagian besar berumur 48-58 bulan sejumlah 1 balita (32,0%).
47
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik 3 di bawah ini
60
50 40
40 26 26 32
30 22 18 24
20 12
10
0 0
5. Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel-variabel penelitian. Pada analisis
ini akan menghasilkan distribusi frekuensi dari tiap variabel Varibel yang
berhubungan dengan status gizi balita. Adapun variabelvariabel yang dianalisis yaitu
Tabel 10.
Distribusi Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu
48
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik 4 di bawah ini
88
100
80 52
60
40 24 12
20
49
b) Pola Makan Balita
Tabel 11.
Distribusi Pola Makan Balita
100 82
80 64
60
40 36 18
20
c) Analisis Bivariat
50
Tabel 12.
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Makan Balita
(2) Hubungan antara Pola Makan Balita dengan Status Gizi Balita
Tabel 13.
Hubungan antara Pola Makan Balita dengan Status gizi balita
51
Uji Chi square yang dilakukan terhadap pola makan balita dengan status
gizi balita kelompok kasus dan kontrol didapatkan p value sebesar 0,000
lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), sehingga Ha diterima yang menyatakan
bahwa ada hubungan antara pola makan balita dengan status gizi balita,
serta diperoleh koefisisen kontingensi (CC = 0,42), artinya ada hubungan
yang cukup kuat antara pola makan balita dengan status gizi balita. Hasil
perhitungan Odd Rasio di atas, pengelompokan pola makan dikategorikan
menjadi dua yaitu baik dan tidak baik. Nilai Odd Rasio yang diperoleh
adalah 8,1 yang berarti bahwa balita dengan pola makan tidak baik
mempunyai risiko untuk mengalami status gizi kurang 8,1 kali lebih besar
daripada balita dengan pola makan baik.
(3). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi Balita
Tabel 14.
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi Balita
Pengetahuan
gizi ibu Kasus Kontrol Total p value CC QR
Uji Chi square yang dilakukan terhadap tingkat pengetahuan gizi ibu
dengan status gizi balita kelompok kasus dan kontrol didapatkan p value
sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), sehingga Ha diterima
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu
dengan status gizi balita, serta diperoleh koefisisen kontingensi (CC = 0,37),
artinya ada hubungan yang lemah antara tingkat pengetahuan gizi ibu
dengan status gizi balita. Hasil perhitungan Odd Rasio di atas,
pengelompokan tingkat pengetahuan gizi ibu dikategorikan menjadi dua
yaitu baik dan kurang baik. Nilai Odd Rasio yang diperoleh adalah 6,8 yang
berarti bahwa balita yang memiliki ibu pada tingkat pengetahuan gizi kurang
baik mempunyai risiko untuk mengalami status gizi kurang 6,8 kali lebih
besar daripada balita yang memiliki ibu pada tingkat pengetahuan gizi baik.
PEMBAHASAN
a) Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Makan Balita
c). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi
Balita Berdasarkan hasil penelitian dengan 20 responden diketahui bahwa
responden yang mempunyai pengetahuan kurang baik pada kelompok kasus sejumlah 9
orang (48,0%), sedangkan pada kelompok kontrol sejumlah 6 orang (12,0%). Responden
yang mempunyai pengetahuan baik pada kelompok kasus sejumlah 6 orang (52,0%),
sedangkan pada kelompok kontrol sejumlah 18 orang (88,0%). Uji Chi square yang
dilakukan terhadap tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita kelompok
kasus dan kontrol didapatkan p value sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05),
sehingga Ha diterima yang menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan
gizi ibu dengan status gizi balita, serta diperoleh koefisisen kontingensi (CC = 0,37),
artinya ada hubungan yang lemah antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi
balita. Nilai Odd Rasio yang diperoleh adalah 6,8 yang berarti bahwa balita yang
memiliki ibu pada tingkat pengetahuan gizi kurang baik mempunyai risiko untuk
mengalami status gizi kurang 6,8 kali lebih besar daripada balita yang memiliki ibu pada
tingkat pengetahuan gizi baik. Menurut Suhardjo (1986 : 31),
suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada
tiga kenyataan :
1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan;
2) setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal,
pemeliharaan dan energi;
3) ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi. Tingkat pengetahuan ibu
tentang gizi yang tinggi dapat mempengaruhi pola makan balita yang pada akhirnya
akan mempengaruhi status gizi balita. Dengan pengetahuan yang baik, seorang ibu dapat
memilih dan memberikan makan bagi balita baik dari segi kualitas maupun kuantitas
yang memenuhi angka kecukupan gizi bagi balita. Asupan makanan yang sesuai dengan
angka kecukupan gizi yang dibutuhkan oleh seorang balita dapat mempengaruhi status
gizi balita.
d.). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi
Pada awal sebelum pemberian makanan tambahan rata-rata berat badan anak
adalah 8,673 kg dan rata-rata berat badan anak setelah diberi PMT adalah 9,550 kg.
Ada peningkatan rata-rata berat badan anak anak sebelum dan sesudah diberi PMT
sebesar 0,9 kg . Peningkatan berat badan anak ini juga akan mempengaruhi
peningkatan status gizi anak. Status gizi anak sebelum pemberian makanan tambahan
adalah dari 30 anak terdapat 10 (30,3 %) anak dengan status gizi kurang. Tiga bulan
setelah pemberian makanan tambahan terdapat 8 (24%) anak dengan status gizi kurang,
dan 2 orang balita (20%) dengan gizi baik.
Penurunann jumlah gizi kurang sebesar 20% (dari 10 anak menjadi 8 anak) Hal ini
menunjukkan bahwa adanya program PMT dapat meningkatkan status gizi anak. PMT
54
adalah program pemberian makanan tambahan bagi balita yang menderita KEP,
jika proses pelaksanaan dilakukan dengan baik, sampai sasaran dapat diterima dengan
tepat oleh balita, akan meningkatkan tingkat asupan energi dan protein sehari-hari,
sehingga mampu meningkatkan status gizinya. Sebagaimana dijelaskan Depkes (2000)
kasus balita KEP ini terkait dengan jumlah makanan yang dimakan balita setiap hari
makanan yang dimakan balita sangat kurang baik kuantitas maupun kualitasnya.
Kurang Energi Protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi
angka kecukupan gizi (Depkes, 1999). Makanan dan penyakit dapat secara langsung
mempengaruhi status gizi Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan
makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Balita yang mendapat cukup makanan
tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian
pula pada balita yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan
melemah dan akan mudah terserang penyakit.
Menurut Supariasa, dkk (2001) kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari- hari dan atau gangguan penyakit
tertentu. Anak disebut KEP apabila berat badan dibandingkan dengan panjang (tinggi)
badan < –2 SD standart baku WHO-NCHS.Kurang Energi Protein adalah suatu kondisi
kekurangan bahan-bahan nutrisi esensial pada tingkat seluler sebagai akibat dari faktor
fisiologi, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya dan politik. Status gizi dipengaruhi
secara langsung oleh konsumsi makanan dan ada atau tidaknya penyakit infeksi.
Disamping kedua faktor tesebut secara tidak langsung status gizi dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain: nilai gizi makanan yang dimakan, ada tidaknya pemberian
makanan tambahan dari luar keluarga, pendapatan atau daya beli keluarga,
pengetahuan atau kebiasaan ibu terhadap gizi dan kesehatan, jangkauan pelayanan
kesehatan dan faktor lingkungan sosial (Supariasa, 2002 ). Program PMT adalah
program pemberian makanan tambahan bagi balita yang menderita KEP, guna
melengkapi makanan yang sudah diberikan sehari-hari, untuk mencukupi kebutuhan
zat gizi balita agar meningkat status gizinya, sehingga mencapai status gizi yang baik.
(Depkes RI, 1997) Kandungan gizi pada PMT, terutama energi dan protein harus
tersedia dan harus bisa menambah asupan energi dan protein yang diperoleh dari
hidangan makan keluarga setiap hari. Jumlah kalori yang disediakan untuk PMT
pemulihan dalam sehari harus mengandung energi 300 - 400 kal dan 5 – 6 gr protein
atau setara dengan 1/3 kebutuhan kalori dan protein Balita per-hari. (Depkes RI, 1997).
Sedangkan nilai gizi dari program PMT ini adalah energi 615,4 kalori dan protein
27,66 gram. Kondisi ini jauh melebihi standart yang ditetapkan dalam pedoman
pelaksanaan program PMT. Soekirman (2000) menjelaskan bahwa status gizi balita
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial terdekat. Disamping itu peran keluarga
sangat besar dalam membentuk kepribadian anak. Pola pendidikan yang tepat yang
diterapkan oleh orang tua akan sangat membantu anak dalam menghadapi kondisi
lingkungan pada masa yang akan datang. Kenyataan membuktikan bahwa seorang
anak belajar dari lingkungan yang paling dekat sehingga orang tua menjadi
orang yang paling dibutuhkan oleh anaknya. Orang tua merupakan tempat
bergantung anak-anaknya dan harus memberikan kasih sayang dan perhatian
sepenuhnya pada anak hingga remaja. Untuk memenuhi kebutuhan dan kasih sayang
55
tersebut sangat tergantung pada kondisi keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan
dasar bagi anak khususnya kebutuhan gizi, pengetahuan ibu tentang makanan anak
memegang peranan yang sangat penting. Seseorang yang berpengetahuan baik dalam
memberi makan anak akan mempengaruhi status gizi anak. Ibu akan selalu
memperhatikan kecukupan makan anak sesuai dengan kebutuhan. Ibu akan memilih
bahan makanan yang baik dan bergizi untuk anaknya. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Khabib Mualim(2000) status gizi balita sebelum
PMT-P program JPS- BK rata – rata adalah berstatus gizi buruk, sesudah PMT-P
program JPS-BK rata – rata adalah berstatus gizi KEP sedang.
Uji T-test for paired sample menunjukkan ada perbedaan status gizi balita sebelum
dan sesudah PMT-P program JPS-BK dengan peningkatan status gizi 7,87%, ada
perbedaan tingkat kecukupan energi sebelum dan sesudah PMT-P program JPS-BK
dengan peningkatan 9% dan ada peningkatan tingkat kecukupan
protein sebelum dan sesudah PMT-P program JPS-BK dengan peningkatan 10,4%.
Sejalan dengan penelitian Joko Arif Isnandar (2003) , bahwa status gizi anak sebelum
dan sesudah pemberian makanan tambahan pemulihan pada balita KEP umur 12
sampai 36 bulan di wilayah Puskesmas Sambi II Kabupaten Boyolali berdasarkan
indeks BB/U ada peningkatan rata – rata nilai Z skor sebesar 0.18, demikian juga pada
indeks BB/PB ada peningkatan sebesar 0,47. Namun nilai rata – rata pada PB/U
mengalami penurunan sebesar 0,52. Hasi penelitian ini juga sesuai dengan penelitian
Nurqomariah (2006) bahwa ada perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah di
lakukan PMT
56
2. KESIMPULAN DAN SARAN
Pada awal sebelum pemberian makanan tambahan rata-rata berat badan anak adalah
8,673 kg dan rata-rata berat badan anak setelah diberi PMT adalah 9,550 kg. Ada
peningkatan rata-rata berat badan anak anak sebelum dan sesudah diberi PMT sebesar
0,9 kg . Peningkatan berat badan anak ini juga akan mempengaruhi peningkatan status
gizi anak. Status gizi anak sebelum pemberian makanan tambahan adalah dari 30 anak
terdapat 10 (30,3 %) anak dengan status gizi kurang. Tiga bulan setelah pemberian
makanan tambahan terdapat 8 (24%) anak dengan status gizi kurang, dan 2 orang balita
(20%) dengan gizi baik.
Penurunann jumlah gizi kurang sebesar 20% (dari 10 anak menjadi 8 anak) Hal ini
menunjukkan bahwa adanya program PMT dapat meningkatkan status gizi anak. PMT
adalah program pemberian makanan tambahan bagi balita yang menderita KEP, jika
proses pelaksanaan dilakukan dengan baik, sampai sasaran dapat diterima dengan tepat
oleh balita, akan meningkatkan tingkat asupan energi dan protein sehari-hari, sehingga
mampu meningkatkan status gizinya. Sebagaimana dijelaskan Depkes (2000) kasus
balita KEP ini terkait dengan jumlah makanan yang dimakan balita setiap hari makanan
yang dimakan balita sangat kurang baik kuantitas maupun kualitasnya. Kurang Energi
Protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi
(Depkes, 1999). Makanan dan penyakit dapat secara langsung mempengaruhi status gizi
Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi
juga penyakit. Balita yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada
akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada balita yang tidak
memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah
terserang penyakit.
Menurut Supariasa, dkk (2001) kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari- hari dan atau gangguan penyakit
tertentu. Anak disebut KEP apabila berat badan dibandingkan dengan panjang (tinggi)
badan < –2 SD standart baku WHO-NCHS.Kurang Energi Protein adalah suatu kondisi
kekurangan bahan-bahan nutrisi esensial pada tingkat seluler sebagai akibat dari faktor
fisiologi, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya dan politik. Status gizi dipengaruhi secara
langsung oleh konsumsi makanan dan ada atau tidaknya penyakit infeksi. Disamping
kedua faktor tesebut secara tidak langsung status gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: nilai gizi makanan yang dimakan, ada tidaknya pemberian makanan
tambahan dari luar keluarga, pendapatan atau daya beli keluarga, pengetahuan atau
kebiasaan ibu terhadap gizi dan kesehatan, jangkauan pelayanan kesehatan dan faktor
lingkungan sosial (Supariasa, 2002 ). Program PMT adalah program pemberian
makanan tambahan bagi balita yang menderita KEP, guna melengkapi makanan yang
sudah diberikan sehari-hari, untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita agar meningkat
status gizinya, sehingga mencapai status gizi yang baik. (Depkes RI, 1997) Kandungan
gizi pada PMT, terutama energi dan protein harus tersedia dan harus bisa menambah
asupan energi dan protein yang diperoleh dari hidangan makan keluarga setiap hari.
Jumlah kalori yang disediakan untuk PMT pemulihan dalam sehari harus mengandung
energi 300 - 400 kal dan 5 – 6 gr protein atau setara dengan 1/3 kebutuhan kalori dan
57
protein Balita per-hari. (Depkes RI, 1997). Sedangkan nilai gizi dari program PMT
ini adalah energi 615,4 kalori dan protein 27,66 gram. Kondisi ini jauh melebihi standart
yang ditetapkan dalam pedoman pelaksanaan program PMT. Soekirman (2000)
menjelaskan bahwa status gizi balita sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial terdekat.
Disamping itu peran keluarga sangat besar dalam membentuk kepribadian anak. Pola
pendidikan yang tepat yang diterapkan oleh orang tua akan sangat membantu anak
dalam menghadapi kondisi lingkungan pada masa yang akan datang. Kenyataan
membuktikan bahwa seorang anak belajar dari lingkungan yang paling dekat sehingga
orang tua menjadi
orang yang paling dibutuhkan oleh anaknya. Orang tua merupakan tempat
bergantung anak-anaknya dan harus memberikan kasih sayang dan perhatian
sepenuhnya pada anak hingga remaja. Untuk memenuhi kebutuhan dan kasih sayang
tersebut sangat tergantung pada kondisi keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan dasar
bagi anak khususnya kebutuhan gizi, pengetahuan ibu tentang makanan anak memegang
peranan yang sangat penting. Seseorang yang berpengetahuan baik dalam memberi
makan anak akan mempengaruhi status gizi anak. Ibu akan selalu memperhatikan
kecukupan makan anak sesuai dengan kebutuhan. Ibu akan memilih bahan makanan
yang baik dan bergizi untuk anaknya. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Khabib Mualim(2000) status gizi balita sebelum PMT-P program JPS- BK
rata – rata adalah berstatus gizi buruk, sesudah PMT-P program JPS-BK rata – rata
adalah berstatus gizi KEP sedang.
Uji T-test for paired sample menunjukkan ada perbedaan status gizi balita sebelum
dan sesudah PMT-P program JPS-BK dengan peningkatan status gizi 7,87%, ada
perbedaan tingkat kecukupan energi sebelum dan sesudah PMT-P program JPS-BK
dengan peningkatan 9% dan ada peningkatan tingkat kecukupan
protein sebelum dan sesudah PMT-P program JPS-BK dengan peningkatan 10,4%.
Sejalan dengan penelitian Joko Arif Isnandar (2003) , bahwa status gizi anak sebelum
dan sesudah pemberian makanan tambahan pemulihan pada balita KEP umur 12 sampai
36 bulan di wilayah Puskesmas Sambi II Kabupaten Boyolali berdasarkan indeks BB/U
ada peningkatan rata – rata nilai Z skor sebesar 0.18, demikian juga pada indeks BB/PB
ada peningkatan sebesar 0,47. Namun nilai rata – rata pada PB/U mengalami penurunan
sebesar 0,52. Hasi penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Nurqomariah (2006)
bahwa ada perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah di lakukan PMT
58
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan PMT balita di
wilayah kerja Puskesmas Muara Kati
2. Ada hubungan antara PMT balita dengan status gizi balita di wilayah kerja
Puskesmas Muara Kati .
3. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita di
wilayah kerja Puskesmas Muara Kati .
4. Ada hubungan pendapatan perkapita terhadap status gizi balita di wilayah kerja
Puskesmas Muara Kati
5. Tidak Ada hubungan budaya setempat dengan status gizi balita di wilayah kerja
Puskesmas Muara Kati
B. SARAN
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas Peningkatan pembinaan ke
Puskesmas dalam menangani kasus gizi kurang dan buruk terutama
Puskesmas yang terdapat kasus gizi kurang dan buruk paling tinggi.
2. Bagi Puskesmas Muara Kati Kabupaten Musi Rawas
Penyuluhan tentang keluarga sadar gizi (Kadarzi) untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat khususnya ibu sehingga dalam penyediaan makanan
dalam keluarga khususnya bagi balita dapat memperhatikan aspek gizinya
Perlunya pemantauan status gizi pada balita secara berkala oleh sub bagian
gizi sehingga keadaan status gizi balita dapat diketahui dan segera dilakukan
penggulangan apabila terjadi penurunan status gizi. Bekerja sama dengan
organisasi masyarakat seperti kader PKK dan Karang Taruna untuk
meningkatkan program penyuluhan kesehatan masyarakat dan program
pemantauan status gizi balita.
3. Bagi Masyarakat Terutama Kaum Ibu
Hendaknya para ibu mengikuti perkembangan informasi kesehatan khususnya
menyangkut balita baik melalui kegiatan penyuluhan maupun dari media cetak
dan elektronik. Hendaknya para ibu selalu aktif mengikuti Posyandu sehingga
dapat diketahui perkembangan status gizi balitanya
59
DAFTAR PUSTAKA
WHO. Global Strategy For Infant And Young Child Feeding (Report By The
Secretariat). Fifty Fourth World Health Assembly. WHO, 2010
Sarwono Waspadji dkk. 2013. Pengkajian Status Gizi Studi Epidemiologi. Jakarta :
FKUI
Sjahmien Moehji. 2012. Ilmu Gizi (Pengetahuan Dasar ilmu Gizi). Jakarta : PT.
Bhratara
Sunita Almatsier. 2011. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Suhardjo. 2010. Perencanaan Pangan dan Gizi Jakarta : PT. Bumi Aksara
60