Anda di halaman 1dari 91

BAB I

INTRODUKSI

1. Apakah etika itu?


Etika berasal dari bahasa Yunani ethokos atau bahasa Latin
ethicus, yang artinya adat kebiasaan.
Makna terminologiknya, menurut Catalano, adalah sebuah sistem
penilaian terhadap prilaku dan keyakinan untuk menentukan perbuatan
yang pantas guna menjamin adanya perlindungan atas hak-hak individu.
Didalamnya mencakup cara-cara pembuatan keputusan untuk membantu
membedakan perbuatan yang baik dari yang buruk serta untuk
mengarahkan yang seharusnya. Ia berlaku bagi individu-individu,
komunitas-komunitas kecil maupun masyarakat.
Menurut Franz Magnis Suseno, etika merupakan filsafah yang
merefleksikan ajaran moral. Didalamnya mengandung pemikiran rasional,
kritis, mendasar, sistematis dan normatif. Ia merupakan sarana guna
memperoleh orientasi kritis sehubungan dengan berbagai masalah
moralitas yang membingungkan.
Sedangkan menurut Gene Bloker, etika merupakan cabang ilmu
filsafah moral yang mencoba mencari jawaban guna menentukan dan
mempertahankan secara rasional teori yang berlaku umum tentang apa
yang benar dan yang salah serta apa yang baik dan yang buruk sebagai
sebuah perangkat prinsip moral yang dapat digunakan untuk pedoman bagi
prilaku manusia.
Selain ketiga definisi diatas masih banyak lagi yang dikemukakan
oleh para ahli (etisis) berdasarkan perspektifnya masing-masing sehingga
ada banyak definisi yang berbeda pengungkapannya, namun kesemuanya
mengandung esensi yang sama.
Wilayah studi etika mencakup etika normatif (normative ethics) dan
etika nonnormatif (nonnormative ethics). Etika nonnormatif juga dibagi

1
menjadi dua, yaitu etika diskriptif (discriptive ethics) dan etika kritikal
(critical ethics atau metaethics).
Etika normatif membahas tentang sejauh mana suatu prilaku
dianggap benar (pantas) atau salah (tidak pantas) secara moral serta
memberikan alasannya. Etika diskriptif mengkaji pengetahuan empiris
berkaitan dengan prilaku dan keyakinan dari sisi moral. Ia tidak mengkaji
tentang apa yang seharusnya diperbuat manusia melainkan tentang apa
perbuatan dan alasannya. Sementara etika kritikal (metaethics) membahas
analisis suatu ungkapan (language), konsep, pemikiran, dan objek etika. Ia
mengkaji misalnya tentang makna sebenarnya dari terminologi krusial
(seperti hak, kewajiban, sifat baik, tanggungjawab dan sebagainya)
berdasarkan logika, pertimbangan moral dan jastifikasinya.
Sebenarnya etika dan moral mempunyai makna asal yang sama,
yaitu adat kebiasaan (custom) atau jalan hidup (way of life). Keduanya
saling kait-mengkait sehingga orang harus menyinggung moral ketika
berbicara tentang etika, dan begitu pula sebaliknya. Namun terminologi
etika cenderung merujuk pada kajian tentang prilaku moral (the study of
moral conduct), sementara terminologi moral lebih merujuk pada
perbuatannya itu sendiri (to refer to the conduct itself) yang dikaitkan
dengan baik dan buruk atau benar dan salah.
Contoh konkritnya, jika dokter berkata bahwa aborsi merupakan
perbuatan yang salah (immoral) maka apa yang dibicarakannya itu adalah
masalah moral, tetapi jika seorang dokter ahli obstetri-ginekologi
menimbang-nimbang apakah akan melakukan aborsi atau tidak terhadap
pasiennya yang hamil disertai penyakit jantung atau ginjal yang berat maka
yang sedang ditimbang-timbang itu adalah masalah etika. Dalam kasus
nyata seperti itu maka pandangan moral (yang menyatakan bahwa aborsi
itu salah atau immoral) dikritisi, dianalisis secara sistematis dan rasional
(logic) guna didapatkan jastifikasinya.
Jadi moral membahas tentang benar dan salah sesuatu perbuatan
dari aspek yang paling dalam (filosofis), sementara etika mengkaji tentang

2
baik dan buruk atau pantas dan tidaknya sesuatu perbuatan untuk
dilakukan berdasarkan analisis yang rasional dan kritis terhadap
pandangan moralnya.
Joseph Fletcher sendiri juga membedakan antara moral dari etika.
Beliau menyatakan bahwa morality is what people do in fact believe to be
right and good, while ethics is a critical reflection about morality and the
rational analysis of it.
Dalam setiap pembahasan masalah etika tentunya kedua terminologi
tersebut (dan terminologi-terminologi terkait lainnya) harus benar-benar
difahami maknanya agar tidak mendapat kesulitan di belakang hari. Pesan
George Barkeley dari Edinburgh pada abad XVIII ialah, agar jangan
mengaburkan kata dan bahasa karena hal itu sama saja artinya dengan
menaburkan debu didepan mata sehingga dikemudian hari tidak dapat lagi
melihat sesuatu didepannya dengan jelas.

2. Bagaimana sejarah etika?


Auguste Comte, seorang filosof kondang pencetus aliran positivisme
dari Perancis, pernah berkata: You can know little of any idea, untill you
know the history of that idea. Atas dasar itulah maka orang harus
mempelajari lebih dahulu sejarah timbulnya sesuatu ide, termasuk etika,
jika ingin memahami lebih banyak tentang ide tersebut.
Dilihat dari sejarahnya, etika memang tidak dapat dipisahkan dari
filsafah sebab ia tumbuh dan berkembang dari serta berakar pada filsafah
(yaitu ilmu yang mencoba mencari jawaban tentang berbagai masalah
kehidupan beserta alam semesta dari aspek yang paling dasar atau hakiki).
Oleh sebab itu tidaklah salah apabila orang kemudian menyebut etika
sebagai bagian dari filsafah atau tepatnya filsafah moral.
Perlu disadari bahwa ilmu-ilmu yang ada dimuka bumi ini pada
awalnya dipelajari dengan menggunakan pendekatan filsafati, atau dengan
kata lain, segala macam ilmu yang ada (termasuk ilmu-ilmu khusus)
menginduk pada filsafah. Namun dalam perkembangannya beberapa ilmu

3
khusus memisahkan diri menjadi disiplin ilmu tersendiri. Diawali oleh
matematika dan fisika yang memisahkan diri pada zaman Renaissance dan
kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu khusus lainnya. Meski demikian, filsafah
tetap eksis dan bahkan mampu mengembangkan diri sebagai akibat
ketidak-mampuan ilmu-ilmu yang telah memisahkan diri itu untuk
memecahkan banyak masalahnya.
Wilayah kerja filsafah itu sendiri sekarang mencakup banyak hal;
antara lain teologi, metafisika, politik, agama, logika, hukum, sejarah,
antropologi, estetika dan juga etika.
Khusus mengenai etika, utamanya bioetika, pada akhir-akhir ini
mulai mendapatkan perhatian serius oleh para ahli guna menjawab
berbagai masalah dan paradok yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam kurun waktu lima puluh tahun
belakangan ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kedokteran begitu pesat, utamanya dalam bidang biologi molekuler yang
sudah sampai pada teknologi nano. Dengan kemajuan itu maka banyak
penyakit yang dahulunya tidak dikenal samasekali, sekarang sudah dapat
diidentifikasi. Sementara penyakit-penyakit yang sudah lama dikenal juga
dapat didiagnosis lebih akurat dan lebih dini. Akibatnya lebih banyak
gangguan kesehatan dapat diatasi pada saat yang tepat.
Alat-alat kedokteran canggih untuk keperluan diagnosis (seperti CT
Scan, USG, IMR dan alat-alat imaging lainnya) maupun untuk kepentingan
terapi (seperti artificial respirator dan hemodialisa) diproduksi secara besar-
besaran, sementara obat-obat baru yang lebih bermutu juga ditemukan.
Dampak positifnya adalah tidak terbilang lagi jumlah orang yang dapat
dihindarkan dari kematian dini, dipulihkan kesehatannya dan ditingkatkan
daya ciptanya untuk kemudian disumbangkan kembali kepada keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara.
Dari satu sisi kemajuan tersebut sangat menggembirakan, namun di
sisi lain (utamanya dalam pandangan para filosof) benar-benar

4
mengkhawatirkan dan menakutkan. Masalahnya adalah karena ilmu dan
teknologi bukanlah apa-apa sampai ilmu dan teknologi tersebut benar-
benar bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia serta tidak merusak
makna dasar dan nilai-nilai kemanusiaannya. Sebagaimana disinyalir oleh
Alvin Toffler dalam bukunya Future Shock dan Ivan Illich dalam bukunya
Limit to Medicine, bahwa penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
selamanya dapat menjamin bakal tercapainya kesejahteraan umat
manusia. Aplikasinya justru acapkali memunculkan berbagai paradok yang
dapat menjauhkannya dari tujuan semula. Kenyataannya lagi bahwa
kemajuan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran sekarang ini benar-
benar telah meninggalkan kemampuan etika dan hukum dalam
menyelesaikan problem yang ditinggalkan oleh kemajuan tersebut.
Menanggapi kenyataan tersebut maka Kunto Wibisono, dalam
Seminar Nasional Pertama Bioetika di Yogyakarta Tahun 2000, sempat
mengingatkan agar dalam abad positivisme (yang didominasi oleh peran
ilmu pengetahuan) masalah kebenaran dan kenyataan janganlah diukur
hanya dari sisi positifistiknya saja; sehingga apa yang dianggap benar dan
baik haruslah bersifat konkrit, eksak, akurat, dan bermanfaat. Peringatan
tersebut disampaikan karena orang tidak lagi memandang penting segala
sesuatu yang abstrak karena dianggap tidak ilmiah, sulit diaplikasikan
dalam kehidupan nyata sehari-hari dan hanya akan membuang-buang
waktu disaat banyak masalah teknis dan praksis berada di hadapan mata
dan sedang menunggu untuk segera diselesaikan. Gagasan konseptual-
mendasar yang mengandung nilai-nilai filsafati (seperti etika dan moral)
juga layak mendapatkan perhatian serius. Intinya adalah bahwa hal-hal
mendasar yang bersifat abstrak (seperti kearifan, kejujuran, kepantasan,
kepatutan, keadilan dan kebebasan) juga harus difahami dan dihayati
dengan sungguh-sungguh.
Jika dicermati lebih lanjut maka etika sesungguhnya merupakan
masalah yang sifatnya pluralistik sehingga setiap individu boleh saja
menyatakan ketidak-setujuan atas apa yang disebut baik dan buruk atau

5
berbudi dan tidak berbudi. Kalaulah orang bisa bersetuju akan sesuatu isu,
bisa saja persetujuan tersebut berangkat dari alasan berbeda. Dalam
banyak masyarakat, ketidaksetujuan adalah sesuatu hal yang normal. Bagi
masyarakat tradisional seringkali dibutuhkan kesepakatan atau tekanan
sosial agar orang mau bertindak menurut cara tertentu. Sedangkan untuk
masyarakat tertentu, kultur dan agama seringkali memiliki peran dominan
dalam menentukan kepantasan sesuatu prilaku (ethical behaviour).
Lalu siapa yang seharusnya menentukan keetisan atau kepantasan
bagi masyarakat kebanyakan?
Untuk masyarakat liberal yang individualistis maka tiap-tiap individu
mempunyai kebebasan menentukan sendiri walau bisa saja dipengaruhi
oleh famili, teman, agama, media dan sumber-sumber eksternal lainnya.
Namun dalam masyarakat tradisional yang memiliki peran menentukan
adalah famili, para tetua, pemegang otoritas agama atau pemimpin politik.
Walau seperti itu keaneka-ragamannya dalam masyarakat, namun pada
umumnya orang bersetuju terhadap prinsip-prinsip fundamental dari etika
(fundamental ethical principles). Prinsip-prinsip fundamental inilah yang
kemudian lebih dikenal sebagai hak asasi manusia (the basic of human
rights) yang telah dideklarasikan oleh the United Nations Universal
Declaration of Human Rights.
Dalam kaitannya dengan profesi kedokteran, sungguh ironis sekali
sebab sesudah lebih dari 2000 tahun lamanya Hippocrates dan pengikut-
pengikut Pythagoras mempublikasikan hasil pemikirannya, barulah profesi
ini memiliki sebuah acuan dasar etika yang dapat digunakan secara
universal, yakni selepas World Medical Association mengeluarkan the
WMA Ethics Manual. Acuan tersebut kemudian direspon secara positif oleh
berbagai persatuan dokter di berbagai belahan dunia untuk dijadikan acuan
dasar dalam menyusun kode etik di negaranya masing-masing. Bahkan
kemudian direkomendasikan untuk dijadikan bagian dari kurikulum
pendidikan dokter. Maka sejak saat itu pulalah proses pengembangan the

6
basic teaching on medical ethics dimulai dengan mengacu pada kebijakan
dari persatuan dokter sedunia tersebut.
Meskipun demikian, pembelajaran etika kedokteran di berbagai
fakultas kedokteran di negeri ini masih belum sebagaimana yang
diharapkan oleh banyak pihak. Pembelajaran etika masih banyak bertolak
dari dan bersumber pada Sumpah Hippocrates dan Kode Etik Profesi
belaka serta belum menyentuh hal-hal mendasar yang menjadi dasar arah
paradigmatiknya. Etika dasar, bioetika, etika klinik dan hak-hak asasi
manusia yang berkaitan dengan masalah kesehatan belum banyak
disentuh, disamping metode pembelajarannyapun belum menggunakan
pendekatan problem based learning yang dapat merangsang mahasiswa
lebih aktif mengembangkan knowledge, skill, dan personal moral. Bahkan
yang lebih parah lagi, para pengajar matakuliah tersebut hanya ditunjuk
berdasarkan siapa yang mau (karena memang belum ada acuannya) meski
kadang-kadang diantara mereka secara moral telah kehilangan legitimasi
mengingat efektifitas pembelajaran matakuliah etika lebih membutuhkan
tokoh panutan (role model). Banyak pengajar etika yang dari sudut
moralitas personalnya dipertanyakan.
Tetapi negeri ini tidaklah sendiri sebab negara-negara lain juga
mengalami problem yang sama. Penelitian yang dilakukan di Finlandia dan
negara-negara kawasan Nordic mengenai pembelajaran bioetika misalnya,
membuktikan bahwa:
a. koordinasi dalam lingkup nasional (national coordination) serta rencana
strategis nasional (national strategic planning) dalam pembelajaran
bioetika masih sangat kurang.
b. ada kebutuhan mendesak akan tersedianya pengajar berkompeten
yang memiliki motivasi.
c. tidak ada sistem terpadu (organized system) yang dapat dipakai oleh
pengajar dalam memberikan matakuliah bioetika.
d. tidak memiliki bahan ajar yang relevan dan teruji (relevant and tested
materials), termasuk buku-buku teks dalam bahasa Finlandia.

7
e. terdapat kebingungan menyangkut metode yang paling baik untuk
pembelajaran bioetika.
f.penelitian mengenai pengaruh pembelajaran bioetika terhadap prilaku
anak didik masih sangat kurang.
g. belum ada ketentuan baku mengenai siapa sebenarnya yang
berkompeten dan berwenang, baik lokal maupun nasional, untuk
mengampu matakuliah bioetika.
Apa yang dialami oleh negara-negara kawasan Nordic sama seperti
apa yang berlaku di Indonesia. Maka janganlah heran apabila banyak
profesional (seperti dokter, perawat dan bidan) tidak banyak faham tentang
banyak hal dan aspek yang berkaitan dengan etika. Bahkan pemahaman
mengenai berbagai terminologi di bidang etika (seperti basic ethics, human
rights, professional ethics, medical ethics, clinical ethics atau bioethics)
sangat memprihatinkan dan kacau balau karena tidak diajarkan oleh
pengajar yang berkompeten.

3. Mengapa dalam kehidupan diperlukan etika?


Berbeda dari makhluk lain maka manusia merupakan makhluk
sempurna yang memiliki kebutuhan; terdiri dari kebutuhan fisik (physical
demands), kebutuhan psikologi dan sosial (psychological and social
demands) serta kebutuhan intelektual dan spiritual (intellectual and spiritual
demands). Dalam rangka memenuhi kebutuhan itulah maka manusia perlu
membuat keputusan sebelum mulai melakukan perbuatan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Oleh sebab itu setiap manusia, dalam hidupnya, akan
selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan, yang pada hakekatnya merupakan
pilihan moral (moral choices). Sebagian dari pilihan tersebut barangkali
saja tidak terlalu penting sehingga tidak memerlukan pertimbangan serius,
namun sebagiannya lagi pastilah penting karena dapat mempengaruhi
integritas.
Beruntung bahwa manusia dianugerahi perasaan dan akal yang
dapat digunakan untuk merasakan dan menimbang-nimbang apakah

8
keputusan dan pelaksanaan keputusannya dapat merusak reputasinya
sendiri sebagai manusia beradab dan bermartabat.
Di sisi lain manusia juga harus hidup dan berinteraksi dengan
individu lain dalam masyarakat. Dalam berinteraksi itulah maka manusia
juga harus membuat keputusan sebelum memulai tindakannya yang bisa
mempengaruhi individu diluar dirinya dan masyarakat. Mengingat individu
dan masyarakat juga memiliki hak dan kebutuhan maka keputusan dan
perbuatan manusia harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh agar
tidak menciderai individual rights dan individual interests serta social rights
dan social interests. Untuk itulah diperlukan landasan moral dan etika agar
mampu menetapkan dan meletakkan garis keseimbangan yang pantas
antara individual rights dengan social rights dan antara individual interests
dengan social interests.
Pendek kata, sebagai manusia yang hidup dengan individu-individu
lain harus bisa berprilaku etis (etika individual) dan sebagai bagian dari
masyarakat juga harus mampu berprilaku etis dengan masyarakat (etika
sosial).
Harapan setiap anggota masyarakat tentunya agar proses interaksi
dapat berlangsung harmonis, tertib, damai, saling menyayangi dan
menghargai serta saling menghormati. Untuk mewujudkan tujuan itulah
perlu dibuat pengertian-pengertian, prinsip-prinsip dan kesepakatan-
kesepakatan. Mengingat moral merupakan acuan dasar bagi pembentukan
kaidah kehidupan (baik etika maupun hukum) maka moral tidak dapat
dipisahkan dari ruang-lingkup kehidupan umat manusia. Namun moral itu
sendiri dalam perjalanan sejarahnya juga mengalami evolusi dan
perkembangan.
Perlunya dibuat kesepakatan karena menurut Jurgen Habermas,
pelopor etika diskursus, bahwa hanya terhadap norma moral yang telah
disepakati saja yang dapat berlaku universal serta berhak menuntut untuk
dipatuhi. Barangkali karena alasan itulah maka Unesco, dalam merancang
standar universal (dalam bidang bioetik misalnya) merasa perlu membuat

9
kesepakatan menyangkut hal-hal penting sesudah berkonsultasi dengan
negara-negara anggota, organisasi-organisasi internasional dan agama-
agama besar.
Jangan pernah dilupakan bahwa dalam masyarakat sebetulnya
sudah ada banyak sekali kesepakatan yang secara tidak tersadari telah
tertanam dalam bentuk tradisi dan kebiasaan. Tidak ada satupun
masyarakat di dunia ini (mulai dari zaman primitif sampai sekarang) yang
tidak memiliki tradisi, kebiasaan, aturan dan bahkan kode etik. Mengingat
kehidupan terus berkembang dan berubah maka moralitas juga mengalami
perkembangan dan evolusi. Oleh sebab itu pelaksanaan moral (moral
practices) dan standar moral (moral standards) juga mengalami perubahan
sesuai tingkat perkembangan sosial, intelegensia secara umum serta
tingkat pengetahuan masyarakat.
Jadi etika diperlukan dalam kehidupan karena ia merupakan kaidah,
dalam bentuk standar dan kode etik (a set of moral standards and a code
for behavior) yang akan membimbing manusia dalam berinteraksi dengan
individu dan masyarakat. Ia membimbing manusia tentang cara membuat
keputusan dan membedakan perbuatan yang baik dari yang buruk serta
untuk mengarahkan kepada apa yang seharusnya.
Sebagai pedang bermata dua maka selain untuk kepentingan
manusia diluar dirinya dan masyarakat, etika juga penting bagi diri sendiri.
Karena alasan itulah setiap manusia wajib mengaktualisasikan diri sebagai
manusia beradab, bermartabat dan berbudi luhur melalui sikap dan
prilakunya. Jika melanggar etika yang berlaku maka selain dapat merugikan
manusia diluar dirinya dan masyarakat, ia sendiri juga akan mendapatkan
stigma sebagai manusia tak bermoral (immoral) serta akan mendapatkan
sanksi etika berupa kata, bahasa, ungkapan, isyarat, atau tindakan tertentu
(seperti cibiran, cemohan atau pengucilan); yang kesemuanya itu
menggambarkan ketidaksukaan komunitasnya. Bahkan sanksi hukum juga
bisa ditambahkan manakala melakukan pelanggaran etika berat (gross
immorality). Dikatakan pelanggaran etika berat manakala melanggar

10
fundamental of ethical principles, atau yang lebih dikenal dengan sebutan
hak asasi manusia (the basic of human rights).

4. Apa dasar pijakan dari etika?


Sama halnya hukum maka etika juga berpijak pada dasar pijakan
moral. Hanya saja etika dihasilkan oleh pemikiran yang lebih luas dan
mendalam. Etika (dalam hal ini etika normatif) menghendaki agar setiap
manusia menggunakan hati nuraninya untuk melakukan perbuatan yang
benar dan baik dan menghindari apa yang buruk dan salah dengan
berlandaskan pada nilai moralitas.
Hati nurani itu sendiri diartikan sebagai bisikan (inner voice) yang
membimbing manusia kearah prilaku baik serta memberi peringatan
kepada prilaku salah (yang dapat menimbulkan penyesalan). Otoritas hati
nurani itu sendiri sering diperkuat oleh keyakinan agama (Divine Will) yang
mendasari prinsip-prinsip moral sehingga hati nurani seseorang
memperoleh perintah atau aba-aba. Gagasan hati nurani ini sangat penting
bagi pelaksanaan profesi medis maupun keperawatan. Meski kedua profesi
ini benar-benar dipisahkan dari institusi keagamaan (utamanya dalam
masyarakat barat) namun eksistensi hati nurani tetap diakui.
Tentang nilai moralitas, perlu ditegaskan bahwa berangkat dari dasar
pijakan moral inilah keetisan sesuatu sikap dan prilaku ditentukan. Dengan
kata lain, etika dihasilkan oleh refleksi kritis dan pemikiran analitis yang
rasional terhadap moral. Hukum juga berlandaskan pada moral sehingga
oleh karena itu Ronald Dworkin menyatakan bahwa prnisip-prinsip moral
merupakan landasan bagi pembentukan hukum (moral principles is the
foundation of law).

5. Kalau dasar pijakan etika adalah moral, lalu apa moral itu?
Menurut Catalano, moral diartikan sebagai standar tentang benar
dan salah yang dipelajari lewat proses hidup bermasyarakat. Biasanya
moral dikaitkan dengan individu-individu atau kelompok-kelompok kecil dan

11
dilandasi oleh keyakinan agama serta diwujudkan sebagai prilaku yang
diselaraskan dengan kebiasaan kelompok atau tradisi.
Sedangkan menurut Franz Magnis Suseno dan kawan-kawan
(1996), ajaran moral memuat nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat
diantara sekelompok manusia. Moralitas itu sendiri dapat berasal dari
sumber tradisi, adat, agama atau ideologi.
Dari kedua definisi tersebut nampak jelas kaitan antara agama
dengan moral. Dalam tradisi agama Yahudi misalnya, doktrin ubar
yerechimo (janin sebagai bagian tubuh perempuan hamil) sangat kuat
mempengaruhi moralitas bangsa Yahudi terhadap tindakan aborsi.
Demikian pula tradisi agama Katolik tentang aborsi dan Keluarga
Berencana yang juga sangat kuat mempengaruhi moralitas umatnya. Maka
jangan heran jika dalam banyak diskusi yang bersifat sekulerpun diakui
betapa pentingnya pengaruh agama terhadap moral. Bahwa ajaran agama
dinilai belum cukup karena agama bersifat wahyu dogmatis sehingga masih
diperlukan kajian yang bersifat kritis dan rasional. Pada kenyataannya hasil
kajian tersebut (dalam banyak hal) mengindikasikan pembenaran dan
penguatan terhadap kebenaran wahyu dogmatis.

6. Apa saja muatan dari ajaran moral?


Sebagaimana diutarakan oleh Franz Magnis Suseno dan kawan-
kawan pada bagian depan bahwa ajaran moral memuat nilai-nilai dan
norma-norma. Oleh karena itu dalam setiap pembicaraan tentang moral,
kedua kata tersebut tidak mungkin ditinggalkan. Kalau begitu lalu apa yang
disebut nilai dan apa pula norma?
Nilai adalah suatu konsep atau keinginan ideal yang memberi arti
kepada kehidupan seseorang dan oleh karenanya akan selalu dijadikan
motivasi bagi individu yang bersangkutan dalam bertindak (membuat
keputusan dan melaksanakan keputusan) guna mencapai apa yang
dianggap bernilai. Selain tidak konkrit, nilai juga bersifat subjektif. Ia lebih
dilekatkan pada individu, bukan kelompok; yang bisa meliputi kepercayaan

12
agama, orientasi seks, hubungan famili atau aturan permainan. Jika
misalnya seseorang memilih agama Islam atau Katolik, atau menjalani
hidup sebagai homosek atau heterosek adalah karena pilihan seperti itu
bernilai baginya.
Dikatakan tidak konkrit karena nilai bukan merupakan fakta yang
dapat diobservasi secara empiris dan dikatakan subjektif karena ia
mendasari keinginan, harapan, cita-cita dan pertimbangan internal-
batiniyah (sadar ataupun tidak) ketika bersikap, bertindak ataupun
berprilaku tertentu (Agus Purwadianto, 2000). Akibat pertimbangan internal
tersebut maka sesuatu bisa bernilai buat seseorang, tetapi tidak demikian
halnya bagi orang lain.
Konflik nilai bisa saja muncul manakala seseorang secara terpaksa
harus berhadapan dengan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai
yang diyakini. Contohnya, seorang dokter kristiani yang karena ajaran
agamanya mengharamkan aborsi, boleh jadi akan mengalami konflik nilai
tersendiri ketika harus merawat pasien-pasien yang mengalami komplikasi
selepas menjalani aborsi.
Mengenai norma, sebenarnya ia memiliki banyak arti. Terminologi ini
biasanya digunakan dalam ilmu sosial untuk merujuk kepada suatu bentuk
kriteria sikap dan prilaku yang dapat diterima dalam masyarakat atau
kelompok, atau merujuk kepada kriteria statistik rerata. Berbeda dengan
nilai yang sifatnya tidak konkrit dan subjektif maka norma merupakan
bentuk konkrit dan objektif dari suatu nilai sehingga oleh karenanya dapat
digunakan secara langsung untuk menentukan seseorang telah melanggar
atau tidak terhadap nilai-nilai yang berlaku umum. Jika umpamanya
perbuatan A melanggar norma maka siapapun yang melakukan perbuatan
A dipastikan melanggar norma, tetapi jika seseorang menganggap B
bernilai baginya maka orang lain tidak harus menganggap demikian.
Dikenal dua macam norma, yaitu norma umum (ordinary norms) dan
norma khusus (misalnya professional norms). Jika norma menetapkan agar
setiap orang merawat anak-anaknya dengan baik atau tidak melakukan

13
pembunuhan terhadap siapapun maka kedua hal itu merupakan norma
umum. Harus dibedakan dengan norma profesional yang tidak
mengaplikasikan semua bentuk norma umum kepada setiap profesional.
Norma profesional hanya memfokuskan pada prilaku dan aktifitas dalam
profesi (professional conduct and activities) saja.
Pendek kata, norma mengekspresikan pedoman prilaku yang
kemudian dipilah dan dituangkan kedalam tiga bentuk; yaitu prinsip (moral
principles), standar (moral standard), dan aturan (moral rules).
Prinsip adalah perumuman atau penyamarataan dasar (basic
generalization) yang diterima sebagai kebenaran sehingga dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan atau prilaku (a basic generalization
that is accepted as true and can be used as a basis for reasoning or
conduct). Didalamnya hanya menjelaskan tentang tanggungjawab
(responsibilities) serta tidak menetapkan secara spesifik mengenai apa
yang harus dilakukan dalam situasi tertentu. Namun prinsip memberikan
ruang bagi dilakukannya suatu diskresi atau kebijaksanaan.
Jikalau umpamanya prinsip memberikan tanggungjawab kepada
setiap arsitek agar dalam mendesain bangunan memperhatikan prinsip
keamanan maka prinsip tersebut sebenarnya menjelaskan tentang
tanggungjawab yang harus diemban dalam merancang suatu gedung yang
aman. Ia tidak merumuskan tentang detail-detail struktur dan fungsinya
secara spesifik, sebab mengenai rincian tersebut dapat diwujudkan dalam
berbagai cara.
Prinsip atau asas itu sendiri memiliki sifat lebih kokoh karena
dihasilkan oleh pemikiran filosofis yang paling mendasar sehingga tidak
mudah diguncang oleh perubahan dan evolusi dalam masyarakat. Gunanya
untuk membantu merumuskan standar dan aturan (rules). Ia juga dapat
digunakan untuk membenarkan (justify) atau menguji kesahihan suatu
aturan yang telah dibuat. Disamping itu prinsip juga dapat dipakai sebagai
pedoman prilaku tertentu yang tidak tercakup dalam aturan mengingat tidak
semua prilaku dalam profesi dapat dirumuskan dalam bentuk aturan.

14
Standar merupakan parameter yang dapat dipakai untuk menilai
apakah prilaku seseorang baik atau buruk, lebih baik atau lebih buruk, bijak
atau tidak serta untuk mengukur seberapa jauh tingkat kepatuhannya
terhadap norma. Standar juga membimbing prilaku manusia dengan
memberikan ciri-ciri prilaku bijak agar bisa diikuti dan ciri-ciri prilaku jahat
agar dapat dihindari.
Sedangkan aturan (rules) menjelaskan tentang bentuk-bentuk prilaku
spesifik yang wajib dipatuhi dan ia tidak memberikan ruang bagi
dilakukannya diskresi dan kebijaksanaan. Jika aturan mengharuskan agar
setiap eksperimen terhadap subjek manusia harus disertai izin (informed
consent) maka prosedur tersebut harus dipatuhi. Peneliti tidak lagi
dibenarkan membuat diskresi ataupun menimbang-nimbang perlu tidaknya
informed consent.
Lalu prilaku etik yang bagaimanakah yang dapat dirumuskan
normanya dalam bentuk aturan (moral rules)?
Michael Bayles menyatakan bahwa hanya terhadap prilaku yang
hampir selalu benar atau hampir selalu salah saja yang dapat dibuatkan
aturannya. Aturan tersebut kemudian dikompilasi kedalam bentuk kode etik.
Prilaku selebihnya yang tidak mungkin dituangkan dalam bentuk aturan
(moral rules) harus merujuk kepada prinsip. Dengan kata lain, jika untuk
menyelesaikan problem etika tidak ditemukan aturannya dalam kode etik
maka untuk menyelesaikan problem etik tersebut harus mengacu pada
prinsip (moral principles).
Kesimpulannya adalah bahwa standar membahas tentang parameter
prilaku, prinsip membahas tentang tanggungjawab, dan aturan membahas
tentang tugas dan kewajiban.

7. Apa yang dimaksud baik?


Bagi kebanyakan orang makna kata baik sudah jelas, final dan tidak
perlu dipersoalkan lagi. Namun bagi sebagian orang, lebih-lebih bagi para
filosof yang selalu ingin melihat segala sesuatu dari sisi lain yang paling

15
dalam (second look), makna kata baik masih perlu diperdebatkan.
Celakanya lagi bahwa dalam memperdebatkan kata tersebut masing-
masing dari mereka mendasarkan pada perspektifnya sendiri-sendiri
sehingga tidaklah aneh jika ada banyak batasan tentang baik.
Kaum hedonis (pencari kesenangan duniawi), sebagaimana
dijelaskan oleh George Edward Moore yang dikutip oleh Franz Magnes
Suseno dalam bukunya Etika Abad Kedua Puluh, mengartikan baik
sebagai nikmat; sehingga sesuatu yang dapat mendatangkan kenikmatan
sajalah yang boleh disebut baik. Etisis psikologik seperti Hume mengartikan
baik sebagai sesuatu yang diinginkan orang. Etisis Teonom (ahli etika
berketuhanan) mengartikannya sebagai sesuatu yang diinginkan Tuhan
sehingga apa-apa yang menurut wahyu Tuhan adalah baik maka itulah
baik. Sementara Spencer mendefinisikan baik sebagai sesuatu yang
bermanfaat bagi evolusi.

8. Apa amoral dan apa bedanya dengan imoral?


Banyak orang mengartikan amoral secara keliru, yaitu sebagai
perbuatan yang melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral. Pengertian
seperti itu salah besar dan harus dikoreksi.
Amoral sesungguhnya merupakan terminologi yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan masalah moral (being outside the sphere to
which moral judgments apply).
Sedangkan imoral (immorality) merupakan terminologi yang merujuk
pada perbuatan yang melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral, atau
yang tidak konsisten dengan moralitas yang murni atau baik (inconsistent
with purity or good morals), atau perbuatan yang secara moral dianggap
salah (morally wrong).

9. Kalau etika merupakan falsafah moral maka apa filsafah itu?


Kata filsafah berasal dari bahasa Yunani, yakni philos yang berarti
cinta (loving) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom) sehingga

16
makna harfiyahnya adalah cinta kepada kebijaksanaan (the love of
wisdom) atau cinta kepada ilmu pengetahuan.
Filosof pertama yang menggunakan kata filsafah (atau tepatnya
philosophos) adalah Pythagoras (582 - 507 SM). Pada masa Socrates (469
- 339 SM) dan Plato (427 - 347 SM) sebutan tersebut menjadi lebih populer
dan lazim dipakai dalam percakapan sehari-hari. Dalam bahasa Arab,
filsafah acapkali disebut hikmah, yang artinya tali kendali kuda. Dipilihnya
kata itu, dalam pengertiannya sebagai kebijaksanaan atau pengetahuan,
menurut Mustafa Abdurraziq dari Mesir adalah karena hikmah menghalangi
orang yang memilikinya untuk melakukan perbuatan rendah dan hina.
Setidaknya ada dua alasan utama mengapa orang, entah sebagai
ilmuwan ataupun profesional, dalam rangka memahami etika secara
konprehensip harus memahami filsafah lebih dahulu.
Pertama, karena etika dari segi hakekat dan historisnya merupakan
bagian tak terpisahkan dari filsafah. Dengan mempelajari filsafah lebih
dahulu maka orang selain akan menemukan pintu masuk yang tepat juga
akan mendapatkan pengetahuan tentang sejarahnya, dan secara tidak
langsung akan menemukan pula benang merahnya sehingga pemahaman
mengenai etika menjadi lebih sempurna.
Kedua, karena sebagai ilmuwan ataupun profesional tidak mungkin
dapat dipisahkan dari umat manusia beserta kehidupannya. Melalui
pendekatan filsafati diharapkan para ilmuwan dan profesional akan lebih
mampu memahami manusia secara utuh; baik sebagai subjek (individu
pelaku) maupun objek (individu sasaran) sesuai hakekat dan essensinya
masing-masing guna mendapatkan orientasi kritis dan arahan dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Dalam situasi yang ditandai oleh kemajuan yang sangat pesat di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (sebagai akibat peningkatan
kegiatan riset, termasuk riset terhadap manusia), tentunya pemahaman
tentang filsafah menjadi lebih diperlukan lagi. Barangkali karena alasan
inilah William Barrett menyatakan dalam bukunya The Illusion of

17
Technique (sebagaimana dikutip oleh Titus, Smith dan Nolan dalam buku
Living Issues in Phylosophy) bahwa untuk masa-masa sekarang
semestinya lebih dari masa-masa lampau, yaitu perlu menempatkan
kembali seluruh gagasan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi
kedalam jalinan baru dengan kehidupan manusia. Beliau mengingatkan
agar filsafah modern memberikan respon yang memadai atas kemajuan
tersebut, atau kalau tidak maka umat manusia akan kehilangan tujuan,
arahan dan kebebasan secara permanen.
Sadar ataupun tidak sebenarnya setiap individu sudah memiliki
filsafah yang berkaitan dengan objek-objek fisik, manusia, hidup, mati,
benar dan salah, baik dan buruk, sang pencipta alam dan sebagainya.
Gambaran dari pikiran mereka tentang objek-objek tadi diperoleh lewat
berbagai macam cara, yang barangkali masih samar-samar atau bahkan
membingungkan. Dalam tahun-tahun awal dari kehidupannya orang lebih
banyak memperoleh masukan dari keluarga, kawan dekat, dan dari
berbagai macam individu dan kelompok.
Gambaran pikiran yang kemudian menimbulkan sikap pandang
terhadap objek-objek tertentu yang diamatinya itu masih bisa dipengaruhi
lagi oleh kehadiran film, lirik musik, televisi, buku dan sebagainya. Boleh
jadi sikap pandang mereka merupakan hasil refleksi dari dalam dirinya
sendiri atau bisa juga merupakan hasil dari kebiasaan atau emosi yang
bersifat bias. Pengertian populer yang masih bersifat umum tentang filsafah
seperti itu tidaklah cukup sebab belum menggambarkan tugas dan kerja
filsafah secara jelas. Masih diperlukan pengertian yang lebih spesifik, tidak
samar-samar, tidak kacau-balau dan dangkal.
Setidaknya ada lima buah definisi yang kemukakan oleh Titus, Smith
dan Nolan dalam bukunya Living Issues in Philosophy.
Pertama, filsafah merupakan seperangkat sikap atau keyakinan
terhadap kehidupan beserta alam semesta, yang seringkali tidak dapat
diganggu gugat (a set of attitudes or beliefs toward life and the universe
which are often held uncritically).

18
Batasan tersebut merujuk kepada perspektif yang lebih luas dan pola
yang lebih besar mengenai sesuatu. Jika orang ketika menghadapi suatu
krisis atau problem berkata filosofi saya adalah ............................, maka
hal itu mengacu kepada pengertian filsafah yang bersifat personal dan
informal, sehingga oleh karenanya seringkali tidak dapat dikritik.
Jadi definisi diatas baru merujuk pada arti filsafah sebagai sebuah
pandangan hidup (having a philosophy). Biasanya orang-orang yang
memiliki filosofi akan lebih mampu menghadapi berbagai krisis atau
problem dengan penuh ketenangan dan kesabaran.
Kedua, filsafah merupakan sebuah proses refleksi dan kritisi
terhadap keyakinan maupun sikap sampai ke tingkat paling dalam (a
process of reflecting upon and criticizing our most deeply held beliefs and
attitudes).
Batasan tersebut merujuk pada pengertian yang lebih bersifat formal,
yakni doing philosophy. Kendati pengertian having a philosophy dan
doing philosophy saling kait-mengkait tetapi dengan having a
philiosophy saja tidaklah cukup untuk melaksanakan proses refleksi dan
kritisi. Ciri dari sikap filsafati yang sebenarnya adalah selalu ingin mencari
tahu dan bersikap kritis (a searching and critical attitude); yaitu dengan
pandangan terbuka disertai toleransi melihat semua sisi dari sesuatu isu
tanpa prasangka.
Berfilsafah maknanya tidak cukup dengan hanya membaca dan
memahami filsafah. Masih diperlukan penguasaan ketrampilan beragumen,
teknik analisis serta seperangkat bahan yang diperlukan agar dapat
merasakan dan berpikir dalam wacana filsafati. Melalui proses refleksi dan
kritisi maka orang akan dapat melihat setiap sesuatu dari sisi lain (second
look), yang tentunya bisa berbeda dari pandangan umum kebanyakan
orang yang masih bersifat dangkal. Mereka melihat dari sisi lain yang lebih
mendalam, mendasar dan abstrak.
Melalui pandangan yang bersifat filosofis maka para profesional
(dokter, perawat, dan bidan) akan menjadi lebih mudah dalam membuat

19
keputusan ketika menghadapi problem klinik (yang pada hakekatnya juga
problem etik) sebab ada orientasi dan arahannya; misalnya tentang kapan
suatu tindakan penyembuhan (curing) perlu diteruskan dan kapan pula
harus dihentikan karena sudah bersifat mubazir (futile), serta kapan
tindakan perawatan (caring) boleh dihentikan.
Ketiga, filsafat merupakan sebuah upaya memperoleh pandangan
atau gambaran umum (world view) dengan mencoba mengkombinasikan
konklusi-konklusi dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia ke dalam
bentuk pandangan universal yang konsisten. Dengan pandangan tersebut
para filosof bermaksud mencoba melihat kehidupan tidak dari pandangan
spesialistik seorang ilmuwan, seorang pengusaha ataupun seorang
seniman semata; tetapi justru dari pandangan umum oleh seseorang yang
menyadari kehidupan sebagai suatu yang bersifat totalitas.
Keempat, fillsafah merupakan bentuk analisis logis yang akan
memperjelas sesuatu ungkapan atau konsep (the logical analysis of
language and the clarification of the meaning of words and concepts).
Kelima, filsafah dilukiskan sebagai kajian terhadap seperangkat
problem kehidupan umat manusia yang oleh para filosof selalu ingin dicari
jawabannya (a group of perennial problems which interest mankind and for
which philosophers have always sought answer).
Para ahli memang bisa berbeda dalam mengungkapkan batasan
mengenai filsafah disebabkan perspektifnya masing-masing. Plato sendiri
mendefinisikan filsafah sebagai ilmu pengetahuan untuk mencari hakekat
kebenaran yang asli. Sementara Aristoteles, yang lebih menitikberatkan
pemikirannya pada pembagian ilmu filsafah, menjelaskan bahwa filsafah
adalah pengetahuan yang mengandung kebenaran mengenai ilmu fisika,
logika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Beliau juga menyatakan bahwa
filsafah adalah ilmu yang mencari kebenaran yang pertama atau ilmu
tentang segala apa yang ada, yang menunjukkan adanya sesuatu yang
mengadakan sebagai penggerak pertama. Sebagaimana halnya Plato, ia
belum sampai pada konsepsi adanya Tuhan yang menciptakan. Marcus

20
Tullius Cicero (106 43 SM), seorang Romawi yang piawai dalam banyak
hal (antara lain dalam hal berpidato dan berfilsafah) mengemukakan bahwa
filsafah adalah pengetahuan tentang sesuatu yang Maha Agung serta
berupaya untuk mencapai yang Maha-Agung tersebut. Sedangkan Al
Farabi, salah seorang filosof muslim, mendefinisikan filsafah sebagai ilmu
pengetahuan tentang alam yang maujud (nyata) dan bertujuan menyelidiki
hakekat yang sebenarnya.
Pendek kata filsafah, sebagaimana disimpulkan oleh Harun
Nasution, merupakan pengetahuan tentang hikmah, prinsip-prinsip atau
dasar-dasar pencarian kebenaran dan tentang dasar-dasar pembahasan
mengenai apa yang dipermasalahkan. Berpikir filsafati menurut pendapat
beliau adalah berpikir menurut tata-tertib (logika) dengan bebas tanpa
terikat oleh tradisi, dogma dan agama sampai sedalam-dalamnya hingga
menembus ke dasar persoalan.
Mengenai latar belakang atau alasan mengapa orang berfilsafah
adalah karena:
a. adanya rasa kagum terhadap sesuatu.
b. adanya rasa ketidakpuasan akan sesuatu.
c. adanya hasrat bertanya tentang sesuatu.
d. adanya keragu-raguan akan sesuatu.
Rasa kagum akan sesuatu dapat menimbulkan hasrat untuk
menyelidiki tentang segala sesuatu yang dikagumi tersebut. Hal ini dialami
sendiri oleh Plato, bahwa mata kita memberi pengamatan akan bintang-
bintang, matahari dan bulan. Pengamatan tersebut memberi dorongan
kepada kita untuk menyelidiki benda-benda itu sehingga akhirnya sampai
ke asal-muasal alam semesta.
Ketidakpuasan terhadap sesuatu (misalnya tentang mitos dan mite)
juga dapat melahirkan keinginan untuk melakukan penyelidikan.
Perlu diketahui bahwa sebelum filsafah lahir, berbagai mitos dan
mite (termasuk di bidang kedokteran) memainkan peranan penting dalam
kehidupan umat manusia, utamanya dalam masyarakat Yunani. Meski

21
mitos dan mite telah berupaya keras menjelaskan berbagai peristiwa yang
terjadi di alam semesta (meliputi sifat-sifat dan asal-muasalnya), namun
penjelasan tersebut tetap tidak memuaskan. Ketidakpuasan inilah yang
mendorong orang untuk mencari kebenaran hakiki.
Munculnya ilmu-ilmu sosial dan sain adalah berkat pemikiran para
filosof. Dengan kata lain, semua ilmu yang ada pada awalnya dipelajari
dalam wacana filsafati.
Ilmu kedokteran itu sendiri pada awalnya, yaitu pada zaman Mesir
kuno dan Babilonia (sekitar 4000 tahun yang lalu) juga diwarnai oleh hal-hal
yang bersifat supranatural. Penyakit dianggap sebagai hukuman Tuhan
atas dosa-dosa yang diperbuat manusia atau diyakini sebagai perbuatan
roh-roh jahat yang berperang melawan dewa-dewa pelindung manusia
sehingga oleh karenanya penyembuhannyapun harus dilakukan oleh para
pendeta melalui doa-doa atau upacara-upacara pengorbanan. Mitos seperti
iniah yang menjadikan profesi kedokteran tidak dapat dipisahkan dari
pengaruh pendeta (Priestly Medicine).
Sesudah ilmu kedokteran dibawa dari Mesir dan Babilonia ke Yunani
sekitar 500 tahun SM, barulah profesi kedokteran mengalami sekularisasi.
Pengaruh pendeta mulai meluntur dan selanjutnya diambil alih oleh para
filosof. Melalui pengamatan, proses pemikiran logis dan deduksi maka para
filosof berhasil merubah praktek kedokteran yang berbau mistik menjadi
lebih rasional. Maka tidaklah salah jika kemudian Auguste Comte
berpendapat bahwa sesungguhnya yang terjadi di Yunani pada masa-masa
itu adalah pergumulan antara mitologi dan logos. Beliau juga membagi
sejarah manusia menjadi tiga tahapan, yang masing-masing ditandai oleh
cara berpikir; yaitu teologik, metafisik dan positivistik.
Adapun mengenai hasrat bertanya perlu dijelaskan bahwa hasrat
tersebut muncul sebagai akibat ketakjuban manusia akan sesuatu yang
dilihatnya. Ketakjuban inilah yang membuat orang tak habis-habisnya
bertanya sehingga pada akhirnya memaksa mereka melakukan
pengamatan, penelitian dan penyelidikan.

22
Sedangkan mengenai keraguan, perlu diungkapkan disini bahwa
Augustinus dan Rene Descartes memulai berfilsafah bukan karena
kekaguman dan ketakjuban, melainkan justru bermula dari keraguan dan
kesangsiannya. Dari keraguan itulah kemudian kedua filosof tersebut
berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh
kepastian dan kebenaran hakiki.
Filsafah pada awalnya terbagi menjadi tiga cabang sesuai bidang
telaahannya; yaitu tentang apa yang disebut benar dan salah (filsafah ilmu),
apa yang dianggap baik dan buruk (filsafah etika) serta tentang apa yang
disebut indah dan tidak indah (filsafah estetika). Selaras dengan sifat
dasarnya yang spekulatif maka filsafah juga mentelaah segala apa yang
dapat dipikirkan manusia, sehingga pada akhirnya berkembang meliputi
berbagai bidang.
Aristoteles misalnya, membagi disiplin ini menjadi filsafat spekulatif
atau teoritis, filsafah praktika, dan filsafat produktif. Plato membaginya
menjadi dialektika, fisika dan etika. Sedangkan Will Durant membagi
filsafah menjadi logika, estetika, etika, politika dan matematika.
Sekarang cabang ilmu filsafah meliputi epistimologi, metafisika
(ontology, kosmologi, metafisika dan antropologi), logika, etika, estetika dan
filsafah tentang berbagai disiplin ilmu (seperti filsafah agama, pendidikan,
ilmu, hokum, sejarah, matematika dan filsafat politik).
Bahwa filsafah terus dipelajari karena ia diperlukan sebagai orientasi
dan arahan. Buah pemikirannya akan dapat dipakai sebagai acuan dasar
dalam menentukan moralitas, sementara moralitas itu sendiri juga dapat
dipakai sebagai pedoman dalam menetapkan keetisan sesuatu sikap dan
prilaku. Ibarat tanaman maka filsafah adalah rabuknya, yang akan
menyuburkan moral. Sementara moral dipakai sebagai dasar dalam
menentukan keetisan, walau pelaksanaannya masih memerlukan kritisi dan
analisis rasional. Prinsip-prinsip moral juga dipakai sebagai landasan bagi
pembentukan hukum.

23
10. Apa gunanya filsafah bagi kehidupan umat manusia?
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa filsafah memberikan kepada
umat manusia suatu kebenaran dari aspek yang paling dalam (hakiki).
Dengan kebenaran tersebut maka orang selain akan mendapatkan
orientasi juga arahan sehingga tidak akan mudah diombang-ambingkan
oleh keadaan yang semakin tidak menentu. Selain itu, filsafah juga akan
memperkaya pemikiran tentang moral.
Umat manusia harus sadar bahwa mereka sekarang sedang berada
dalam periode yang mirip masa-masa akhir dari peradaban Graeco-
Roman, Renaissance, Reformasi dan Revolusi Industri; yang ditandai oleh
adanya pergeseran mendasar dalam hal nilai, tradisi, dan cara berpikir.
Perubahan demi perubahan yang terjadi sekarang ini sudah menyentuh
hal-hal yang paling mendasar dari kehidupan manusia dan masyarakat.
Sekarang umat manusia telah memiliki modal dasar yang amat
besar untuk menguasai alam (termasuk angkasa luar) sehingga mampu
membuat terobosan dan langkah raksasa di area sain dan teknologi,
agrikultur, kedokteran, ilmu-ilmu sosial dan pendidikan.
Dalam abad ke XX yang baru saja berlalu, utamanya dalam
beberapa dekade terakhirnya, orang telah banyak menyaksikan atau
bahkan mungkin merasakan sendiri bagaimana pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, termasuk di bidang kedokteran dan biologi
molekuler.
Kalangan medis juga harus bangun dari tidurnya bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran telah menciptakan
pula berbagai macam paradok (medical paradox).
Paradok pertama adalah bahwa apa yang dahulu mustahil, sekarang
menjadi mungkin. Melalui pemeriksaan pra-lahir (intra-uterine screening
atau prenatal screening) para dokter di bagian obstetri-ginekologi sudah
dapat mendeteksi penyakit pada janin yang gejala-gejala dan tanda-
tandanya baru akan muncul kelak ketika dewasa (adult onset disease) dan
dengan alat penunjang kehidupan (artificial respirator) mereka juga sudah

24
dapat mempertahankan proses kehidupan sampai dua atau tiga minggu
lamanya pada tubuh wanita hamil yang sudah dinyatakan mati (to keep
dead people alive) guna mempertahankan kehidupan janin yang belum
layak (nonviabel) untuk dilahirkan. Kesemuanya itu belumlah apa-apa jika
dibandingkan dengan rekayasa genetika (genetic engineering) yang secara
teoritis mampu membuat replika manusia serta menciptakan ras-ras baru
dari formulasi dan kombinasi gen-gen lintas species atau lintas kingdom,
misalnya antara gen manusia dengan gen binatang sehingga menjadi
makhluk human-animal (chimeras) atau bahkan antara manusia dengan
mesin sehingga menjadi makhluk human-machine (cyborg).
Paradok ke dua adalah bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, dunia kedokteran telah mampu mengidentifikasi kondisi
medik tanpa gejala (asymptomatic medical conditions) dan risiko (risks)
untuk dikategorikan sebagai penyakit (disease) sehingga untuk masa-masa
sekarang dan masa-masa mendatang tidak lagi mudah membedakan
keadaan illnesses dan non-illnesses.
Contohnya, jika dalam pemeriksaan prenatal screening ditemukan
adult onset desease maka pertanyaannya, sehat atau sakitkah bayi yang
dilahirkan dari janin seperti itu? Bagi orang awam yang tidak memahami
ilmu kedokteran maka hal semacam itu, sebagaimana digambarkan oleh
Profesor John Ladd dari Brown University, like identifying dark clouds with
a thunderstorm.
Tentunya masih banyak lagi paradok lain yang tidak perlu disebutkan
satu per satu, tetapi yang jelas, paradok-paradok di bidang kedokteran
sangat potensial memunculkan konflik sebagai akibat perbedaan konsep
lama yang telah lebih dahulu tertanamkan dengan konsep baru. Maka
tantangan utama dalam menghadapi penerapan berbagai teknologi maju
adalah bagaimana memahami conseptual tranformation dari teknologi
tersebut. Hal ini menjadi penting sebab setiap perubahan konsep selalu
membawa implikasi etik, baik positif maupun negatif.

25
Sah-sah saja jika kalangan medis (bahkan orang awam) merasa
kagum, gembira, dan bangga atas keberhasilan White dan kawan-kawan
melakukan percobaan transplantasi otak seekor monyet ke monyet lainnya
sehingga mampu hidup sampai satu minggu lamanya. Aplikasinya pada
manusia hanyalah soal waktu dan keberanian saja, mengingat binatang
tersebut dilihat dari sudut biologi amat mirip dengan manusia. Namun
pertanyaan mendasar yang sampai sekarang belum bisa dijawab oleh para
ilmuwan adalah, apa yang sesungguhnya terjadi jika pada suatu saat nanti
para dokter berhasil memindahkan otak seorang penjahat yang mati
tertembak jantungnya ke rongga kepala seorang profesor yang menderita
kanker otak? Dokter telah menyelamatkan profesor dengan memberikan
otak baru (yaitu otaknya penjahat) ataukah justru telah menyelamatkan si
penjahat dengan memberikan tubuh baru (yaitu tubuhnya profesor)? Lalu
siapakah yang sebenarnya menjadi donor dan siapa pula yang menjadi
resipien? Organ manakah yang sebenarnya menjadi subjek transplantasi;
yaitu otak ataukah justru tubuh?
Sungguh tidak akan pernah ada jawaban yang pasti tanpa disertai
pemahaman yang bersifat filsafati, utamanya tentang tujuan hakiki dari
profesi medis itu sendiri dikaitkan dengan hakekat manusia (human nature)
yang merupakan kesatuan yang utuh dari unsur jiwa dan raga. Unsur jiwa
itu sendiri terdiri atas tiga buah unsur esensial yang membedakan manusia
dari benda atau makhluk hewani; yaitu akal (intellect), rasa (emotion) dan
kehendak (will). Dalam filsafat jawa ke tiga unsur tadi lebih dikenal dengan
sebutan roso, karso dan karyo.
Barangkali karena itu pulalah Profesor Heyder bin Heyder, guru
besar ilmu bedah pada Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, dalam
sebuah diskusi ilmiah berkata: Jikalau saya harus mendonorkan organ
tubuh saya maka janganlah sekali-kali berharap bahwa saya akan
mendonorkan otak saya karena saya tak ingin seluruh rahasia kehidupan
saya jatuh ke orang lain.

26
Sedang bercandakah beliau dengan ucapannya itu? Samasekali
tidak, sebab apa yang dikatakannya itu justru berangkat dari pemikirannya
yang mendalam (filsafati), yaitu tentang hakekat manusia (baik sebagai
resipien maupun donor) dikaitkan dengan tujuan hakiki profesi medis (the
nature of medicines genuine business) itu sendiri. Pemikiran filsafati seperti
ini seharusnya dijadikan orientasi bagi setiap profesional di bidang medis,
keperawatan, dan kebidanan ketika sedang berhadapan dengan problem
sulit dalam klinik.
Benar bahwa berdasarkan kode etik para profesional harus
berupaya sekuat tenaga untuk menyembuhkan pasien, tetapi pertanyaan
kritis yang perlu diketengahkan adalah, apakah upaya penyembuhan
(curing) harus terus-menerus dilakukan tanpa batas waktu? Bukankah
penggunaan alat penunjang kehidupan (supportive life) seperti respirator
secara berkepanjangan merupakan bentuk penyalahgunaan peralatan
medis (abused of equipment) yang justru melanggar etika?
Para profesional tidak boleh bekerja seperti mesin. Mereka mesti
memahami pula apa tujuan hakiki (true goals) dari profesinya sebagai
orientasi dan arahan dalam menetapkan kebijakan klinis. Untuk itulah Tobin
mempertanyakan, apakah tujuan hakiki profesi kedokteran untuk
menciptakan kebahagiaan umat manusia (medicine aims at human
happiness) ataukah untuk memperpanjang hidup manusia (medicine aims
at prolongation of life)?
Tidak akan ada satupun jawaban yang benar-benar memuaskan,
kata beliau, sebab pada kenyataannya banyak pasien merasa bahagia
meski mengidap penyakit kronis sepanjang hayatnya dan apa pula artinya
hidup dapat diperpanjang kalau hanya bisa terbaring di kamar ICU lengkap
dengan peralatan canggih yang mahal-mahal, dipisahkan dari sanak
keluarga, dan ditemani oleh orang-orang yang tidak dikenalnya? Walau
sedikit ragu, Tobin mencoba memberikan jawabannya, bahwa tujuan hakiki
profesi kedokteran (the nature of medicines genuine business) adalah

27
untuk memelihara atau memperbaiki kesehatan (rather the maintenance or
restoration of health).
Pertanyaan yang lebih menukik ke problem klinis sehari-hari adalah,
apakah para dokter boleh melepas segala macam peralatan penunjang
kehidupan (supportive life) ketika segala macam upaya penyembuhan
(curing) sudah sampai pada tahapan mubazir (futile)? Bolehkah terhadap
pasien semacam itu hanya diberikan perawatan (caring) saja sampai
pasien meninggal dunia? Lalu tindakan paliatif apa saja yang boleh
dilakukan terhadap pasien seperti itu?
Jawaban filosofis Tobin diatas agaknya mengindikasikan bahwa
pelepasan alat penunjang kehidupan dapat dibenarkan manakala upaya
penyembuhan (curing) sudah sampai pada tahapan mubazir, walau
tindakan perawatan (caring atau hospice care) harus terus diberikan
sampai pasien meninggal dunia. Hal ini sejalan dengan rekomendasi
Council on Ethical Judicial Affairs of the American Medical Associaton,
bahwa Physicians have no obligation to provide futile CPR, if fails to
specify any level of statistical certainty at which the judgment is warranted.
Lebih jauh Hastings Center and the Society of Critical Care menyatakan
bahwa Providing intensive care to patients in a persistent vegetative state
is generally a misuse of resources.
Meski maxim menyebutkan bahwa dalam etika akan lebih banyak
pertanyaan daripada jawabannya, namun pemikiran filosofis akan dapat
membantu menyelesaikan problem etika. Contohnya dapat dilihat pada
kasus dibawah ini:
Corinne Parpalaix, seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris pada
Departemen Kepolisian di Marseille, mengajukan permintaan kepada sebuah bank
sperma di Perancis untuk mendapatkan sperma almarhum suaminya yang telah
meninggal dunia karena kanker. Permintaan itu diajukan karena ia (sebagai janda)
ingin memiliki kenangan, yaitu memiliki anak dari sperma almarhum suaminya.
Tetapi pihak bank menolak menyerahkannya karena selain tidak ada wasiat
apapun dari almarhum suaminya, bank tersebut juga menganggap bahwa sperma
merupakan bagian dari tubuh manusia walau sudah terpisah lama dari tubuhnya.
Oleh sebab itu sprema yang tersimpan tersebut harus ikut mati ketika yang
empunya meninggal dunia.

28
Contoh lain yang menggambarkan pentingnya pemikiran filosofis
dalam menyelesaikan problem etika adalah sebagai berikut:

Seorang pasien yang masih tergolong anak-anak, yaitu Gerti, menderita


kanker pada tulang kakinya. Ia sendiri tidak berkeberatan atas rencana dokter
memotong kakinya, namun karena pasien secara hukum belum dianggap cakap
untuk memberikan informed consent maka dokter meminta kepada orangtuanya
untuk memberikan persetujuannya sebagai landasan melakukan amputasi.
Ternyata orangtua Gerti menolak memberikan persetujuannya karena tak ingin
melihat anaknya menjadi pincang sehingga akhirnya dokter melakukan amputasi
tanpa informed consent atas dasar keinginannya untuk menyelamat nyawa Gerti.
Oleh sebab itulah dokter digugat di pengadilan.

Karena putusan hakim pada pengadilan tingkat rendah tidak berpihak


kepadanya maka dokter mengajukan kasasi. Ternyata hakim pada Mahkamah
Agung mengabulkan permohonannya berdasarkan argumen yang bersifat filosofis,
yaitu keselamatan anak jauh lebih penting daripada keberatan orangtuanya.

Dari kedua kasus diatas nampak jelas akan pentingnya argumentasi


yang bersifat filosofis guna menylesaikan problem di bidang medis, dalam
kaitannya dengan etika maupun hukum.

11. Apa yang dimaksud dengan etika situasi?


Joseph Fletcher, sebagaimana dikutip oleh Franz Magnis Suseno
dalam bukunya Etika Abad Kedua Puluh, menolak adanya norma-norma
moral umum mengingat kewajiban moral bergantung pada situasi konkrit.
Beliau mendasarkan pada kenyataan bahwa setiap situasi itu unik dan tidak
terulang. Selain itu, setiap situasi akan merubah masalahnya. Oleh sebab
itu Joseph Fletcher berpendapat bahwa:
a. kewajiban moral bergantung pada situasi konkrit;
b. jika situasinya berbeda maka kewajiban moralnya juga berbeda walau
subjeknya sama;
c. tindakan apapun yang dilandasi cinta kasih adalah benar; dan
d. prinsip moral konvensional (tradisional) boleh saja dipertimbangkan,
tetapi tidak mengikat.
Contohnya, kewajiban mendapatkan informed consent dari pasien
merupakan kewajiban moral (juga kewajiban hukum) yang harus dipenuhi

29
sebelum melakukan operasi. Namun jika pasien dalam kondisi emergensi
maka kewajiban moral tersebut dapat ditiadakan atas dasar cinta kasih
untuk menyelematkan nyawa pasien. Alasannya, selain prosedur informed
consent memerlukan komunikasi dua arah (two way traffic communication)
sehingga memerlukan waktu yang cukup, juga mensyaratkan kondisi
kesadaran compos mentis. Padahal tindakan penyelamatan (emergency
care) membutuhkan kecepatan bertindak untuk mencegah kematian dan
kecacatan tetap. Situasi inilah yang merubah kewajiban moralnya sehingga
tidak diperlukan lagi informed consent. Justru dokter dapat dipersalahkan
apabila tidak melakukan tindakan penyelamatan (emergency care) hanya
karena tidak ada informed consent.
Dalam dunia pelayanan kesehatan akan banyak sekali dijumpai
dilema yang disebabkan oleh situasi ambigi (mendua) dan ketidakpastian
(situations of ambiguity and uncertainty), yaitu manakala tindakan dokter
tidak dapat diprediksi konsekuensinya dan manakala prinsip-prinsip moral
umum (general princples) tidak mampu lagi menolong atau
mengarahkannya. Dalam hal situasi pasien sedemikian rupa maka
pertanyaan yang muncul ialah, lebih penting mempertahankan hidup pasien
ataukah menghormati prinsip-prinsip moral tanpa disertai analisis kritis?
Tugas etika situasi (situation ethics) yang sesungguhnya adalah
merespon ambigi dan ketidak-pastian tersebut dengan melakukan kalkusi,
sehingga etika situasi seringkali disebut calculus morality. Ia selalu
mencoba bergerak dari diskripsi situasi khusus menuju analisis prinsip-
prinsip universal dan konsep.

12. Apa yang dimaksud dengan etika diskursus?


Menurut Jurgen Habermas, sebagaimana dikutip oleh Franz Magnes
Suseno dalam bukunya Etika Abad Kedua Puluh, bahwa manusia moderen
tidak luput dari tuntutan yang khas bagi modernitas. Keyakinan-keyakinan
moral harus dilegitimasi (disahkan) lebih dahulu secara rasional. Menurut
beliau, pendasaran pada pandangan dunia dan tradisi-tradisi agama

30
tidaklah cukup dalam budaya pasca-tradisional. Hanya terhadap norma-
norma yang dapat diperlihatkan berlaku universal sajalah yang berhak
menuntut untuk dipatuhi.
Meski pendapatnya bertolak dari teori imperative kategoris
Emmanuel Kant, namun Jurgen Habermas tidak menyetujui cara
Emmanuel Kant dalam memberlakukan norma moral sebagai norma yang
berlaku universal. Menurut beliau tidaklah cukup kalau setiap orang secara
sendirian (monologis) dapat menetapkan keberlakuan sebuah norma.
Norma moral harus disepakati bersama, utamanya menyangkut masalah
yang sangat urgen.
Ada banyak hal atau peristiwa yang melatar-belakangi perlunya
dibuat kesepakatan, antara lain sejarah kelam menyangkut penelitian
terhadap manusia pada zaman Nazi, yang selain tidak mengindahkan
harkat dan martabat juga melanggar hak-hak asasi manusia (peristiwa
Holocaust). Juga penelitian penyakit sipilis yang merendahkan ras kulit
hitam yang dilakukan di Amerika (kasus Tuskegee). Peristiwa-peristiwa
seperti inilah yang kemudian melahirkan kesepakatan yang dituangkan
dalam bentuk deklarasi; antara lain Declaration of Helsinski, dan
Declaration of Geneve. Kadangkala kesepakatan juga dapat dituangkan
dalam kode etik, misalnya Nuremberg Code on Human.

13. Apa kaitan antara filsafah, moral, etika dasar, dan etika terapan?
Mengacu pada apa yang sudah dibahas di bagian depan maka
filsafah memberikan orientasi dan arahan serta memperkaya pembahasan
menyangkut moralitas, sementara moral dipakai sebagai acuan dalam
menentukan keetisan sesuatu prilaku.
Etika dasar membahas tentang teori etika (ethical theory), cara-cara
pembuatan keputusan etik (ethical decision making), dan model-model
pembuatan keputusan etik (ethical decision making model). Cara-cara
pembuatan keputusan etik membahas tentang faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi keputusan serta prinsip-prinsipnya (beneficence,

31
nonmaleficence, autonomy, dan justice). Sedangkan model-model
pembuatan keputusan etik membahas tentang bentuk-bentuk peta-jalan
yang menggambarkan langkah-langkah pembuatan keputusan.
Etika terapan membahas tentang penerapan etika dasar kedalam
kehidupan umat manusia. Mengingat banyaknya bidang dan aspek dalam
kehidupan maka akan banyak dijumpai etika terapan.

14. Apa yang dimaksud dengan kode etik?


Ciri utama profesi adalah memiliki kode etik yang dapat dijadikan
kerangka acuan dalam mengambil keputusan atas dilema etik yang timbul
dalam pelaksanaan suatu profesi. Selain itu juga dapat dipakai sebagai
pedoman bersikap dan berprilaku. Meski cakupannya lebih luas namun
kode etik tidak pernah berbenturan dengan hukum. Sedangkan
keberlakuannya menuntut haati nurani, bukan paksaan.
Jadi kode etik adalah daftar ketentuan tertulis (written list) dari aturan
(moral rule) yang didalamnya mengandung nilai-nilai dan norma-norma
dalam profesi, yang sekaligus dipakai sebagai standar berprilaku. Sifat
kode etik tidaklah statis, melainkan dinamis dan sangat dipengaruhi oleh
perkembangan masyarakat dan profesi. Tentunya setiap anggota suatu
profesi, apapun jenisnya, wajib bertanggungjawab terhadap tegaknya nilai-
nilai dan norma-norma dalam profesi yang telah dituangkan kedalam kode
etiknya masing-masing. Dalam hal kode etik tidak atau belum mengatur hal-
hal tertentu dalam profesi maka sebagai acuan penyelesaian problem etika
adalah dengan mengacu pada prinsip-prinsip etika.

15. Apakah etika memiliki sanksi?


Sebagaimana halnya hukum, etika juga memiliki sanksi. Hanya saja
sanksi etika tidak dapat dipaksakan kepada pelanggarnya, bukan saja
karena ia tidak memiliki sarana pemaksa seperti halnya hukum, tetapi juga

32
karena sifat dasarnya yang menghendaki agar prilaku etik dilaksanakan
berdasarkan hati nurani.
Pada pelanggaran etika tertentu yang kualitasnya berat (gross
immorality), yakni pelanggaran terhadap hak asasi manusia (fundamental
of ethical principles), selain sanksi etika juga sanksi hukum (yang bersifat
paksaan) dapat diberlakukan. Dalam hal ini wilayah pelanggarannya
bertumpang-tindih antara etika dan hukum. Wilayah inilah yang seringkali
disebut Etiko-Legal.
Lalu bagaimana pastinya bentuk sanksi etika dan apakah sanksi
tersebut diterapkan hanya pada pelanggaran etika berat (gross immorality)
saja ataukah juga pelanggaran etika ringan?
Bentuk sanksi etika adalah berupa kata, bahasa, isyarat (seperti
cemohan dan cibiran), atau tindakan tertentu (seperti pengucilan dari
komunitasnya); yang kesemuanya itu merefleksikan ketidak-sukaan
komunitasnya. Sanksi ini perlu diterapkan terhadap semua bentuk
pelanggaran etika, baik yang ringan maupun berat. Mengingat pelanggaran
etika berat berarti juga pelanggaran hukum (etikolegal) maka selain
diberikan sanksi etika juga sanksi hukum.

33
BAB II
ETIKA DASAR

16. Apa yang dimaksud etika dasar?


Etika dasar atau basic ethics merupakan studi yang membahas
dasar-dasar etika secara umum, sebagai landasan untuk memahami lebih
jauh isu-isu etika berkaitan dengan bidang-bidang spesifik. Didalamnya
mengandung teori etika (ethical theory), cara pembuatan keputusan etik
(ethical decision making), dan model-model pembuatan keputusan etik
(ethical decision making model).
Tanpa memahami etika dasar maka orang, termasuk para
profesional, akan mendapatkan kesulitan dalam menyelesaikan problem
kehidupan yang pada hakekatnya mengandung dilema etik.
Dalam memahami bioetikapun etika dasar juga sangat diperlukan
untuk mengetahui akar moral (moral roots) dari bioetika serta untuk
memberikan landasan bagi bioetika dalam penentuan kebijakan moralnya
(moral judgment).

17. Jelaskan mengenai teori etika!


Teori etika menyediakan sebuah sistem untuk menyelesaikan dilema
etik, yakni sebuah situasi yang memerlukan keputusan dari dua alternatif
solusi yang mungkin sama-sama tidak menyenangkan atau saling
bertentangan. Dilema tersebut banyak dijumpai dalam pelayanan

34
kesehatan dan seringkali para profesional tidak dapat menemukan jawaban
yang tegas. Maka tidaklah salah apabila dikatakan bahwa dalam etika akan
lebih banyak dijumpai pertanyaan daripada jawabannya.
Teori etika mencakup keyakinan-keyakinan dasar tentang apa yang
secara moral benar dan salah serta menawarkan pertimbangan-
pertimbangan untuk mempertahankan keyakinan tersebut. Ia menyediakan
cara-cara pembuatan keputusan dengan menunjukkan faktor-faktor yang
bisa mempengaruhi pembuatan keputusan serta prinsip-prinsip yang harus
dipertimbangkan. Teori etika juga menyediakan dasar-dasar bagi
penyusunan kode etik sesuatu profesi, disamping menawarkan berbagai
model dalam pembuatan keputusan etik (yaitu berupa peta jalan yang
menunjukkan langkah-langkah yang harus ditempuh).
Dalam buku ini hanya akan dibahas secara singkat dua teori etika
saja, yaitu deontologi dan teleologi.

18. Jelaskan secara singkat tentang deontologi!


Deontologi tersusun dari dua kata, yaitu deon yang artinya
kewajiban (ikatan) dan kata logos yang berarti ilmu. Ia merupakan sebuah
cara pengambilan keputusan etik dengan mengacu pada kewajiban yang
telah ditetapkan lebih dahulu berdasarkan prinsip-prinsip yang tetap dan
absolut (unchanging an absolute principles), yang biasanya diperoleh dari
nilai-nilai universal agama-agama besar. Prinsip dasarnya dimaksudkan
untuk menjamin kelestarian spesies, dengan memberikan kewajiban.
Ide kuncinya adalah bahwa tindakan apapun yang sesuai dengan
kewajiban (yang telah ditentukan lebih dahulu) dianggap benar, sedangkan
yang berseberangan dengannya dianggap salah.
Kelemahan teori deontologi terletak pada penetapan kewajiban
(yang mungkin saja dapat menimbulkan konflik tersendiri) dan pada
pemecahan mengenai kewajiban mana yang seharusnya didahulukan.
Dipertanyakan pula tentang asal-muasal timbulnya kewajiban tersebut,
misalnya tentang siapa yang harus mengidentikasi dan menetapkan

35
kewajiban. Meski dikatakan lebih dapat diterima dalam bidang pelayanan
kesehatan namun teori ini dinilai tidak fleksibel.

19. Jelaskan pula secara singkat tentang teleologi!


Teleologi berasal dari kata telos yang maknanya adalah akhir tujuan
dan kata logos yang maknanya ilmu. Teori ini menawarkan cara
pengambilan keputusan etis dengan menetapkan benar dan salah suatu
perbuatan dengan didasarkan pada akibat dari perbuatan tersebut. Karena
harus dilihat dahulu situasinya dan dikalkulasi baik buruknya maka teori ini
disebut situation-ethics atau calculus morality.
Prinsip dasarnya adalah manfaat (utility), yang menetapkan berguna
tidaknya suatu perbuatan dilihat dari akibatnya sehingga perbuatan yang
benar adalah yang menghasilkan maslahat (kebaikan), sementara
perbuatan yang salah adalah yang akan mendatangkan mudarat
(kerugian).
Ide kuncinya adalah bahwa baik (good) didefinisikan sebagai
kebahagiaan atau kesenangan sehingga tindakan apapun dianggap benar
manakala dapat membawa kemaslahatan sebesar-besarnya dan
kemudaratan sekecil-kecilnya.
Teori teleologi tidak memiliki prinsip-prinsip yang kaku, kode etik,
kewajiban-kewajiban atau peraturan-aturan tertentu untuk menyelesaikan
situasi khusus. Asumsi dasarnya adalah bahwa baik dan buruk (good and
harm) dapat dikalkulasi seperti formula matematika sehingga seseorang
dapat menilai sendiri tingkat baik dan buruknya dari kasus spesifik.
Pembuat keputusan dapat mempertimbangkan tindakannya untuk
kesejahteraan umum sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang
saat menghadapi situasi yang sama.
Kekurangan dari teori teleologi adalah karena ia lebih membantu
tercapainya kebahagiaan maksimum bagi segelintir orang dari pada
kebanyakan orang. Karena prinsip dasarnya adalah maanfaat (utility) maka
orang dapat mengalami konflik yang tidak terselesaikan ketika sedang

36
menentukan benar dan salah. Pertanyaan yang muncul adalah, tindakan
mana yang lebih menghasilkan kebaikan sebesar-besarnya dan kerugian
sekecil-kecilnya, sebab mengukur kebaikan relatif dan kerugian relatif dari
suatu tindakan sangat sulit dan bahkan sering tidak mungkin. Tambahan
lagi bahwa penentuan the greatest good sangat subjektif dan seringkali
menghasilkan inkonsistensi keputusan. Teori teleologi dinilai cenderung
mengabaikan hak dan kebutuhan individu.

20. Jelaskan konsep dalam pembuatan keputusan etik!


Sebagai introduksi perlu dijelaskan hal-hal penting sebagai berikut:
a. bahwa pembuatan keputusan atas dilema etik dipengaruhi oleh banyak
faktor.
b. bahwa sejalan dengan perubahan dunia maka banyak dilema baru
muncul, sementara dilema lama tetap saja eksis.
c. bahwa salah satu perubahan terbesar dunia sekarang ini adalah
kemajuan di bidang ilmu dan teknologi, utamanya dalam bidang
pelayanan kesehatan, yang sering meninggalkan jauh dibelakang
kemampuan etika dan hukum dalam mengatasi problem yang
ditinggalkan oleh kemajuan itu.
Merujuk pada kondisi lampau dan kini maka orang, utamanya para
profesional, harus mampu untuk:
a. mengidentifikasi faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi
pembuatan keputusan, yaitu:
faktor sosio-budaya (socio-cultural factors);
faktor kemajuan ilmu dan teknologi (scientific and technological
advances);
faktor isu-isu hukum (legal issues);
faktor perubahan status pekerja dibidang kesehatan (changes in
the occupational status of health care workers); dan
faktor keterlibatan komsumen dalam pelayanan kesehatan
(consumer involvement in health care).

37
b. mengaplikasikan keempat prinsip moral (the four moral principles)
dalam setiap pembuatan keputusan..
Menurut Beauchamp and Childress (1983) keempat prinsip moral
tersebut terdiri dari:
beneficence;
nonmaleficence.
autonomy; dan
justice.
Sedangkan menurut Catalano, keempat prinsip moral tersebut meliputi:
beneficence;
fidelity;
autonomy; dan
justice.

21. Jelaskan tiap-tiap unsur dari prinsip moral tersebut!


Prinsip beneficence merujuk pada perbuatan yang baik (to do
good). Dengan prinsip ini maka setiap bentuk keputusan, termasuk
keputusan bidang kesehatan, selayaknya mempertimbangkan keuntungan
bagi individu sasaran.
Menurut Oxford English Dictionary, terminologi beneficence
diartikan sebagai perbuatan yang baik yang merupakan penjelmaam dari
kebajikan atau kebaikan (benevolence atau kindly feeling).
Terminologi beneficence itu sendiri berasal dari bahasa Latin bene
(well; from bonus, good) dan facere (to do) dimana kebaikan atau kebajikan
(benevolence) berakar pada bene dan volens (a strong wish or intention).
Para filosof yang lebih menekankan pada pendekatan rasional dan
kalkulasi cenderung memilih beneficence. Sedangkan mereka yang lebih
melihat etika (utamanya dalam kaitannya dengan kebajikan), watak
(character) dan dimensi-dimensi psikologik dari moral life lebih cenderung
memilih benevolence.

38
David Hume misalnya, menempatkan benevolence sebagai naluri
yang melekat pada manusia sejak awal. Namun Joseph Butler, Francis
Hutcheson, Adam Smith dan filosof lain dari Inggris abad XIX, menganggap
Hume tidak banyak mengkaitkan dengan penyelesaian problem etik,
misalnya mengkaitkan dengan diskripsi peran dan tempat benevolence
dalam pemetaan moralitas manusia (moral topography of human beings).
Adam Smith menggunakan terminologi beneficence tetapi penggunaannya
untuk menggambarkan sifat dari kemauan baik serta menunjukkan
semangat moral, bukan prinsip moral.
Kesimpulannya bahwa prinsip beneficence dapat didefinisikan
secara luas dan sempit. William Frankena misalnya, mendefinisikan
beneficence secara luas, yaitu sebagai prinsip yang didalamnya
mengandung elemen pengekangan terhadap perbuatan yang dapat
menimbulkan kerugian, pencegahan dan pelepasan terhadap perbuatan
buruk, serta elemen peningkatan terhadap kebaikan. Walau James
Childress mengadopsi elemen-elemen beneficence dari Frankena namun ia
mengklasifikasi kembali menjadi dua prinsip yang berbeda, yaitu prinsip
beneficence dan prinsip nonmaleficence.
Prinsip nonmaleficence menghendaki agar setiap keputusan untuk
melakukan perbuatan tertentu (meliputi tindakan di bidang kesehatan) tidak
merugikan individu dimana perbuatan itu dilakukan (to do no harm). Bahwa
Catalano tidak mencantumkan prinsip ini (sebagaimana yang dilakukan
Beauchamp dan Childress) karena ia lebih bersetuju dengan pemikiran
William Frankena, bahwa prinsip nonmaleficence sudah tersirat dalam
prinsip beneficence sehingga tidak perlu dijadikan sebuah prinsip moral
tersendiri. Namun beliau kemudian memasukkan fidelity sebagai prinsip
moral tambahan, yang intinya mewajibkan setiap profesional untuk
menunjukkan kecermatan, kejujuran, kepatuhan dan kesetiaan terhadap
tanggung jawab yang diembannya. Prinsip ini dinilai olehnya sebagai
elemen kunci dari akontibilitas.

39
Prinsip autonomy merujuk pada adanya hak individu sasaran untuk
membuat keputusan menyangkut kepentingannya sendiri. Namun harus
difahami bahwa autonomy konsumen punya batas dan tidak boleh
mengganggu autonomy profesional. Profesi juga memiliki autonomy yang
pada batas tertentu tidak boleh diganggu-gugat.
Dalam kaitannya dengan pasien, autonomy berarti hak pasien
untuk membuat keputusan atas layanan kesehatan (the right to make
decisions about ones health care). Dengan hak tersebut tidak berarti
pasien bebas meminta layanan kesehatan menurut keinginannya. Atas
dasar itu autonomy pasien mesti dikendalikan dan dikontrol oleh prinsip-
prinsip moral lainnya (seperti beneficence dan non-maleficence) serta
autonomy profesional.
Jika misalnya pasien menginginkan persalinan lewat operasi Cesar
maka hal itu perlu dipertimbangkan masak-masak (dari segi benefit and
risk) manakala tidak ditemukan adanya indikasi medis untuk operasi.
Memang ada banyak kelebihannya, namun operasi Cesar memiliki risiko
potensial yang bisa merugikan ibu dan janinnya. Kecuali kelak ada kajian
ilmiah (evidence based medicine) yang membuktikan bahwa operasi
Caesar lebih menguntungkan (benefit). Oleh sebab itu dalam merespon
autonomy pasien hendaknya berhati-hati. Perlu dikendalikan dengan
justice, yaitu apakah benefits dan risks sepadan.
Prinsip justice (as a fairness maupun as a distributive justice)
menunjukkan adanya kewajiban yang adil kepada semua orang. Prinsip ini
juga mencerminkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban,
sehingga tidaklah adil menempatkan tanggung jawab yang besar kepada
dokter tanpa diimbangi oleh haknya yang seimbang. Prinsip ini
menghendaki agar setiap keputusan mempertimbangkan benefits dan
risks.

22. Di media apa saja nilai dan norma etika dirumuskan?

40
Nilai-nilai dan norma-norma etika dapat dirumuskan dalam media
sumpah, kode etik, dan deklarasi.
Sumpah atau janji berasal dari bahasa Latin, yaitu professio, yang
kemudian dari kata itu muncullah terminologi profesi, profesional
(pengemban profesi), dan profesionalisme (sifat).
Pada awalnya sumpah dokter diucapkan oleh pengikut-pengikut
Pythagoras yang merasa muak melihat praktek kedokteran pada masa itu.
Para dokter lebih sering melakukan eutanasia dengan memberikan racun
karena mudah putus asa dalam mengupayakan kesembuhan pasien, tidak
menghormati hidup insani (dari saat pembuahan) dengan melakukan
aborsi, menipu pasien serta membocorkan rahasia kedokteran. Pengikut
Pythagoras bersumpah untuk merebut kembali kepercayaan masyarakat
(public trust) yang pada masa-masa itu sudah mulai meluntur. Meski
sebetulnya layak disebut sebagai Manifesto Pythagorean namun entah
karena Hippocrates juga memberikan kontribusi yang besar pada isi
sumpah itu atau karena ingin memberikan penghormatan kepada beliau
sebagai bapak ilmu kedokteran moderen maka sumpah tersebut lebih
dikenal sebagai Sumpah Hippocrates
Sekarang sumpah profesi sudah menjadi kelaziman bagi setiap
orang sebelum memulai keprofesiannya; entah sebagai dokter, perawat,
bidan dan profesi lain. Jika pada awalnya sumpah dokter diucapkan atas
nama dewa-dewi pelindung umat manusia, namun sekarang diucapkan
atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula halnya dengan sumpah
untuk profesi lain. Sumpah seperti ini akan mermberikan kesadaran
terhadap tanggungjawabnya, bahwa setiap profesional merupakan
instrumen Tuhan di dunia untuk menciptakan rahmatan lil alamin.
Begitu pentingnya sumpah tersebut sehingga pemerintah perlu
mengaturnya, misalnya Sumpah Dokter Indonesia yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Nilai dan norma juga dapat dirumuskan dalam bentuk kode etik,
yang pada dasarnya merupakan daftar tertulis (written list) dari semua

41
aturan (moral rules) untuk dipakai sebagai pedoman berprilaku. Mengingat
semua anggota profesi menguasai cabang ilmu (body of knowledge) yang
tidak dimengerti oleh pasien (client) maka kode etik menjadi penting
sebagai pengendali diri (self crontrol) agar tidak menggunakan
superioritasnya secara tidak patut.
Umumnya sekarang tiap-tiap profesi mempunyai kode etik sendiri-
sendiri; antara lain Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), Kode Etik
Kebidanan, Kode Etik Keperawatan, dan sebagainya.
Mengenai media deklarasi perlu dijelaskan disini bahwa dalam
masalah penting yang berkaitan dengan aspek tertentu dari kehidupan
umat manusia perlu ada kesepakatan sesuai dengan ajaran etika
diskursus. Dalam masalah penelitian yang melibatkan manusia sebagai
objek misalnya, perlu dirumuskan kesepakatan untuk menghindari
terulangnya penelitian model zaman Nazi yang tidak mengindahkan
martabat manusia, moral, etika, dan hak asasi manusia. Itulah latar
belakang dibuatnya Declaration of Helsinki yang kemudian direvisi pada
tahun 1975.

23. Dalam bentuk apa nilai dan norma etika dirumuskan?


Sebagaimana diuraikan di bagian depan bahwa nilai-nilai dan
norma-norma etika dapat dirumuskan dalam bentuk standar, prinsip, dan
aturan (yang dikompilasi dalam kode etik).
Masing-masing bentuk tersebut memiliki sifat dan fungsi berbeda.
Standar berfungsi sebagai tolok ukur (parameter), prinsip sebagai acuan
dasar dalam penyusunan aturan (rules) dan aturan sebagai pedoman
praktis bagi sikap dan prilaku spesifik.
Prinsip lebih kokoh kedudukannya dan tidak mudah dipengaruhi
oleh perubahan, sedangkan aturan (rules) sangat dinamis dan dipengaruhi
oleh perubahan masyarakat maupun profesi. Oleh sebab itulah aturan
(moral rule) yang tertuang dalam kode etik profesi akan dilakukan

42
penyesuaian menyusul perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau
profesi.

24. Sebutkan salah satu model pembuatan keputusan etik?


Sebetulnya ada banyak model yang ditawarkan oleh para ahli
dalam pembuatan keputusan etik (ethical decision making model), namun
dalam buku ini hanya akan dibahas sebuah model yang diajukan oleh
Johnstone.
Beliau menganjurkan agar problem moral diselesaikan dengan
menggunakan pendekatan lima langkah, yaitu:
a. menilai situasinya (assessing the situation).
b. mengenali dan menentukan problem moralnya (diagnosing or
identifying the moral problem).
c. menetapkan tujuannya serta merancang tindakan yang sesuai (setting
moral goals and planning an appropriate).
d. melaksanakan tindakan yang telah dirancang (implementating the
moral plan of action).
e. mengevaluasi hasilnya (evaluating the moral outcomes of action
implementating).
Untuk lebih memahami model pendekatan lima langkah dari
Johnstone tersebut perlu diberikan contoh kasus sebagai berlikut:
Seorang perempuan muda yang sedang hamil dua bulan datang ke
bagian bedah sebuah rumah sakit di kotanya untuk memeriksakan benjolan pada
payu daranya. Dalam pemeriksaan ternyata benjolan tersebut merupakan kanker
payu dara yang masih operable. Tindakan medis apakah yang menurut etika dapat
dibenarkan?

Langkah pertama adalah menilai situasinya, bahwa perempuan


tersebut mengidap kanker payu dara yang berbahaya dan belum ada
obatnya selain operasi yang kemudian diikuti program penyinaran dengan
radioaktif atau kemoterapi. Tetapi masalahnya, perempuan tersebut sedang
hamil dua bulan sehingga tindakan seperti itu akan dapat membahayakan
janin yang dikandungnya, disamping operasinya sendiri juga mengandung

43
risiko potensial. Sebagaimana diketahui bahwa sinar radioaktif dan
kemoterapi dapat mengganggu pertumbuhan janin dan menyebabkan gen
mengalami mutasi sehingga berpotensi menjadi kanker.
Langkah kedua adalah mengenali problem moralnya. Pertama,
apakah bermoral menunda operasi dan penyinaran atau kemoterapi
sampai pasien melahirkan mengingat konsekuensinya yang sama artinya
dengan memberikan kesempatan tujuh bulan lamanya kepada kanker
untuk berkembang dan mengancam kesehatan perempuan itu? Kedua,
apakah bermoral jika operasi dan penyinaran atau pemberian kemoterapi
dilakukan segera, yang konskuensinya berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan yang serius pada janin sehingga akan menyulitkan
kehidupannya kelak? Ketiga, apakah bermoral jika kehamilannya
diterminasi lebih dahulu sebelum mengatasi penyakit kankernya?
Jawabannya sudah pasti bahwa ketiga alternatif tersebut diatas
sebenarnya bertentangan dengan moral. Namun dokter harus memilih
alternatif yang dapat dibenarkan dari sudut etika.
Langkah ketiga adalah menetapkan tujuan dan merancang
tindakan terbaik yang dibenarkan menurut etika. Pada langkah inilah ketiga
pandangan moral diatas dikritisi, dianalisis secara sistematis dan rasional
untuk kemudian ditetapkan jastifikasinya. Disamping itu dokter juga harus
mempertimbangkan maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerugian) dari
tindakannya itu.
Sudah pasti tidak mudah sebab teori etika (termasuk etika klinik
yang akan dibahas bagian belakang) harus diaplikasikan secara cerdas
dan cermat.
Konkritnya, prinsip beneficence dan nonmaleficence perlu dijadikan
landasan utama dengan menimbang-nimbang benefit and risk dari tiap-tiap
pilihan tindakan yang tersedia. Prinsip autonomy yang memberikan hak
kepada pasien untuk menjatuhkan pilihannya juga perlu diperhitungkan
walau pilihan itu dapat bersifat bias. Oleh sebab itu komunikasi dengan
pasien harus dibangun dengan berlandaskan pada kejujuran dan iktikad

44
baik (utmost of good faith). Prinsip justice juga tidak boleh dilupakan
dengan mempertanyakan apakah tindakan yang dipilih merupakan tindakan
yang juga akan diterapkan kepada pasien lain yang sama kondisi dan
problem moralnya.
Langkah keempat adalah mengimplentasikan pilihan tindakan yang
telah ditetapkan dan direncanakan tersebut.
Langkah kelima dan terakhir adalah mengevaluasi hasil dari apa
yang telah diimplentasikan. Langkah ini menjadi sangat penting untuk
dijadikan feed back bagi dokter sebagai bahan pertimbangan dalam
mengatasi problem yang sama dikemudian hari, sebab dalam beberapa
kasus yang keputusan kliniknya berupa terminasi kehamilan misalnya,
seringkali pasien merasa berdosa karena ikut menyetujui tindakan
terminasi. Atas dasar inilah sebaiknya keputusan klinik dilaksanakan
dengan melibatkan ahli agama dan psikolog.

25. Apa yang dimaksud dengan etika terapan?


Etika terapan atau applied ethics merupakan etika yang membahas
penerapan etika dasar kedalam bidang khusus dari kehidupan.
Mengingat banyaknya bidang aplikasi dan bahkan masing-masing
bidang tersebut masih dapat dirinci lagi cabang-cabangnya maka etika
terapan menjadi banyak sekali jenisnya, yang rinciannya tergantung dari
perspektif masing-masing ahli yang merincinya. Namun dalam buku ini
hanya akan dibahas beberapa jenis saja, utamanya yang berkaitan dengan
bidang kehidupan dan kesehatan; yaitu bioetika yang lebih difokuskan pada
kemajuan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan dan etika biomedik.
Bioetika membahas prilaku terhadap makhluk hidup beserta
kehidupannya. Sedangkan etika biomedik (biomedical ethics) membahas
etika kedokteran, etika klinik (clinical ethics) dan etika penelitian; yang
sebenarnya juga merupakan bioetika.

45
BAB III
BIO-ETIKA

26. Apakah bioetika itu?


Bioetika (bioethics) berasal dari bahasa Yunani bios yang berarti
kehidupan dan ethike yang berarti filsafah moral. Makna harfiahnya
adalah etika terhadap kehidupan.
Terminologi tersebut pertama kali digunakan oleh Van Rensselaer
Potter dalam proposalnya yang mencoba mempersatukan kewajiban etik
terhadap manusia dengan kewajiban etik terhadap lingkungan hidup
(biosphere). Dalam kontek ini maka bioetika sama artinya dengan etika
ekologi (ecological ethic) yang tujuannya melestarikan keseimbangan
ekologi. Namun banyak ahli, dan juga publik, cenderung mempersempit
pengertian bioetika hanya pada pembahasan isu-isu etika yang diakibatkan
oleh kemajuan ilmu dan teknologi di bidang biologi dan layanan kesehatan
(sebagai konsekuensi berubahnya dunia medis yang menjadi semakin
research oriented). Dalam kontek ini maka bioetika sama artinya dengan
etika ilmu dan teknologi (ethics of science and technology), yang

46
sebetulnya merupakan etika medis yang sedikit diperluas dengan etika
penelitian biomedik (ethics of biomedical research).
Sampai sekarang para ahli masih saja berbeda pendapat
menyangkut definisi dan cakupannya. Menurut ONeill, bioetika bukanlah
sebuah disiplin ilmu (bioethics is not a discipline), namun Aksoy
menyatakan bahwa bioetika merupakan ilmu sosial yang mencoba
menawarkan solusi terhadap konflik-konflik moral yang diakibatkan oleh
aplikasi ilmu kedokteran dan biologi (bioethics is a quasi-social science that
offers solutions to the moral conflicts that arise in medical and biological
science practice). Sedangkan Kugarise dan Sheldon (2000) memberikan
definisi yang lebih rinci lagi, yaitu suatu studi sistematik terhadap dimensi-
dimensi moral (meliputi dimensi visi, keputusan, prilaku dan kebijakan
moral) tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan dan
layanan kesehatan; dengan mengaplikasikan metodologi etika dalam
sebuah kemasan yang bersifat interdisipliner (the systematic study of the
moral dimensions (including moral vision, decisions, conduct and policies)
of life sciences and health care; employing a variety of ethical
methodologies in an interdisciplinary setting).
Mensikapi banyaknya definisi maka ada baiknya kalau orang tidak
mengunggulkan pada satu pendapat, pemikiran, atau konsep saja karena
hal itu hanya akan menghasilkan pemahaman yang tidak menyeluruh
(konprehensif). Sepanjang masih tertuju pada masalah kehidupan maka
sah-sah saja kalau orang mendefinisikan bioetika dalam perspektif luas
ataupun sempit.

27. Apa saja cakupan dari bioetika?


Sebagaimana disebutkan diatas bahwa banyak ahli dan juga
sebagian masyarakat yang cenderung mempersempit cakupan bioetika
hanya pada masalah etika medis belaka. Dengan pendekatan tersebut
maka pokok bahasan bioetika hanyalah mencakup etika medis ditambah
dengan etika penelitian biomedis. Namun sesungguhnya cakupan bioetika

47
lebih dari itu karena meliputi pula isu-isu moral dalam kaitannya dengan
kesehatan dan ilmu di area kesehatan publik, kesehatan lingkungan,
populasi dan makhluk hewani.
Meliputi makhluk hewani karena makhluk yang satu ini juga
membutuhkan kehidupan sejahtera (animal welfare) seperti layaknya
manusia sehingga perlakuan terhadap mereka juga harus sesuai dengan
nilai-nilai dan norma-norma moral; antara lain tentang bagaimana
memanfaatkan makhluk hewani untuk kepentingan penelitian dan
bagaimana pula melakukan eksploitasi organ, jaringan dan sel dari
tubuhnya untuk tujuan terapi atau transplantasi.
Pada intinya bioetika menghendaki agar manusia dapat menjalani
kehidupannya di muka bumi secara harmonis. Hal ini sesuai dengan yang
diharapkan oleh UNESCO, bahwa tujuan akhir dari suatu pembejaran
adalah agar kita dapat hidup bersama (to live together).
Berangkat dari luasnya cakupan tersebut maka rasanya tidak
mungkin menggunakan satu metodologi untuk menguasai keseluruhan
peran bioetika. Dilihat dari perspektif lain maka paling tidak ada empat area
pembahasan yang berbeda, walau dalam prakteknya keempat area
tersebut bisa tumpang tindih dan tidak secara tegas dapat dipisahkan satu
sama lain.
Keempat area pembahasan tersebut adalah:
a. bioetika teoritis (theoritical bioethics);
b. etika klinik (clinical ethics);
c. bioetika regulasi dan kebijakan (regulatory and policy bioethics);
dan
d. bioetika kultural (cultural bioethics).
Bioetika teoritis membahas dasar-dasar intelektualitas dari bioetika;
etika klinik membahas pembuatan keputusan moral sehari-hari (the day to
day moral decision making) terhadap paisen dalam kedokteran klinik;
bioetika regulasi dan kebijakan membahas cara-cara menciptakan hukum,
aturan, dan prosedur untuk diaplikasikan terhadap jenis-jenis kasus

48
maupun secara umum sehingga fokus kajiannya tidak hanya pada kasus-
kasus individual; sedangkan bioetika kultural membahas upaya sistematis
dengan mengkaitkan bioetika dengan kontek sejarah, ideologi, kultur, dan
sosial.

28. Sebutkan prinsip-prinsip biotika menurut UNESCO?


Melihat pentingnya bioetika maka UNESCO merasa perlu
merumuskan prinsip-prinsip bioetika yang kemudian dituangkan dalam
dokumen the Universal Declaration on Bioethics and Human Right
(UDBHR), meliputi:
a. martabat dan hak asasi manusia (human dignity and Human Rights);
b. keuntungan dan kerugian (benefit and harm);
c. kemandirian dan tanggungjawab individu (autonomy and individual
responsibility);
d. persetujuan (consent);
e. orang yang tidak berkompeten memberikan persetujuan (person
without capacity to consent);
f.penghormatan terhadap manusia rentan dan integritas personal (respect
for human vulnerability and personal integrity);
g. privasi dan kerahasiaan (privacy and confidentiality);
h. persamaan, keadilan, dan tidak berat sebelah (equality, justice, and
equity);
i. bebas dari diskriminasi dan penodaan (non-discrimination and non-
stigmatization);
j. penghormatan terhadap keanekaragaman budaya dan pluralisme
(respect for cultural diversity and pluralism);
k. kesetia-kawanan dan kerjasama (solidarity and cooperation);
l. tanggungjawab sosial dan kesehatan (social responsibility and health;
m. sama-sama menikmati keuntungan (sharing of benefits);
n. melindungi generasi mendatang (protecting future generation); dan

49
o. melindungi alam, lingkungan hidup, dan keaneka-ragaman hayati
(protection of the Environment, Biosphere and Biodiversity).

29. Sebutkan standar internasional mengenai etika dan tanggungjawab?


Standar internasional yang berkaitan dengan etika dan tanggung-
jawab kepada masyarakat (the International Standards for Ethics and
Responsibility) mencakup:
a. tanggungjawab sosial (social responsibility);
b. tanggungjawab terhadap lingkungan (environment responsibility);
c. mempertahankan pembangunan (sustainable development);
d. pembangunan sosio-ekonomi (socio-economic developmet);
e. kesejahteraan sosial (social welfare);
f. kesetaraan gender (gender equality);
g. kesama-rataan sosial ekonomi (socio-economic equity);
h. perdamaian (peace);
i. kebebasan ilmiah (scientific freedom);
j. hak asasi manusia (human rights); dan
k. pembangunan demokrasi (democratic development).

30. Siapa saja yang wajib melaksanakan bioetika?


Berbeda dengan etika profesi yang hanya berlaku bagi para
profesional maka bioetika berlaku bagi semua orang, baik sebagai person
atau individu yang mewakili lembaga, maupun masyarakat.
Intinya bahwa sebagai person harus mampu berprilaku etis terhadap
makhluk hidup, alam, dan lingkungan hidup (biosphere). Demikian halnya
sebagai individu yang mewakili lembaga (baik lembaga kepemerintahan
ataupun swasta), juga harus mampu menggunakan otoritasnya sebagai
penentu kebijakan atau pelaksana untuk melindungi makhluk hidup beserta
kehidupannya, termasuk melindungi lingkungan hidup (biosphere) dan
keanekaragaman hayati (biodiversity).

50
Bahwa kalangan medis, perawat, dan bidan (dalam posisinya
sebagai profesional ataupun ilmuwan) harus lebih memahami bioetika
karena beberapa aspek dari bioetika berkaitan erat dengan pelaksanaan
tugas mereka sehari-hari.

31. Apa tujuan mempelajari bioetika?


Tujuan utama mempelajari bioetika menurut UNESCO adalah
sebagai berikut:
1. Menguasai pengetahuan dibidang bioetika (develop knowledge),
sehingga mampu:
a. mengembangkan ilmu secara lintas disiplin (developing trans-
disciplinary content knowledge).
b. memahami konsep-konsep kemajuan ilmu biologi (understanding
the advanced biological concepts).
c. memadukan penggunaan ilmu pengetahuan, fakta-fakta, prinsip-
prinsip etik dan argumentasi dalam membahas kasus-kasus yang
mengandung dilima etik (being to integrate the use of scientific
knowledge facts and ethical principles and argumentation in
discussing cases involving moral dilemmas).
d. memahami luasnya persoalan yang dihadapi berkenaan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (understand the breadth
of questions that are posed by advanced science and technology).
2. Mengembangkan ketrampilan di bidang bioetika (develop skill),
sehingga mampu:
a. menimbang-nimbang manfaat dan risiko dari ilmu pengetahuan dan
teknologi (balancing benefits and risks of science and technology).
b. melakukan analisis terhadap sesuatu manfaat atau risiko (being
able to undertake a risk or benefit analysis).
c. mengembangkan pemikiran kritis, terampil membuat keputusan,
dan terampil melakukan proses refleksi (developing critical thinking
and decision making skills and reflective processes).

51
d. mengembangkan ketrampilan berpikir kreatif (developing creative
thinking skills).
e. mengembangkan kemampuan melihat kedepan untuk menghindari
risiko yang mungkin terjadi dari ilmu pengetahuan dan teknologi
(developing foresight ability to evade possible risks of science and
technology).
f. mengembangkan ketrampilan menentukan pilihan yang bijak
(developing skill for informed choice).
g. mengembangkan ketrampilan yang diperlukan untuk mendeteksi
adanya bias dalam metodologi ilmiah, pembuatan interpretasi serta
presentasi hasil riset (developing required skills to detect bias in
scientific method, interpretation and presentation of research
result).
3. Meningkatkan moralitas pribadi (personal moral development),
sehingga memiliki:
a. sikap hormat terhadap perbedaan manusia, kultur, dan nilai-nilainya
(increasing respect for different people and culture, and their
values).
b. sikap ilmiah, proses refleksi, dan penilaian holistik dengan tidak
mengabaikan nilai saat melakukan analisis (developing scientific
attitudes, reflective process, and an ability for holistic appraisal,
while not ignoring the value for reductionist analysis).
c. sikap sebagai orang yang telah memiliki pengetahuan tentang bias
dalam pembuatan interpretasi dan presentasi hasil riset, benefit
and risks dari teknologi beserta isu-isu bioetiknya, dan cara
mendeteksi adanya bias (gaining knowledge about bias in the
interpretation and presentation of research results, benefits and
risks of technology and bioethical issues, and how to detect bias).
d. sikap sebagai orang yang memiliki kemampuan mengeksplorasi
pandangan moral dan menjernihkan nilai-nilai (exploring morals or
values clarification).

52
e. sikap sebagai orang yang mampu mengembangkan nilai-nilai serta
pemanfaatan sumber daya yang langka berbasis nilai (promoting
values analysis and value based utilization our scarce natural
resources).

32. Apa saja yang dibahas dalam bioetika terhadap manusia?


Dalam kaitannya dengan manusia, bioetika membahas tiga hal
utama; yaitu tentang material biologis yang mempunyai potensi menjadi
manusia (before life), manusia semasa hidupnya (during life), dan manusia
setelah meninggal dunia (after death). Terhadap ketiga hal tersebut wajib
diperlakukan secara pantas; baik oleh profesional, nonprofesional maupun
masyarakat.
Perlakuan terhadap manusia dalam kondisi sebelum dilahirkan
meliputi:
a. spermatozoa;
b. ovum; dan
c. embrio.
Problem moral dan etik yang berkaitan dengan spermatozoa dan
ovum meliputi boleh tidaknya dilakukan penyimpanan dalam bank sperma
dan ovum, fertilisasi dalam laboratorium, rekayasa genetika dan
pendonoran. Sedangkan problem moral dan etika dari embrio antara lain
tentang penyimpanan dalam bank embrio, rekayasa genetika, pendonoran
dan pemanfaatan untuk menghasilkan sel punca.
Perlakuan terhadap manusia semasa hidupnya meliputi perlakuan
terhadap:
a. awal dan akhir kehidupan;
b. infertilitas, bayi tabung, dan ibu tumpang (surrogate mother);
c. aborsi, pembunuhan orok (infanticide), dan penjualan bayi atau anak;
d. penelitian terhadap manusia (human experimentation);
e. transplantasi organ, jaringan, dan sel punca (stem cells);

53
f.donor hidup (living donors), donor mati (cadaver donors), dan donor
binatang;
g. bioteknologi;
h. penyakit terminal (terminal illnesses), futilitas terapi, penghentian terapi
(withholding and withdrawing treatment), eutanasia, dan lain-lain.
Sedangkan perlakuan terhadap manusia setelah meninggal dunia
meliputi pemanfaatan jenazah untuk:
a. penelitian (seperti otopsi klinik); dan
b. transplantasi organ, jaringan, dan sel punca dari donor kadaver.
Dalam kaitannya dengan jenazah, semua agama melarang umatnya
melakukan perusakan terhadap tubuh orang yang telah meninggal dunia.
Bahkan dalam ajaran Islam, memecahkan batok kepala jenazah sama
dengan memecahkannya dikala masih hidup.
Mengingat sesuatu perbuatan mengandung dua unsur, yaitu
pembuatan keputusan (decision) dan pelaksanaan keputusan (execution),
maka kedua tahapan itu harus dilakukan secara etis berdasarkan nilai-nilai
dan norma-norma moral. Disinilah pentingnya bioetika mengingat ia
memberikan informasi tentang akar moralnya serta memberikan panduan
umum dan khusus (individual). Panduan umum dan khusus tersebut dapat
ditemukan dalam banyak deklarasi internasional.

33. Apa yang dibahas dalam bioetika yang berkaitan dengan binatang?
Rasa-rasanya tidaklah mungkin kemajuan ilmu dan teknologi di
bidang pelayanan kesehatan dapat terwujud seperti sekarang ini tanpa
keterlibatan binatang sebagai subjek penelitian. Sesudah ilmu dan
teknologi menjadi maju, para dokterpun masih saja memanfaatkan binatang
untuk berbagai kepentingan pengobatan (seperti transplantasi organ,
jaringan atau sel punca).
Contoh kasus yang mendapat protes keras dari kelompok
penyayang binatang ialah kasus baby Fae yang menerima jantung babon.
Pemanfaatan klep jantung babi untuk menggantikan klep jantung manusia

54
juga sering dipersoalkan oleh para aktivis, walau sebetulnya tak kurang dari
dua juta ekor babi dibantai setiap tahunnya di Australia untuk konsumsi
makanan tanpa gugatan apa-apa.
Tampilnya bioetika dalam masalah binatang adalah agar dalam
memanfaatkan binatang tidak dilakukan secara semena-mena sebab
makhluk yang satu ini juga memerlukan kesejahteraan (animal welfare).
Makhluk ini harus mendapatkan perlindungan agar keaneka-ragaman
hayati terjaga.
Hingga kini sudah banyak norma yang dituangkan dalam bentuk
prinsip dan aturan (kode etik) oleh banyak negara maupun WHO untuk
dijadikan pedoman bagi pelaksanaan riset, pendidikan, dan pelayanan
kesehatan; antara lain International Guiding Princples For Biomedical
Researh Involving Animals (WHO, 1984), World Medical Association
Statement On Animal Use In Biomedical Research (WMA, 1989), Principles
Of Veterinary Medical Ethics (AVMA, 1993), Principles For The Utilization
And Care Of Vertebrate Animals Used In Testing, Reseach And Education
(U.S. Inteagency Research Animal Committee, 1985), Guidlines For Ethical
Conduct In The Care And Use Of Animal (APA, 1985, revised 1992), dan
masih banyak lagi.
Sebelum pedoman diatas dibuat sesungguhnya agama, termasuk
Islam, juga sudah memberikan sejumlah pedoman tentang bagaimana
memperlakukan binatang; seperti larangan menyembelih binatang dengan
menggunakan pisau tumpul. Bahkan dalam Hadist Usfuriyah (dari bahasa
Arab usfur yang artinya burung kecil) dikisahkan sebagai berikut:
Pada suatu hari seorang laki-laki melihat seekor burung kecil dalam
sangkar. Kepada yang empunya burung, laki-laki itu memohon untuk dapat
membelinya. Setelah menjadi miliknya burung itu bukannya dipelihara, tetapi justru
dilepas ke alam agar menemukan kembali kesejahteraannya. Berkat perbutannya
itu maka laki-laki tesebut dikisahkan masuk ke surga.

Lepas dari sahih dan dhoifnya hadist itu, kisah tersebut telah
memberikan pelajaran berguna akan pentingnya orang memperlakukan
makhluk hewani secara pantas.

55
34. Mengapa teknologi maju memerlukan bioetika?
Teknologi diartikan sebagai aplikasi ilmu pengetahuan untuk
memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam kaitannya
dengan upaya kesehatan maka teknologi bisa berarti obat-obatan, alat,
mesin, metoda, dan sistem.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam beberapa dekade belakangan
ini berbagai alat kedokteran canggih dan obat-obatan bermutu diciptakan
untuk kepentingan diagnosis dan terapi. Metoda dan sistem layanan
kesehatan yang lebih baik juga dirumuskan. Kesemuanya itu diperuntukan
bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia.
Salah satu keberhasilan terpenting dari peradaban umat manusia
adalah keberhasilan dalam mengembangkan bioteknologi menyusul
dikuasainya ilmu mengenai bio-molekuler.
Bioteknologi itu sendiri dapat didefinisikan secara simpel sebagai
biologi terapan (applied biology), yaitu pemanfaatan microorganisme untuk
menghasilkan suatu produk. Dengan definisi yang simpel (tetapi luas)
seperti itu maka pembuatan tape dan roti dengan menggunakan ragi dapat
dikategorikan sebagai bioteknologi. Namun banyak ahli menggunakan
terminologi bioteknologi hanya pada metoda modifikasi material genetik
dari sel hidup untuk menghasilkan substansi atau fungsi baru; misalnya
potongan DNA yang mengandung satu atau beberapa gen ditransfer atau
digabung kedalam organisme.
Menurut the United Nation Convention on Biological Diversity
terminologi bioteknologi diartikan sebagai teknologi aplikatif yang
memanfaatkan sistem biologi, organisme-organisme hidup atau turunannya
guna menyempurnakan produk atau proses untuk kepentingan spesifik. Ia
terdiri atas red technology, white atau grey technology, green technology,
dan blue technology.
Tujuan red biotechnology ialah untuk kepentingan kedokteran
dengan memproses organisme hidup guna menghasilkan antibiotika atau

56
vaksin dan merekayasa genetika untuk pengobatan penyakit tertentu
melalui manipulasi genetik.
Tujuan white technology adalah untuk memproduksi bahan kimia
melalui organisme hidup yang telah didisain sedemikian rupa untuk
kepentingan industri, misalnya memproduksi bahan pembersih polusi yang
aman bagi lingkungan. Salah satu contoh adalah rekayasa genetika
(genetic engineering) yang dilakukan Professor Chakrabarty pada tahun
1971 atas bakteri pseudomonas sehingga dihasilkan spesies baru yang
ternyata mampu memakan minyak bumi. Bagaimana kelanjutannya tidak
diperoleh informasi lebih jauh, namun bakteri baru ini dikhawatirkan masuk
ke perut bumi serta menghabiskan cadangan minyak apabila digunakan
untuk membersihkan cemaran minyak di laut.
Tujuan green biotechnology adalah untuk memproduksi bahan yang
aman bagi kepentingan pertanian dengan mendisain organisme atau
menciptakan tanaman yang tahan terhadap hama tanpa memberikan
pestisida dari luar.
Sedangkan tujuan blue biotechnology adalah untuk memproduksi
bahan-bahan yang dapat dimanfaatkan untuk menjaga air dan laut dari
kerusakan.
Sudah barangtentu setiap teknologi dapat mendatangkan maslahat
(kebaikan) dan mudarat (keburukan atau kerugian) sehingga penerapannya
harus melalui tapisan lebih dahulu. Tapisan ini diperlukan sebab sesuatu
teknologi maju dapat merangsang para profesional untuk melakukan
pemaksaan teknologi (technological compulsion), yaitu melakukan apa saja
yang mereka bisa (if we can do it, lets do it). Meski sadar dibatasi norma
(moral, etik, hukum, agama, dan kearifan lokal) namun sering diantara
mereka mengaplikasikan teknologi dengan menggunakan argumen yang
dapat menggelincirkan (the slippery slope argument).
Contoh nyata yang dapat dilihat sehari-hari adalah regulasi
menstruasi pada wanita hamil dengan menggunakan alat mekanik yang
disebut menstrual regulation (MR), Persoalannya, bukankah siklus

57
mentruasi itu hanya dapat dilakukan oleh hormon, bukan oleh alat mekanik
yang sejatinya merupakan alat aborsi (abortificient).
Contoh lain yang sering ditemui oleh para dokter dalam praktek
sehari-hari adalah ketika berhadapan dengan pasien hamil yang
menginginkan aborsi. Alasan yang biasanya dikemukakan oleh pasien
adalah bahwa janinnya masih kurang dari seratus dua puluh hari sehingga
belum memiliki ruh dan oleh karena itu tidak berdosa jika digugurkan.
Memang benar bahwa berdasarkan Hadist yang diriwayatkan oleh Abdillah
ibnu Masud dikatakan bahwa ruh manusia ditiupkan pada saat janin
berusia seratus dua puluh hari, namun hal itu dinyatakan oleh Hadist
tersebut dalam kontek menjelaskan proses pertumbuhan janin dalam perut
ibunya, bukan dalam kontek pandangan Islam tentang aborsi. Oleh sebab
itu penggunaan Hadist ini sebagai pembenaran bagi tindakan aborsi juga
merupakan the slippery slope argument.

, dapat dijelaskan disini Tidak ayal lagi bahwa bioteknologi tersebut


berhasil dikuasai menyusl difahafaminya disebabkan kemampuan Obat-
obatan yang lebih bermutu sudah mampu dibuat, termasuk obat-obatan
yang dihasilkan dengan menggunakan bioteknologi. Menyusul selesainya
proyek pemetaan genetik (the human genome project) maka sekarang ini
para ahli tengah berupaya untuk membuat obat-obatan farmakogenetik
atau farmakogenomik, yaitu obat-obatan yang sesuai dengan konstitusi
genetik (genetic make-up) pasien.
Dalam beberapa dekade belakangan ini kemajuan teknologi di
bidang pelayanan kesehatan begitu pesat. Kemajuan tersebut dipicu oleh
kemampuan memahami biomolekuler. Selain itu juga didukung oleh
kemampuan menciptakan alat diagnostik yang mampu menampilkan
gambar dari organ tubuh manusia ke layar monitot (imaging) dan

58
35. Jelaskan cakupan dari bioetika tersebut!
36. Bio-etika terhadap makhluk manusia meliputi apa saja?
37. Bio-etika terhadap makhluk binatang meliputi apa saja?
38. Salah satu fungsi bioetika adalah memberikan pedoman berkaitan dengan
teknologi maju. Jelaskan apa maksudnya.
39. Mengapa pada teknologi maju diperlukan bioetika?

BAB IV
ETIKA PROFESI

40. Apakah etika profesi itu?


41. Kalau begitu jawabnya, lalu apa yang dimaksud dengan profesi?
42. Jelaskan asal muasal dari kata profesi tersebut!
43. Selain dokter, apakah perawat dan bidan juga termasuk profesi?
44. Jika muatan etika hanya berupa kewajiban maka kewajiban apa saja yang
wajib dilaksanakan oleh anggota profesi di bidang kesehatan?
45. Sebutkan contoh kewajiban anggota profesi terhadap pesakit!
46. Sebutkan contoh kewajiban anggota profesi terhadap pasien!
47. Sebutkan contoh kewajiban anggota profesi terhadap tim kesehatan atau
sejawatnya!
48. Sebutkan contoh kewajiban anggota profesi terhadap profesinya sendiri!
49. Sebutkan contoh kewajiban anggota profesi terhadap masyarakat!
50. Jika mengacu pada konsep deontologi maka siapakah sebenarnya yang
harus menetapkan aturan (rules) yang kemudian dikodifikasi kedalam kode
etik profesi?
51. Apakah Kode Etik Kedokteran Indonesia sudah cukup lengkap untuk
digunakan sebagai pedoman berprilaku atau acuan mengatasi semua isu
dan problem etik?

BAB V

59
ETIKA KLINIK

52. Apa yang dimaksud dengan etika klinik (clinical ethics)?


53. Mengapa etika klinik diperlukan bagi profesi di bidang kesehatan?
54. Sebutkan pedoman yang diaplikasikan dalam kedokteran klinik!
55. Jelaskan tentang medical indication!
56. Jelaskan tentang patient prefence!
57. Jelaskan tentang quality of life!
58. Jelaskan pula tentang contextual features!
59. Berikan sebuah contoh cara mengaplikasikan etika klinik!

BAB VI
HAK ASASI MANUSIA

60. Apa sebenarnya Hak Asasi Manusia itu?


61. Apa bedanya antara Hak Asasi Manusia dengan hak lain dari manusia?
62. Sebutkan Hak Asasi Manusia yang terkait dengan bidang kesehatan!
63. Sebutkan contoh dari kebijakan medis yang berkait dengan hak asasi
manusia?

BAB VII
HUKUM

64. Apa hukum itu?


65. Apa beda hukum dan etika?
66. Jika etika hanya memuat kewajiban maka hukum memuat apa saja?
67. Sebutkan pula ciri-ciri hukum!
68. Mengapa hukum diperlukan bagi kehidupan umat manusia?
69. Apa sebenarnya fondasi dari hukum tersebut?
70. Apakah hukum juga memiliki sanksi, dan jika ya maka seperti apa
bentuk sanksi tersebut?

60
71. Apa yang dimaksud dengan hukum administrasi?
72. Apa bentuk sanksi dari hukum administrasi?
73. Lalu apa yang dimaksud dengan hukum disiplin?
74. Tindakan dokter yang bagaimanakah yang dapat dikenai sanksi disiplin
menurut hukum yang berlaku di Indonesia?
75. Bagaimana halnya dengan tindakan yang dapat dikenai sanksi disiplin
menurut hukum yang berlaku di Ingris?
76. Apa yang dimaksud dengan hukum perdata?
77. Apa bentuk sanksi dari hukum perdata?
78. Kapan dokter dapat dikenai sanksi membayar kompensasi kerugian (ganti
rugi)?
79. Dalam hal dokter tidak melakukan kesalahan atau kelalaian, dapatkah ia
kenai sanksi membayar no fault compensation?
80. Apakah sanksi hukum perdata dapat dialihkan kepada rumah sakit tempat
profesional (mis: dokter) bekerja?
81. Dasar pemikiran apa yang melandasi doctrine of vicarious liability?
82. Apa yang dimaksud dengan hukum pidana?
83. Apa bentuk sanksi hukum pidana?
84. Kapan profesional (dokter, perawat atau bidan) dapat dikenai sanksi
pidana?
85. Kapan profesional (dokter, perawat atau bidan) dapat dibebaskan dari
sanksi pidana?
86. Apakah sanksi pidana dapat dialihkan kepada pihak lain?
87. Apa yang dimaksud dengan undang-undang?
88. Jika hakim tidak menemukan undang-undang yang dapat dipakai untuk
menyelesaikan perkara, lalu dengan apa perkara diselesaikan?
89. Apa pula yang dimaksud dengan etiko-legal?
90. Jika seorang profesional (dokter, perawat atau bidan) melakukan
pelanggaran etiko-legal, apa bentuk sanksinya?
91. Sebutkan contoh dari pelanggaran terhadap etiko-legal!

61
Etika penelitian ?????????????????????????

ETIKA MEDIK
Oleh
Sofwan Dahlan

DALAM abad positivisme yang ditandai oleh adanya dominasi peran ilmu
pengetahuan dalam kehidupan umat manusia seperti sekarang ini, kebenaran
dan kenyataan lebih sering diukur hanya dari segi positifistiknya saja; sehingga
apa yang dianggap benar, baik, berhasil ataupun maju haruslah bersifat konkrit,
eksak, akurat dan bermanfaat. Orang tidak lagi memandang penting segala
sesuatu yang abstrak karena dianggap tidak ilmiah, sulit diaplikasikan dalam
kehidupan nyata sehari-hari dan hanya akan membuang-buang waktu dikala
banyak masalah teknis dan praksis berada di hadapan mata dan sedang
menanti untuk segera diselesaikan. Oleh sebab itu gagasan konseptual
mendasar yang mengandung nilai-nilai filsafati (seperti etika dan moral) menjadi
terlalu dini dan sekaligus terlambat. Dikatakan terlalu dini sebab masyarakat
tengah terpukau dan asyik terdorong untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan
yang sifatnya sesaat. Disebut terlambat karena masalah-masalah mendasar
(seperti kejujuran, kepantasan, kepatutan, kearifan, keadilan dan kebebasan)
mustahil akan dapat dihayati dan diterapkan tanpa disertai pemahaman
mengenai nilai-nilai spiritual, etika dan moral yang menjadi dasar dan arah
paradigmatiknya. Demikianlah kata Kunto Wibisono dalam Seminar Nasional I
Bioetika di Yogyakarta tahun 2000.

Pada kesempatan yang sama beliau juga mengingatkan bahwa dalam


membahas masalah-masalah etika, mau tidak mau orang harus berhadapan
dengan kompleksitas permasalahan yang klasik, fundamental dan aktual. Klasik
karena semenjak abad ke 5 SM masalah etika sudah muncul dalam wacana
filsafati (lihat Plato, 427 - 347 SM; Socrates, 469 - 399 SM; dan Aristoteles, 384 -
322 SM), fundamental sebab subjek dan objek yang terlibat dalam nilai-nilai
imperatif adalah manusia itu sendiri dan aktual karena masalah etika serta
kebutuhan akan pemahaman baru mengenai prinsip-prinsipnya muncul di saat
masyarakat tengah menghadapi berbagai macam perubahan yang menyentuh
semua sendi dan segi kehidupan.

Sekarang kita tengah berada pada periode yang mirip masa-masa akhir
dari peradaban Graeco-Roman, Renaissance, Reformasi dan Zaman Revolusi

62
Industri; yang kesemuanya itu ditandai oleh adanya pergeseran mendasar dalam
hal nilai, tradisi dan cara berpikir. Perubahan demi perubahan yang terjadi
sekarang ini sudah sangat menyentuh hal-hal yang paling mendasar dari
kehidupan manusia dan masyarakat.

Kini umat manusia sudah memiliki modal dasar yang sangat besar untuk
menguasai alam (termasuk angkasa luar) sehingga mampu membuat terobosan
dan langkah-langkah raksasa di area sain dan teknologi, agrikultur, kedokteran,
ilmu-ilmu sosial dan pendidikan.

Dalam abad ke XX yang baru saja berlalu, utamanya dalam beberapa


dekade terakhirnya, orang telah banyak menyaksikan atau bahkan mungkin
merasakan sendiri bagaimana pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, termasuk di bidang kedokteran dan biologi molekuler. Dengan
kemajuan tersebut maka banyak penyakit yang dulunya tidak dikenal samasekali
sekarang dapat diidentifikasi, sementara penyakit-penyakit lama juga dapat
didiagnosis lebih akurat dan lebih dini lagi sehingga akibatnya lebih banyak
gangguan kesehatan dapat diatasi pada saat yang tepat. Alat-alat kedokteran
canggih untuk keperluan diagnosis (seperti CT Scan, USG, IMR dan alat-alat
imaging lainnya) maupun untuk kepentingan terapi (artificial respirator dan
hemodialisa) diproduksi secara besar-besaran, sementara obat-obat baru yang
lebih bermutu juga ditemukan. Dampak positif dari itu semua menjadikan tidak
sedikit orang dapat dihindarkan dari kematian dini, dipulihkan kesehatannya
serta ditingkatkan daya ciptanya sehingga untuk kemudian dapat disumbangkan
kembali kepada sanak keluarganya, masyarakat, bangsa dan negara.

Di satu sisi kemajuan tersebut amat menggembirakan, tetapi di sisi lain,


dalam pandangan para filosof, benar-benar mengkhawatirkan dan menakutkan.
Masalahnya adalah karena ilmu dan teknologi bukanlah apa-apa sampai ilmu
dan teknologi tersebut benar-benar bermanfaat bagi kehidupan umat manusia
serta tidak merusak makna dasar manusia dan nilai kemanusiaannya. Namun
sayangnya, sebagaimana disinyalir oleh Alvin Toffler dalam bukunya Future
Shock dan Ivan Illich dalam bukunya Limit to Medicine, bahwa penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak selamanya menjamin bakal tercapainya
kesejahteraan umat manusia. Aplikasinya acapkali justru memunculkan berbagai
paradok yang dapat menjauhkannya dari tujuan semula.

Kalangan medis harus mulai menyadari bahwa kemajuan ilmu


pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran telah menciptakan berbagai
macam paradok (medical paradox). Paradok pertama adalah bahwa apa yang
dahulu mustahil, sekarang menjadi mungkin. Melalui intra-uterine screening para
dokter di bagian obstetri sudah dapat mendeteksi penyakit genetik atau penyakit
yang akan muncul pada usia dewasa (adult onset disease) dari janin yang masih
berada dalam kandungan ibunya dan dengan artificial respirator mampu
mempertahankan proses kehidupan pada tubuh wanita hamil yang sudah mati
(to keep dead people alive) guna mempertahankan bayi yang belum viabel untuk

63
dilahirkan. Kesemuanya itu belumlah apa-apa jika dibandingkan dengan
rekayasa genetika (genetic engineering) yang secara teoritis mampu membuat
replika manusia serta menciptakan ras-ras baru dari formulasi dan kombinasi
gen lintas species ataupun lintas kingdom, misalnya antara gen manusia dengan
gen binatang sehingga menjadi makhluk human-animal atau bahkan antara
manusia dengan mesin sehingga menjadi makhluk human-machine (cyborg).

Paradok ke dua adalah bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan


teknologi, dunia kedokteran telah mampu mengidentifikasi kondisi medik tanpa
gejala (asymptomatic medical condition) atau risiko (risk) sebagai suatu penyakit
(disease) sehingga untuk masa-masa sekarang ini tidak lagi mudah
membedakan keadaan illnesses dan non-illnesses. Bagi orang awam yang tidak
faham mengenai ilmu kedokteran maka hal semacam ini, sebagaimana
digambarkan oleh Profesor John Ladd dari Brown University, like identifying
dark clouds with a thunderstorm.

Tentunya masih banyak lagi paradok lain yang tidak perlu disebutkan satu
per satu, tetapi yang jelas paradok-paradok di bidang kedokteran sangat
potensial memunculkan konflik-konflik sebagai akibat perbedaan konsep lama
yang telah lebih dahulu tertanamkan dengan konsep baru. Maka tantangan
utama dalam menghadapi penerapan berbagai teknologi maju adalah
bagaimana memahami conseptual tranformation dari teknologi tersebut. Hal ini
menjadi penting sebab setiap perubahan konsep selalu mempunyai implikasi
etik; baik positif maupun negatif.

Boleh saja kalangan medik (bahkan golongan awam) merasa gembira,


kagum dan bahkan bangga atas keberhasilan White dan kawan-kawan
melakukan percobaan transplantasi otak terhadap seekor monyet sehingga
mampu hidup sampai satu minggu lamanya. Aplikasinya pada manusia hanyalah
soal waktu dan keberanian saja mengingat binatang tersebut dari sudut biologi
amat mirip dengan manusia. Namun pertanyaan filosofis yang sampai sekarang
belum bisa dijawab adalah; apa yang sesungguhnya terjadi jika pada suatu
waktu nanti dokter berhasil memindahkan otak seorang penjahat yang mati
tertembak jantungnya ke tubuh seorang profesor yang menderita kanker otak?
Dokter telah menyelamatkan profesor dengan memberikan otak baru ataukah
justru telah menyelamatkan penjahat dengan memberikan tubuh baru? Lalu
siapakah yang sebenarnya menjadi donor dan siapa pula yang menjadi
resipien? Organ manakah yang menjadi subjek transplantasi, otak ataukah justru
tubuh?

Tidak mudah menjawab pertanyaan mendasar dan sulit seperti ini tanpa
disertai pemahaman yang memadai tentang filsafat, utamanya filsafat manusia,
sebab melalui disiplin ilmu inilah orang akan dapat melihat secara jelas hakekat
dan essensi manusia (human nature) yang merupakan kesatuan dari unsur jiwa
dan raga. Jiwa itu sendiri terdiri atas 3 unsur penting yang membedakan
manusia dengan benda atau makhluk hidup lainnya; yakni akal (intellect), rasa

64
(emotion) dan kehendak (will). Dalam filsafat jawa ke tiga unsur tadi lebih
dikenal dengan sebutan roso, karso dan karyo.

Dengan pemahaman yang benar tentang essensi dan hakekat tersebut


maka para dokter, entah sebagai seorang ilmuwan ataukah sebagai seorang
profesional, diharapkan mampu melihat eksistensi dirinya sendiri sebagai subjek
sehingga mampu menempatkannya pada posisi yang tepat di tengah-tengah
situasi yang serba tidak menentu dan dengan pemahaman itu pula diharapkan
mampu memperlakukan manusia lain di luar dirinya sebagai objek secara benar.

_________________

FILSAFAT

ADA dua alasan penting mengapa orang, baik sebagai ilmuwan ataupun
sebagai profesional di bidang apapun, dalam rangka memahami etika yang
berlaku di bidangnya masing-masing harus memahami filsafat lebih dahulu.

Pertama, karena dari segi hakekat dan historisnya, etika merupakan


bagian tak terpisahkan dari filsafat (filsafat moral). Dengan mempelajari disiplin
filsafat lebih dahulu maka orang selain akan memperoleh pengetahuan tentang
sejarah etika, secara tak langsung juga akan memperoleh benang merahnya
sehingga pemahaman mengenai etika akan menjadi lebih sempurna. Oleh sebab
itu tidaklah salah jika kemudian Auguste Comte, seorang filosof kondang
pencetus aliran positivisme dari Perancis menyatakan: You can know little of
any idea, untill you know the history of that idea.

Kedua, karena sebagai ilmuwan ataupun profesional tidak mungkin dapat


dipisahkan dari manusia beserta kehidupannya. Melalui disiplin ilmu yang satu ini
diharapkan para ilmuwan dan para profesional akan mampu memahami manusia
secara utuh; baik sebagai subjek maupun objek sesuai hakekat dan essensinya
guna mendapatkan orientasi yang jelas serta arahan yang benar dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban di bidangnya masing-masing.

65
Dalam situasi yang ditandai oleh kemajuan yang sangat pesat di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai akibat peningkatan kegiatan riset,
termasuk riset yang menyangkut manusia, pemahaman tentang filsafat menjadi
lebih diperlukan lagi. Karena alasan inilah maka William Barrett dalam bukunya
The Illusion of Technique (sebagaimana dikutip oleh Titus, Smith dan Nolan
dalam buku Living Issues in Phylosophy) menyatakan bahwa sekarang ini,
mestinya lebih dari masa-masa lampau, yaitu perlu menempatkan kembali
seluruh gagasan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam jalinan
baru dengan kehidupan umat manusia. Beliau mengingatkan agar filsafat
modern memberikan respon yang memadai atas kemajuan ilmu dan teknologi
atau kalau tidak maka umat manusia akan kehilangan tujuan, arahan dan
kebebasan secara permanen

Sadar ataupun tidak sebenarnya setiap individu sudah memiliki filsafat


yang berkaitan dengan objek-objek fisik, manusia, hidup, mati, benar dan salah,
baik dan buruk, sang pencipta alam dan sebagainya. Gambaran dari pikiran
mereka tentang objek-objek tertentu tersebut diperoleh lewat berbagai macam
cara, yang barangkali saja masih samar-samar atau bahkan membingungkan.
Dalam tahun-tahun awal dari kehidupannya orang lebih banyak memperoleh
masukan dari keluarga, kawan dekat dan dari berbagai macam individu maupun
kelompok. Gambaran pikiran yang kemudian menimbulkan sikap pandang
terhadap objek-objek tertentu yang diamatinya itu masih bisa dipengaruhi lagi
oleh kehadiran film, lirik musik, televisi, buku dan sebagainya. Boleh jadi sikap
pandang mereka merupakan hasil refleksi dari dalam dirinya sendiri atau bisa
juga merupakan hasil dari kebiasaan atau emosi yang bersifat bias. Pengertian
populer yang masih bersifat umum tentang filsafat seperti itu tidaklah cukup
sebab belum menggambarkan tugas dan kerja filsafat secara jelas. Masih
diperlukan definisi yang lebih spesifik, tidak samar-samar, tidak kacau-balau dan
tidak bersifat dangkal (superfisial).

Istilah filsafat itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani, yaitu
philos yang berarti cinta (loving) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom)
sehingga secara harfiyah dapat diartikan sebagai cinta kepada kebijaksanaan
(the love of wisdom) atau kepada pengetahuan. Filosof pertama yang
menggunakan istilah philosophos adalah Pythagoras (582-507 SM), yang
kemudian istilah itu menjadi populer dan lazim dipakai pada masa Socrates (469
- 339 SM) dan Plato (427 - 347 SM). Dalam bahasa Arab istilah filsafat (baca
falsafah) sering disebut hikmah, yang bisa berarti tali kendali kuda untuk
mengendalikan arah jalannya binatang tersebut. Dipilihnya kata hikmah dalam
pengertiannya sebagai kebijaksanaan atau pengetahuan, menurut Mustafa
Abdurraziq (Mesir), adalah karena hikmah menghalangi orang yang memilikinya
untuk melakukan perbuatan rendah atau hina.

Definisi yang sebenarnya dari filsafat dapat dilihat dalam berbagai


persektif. Setidak-tidaknya ada lima buah persektif sebagaimana dikemukakan
oleh Titus, Smith dan Nolan dalam bukunya Living Issues in Philosophy, yaitu:

66
1. Filsafat merupakan seperangkat sikap atau keyakinan terhadap
kehidupan beserta alam semesta, yang sering kali tidak dapat diganggu gugat
(a set of attitudes or beliefs toward life and the universe which are often held
uncritically).

Batasan tersebut merujuk pada perspektif yang luas atau pola yang lebih
besar mengenai sesuatu. Jika misalnya orang, ketika menghadapi suatu krisis
atau masalah, berkata filosofi saya adalah . maka hal itu mengacu
kepada pengertian filsaafat yang bersifat personal dan informal, sehingga oleh
karenanya seringkali tidak dapat dikritik. Lebih tepatnya lagi definisi di atas baru
menunjuk arti filsafah sebagai suatu pandangan hidup atau having a
philosophy. Biasanya orang-orang yang memiliki filosofi akan mampu
menghadapi berbagai macam krisis atau masalah yang membingungkan dengan
penuh ketenangan dan kesabaran.

2. Filsafat merupakan sebuah proses refleksi dan kritisi terhadap


keyakinan dan sikap sampai ke tingkat yang paling dalam (a process of
reflecting upon and criticizing our most deeply held beliefs and attitudes).

Batasan tersebut merujuk kepada pengertian yang lebih bersifat formal,


yaitu doing philosophy. Kendati pengertian having a philosophy dan doing
philosophy saling kait-mengkait, tetapi dengan having a philiosophy saja
tidaklah cukup untuk melaksanakan proses refleksi dan kritisi. Ciri dari sikap
filsafati yang sebenarnya adalah selalu ingin mencari tahu dan bersikap kritis
(a searching and critical attitude); yaitu dengan pandangan terbuka disertai
toleransi melihat semua sisi dari sesuatu isu tanpa prasangka.

Berfilsafat maknanya, tidak cukup dengan hanya membaca dan


memahami filsafat. Masih diperlukan penguasaan ketrampilan beragumen, teknik
analisis serta seperangkat bahan yang diperlukan agar dapat merasakan dan
berpikir dalam wacana filsafati. Melalui proses refleksi dan kritisi maka orang
melihat setiap materi dari sisi lain (second look) yang tentunya bisa berbeda dari
pandangan umum kebanyakan orang yang masih bersifat dangkal. Mereka
melihat dari sisi yang lebih dalam lagi, lebih mendasar dan abstrak. Jika
misalnya fungsi dokter menurut pandangan umum dan dangkal adalah
menyembuhkan penyakit (sebab dengan mengunjungi dokter, pesakit menjadi
sembuh dari penyakitnya) maka di mata filosof tidaklah demikian.

Ada sementara filosof yang menyatakan fungsi dokter yang sebenarnya


ialah membuat orang bahagia (to aim at human happiness), meski pandangan
seperti ini masih terbuka untuk diperdebatkan mengingat orang bisa saja
merasakan hidup bahagia meski menderita penyakit kronis sepanjang hidupnya.
Lalu muncul pandangan filosofis lain yang menyatakan bahwa fungsi dokter yang
paling hakiki adalah mencegah kematian dini dan memperpanjang hidup
(prolongation of life). Pandangan inipun banyak dikritik oleh filosof lain sebab

67
apalah artinya hidup menjadi lebih panjang kalau hanya bisa terbaring di kamar
ICU, dikerumuni oleh orang-orang yang tidak dikenalnya dengan berbagai
peralatan canggih dan tentunya juga dengan biaya yang tidak sedikit. Oleh
sebab itu Tobin (2000) dalam buku Surgery, Ethics and the Law mengajukan
pandangannya bahwa fungsi dokter yang sebenarnya adalah memelihara dan
memperbaiki kesehatan (the maintenance and restoration of health).

Lewat pandangan-pandangan filosofis seperti yang disebutkan diatas


maka para dokter akan menjadi lebih mudah membuat keputusan ketika
menghadapi problema klinik (yang pada hakekatnya juga merupakan problema
etik) sebab ada orientasi dan arahannya; misalnya kapan suatu tindakan medis
perlu diteruskan dan kapan pula harus dihentikan karena sudah bersifat mubazir
(futile).

3. Filsafat merupakan sebuah upaya memperoleh pandangan atau gambaran


mendunia (world view), dengan mencoba mengkombinasikan konklusi-konklusi
dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia ke dalam bentuk pandangan umum
yang konsisten.

Dengan pandangan seperti ini maka para filosof bermaksud mencoba


melihat kehidupan tidak dari pandangan spesialistik seorang ilmuwan,
pengusaha ataupun seniman semata; tetapi justru dari pandangan umum oleh
seseorang yang menyadari kehidupan sebagai suatu keseluruhan (totalitas).

4. Filsafat dapat didefinisikan sebagai the logical analysis of language and the
clarification of the meaning of words and concepts.

5. Filsafat juga dapat dilukiskan sebagai a group of perinneal problems which


interest mankind and for which philosophers have always sought answer.

Para ahli memang berbeda dalam merumuskan batasan mengenai


filsafat. Plato misalnya, mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang
mencari hakekat kebenaran yang asli. Sementara Aristoteles, yang lebih
menitikberatkan penyelidikannya pada pembagian ilmu filsafat, menjelaskan
bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mengandung kebenaran mengenai
ilmu-ilmu fisika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Ia juga menyatakan
bahwa filsafat adalah ilmu yang mencari kebenaran yang pertama atau ilmu
tentang segala yang ada yang menunjukkan adanya yang mengadakan sebagai
penggerak pertama. Sebagaimana halnya Plato, ia belum sampai pada konsepsi
adanya Tuhan yang menciptakan. Marcus Tullius Cicero (106 43 SM), seorang
Romawi yang piawai dalam banyak hal (antara lain hal berpidato dan berfilsafat),
mengemukakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang Maha-
Agung serta upaya untuk mencapai yang Maha-Agung itu. Sedangkan Al Farabi
(870 950 M), salah seorang filosof muslim, mendefinisikan filsafat sebagai ilmu
pengetahuan tentang alam yang maujud (nyata) dan bertujuan menyelidiki
hakekat yang sebenarnya.

68
Pendek kata filsafat, sebagaimana disimpulkan oleh Harun Nasution,
merupakan pengetahuan tentang hikmah, prinsip-prinsip atau dasar-dasar,
pencarian kebenaran dan tentang dasar-dasar pembahasan mengenai apa yang
dibahas. Berpikir filsafati menurut beliau maknanya berpikir menurut tatatertib
(logika) dengan bebas tanpa terikat oleh tradisi, dogma atau agama sampai
sedalam-dalamnya hingga menembus ke dasar persoalan.

Mengenai latar belakang atau alasan mengapa orang berfilsafah adalah


karena:

e. Rasa kagum terhadap sesuatu.


f. Rasa ketidakpuasan akan sesuatu.
g. Hasrat bertanya tentang sesuatu.
h. Keragu-raguan akan sesuatu.

Adanya rasa kagum akan sesuatu dapat menimbulkan hasrat orang untuk
menyelidiki tentang sesuatu yang dikaguminya. Hal ini dialami sendiri oleh Plato.
Beliau menyatakan bahwa mata kita memberi pengamatan akan bintang-bintang,
matahari dan bulan. Pengamatan tersebut memberi dorongan kepada kita untuk
menyelidiki benda-benda itu lebih lanjut hingga pada akhirnya sampai ke asal-
muasal alam semesta.

Ketidakpuasan terhadap sesuatu (misalnya tentang mitos dan mite) juga


dapat melahirkan keinginan orang untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum filsafat lahir, berbagai mitos dan mite
(termasuk di bidang kedokteran) memainkan peranan yang sangat penting
dalam kehidupan umat manusia, utamanya dalam masyarakat Yunani. Meski
mitos dan mite berupaya keras menjelaskan berbagai peristiwa yang terjadi di
alam, sifat-sifat serta asal-muasalnya namun penjelasan itu tetap tidak
memuaskan. Ketidakpuasan tersebut mendorong manusia untuk terus mencari
kebenaran hakiki. Munculnya ilmu-ilmu sosial dan sain adalah berkat pemikiran
para filosof. Dengan kata lain, semua ilmu yang ada pada awalnya dipelajari
dalam wacana filsafati.

Ilmu kedokteran itu sendiri yang pada awalnya, yaitu pada zaman Mesir
kuno dan Babilonia sekitar 4000 tahun yang lalu, juga diwarnai oleh hal-hal yang
bersifat supranatural. Penyakit dianggap sebagai hukuman Tuhan atas dosa-
dosa yang diperbuat manusia atau oleh perbuatan roh-roh jahat yang berperang
melawan dewa-dewa pelindung manusia sehingga oleh karenanya
penyembuhannyapun harus dilakukan oleh para pendeta melalui doa-doa atau
upacara-upacara pengorbanan. Mitos seperti itulah yang kemudian melahirkan
apa yang disebut Priestly Medicine, yakni praktek kedokteran yang tidak dapat
dipisahkan dari pengaruh kaum pendeta. Sesudah dari kedua negeri itu dibawa
ke Yunani sekitar 500 tahun SM, barulah ilmu kedokteran mengalami
sekularisasi. Pengaruh pendeta mulai meluntur dan selanjutnya diambil alih oleh

69
para filosof. Melalui pengamatan, proses pemikiran logis dan deduksi maka para
filosof berhasil merubah praktek kedokteran yang berbau mistik menjadi lebih
rasional. Maka tidaklah salah jika kemudian Auguste Comte berpendapat bahwa
sesungguhnya yang terjadi di Yunani pada masa-masa itu adalah pergumulan
antara mitologi dan logos. Beliau juga membagi sejarah manusia menjadi tiga
tahapan, yang masing-masing tahapan ditandai oleh cara berpikir tertentu; yaitu
teologik, metafisik dan positivistik.

Adapun mengenai hasrat bertanya perlu dijelaskan disini bahwa hasrat


tersebut muncul sebagai akibat ketakjuban manusia akan sesuatu yang
dilihatnya. Ketakjuban inilah yang membuat orang tak habis-habisnya bertanya
sehingga pada akhirnya mereka melakukan pengamatan, penelitian dan
penyelidikan.

Sedangkan mengenai keraguan perlu diketengahkan disini bahwa


Augustinus dan Rene Descartes mulai berfilsafah bukan karena kekaguman
atau keheranan, melainkan bermula dari keraguan dan kesangsian. Dari situlah
kemudian mereka mulai berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk
memperoleh kepastian dan kebenaran hakiki.

Pada awalnya ilmu filsafah terbagi menjadi 3 cabang sesuai bidang


telaahannya; yaitu tentang apa yang disebut benar dan salah (logika), mana
yang dianggap baik dan buruk (etika) serta tentang apa yang disebut indah dan
jelek (estetika). Namun selaras dengan sifat dasarnya yang spekulatif maka
filsafah sesungguhnya menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan manusia,
sehingga pada akhirnya ilmu ini berkembang meliputi berbagai cabang.
Aristoteles misalnya, membagi ilmu ini menjadi filsafat spekulatif / teoritis, filsafat
praktika dan filsafat produktif. Plato membagi menjadi dialektika, fisika dan etika.
Sedangkan Will Durant membagi menjadi logika, estetika, etika, politika dan
matematika. Sekarang cabang ilmu filsafat meliputi epistimologi, metafisika
(ontology, kosmologi, metafisika dan antropologi), logika, etika, estetika dan
filsafat tentang berbagai disiplin ilmu (antara lain filsafah agama, pendidikan,
ilmu, hokum, sejarah, matematika dan filsafat politik).

___________________

ETIKA

SEBELUM membahas lebih lanjut tentang etika, perlu memahami lebih


dahulu tentang berbagai macam terminologi yang biasa digunakan agar

70
penerapannya dalam setiap pembicaraan mengenai masalah etika tidak terjadi
kesimpangsiuran.

Terminologi tersebut antara lain:

a. Nilai (value):
Menurut Catalano (1991), nilai adalah suatu konsep atau keinginan ideal
yang memberi arti kepada kehidupan seseorang dan sekaligus merupakan
kerangka acuan dalam membuat keputusan atau bertindak.

Biasanya nilai lebih dihubungkan kepada individu-individu dari pada


kelompok; yang dapat meliputi kepercayaan agama, orientasi seks, hubungan
famili ataupun aturan permainan. Sedangkan konflik nilai dapat timbul manakala
seseorang secara terpaksa harus berhadapan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakininya; misalnya seorang dokter
kristiani yang sangat anti aborsi (pro-life) harus merawat seorang pasien yang
telah melakukan aborsi.

Selain tidak konkrit, nilai juga bersifat subjektif. Tidak konkrit sebab bukan
merupakan fakta yang dapat diobservasi secara empiris dan bersifat subjektif
karena nilai mendasari keinginan, harapan, cita-cita dan pertimbangan internal-
batiniyah (sadar ataupun tidak) ketika bersikap, bertindak ataupun berprilaku
tertentu (Purwadianto, 2000). Akibat pertimbangan internal maka sesuatu bisa
bernilai buat seseorang, tetapi tidak demikian halnya bagi orang lain.

Sedangkan menurut Franz Magnis Suseno dan kawan-kawan (1996), nilai


adalah apa yang membuat sesuatu yang baik menjadi baik.

b. Norma (norm):
Berbeda dengan nilai maka norma adalah wujud konkrit dan objektif dari
suatu nilai (Purwadianto, 2000).

Karena konkrit dan objektif maka norma dapat digunakan untuk


menentukan seseorang melanggar nilai-nilai yang telah ditentukan atau tidak.

c. Moral:
Moral adalah standar tentang benar dan salah yang dipelajari lewat
proses hidup bermasyarakat.

Biasanya moral dikaitkan dengan individu-individu atau kelompok-


kelompok kecil. Selain itu juga sering dilandasi oleh keyakinan agama dan
kemudian diwujudkan dalam prilaku yang diselaraskan dengan kebiasaan
kelompok atau tradisi (Catalano, 1991).

Sedangkan menurut Franz Magnis Suseno dan kawan-kawan (1996),


ajaran moral memuat nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat di antara

71
sekelompok manusia. Moralitas itu sendiri dapat berasal dari sumber tradisi
(adat), agama atau ideologi.

d. Etika:
Etika adalah sistem penilaian prilaku serta keyakinan untuk menentukan
perbuatan yang pantas guna menjamin adanya perlindungan hak-hak individu;
meliputi cara-cara dalam pengambilan keputusan guna membantu membedakan
yang baik dari yang buruk serta mengarahkan apa yang seharusnya. Etika
berlaku bagi individu-individu, kelompok-kelompok kecil ataupun masyarakat
(Catalano, 1991).

Menurut Gene Blocker, etika merupakan cabang filsafat moral yang


mencoba mencari jawaban untuk menentukan serta mempertahankan secara
rasional teori yang berlaku secara umum tentang apa yang benar dan yang salah
atau yang baik dan yang buruk. Sedangkan menurut Franz Magnis Suseno dan
kawan-kawan (1996), etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran-ajaran
moral; yang di dalamnya mengandung pemikiran rasional, kritis, mendasar,
sistematis dan normatif agar dapat dijadikan sarana untuk memperoleh orientasi
kritis sehubungan perbagai masalah moralitas yang membingungkan.

Atas dasar pengertian yang diuraikan diatas maka para filosof membagi
wilayah studi etika menjadi descriptive ethics, normative ethics dan critical ethics
(metaethics). Seorang filosof terkenal mengatakan bahwa tanpa normative
ethics adalah kosong dan tanpa critical ethics adalah buta.

e. Kode Etik:
Kode etik merupakan ketentuan tertulis (written list) yang memuat nilai-
nilai dalam profesi, yang sekaligus sebagai standar berprilaku serta merupakan
kerangka acuan dalam mengambil keputusan.

Kode etik harus selalu direvisi secara periodik untuk disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat maupun perkembangan profesi itu sendiri. Kode etik
tidak bersifat paksaan, tetapi setiap anggota profesi bertanggung jawab terhadap
tegaknya nilai-nilai serta standar dalam kode etik. Meski lebih luas tetapi kode
etik tidak pernah berbenturan dengan hukum (Catalano, 1991). Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Lord Chief Justice Coleridge, 1893: It
would not be correct to say that every moral obligation involves a legal duty, but
every legal duty is faounded on a moral obligation.

f. Etiket:
Etiket merupakan gambaran prilaku profesional yang diharapkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam kode etik. Ia lebih menekankan pada hak-
hak profesional dari pada hak-hak individu (Catalano, 1991).

Sedangkan menurut Bertenz (1993); etiket diartikan sebagai sopan santun


atau cara suatu perbuatan harus dilakukan oleh manusia. Etiket berlaku dalam

72
pergaulan, bersifat relatif dan hanya memandang manusia dari segi luarnya saja.
Bisa saja orang memperlihatkan etiket yang sangat baik dalam pergaulan sehari-
hari walaupun sebenarnya ia merupakan musang berbulu ayam.

Terminologi-terminologi tersebut di atas patut diketengahkan lebih dahulu


mengingat banyaknya orang mencampur-adukkan pengertian, sehingga pada
akhirnya akan mendapati keruwetan di belakang hari. Pesan George Barkeley
pada abad ke 18 ialah agar jangan mengaburkan kata dan bahasa karena hal itu
akan sama artinya dengan mengepulkan debu didepan mata untuk kemudian
mengeluh sendiri karena tidak lagi dapat melihat sesuatu didepannya dengan
jelas.

Terminologi yang paling sering dicampur-adukkan adalah antara etika dan


moral. Etika berasal dari kata ethokos (Yunani kuno) atau ethicus (Latin)
sedangkan moral dari kata moralitas (Latin), yang keduanya sebenarnya
memiliki makna asli yang sama, yaitu adat kebiasaan (custom) atau jalan hidup
(way of life). Namun sekarang penggunaan istilah etika lebih cenderung merujuk
pada kajian tentang prilaku moral (the study of moral conduct) sedangkan untuk
istilah moral lebih merujuk pada perbuatannya itu sendiri (to refer to the conduct
itself) yang dikaitkan dengan baik dan buruk atau benar dan salah.

Kedua istilah itu pada hakekatnya sama dan saling kait mengkait
sehingga orang harus pula berbicara tentang moral ketika ia berbicara tentang
etika, walaupun pengertiannya dalam pembicaraan umum (common speech)
sering dibedakan. Contohnya, pembicaraan mengenai moral sering dikaitkan
dengan urusan sosial, personal dan prilaku seks sementara etika dikaitkan
dengan prilaku profesi.

Lebih lanjut teori etika mencoba memberikan suatu sistem yang


mengandung prinsip-prinsip dasar serta aturan-aturan dalam menyelesaikan
problema etik atau dilemma etik, yaitu suatu situasi yang memerlukan keputusan
dari berbagai macam alternatif yang sama-sama tidak menyenangkan atau
saling berselisihan. Oleh sebab itu teori etika memuat keyakinan-keyakinan
dasar tentang benar tidaknya perbuatan secara moral serta memberikan alasan-
alasan guna mendukung keyakinan tersebut. Dalam dunia profesi, teori etika
dapat dijadikan dasar bagi penyusunan kode etik profesi.

Kalau dihubungkan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang terdiri


atas kebutuhan fisik (physical demands), kebutuhan psikologi dan sosial
(psychological and social demands) serta kebutuhan intelektual dan spiritual
(intellectual and spiritual demands); maka sesungguhnya orang akan selalu
dihadapkan pada pilihan-pilihan moral (moral alternatives). Masalahnya adalah
karena:

1. Hidup mengandung arti bahwa setiap orang secara terus menerus


harus membuat keputusan. Sebagian merupakan keputusan yang kurang

73
berarti tetapi sebagiannya lagi sangat penting dan dapat mempengaruhi
kehidupan secara keseluruhan. Keputusan dan perbuatan kita dapat
mempengaruhi orang-orang lain dan demikian pula sebaliknya.

2. Untuk menuju kepada ketertiban masyarakat maka kita harus membuat


kesepakatan-kesepakatan, pengertian-pengertian, prinsip-prinsip atau
aturan-aturan. Di antara kesepakatan-kesepakatan itu ada kesepakatan
yang tidak tersadari tetapi telah tertanam dan melekat dalam bentuk
tradisi atau kebiasaan. Tak ada masyarakat (mulai dari zaman primitif
sampai sekarang) yang tak punya tradisi, kebiasaan, aturan ataupun kode
etik.

3. Moralitas itu sendiri selalu mengalami perkembangan dan evolusi.


Oleh sebab itu moral practices dan moral standards amat tergantung
pada taraf perkembangan sosial, tingkat intelegensia secara
umum serta tingkat pengetahuan pada masa itu.

4. Moralitas tidak dapat dipisahkan dari ruang lingkup kehidupan manusia.


Jadi problem moral bukanlah sekedar problem moral belaka tetapi juga
problem personal, sosial, ekonomi, politik atau problem internasional.

Sudah pasti tidak mudah dan tidak sederhana untuk membuat keputusan
yang benar dari berbagai macam alternatif yang tersedia. Jika konflik interes
muncul maka solusinya membutuhkan intelegensia dan kemauan baik (good
will). Kadangkala orang merasa ragu apakah tindakannya sudah benar. Maka
dalam mempertimbangkan sesuatu perbuatan harus dikaitkan pula dengan motif,
cara dan akibat dari perbuatan itu.

KONSEP DALAM MEMBUAT KEPUTUSAN

Ada berbagai macam konsep yang ditawarkan oleh para filosof


untuk membuat keputusan yang bersifat etis atas berbagai macam alternatif,
diantaranya adalah deontologi dan teleologi.

Deontologi berasal dari kata deon (Yunani) yang berarti ikatan atau
kewajiban. Konsep tersebut menawarkan pokok-pokok pikiran dalam
pengambilan keputusan dengan mencoba menentukan benar dan salah dengan
lebih mendasarkan pada perbuatan (yang menjadi tugas dan kewajiban
seseorang) daripada akibat perbuatan itu. Karena menekankan pada tugas dan
kewajiban maka deontologi, menurut Catalano (1991), merupakan teori
pengambilan keputusan yang lebih dapat diterima dalam bidang pelayanan
kesehatan.

Teori ini didasarkan pada prinsip-prinsip yang tetap dan absolut, yang
diperoleh dari nilai-nilai universal agama-agama besar. Tujuannya ialah untuk

74
menjamin kelestarian spesies, dengan menerapkan tugas dan kewajiban.
Sedangkan aliran Kantianisme merupakan contoh penganut faham deontologi.

Namun keterbatasan deontologi ialah bahwa tugas dan kewajiban


mungkin saja dapat menimbulkan konflik tersendiri sehingga memerlukan
pemecahan tentang tugas dan kewajiban mana yang seharusnya didahulukan.
Dipertanyakan pula tentang asal-muasal timbulnya tugas dan kewajiban;
misalnya siapa yang harus menetapkan tugas dan kewajiban dan siapa pula
yang harus mengidentifikasi tugas dan kewajiban. Oleh sementara ahli, teori ini
dinilai tidak fleksibel.

Sedangkan teleologi berasal dari kata telos (Yunani) yang berarti akhir
atau tujuan. Teori ini menawarkan suatu cara pengambilan keputusan etik
dengan menetapkan benar dan salah dari suatu perbuatan dengan lebih
metitikberatkan pada akibat dari perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain, berguna
tidaknya suatu perbuatan dilihat dari akibatnya, sehingga perbuatan yang
dianggap benar adalah yang menghasilkan kebaikan dan yang dianggap salah
adalah yang menghasilkan kerugian. Prinsip utamanya adalah manfaat (utility)
sehingga teori teleologi kadang-kadang disebut situation ethics atau calculus
morality.

Ide kuncinya adalah bahwa baik (good) didefinisikan sebagai kebahagiaan


atau kesenangan sehingga perbuatan yang benar adalah yang dapat membawa
kebaikan sebesar-besarnya dan kerugian sekecil-kecilnya. Konsep ini dinilai
tidak memiliki prinsip-prinsip yang kaku, kode moral, tugas dan kewajiban serta
tidak memiliki aturan-aturan untuk menyelesaikan situasi khusus. Asumsi
dasarnya adalah bahwa good and harm dapat dikalkulasi seperti formula
matematis sehingga setiap orang dapat menilai tingkat good and harm terhadap
kasus spesifik. Pembuat keputusan dapat mempertimbangkan tindakannya bagi
kesejahteraan umum sebagimana yang dilakukan kebanyakan orang ketika
menghadapi situasi yang sama.

Keterbatasannya ialah bahwa konsep ini lebih membantu tercapainya


kebahagiaan maksimum bagi beberapa orang tertentu dari pada kebahagiaan
kebanyakan orang. Dan karena prinsipnya adalah utility maka orang dapat
mengalami konflik yang tak terselesaikan ketika harus menentukan benar dan
salah.

Pertanyaan yang sering muncul ialah, tindakan mana yang lebih


menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya serta kerugian yang sekecil-
kecilnya sebab mengukur nilai kebaikan relatif dan kerugian relatif sangat sulit
dan bahkan seringkali tidak mungkin. Selain penentuan the greatest good sangat
subjektif dan dapat menghasilkan inkonsistensi keputusan, konsep teleologi
sering dituding cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan
individu.

75
PRINSIP-PRINSIP DALAM MEMBUAT KEPUTUSAN

Pembuatan keputusan etik biasanya melibatkan paling sedikit satu


atau lebih dari 4 prinsip / azas (konsep dasar), yaitu:
1. Beneficence.
2. Autonomy.
3. Justice.
4. Fidelity.

Prinsip beneficence merujuk pada kewajiban untuk to do good, not


harm. Oleh Beachamp dan Childress (1983), doing not harm dipisahkan dari
azas beneficence dan dijadikan azas tersendiri, yaitu azas non maleficence.

Prinsip autonomy menunjukkan adanya hak konsumen untuk membuat


keputusan berdasarkan atas kepentingannya sendiri. Namun yang perlu
dipahami adalah bahwa otonomy pasien punya batas, sementara para
profesional juga memiliki otonomy yang dalam batas tertentu tidak boleh
diganggu gugat oleh otonomy pasien. Dalam praktek di bagian obstetri, prinsip
ini sangat bagus untuk diaplikasikan mengingat banyaknya keinginan pasien
untuk menjalani operasi persalinan (Caesarian by request) meskipun
sesungguhnya tidak ada indikasi medik yang mengharuskan pasien menjalani
operasi seperti itu.

Prinsip justice (as a fairness maupun as a distributive justice)


menunjukkan adanya kewajiban yang adil kepada semua orang. Prinsip ini juga
mencerminkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, sehingga
tidaklah adil menetapkan tanggung jawab yang besar kepada dokter tanpa
diimbangi oleh haknya yang seimbang.

Adapun prinsip fidelity mengharuskan para profesional untuk


menunjukkan kecermatan, kejujuran, kepatuhan dan kesetiaan terhadap
tanggung jawab yang diembannya. Prinsip ini merupakan elemen kunci dari
akontibilitas tetapi konflik bisa terjadi antara fidelity terhadap pasien, employer,
masyarakat dan pemerintah.

Dari ke empat prinsip etik (moral principles) itulah kemudian dirumuskan


kode etik, yang merupakan garis besar tentang tanggung jawab profesional
terhadap konsumen, masyarakat, employer dan diri sendiri. Sifat dari kode etik
itu sendiri tidaklah statis, melainkan dinamis dan amat dipengaruhi oleh
perkembangan masyarakat maupun profesi. Barangkali sekarang ini saatnya
Ikatan Dokter Indonesi mengkaji kembali KODEKI yang sudah berumur puluhan
tahun, apalagi kode etik tersebut lebih didasarkan pada sumpah Hippocrates
(yang dinilai tradisional) dari pada prinsip-prinsip yang sudah diuraikan di atas.
Harus diakui bahwa KODEKI yang masih berlaku sebenarnya menghadapi
problem aplikasi, konsistensi dan bahkan problem moral.

76
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBUATAN KEPUTUSAN

Keputusan etik (decision about ethical dilemmas) sangat dipengaruhi oleh


banyak faktor. Sebagaimana kita ketahui bahwa perkembangan dunia telah
memunculkan berbagai macam dilemma etik, sementara masalah-masalah etika
yang lama mungkin saja belum terselesaikan. Kita telah menyaksikan sendiri
bahwa perkembangan ilmu dan teknologi di bidang pelayanan kesehatan dalam
kurun waktu 50 tahun terakhir ini telah meninggalkan jauh di belakang
kemampuan etika dan hukum dalam menyelesaikan problema yang
ditimbulkannya.

Catalano (1991) merinci faktor-faktor yang dapat mempengaruhi


pembuatan keputusan etik, antara lain:

1. Sociocultural factors:
a. Attitudes about women and womens roles
b. Beliefs and practices related to marriage and the family.
c. Increased emphasis on individual rights.
d. Religions values.
e. Values that sociaty places on life and the right to die with
dignity.
f. Demographic changes, such as increases in the number of poor
and elderly clients in population.
g. Availability of government funds for health care.

2. Scientific and technological advances:


a. Intensive care units.
b. Patient monitoring devices.
c. Life sustaining medications.
d. Artificial life support systems.
e. Renal dialysis.
f. Organ transplantation and artificial organs.
g. Computerized diagnostic equipment.

3. Legal issues:
a. Abortion.
b. Adoption and baby selling.
c. In vitro vertilization.
d. Surrogate motherhood.
e. Right to die and right to refuse care.

4. Changes in the occupational status of health care workers:


a. Expanded roles, responsibility and educational requirements.

77
b. Collectives bargaining and strike.
c. More authoritarian attitude shown by hospital toward their
employees.
d. Attempts by physicians to increase their independence in
practice.

5. Consumer involvement in health care:


a. Demands by the public for greater voice in health care
decisions in response to a growing perception that health care
has become depersonalized.
b. Establishment of ethics committees in hospitals to help
guide health care practices.

-------------------------

BIO-ETIKA

Dalam beberapa dekade belakangan ini, utamanya sejak berakhirnya


perang dunia, ilmu mengenai etika mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Perkembangan ini agaknya dilatarbelakangi oleh adanya kemajuan ilmu
dan teknologi yang sangat pesat di bidang kedokteran serta adanya hasrat untuk
menghormati harkat dan martabat manusia.

Sejalan dengan kemajuan tersebut serta pemahaman yang lebih baik


mengenai makna profesi (yang ditandai oleh adanya kode etik) maka sekarang
kita dapat mengenal bermacam-macam etika, yang dapat dibagi menjadi:
1. Etika Umum.
2. Etika Khusus, yang terbagi menjadi:
a. Etika Individual.
b. Etika Sosial, antara lain:
- Etika terhadap makhluk hidup (bio-ethics).
- Etika profesi (etika kedokteran, etika keperawatan,
etika kebidanan dan lain-lain).

c. Etika Klinik (clinical ethics).


d. Etika Rumah Sakit (hospital ethics).
e. Dan lain-lain.

Etika umum membahas prinsip-prinsip moral dasar sedangkan etika


khusus membahas terapan etika umum pada bidang-bidang kehidupan manusia.
.

78
Mengenai bio-etika (bioethics), oleh Kugaris dan Sheldon (th 2000)
didefinisikan sebagi:
The systematic study of the moral dimensions -------- including moral
vision, decisions, conduct and policies ------- of life sciences and health care;
employing a variety of ethical methodologies in an interdisciplinary setting.

Sedangkan etika klinik (clinical ethics), oleh Jonsen, Siegler dan Winslade
(th 1982) didefinisikan sebagai:
Disiplin praktis yang memberikan pendekatan terstruktur untuk
membantu dokter dalam mengambil keputusan dengan mengidentifikasi,
menganalisis dan memecahkan isu-isu etika dalam kedokteran klinis.

Jonsen dan kawan-kawan menambahkan bahwa aspek-aspek dalam


etika klinik mencakup 4 topik penting yang harus selalu diperhatikan, yaitu:
1. Indikasi medik.
2. Preferensi pasien.
3. Mutu hidup (quality of life) pasien.
4. Faktor-faktor eksternal.

Mengenai indikasi medik, Jacobalis (2000) menekankan perlunya


mencari jawaban atas pertanyaan Intervensi medik apa yang terbaik dilakukan
untuk mengatasi masalah klinik pasien? Sudah barang tentu tujuan dari
intervensi medik tersebut perlu diidentifikasi, yaitu apakah untuk:
1. Meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit.
2. Meringankan gejala, rasa nyeri atau penderitaan.
3. Menyembuhkan penyakit.
4. Mencegah kematian yang belum waktunya.
5. Mempertahankan (agar tidak mengalami kemunduran) atau meningkatkan
fungsi-fungsi alat ataupun sistem tubuh.
6. Mendidik atau memberikan konseling tentang kondisi dan prognosis.
7. Mencegah mudharat pada pasien selama proses asuhan.

Dengan mengidentifikasi tujuan intervensi medik maka akan dapat


ditentukan apakah suatu tindakan medik bersifat mubazir (futile) atau tidak.
Sudah tentu ada banyak potensi untuk timbulnya masalah etik dalam rangka
menentukan pilihan atas indikasi medik. Di tangan seorang internis, penderita
penyakit jantung koroner akan ditangani secara konvensional lebih dahulu
sampai tindakan tersebut benar-benar tidak efektif, sedangkan di tangan dokter
bedah jantung akan segera dilakukan bedah by pass. Perlu ditambahkan di sini
bahwa dari studi oleh National Health Institute di Amerika tahun 1980
membuktikan 12% dari 200.000 bedah by pass yang telah dilakukan,
sesungguhnya tidak perlu.

Mengenai preferensi pasien, tidak syak lagi bahwa hal itu merupakan
implementasi dari hak otonomi yang muncul dari azas etika kontemporer, yang
dalam tradisi Hippocrates tidak dikenal. Jika preferensi pasien sejalan dengan

79
indikasi medik, tidak mengapa sebab tidak ada masalah etik di sini. Masalah
etika baru muncul manakala preferensi pasien bertentangan dengan indikasi
medik, termasuk pasien menolak intervensi medik yang sebetulnya diperlukan
karena:
1. Alasan kepercayaan atau agama (misalnya pada pemeluk Jehova
Witnesses).
2. Alasan yang tak jelas atau tak rasional (misalnya takut operasi, tidak
mempercayai kemampuan dokter atau keluarga tak setuju).
3. Alasan finansial (misalnya tidak mampu membayar atau tidak mau
mengorbankan kepentingan keluarga).
4. Sudah membuat advance directives (misalnya Do Not Resuscitate).
(Jacobalis, 2000)

Mutu hidup (quality of life) dari pasien juga merupakan hal penting
yang perlu dipertimbangkan dalam etika klinik, meskipun sesungguhnya mutu
hidup pasien sukar didefinisikan sebab di dalamnya terkandung penilaian yang
sifatnya bisa subjektif. Seorang guru yang lumpuh akibat kecelakaan bisa saja
menilai dirinya tidak seburuk yang dilihat orang sebab ia sudah dapat
menyesuaikan diri dan memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya sebagai
guru, tetapi seorang pemain piano terkenal yang menderita kekakuan pada jari
tangan kanannya dapat menilai buruk terhadap kualitas hidupnya dan
mengalami stres. Profesor yang menderita Alzheimer berat bahkan tidak tahu
sama sekali tentang mutu hidupnya sendiri.

Adapun yang termasuk faktor kontekstual antara lain faktor sosial,


ekonomi, keuangan keluarga, hukum serta lingkungan institusional dimana
pasien dirawat yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap
masalah klinik pasien. Secara lebih rinci, faktor-faktor kontekstual itu menurut
Jacobalis (2000) antara lain:
1. Peran keluarga, teman dekat, majikan dan sebagainya.
2. Biaya pengobatan.
3. Alokasi dan distribusi sumber daya kesehatan oleh pemerintah.
4. Peran dan perkembangan asuransi kesehatan.
5. Perkembangan teknologi medik.
6. Peraturan hukum.
7. Pendidikan dokter dan penelitian medik yang ada hubungannya dengan
pasien.
8. Tingkat kesejahteraan masyarakat.
9. Keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.

Etika Klinik (Clinical Ethics):

Etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum
membahas prinsip-prinsip moral dasar sedangkan etika khusus membahas
terapan etika umum pada bidang-bidang kehidupan manusia. Etika khusus

80
dirinci lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Termasuk etika sosial adalah
etika makhluk hidup (bioetik), etika profesi (seperti etika kedokteran,
keperawatan, kebidanan, notaris dan pengacara), etika klinik (clinical ethics),
etika hukum (legal ethics), etika bisnis dan sebagainya.
Dewasa ini bioetika dan etika klinik mulai mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh dari para ahli. Kugaris dan Sheldon (2000) mendefinisikan
bioetika sebagai:
The systematic study of moral dimensions ----- including moral vision,
decisions, conduct and policies ----- of life sciences and health care, employing a
variety of ethical methodologies in an interdisciplinary setting.
Sedangkan Jonsen, Siegler dan Winslade (1998) mendefinisikan etika
klinik sebagai:
Disiplin praktis yang memberikan pendekatan terstruktur untuk
membantu dokter dalam mengambil keputusan dengan mengidentifikasi,
menganalisis dan memecahkan isu-isu etik dalam kedokteran klinik.

Jonsen dan kawan-kawan menambahkan bahwa aspek-aspek dalam


etika klinik mencakup 4 topik penting yang harus selalu diperhatikan, yaitu:
1. Indikasi medik.
2. Preferensi pasien.
3. Mutu hidup (quality of life) pasien.
4. Faktor-faktor kontekstual (contextual features).

Mengenai indikasi medik, Jacobalis (2000) menekankan perlunya


mencari jawaban atas pertanyaan Intervensi medik apa yang terbaik dilakukan
untuk mengatasi masalah klinik pasien? Sudah barang tentu tujuan dari
intervensi medik tersebut perlu diidentifikasi, yaitu apakah untuk:
1. Meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit.
2. Meringankan gejala, rasa nyeri atau penderitaan.
3. Menyembuhkan penyakit.
4. Mencegah kematian yang belum waktunya.
5. Mempertahankan (agar tidak mengalami kemunduran) atau meningkatkan
fungsi-fungsi alat ataupun sistem tubuh.
6. Mendidik atau memberikan konseling tentang kondisi dan prognosis.
7. Mencegah mudharat pada pasien selama proses asuhan.

Dengan mengidentifikasi tujuan intervensi medik maka akan dapat


ditentukan apakah suatu tindakan medik bersifat mubazir (futile) atau tidak.
Sudah tentu ada banyak potensi untuk timbulnya masalah etik dalam rangka
menentukan pilihan atas indikasi medik. Di tangan seorang internis, penderita
penyakit jantung koroner akan ditangani secara konvensional lebih dahulu
sampai tindakan tersebut benar-benar tidak efektif, sedangkan di tangan dokter
bedah jantung akan segera dilakukan bedah by pass. Perlu ditambahkan di sini
bahwa dari studi oleh National Health Institute di Amerika tahun 1980
membuktikan 12% dari 200.000 bedah by pass yang telah dilakukan,
sesungguhnya tidak perlu.

81
Mengenai preferensi pasien, tidak syak lagi bahwa hal itu merupakan
implementasi dari hak otonomi yang muncul dari azas etika kontemporer, yang
dalam tradisi Hippocrates tidak dikenal. Jika preferensi pasien sejalan dengan
indikasi medik, tidak mengapa sebab tidak ada masalah etik di sini. Masalah
etika baru muncul manakala preferensi pasien bertentangan dengan indikasi
medik, termasuk pasien menolak intervensi medik yang sebetulnya diperlukan
karena:
1. Alasan kepercayaan atau agama (misalnya pada pemeluk Jehova
Witnesses).
2. Alasan yang tak jelas atau tak rasional (misalnya takut operasi, tidak
mempercayai kemampuan dokter atau keluarga tak setuju).
3. Alasan finansial (misalnya tidak mampu membayar atau tidak mau
mengorbankan kepentingan keluarga).
4. Sudah membuat advance directives (misalnya Do Not Resuscitate).
(Jacobalis, 2000)

Mutu hidup (quality of life) dari pasien juga merupakan hal penting
yang perlu dipertimbangkan dalam etika klinik, meskipun sesungguhnya mutu
hidup pasien sukar didefinisikan sebab di dalamnya terkandung penilaian yang
sifatnya bisa subjektif. Seorang guru yang lumpuh akibat kecelakaan bisa saja
menilai dirinya tidak seburuk yang dilihat orang sebab ia sudah dapat
menyesuaikan diri dan memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya sebagai
guru, tetapi seorang pemain piano terkenal yang menderita kekakuan pada jari
tangan kanannya dapat menilai buruk terhadap kualitas hidupnya dan
mengalami stres. Profesor yang menderita Alzheimer berat bahkan tidak tahu
sama sekali tentang mutu hidupnya sendiri.

Adapun yang termasuk faktor kontekstual antara lain faktor sosial,


ekonomi, keuangan keluarga, hukum serta lingkungan institusional dimana
pasien dirawat yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap
masalah klinik pasien. Secara lebih rinci, faktor-faktor kontekstual itu menurut
Jacobalis (2000) antara lain:
1. Peran keluarga, teman dekat, majikan dan sebagainya.
2. Biaya pengobatan.
3. Alokasi dan distribusi sumber daya kesehatan oleh pemerintah.
4. Peran dan perkembangan asuransi kesehatan.
5. Perkembangan teknologi medik.
6. Peraturan hukum.
7. Pendidikan dokter dan penelitian medik yang ada hubungannya dengan
pasien.
8. Tingkat kesejahteraan masyarakat.
9. Keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.

Kasus-Kasus Yang Memerlukan Perhatian Etika Klinik:

82
Ada banyak kasus di klinik yang penanganannya memerlukan perhatian
etika klinik, antara lain:

KB Remaja:
Seorang wanita umur 14 tahun datang mengunjungi klinik dan menyam-
paikan problemnya bahwa ia sudah sering kali melakukan hubungan sek
dengan kekasihnya, yaitu seniornya sendiri di sebuah sekolah menengah
atas. Ia mendengar ada pil KB yang dapat mencegah kehamilan dan
oleh karenanya ia meminta agar diberikan obat tersebut untuk memulai
program kontrasepsi. Apa yang hendak dokter lakukan? Memberikan
obat tersebut sesuai preferensi pasien? Apakah intervensi medik seperti
itu lebih baik baginya dan bagaimana pula dengan faktor kontekstual?

Caesarian by request:
Konon kabarnya di suatu rumah sakit swasta terkenal di Jakarta, jumlah
operasi Caesar mencapai 60 % dari jumlah persalinan. Masalahnya adalah
karena preferensi pasien barangkali saja bertentangan dengan indikasi
medik. Kalau dokter menolak permintaan pasien karena tidak sesuai dengan
indikasi medik dan ternyata kemudian terjadi risiko, apakah dokter harus
bertanggung jawab atas terjadinya risiko tersebut?

Aborsi terhadap unwanted pregnancy:


Sekali orang tidak menghendaki kehamilan maka hanya ada 2 pilihan yang
tersedia, yaitu aborsi atau tetap melangsungkan kehamilannya dengan
berbagai macam risiko (ancaman kesehatan pada saat kehamilan, persalinan
atau sesudahnya) dan sejumlah persoalan lainnya. Faktor-faktor kontekstual
(seperti moral, pandangan filosofis, agama dan hukum) merupakan variabel
yang menjadikan masyarakat (termasuk dokter) terbelah menjadi kelompok
pro life dan pro choice terhadap aborsi non-medicinalis. Kelompok pro life
lebih mendasarkan pandangannya pada hak-hak janin karena ia sudah
dianggap sebagai human being with the legal right, sedangkan pro choice
mendasarkan pada humanitarian principle (womans right to control her own
body).

Prenatal screening:
Tidak ada suami istri yang menginginkan anaknya tak normal karena hal itu
menjadi beban emosi dan ekonomi yang akan mempengaruhi individu dan
masyarakat. Tetapi pemeriksaan prenatal yang mampu mendeteksi adanya
kecacatan janin yang kemudian diikuti oleh tindakan aborsi karena belum
ditemukan terapi korektif akan mengakibatkan tingkat masyarakat untuk
menerima dan merawat anak-anak tak normal mengalami degradasi.
Pemeriksaan prenatal yang kemudian diikuti aborsi karena tak menginginkan
anak dengan jenis kelamin tertentu juga dapat mendorong terjadinya
diskrinasi seks. Yang dipersoalkan oleh kaum moralis ialah segi etiknya,
mengingat tindakan itu sendiri punya risiko (1% - 2% menimbulkan cacat atau
kehilangan janin) dan belum ditemukan terapi korektif.

83
Untuk lebih jelasnya, perlu dikemukakan sebuah kasus unik, yaitu kasus
seorang wanita hamil yang datang ke sebuah klinik dan berkata: Dokter,
saya ingin anda melakukan aborsi, kecuali anda dapat meyakinkan saya
bahwa bayi yang saya kandung laki-laki. Pertanyaannya, apa yang harus
dilakukan dokter? Melakukan sex screening dengan amnio centesis sambil
berharap bayinya laki-laki sehingga nasib bayi terselamatkan atau tidak
melakukannya sama sekali?

Sebetulnya masih banyak lagi kasus-kasus klinik yang penangannya


memerlukan perhatian etika klinik; seperti HIV, bayi tabung, kehamilan remaja
dan pasien-pasien yang sudah sampai pada stadium terminal.

Kasus Donald Dax Coward:

Donald Dax Coward berumur 25 tahun, bekas pilot tempur, atletik muda
sangat populer di kalangannya. Sesudah berhenti dari angkatan udara ia bekerja
bersama ayahnya di perusahaan real estate.

Pada suatu hari ia bersama ayahnya mengalami kecelakaan, yaitu


terkena ledakan gas propane. Ayahnya meninggal dalam perjalanan ke rumah
sakit sedangkan ia sendiri mengalami luka bakar 65 % derajat III. Wajahnya
hancur, mata buta dan survivalnya diperkirakan hanya sekitar 20 prosen.
Dengan kondisi klinik seperti itu ia mengalami stress berat dan berkali-kali
meminta etanasia.

Intervensi medik yang dilakukan dokter adalah stabilisasi emergensi, skin


graft, amputasi beberapa jari tangan dan pengambilan bola mata kanan.
Sesudah 6 bulan survivalnya naik menjadi hampir 100 prosen, tetapi aktifitasnya
sehari-hari tergantung pada orang lain.

Dari kasus Donald Dax Coward tersebut maka yang perlu dibahas di sini
adalah sebagai berikut:

1. Indikasi medik.
Dengan kondisi klinik seperti yang dialami pasien tersebut maka intervensi
medik yang dilakukan dokter memang sudah sesuai dengan indikasi medik.
Hanya saja yang perlu diperdebatkan di sini adalah tujuan dari intervesi
medik itu; yaitu to restore, to maintain atau to improve quality of life?

2. Preferensi pasien.
Pasien memang berkali-kali memohon agar intervensi medik dihentikan
karena ia menghendaki mati. Yang perlu dipersoalkan tentunya adalah
kompetensinya sebab dengan trauma emosional seperti itu berkompetenkah
ia membuat decision dan preferensi?

3. Quality of life.

84
Sebelum kecelakaan mutu hidupnya sangat baik, sesudah kecelakaan
menjadi buruk sekali dan setelah intervensi medik tetap jelek sehingga tak
seorangpun dengan mutu hidup seperti itu memilih untuk tetap hidup.
Pertanyaannya ialah siapa yang harus memutuskan dan bagaimana
panduannya?

4. Faktor kontekstual.
Untuk intervensi medik seperti yang dilakukan dokter biayanya tidak sedikit
dan tentunya tidak menjadi masalah jika yang bersangkutan mampu atau
biaya itu ditanggung asuransi. Dalam kasus Coward, ibunya sendiri tidak
setuju terminasi atas dasar keyakinan agamanya. Hal itulah yang nampaknya
memberikan support kepada tim medik untuk terus melakukan intervensi
medik.

HUKUM

Hukum sebenarnya merupakan kaidah sosial yang bersifat paksaan


untuk mencegah seseorang mengganggu hak anggota masyarakat lainnya.
Ia diperlukan di dalam masyarakat guna:
- menciptakan kedamaian dan ketertiban.
- menyelesaikan sengketa.

85
- merekayasa masyarakat (social engineering).

Pada hakekatnya hukum dan etika beranjak dari landasan yang sama,
yaitu moral (di Indonesia moral yang berakar pada falsafah Pancasila). Apa
yang pada umumnya dinilai baik atau buruk oleh etika juga dirasakan demikian
oleh hukum, hanya saja bidang hukum tidak mencakup hal-hal yang kecil dan
sepele, yang bagi hukum kurang relevan untuk ikut mencampurinya.
Pelanggaran terhadap norma etik yang kecil dan ringan dianggap belum
mengganggu atau membahayakan ketertiban umum sehingga belum perlu diatur
dan diberi sanksi hukum sebab masyarakat sendiri dinilai masih sanggup
mengendalikannya tanpa menimbulkan gejolak yang berarti. Tetapi aliran
legalisme menghendaki agar sikap-tindak etik diikuti oleh peraturan hukum
dimana kewajiban-kewajiban dan hak-hak ditentukan. Tujuan dari aliran ini
adalah legalisasi moral dan moralisasi hukum, namun banyak ditentang karena
dinilai membaurkan pengertian mengenai fungsi hukum dan fungsi moral.

Hukum muncul karena adanya pertentangan (misalnya karena


kepentingan yang saling bertenturan) dan hukum diperlukan karena ia
merupakan mekanisme sosial untuk memecahkan masalahnya. Sedangkan etika
muncul akibat adanya pemikiran masalah-masalah yang lebih luas dan lebih
mendalam sifatnya, misalnya tentang manusia dan hubungannya dengan
sesamanya. Secara umum hukum dan etik punya tujuan yang sama, yaitu
ketertiban di dalam masyarakat. Namun secara khusus hukum dan etik berbeda
dilihat dari sifat dan tujuan khususnya, tolok ukur, akibat, sanksi dan ruang
lingkupnya.

Moral dan etik menghendaki agar orang menggunakan hati nuraninya


untuk selalu melakukan yang baik dan yang benar serta menghindari tindakan
yang tidak baik dan yang salah. Sedangkan etika profesi yang merupakan etika
terapan menghendaki agar kelompok profesional mengaplikan ajaran moral dan
etik guna menjaga mutu, harkat dan martabat profesinya. Sementara itu hukum
mengatur etik secara garis besar yang berlaku umum dalam kehidupan
masyarakat dan bertujuan menciptakan kedamaian dan ketertiban.

Pelanggaran ringan (murni pelanggaran


etika)
Pelanggaran
etika

Pelanggaran berat = gross immorality


(pelanggaran etika dan hukum atau
pelanggaran etiko-legal)

86
Gambar di atas menunjukkan hubungan antara etika dan hukum, sesuai
yang dikatakan oleh Lord Chief Justice Coleridge, yaitu: It would not be correct
to say that every moral obligation involves a legal duty, but every legal duty is
founded on a moral obligation.

DAFTAR PUSTAKA

Monagle, J, F., Thomasma, D, C.: Health Care Ethics, Critical Isses for the
21st , Aspen Publisher Inc, Gaithersburg, Maryland, 1998.
Jonsen, A, R., Siegler, M., Winslade, W, J. : Clinical Ethics, a Practical
Approach to Ethical Decision in Clinical Medicine, 4 th ed, Mc Graw-
Hill Inc, 1998.
Jacobalis, S. : Etika Klinis (Clinical Ethics), Membawa Pengajaran Etika
Medis dari Pengetahuan Abstrak-Teoritis ke Situasi Nyata sehari-hari
Dalam Praktek Medis, Pertemuan Nasional I Bioetika dan Humaniora,
Fak. Kedokteran UGM, Yogyakarta, 2000.
Arras, J., Hunt, R. : Ethical Issues in Modern Medicine, 2 nd Ed, Mayfield
Publishing Comp, Mountain View, 1983.
Megan., Johstone, J. : Bio Ethics, a Nursing Perspectives, 1 st Ed, W. B.
Saunders Bailliere Tindall, Sydney, Philadelphia, London, Toronto,
1989.
Catalano, J, T. : Ethical and Legal Aspect of Nursing, 2nd Ed, Mc Grawhill
Inc, 1991.
Titus, H, H., Smith, M, S., Nolan, R, T. : Living Issues in Philosophy, 7 th Ed,
D. Van Nostrand Comp, New York, Cincinati, Toronto, London,
Melbourne, 1979.
Monagle, J, F., Thomasma, D, C. : Health Care Ethics, Critical Issues for
the 21st Ed, An aspen Publication, Gaithersburg, Maryland, 1998.
Koento Wibisono Siswomihardjo.: Etika Sosial Dalam Perspektif Kehidupan
Masyarakat Akademis, Suatu Tinjauan Filsafati, Pertemuan Nasional I
Bioetika dan Humaniora, Fak. Kedokteran UGM, Yogayakarta, 2000.
Hariadi, H, R. . Etika Akademik Kedokteran, Fakultas Kedokteran Univer-
tas Airlangga, Surabaya, 1997.
Suseno, F, M., Bertens, K., Sumaryono, E., Sugiharto, I, B., Teti, F, S.,
Soegiharto, L, M., Riantobi, R, R.: Etika Sosial, Buku Panduan Mahasiswa
PBI --- PB VI, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996.
Mason, J, K., Smith, R, A.: Law and Medical Ethics, Butterworths & Co,
London, 1983.
Dahlan, S.: Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, edisi 2,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000.
Johnstone, M, J.: Bio Ethics, a Nursing Persective, W B Saunders Bailliere
Tindall, Sydney, Philadelphia, London, Toronto, 1989.

BIOETIKA

87
Secara umum bioetika mengenal 3 prinsip utama. Pertama, respek
terhadap hidup dan kehidupan. Kedua, perlunya keseimbangan antara resiko
dan manfaat. Ketiga, adanya suatu kesepakatan bahwa etis tidak sesederhana
alamiyah.

Perkembangan bioteknologi moderen banyak dipicu oleh peningkatan


kemampuan manusia memahami genetika dan mengendalikan aliran informasi
genetik. Pemahaman tersebut menyebabkan dikembangkannya teknologi terkait
yang dimungkinkan dapat mengarah ke technological compulsion atau if we can
do it lets do it.

Moratorium terhadap kloning manusia di semua negara maju merupakan


suatu bentuk pengakuan adanya batasan-batasan etis terhadap sesuatu yang
secara teknis tidak masalah. Hampir mirip dengan itu adalah dorongan
moratorium untuk tanaman dan pangan transgenetik karena dianggap akan
memunculkan konsekuensi jangka panjang terhadap kesehatan dan lingkungan.

Teknologi maju melibatkan proses yang hanya dapat dipahami dengan


baik oleh ilmuwan yang mengembangkannya dan menggunakannya. Faktor
tersebut memunculkan kecurigaan masyarakat mengenai kebenaran informasi
dan independensi ilmuwan. Beberapa kecurigaan tersebut juga diakibatkan oleh
kesulitan masyarakat untuk bisa memahami bahwa jawaban yang pasti dan
absolut seringkali tidak bisa diberikan oleh ilmuwan. Ilmuwan memiliki
keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan mengeliminasi setiap elemen risiko
yang dimungkinkan muncul.

Kecurigaan masyarakat bertambah karena kenyataan bahwa


perkembangan dan pemanfaatan bioteknologi modern tercepat bukan berada di
lembaga-lembaga publik, tetapi justru di lingkungan perusahaan besar
multinasional. Perusahaan selalu dicirikan oleh maksimasi keuntungan, dengan
demikian pertimbangan etika dalam bioteknologi harus melepaskan diri dari
pertimbangan ekonomi yang hanya mendasarkan diri pada penghargaan kapital
kepada pengembangan teknologi. Berikut akan diulas dua isu utama yang ada
saat ini dari tinjauan etika.

GENETIKA MANUSIA

Kemampuan bioteknologi untuk mentransfer gen lintas spesies bahkan


lintas kingdom, dipandang oleh beberapa orang akan mengganggu alam.
Bioteknologi dituduh sebagai playing God dengan implikasi bahwa paraktis
tersebut secara etis tidak bisa diterima. Di pihak lain beberapa orang
berpendapat bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan memiliki

88
kewajiban sebagai ciptaan Tuhan untuk mengembangkan kemampuan
ilmiahnya. Para ahli sepakat bahwa pemilahan sekadar non alamiah secara
intrinsik tidak memiliki sisi etis yang berarti. Penggunaan bioteknologi modern
diatur oleh Hippocratic principle yang menyepakati bahwa setiap intervensi harus
memberikan keuntungan bagi individu sasaran. Kontroversi muncul bukan
karena penolakan terhadap prinsip tersebut, tetapi akibat ketidaksepakatan
mengenai apa yang menyusun sebuah individu.

Beberapa orang berpendapat bahwa status sebagai individu sudah ada


sejak pembuahan terjadi. Dengan demikian maka segala manipulasi terhadap
embrio manusia dalam setiap tingkatan umur secara etis tidak dapat diterima.
Sedangkan lainnya memiliki sisi pandang lebih jauh yaitu bagaimana suatu janin
manusia tumbuh menjadi person lengkap yang ditandai dengan munculnya
sentience (kesadaran) dan mentalitas. Pandangan tersebut menjadi acuan Uni
Eropa mengenai batasan legal penelitian embrio manusia hingga umur 14 hari.
Penelitian dibolehkan hanya sebatas investigasi kesuburan. Beberapa ahli
mengusulkan agar teknik cell-nuclear-replacement (CNR) terhadap embrio dapat
dilakukan untuk menghasilkan yang secara immunologis cocok untuk keperluan
pengobatan dan terapi gen untuk penyakit akibat mutasi genetik.

Teknik CNR mutlak dilarang untuk usaha mengklon manusia. Larangan


tersebut mendapat dukungan etis yang sangat luas di seluruh dunia. Respek
terhadap individu manusia merupakan alasan utama. Larangan tersebut bukan
karena individu memiliki hak intrinsik untuk memiliki genom yang unik (sebab
kembar identik juga memiliki genom yang sama), tetapi karena manusia harus
dinilai berdasarkan dirinya sendiri dan bukan sebagai wakil (surrogate) dari
individu lainnya. Larangan yang sama diterapkan terhadap rekayasa genetik
embrio untuk memproduksi designer babies dengan kualitas sebagaimana
diinginkan perancang. Setiap individu bukanlah barang komoditas, sehingga
tidak ada satupun argument yang bisa diterima secara etis untuk membenarkan
tindakan tersebut. Dibolehkannya teknologi CNR merisaukan banyak orang
karena akan memunculkan slippery slope argument yaitu teknologi yang mula-
mula untuk pengobatan kemudian membelok ke reproduksi.

TANAMAN DAN PANGAN TRANSGENIK

Tanaman transgenik menyimpan potensi risiko terhadap lingkungan dan


kesehatan. Pertanian modern mengajarkan kepada kita bagaimana
kesetimbangan alam berubah drastis setelah hutan ditebang dan varitas haus
energi ditanam monokultur. Kemampuan intelektual kita untuk memprediksi
pengaruh suatu intervensi baru terhadap lingkungan tidak akan pernah
sempurna, sampai kapanpun. Oleh karena itu amatlah penting segala uji
tanaman transgenik harus terkontrol dan termonitor dengan baik sehingga bisa
mendasari pengambilan keputusan etik yang dapat dipertanggung jawabkan.
Tanaman transgenik juga memunculkan moral perplexities akibat adanya dua
tujuan etis berbeda. Sebagai contoh adalah kemungkinan digunakannya gen

89
terminator. Di satu sisi gen benih mandul tersebut akan menyelamatkan
lingkungan dari bahaya penyebaran gen yang tidak terkendali, tetapi di sisi lain
petani perlu dilindungi karena tidak selalu memiliki kemampuan untuk membeli
benih yang baru tiap musim tanam. Untuk memecahkan problem tersebut harus
ada pengakuan dan kesepahaman bersama terhadap common good, menuntut
perusahaan-perusahaan raksasa untuk mengembangkan kebijakan yang lebih
berkeadilan, dan perumusan kebijakan internasional dalam perdagangan produk
bioteknologi modern yang lebih berpihak kepada yang lemah. Marjinalisasi dan
eksploitasi petani harus dihindari. Pertimbangan perlu dilengkapi pula dengan
kewajiban etis universal dalam bentuk respek terhadap keamanan hayati.

STAKEHOLDER

Terhadap tiga pihak yang terkait dengan pertimbangan dan penentuan


keputusan etis yaitu: ilmuwan, pihak terkait langsung (community of possible
benefeciaries) dan masyarakat umum.

Posisi ilmuwan penting karena hanya mereka yang mampu menganalisis


potensi risiko dan keuntungan. Mereka memiliki kewajiban etis untuk melakukan
analisis tersebut secara fair, terbuka dan tidak berat sebelah. Keputusan akhir
tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mereka karena monopoli ilmu tidak
berarti juga monopoli etika dan kearifan (wisdom). Selain itu keputusan juga
tidak bisa diserahkan kepada perusahaan, konstituen penentang, petani terkait
atau pasien karena bias kepentingan akan menguasai pengambilan keputusan.

Dari ketiga stakeholder, masyarakat luas menempati posisi terpenting.


Dengan demikian perlu komunikasi dan pembangunan opini publik menyangkut
topik-topik yang secara etis sangat sensitif.

Sebagian besar debat etis hanya dalam bentuk konfrontasi dua pendapat
yang saling berlawanan. Di satu kelompok memandang bahw X yang terbaik
dan tidak tergantikan, sedang di kelompok lain X adalah sesuatu yang paling
buruk yang pernah ada dan harus dihindari. Dalam kenyataannya X tidak
pernah berada dalam kedua ekstrem tersebut. Dengan demikian dalam rangka
membangun debat yang lebih rasional mengenai bioteknologi dan produknya,
maka program edukasi masyarakat menjadi sedemikian penting.

Dwi Andreas Santosa,


Doktor bidang genetika molekuler,
Staf Faperda, PP-Lingkungan Hidup dan PP-Bioteknologi IPB.
Kompas, 22 April 2001.

90
91

Anda mungkin juga menyukai