Anda di halaman 1dari 8

8 Oktober - 14 Oktober

KEDUDUKAN ETIKA PENELITIAN DALAM KONTEKS FILSAFAT ILMU


Untuk mengetahui bagaimana kiranya kedudukan etika penelitian itu dalam konteks
filsafat ilmu, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui pemahaman tentang
apa itu obyek kajian dari filsafat ilmu sebagai salah satu cabang dari ilmu filsafat.
Ada tiga elemen utama yang menjadi obyek kajian filsafat ilmu. Ketiganya adalah
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Secara esensial, elemen ontologi memfokuskan
telaahnya pada apa yang menjadi obyek kajian ilmu. Epistemologi membahas tentang
bagaimana cara ilmu dalam berupaya memperoleh kebenaran akan obyeknya. Maka, selain
dengan prinsip berfikir korespondensi dan koherensi, tercakup pula di sini menyangkut
bahasan mengenai persoalan metodologi.
Sementara itu, dalam hal elemen aksiologi maka titik berat kajiannya yaitu menyangkut
soal bagaimana kemanfaatan ilmu itu dalam kaitannya dengan kesejahteraan umat manusia.
Melihat ketiga elemen yang menjadi obyek kajian filsafat ilmu di atas, maka jika
dikaitkan dengan bagaimana sejarah lepasnya ilmu dari induknya yang bernama filsafat tadi.,
serta dikaitkan dengan fenomena keilmuan dalam masa awal Abad XX, dapat kiranya
ditafsirkan kalau  kedua masalah dimaksud, masing-masing menunjukkan fenomena yang
berbeda akan peran ketiga elemen filosofis tadi terhadap munculnya fenomena  etika
penelitian.
Pada masa-masa upaya perjuangan ilmu melepaskan diri dari filsafat, persoalan etika
penelitian itu secara relatif lebih dikarenakan elemen ontologi dan elemen epistemologi.
Asumsi demikian, paling tidak dapat dibuktikan dari bagaimana kuatnya upaya pihak Gereja
di Eropa waktu itu untuk melarang para ilmuwan menggunakan ajaran Aristoteles dalam
menemukan kebenaran ilmu filsafat yang nota bene bertentangan dengan ajaran kristiani.
Ajaran kontroversial dimaksud yaitu terkait dengan dua pendapat utama Aristoteles yang
tidak bisa dicocokkan dengan ajaran Gereja yang resmi, yakni : 1) dunia berada dari kekal
dan 2) hanya ada satu jiwa bagi seluruh bangsa manusia.
Sementara, pada  masa-masa awal Abad XX, saat di mana ilmu telah resmi terlepas dari
induknya, pemunculan kembali persoalan etika penelitian itu tampak cenderung lebih
dikarenakan persoalan yang berhubungan dengan elemen aksiologis ilmu. Fenomena
dehumanisme yang banyak bermunculan sebagai ekses negatif dari upaya pengembangan
ilmu ketika itu, menyebabkan ilmuwan mempertanyakan kembali tentang makna hakiki dari
tujuan dan kegunaan ilmu bagi kesejahteraan umat manusia. Bangsa Yahudi yang banyak
dijadikan korban praktek pengembangan ilmu kedokteran di Jerman, dinilai sebagai tindakan

1
yang tidak sesuai dengan tujuan ilmu karena merendahkan derajad kemanusiaan. Demikian
halnya dengan fenomena korban bom atom yang diledakkan di Hirosima dan Nagasaki, juga
dinilai menjadi contoh yang tidak relevan dengan praktek penggunaan ilmu.
Fenomena pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan yang menempatkan
manusia dalam posisi negatif di masa-masa awal abad XX itu menyebabkan kalangan
ilmuwan terseret dalam perdebatan soal value atau nilai dalam ilmu pengetahun. Secara
kasar, perdebatan ini akhirnya berujung pada terbentuknya dua kubu ilmuwan dalam
konteks kedudukan nilai dalam ilmu. Pertama kubu ilmuwan bebas nilai dan kedua kubu
ilmuwan tidak bebas nilai.
Kelompok pertama menilai bahwa nilai tidak perlu ada dalam upaya ilmu mencari
kebenarannya. Bagi kubu tersebut, ilmu bertujuan semata-mata hanya untuk mencari dan
menemukan kebenaran, sedang penggunaannya itu terserah kepada orang lain. Karenanya,
faktor nilai menjadi tidak diperlukan karena hanya akan mempengaruhi kesuksesan ilmu
dalam mencari dan mencapai kebenarannya.
Berbeda halnya dengan kubu yang tidak bebas nilai, kalangan ilmuwan tersebut
beranggapan bahwa masalah nilai tidak bisa diabaikan dalam ilmu karena bisa menyebabkan
ilmu itu menjadi jauh atau lari dari tujuannya semula, yakni  mensejahterakan umat
manusia. Pemanfaatan para tahanan bangsa Yahudi di Jerman yang digunakan sebagai
bahan praktek pengembangan ilmu kedokteran misalnya, karenanya sangat dikecam oleh
kubu tidak bebas nilai ini, sebab dianggap bukan mensejahterakan melainkan justru
membuat manusia jadi hina dan menderita (dehumanisasi).
Dengan kemunculan dua kubu ilmuwan dalam memandang posisi dan kedudukan nilai
dalam ilmu pengetahuan , kiranya ini menandakan kalau di kalangan sesama  ilmuwan itu
sendiri, tidak terdapat kesepakatan menyangkut soal peran nilai dalam ilmu pengetahuan.
Terbelahnya kalangan ilmuwan ke dalam dua kelompok tersebut, kiranya berimplikasi
terhadap konsekuensi pengaplikasian nilai dalam proses menemukan kebenaran ilmiah,
yang secara tradisional dilakukan lewat aktifitas riset.
Riset yang sejatinya merupakan refleksi atas penerapan tiga elemen pokok ilmu secara
filosofis itu, dengan mana masalah pokok sebagai cerminan aspek ontologis, metode
penelitian mencerminkan aspek epistemologis dan tujuan serta kegunaan merefleksikan
unsur aksiologis,  maka bagi kubu bebas nilai, dalam pelaksanaannya tentu tidak merasa
perlu menerapkan faktor nilai ke dalam proses risetnya. Sebab nilai dimaksud hanya
dianggap sebagai pengekang kebebasan saja dalam petualangan ilmu mencari
kebenarannya.  Terhadap kelompok ilmuwan demikian, banyak contoh dapat dikemukakan.

2
Salah satu contoh populer yaitu berkaitan dengan aktifitas riset kloning manusia yang
mendapat reaksi keras dari banyak pihak. Begitupun halnya dengan soal produk transgenik.
Bagi kalangan ilmuwan tidak bebas nilai, faktor nilai itu sangat penting peranannya
dalam menjaga sikap dan perilaku peneliti melakukan aktifitas riset dari pengaruh sikap dan
perilaku amoral, baik menurut ukuran nilai agama, sosial, norma dan lain sejenisnya. Riset
pengkloningan manusia, bagi kubu tidak bebas nilai ini, karenanya dianggap sebagai riset
yang seyogyanya tidak perlu dilakukan karena di samping bisa menurunkan hakikat harkat
kemanusiaan itu sendiri, juga dinilai lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya bagi
kehidupan umat manusia. Karena itu, menurut kubu ini, biaya puluhan juta dollar untuk
permanusia kloning itu, dianggap sebagai tindakan penghamburan uang yang hanya dapat
memenuhi kepentingan sedikit orang saja , yakni sekelompok ilmuwan bebas nilai. Akan jauh
lebih baik, jika biaya sebanyak itu dilakukan untuk membiayai kehidupan manusia apa
adanya yang nota bene kualitasnya masih jauh dari harapan, karena kelaparan, kurang gizi,
kurang pendidikan dan lain sejenisnya.

Konsep Etika Penelitian 


Uraian sebelumnya telah memperlihatkan bagaimana posisi nilai (value) dalam
hubungannya dengan ilmu pengetahuan menurut pandangan ilmuwan. Nilai itu ternyata
tidak dipersepsi sama oleh kalangan ilmuwan. Di antara mereka ada yang mengakui
peranannya dalam upaya ilmu mencari dan menemukan kebenarannya, dan ada juga yang
tidak mengakuinya.
Persoalan nilai sendiri, dari uraian sebelumnya, juga diketahui berkaitan dengan soal
moralitas yang nota bene berbicara tentang baik-buruk. Jika masalah nilai identik dengan
persoalan moral yang nota bene bisa menjadi panduan sikap dan perilaku bagi yang
menjunjungnya, dengan mana persoalan dimaksud juga identik dengan konsep etika, maka
itu berarti bahwa kedudukan etika penelitian dalam keilmuan bukanlah menjadi sesuatu
yang diperlukan oleh semua individu yang tergabung dalam kelompok ilmuwan. Etika itu
hanya diperlukan oleh ilmuwan yang merasa tergabung dalam kelompok ilmuwan yang tidak
bebas nilai. Ilmuwan yang memandang etika sangat dijunjung tinggi dalam proses
menemukan kebenaran ilmiah lewat aktivitas penelitian. Jika ini disepakati, maka
persoalannya sekarang adalah, apakah sesungguhnya etika penelitian itu ?
Konsep etika sebenarnya sebuah konsep yang relatif labil, pemakaiannya kerap
dipertukarkan dalam artian yang sama dengan konsep moral. Namun, beberapa filosof ada
yang membedakannya dengan tegas. Etika dinyatakan sebagai kajian umum dan sistematik

3
tentang apa yang seharusnya menjadi prinsip benar dan salah dari perilaku manusia.
Sementara moral (moralitas) adalah standar benar dan salah  yang praktis, spesifik,
disepakati bersama, dan dialihkan secara kultural. Tetapi filosof lain menggunakan istilah
etika dan moral dalam pengertian yang bisa saling dipertukarkan.
Sehingga jelas bahwa antara etika dan moral pada esensi sebenarnya masing-masing
menyangkut soal perilaku benar-salah manusia. Keduanya hanya dibedakan dalam hal
cakupan manusianya, etika mencakup manusia pada umumnya dan moral hanya mencakup
pada sekelompok manusia tertentu saja.
Akan tetapi, dalam perbedaan etika dan moral yang jelas dan tegas  tadi, tampaknya
justru bisa membuat kita jadi kesulitan dalam mencocokkan padanan konsepnya dengan
realitas. Dapat diamati, bahwa dari sekian banyak aturan-aturan etis yang telah disepakati
secara bersama oleh komunitas tertentu, hampir semuanya dituangkan dalam bentuk kode
etik komunitas, seperti komunitas kedokteran, peneliti atau wartawan misalnya, maka
aturan etis mereka itu mereka wujudkan dalam bentuk Etika. Untuk wartawan misalnya,
maka aturan etis tadi mereka tuangkan dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
Bukannya dalam bentuk yang semestinya, yakni dengan istilah Moralitas-Wartawan
Indonesia, misalnya. Demikian halnya dengan komunitas peneliti, maka aturan etis yang
disepakati bukan di wujudkan dalam bentuk Moralitas Penelitian, melainkan dengan istilah

Etika Penelitian.
Melihat kesulitan-kesulitan dalam memadankan realitas aturan etis yang telah banyak
disepakati oleh komunitas tertentu, terhadap dua konsep yang dibedakan secara tegas
sebelumnya, yakni antara etika dan moralitas, maka ada baiknya bahwa pembedaan tegas
ini ditiadakan dan sebaliknya mengikuti pandangan filosof lainnya, yakni dengan cara
penggunaan istilah etika dan moral dalam pengertian yang bisa saling dipertukarkan.
Etika sendiri mempunyai banyak arti, misalnya Neuman (2000, 90), bahwa ethics define
what is or is not legitimate to do. Jika mengacu pada pendapat Poedjawijatna (1982 : 15-16),
dalam pengertian to do pada definisi tersebut, maka terkandung di dalamnya suatu tindakan
yang disengaja oleh individu. Kalau tidak ada kesengajaan, pada prinsipnya tak ada penilaian
baik-buruk. Kesengajaan ini meminta adanya pilihan, dan pilihan berarti adanya penentuan
dari pihak manusia sendiri untuk bertindak atau tidak bertindak.  Penentuan manusia bagi
tindakannya itu disebut kehendak atau kemauan. Jadi kalau hendak diadakan penilaian etis,
haruslah ada kehendak yang dapat memilih atau kehendak bebas.

4
Akan tetapi, Poedjawijatna (1982 : 16) yang mengutip pandangan aliran filsafat
determinisme (baik determinisme materialistis maupun religius), mengatakan kalau
kehendak atau kemauan bebas manusia itu sebenarnya tidak ada. Ini karena, dalam
tindakannya manusia kena pengaruh dari luar demikian rupa, sehingga tertentukanlah
tindakannya dan tidak ada pilihan dari pihaknya. Ini berarti, bahwa dalam kaitan sekumpulan
aturan etis mengenai hal tertentu yang telah disepakati bersama oleh sekelompok
komunitas, setiap individu anggotanya, selain dapat dikatakan sebagai terdiri dari orang-
orang bersepaham dengan pandangan filsafat determinisme, mereka juga dapat dikatakan
sebagai terdiri dari individu-individu yang sikap dan perilakunya senantiasa dilakukan dengan
kesengajaan dan bersedia dievaluasi dan menerima sanksi menurut ukuran etis yang telah
ditetapkan.
Perilaku manusia yang dilakukannya dengan sengaja atau sadar itu, terjadi dalam multi
dimensi dan salah satunya terkait dengan dimensi penelitian, sebagaimana menjadi tema
pokok kajian etika dalam makalah ini. Dalam kaitan ini, Neuman (2000 : 90) mendefinisikan
etika penelitian itu dengan what moral research procedure involves. Untuk memahaminya
lebih jauh, kiranya konsep penelitian itu menjadi perlu untuk ditelaah lebih dulu.
Konsep penelitian telah banyak didefinisikan oleh kalangan ilmuwan. Tyrus Hiilway
(dalam LIPI, 2004 : 2) mendefinikannya dengan, “a method of study by which the careful and
exhaustive investigation (penyelidikan mendalam) of all acertanable evidence bearing upon
a definiable problem. We are reach solution to that problem”. Sutrisno Hadi (dalam LIPI,
2004 : 2) berpendapat, penelitian yaitu usaha menemukan, mengembangkan dan mengkaji
kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana salah satunya menggunakan metode ilmiah.
Definisi lain yaitu, bahwa penelitian adalah  kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan
metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data dan keterangan yang
berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu
asumsi dan atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan tekmologi serta menarik
kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (LIPI, 2005 : 4).
Secara esensial tiga kutipan definisi di atas memperlihatkan adanya kesamaan umum,
penelitian itu intinya adalah menjawab masalah dengan cara ilmiah. Perbedaan utamanya
terletak pada penggunaan konsep kaidah atau norma, sebagaimana digunakan LIPI dan tidak
pada dua definisi lainnya.  Selanjutnya, jika mengacu pada salah satu definisi penelitian tadi,
katakanlah misalnya dari definisi LIPI, maka dapatlah dibangun suatu pengertian tentang apa
itu etika penelitian.

5
Etika penelitian yaitu seperangkat ketentuan etis yang berfungsi sebagai acuan moral
bagi kalangan ilmuwan dalam berperilaku pada rangkaian proses penyelenggaraan
penelitian ilmiah guna diperolehnya informasi, data dan keterangan yang berkaitan dengan
pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan atau
hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan tekmologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi
keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan definisi ini, maka selanjutnya
akan coba ditemukan bagaimana sosok etika penelitian itu sendiri di kalangan ilmuwan.

KODE ETIKA PENELITI


Peneliti ialah insan yang memiliki kepakaran yang diakui dalam suatu bidang keilmuan.
Tugas utamanya ialah melakukan penelitian ilmiah dalam rangka pencarian kebenaran
ilmiah. Kreativitas peneliti melahirkan bentuk pemahaman baru dari persoalan-persoalan di
lingkungan keilmuannya dan menumbuhkan kemampuan-kemampuan baru dalam mencari
jawabnya. Pemahaman baru, kemampuan baru, dan temuan keilmuan menjadi kunci
pembaruan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmuwan dan peneliti berpegang pada nilai-nilai integritas, kejujuran dan keadilan.
Integritas peneliti melekat pada ciri seorang peneliti yang mencari kebenaran i1miah.
Dengan menegakkan kejujuran, keberadaaan peneliti diakui sebagai insan yang
bertanggungjawab. Dengan menjunjung keadilan, martabat peneliti tegak dan kokoh karena
ciri moralitas yang tinggi ini.
Penelitian ilmiah menerapkan metode ilmiah yang bersandar pada penalaran ilmiah
yang teruji. Sistem ilmu pengetahuan modern merupakan sistem yang dibangun atas dasar
kepercayaan: Bangunan sistem nilai ini berrahan sebagai sumber nilai obyektif karena
koreksi yang tak putus-putus yang dilakukan sesama peneliti.

Sesuai dengan nilai-nilai tersebut seorang peneliti memiliki empat tanggung jawab, yaitu:
(1) terhadap proses penelitian yang memenuhi baku ilmiah;
(2) terhadap hasil penelitiannya yang memajukan ilmu pengecahuan sebagai landasan
kesejahteraan manusia;
(3) kepada masyarakat ilmiah yang memberi pengakuan di bidang keilmuan peneliti
tersebut itu sebagai bagian dari peningkatan peradaban manusia, dan;
(4) bagi kehormatan lembaga yang mendukung pelaksanaan penelitiannya. 
PENJELASAN KODE ETIK PENELITI

6
Kode Etika Peneliti adalah acuan moral bagi peneliti dalam melaksanakan hidup,
terutama yang berkenaan dengan proses penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. lni menjadi suatu bentuk pengabdian dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

Etika dalam penelitian


1. Peneliti membaktikan diri pada pencarian kebenaran ilmiah untuk memajukan ilmu
pengerahuan, menemukan teknologi dan menghasilkan inovasi bagi peningkatan
peradaban dan kesejahteraan manusia.
2. Peneliti melakukan kegiatannya dalam cakupan dan barisan yang diperkenankan oleh
hukum yang berlaku, bertindak dengan mendahulukan kepentingan dan keselamatan
semua pihak yang terkait dengan penelitiannya, berlandaskan tujuan mulia berupa
penegakan hak-hak asasi manusia dengan kebebasan-kebebasan mendasarnya
3. Peneliti mengelola sumber daya keilmuan dengan penuh rasa tanggung jawab, terutama
dalam pemanfaatannya, dan mensyukuri nikmat anugerah tersedianya sumber daya
keilmuan baginya

Etika dalam berprilaku


1. Peneliti mengelola jalannya penelitian secara jujur, bernurani dan berkeadilan
terhadap lingkungan penelitiannya
2. Peneliti menghormati obyek penelitian manusia, sumber daya alam hayati dan non-
hayati secara bermoral, berbuat sesuai dengan perkenan kodrat dan karakter obyek
penelitiannya, ranpa diskriminasi dan tanpa menimbulkan rasa merendahkan
martabar sesama ciptaan Tuhan
3. Peneliti membuka diri terhadap tanggapan, kritik, dan saran dari sesama peneliti
terhadap proses dan hasil penelitian, yang diberinya kesempatan dan perlakuan
timbal balik yang setara dan setimpal, saling menghormati melalui diskusi dan
pertukaran pengalaman dan informasi ilmiah yang obyektif.
Etika dalam kepengarangan
1. Peneliti mengelola, melaksanakan, dan melaporkan hasil penelitian ilmiahnya secara
bertanggungjawab, cermat, dan seksama
2. Peneliti menyebarkan informasi tertulis dari hasil penelitiannya, informasi
pendalaman ilmiah dan/atau pengetahuan baru yang terungkap dan diperolehnya,

7
disampaikan ke dunia ilmu pengetahuan pertama kali dan sekali tanpa mengenal
publikasi atau berganda atau diulang-ulang
3. Peneliti memberikan pengakuan melalui: (i) penyertaan sebagai penulis
pendamping; (ii) melalui pengutipan pernyataan atau pemikiran orang lain; dan atau
(iii) dalam bentuk ucapan terima kasih yang tulus kepada peneliti yang memberikan
sumbangan berarti dalam penelitiannya, yang secara nyata mengikuti tahapan
rancangan penelitian dimaksud, dan mengikuti dari dekat jalannya penelitian itu.

Anda mungkin juga menyukai