1
C. Verhaak dan Haryono Iman, Filsafat Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1989), 66.
1
20 ada juga Frankfurt, Adorno, Jurgen Habermas. Ada juga hermeneutika dalam konteks
ilmu-ilmu kemanusiaan.
2
C. Verhaak dan Haryono Iman, Filsafat Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1989), 69.
3
C. Verhaak dan Haryono Iman, Filsafat Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1989), 69.
4
C. Verhaak dan Haryono Iman, Filsafat Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1989), 73-74.
2
3. Membatasi diri pada registrasi Objeknya segala-galanya tetapi ditinjau dari
indrawi langsung. aktivitas manusia.
6. Otomatis menurut hukum dan terkait Khas dan tidak terulang karena manusia itu
aspek realitas yang dapat diulangi. kompleks dan tidak dapat dikupas secara
tuntas.
5
Donny Gahral Adian dan Dr. Akhyar Yusuf Lubis, Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan: dari David Hume
sampai Thomas Khun (Depok: Koekoesan, 2011), 85.
6
C. Verhaak dan Haryono Iman, Filsafat Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1989),170-171.
3
dipengaruhi idealisme Jerman dan kritik idealisme yang berasal dari Karl Marx. Hal tersebut
turut meningkatkan kepekaan mereka terhadap gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat.
3.1.1 Pokok-pokok pikiran
Kritik yang dimaksud terletak pada masyarakat industri dan perkembangan ilmu-ilmu
alam yang telah mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Menurut orang-orang dari
sekolah Frankfurt, keadaan keterasingan kurang dilihat oleh para ahli sosial yang condong ke
positivisme. Dalam hal ini, cara pendekatan positivisme tidak memadai. Manusia tidak bisa
dilihat dari data karena selalu berubah. Dengan kata lain, pendekatan positivisme itu tidak
cukup sehingga perlu ada perkembangan misalnya di bidang seni. Dari sana, manusia dapat
bergerak bebas, ekspresif dalam mengatasi keterasingannya.
3.1.2 Perdebatan Seputar Ilmu-Ilmu Sosial: Popper dan Adorno
Masih berkaitan dengan tema yang sama, ada tokoh seperti Popper dan Adorno.
Mereka mempelajari sistem masyarakat. Namun, ada perbedaan. Popper menerapkan
anggapan-anggapannya tentang metodologi ilmu-ilmu alam terhadap ilmu sosial. Hal ini
ditanggapi oleh Adorno. Baginya, itu tidak mungkin.
3.1 3. Adanya Kebenaran Dalam Ilmu-Ilmu Sosial?
Secara umum, dapat dilihat bahwa tidak ada suatu kebenaran tunggal. Kebenaran itu
relatif. Nilai-nilai objektivitas murni yang memikat para ahli ilmu-ilmu alam, tidak dapat
dicapai sama sekali dalam dunia ilmu-ilmu sosial yang dicirikan oleh hubungan timbal balik
antara subjek pengenal dengan objek yang dikenal.
3. 1.4 Hermeneutika
Masalah relativitas di atas mempengaruhi juga ilmu-ilmu yang mementingkan
hermeneutika sebagai pokok yang paling utama. Hermeneutika itu sendiri berarti penafsiran
ungkapan-ungkapan dan tanggapan dari orang lain, khususnya dalam lingkungan sosial
budaya ataupun yang berada jauh dalam rentang sejarah.7 Dewasa ini, hermeneutika
dipersempit menjadi penafsiran teks oleh pembaca terhadap sesuatu dari lingkungan sosial
dan historis yang berbeda. Ilmu-ilmu yang sering mementingkan prinsip hermeneutika adalah
sejarah.Tokoh-tokoh terkait adalah sebagai berikut. Pertama, Heidegger bersama Hans-
Georg. Heidegger sendiri dipengaruhi oleh Edmund Husserl terkait metode fenomenologinya.
Dalam hal ini, kesadaran manusia adalah intensionalitas. Artinya, kesadaran manusia selalu
merupakan kesadaran akan sesuatu (tampak aktif tetapi sudah merupakan hasil pemberian
diri objek yang hendak disadari).8 Contohnya Bukit. Sebelum saya menyadari itu sebagai
suatu pemandangan yang indah (suatu fenomena), bukit itu sudah selalu memberikan dirinya
kepada kesadaran saya.
Dalam konteks hermeneutika, intensionalitas tersebut tidak dipisahkan dari
pengungkapannya. Pengetahuanku, penafsiranku terwujud dalam bahasaku, membuat dunia
itu menjadi duniaku. Heidegger menekankan sekali peranan subjek itu. Itu bahkan mendapat
nuansa baru, yakni anggapan tentang penghormatan terhadap apa yang menampakan diri:
diwarnai juga oleh apa yang ingin dikenal atau ditafsir. Dalam arti itu, bahasa menjadi
“rumah ada”. Kedua, Gadamer yang berpikir bahwa perspektif Heidegger terlalu luas. Ia
mempersempitnya menjadi penafsiran teks tertulis. Baginya, penafsiran berlangsung
berdasarkan arus timbal balik antara yang mengenal dan yang dikenal (pembaca dan
pengarang). Dengan kata lain, isi tak mungkin lepas dari pengungkapannya. Selain itu, Ia
juga menggunakan cara kerja diakron dan sinkron. Ketiga, ada juga Paul Ricoeur yang
menekankan pentingnya kenyataan objektif bahwa secara fisik terdapatlah suatu teks yang
merupakan endapan dari suatu aktivitas manusia di tempat lain. Keempat, ada juga Foucault
yang menjelaskan bahasa sebagai cara bicara atau pola dari suatu kegiatan manusia dalam
situasi tertentu. Kelima, Derrida yang menekankan dekonstruksi. Ia menekankan adanya jarak
7
C. Verhaak dan Haryono Iman, Filsafat Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1989), 175.
8
A.Setyo Wibowo, “Heidegger: melampaui Metafisika,” BASIS (2014): 24.
4
sehingga tidak mungkin teks dapat mengungkapkan kembali suatu peristiwa. Oleh karena
itu, perlu adanya dekonstruksi. Itu berarti, teks tidak konstan tetapi dimaknai.9
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa filsafat hermeneutik yang dibahas di atas
berusaha menekankan terwujudnya pengetahuan berdasarkan pengetahuan masa lampau
yang termuat dalam tulisan kuno.
9
C. Verhaak dan Haryono Iman, Filsafat Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1989), 175-179.