Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya, manusia menginginkan kebebasan atau “freedom” dalam

menjalani kehidupannya. Kebebasan merupakan salah satu hak asasi dan dapat

dikatakan sebagai kebutuhan dasar manusia. Dengan demikian, tidak

mengherankan bahwa banyak manusia yang memperjuangkan “kebebasannya” dan

berjuang melawan penindasan dalam hidupnya. Kebebasan yang dimaksud adalah

bahwa manusia memiliki hak penuh atas hidupnya (human right) dalam

berfikir,berpendapat, memilih, menentukan dan membuat keputusan yang sesuai

dengan apa yang dianggap baik dan bermanfaat untuk kehidupan dirinya.

Selanjutnya, kebebasan merupakan salah satu faktor yang dapat menciptakan

perasaan bahagia dan mendorong manusia untuk menjadi manusia seutuhnya.

Namun, pada kenyataanya banyak manusia yang merasa bahwa kebebasannya

“direbut” oleh manusia yang lain. Lebih lanjut lagi, kebebasan sangat berkaitan erat

dengan manusia, karena manusia memang pusat dan pelaku utama dalam

kehidupan. Manusia memiliki kuasa untuk berkembang dengan cara belajar dan

mempu untuk melakukan evaluasi bagi dirinya sendiri. Manusia mampu belajar dan

mengembangkan berbagai bidang dalam kehidupan yang bahkan mampu

memberikan perubahan dalam kehidupan maupun budaya, seperti halnya

perkembangan teknologi saat ini. Dewasa ini, banyak sekali tulisan-tulisan terkait

beberapa dampak negatif akan perkembangan teknologi terhadap manusia yang

belum siap untuk menerima perubahan yang cepat tersebut, sehingga cenderung

1
2

mampu mendegradasi mental manusia itu sendiri, teknologi yang semakin ampuh

bahkan dikatakan mampu membelenggu kebebasan individu manusia dan

menjadikan manusia sebagai budak teknologi. Namun, perubahan merupakan salah

satu lambang dari kebebasan itu sendiri, meskipun makna terkait kebebasan masih

menjadi perdebatan dan persoalan yang belun terselesaikan sampai saat ini, karena

kebebasan bersifat kompleks dan saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Mengacu pada uraian tersebut, penulis memilih salah satu filsuf bernama

Albert Camus yang banyak berbicara tentang absurditas yang berfokus pada

kebebasan manusia dalam hidup.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan

rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah biografi filsuf dan sastrawan Albert Camus yang muncul

sebagai filsuf eksistensialisme dalam konsep pemikiran absurditas?

2. Bagaimanakah pemikiran Albert Camus terkait dengan konsep absurditas

manusia?

C. Tujuan Penulisan

Mengacu pada rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah

ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui biografi filsuf dan sastrawan Albert Camus yang muncul

sebagai filsuf eksistensialisme dalam konsep pemikiran absurditas.

2. Untuk mengetahui pemikiran Albert Camus terkait dengan konsep absurditas

manusia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Albert Camus

Albert Camus dikenal sebagai filsuf sekaligus satrawan besar Prancis yang

terkenal akan istilah “absurditas”. Albert camus lahir di Mandovi, Aljazair. Pada 7

November 1913 dan meninggal karena kecelakaan mobil di Villeblevin pada 5

Januari 1960 pada umur 46 tahun. Dia adalah seorang filsuf perancis kelahiran

Aljazair seorang keturunan Spanyol yang seringkali digolongkan sebagai penulis

eksistensialis namun lebih teapt disebut sebagai seorang absurdis, Camus mulai

dikenal banyak orang karena novel pertamanya yaitu L’Etranger dan mulai

memperoleh penghargaan seperti Penghargaan Nobel pada tahun 1957 pada bidang

Kesusastraan. Melalui novel L’Etranger, Camus memperkenalkan pemikirannya

dan menciptakan suatu mazhab filsafat dalam eksistensialisme yaitu absurdisme

yaitu adanya hal-hal tidak masuk akal atau aneh atau ganjil dalam kehidupan

manusia.

B. Pemikiran Albert Camus

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Albert Camus dikenal

dengan pemikirannya terkait dengan absurditas. Pandangan filosofis tentang

absurditas merupakan bagian dari filsafat eksistensialisme.

1. Pandangan Eksistensialisme Albert Camus

Munculnya eksistensialisme merupakan reaksi terhadap materialisme.

Pandangan filosof materialisme, manusia pada dasarnya hanya barang atau

“materi”. Bagi kaum eksistensialis manusia tidak hanya berada di dunia tetapi

3
4

juga “mengalami keberadaannya di dunia”. Manusia adalah subjek, maka ia

sadar akan dirinya sendiri dan sadar pada objek-objek yang dihadapinya. Lain

halnya dengan eksistensialis Albert Camus (1913-1960) yang bersifat

“pemberontak”. Dengan kata lain, bahwa ciri eksisitensialis Camus dan

karyanya yang cenderung absurd membawa karya-karyanya juga bersifat

eksistensialisme dan sekaligus absurd. Ciri eksistensialisme absurd ini

dituangkan juga dalam karya La Peste (Sampar). Setting cerita karya “sampar”

berawal pada tahun 1947 di kota Oran sebuah kota di Aljazair, koloni Perancis,

yang terkena wabah penyakit sampar yang membuat penduduk kota Oran

menjadi cemas karena timbul secara mendadak. Tetapi yang lebih

memprihatinkan, penduduk tidak dapat berbuat banyak dan hanya menerima

kenyataan itu. Disisi lain, Camus ingin menunjukkan berbagai potret manusia

yang bereaksi terhadap keadaan malang tersebut. Dalam catatan Camus,

sebagai ekspresi eksistensialisme, ditulis bahwa dengan sampar, dia

memaksudkannya sebagai kepenatan yang mencekik dan keadaan di mana

terjadi ancaman dan pembuangan secara nyata dan alamiah, dan dia bermaksud

memperluas pengertian itu dalam hakikat eksistensi pada umumnya. Namun

demikian, secara tersirat bahwa La Peste ditulis Camus untuk mewakili

kekuatan imajinasinya dalam bereksistensi, yakni (1) gambaran penderitaan,

kematian, keterasingan, relativitas cinta dan absurditas dunia, di tengah situasi

perang dunia kedua di Eropa, (2) merupakan sindiran terhadap pendudukan

tentara (Nazi) Jerman di Perancis, (3) sebagai saksi dan simbol dari penindasan

yang diakibatkan oleh perang, dan (4) sebagai cara menciptakan kesadaran
5

moral yang baru dengan ajakan “berontak”. Deskripsinya bahwa jumlah

epidemi sampar dan perang yang pernah terjadi di dunia sama banyaknya,

keduanya selalu datang menyergap tanpa sepengetahuan manusia.

Dikemukakan bahwa pandangan eksistensialis Camus jika dibandingkan

dengan Sartre, bahwa Camus dalam eksistensinya mengatakan “aku berontak,

jadi aku ada”. Pendapat lain, Drijarkara (1978:55) mengatakan bahwa

eksistensi ialah cara manusia berada di dunia ini. Cara ini hanya khusus untuk

manusia. Jadi, yang bereksistensi hanyalah manusia. Eksistensi tidak sama

dengan berada, tiap barang yang ada itu berada, tetapi tidak tiap-tiap barang itu

bereksistensi. Poedjawijatna (1980:137) yang justru melihat beberapa sifat

umum dari penganut eksistensialisme, antara lain: (1) orang menyuguhkan

dirinya (existere) dalam kesungguhan yang tertentu, (2) orang yang harus

berhubungan dengan dunia, (3) orang sebagai kesatuan sebelum terjadinya

perpisahan antara jiwa dan badannya, (4) orang berhubungan dengan ada.

Eksistensi tidak dapat didefinisikan sebagai suatu sikap yang filosofis dari

realitas manusia. Sedangkan Sartre memaknai eksistensi pada manusia tidak

lain daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. Untuk memahami

manusia perlu mendekatinya sebagai sesuatu yang subjektivitas dan sekaligus

objektivitas.

2. Pemaknaan Absurditas

Dalam kamus filsafat (2000: 10), kata absurd berasal dari kata latin absurdus

yang merupakan gabungan dari kata ab yang berarti tidak dan surdus yang

berarti dengar. Dalam kamus Inggris-Indonesia, absurditas atau absurdity


6

berarti kemustahilan dan keadaan yang bukan-bukan. Sedangkan dalam kamus

Prancis-Indonesia (2004: 6), absurd berasal dari kata absurdité yang bermakna

“yang tidak masuk akal”. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Camus dalam

Ulwiyah (2013:43) yang menyatakan bahwa absurd berarti tidak mungkin.

Camus mengungkapkan bahwa absurditas sangat erat kaitannya dengan

kontradiksi. Pemikiran absurd menurut Camus lebih mengarah pada perasaan

yang timbul akibat adanya perselisihan atau kontradiksi antara dunia dengan

pemikiran manusia. Pemikiran absurd muncul lebih dikarenakan manusia

mencari pemahaman yang komprehensif tentang kehidupannya yang ternyata

tidak dapat dipahaminya lagi. Ciri eksistensialisme absurditas merupakan salah

satu ciri eksistensi yang irasional sekaligus ireligius, karena jika

eksistensialisme seseorang masih dikaitkan dengan kepercayaan adanya

Tuhan, maka akan selalu ada jalan keluar pada setiap persoalan yang ada dalam

hidup meskipun harus melewati berbagai rintangan yang tidak menyenangkan.

Selain itu, Camus mengambarkan absurditas kehidupan melalui kisah mitologi

Sisifus (Sysiphe) dalam esai yang berjudul Le Mythe de Sysiphe. Tragedi

Homerus Sisifus yang mendapatkan hukuman dari para dewa karena ia dengan

tegas mempertahankan pendirinya sendiri. Hukuman tersebut berupa perintah

untuk mendorong sebongkah batu besar ke puncak gunung. Hukuman tersebut

diberikan kepada Sisifus. Dari puncak gunung tersebut, batu besar tersebut

akan kembali jatuh mengelinding ke bawah dan Sisifus akan turun dan

mencoba untuk mendorong batu tersebut menuju puncak gunung lagi. Hal

tersebut dilakukan secara berulang-ulang tanpa ada hasil akhir yang pasti. Ia
7

terus menerus mengulangi rutinitasnya yang membosankan. Para Dewa

menganggap bahwa tak ada hukuman yang paling mengerikan bagi Sisifus

kecuali pekerjaan yang tak berguna, rutin, membosankan dan tanpa harapan

itu. Manusia, sebagai cermin dari Sisifus, hanya mengerjakan rutinitas yang

sama setiap hari, dan seringkali harus menerima kenyataan pahit didera

masalah, musibah dan penyakit, hingga akhirnya meninggal dalam kepiluan.

Karena absurditas ini, manusia-manusia absurd banyak memilih untuk bunuh

diri. Tindakan Sisifus tersebut dinilai oleh Camus sebagai tindakan yang sia-

sia tanpa ada harapan. Mengacu pada mite Sisifus tersebut, manusia seolah-

olah dihadapkan pada kehidupan dunia yang sia-sia. Selama hidupnya, manusia

akan terus mencari kejelasan hidup dan pada akhirnya manusia itu akan sadar

dengan sendirinya bahwa dunia ini tidak akan mampu memberikan

jawabannya. Namun, manusia tetap terus menjalani kehidupannya sehari-hari

untuk bertahan hidup.

Di lain sisi, Camus sering dianggap sebagai filsuf yang memiliki perspektif

“pesimis” terhadap kehidupan, namun dibalik itu semua terdapat pemikiran

yang bertujuan “optimis” dalam menjalani kehidupan, meskipun Camus

meyakini bahwa akhir dari kehidupan manusia adalah kematian. Camus

memandang bahwa rutinitas yang dilakukan oleh Sisifus tersebut merupakan

sebuah kesadaran akan penderitaanya. Kegagalan yang terus-menerus dihadapi

oleh Sisifus mampu menciptakan kekuatan dan semangat yang semakin tinggi.

Dengan demikian, manusia juga harus berusaha untuk memiliki kesadaran atas

apa yang dilakukannya, meskipun pada akhirnya manusia akan meninggalkan


8

atas segala apa yang ia usahakan di dunia. Manusia yang menjalani kehidupan

penuh dengan kesadaran maka ia akan merasakan beratnya kehidupan, dengan

kesadaran tersebut akan mendorong dan membantu manusia untuk menghadapi

pertentangan antara keinginannya dengan kenyataan yang ada sehingga ia akan

berusaha untuk bertahan hidup.

Terkait dengan kesia-siaan hidup yang digagas oleh Camus, disebutkan

bahwa manusia diberikan dua pilihan, yaitu (1) mengakhiri hidupnya dengan

jalan bunuh diri, dalam hal ini, penulis memaknai bunuh diri secara lebih luas,

seperti lari dari masalah yang mencerminkan tindakan yang tidak

bertanggungjawab atas pilihannya dan kehidupannya, dan (2) merencanakan

hidup dengan cara memperbaiki diri, dalam hal ini penulis mengartikan bahwa

manusia akan lebih baik untuk terus menerus belajar dan mengembangkan

potensi yang ada dalam dirinya, baik dari segi kognitif, emosional, mental dan

juga sosial yang akan bermanfaat dalam kehidupan manusia itu sendiri.

Selain itu, Camus mengungkapkan bahwa dalam proses perencaan untuk

memperbaiki diri terdapat tiga konsekuensi, yaitu (1) dengan melakukan

pemberontakan, (2) dengan mempertahankan kebebasan, dan (3) dengan

mengikuti gairah hidup. Dalam menghadapi ke-absurditasan dalam hidup,

manusia harus pandai dalam menentukan pilihan dan sikapnya dalam

menghadapi hidup dan mau menerima segala bentuk konsekuensi yang

mungkin akan diterimannya selama proses memperbaiki diri.

Makna “pemberontakan” dalam konteks pemikiran Camus erat kaitannya

dengan memperjuangkan kebebasan individu. Camus meneriakkan kata “Ya”


9

dan “Tidak” sekaligus. “Ya” harus diucapkan kepada keinginan dasar manusia

akan kebaikan dan keadilan. Hidup itu baik dan bermakna. Keadilan harus

diusahakan. “Tidak” harus dikatakan kepada absurditas, ketidakadilan,

penderitaan orang tak berdosa, dan lebih radikal lagi kepada maut. Manusia

pemberontak harus berani melawan empat hal itu. Ia tidak boleh pasrah dan

bersabar hanya menunggu pahala dan pengadilan Tuhan. Atas

pemberontakannya ini, Camus disebut sebagai ‘filusuf pemberontak’.

Kebebasan individu merupakan salah satu permasalahan yang krusial bagi

kehidupan manusia sehingga banyak muncul pemikiran-pemikiran terkait

dengan makna definisi kebebasan. Hayek dalam Ginting (2013: 11)

mendefinisikan bahwa kebebasan adalah semata-mata tidak adanya coercion

atau paksaan. Paksaan muncul ketika manusia kehilangan kuasa atas dirinya

dan harus menuruti perintah orang lain yang dianggap lebih berkuasa. Dengan

kata lain, paksaan menghasilkan suatu tingkah laku tertentu yang tidak berasal

dari keinginan dan kesadaran diri sendiri seorang individu namun berasal dari

sebuah paksaan bahkan penindasan.

Alam memiliki banyak kejadian, manusia memutuskan nilai dari suatu hal

akibat dari yang ditimbulkan. Namun, saat akibat dari kontradiksi tersebut

belum dapat diolah oleh nalar maka absurditas lahir tepat di antaranya.

Absurditas mustahil berada di luar manusia dan dunianya. Dengan sebuah

contoh, ketika manusia menghadapi kondisi dimana realitas dan patokan

idealisme sedang bertabrakan. Pada tahap awal manusia adalah ia yang

mencari kebenaran atau kesalahan dari kondisi tersebut. Manusia akan mencari
10

kepentingan yang terlihat ditawarkan oleh suatu kenyataan. Apabila nalar

belum menemukan jawaban, maka manusia itu mengambil tambahan data

melalui akibat yang muncul dari kondisi tersebut. Di saat jawaban belum

ditemukan, absurditas tercipta. Absurditas merupakan sesuatu yang ada karena

nalar tidak berhenti untuk berjalan, sementara itu keberadaan tidak akan pernah

habis untuk ditaklukkan oleh nalar. Hilangnya salah satu dari pembanding

justru akan menghilangkan ke-absurditas-an. Absurditas hanya akan ada

apabila kedua komponen yang berkontradiksi ada, hilangnya salah satu

komponen melahirkan kepastian tidak adanya kemungkinan sehingga

absurditas hilang. Absurditas bukan lagi masalah benar atau salah. Ia

merupakan titik yang tidak pernah habis dicapai oleh nalar. Keberadaannya

merupakan penyebab sekaligus tujuan dari berjalannya nalar. Absurditas

tumbuh dan semakin membesar apabila terdapat perbedaan yang semakin luas

di antara pembanding–pembandingnya. Namun, absurditas bukan merupakan

suatu kesia–siaan seperti tampaknya. Ia bersifat tidak terhingga.

3. Pemikiran Albert Camus Dalam Pendidikan

Filsafat Pendidikan Eksistensialisme, sehingga diperoleh pemahaman

tentang kebebasan, terutama di bidang pendidikan. filsafat pendidikan

eksistensialisme sangat menekankan pentingnya kebebasan di dalam

pendidikan. Dalam beberapa tulisan disebutkan bahwa paksaan mampu

membuat individu tidak mampu menentukan alat dan tujuan dalam hidupnya

disebabkan karena kebebasan untuk berfikir atau kecerdasannya terhambat.

Kecerdasan berkitan dengan proses individualisasi. Dalam Ginting (2013: 12)


11

disebutkan bahwa proses individualisasi mempunyai dua aspek, yaitu (1)

Proses individualisasi dimulai sejak masa kanak-kanak, dimana semakin

bertambahnya usia makan akan semakin kuat secara fisik, mental serta

emosional, sehingga anak tersebut akan mengalami peningkatan intelektual

dan perkembangan rasional seiring dengan banyaknya aktivitas dan informasi

serta pengalaman yang didapat dan dialaminya, selanjutnya (2) rasa kesepian

yang muncul dalam diri manusia ketika manusia mulai menyadari kenyataan

hidup yang sering membuat cemas, takut dan tidak berdaya, seperti halnya akan

ketidakpastian masa depan.

Manusia berada di dunia yang penuh dengan pertentangan. Hal ini

merupakan tanda dari absurditas. Penyadaran manusia akan absurditas

merupakan langkah awal manusia di dalam mewujudkan kebebasannya, yang

bertanggung jawab dan menjunjung tinggi keadilan. Pemikiran Albert Camus

tentang absurditas dan kebebasan dapat menjadi dasar bagi kaum eksistensialis

di dalam mendidik siswanya. Pemikiran Albert Camus tentang kebebasan

sangat bermanfaat apabila diterapkan di dalam dunia pendidikan, dan sangat

berguna bagi kaum eksistensialis, sebab dapat membantu siswa untuk berpikir

kreatif. Di samping itu, membantu siswa menyadari potensi diri, dan kemudian

mengembangkannya. Pemikiran Albert Camus tersebut dapat diaktualisasikan

di dalam perencanaan kurikulum, peran guru terhadap siswa dan juga siswa

terhadap gurunya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pemikiran Albert Camus

tentang pendidikan dapat digunakan untuk membangkitkan semangat “jiwa”

pendidikan di Indonesia yang dilandasi dengan sikap toleransi, menyadari


12

bahwa setiap manusia memiliki pilihan dan opini yang mungkin berbeda antara

satu lain, sehingga sebagai manusia hendaknya kita mau mendengarkan dan

menghargai pendapat orang lain, tidak merasa paling benar sendiri. Manusia

memiliki kuasa untuk menentukan bagaimana cara untuk “menunjukkan

keberadannya” dalam hidup dengan gaya dan carannya sendiri. Sama halnya

dengan belajar, setiap peserta didik memiliki kecerdasan yang dominan

masing-masing, sehingga idealnya proses pendidikan lebih mengarah pada

teori konstruktivistik dan mendorong pada pemikiran yang heterogen, dimana

peserta didik merupakan subjek dalam belajar (student center) yang berhak

mengutarakan sesuai dengan kemampuan kognitifnya.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Albert Camus dikenal sebagai filsuf sekaligus satrawan besar Prancis yang

memperkenalkan pemikirannya dalam eksistensialisme yaitu absurdisme.

Eksistensialis menganggap manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga

“mengalami keberadaannya di dunia”. Manusia adalah subjek, maka ia sadar

akan dirinya sendiri dan sadar pada objek-objek yang dihadapinya. Pemikiran

absurd muncul lebih dikarenakan manusia mencari pemahaman yang

komprehensif tentang kehidupannya yang ternyata tidak dapat dipahaminya

lagi. Camus mengungkapkan bahwa dalam proses perencaan untuk

memperbaiki diri terdapat tiga konsekuensi, yaitu (1) dengan melakukan

pemberontakan, (2) dengan mempertahankan kebebasan, dan (3) dengan

mengikuti gairah hidup. Pemikiran Albert Camus tentang pendidikan dapat

digunakan untuk membangkitkan semangat “jiwa” pendidikan

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh

dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan

berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka

dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan

makalah dalam kesimpulan di atas.

13
14

DAFTAR PUSTAKA

Allien, Astri Adriani. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro. Makna


Kehidupan Manusia menurut Albert Camus. Diunduh dari
https://ejournal.undip.ac.id>index.php>humanika>article
Camus, Albert. 1942. Le Mythe de Sysiphe: Essai sur l’Absurd. Paris: Gallimard

Ginting, Gloria Rahma. 2013. Konsep Kebebasan Albert Camus dalam Tinjauan
Filsafat Pendidikan. Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Sunahrowi. 2014. “Absurditas dan Individualitas dalam Roman L’étranger Karya
Albert Camus”. Jurnal Penelitian SK Akreditasi DIKTI
No:040/P/2014.
Ulwiyah, Himatul. 2017. Absurditas Naskah Drama Les Justes Karya Albert
Camus. Skripsi S1. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Yulistio, Didi. 2015. “Model Kajian Absurditas Eksistensialisme Manusia dalam
Novel Sampar Albert Camus”. Prosiding Seminar Nasional Bulan
Bahasa UNIB 2015.

Anda mungkin juga menyukai