Anda di halaman 1dari 33

Arena Tertutup (coverfieldland)

Kebebasan
Hal yang paling menakutkan bagi para pelukis adalah kanvas kosong.
mungkin selayaknya penulis ketika padanya terhampar windows new post.
Mengapa?
Mereka takut pada media kosong.
Apa yang berada dalam kekosongan? Kebebasan.
Sehingga sebuah media kosong adalah kebebasan yang paling bebas. Saya
merujuk pada Sartre untuk hal ini, mengenai bagaimana manusia ketika
dihadapkan pada kebebasan. Biar ia yang menjelaskan sendiri, dan saya
datang dan melihat hidup yang sangat Panjang.
Vidi Vici Lavida

Preambule
Tulisan kali ini adalah lanjutan dari diary, self opinion saya yang belum selesai pada part pertama dan
saya sendiri mulai takut dengan kebebasan itu sendiri bila tidak ada alat yang mengontrol dan mengawasi
hal itu katakanlah alat itu akal. Sehingga saya bisa mengukur sejauh mana menyambut tulisan ini, dan
saya sadar tidak akan bisa menyelesaikan tulisan corat-coret sampah ini, kalo tidak ada niat
mengakhirinya. Dan kalo ada yang masih bertanya tujuan saya menulis hal ini untuk apa, ini adalah arena
sarana saya, pengingat dan untuk berbagi pikiran. Dengan orang-orang yang suka membaca dan
mengasah perspektifnya. Terlepas dari energi yang terkumpul dalam pikiran, yang harus saya tuliskan.
dan Saya coba paksakan untuk menulis. Entah mengapa, belakangan banyak sekali disturbansi yang
datang kepada saya. Banyak pengalaman yang saya dapatkan hingga pikiran saya macet. Fenomena,
bagaimanapun hanya akan berlalu. Manusia akan selalu menjadi terbiasa. Melankolis di awal namun
tawar di akhir. Dan saya ucapkan selamat datang pembaca salam saya yusuf maulana yuliansyah.

Verba Volant Sriptamanent


Aforisme Part II (vidi vici lavida)

Pledoi penulis

Untuk memulai kegiatan tulis-menulis saya yang sekiranya mulia ini, saya akan mulai dari salah
satu fenomena dan pendekatan yang mulai saya bangun sebagai suatu basis pemikiran pribadi.
Sebelumnya, saya mengalami pasang-surut preferensi dalam memandang atau mengkritisi
sesuatu. Itulah sebabnya, tulisan-tulisan saya tidak terarah terhadap suatu kajian tertentu. Saya
meletakan pandangan saya dalam suatu bentangan ide dengan spektrum yang sangat lebar.
Tujuannya memang untuk dibilang keren dan pintar, hehe. Latar belakangnya adalah karena saya
sendiri menikmati sekali terombang-ambing dalam berbagai arus pemikiran dan ide serta terlepas
dari tanggung jawab akademis. Pada beberapa kesempatan, saya tergoda untuk menyusun suatu
pendekatan yang komprehensif dan, utamanya, otentik. Saya terkadang memiliki keinginan
ambisius untuk membuat suatu sistem filsafat sendiri, katakanlah seperti maulisme atau
maulitian. Amboi, elok betul. Namun saya sadar, sangat jauh panggang dari api dan saya terlalu
malas untuk membuat suatu upaya sistematis dan terstruktur untuk membuat begituan. Mungkin
saya akan melakukannya kalau suatu saat ada energi begitu besar untuk itu. Itu pun, hampir
mustahil. Di tengah rezim serba tidak pasti dan inotentik ini, saya rasa sangat sulit membangun
suatu fondasi berpikir. Sementara itu, untuk mengkonstruksi dan mereproduksi segala fenomena
yang berseliran di sekitar saya, saya hanya menggunakan pendekatan yang bersifat preferensial
dan oportunis; apa yang kebetulan saya suka, saya jadikan pendekatan. Hingga kemudian, saya
membaca kembali pola yang saya lakukan di arena tertutup ini. Ini lah pentingnya melakukan
pengarsipan terhadap pemikiran, saya sadar apa yang berubah dan apa yang tidak berubah sedari
memulai tulisan arena ini di tahun 2014 silam. Ketika masih didiksar beuh ta elok sekali tulisan-
tulisan ini begitu amburadul, entah kenapa bisa begitu saya mengingat dulu kebelakang hehe
Baik lah, apa yang saya sadari tidak berubah adalah bahwa saya masih meletakan kebebasan
sebagai kerangka utama pemikiran saya. Demikian, kalimat tersebut menjadi ringkasan bagi
seluruh sistem pemikiran saya selama ini. Turunannya adalah nilai-nilai macam lokalitas,
polivokalitas, diversitas, pluralitas, dan anarki. Selama petualangan literature yang saya jalani
selama beberapa tahun ke belakang, saya mendapati diri saya dalam horizon pelampauan. Dalam
konteks yang lebih pas, kata yang tepat adalah ‘the horizon of beyond’. Sebagai konsekuensinya,
saya kecemplung dalam arus pemikiran post-sesuatu. Ada tiga pemikiran yang terus-menerus
saya gandrungi dan mengerak dalam spontanisme saya: post-Marxis, post-strukturalis-
postmodern,(Bourdieu) dan post-kolonial. Sebagai catatan saya sadar, mendeklarasikan diri
sebagai seseorang yang menganut paham tertentu pada dasarnya berisiko. Tidak banyak pemikir
yang mendeklarasikan dirinya berafiliasi dengan suatu pemikiran tertentu secara eksplisit.
Namun saya masih muda dan naïf, sangat naïf bahkan. Tujuan mengapa saya mendeklarasikan
hal tersebut, secara praktis, adalah agar para pembaca arena tertutup ini dapat mentrace back ide
saya kepada akar-akar pemikirannya. Hal tersebut saya pikir dapat memudahkan para pembaca.
Tulisan arena tertutup ini, sedapat mungkin akan saya kembangkan sebagai sarana metailmiah
bagi pemikiran saya. Sementara, untuk kerangka pemikiran yang lebih sistematis, saya masih
berpikir untuk menerbitkan buku yang dapat dibaca oleh semua kalangan arena terbuka. Semoga
saya punya energi untuk itu. Demikian, pleidoi saya. Sekarang, mari masuk ke substansinya.
Ketiga gelombang pemikiran tersebut dapat saya interferensi melalui medium yang bernama
identitas. Ketika membaca orasi ilmiah Buya Syafii mengenai konsep identitas, saya sadar bahwa
ini lah konsep yang selalu saya gandrungi dan saya jadikan sebagai jembatan untuk menyebrang
dari alam ide ke alam fenomena. Identitas adalah kunci sementara bagi saya dalam menerawang
jagat ini. meski belum seambisius proyek habitus, arena, kapital Bourdieu yang sanggup
mengunci ketegangan antara struktur dengan eksistensi dalam satu kotak rapat, saya mulai dapat
melihat pola identitas untuk setiap fenomena manusia yang saya amati. Mengapa identitas?
Dunia sosial (social sphere) masa kini adalah dunia yang penuh dengan sampah dan bangkai.
Dari penelusuran literature yang sering saya lakukan, agaknya terdapat kesepakatan mengenai
kondisi dunia tempat kita bernanung ini. secara ringkas, apa yang terjadi adalah perubahan
besar-besaran kehidupan berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya beruntung
punya kesempatan untuk dapat meloncat dari pengamatan dimensi ‘kehidupan manusia’ dan
dimensi ‘ilmu pengetahuan dan teknologi’. Eksposisi masa kini yang bisa saya tuturkan lewat
tulisan ini senada dengan proyek modernitas yang tengah dicanangkan. Titik pangkalnya dimulai
dari penemuan filsafat dan terekskalasi gila-gilaan mulai dari abad pencerahan. Namun
demikian, penggal kala yang sungguh menarik minat saya dimulai dari abad 17 hingga era 1980.
Revolusi industri dan ilmu pengetahuan menjadi kejadian utama yang menyebabkan shifting
besar-besaran dalam dunia manusia, baik di tataran idea atau fenomena. Hal paling krusial yang
kemudian paling suka saya soroti dalam proyek modernitas ini adalah kematian makna. Hal
tersebut menyebabkan keresahan dan kegelisahan yang tak terkira bagi manusia-manusia yang
secara tak sengaja jatuh dalam penggal kala ini. Saya mafhum karena merasakan keresahan yang
senada walau dalam bentuk yang berbeda. Dengan berpulangnya pusat kesadaran ke subjek, si
aku dan munculnya kesadaran akan Ada serta ambruknya struktur-struktur utama yang mengatur
hidup manusia, lahir keresahan yang tampak tak beralasan. Para manusia ini megap-megap
karena ditenggelamkan dalam irasionalitas dan tidak diajarkan untuk mengambil nafas. Kondisi
berbeda terjadi di penggal kala lain yang sangat terpolarisasi dimana pemikiran manusia bagai
magnet yang selalu menunjuk ke kutub yang sama. Segala rasionalitas diatur oleh otoritas yang
berwenang. Ketika proyek emansipasi mengemuka, diruntuhkan lah tiang-tiang dan atap yang
selam ini menutupi jagat wawasan manusia dari cahaya pengetahuan. Sayangnya cahaya
pengetahuan malah mengeringkan jiwa-jiwa manusia tersebut. Mereka disilaukan dengan
produk-produk artifisial pengetahuan yang kemudian dengan begitu jahanamnya ditunggangi
kepentingan untuk berkuasa. Bingung dan panik, manusia-manusia ini lari kesana kemari, bolak-
balik dari satu penjelasan ke penjelasan lain namun toh akhirnya tetap kehausan di padang
gersang modernitas. (Dan saya menjadi korbannya pula) Maka di tengah kondisi demikian, yang
bisa mereka lakukan adalah pulang kepada diri masing-masing. Apa yang menjadi bait dari
pemikiran mereka adalah identitas-identitas. Identitas adalah rumah yang menyediakan
kehangatan, oasis yang memberikan kesegaran terhadap rasa haus akan penjelasan mengenai
alasan-alasan. Di dalam identitas, mereka berkreasi sepuas-puasnya. Dan apa yang paling
penting dari peran identitas adalah lewat identitas, mereka dapat bersuara lantang kepada dunia
mereka bahwa mereka ada, mereka hadir. Kini tugas manusia berikutnya adalah menemukan
otentitas dalam identitasnya. Perang belum usai. Namun kini, saya telah membanjiri diri dengan
informasi kembali dan mencoba untuk terus menulis sebagai saran reproduksi ide. Untuk itu,
saya mohon pengertiannya untuk beberapa tulisan arena tertutup ini, tulisan saya relatif tidak
nyaman untuk dibaca karena saya sendiri lupa bagaimana cara menulis yang nyaman, hehe. Ini
bukan hal yang aneh dan wajar saja menurut saya. Bagaimanapun, proses membanjiri diri
dengan informasi setelah sekian lama teralienasi sangat lah menyenangkan. Sebagai analogi,
rasanya seperti ketika membiarkan darah mengaliri kembali bagian tubuh kita yang kebas.
Seperti itu lah. Baik lah, apa yang mau saya curahkan ya. Apa yang mendadak terlintas ketika
saya memandang kosong langit-langit kamar saya: persoalan rendah diri – low self-esteem. Di
tengah arus informasi yang begitu cepatnya, kita dengan sangat mudah mengakses berbagai
macam informasi di sekitar kita; baik informasi yang bersifat publik maupun personal. Dari
informasi yang bersifat personal, kita bisa tahu sedang apa kawan kita, dimana dia berada, apa
yang ia sukai, hingga pencapaian-pencapaian apa yang tengah ia lakukan. Informasi terakhir itu
adalah informasi racun karena ia melumpuhkan kita. Pencapaian-pencapaian seseorang adalah
isyarat yang berbahaya bagi kita, bagi kehadiran kita, bagi pesona kita. Public atau Hidden, kita
akan bereaksi terhadap pencapaian seseorang. Foto kita ketika diving di Raja Ampat atau makan
malam di Chicago terang akan menuai like atau komentar seperti: “wah, dimana tuh? Pengeeen
dong” atau “kok bagus banget sih? gmana sih caranya kesana?”. Dan spontan kita tersipu
karenanya. Social capital kita melonjak dan identitas kita terbangun secara positif karenanya.
Kita mendapat pengakuan. Sambutlah era ini: era kompetisi – age of competition. Dimana segala
sesuatu diukur terhadap sesuatu yang lain. Informasi yang begitu cepat diproduksi dan
direproduksi justru menjadi distorsi baru dan membunuh sang “Narasi Besar”. Sebab sesuatu
diletakkan terhadap sesuatu yang lainnya, sesuatu harus berada di atas yang lain. Tak ada batasan
terhadap suatu realitas atau fenomena. Informasi ditempatkan dalam jagat yang infinit, tidak
terbatas.
Dan di dalam infinitas tersebut lah manusia berputus asa.
Ekspresi kompetisi akan berakhir dengan refleksi diri: “mengapa aku tidak bisa seperti dia yang:
1. dapat beasiswa ke luar negri
2. bisa jalan-jalan kemana saja setiap saat
3. bisa tampil di televisi dan rajin masuk koran
4. selalu dapat nilai baik
5. punya teman yang sangat banyak dan socially secure
6. berwawasan luas
7. bisa memasak sangat enak
8. punya kemampuan manajerial yang baik
9. selalu bahagia dimanapun dia berada
10. (dan sejuta list lainnya)?”
Saya bukan motivator yang bisa menaikan self-esteem Anda dengan retorika seperti “setiap
orang punya kekurangan kelebihan”, “practices make perfect”. Bagi saya, jawaban pertamanya
adalah nasib. Begitulah ketika saya diskusi dengan teman saya yaumal besari bukan fiersa besari
ya hehe Sudah suratan takdir Anda jelek, tidak berbakat, dijauhi teman-teman, tidak berdaya,
tidak berguna bagi dunia ini, cuma menyusahkan masyarakat dan menjadi beban pembangunan.
Untuk itu, mari mengangkat gelas, kita cheers.
Cheers!
Pangloss, guru Candide dalam novel satir karangan Voltaire memiliki ajaran yang sangat baik
dalam hal ini. Dia berkata bahwa segala sesuatu tidak bisa lain keadannya dari sekarang ini dan
bahwa dunia ini berjalan dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Ajaran tersebut yang dipegang
teguh secara lugu oleh Candide sepanjang petualangannya. Dan saya setuju. Tidak ada sebab
tanpa akibat. Sebagai produk aksidental, kehidupan tak lebih dari sekedar jalinan probabilitas
maha kebetulan yang berkelindan dan membentuk sistem nilai dan sistem makna. Sebagai
sesama produk probabilitas, tak perlu lah kita memandang sesuatu lebih baik dari yang lainnya.
Anda jelek? kebetulan. Anda ganteng? kebetulan. Anda pintar? kebetulan. Anda rajin beribadah?
kebetulan. Bagaimana dengan saya? Tentu lah saya masih membandingkan diri saya dengan
orang lain. Saya masih rendah diri. Saya masih sebal ketika ada teman yang mendapat
pencapaian tertentu dengan kesombongan absolut: ‘saya juga bisa kalau mau, biasa aja
keleus.”Tentu, perasaan-perasaan tersebut harus diatasi. Langkah awalnya dengan menyadarinya
dan menurutinya. Francis Bacon pernah menulis bahwa untuk menguasai alam, manusia harus
menaatinya terlebih dahulu. Kita perlu menuruti naluri alamiah kita, hawa nafsu, perasaan iri,
perasaan dengki, cemburu, dan segala macam gejolak ide untuk bisa menginternalisasinya, bisa
masuk kedalamnya dan lantas menguasainya. Beruntung saya punya instrumen mahaampuh ini:
diskresi roh. Sebagai seorang manusia yang baik, saya anti-finalitas. Segalanya adalah proses,
menjadi bukan jadi. Alfa dan omega, awal dan akhir, adalah konsekuensi proses, ia merupakan
akibat dari adanya proses. Saya ingat nasihat Wulu Banyak terhadap Sungu Lembu sebelum
berlayar menuju Kerajaan Gerbang Angin di novel “Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi”
karangan Yusi Avianto Pareanom. Nasihatnya adalah perahu tidak diciptakan sempurna karena
yang tidak sempurna akan terus mencari. Esensi manusia dalam perjalanannya bukan lah untuk
menjadi sempurna, melainkan berupaya menjadi sempurna. Begitulah, tulisan saya tidak
terstruktur betul, hehe. Bagaimanapun sebagai penutup, saya senang bisa berdialog dengan diri
saya di arena tertutup ini apalagi malam-malam begini. Momen ketika keresahan dan pertanyaan
eksistensial begitu berkecamuk. Momen ketika kebermanfaatan diri dan prestasi begitu
diragukan. Momen ketika kita sadar bahwa kita bukan lah apa-apa. Momen keputusasaan ketika
menyadari saya semakin jauh dan tenggelam lebih dalam dalam upaya pencarian. Momen kesia-
siaan untuk menyadari saya tidak lebih dari secabik sampah. Dan karenanya saya begitu bahagia.
Saya bahagia atas ketidakmampuan saya dalam menjawab seratus juta pertanyaan; berpacu
dengan sepuluh pertanyaan baru dari satu jawaban yang saya ciptakan atau saya temukan.
Bagaimanapun, kesadaran saya menjadi anugerah yang paling harus dirayakan. Dan
beruntungnya saya bahwa saya diajarkan untuk membangun kesadaran dan kebahagiaan saya
diatas kesederhanaan. Sesederhana keresahan yang terus saya ciptakan. Sesederhana kepuasan
atas setiap buku-buku yang saya belanjakan. Sesederhana penampilan yang saya kenakan.
Sesederhana masih bisa menangkap getar rasa cinta yang kau berikan (ugh, alay).
Terima kasih.

Rewind (Arena Tertutup)

Beberapa waktu sudah terlewati, saya membuka kembali laci windows new post ini setelah lewat
beberapa periode waktu saya biarkan berdebu. menjelang matinya 2019, baik sekali jika saya
sedikit menumpahkan dan membuka lembaran-lembaran lusuh tahun ini. menurut desas-desus,
menjelang kematian seseorang, ia akan diberikan visi kehidupannya dalam jangka waktu yang
pendek. entah ilmiah entah hanya tebakan belaka. saya belum pernah mati jadi juga tidak bisa
memastikannya. desas-desus itu serupa dengan niat saya sedikit membuka kembali kehidupan
2019 ini. tahun baru, tahun berlalu. jadi ada apa? kalau saya memandangnya secara sekelebat,
tulisan arena tertutup ini sungguh tidak produktif! demikian saya memang harus sekali mengakui
bahwa denyut literasi saya semakin melemah bulan-bulan ini. sedikit sekali buku yang saya baca
dan saya tekuni. anggaran saya untuk membeli buku drop banyak. hasilnya tentu saja bisa
diperkirakan. otak dan kemampuan berpikir saya menjadi sedemikian tumpulnya hingga
membuat tulisan corat coret pribadi saya sudah terengah-engah. dan izinkan saya menukik tajam
dari tema diatas untuk menyatakan bahwa tahun ini sungguh melelahkan! saya merasa tengah
dishutdown perlahan dan secara sistematis oleh kehidupan dan pilihan-pilihan yang saya ambil.
saya merasa semakin limbung dan goyah dengan segala yang tengah saya jalani. terkadang hal
tersebut begitu emosional dan sentimentilnya hingga saya menghabiskan waktu berjam-jam
untuk terjaga di tengah malam dan menatap nanar langit-langit kamar atau dimanapun saya rebah
kala itu. berkali-kali saya harus menambal dan menyumpal hal tersebut dengan rasionalisasi tapi
saya sadar bahwa itu semata hanya ekspresi frustasi yang saya larikan. dibalik itu semua saya
sadar bahwa saya sebenarnya diberikan pemahaman bahwa saya bukan apa-apa. saya dipaksa
untuk mereguk kenyataan yang memabukan bahwa dunia ini bekerja dengan cara yang gila.
setiap kisi-kisi waktu berisi lesatan-lesatan peristiwa yang saling menjalin kenyataan dan
kesunyataan menjadi rangkaian kesedihan, keterpurukan, dan kekalahan. ia terkadang berbuah
derai airmata kadang pula menumbuhkan gelembung bahagia. syukur sekali saya dibuatkan
fondasi pemahaman bahwa segala yang terjadi, apapun itu semata-mata ditujukan untuk
menyadarkan bahwa saya hidup meski kesadaran itu tak ubahnya tambalan sementara terhadap
emosi dan segala hal negatif yang saya pendam. seperti banyak yang saya tenun dan saya
nikmati, banyak juga kehilangan yang harus saya hadapi. cukup lah saya katakan bahwa ada
kematian-kematian yang berdampak begitu hebatnya hingga ia menekuk kisi-kisi pemikiran dan
harapan yang saya buat. harus saya akui bahwa saya belum pulih, jauh di dalam belantara pikiran
dan perasaan saya ada senyawa yang saya gerendel namun tak hentinya meronta bandel untuk
kemudian tumpah menjadi apa bentuknya. dan barangkali hanya lewat sini, lewat tulisan dan
kesempatan ini saya mau menyatakan bahwa saya ragu segalanya masih baik-baik saja. namun,
normatif sekali (getir), saya tidak boleh berhenti hanya pada keraguan dan kegetiran semata saja.
hidup adalah soal melawan dan musuh terbesar yang harus dikalahkan adalah diri sendiri. dan
segala kehancuran yang barangkali saya alami adalah suplemen paling lezat bagi
tumbuhkembang saya. sampai titik ini saya masih bisa merasakan desir kegembiraan bahwa saya
masih bisa merasakan kehidupan. satu lagi hal yang kini dihadiahkan kepada saya adalah saya
semakin dibukakan kenyataan bahwa ada orang-orang diluar sana yang tidak baik-baik saja
karena apa yang telah saya lakukan dan saya kerjakan. fakta ini membuahkan perasaan bersalah
yang belakangan semakin mengakar dan menampilkan wujudnya yang, ehem, ternyata
mengerikan. saya mencoba untuk, lagi-lagi, memanipulasinya melalui berbagai rasionalisasi dan
hitung-hitungan namun yang terjadi adalah ia tidak dapat dihadapi dengan upaya itu. saya
terkejut bahwa baru di penghujung tahun ini kesombongan saya dicabik sedemikian dahsyatnya
oleh kenyataan pahit semacam itu. antara empati saya yang selama ini disamarkan oleh egoisme
saya dalam menjalani hidup atau memang tingkat keacuhan saya terhadap orang lain sudah
sangat mengkhawatirkan. menjadi pahlawan adalah hal yang saya coba saya hindari, menjadi
inspirasi dan manfaat berada di urutan setelahnya. dalam hidup saya tahu bahwa kita tidak bisa
mengontrol bagaimana orang lain menilai kita namun demikian upaya saya menutup diri dan
berbagai fakta internal saya membentuk kabut enigma bagi orang lain di sekitar saya. walhasil,
saya merasa menjadi seperti pembohong dan manipulator medioker yang menjijikan. wabil
khusus yang terakhir itu ini menjadi salah satu pengalaman yang tergolong baru bagi saya. saya
kini, mencoba menginternalisasi satu premis yang barangkali menjadi plasebo dalam
menghadapinya yakni bahwa karma does exist dan semesta akan mencoba untuk selalu dalam
keadaan seimbang baik dalam dimensi ruang dan waktu. jika tidak sekarang maka nanti, jika
tidak disini maka disana. yang terbaik yang saya lakukan adalah bersiap diri untuk segala
kehilangan yang mungkin akan terjadi kembali. apologi mungkin menjadi opsi namun dalam
beberapa kasus, saya rasa maaf hanya akan menjadi basa-basi dan modus operandi untuk
memaksakan kondisi yang saya inginkan. saya seringkali menangkap logika “oke, YANG
PENTING gw udah minta maaf. kalo elu mau nerima ya beres kalo enggak itu jadi urusan elu
sendiri”. taek. Labodo labacot amat begitulah lagu young lex. Sumpah gue tau young lex dari
teman sekamar gue, oke lanjut dengan paragraph terakhir. ah yah, saya menutup penggal waktu
2019 ini dengan keresahan yang semakin menjadi dan memasuki penggal waktu berikutnya
dengan kecemasan namun dibawah dan diatas segala itu saya masih begitu bersyukur segalanya
masih beringsut menuju tempatnya. apapun itu akan terjadi, siap atau tidak. untuk penutup saya
mau mengucapkan terima kasih sekali bagi Anda yang masih sanggup pelan pelan untuk
membaca. saya tidak meminta simpati atau empati dari tulisan ini dan alasan yang lain. saya
butuh jujur dan menyampaikan kondisi ini kepada Anda-anda yang mencoba menerka apa yang
tengah terjadi pada diri saya selama lewat beberapa waktu ini. saya masih ada dan akan terus
sekuat tenaga berusaha berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja. semoga Anda dapat
menyambut kepura-puraan saya dengan berpura-pura bahwa saya tengah baik-baik saja hingga
yah kita lupa bahwa sebenarnya kita sedang berpura-pura. ini emot ^,^ untuk menunjukan betapa

luar biasanya saat ini dan bagaimana tulisan ini dapat mengubah perspektif saya
selamat menyongsong 2020, mari bersiap diri. Voila !
Paradox
Belakangan, saya semakin tergelitik dengan satu pertanyaan yang saya pikir menjadi salah satu
pertanyaan fondasi dari upaya saya memahami manusia dan apa yang berada di balik layarnya;
yang secara sistematis mungkin menjadi pertanyaan ontologis bagi rumpun keilmuan sosio
humaniora: what does make human does. Terjemahan ugal-ugalannya barangkali adalah apa yang
membuat manusia melakukan sesuatu? Namun sebelum melangkah masuk ke dalam uraian dan
jawaban terhadap pertanyaan itu, saya pikir perlu sekali untuk mengelaborasi mengapa
pertanyaan tersebut muncul. Bahwa untuk memahami sesuatu yang “halus” dan “non-empirik”
pengamat manusia perlu berangkat dari sesuatu yang terlihat dan nyata diamati. Saya tidak mau
mengembangkan ke pertanyaan menyebalkan yang mendebat ini semacam “bagaimana bila
panca indera kita menipu kita?”. Saya pikir perdebatan klasik kaum empirik dan rasionalistik
perlu diakhiri dengan menggunakan cara-cara seperti misalnya penggunaan gawai. Lagipula, hei,
bukankah proses berpikir dan pengambilan keputusan sekarang sudah didesain betul untuk panca
indera dan pikiran kita bahu membahu menghasilkan kebenaran yang paling memuaskan? Ahh
makin bagus untuk dibahas. Oke, kembali ke substansi. Pengamatan lewat panca indera menjadi
titik berangkat untuk kemudian, fenomena yang tertangkap dapat diproses di dalam pikiran
manusia dari situ berangkat lah untuk melihat apa yang manusia lakukan (to observe what
human does) dan melihat bagaimana fenomena tindakan tersebut terhubung dan berada dalam
jaring-jaring yang lebih besar lagi. Tulisan ini sendiri merupakan catatan amburadul yang ada
dalam pikiran saya, ini akan benar-benar menuliskan semua yang terlintas dan tidak
mengharapkan Anda untuk dapat mengikuti dan sampai ke konklusi yang dimaksud.
“paradoxnya saya”. Itu pun saya juga sangsi akan ada konklusi di tulisan ini. Bilamana nanti
saya diangkat jadi critical thinking dan professor haha just kidding, saya rasa tidak perlu gelar
untuk menulis lepas seperti ini kapasitas akal sudah cukup, asalkan ada niat, karena hal itu lebih
jujur untuk disadari bukan sekedar memotivasi, saya alergi untuk menggunakan istilah verbatim
itu. saya tidak berpikir untuk mengentaskan tulisan ini lebih terstruktur. Sembari itu tak akan
terjadi, ini barangkali menjadi paparan yang paling pas. Dalam “Arena tertutup” banyak sekali
pikiran-pikiran dalam catatan kemudian saya kemas disini untuk kita lanjutkan dan saya
berusaha meniatkan tulisan ini akan melaju dengan pelan pelan oke setuju. Baik. Saya mulai dari
asumsi yang mengatakan bahwa apa yang mengontrol perilaku manusia setidaknya berasal dari
dua sumber: dari internal manusianya sendiri dan dari luar. Antagonisme ini dirangkum dengan
apik ke dalam satu set teori yang diambil oleh psikologi, biologi, dan neurologi sebagai ilmu
yang memetakan dorongan internal manusia dan sosiologi, antropologi, dan ekonomi sebagai
keilmuan yang memetakan faktor-faktor luaran. Sedikit googling, saya dapat
mengoversimplifikasi kedua hal tersebut ke dalam perbenturan antara voluntarisme dan
determinisme. Terma yang barangkali pernah didamaikan oleh Bourdieu. Tapi sebelum sampai
disitu, mari lah kita melihatnya sebagai dua entitas yang terpisah. Voluntarisme berpendapat
bahwa setiap manusia memiliki dorongan internal yang bebas dari pengaruh apapun. Bahwa
tindakan manusia semata-mata didasarkan pada dorongan dari dalam dirinya sendiri dan
kerananya, manusia berdaulat atas setiap tindakan yang ia lakukan. Determinisme, di sisi lain,
mengatakan bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti
katakanlah masyarakat dan apa yang ada di dalam masyarakat itu. Yang dikenal dengan konsep
Arena “Bourdieu” Dari uraian di atas mana yang Anda suka? Ketahui lah bahwa keduanya benar
belaka. Atau jika Anda seperti saya, anak sok ngeindie yang senengnya mengambil alternatif di
luar pilihan-pilihan yang ada sebagai bentuk perlawanan terhadap kuasa penyediaan pilihan atau
sedikit suka dengan kontroversi. maka kita bisa mengambil jalan tengah diantaranya.
Formulasinya begini, terkadang tindakan manusia dipengaruhi faktor dalam dirinya dan
terkadang faktor di luar dirinya. Weew, sungguh pernyataan yang sangat ngeposmo. Baik, saya
coba petakan konsep-konsep kontekstualnya. Konsep pertama: voluntarisme Pertama mari
berangkat dari Freud. Psikoanalisa berpendapat bahwa benturan antara voluntarisme dan
determinisme berlangsung berbeda berdasarkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan
fisiologi organ pemikiran manusia. Kita tahu trinitas Freud yang sangat beken itu dan: Id, Ego,
dan Superego. Sedikit mundur ke belakang, spiritualitas Kabbalah sebenarnya juga memiliki
pembagian yang lebih banyak: Nefesh, Ruach, Neshamah, Chayyuh, dan Yehidah. Kesetaraan
keduanya berada pada Nefesh – id dan Ruach – Ego. Id dan Nefesh berkenaan dengan perilaku
instingsif: nafsu makan, nafsu birahi, ego-sentrisme dan segala ketidakpedulian yang bisa Anda
temukan pada masa bayi kita. Anda tahu, kasarnya, seperti perilaku kebinatangan. Sementara ego
berada pada tingkatan yang lain dimana pada kondisi ego perlahan manusia mulai dapat
menyesuaikan dan memahami serta menahan insting serta nafsu badan dan hedonisme yang
muncul di dalam diri mereka masing-masing. Ruach, dalam prespektif Kabbalah adalah entitas
dimana manusia dapat membedakan apa yang baik dan apa yang buruk walaupun tentu saja,
dalam level etika moral yang lebih kritis kita patut sekali bertanya apa sebenarnya dan apa yang
menjadi dasar pembedaan baik dan buruk itu. Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah
Freud punya komponen superego sedangkan Kabbalah punya Meshamah, Chayyuh, dan
Yehidah. Freud punya superego sebab sosiologi tengah berkembang dengan baik pada masanya
sedangkan Kabbalah punya tiga hal tersebut karena Freud ateis. Begitu saja sudah. Kemampuan
membedakan baik dan buruk sendiri, dalam beberapa peta pemahaman dapat dibedakan menjadi
dua blok yakni yang dibangun di atas kesadaran dan yang ada sebagai bawaan. Beberapa
pendapat tradisional seperti Filsafat Konfusian berpendapat bahwa manusia pada dasarnya
dilahirkan dengan kebaikan yang tertanam di dalamnya namun kemudian dunia yang brengsek
ini mencemarinya dan manusia melakukan kejahatan karena pengaruh dunia ini. pandangan lain,
seperti yang dijelaskan oleh Romo Magnus-Suseno mengatakan bahwa manusia terlahir
dilengkapi dengan suara Tuhan yang berbentuk hati nurani. Menarik bukan? Segala pertentangan
dan perdebatan mengenai bagaimana mekanisme kesadaran kekuatan yang berasal dari dalam
diri manusia berada di atas voluntarisme. Konsep kedua: determinisme, Konsep superego
ekuivalen dengan konsep mengenai masyarakat. Manusia dibentuk oleh faktor dari luar dirinya
dalam hal ini masyarakat. apa yang bisa kita ekstrak dari masyarakat? yups betul, struktur,
fungsi, dan pola. Bagi saya, ketiga hal tersebut atau modus apapun yang masyarakat lakukan
untuk mengontrol manusia yang ada di dalamnya terkadang begitu absurd, sulit betul untuk
dipahami, abstrak, dan tak jarang seperti keajaiban. Tak terlihat, terasa, terdengar, kontrol
tersebut saya pikir hanya berwujud dan termanifestasi dalam tulisan-tulisan dan batasan ilmu
pengetahuan. Ini tantangannya, ini hal menariknya. Tak pelak, Adam Smith harus menamai salah
satu konsep mengenai penggerak masyarakat ini dengan nama “The Invisible Hands” karena yah
barangkali memang ia ghaib. Sampai sini belum paham maksud saya kan yah? Contoh lainnya,
salah satu cabang pemikiran berpendapat di dalam kelindan dan tumpukan barang-barang ghaib
tersebut barangkali ada satu hal yang terasa menyembul begitu saja dan hadir dimana-mana:
permainan kuasa yang melahirkan represi dan penderitaan dan disebabkan oleh konflik antar
kelas karena ketimpangan kepemilikan faktor produksi. Terlihatkah ia? Tidak tapi rasa tertindas
tidak pernah berbohong. Betulkah? Sedikit puas dengan unek unek paradox ini. terserahlah

Kronoskopik dan kronologis


Kemajuan teknologi dan kecepatan transmisi informasi, by instance, dapat kita katakan sebagai
faktor yang paling berpengaruh untuk melihat lansekap dunia yang tengah kita persepsi.
Berangkat dari situ, kita sebagai being dan ontologi waktu sebagai elemen didalamnya tengah
terus dibentuk lewat berbagai modus dan cara. Faktor kecepatan transmisi informasi mendorong
banyak sekali terjadi perubahan. Beberapa yang pernah saya bahas diarena tertutup tentang
common sense, naiknya common sense, berubahnya ilmu pengetahuan, dan matinya metode-
metode lama nan kolot. Khusus untuk hal terakhir, fenomena tersebut diberi nama yang lebih
mentereng: disrupsi; suatu istilah yang digunakan dan merujuk kepada runtuhnya sistem lama
secara cepat dan total untuk digantikan dengan sistem yang lebih baru. Tidak ada yang spesial
dari istilah itu sebenarnya. Francis Fukuyama telah menerbitkan buku dengan nomenklatur judul
‘The Great Disruption’ pada dekade 1990-an. Sebelumnya, pasca (post) modernisme naik untuk
menggantikan modernisme yang menggantikan proyek pencerahan yang menggantikan abad
kegelapan yang menggantikan era klasik dan seterusnya-dan seterusnya. Proses pembaruan
tersebut telah ada dan menempel begitu kuatnya seiring gerak sejarah. Apa yang
membedakannya adalah faktor pendorong dan durasi penggantiannya. Ah, durasi, disini lah
ontologi waktu berperan. Saya tidak suka menggunakan istilah era disrupsi. Disrupsi bagi saya
analog dengan pembatas buku yang berada diantara bab-bab tertentu namun bukan bab itu
sendiri; ia adalah fenomena yang bertugas menggantikan suatu paradigma bukan paradigma itu
sendiri. Semisal kita membai’at disrupsi sebagai istilah untuk era ini maka bisa katakan bahwa
gerak sejarah kemudian akan mati. Semisal ada paradigma yang sesuai pada era ini itu adalah
paradigma dromologis. Paradigma tersebut hadir sebagai reaksi terhadap reaksi ontologi waktu.
Kita tahu bahwa secara eksistensial, sang being tak bisa dilepaskan dari keberadaan waktu (juga
ruang (world). Ontologi ‘berada’ adalah ontologi waktu. Dengan masuknya berbagai campur
tangan teknologi, waktu kini berubah menjadi begitu anehnya. Kini waktu adalah benda asing
dan tak ubahnya hibrida yang tidak dapat kita kenali lagi. Dulunya ia merupakan pribadi yang
lurus, ajeg, dan begitu statis. Kini, sang waktu agaknya berubah menjadi galau persis seperti
remaja puber yang menyadari keberadaan sesama jenisnya. Ia berubah begitu cepat dari sosok
yang kadang pemurah, kadang egois, kadang lentur, kadang kaku. Lewat proses pembentukan
dan perakitan kembali waktu, kita kini secara sederhananya memiliki waktu yang terkena
penyakit bipolar: waktu yang kronologis dan waktu yang kronoskopis. Waktu yang kronologis
adalah sahabat lama kita. Ia adalah waktu yang diatur lewat mekanisme alam dan gerak semesta.
Waktu siang adalah waktu bilamana ada matahari sedangkan waktu malam adalah bilamana
terdapat bulan. Waktu menanam adalah musim semi sedang waktu bersembunyi adalah saat
musim dingin. Waktu kronologis penurut dan tunduk pada berbagai aturan yang ada di dunia.
Manusia kemudian menjadikannya sebagai acuan dan mengikutinya dengan patuh di belakang
demi keteraturan. Waktu kronoskopis adalah newborn. Ia anak kemarin sore namun memiliki
kekuatan yang mengerikan. Waktu kronoskopis mengatur mekanisme alam. Darinya kita
memotong jarak (teknologi transportasi), mempercepat proses (katalisator), dan mengakselerasi
informasi (teknologi informasi). Ia sungguh nakal dan tidak mau tunduk di bawah pengaruh
mekanisme alam semesta. Ia dilahkirkan dari pikiran manusia dan kemudian membantu manusia
untuk membentuk kembali dunianya. Manusia juga yang kemudian pada akhirnya
menggunakannya sebagai sarana untuk menaklukan dunianya. Barangkali karena ontologi waktu
telah berubah dan memicu munculnya waktu yang kronoskopis, manusia dan alamnya berada
dalam kondisi yang tak seimbang. Kini segalanya tunduk dihadapan manusia dan berfungsi
hanya sebagai pemuas birahi kerakusan kita manusia. Barangkali lewat dirusaknya tatanan
waktu, kita juga berubah menjadi begitu pongah. Tak heran, sang Ada dan waktu adalah entitas
dua dalam satu. Dualitas.
Saya ga mau nulis tentang ini sebenarnya tapi sudahlah.

Body
Baik, akhirnya saya menemukan topic yang cukup menarik dan aman untuk dibahas. Setelah
berhari-hari terpuruk dikepung tugas kampus dan sedikit bermain game yang menjemukan, saya
pikir menulis (selain nonton anime tentunya) menjadi sarana pelampiasan yang menyenangkan.
Dan kali ini apa yang menjadi topic pemikiran saya adalah soal tubuh. Sebelumnya saya
mencoba membuat tulisan mengenai relasi antara seksualitas dan agama namun urung saya
selesaikan karena tulisannya berantakan. Entah bagaimana, belakangan pikiran saya dipenuhi
kekacauan dan abstraksi sehingga sulit menuliskannya. Penasaran saya arsipkan dalam Instagram
saya, Hal itu tentu saja begitu menyebalkan dan mengganggu. Sebagai disclaimer, saya tengah
menikmati gaya tulisan ofensif dan sarkastik. Sedapat mungkin saya akan bermain aman di
tulisan ini untuk tidak memicu ketegangan dengan teman-teman pegiat feminitas dan kesetaraan
jender yang masih saya anggap sebagai barisan pegiat paling galak. Tidak mungkin
mendiskusikan tubuh tanpa membawanya ke ranah jender. Untuk amannya, sedapat mungkin
saya mencoba berimbang, alih-alih netral dalam memaparkan studi kasus jender. Bagi Anda yang
sudah merasa tidak nyaman, dengan senang hati saya sarankan untuk berhenti saja. Baik kita
mulai, tidak terlalu panjang juga kok. Kita tahu atau bila Anda belum tahu, maka mari kita
sepakati bersama dulu. Tubuh merupakan objek kekuasaan, kepengaturan dan politik yang
empuk. Dalam ranah publik, tubuh ditempa, dibentuk, dipahat, dicincang, diubah warnanya,
diraba, dieksploitasi dan dikomodifikasi. Artinya, tubuh merupakan arena yang sangat panas
tempat aktor-aktor bertarung untuk kapital yang mereka miliki. Industri yang berkenaan dengan
tubuh merupakan industri yang sangat besar. As the beauty matters, industri kecantikan termasuk
salon, produk perawatan tubuh, jasa dandan, hingga fashion menjadi industri-industri yang
sanggup menandingi sektor energi. Sebelumnya, saya pikir penting untuk membedakan antara
tubuh (body) dengan jasad (corpse). Jasad adalah kumpulan daging dan tulang Anda an sich yang
tersusun hanya secara morfologis dan fisiologis; das sein. Sedangkan tubuh adalah kumpulan
daging dan tulang Anda yang dibentuk dan dipersepsi; das sollen. Sebagai suatu das sollen, maka
dalam persepsi masa kini, tubuh diangkat tinggi ke dalam ranah-ranah simbolik di ruang publik.
Sebagai suatu konsepsi simbolik yang termasuk sebagai fakta sosial dalam pendekatan
durkheimian, maka, menurut Amir Pialang, tubuh tak lepas dari agenda-agenda perubahan sosial.
Tubuh berevolusi sesuai dengan tuntutan zaman. Tubuh pada masa prasejarah, masa sejarah, dan
post-sejarah memiliki bentuk yang berbeda-beda. Selain berevolusi, tubuh juga memiliki
perbedaan di tempat dimana dia tumbuh. Tubuh di Afrika akan berbeda dengan tubuh di Asia dan
tubuh di Amerika. Kita kembali ke premis utama bahwa tubuh adalah milik domain simbolik.
Domain simbolik berada di jagat idea yang abstrak dan sangat lentur. Dunia abstrak-idea
manusia adalah dunia yang penuh dengan perubahan. Perubahan yang terjadi bisa sangat radikal
dan terjadi dalam skala waktu yang sangat singkat. Tak pelak mereka yang senang berada di
dunia idea atau la la la land menurut beberapa orang adalah orang yang tersiksa karena dituntut
berubah dengan selalu cepat. Ini kawan-kawan, sangat melelahkan. Konsekuensi hal tersebut
terhadap tubuh adalah tubuh juga berubah dengan begitu cepat, persepsi kita tentang tubuh tidak
ajeg dan berubah-ubah sesuai dengan kondisi struktur-struktur di sekeliling kita. Perubahan-
perubahan yang terjadi tersebut bukannya tanpa tujuan. Setiap ideologi yang menjadi landasan
perubahan memiliki tujuannya. Agenda perubahan tubuh adalah demi memenuhi hasrat (desire)
manusia atau menurut Baudrillard, tubuh dirancang menjadi agen penggoda (seduction). Dengan
bertolak dari hasrat, kita bisa merekayasa perilaku manusia-manusia. Ini dipahami betul terutama
oleh rezim kapitalistik yang sangat getol dan memiliki perhatian sangat besar terhadap tubuh.
Melalui hasrat, mereka mendorong konsumsi dan penjualan barang-barang. Bagi wanita, produk
kecantikan dan kosmetik menjadi komoditasnya sedangkan bagi pria prostitusi dan pornografi
menjadi komoditasnya. Agen penggoda ini yang menjadi sebab-musabab tubuh dianggap sebagai
hal yang berbahaya. Secara das sein, nothing is wrong with the body; it’s all on your mind kalau
kata Anggun C. Sasmi. Namun kita tidak bisa menjadi naif dan menganggap bahwa tubuh berada
dalam ruang kosong sesuai dengan apa yang ia miliki (fenomenologi tubuh rasa-rasanya cocok
buat menjelaskannya). Semua tubuh akan menimbulkan intensi dan tidak hanya terbatas di ranah
hasrat seksual. Nothing is wrong with our and our mind as well, it’s all on capitalist Kini kita
bicara mengenai tubuh yang ofensif. Tubuh dengan segala relasi dan atributnya adalah candu.
Bagi Anda yang belum pernah mengalami pengalaman seksual tentu agak kesulitan memahami
hal ini. saran saya, cari lah pengalaman itu. Tidak sepakat? Tentu saja, itu lah titik dimana pikiran
etis kita membentengi kita. Pengalaman seksual ditancapkan dari awal hanya boleh dan hanya
boleh didapat di dalam institusi perkawinan. Di luar institusi itu, haram sangat hukumnya,
perzinahan yang berujung kepada hukuman mati. Dalam konteks Foucaultian hal ini tentu saja
menarik. Kita dapat melihat bagaimana pengaturan tubuh menjadi counter-culture yang garang di
awalnya namun melempem pada akhirnya. Contohnya saja: jilbab. Jilbab yang merupakan sarana
penjaga aurat tubuh yang digdaya kini diserap dan digeser fungsinya. Masih sering saya jumpai
anekdot bahwa “kamu kalo berjilbab tambah cantik loooh” sebagai pembenaran dalam upaya
mengajak seseorang berjilbab. Ini aneh, bahwa seharusnya orang yang berjilbab harusnya ingin
tampil lebih jelek bukan agar hasrat orang terhadapnya menjadi berkurang. Emang gue gila ya
lanjut saja lah. Dalam industri fashion ini menjadi hal yang perlu diperhatikan. Kita diajarkan
bahwa salah satu fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat dan tubuh. Namun kini, menurut
Marshall McLuhan, pakaian dan juga seluruh alat-alat di era postmodern ini tak lebih merupakan
ekstensi organ tubuh kita. Pakaian merupakan ekstensi dari kulit kita. Ia hadir memang untuk
menutup aurat namun malah menimbulkan hasrat yang lebih hebat lagi. Ia seringkali malah
mengamplifikasi kadar seksualitas dari tubuh. Dengan melihat intensitas kepengaturan tubuh
yang penyalahgunannya (termasuk seks di luar nikah atau zina) dapat berujung kepada hukuman
mati kita perlu bertanya-tanya bahwa kadar tubuh adalah sebesar kadar hidup itu sendiri. Mereka
yang menyalahgunakan tubuhnya tidak pantas hidup. Saya tidak mau mengelaborasi hal ini lebih
jauh, saya hanya mau menunjukan dalam konteks pemahaman masyarakat, tubuh memiliki peran
yang sangat vital dan krusial. Saya pusing, jadi mau saya sudahi saja tulisan ini. Saya termasuk
dalam golongan yang tidak mempermasalahkan bagaimana seseorang mengatur dan
mendayagunakan tubuhnya. Kesadaran akan tubuh adalah kesadaran akan diri Anda sendiri.
Anda bebas saja memandang tubuh Anda dan meletakkan kehormatan Anda didalamnya atau
Anda bisa serampangan menggunakan tubuh Anda atau bahkan mengobralnya. Setelah Anda
mendapatkan kesadaran mengenai tubuh Anda, segeralah mencari pengalaman seksual agar
penghayatan Anda terhadap tubuh Anda mencapai penghayatan yang sempurna. Menikahlah!
Atau tidak juga tidak mengapa.

Kasih judul
Saya merasa bahwa kini seluruh elemen kehidupan semakin terfragmentasi. Mereka terpecah
belah, saling tercerabut, terputus, dan mengosongkan. Celakanya, elemen-elemen tersebut
kemudian terjeblos ke dalam nuansa kompetisi yang jelas saja saling mencurigai dan tidak saling
mempercayai. Dan apa yang tengah menjadi perhatian saya beberapa hari belakang ini adalah
mengenai tercerabutnya ilmu pengetahuan dari kehidupan praksis manusia. Fokus saya tersebut
bukan muncul dari ruang kosong. bagaimana ilmu lingkungan (dan ekologi) tidak lagi dapat
dilepaskan dari konteks politik. Bicara ekologi, maka kita bicara soal politik. Adalah Tim Forsyth
yang menelurkan paradigma demikian. Di tengah semakin kompleksnya permasalahan
lingkungan, maka ekologi dan ilmu lingkungan tidak cukup hanya bermain di zona amannya.
Zona aman tersebut adalah kungkungan normative-protokoler. Dalam contoh ilmu lingkungan,
praksis utamanya adalah konservasi. Dan lucunya, praksis konservasi tersebut mulai melantur ke
kanan ke kiri dan semakin menjauh dari praksis itu sendiri. Konservasi, kini hanya semata-mata
menjadi jargon dan simbol semata. Akibatnya adalah struktur praksis tersebut menjadi acak adul.
Konservasi tidak lagi menjadi praksis-epistemologi yang berujung kepada emansipasi, melainkan
malah menjadi tujuan. Untuk mencapai tujuan konservasi, maka praksisnya kini hanya berkisar
di retorika reboisasi dan penanaman kembali. Hoaaaam, saya bukannya tidak sepakat, namun di
tengah kemelut permasalahn lingkungan yang begitu mbulet ini, upaya reboisasi dan penanaman
kembali atau seluruh jargon konservasi yang ada di jalanan terasa tidak nyata dan hanya basa-
basi belaka. Yang diperlukan untuk itu adalah pendobrakan. Dan saya percaya bahwa
pendobrakan, revolusi dalam praksis sehari-hari dimulai dari revolusi dalam sains. Kita melihat
di abad ke 15 bagaimana sains mengobrak-abrik tatanan teokratis dan hegemoni institusi agama.
Kita melihat lagi di abad 18 sains kembali menunjukan supremasinya dengan menjungkirbalik
tatanan masyarakat lewat revolusi industri. Dan di abad 21 ketika fisika kuantum menancapkan
relativisme, at its finest. Untuk itu, dalam menghadapi permasalahan lingkungan, ilmu
lingkungan harus melakukan revolusi dalam tubuhnya sendiri secara terus menerus. Ia harus
berlari sekencang inovasi dan seluwes manuver kapitalisme jika masih mau menjadi mercusuar
bagi permasalahan lingkungan yang ada. Bersediakah kita? Saat ini, para akademisi sibuk
berdebat entah apa. Mahasiswa juga tidak jelas arah pergerakannya. Mahasiswa terkontaminasi
dunia perbisnisan titik focus bukan give tapi take, unit kegiatan mahasiswa tidak laku, research
week tak ada peminat, pameran buku tak meledak (ramainya kalau pas di job fair aja). Dan di
tengah arus kapitalisme-neoliberalisme yang menjadi terdakwa utama dalam kasus kejahatan
lingkungan, para akademisi ini bak orang bingung; tertatih-tatih menjelaskan kondisi. Anehnya,
keadaan tersebut disadari betul namun tidak ada upaya nyata untuk mengantisipasinya.
Akademisi begitu nyaman berlindung dalam kidung moralitas bebas-nilainya. Bahwa sains tidak
butuh intensi dari peneliti. Netralitas adalah solusi untuk mencapai kebenaran absolut. Selama
sains dan saintis bungkam, selama itu dunia hanya jadi bulan-bulanan. Knowledge is power. Dan
sungguh menyiksa untuk hanya membaca berbagai kasus ketidakadilan lingkungan dan berbagai
teori yang menjelaskannya secara berbunga-bunga di balik dinding rumah yang aman dan
nyaman. Disatu sisi saya juga malu hanya menulis sampah sampah seperti ini kedepannya belum
punya judul mahasiswa ini.

Love
Salah satu tempat nongkrong yang asik ketika saya mengobrol Bersama om David dan bang
Alvin disalah satu tempat dibogor pada malam itu kita berdiskusi tentang sesuatu yang terampil
untuk dituliskan hehe oke langsung saja mari kita mulai dari premis yang sederhana ini : hanya
orang yang sedang jatuh cinta yang terus-menerus mempertanyakan perihal cinta. sayangnya
saya tidak sedang jatuh cinta pun tidak mempertanyakan cinta, tapi sedikit baiklah kalo ditulis
sedikit diarena tertutup ini. ada tiga jenis cinta sih, itu loh yang eros, agape, atau philia (untung
ada orang yunani yaa) Tapi buat saya (mulai berat nih) cinta adalah suatu proses. Sokrates yang
ganteng punya istri, Xantipphe yang jelek, kampungan, judes, ketus, dan lain sebagainya.
Bayangkan! Seorang sebesar sokrates! Apa komentarnya tentang istrinya? saya sedang melatih
kesabaran saya mungkin karena itu juga dia bilang : unreflected life is not worthy to be living
atau mungkin memang nasib pemikir besar semacam itu ya. bagaimanapun dari dua premisnya
diatas, saya mengartikan bahwa cinta, menurut Sokrates adalah sebagai refleksi dari hidup.
sedikit memodifikasi semboyan aufklarung punya Kant : amore aude! cintailah sendiri! maksud
saya, kayaknya kalo terus-menerus memakai gaya cinta ala masa kini yang ngegalau terus
nungguin yang sedang dicintai itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Cinta sebagai refleksi
adalah proses pemurnian terhadap jiwa yang sedang mencinta. Purgatori untuk membantu
menemukan jawaban siapa saya? mengapa saya disini? Sehingga dalam mencintai,
berorientasilah terhadap cintamu, bukan terhadap balasan cintamu. Kalaupun memang dibalas,
itu sih bonus buat saya, hehe. Percaya deh, dalam mencinta jiwa kita sedang dimurnikan,
ditempa, dibentuk untuk menjadi sempurna, mendekati sang kreator. Mengutip kata-kata entah
dimana, mereka yang mencinta adalah mereka yang dekat dan mengenal Tuhannya. Di dalam
cinta kita akan menemukannya, menemukan diri kita. Berikutnya, malah usaha-usaha untuk
mendapat balasan cinta itu yang menghambat kerjanya cinta bagi diri kita sendiri. Sibuk
memikirkan balasan, ngegalau, cemburu, hehe, hal-hal demikian yang mengotori jiwa kita yang
sebenarnya sedang dimurnikan itu. efeknya? tentu saja pemurnian jiwa akan melahirkan
penderitaan. Lebih parah lagi, penderitaan dalam kesepian. Mencintai sendiri untuk ukuran
konvensional adalah kebodohan absolute. Ya, kebodohan. Siapa yang bersedia hanya memendam
perasaanya, menelan pil pahit setiap kali yang dicintai tak memberi perhatian atau lebih parah
lagi, memberi perhatian tapi bukan kepada yang mencintainya itu, duh, periiih gusti. Ya betul,
tapi itu KONVENSIONAL. Sekali lagi saya perlu tekankan bahwa refleksi dalam rangka
pemurnian adalah berarti menderita (tambahan : dalam kesepian). Namun pada gilirannya nanti,
cinta tersebut akan murni, bersih, tulus, dan sempurna. Ia dibakar dalam penderitaan untuk
mendapatkan bentuk terindahnya, dikurung dalam kesepian agar tidak tercemar dengan
kesesatan galau sesaat, dan ditempa dalam tekanan jiwa, singkatnya dimurnikan. maka itu
tetaplah mencintai dalam diam Nah, sebagai sesuatu kekuatan juga, cinta akan saling tarik-
menarik kok. Jadi jika memang cintamu dibalas, mes-ta-kung, semesta mendukung. Saya pikir
Tuhan juga tidak akan membiarkan dunia ini kehilangan cinta antara dua insan karena cuma
perkara nasib deh. Jadi, tetaplah pada cintamu, dia yang akan menunjukan arahnya. nah, soal
Sokrates yang mencintai Xanthippe, ummm, walahualam deh.

Refleksi.
Zaman sekarang ini koruptor sangat merajalela bagaimana dengan nilai - nilai mereka? yang
mempunyai kedudukan, pemangku kekuasaan dan orang yang berpendidikan tidak memiliki
pegangan nilai – nilai yang bermoral, yang selayaknya akal sehat mereka terjaga. dari pada orang
yang menulis lepas ini. saya mencoba refleksikan dengan perjalanan filsafat, Perjalanan filsafat
tentunya memiliki tujuannya setelah mencari hakikat keberadaan dalam ontologi, menggunakan
jalan epistemologi serta mendapatkan arti nilai suatu pengetahuan melalui aksiologi, maka
filsafat mencapai tujuannya pada teleologi. Dicermati dari makna etimologi, teleologi terdiri dari
dua kata teleo (tujuan) dan logos.(ajaran). Perenungan filsafat mendapati tujuannya pada arti
eksistensialisme, fenomenologi, dan nihilisme. Mari kita bongkar satu persatu apa yang bisa
didapatkan dari energi tersebut dalam memahaminya dizaman sekarang, kita barangkali tidak
harus terbatas oleh keterbatasan, meski keterbatasan tersebut setiap orang memilikinya hanya
karena niat dan rasa ingin tahunya yang terbatas. Mari pelan pelan saja seperti itulah adagium
dari arena tertutup ini, coba refleksikan. eksistensi merupakan suatu perwujudan tentang apa
yang tampak, sesuatu yang dikatakan ada bila telah berbentuk dan bisa ditangkap oleh panca
indra manusia. Sesuatu yang secara metafisik ada tidak dan belum tentu ada, bila belum
dinyatakan ada dalam eksistensi. Adagium yang menyatakan “every is exist in number”, yang
berarti setiap yang disebut ada itu harus ada dalam lingkaran angka, jumlah, bisa dilihat,
disentuh, didengar, diukur dan dihitung. Keberadaan sesuatu dalam bentuk ide atau pemahaman
akan dikatakan eksis bila telah diucapkan, dituliskan dan dinyatakan dalam kenyataan yang
berbentuk fakta. Eksistensi memiliki arti “sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaanya” atau
sesuatu yang mampu melampaui dirinya sendiri” dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak ada
sesuatu pun yang existere, selain manusia. Hanya manusia yang sanggup keluar dari dirinya,
melampaui keterbatasan biologis, lingkungan fisiknya, berusaha untuk tidak terkukung oleh
keterbatasan yang dimilikinya. Tokoh tokoh pencetus eksistensialisme ini antara lain, kiekegaard,
nietszhe, dan Sartre sebagai referensi saja saya tidak akan menguraikan hal itu disini. Kemudian
Fenomenologi, fenomena dikenal sebagai metode yang mengajak kesadaran kita kembali kepada
objek itu sendiri. Istilah fenomenologi berasal dari kata phenomenon dan logos. Fenomena
sendiri dimengerti sebagai sesuatu yang menampakan dirinya dalam bentuk manifestasi kepada
kesadaran. Fenomenologi membatasi dalam bentuk kejadian, peristiwa dan kejadian, peristiwa
dan kenyataan yang didapat dari hasil pengamatan manusia dalam dunianya. Hubungan manusia
dengan dunianya laksana tubuh dan jiwa, dimana dunia tempat manusia tinggal digerakan oleh
manusia yang berperan sebagai jiwa. Dalam hubungan manusia dengan dunia dikehidupan
sehari-harinya. Manusia berinteraksi dalam dunia sebagai ruang geraknya. Hubungan keduanya
adalah saling ketergantungan (inter dependensi). Manusia bersifat independen dalam bertindak
dan berfikir, namun dalam kebebasannya itu terdapat ketergantungan dengan dunianya. Tokoh
utama dalam fenomenologi adalah Edmund Husserl, diikuti nietszhe. Kemudian nihilisme.
nihilisme memahami dan menerapkan dirinya sebagai sesuatu, bukan lagi sebagai suatu
perenung tentang adanya sesuatu, tetapi kesadaran keberadaan dirinya, dunianya, tuhannya,
ruang dan waktu yang melingkupinya. Nihilisme merupakan pemahaman dalam lingkaran waktu
yang ada selain dari hal itu maka yang ada kosong belaka, nihil. Keberadaan diri, alam, tuhan
seutuhnya Bersatu dalam lingkaran waktu, yang berarti dalam kekosongan. Untuk mengisi
kekosongan itu maka diletakanlah manusia didalamnya. Tuhan sebagai penciptanya dan alam
sebagai refleksi diri untuk memahami semua. Apa yang disebut dengan masa lalu dan apa yang
disebut dengan masa depan? Semua tidak terdefinisi jika besok saya akan membayar hutang,
maka nilai tadi tidak berarti besok lagi. Tapi sudah saat ini. Tokoh utama dalam nihilisme yaitu
nietszhe, ia mempertanyakan kebenaran absolut dari semua keberadaan dan semua nilai,
menurutnya akan datang suatu masa dimana manusia tidak lagi mengakui keberadaan nilai dan
kebenaran-kebenaran tidak ada yang bersifat absolut, kebenaran yang absolut telah mati dalam
keberadaan manusia sebagai penilai yang menetapkannya. Apalagi semua nilai itu datangnya dari
atas (tuhan), hanya diyakini, bukan kebenaran yang dicari. Waduh saya merefleksikannya terlalu
jauh ya oke lanjut. Itu hanya suatu pengantar bagaimana saya sedikit mengerti tentang hukum
dijaman saat ini, tentang korupsi. saya mencoba merefleksikan hal tersebut. Ringkasan nietszche
sebagai berikut. “Nihilisme radikal adalah keyakinan bahwa secara mutlak eksistensi tak dapat
dipertahankan lagi, bila hal itu menyangkut nilai-nilai tertinggi yang diakui oleh manusia, dan
ditambah lagi dengan pemahaman bahwa kita tidak lagi mempunyai hak sedikitpun untuk
menyatakan ciri diseberang (jenseit) dan pada dirinya (an sich) dari segala sesuatu seolah-olah
bersifat “ilahi” atau merupakan moral yang menjelma”. Pada kenyataan dewasa ini, ramalan
nietzshe itu semakin mendekati kebenaran. Bahwa runtuhnya nilai-nilai yang selama ini diakui
dan diagung-agungkan manusia. Bahkan, yang meruntuhkannya justru orang-orang yang
mempunyai kedudukan sebagai pemegang kekuasaan dan mempunyai Pendidikan yang tinggi.
Artinya dekadensi nilai sedang terjadi saat ini. Coba kita refleksikan. Maraknya korupsi yang
dilakukan oleh orang–orang yang seharusnya menjaga nilai–nilai kejujuran dan pengabdian,
bahkan ketiga pilar demokrasi, legislatif, eksekutif dan yudikatif telah bahu membahu
melestarikan korupsi. Inilah nihilisme yang dikhawatirkan nietszche, untuk itu kita tidak boleh
tinggal diam memberikan keruntuhan nilai ini, kita harus melakukan pembalikan semua nilai.
Korupsi bukanlah kejahatan biasa, pembalikan nilai untuk kejahatan korupsi adalah penyakit
jiwa, bukan kejahatan. seorang koruptor adalah orang yang sedang sakit jiwa. Oleh karena itu
penjara bukan tempat yang tepat bagi koruptor. Mereka harus dimasukan kerumah sakit jiwa.
Koruptor adalah orang yang berpendidikan, orang yang cerdas, mereka mengetahui semua nilai–
nilai, mereka bermartabat, hanya saja mereka sedang sakit jiwa. Mereka orang kaya, orang yang
berlebihan tidak kekurangan sesuatu apapun secara ekonomi, bahkan hidup mereka bermewah-
mewahan, alasan satu satunya jiwa mereka sedang sakit. Seorang koruptor tidak bisa disamakan
dengan pencuri ayam motif dan alasannya berbeda jadi hukuman nya juga harus dibedakan.
Faktanya diindonesia yang koruptor dipenjara, dan mewah juga fasilitasnya ahh refleksikan hal
itu sungguh memuakan biar saya aja yang dipenjara oleh desakan ekonomi ini. Saya dari dulu
tidak ingin dikenal sukses dengan kemewahan, dan berlebihan nanti saya sakit jiwa “satire” tapi
menjadi orang yang bernilai ahh refleksikan hal itu sudah ahh refleksinya. Saatnya nongkrong
dikantin kampus.

Tetanen

Bahasan utama dalam tulisan ini adalah apa yang mendasari sebuah kebudayaan atau peradaban.
Jawabannya tentu lah banyak dan beragam dan semuanya dapat dikategorisasi sesuai dengan
konteksnya: bahasa, cita-cita bersama, ideologi, keinginan berkuasa, pengelolaan sumberdaya,
agama, dan sebagainya. Tak perlu dibahas satu per satu, ini bukan tempat untuk mebahas soal
teori-teori kebudayaan. Meskipun demikian, dari berbagai hal tadi ada satu aspek yang saya pikir
menarik untuk disoroti pada tulisan kali ini karena ia terasa sekali esensial: perkara makanan.
Makanan, mau dibolak balik dan dilihat dari berbagai perspektif tidak dapat disangkal
merupakan bahan dasar pada makhluk hidup. Sebagai organisme, kita mendapatkan energi untuk
melakukan ini itu darinya. Cukup lah saya singkat dalam kalimat bahwa tanpa adanya makanan
maka tidak akan ada kehidupan. Premis yang nyaris tidak terbantahkan. Sebab itu, urusan
makanan menjadi salah satu fondasi dalam kehidupan manusia. Makanan dan berbagai aspek
turunannya menjadi kerangka utama dalam pembentukan kehidupan manusia semenjak awal
manusia mendapatkan kesadarannya hingga di era pasca kebenaran ini. ia menjadi sentra dari
berbagai manuver dan proses perakitan kembali kehidupan manusia baik sebagai individu
maupun sebagai masyarakat. sebagai fundamen, ia merupakan infrastruktur yang darinya
manusia mengembangkan berbagai instrumen dan elemen-elemen kebudayaan. Secara empirik
maupun simbolik makanan dipuja-puji. Mari kita tengok sejenak perjalanan manusia sebagai
makhluk berkesadaran dan berbudaya di jagat semesta ini. Seiring perkembangan waktu,
menurut Jared Diamond, terdapat dua lompatan besar perkembangan manusia. Lompatan
pertama adalah ketika manusia mengalami perubahan anatomi dengan membesarnya rongga
kepala dan mendapatkan kemampuan kognitifnya untuk belajar dan menggunakan alat baik dari
tulang maupun bebatuan. Sesuatu yang kini tengah dialami oleh spesies seperti simpanse dan
gorila dimana kedua spesies tersebut dilaporkan telah memasuki zaman batu. Apabila
sebelumnya para primata tersebut menggunakan peralatan seperti cabang pohon dan rumput
sebagai alat untuk menangkap semut di sarangnya, kini mereka menggunakan peralatan dari
batu. Sesuatu yang menggembirakan sebenarnya, saya tidak sabar untuk melihat mereka
berkembang dan menemukan konsep ketuhanan dan agama. Semoga saya diberi kesempatan
mengetahuinya. Lompatan besar kedua adalah ketika manusia berhasil mengembangkan sistem
pertanian dan secara radikal mengubah cara produksi makanan mereka. Proses tersebut secara
nyata dan radikal membentuk manusia seperti yang kita lihat kini. Lewat proses pertanian,
manusia setidaknya dapat berkumpul di suatu tempat dalam masa yang relatif lebih lama.
Demikian sehingga masyarakat yang tumbuh dan berkembang dapat terbentuk. Merujuk pada
perkembangan masyarakat organik seperti yang dijelaskan Spencer, semakin banyak anggota
masyarakatnya maka masyarakat yang terbentuk juga akan semakin kompleks. Dari
kompleksitas tersebut kemudian kita menemukan salah satu warisan terbaik untuk dunia pada
masa modern: pembagian kerja. Selain perkara kumpul-kimpul dalam suatu lokasi, pertanian
memberikan perubahan dalam bentuk lain: kuantitas dan kualitas yang dapat diproduksi. Lewat
pertanian dan budidaya, untuk pertama kalinya manusia dapat keluar dari batas subsisten dan
dapat memiliki kelebihan bahan makanan. Selain itu, karena tinggal pada suatu lokasi dalam
waktu yang relatif panjang, manusia dapat mengembangkan proses pengamatan terhadap
ligkungannya secara lebih seksama. Demikian sehingga, para leluhur kita memiliki pengetahuan
yang moncer dan penggunaan teknologi yang masif. Lewat jaminan ketersediaan pangan dan
pengelolaan masyarakat yang baik, manusia kemudian diberikan keuntungan lain: mereka dapat
berkreasi, berimajinasi, dan mengapresasi. Dari situ, mereka memiliki waktu untuk merenung
soal keberadaan mereka. Cukup selow untuk berandai-andai dan berimajinasi tentang Tuhan dan
segala mitologi untuk menjelaskan berbagai fenomena yang mereka jumpai di sekitar lingkungan
mereka. Sebagai turunannya, mereka berkreasi dan mencipatakan apa yang disebut sebagai
suprastruktur. Dan selanjutnya kita sudah tahu bagaimana ceritanya. Sekarang mari bergeser ke
kehidupan masa kini. Kita sudah jauh sekali meninggalkan leluhur kita yang membuka lahan
pertanian, menemukan sistem irigasi, dan menyiapkan segala upacara dan tradisi untuk
menyambut panen raya. Kebudayaan dan peradaban kita saya pikir sudah sedemikian majunya
sehingga untuk mendapatkan makanan, manusia masa kini cukup menjadi influencer di youtube,
selebgram, jualan agama, atau buzzer politik. Mari kita bandingkan dengan mereka yang berada
di garis terdepan produksi makanan atau mereka yang ada dalam garis subsisten dan self-
sustaining life dimana segala yang mereka lakukan semata-mata adalah untuk memenuhi
kebutuhan makanan mereka seperti para petani atau para leluhur kita. Sesuatu yang barangkali
akan sangat kita jumpai di masa kini karena kebutuhan manusia sekarang naudzubillah ribetnya.
Saya, sebagai contoh, berada jauh sekali di garis belakang untuk urusan bertahan hidup termasuk
mengakses makanan. Bila dirunut, saya barangkali berada di urutan sekian puluh dari jaring-
jaring mahabesar dan kompleks makanan yang ada di planet ini. Sedemikian jauhnya, saya tidak
bisa mengetahui siapa yang menyiapkan nasi di piring saya, bagaimana ia disiapkan, dan
bagaimana ia bisa berada dimana ia dibutuhkan (iya iya, saya tahu itu alienasi ala marxis, ga
usah teriak-teriak). Sedemikian jauhnya sehingga saya tidak memiliki kemampuan untuk
menyiapkan makanan bagi saya sendiri. Kapan pun saya lapar, saya tinggal meminta menyantap
segala makanan dengan berbagai varian yang tersedia. Sebagai kompensasinya, saya perlu
menukar apa yang saya miliki untuk mendapatkan makanan tersebut. Proses pertukaran
komoditas ini (iya iya saya juga tahu soal nilai tukar ala marxis) berlangsung di seluruh tempat di
dunia ini. Kembali masuk ke dalam lingkaran makanan sebagai infrastruktur dan fundamen,
segala yang saya lakukan dalam kehidupan sehari-hari saya, apapun itu pada akhirnya akan
kembali kepada urusan untuk mendapatkan makanan sebagai motivasinya, singkat kata, upaya
itu berubah menjadi keseharian dan kebiasaan harian yang terjadwal dan repetitif. Kebiasaan
tersebut menuntun kepada kepada perhitungan mendasar soal neraca energi yang kita gunakan.
Kita tahu bahwa energi yang kita konsumsi dalam sehari beratus-ratus lebih banyak dari yang
leluhur kita gunakan. Kita butuh transportasi untuk bergerak, listrik, pakaian, dan selfie2. Neraca
energi tersebut termasuk dalam pola makan dalam keseharian kita. Bertahan hidup di tengah
kemajuan pengetahuan dan teknologi seperti masa kini bukan lah suatu hal yang sulit.
Setidaknya, manusia kini dapat mencapai angka harapan hidup mencapai 70 tahun. Jauh
meninggalkan leluhur kita yang bercokol di angka 32 tahun. Konsekuensi terputusnya kita
dengan makanan kita karena kecukupan sama halnya seperti fenomena terputusnya kita dengan
makanan karena kita kekurangan: kita tidak peduli apa yang kita makan. Saya pernah menuliskan
bahwa kemajuan manusia sudah sedemikian pesatnya (kronoskopik kapital) sehingga, dalam hal
pangan, kini lebih banyak orang yang meninggal karena obesitas ketimbang kelaparan dan
kekurangan gizi (setidaknya begitu menurut Yuval Noah Harari). Diet makanan yang kita makan
sangat jauh dari kebutuhan yang sebenarnya karena kini segalanya tersedia. Selain jenis makanan
yang kita santap bentuk penyajian dan persiapannya pun bergeser jauh betul. Berbagai bahan
sintetis seperti penyedap, pewarna, dan pengawet berada dimana-mana sebagai bentuk jawaban
kita dari rasa fetish kita terhadap rasa di lidah. Saya belum menyebutkan fakta bahwa rasa puas
kita terhadap suatu makanan merupakan kombinasi berantai dan melibatkan seluruh panca indera
kita. Semakin maju suatu peradaban, maka urusan pangan akan semakin bergeser ke mulut
ketimbang ke perut. Kita tidak pernah merasa betul-betul lapar. Barangkali begitu sehingga kita
seringkali mengkonsumsi lebih dari apa yang seharusnya. Kita didorong untuk terus makan tanpa
pernah memperhatikan apa yang cukupnya. Kita mengambil terlalu banyak di piring kita untuk
kemudian tidak kita pertanggungjawabkan. Bagi saya ini penting karena yang perlu menjadi
perhatian utama kita dalam masalah overpopulasi. bukan lah terlalu banyak kebutuhan melainkan
karena ketimpangan dan ketidakadilan. Itu yang sedang coba saya perhatikan. Demikian
sehingga, cukupkan apa yang kita makan dan sekali lagi: perhatikan.

Love again
Mari lanjutkan bicara soal cinta lagi dan perasaan namun kali ini, saya akan mengambil sisi yang
berseberangan dari pandangan yang barangkali umum ada. Kita bicara soal relasi cinta dan
hubungan dalam perspektif kebinatangan atau lebih elok disebut pendekatan sosiobiologi. Saya
melihat salah satu video di kanal Sam O’Nella Academy di Youtube. Anda perlu melihatnya,
saya merekomendasikan kanal itu. Apa isinya? Di video tersebut, kita melihat apa yang disebut
sebagai sexual selection atau kita terjemahkan sebagai seleksi seksual. Entah mengapa saya
merasa istilah dalam Bahasa Indonesianya kurang seksi. Namun demikian, untuk menjaga
konsistensi berbahas dan mengamalkan konstitusi sebaik-baiknya, saya akan menggunakan
istilah tersebut. Saya cukup menyukai memandang suatu fenomena, terutama aspek relasi
seksual dan cinta-cintaan dalam perspektif sosiobiologis karena ia memandang jenis kelamin
berdasarkan aspek fisiologisnya sebelum akhirnya dikembangkan dalam konteks sosio-
kulturalnya dimana disini, gender sebagai konstruksi sosial yang dirasa represif boleh sedikit
diredakan porsi dan tekanannya. Emansipasi bisa kita bicarakan nanti sembari menelusuri kata-
kata di tulisan ini. Baiklah, kita tahu dan sadar bahwa dalam urusan cinta mencinta kita pasti
pilih memilih pasangan. Setidaknya sebagian dari kita yang menganggap bahwa urusan
reproduksi termasuk ke dalam ranah-ranah sakral dan juga berkelindan dengan otoritas tubuh.
Maka demikian, disini akan ada kelindan trialektik antara birahi – reproduksi – otoritas tubuh.
Ketiganya terangkum dalam suatu institusi matrimoni dimana, sebagai contoh, dalam domain
pernikahan yang baik, pernikahan ditujukan sebagai unsur rekreasi yang berkorelasi dengan
birahi dan prokreasi yang berkorelasi dengan reproduksi. Dua aspek tersebut merupakan fondasi
utama dalam integritas struktur bangunan pernikahan dan tidak boleh dilanggar. Kembali ke
permasalahan seleksi. Seleksi seksual juga berlangsung di dalam dua domain tersebut. Maka
demikian, ketika Anda memilih pasangan, Anda akan memilih pasangan yang:
1. Dapat menaikan birahi Anda. Hal ini akan sangat dipengaruhi oleh berbagai
pengalaman seksual Anda. Sebagai catatan, karena pengalaman awal seksual Ada
didominasi oleh orang tua Anda, maka tak mengherankan jika sebagian besar orang akan
lebih senang memilih pasangan yang menyerupai gambaran orang tua Anda di masa-
masa tumbuh kembang seksual Anda, terutama secara badaniah. Namun hal tersebut
bukan menjadi satu-satunya faktor. Seiring berjalannya waktu, kita digempur oleh
berbagai gambaran dan imaji soal seksi (aspek apapun yang menaikan libido kita) dan
demikian sehingga masyarakat dapat membentuk pemicu naiknya libido. Sebagai
gambaran, definisi kecantikan dan sensualitas yang berseliweran di berbagai media:
tinggi, putih, langsing. Ada cerita lain mengenai ini dan saya rasa saya pernah
menuliskannya juga. (arena tertutup belum)
2. Menjamin keturunan (offspring) Anda dapat bertahan. Barangkali di masa kini, seleksi ini
bisa disarikan lewat pertanyaan calon mertua: “anak elu mau elu kasih makan apa?!”.
Dalam konteks sosiobiologis dan fisiologis, dulu ketika sistem ekonomi belum sedemikian
berkembangnya sehingga dunia ini dikuasai oleh orang-orang cerdik dan licik,
kesejahteraan Anda ditentukan oleh tenaga manusia demikian sehingga, manusia yang
berbadan besar dan kekar lebih tampak meyakinkan untuk dapat menyediakan makanan
bagi Anda. Barangkali perspektif itu begitu kuat tertanam sehingga dimana-mana, imaji
mengenai pria yang seksi adalah mereka yang benderang ototnya. Sebelum akhirnya, posisi
mereka dikudeta oleh para ksatria bergitar. Well, thank you culture.

Maka demikian, jangan merasa bersalah jika Anda masih mempertimbangkan aspek fisik sebagai
kriteria dalam memilih pasangan. Hal tersebut sangat sesuai dengan bawaan kita sebagai
manusia. Dan bilamana ada tekanan dari masyarakat dan teman-teman sekitar karena Anda
memilih pasangan dari tampilannya, Anda bisa mencari hal ini atau itu. bagai saya pribadi, hal
tersebut sama tidak bermasalahnya seperti Anda memilih pasangan berdasarkan kekuatan
ibadahnya. Reproduksi: Investasi Pendidikan adalah investasi. Anak adalah investasi. Segalanya
adalah investasi. Anda butuh anak-anak Anda untuk merawat Anda saat hari tua nanti. Masuk
akal, sangat rasional. Maka demikian, untuk narasi ini saya juga akan mengembangkan seleksi
seksual dan memiliki anak dengan logika investasi. Seleksi seksual adalah upaya awal Anda
untuk menyediakan yang terbaik bagi Anak anda kelak. Dalam bentuk paling primodialnya,
setidaknya Anda akan butuh sperma yang baik jika Anda wanita dan para pria akan
membutuhkan wanita dengan tubuh yang mendukung janin Anda kelak. Keduanya kemudian
disatukan oleh kebutuhan akan seks yang nikmat dan memuaskan. Itu lah sebabnya, lagi-lagi
konstruksi tubuh berperan disini. Dalam konteks yang lain, ini sebenarnya cukup tidak
menguntungkan bagi wanita. Apa sebab? Wanita menginvestasikan lebih banyak dalam urusan
reproduksi sebab itu, mereka lebih selektif, terhadap hubungan percintaan, sebab itu mereka
lebih mudah dikecewakan dalam suatu hubungan. Terhubung bukan? Jahatnya, sistem sosial
yang patriarki kemudian merenggut otoritas wanita terhadap anaknya dan diserahkan ke domain
pria. Paling sederhana, anak Anda akan menyandang nama pertama ayahnya. Salah satu investasi
dalam reproduksi wanita adalah tubuhnya. Janin manusia akan berkembang di dalam tubuh
wanita dan pada masa-masa krusial semenjak bayi dilahirkan, ia akan sangat bergantung pada
ibunya. Maka tolong sayangi ibu Anda yang telah merawat dan melahirkan Anda, saya mohon.
Oh ya, itu sebabnya, pria akan memilih wanita dengan fisik yang mendukung dan meyakinkan
bahwa janin mereka akan tumbuh dan selamat. Wanita dengan ciri fisik seperti pinggul lebar
(dapat melahirkan dengan mudah) juga payudara besar (berkenaan dengan ASI yang diproduksi)
akan tampak lebih meyaknikan untuk urusan reproduksi dibanding yang tidak. Sebelum saya
dimarahi karena dianggap tidak peka, tolong camkan bahwa ini hanya tampaknya saja, pada
masa kini, kita tahu dan banyak sekali bukti bahwa bentukan fisik banyak tidak berkorelasi
dengan urusan reproduksi. Barangkali leluhur kita tidak mengetahuinya karena mereka hanya
melihat dan merasakan apa yang ada secara spontan saja. Dalam berinvestasi, kita tentu saja
harus memilih yang terbaik dan yang paling menguntungkan. Itu barangkali saya masih lebih
suka menginvestasikan waktu dan sumberdaya saya terhadap pendidikan dan keterampilan
dibandingkan dengan mengusahakan keturunan. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa
memilih pasangan termasuk ke dalam upaya investasi tersebut. Seleksi seksual, menurut Julian
Huxley (supaya ada otoritas ilmiahnya) terbagi menjadi apa yang disebut sebagai Epigamic
Selection dan Intrasexual Selection. Apa bedanya? Pada seleksi epigamik (atau seleksi
interseksual) seleksi didasarkan kepada kemampuan untuk saling menarik dan atraksi.
Barangkali contoh paling mengesankan (bagi saya) adalah upaya para Parotia untuk menarik
pasangannya lewat tarian. Anda, terutama para wanita, perlu sekali melihat kelakuan mereka
sekali saja dalam hidup Anda untuk mengetahui bagaimana memilih kualitas pasangan pria yang
atraktif. Seleksi intraseksual, secara sederhana adalah ketika para pria (atau dalam kasus tertentu,
para wanita) bertarung sampai mati merebutkan pasangannya. Dalam dunia manusia yang penuh
kelindan sosial-budaya, saya rasa seleksi intraseksual sudah tidak diminati dengan adanya
adagium semacam “move on aja udah, masih banyak ikan di lautan sana”. Demikian sehingga,
saya pikir seleksi yang ada di manusia lebih elegan ketimbang di hewan lainnya. Yah, para pria
atau wanita silahkan bersaing secara sehat untuk memperebutkan hati pasangan yang Anda
ingini, tapi kalau ga mau plis jangan dipaksa. Baik sekali adanya, saya puas melihatnya. Meski
demikian, kita pada beberapa kasus mengembangkan konsep seleksi menjadi sedikit nyeleneh.
Contohnya? Perjodohan. Manusia memang mengesankan.

Hukum Alam

Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia
berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala
sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan.(An-Naml [27]:88)
Saya memulai tulisan ini dengan sedikit banyak kegeraman yang menggumpal di kepala saya
dan mencoba menumpahkannya lewat jari-jemari. Sebab itu, barangkali Anda akan menemukan
bahwa tulisan ini kurang bernas karena bawaan emosi yang sedikit banyak mewarnainya. Ini
adalah tentang bencana yang lagi dan lagi, kembali, dan terus menerus menghancurkan dan
meluluhlantakan berbagai fungsi dan struktur kehidupan teman-teman dan masyarakat di
berbagai tempat. saya tidak bisa bernafas lega karena beruntun dan beturut-turut dibanjiri
informasi bencana yang bisa dikatakan menelan korban jiwa serta kerusakan yang besar pula.
Untuk awalan, izinkan saya, dengan segala kerendahan hati dan kesederhanaan mengucapkan
simpati dan mengirimkan solidaritas kepada mereka yang terdampak. Dalam hal ini, saya mau
mengajukan pertanyaan lain. Saya pikir narasi-narasi kebencanaan mulai dari dinafikannya sains,
perihal kebijakan yang tidak memperhitungkan bencana, mitigasi, hingga narasi dikangkanginya
pengetahuan tempatan mengenai bencana sudah banyak beredar. Sungguh, kesemuanya perlu
diseriusi dengan sunggug-sungguh. Namun demikian, saya pribadi enggan berspekulasi dan
berandai-andai bagaimana bila memang ternyata seluruh upaya mitigasi sudah dilaksanakan. It
happens as it happens, namun tentu saja lebih arif jika kemudian pengandaian itu kita arahkan
kepada suatu upaya pembelajaran. Baiklah. Saya mencoba menggeser perspektif saya ke ranah
(arena tertutup) yang sebelumnya juga tengah saya tuliskan: perkara teodise. Jika sebelumnya
saya mengajukan pertanyaan mengenai mengapa kejahatan terjadi, kali ini saya akan
mengajukan setengah pertanyaan sisanya. Mengapa kemudian, dalam konteks teologi, Tuhan
membiarkan adanya bencana yang melahirkan penderitaan. Bencana dan penderitaan pada
dasarnya dipisahkan dari perkara kejahatan. Apa sebab? Kejahatan disebabkan oleh manusia dan
bersumber dari perbuatan dan tindakan yang dipilihnya. Kata dipilih disini perlu digarisbawahi
sebab kejahatan yang hakiki terjadi dengan kesengajaan dan dilakukan dengan mengacuhkan
suara hati. Etika masih memberikan ruang-ruang pengampunan bagi kejahatan yang terjadi
sebagai akibat kelemahan manusia yang seringkali tidak mampu mengontrol nafsu dan
emosinya. Tuhan tahu kita memiliki keterbatasan dalam mengalahkan diri sendiri karena itu Ia
mendesain Bang Napi untuk menjelaskan bahwa “kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat
pelaku, tapi juga karena ada kesempatan”. Penderitaan lain dengan kejahatan. Penderitaan ada
dan berasal dari hal-hal di luar diri manusia: mekanisme alam yang sifatnya objektif. Hal-hal
tersebut hampir mustahil dapat dikontrol, dikendalikan dan dikuasai oleh manusia. Salah satu
sumber penderitaan adalah bencana alam: gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan lain
sebagainya. Kembali ke pertanyaan dalam Paradoks Epikurus, mengapa kemudian, bila ada
Tuhan yang maha pengasih dan maha melakukan, bencana tersebut terjadi? Bahwa planet yang
kita tinggali ini hanyalah satu sub-entitas maha besar yang terkadan sifatnya transenden sehingga
untuk menjangkau ujung dan batasannya kita hanya bisa mneggunakan spekulasi-spekulasi
metafisik dan disanalah barangkali kita kemudian dapat menjumpai Tuhan. Karena itu,
kehidupan dan seluruh mekanisme yang berada di bumi tunduk di bawah hukum fisika sebagai
konsekuensi bagian dari kesempurnaan konstelasi semesta kreasi Tuhan. Satu pertanyaan kecil
yang dapat diajukan adalah apakah kemudian alam semesta ini diciptakan dengan
ketidaksempurnaan bawaan sehingga, dengan segala aturan yang dan kecacatan dunia yang ada
ini, lahir lah kejahatan. Kitab suci tidak sependapat. Dalam Kitab Kejadian, Allah melihat bahwa
segala yang diciptakannya baik dan Ia puas dengan hasil kerjanya. Dunia ini sesempurna yang Ia
inginkan. Saya sendiri lebih suka berhadapan dengan Tuhan yang mampu saja karena kemudian
kita akan berurusan dengan mengapa Tuhan tidak mau menghapusnya? Perkara ini lebih mudah
dikarang-karang. Alasan pertama adalah karena penderitaan pada dasarnya membawa kebaikan.
Lewat bencana kita disadarkan dengan adanya solidaritas, rasa kekeluargaan dan persaudaraan
satu sama lain. Penderitaan juga melatih dan membuat kita tahan uji serta semakin merasakan
kebesaran Tuhan sang pengatur dan sang pencipta. Begitu lah singkatnya. Kita kemudian tahu,
secara singkat bahwa dunia yang diisi dengan penderitaan pada dasarnya lebih baik ketimbang
dengan dunia tanpa penderitaan, silahkan direnungkan dan dipetik pelajarannya. Yang kemudian
menjadi pertanyaan berikutnya adalah: oke, so what? Tuhan boleh jadi menciptakan bencana dan
penderitaan sebagai ruang dialog dengannya juga sebagai kawah candradimuka tempat manusia
menempa dirinya. Kita diberi akal budi dan diberikan penderitaan sekaligus untuk dapat terus
berpikir dan menjadikan bencana tersebut asupan untuk mengisi tantangan dan penderitaan yang
lebih nyata: kekosongan dan kehampaan hidup. Itu sebabnya, bencana dan manusia sebagai
pihak yang terpapar olehnya harus terus berlomba. Di satu sisi, manusia harus dapat menemukan
cara untuk menghadapinya lewat penalaran dan kemudian menerimanya dengan kebijaksanaan
dan dengan rasa besar hati. Dunia ini, diciptakan dan didesain dengan penuh perhitungan dan
rasionalitas. Lebih daripada tempat tinggal, dunia ini adalah taman bermain yang menyajikan
berbagai wahana, atraksi dan pertunjukan yang luar biasa. maka keluar lah, tinggalkan segala
beban Anda dan berlarilah telanjang, melihat dan mengamati lalu berpikir. Jika Tuhan memang
menciptakannya, maka ia menciptakan dunia ini untuk kita. Bagaimanapun, segala yang baik
berasal dari Tuhan sedangkan yang buruk adalah berasal dari kita. Bagi Anda yang terkena
bencana dimanapun Anda berada, semoga segalanya menjadi lebih baik setelah ini. Ini tulisan
paling normatif yang pernah saya tulis. Silahkan kutip untuk motivasi dan materi khotbah.

Atheis
Saya kembali membuka satu hal yang dulu pernah saya gandrungi: seorang atheis menulis
Paradoks Epicurus. Kali ini, rasa-rasanya saya dapat lebih dalam mebahas dan membngkar
konsep di balik paradoks yang sungguh elok pada masanya itu dan masih kontekstual pada masa
kini, setidaknya bagi mereka yang kurang sibuk dan malah bertanya-tanya soal hakikat moralitas
dan keberadaan kejahatan serta penderitaan. Baik, saya paparkan dulu isi paradoksnya. Paradoks
Epicurus berangkat dari premis bahwa kejahatan dan penderitaan itu ada yang kemudian diisi
oleh pertanyaan mengapa kejahatan itu sampai ada jika kita punya Tuhan yang maha mampu dan
maha baik? Apakah Ia tidak mau menghapusnya? Maka Ia tidak baik. Apakah Ia tidak mampu
menghapusnya? Maka Ia tidak maha kuasa. Apakah Ia mampu dan mau menghapusnya? Maka
mengapa kejahatan dan penderitaan tetap ada? Sungguh luar biasa. Sebelum masuk ke substansi
paradoksnya, saya mau menyampaikan bahwa Tuhan kita, iya Tuhan yang itu tuh adalah sasaran
paradoks paling empuk. Mengapa demikian? sebab, secara ontologis dan epistemologis,
keber’ada’an entitas itu beserta turunannya sudah membingungkan. Sebegitu
membingungkannya sehingga eksaminasi dan spekulasi level tinggi akan berhenti pada suatu
titik dimana premis mutlak agaknya mustahil dicapai. Maksudnya adalah, kita tidak dapat
memuat kesimpulan bahwa Tuhan itu Ada atau Tuhan itu Tidak Ada. Itu pun masih belum ada
eksaminasi untuk hakekat ‘Ada’ yang melekat padanya. Dengan segala kemelut itu, jadi lah
Tuhan kita begitu lentur dan mengundang untuk dijadikan paradoks. Yang jelas, kalaupun ia
memang tidak ada maka kita harus membuatnya ada (“if God doesn’t exist, then it is necessary to
create Him” – Voltaire). Akan ada lebih banyak, jauh sekali lebih banyak kemudahan dalam
hidup jika Tuhan itu ada. Kalaupun Ia memang secara absolut ada, maka Ia berada di luar segala
nalar dan rasionalitas manusia. Begitu lah, Romo Magnus-Suseno berpesan bahwa dalam
menyebutkan entitas Tuhan, kita perlu berjalan pada dua koridor. Pertama adalah koridor positif
dimana setiap premis yang ada dibangun diatas afirmasi dan konfirmasi: Tuhan itu Mahabaik,
Mahapengasih, lagi Mahasempurna. Koridor kedua adalah koridor negatif bahwa Tuhan tidak lah
seperti ini atau seperti itu. Hinduisme mengenalnya sebagai niti-nata, bukan begini juga bukan
begitu atau seperti orang jawa bilang ngono yo ngono ning ora ngono. Keduanya harus
digabungkan menjadi satu untuk setidaknya dapat membantu kita mendefinisikan entitas Tuhan
tersebut secara cukup meyakinkan. Baik, begitu dulu saja sudah mari masuk. Salah satu upaya
untuk membuktikan secara ontologis Tuhan itu “ada” adalah lewat epistemologi kejahatan dan
penderitaan. Tuhan didekati sebagai suatu landasan dan fondasi moral yang mantap. Mengapa ini
digunakan? Sebab moralitas adalah pengalaman absolut manusia sehari-hari yang, karena itu,
nyata adanya dan dapat diperdebatkan secara obyektif. Pengalaman dan fenomena moral tersebut
menjadi salah satu jalan untuk menuju kepada Tuhan yang merupakan sumber moral tertinggi.
Argumentasi tersebut juga bisa ditawar dengan menyatakan bahwa moralitas adalah konstruksi
dari masyarakat dan negara dengan segala aparatusnya. Namun demikian, ada fakta bahwa bayi
yang baru lahir dan belum memiliki kesadaran konstruktif apapun sudah memiliki kompas moral
untuk membedakan apa yang baik dan buruk secara moral. Kita sudah dipersenjatai insting untuk
dapat hidup dengan ‘baik’ sesuai dengan kesepakatan bersama dan di sana lah, Tuhan hadir.
Begitu kira-kira. Anda juga boleh mengkritisinya dengan membongkar kembali apa yang disebut
sebagai moralitas dan apa yang mendasarinya: rasa nyaman dan menyenangkan (hedonisme)
atau kebermanfataan (utilitarianisme). Kupas terus dan niscaya Anda akan sampai kepada Tuhan
sebagai fondasi moral sebagai penghabisan. Lantas jika ia memang merupakan sumber moral
tertinggi, bagaimana bisa ada kejahatan? Untuk menjawabnya, lagi-lagi kita perlu bertanya
bagaimana kejahatan itu bisa ada? Apakah ia hadir by purpose atau by consequence? Keduanya
akan menghasilkan pendapat yang berbeda. Jika Ia lahir dengan maksud dan tujuan tertentu,
maka kita tinggal mempertanyakan apa maksud dan tujuan ia di’ada’kan. Pada tataran ini, Sang
Penciptanya mesti punya kehendak dalam membuatnya ada. Kita bisa mengambil ini dari basa-
basi di kitab suci: untuk menguji manusia, untuk membuat hidup manusia berwarna,
mengajarkan rasa syukur, dan bla bla bla lainnya. Intinya, kalau memang kejahatan sengaja
diciptakan ia diciptakan semata-mata juga untuk kebaikan. Saya sendiri lebih suka
membayangkan Tuhan menciptakan kejahatan dan penderitaan untuk mengingatkan bahwa Ia
ada dan manusia, sebagai ciptaannya harus tetap tunduk padanya. Penegasan ini penting karena
sebagai Tuhan yang mencipta, Ia harus tetap memastikan dirinya ada. Sampai sini, itu adalah
motivasi yang manusiawi, bisa diterima. Lalu bagaimana jika kejahatan dan penderitaan hadir
sebagai konsekuensi? Ia ada sebagai akibat tak terelakan dari sistem semesta yang diciptakan
oleh Tuhan. Ini perlu diawali dengan mengajukan pertanyaan paradoksal lain: sebagai entitas
yang Mahamencipta, sanggupkah ia menciptakan semesta yang sama sempurnanya seperti
dirinya? Jika tidak sanggup maka ia tidak mahapencipta, jika sanggup maka sebaiknya kita
menyembah semesta ciptaannya saja. Di titik ini saya pikir Tuhan menciptakan semesta yang
kurang sempurna dari dirinya sendiri agar Ia dapat terus hadir secara aktif. Penciptaan sendiri
merupakan suatu proses yang kontinyu, bukan fenomena diskrit yang hanya terjadi satu kali.
Sampai pada detik ini, Tuhan masih menciptakan semesta dan terus aktif hadir dalam keseharian
kita, lewat berbagai fenomena yang ditangkap oleh hati nurani. Setidaknya sampai sains secara
memuaskan dapat menjelaskan dari bagian tubuh mana kesadaran dan kompas moral kita berada
dan mekanisme apa yang menyertainya Selain itu, sebagai konsekuensi maka ketidaksempurnaan
alam semesta ini meninggalkan bercak dan lubang disana sini yang kemudian diisi oleh
penderitaan dan kejahatan. Hal tersebut juga hadir sebagai konsekuensi dari lemahnya manusia
yang disebabkan oleh, yah, ketidaksempurnaannya. Kita, manusia, sering sekali takluk di bawah
berbagai godaan seperti harta, tahta, dan wanita. Kita lemah dan bahkan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini saja kita tidak mampu, seringnya tidak mau. Saya
tidak mau menyimpulkan apa-apa dari tulisan ini karena lagi-lagi, tulisan saya kembali
memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Akhirul kalam, segala paradoks dan
tinjauan kritis ateis menurut saya belum dapat meruntuhkan keberadaan Tuhan sebab, jikapun Ia
memang tidak hadir secara mutlak, ia hadir secara konstruktif dan dibangun di atas kesadaran
dan kebutuhan manusia untuk menjalani kehidupan mereka. dengan itu, Tuhan Ada. Yang
ditantang oleh paradoks dan argumentasi kritis adalah Tuhan yang dikonsep dan dikerangkeng di
ajaran agama-agama. Saya menemukan lebih banyak celah pada Tuhan yang berasal dari agama-
agama dibanding dari teologi. Demikian sehinggan, bagi saya bertuhan tanpa agama menjadi
semakin relevan dari hari ke hari. Akui saja, agama hanya sebatas produk budaya yang kini
dimanipulasi untuk kepentingan identitas dan penindasan. Tuhan barangkali juga tidak berkenan,
makanya Ia mulai mempertimbangkan untuk memilih mereka yang tidak percaya padanya.

Menua
ah menjadi tua. betapa usia menjadi musuh besar manusia pada era ini. Tak percaya? Bolehlah
Anda menghitung berapa presentase iklan pencegah penuaan di media kita. Apapun dan
bagaimanapun konteksnya atau metode apapun seperti hermeutik atau kajian semiotik yang Anda
pakai untuk menginterpretasinya, akuilah bahwa penuaan adalah sesuatu yang orang-orang
hindari. Entah muatan apa yang dibawa oleh penuaan ini sampai harus dicegah atau ditutup-
tutupi. Secara sepihak, memang contoh yang saya ambil tentang produk-produk pencegahan
penuaan adalah produk-produk kecantikan yang bermain di ranah penampilan. Kalaupun kita
ambil penuaan dari sisi penampilan, memang jelas bahwa tak ada orang yang ingin terlihat tua
dan menjadi suatu pertanyaan, karena sejauh yang saya tahu tak ada satu pun peradaban yang
mendefinisikan cantik itu berkeriput. Sementara orang gemuk-kurus, hitam-putih, berambut
panjang-pendek, tinggi-pendek masing-masing pernah mendapat jatahnya untuk menjadi
parameter cantik di era tertentu. Bahkan parameter ketidakperawanan juga pernah masuk ke
dalam masalah orang-yang menarik dan selayaknya ditaksir. Ada peradaban tertentu yang
menganggap bahwa mereka yang tidak perawan lah yang pantas dinikahi. Tapi soal keriput atau
tua? Maaf, mungkin saya kurang tahu, jadi kalau Anda tahu ada suatu masyarakat yang
menganggap cantik itu berkeriput dan tua, bisa memberitahu saya, segera saya benahi tulisan ini
nanti. Maka seakan terjadi konsensus, lawan penuaan! Berhubung saya juga termasuk
masyarakat mainstream korban kosensus jadi ya saya juga berteriak demikian, hanya saja ya tadi
saya bingung soal hubungan cantik dan penuaan. Tapi lupakan, ga substansial Secara pribadi
saya menolak tua tapi ga menolak keriput untuk saya sendiri tapi kalo keriputnya di wajah pacar
atau istri saya, aduh, lain perkara deh hehe Jadi bukan muatan keriput yang saya tolak dari
penuaan tapi hal lain lagi, yaitu birokrasi dan adat istiadatnya. Pernahkah Anda menyadari bahwa
menjadi orang tua (kembali, ambiguitas Bahasa Indonesia, orang tua “old people” bukan orang
tua”parents”, ah thanks again English) penuh dengan hiruk pikuk birokrasi, seremoni, dan ritual.
Entah apa dan mengapa, orang tua ketika berinteraksi dengan sesamanya diatur oleh prosedur,
bahasan dan obrolan mereka ditata oleh batasan tertentu sehingga menjadi itu-itu saja, cara
mereka bersikap dituntun oleh regulasi. Terasa kaku. Selanjutnya mungkin saya dicap durhaka
dan dianggap disrespect terhadap orang tua Sungguh saya tidak pernah menolak tua secara
performa atau citra, toh saya tidak keberatan dengan keriput. Saya menolak substansi dan filosofi
yang kini terkandung didalamnya. Saya menolak seremoni dan tata cara orang tua. Ajaran untuk
menghormati yang lebih tua kini acapkali disalahgunakan. Banyak para tua memplesetkan dari
penghormatan menjadi pemujaan. Memang dimana batas-batasnya? Menurut KBBI
menghormati kongruen dengan menghargai memandang penting atau mengindahkan. Maka dari
sini dapatlah kita tarik batas bahwa para tua hanya berhak mendapat pengindahan kita. Lebih
jauh, secara leksikal, dapat juga kita katakan bahwa menurut KBBI sekedar memandang penting
atau pengakuan adalah cukup bagi mereka. Namun secara fakta, terkadang, diindahkan ternyata
tidak cukup bagi para tua-tua. Mereka ingin menjadi satu-satunya yang ada. Ah, sungguh miris.
Dibutakan oleh citra diri. Waktunya pembelaan untuk mereka yang tersinggung Namun, menjadi
tua itu pasti. Memasuki masa itu, kita akan tergilas dan masuk ke dalam budaya yang demikian.
Tak apa dan tak mengapa, itu suatu takdir yang memang mengerikan, maka nasib paling sial
adalah mati tua menurut seorang filsuf Yunani. Lalu bagi yang membaca ini, lantas tersinggung
karena merasa tua, harap diingat bahwa musuh Anda adalah umat manusia itu sendiri. Jadi
kenapa harus tersinggung? Mari menolak tua!

Pengingat
Ah saya senang sekali dengan teman sekamar saya muhammad ryan al-khadafi yang
mengapresisai karya saya ini, dari arena tertutup part 1 sampai sekarang ia sering mengapresiasi
hal-hal kecil yang saya lakukan, sampai suatu ketika ia membawa buku arena tertutup ini kepada
teman kantornya perempuan, dan tentu saja perempuan tersebut suka membaca karena ia begitu
mengapresiasi suatu tulisan, apalagi bahan materinya yang sudah jadi yaitu buku, berbeda
dengan teman-teman saya, yang bisa menikmati tulisan arena tertutup ini lewat pdf saja. Semoga
energi yang saya tulis diarena tertutup bisa sedikit dinikmati, adapun kritik, dan saran yang
teman-teman saya lontarkan kepada saya, ada yang mencari latar belakang penulisnya, saya
sedikit mulai bisa mengerti dengan mata para pembaca, seperti ada kengerian dalam tulisan ini,
apa kengeriannya yaitu keterbatasan masing masing kepala manusianya. Yang menghitung
kesalahan dalam tulisan ini, seperti harus mencantumkan referensinya, ketinggian bahasan nya,
hiperbola, coba kasih keterangan dibagian penutup tentang verbalnya. Saya tidak keberatan
dengan hal tersebut, karena saya sudah mencantumkan referensi yang ditanyakan para pembaca
mungkin teman-teman masuk kedalam jebakan itu, tidak membacanya tapi langsung pergi
kehalaman belakang daftar pustaka. Ketinggian bahasanya, jangan menelan energi yang saya
tulis tapi bongkar dan dekontruksi, lalu rekontruksikan kembali akarnya dari mana bukankah
jaman sekarang ini, tidak ada istilah tidak tau. Ya adalah pengetahuan yang gue tidak tau, masih
banyak. Itu bukan tidak tau, tapi belum tahu saja. Untuk mencari tahu banyak arena-arena yang
akan membantu kebelumtahuan itu, seperti arena internet, arena perpustakaan. Apakah saya
harus memberikan secara detail untuk mengupasnya. Tentusaja tidak. ah sudahlah saya melihat
hal tersebut bagian dari sinergi pembaca. Saya tidak ingin beralasan dengan hal receh tersebut,
berbicara teman ryan tadi perempuan, menyampaikan tanggapan nya, masih ada ya orang seperti
ini aneh ia membaca tulisan arena tertutup ini. Mari kita lihat kebelakang ketika tan malaka
sampai dijakarta, ia memasuki toko buku yang terbesar diasia timur pada waktu itu. Untuk
sebuah buku logika karangan Jevons atau mill (inggris) dan jones (amerika). Untuk perkara
dialektika. Pada waktu itu tan malaka melihat rakyat belanda yang berpendidikan tinggi dan
berotak memiliki sifat demogogisch ialah sifat berkilah, sifat suka mempertentangkan hal-hal
kecil dengan melupakan pokok yang besarnya. Saya ingin para pembaca arena tertutup tidak
mempertentangkan hal hal receh, dan melupakan pokok besarnya karena dari setiap judul yang
saya tulis adalah buah hasil dari pengetahuan sebelumnya, yang saya rekontruksi dan
dekontruksi apakah itu menjadi energi untuk kita berfikir diarena tertutup ini, kalo saya salah
kenapa ? nietszhe. Dengan beraninya dia melihat, menelusuri roh sciencenya. Oke lupakan
baiklah. Malam ini, saya harus memuntahkan kembali beberapa hal yang menyumpal di dalam
pemikiran saya. Entah bagaimana, waktu ini tepatnya memunculkan kembali pertanyaan-
pertanyaan yang beberapa kali muncul melihat keadaan sekarang ini. Namun malam ini, saya
tampaknya ingin maju lebih sedikit untuk mulai mengikis dan mengupas pemikiran saya (atau
Anda sebagai pembaca) dalam menjalankan kehidupan beragamanya. Sebagai awalan, tulisan ini
lebih banyak saya gunakan sebagai challenge bagi diri saya sendiri dan semisal Anda ternyata
terlibat didalamnya, yah, salah sendiri. Karena itu, saya tidak segan, barangkali, seiring
berjalannya saya dalam tulisan ini menggunakan istilah dan topik yang ofensif. Ini adalah
monolog sehingga kalaupun nanti struktur tulisannya kacau dan loncat sana-sini saya, untuk
kesekian kalinya, tidak perlu merasakan beban untuk memberikan penjelasan. Tulisan arena
tertutup ini dibuat lebih sebagai pengingat, bukan untuk Anda memahami.
Mari.
Saya mau meringkas dulu, Mengapa manusia butuh beragama. Pertanyaan seorang atheis,
Karena agama, begini kira-kira:
1. Menyediakan jawaban bagi pertanyaan yang belum terjelaskan (fungsi aqidah).
Manusia, merupakan manusia yang haus sekali bertanya dan memiliki wawasan yang
tidak terbatas. Setiap kali upaya bertanya terpojok pada suatu ketidakberdayaan, agama
dan konsep ketuhanan yang dimilikinya niscaya akan memberikan jawaban.
2. Menyediakan tuntunan hidup (fungsi syariah). Dalam kesehariannya, manusia
butuh panduan soal mana yang baik dan tidak baik. Kehadiran agama akan sangat
memudahkan karena tidak mungkin 7 milyar kepala memiliki persepsi dan kesepakatan
mengenai apa yang baik dan buruk.
3. Menyediakan komunitas (fungsi ukhuwah). Agama, sebagai religion memiliki
fungsi mengikat individu manusia dalam suatu komunitas. Melalui fungsi ini, agama juga
membangun kesadaran kolektif yang menjadi pijakan bersama.
4. Menyediakan identitas. (poin ini saya jelaskan lebih lanjut nanti)
Pertanyaan yang sedikit saya ubah berikutnya adalah mengapa manusia beragama. Ada alasan-
alasan non-pragmatis mengapa manusia beragama. Bagi saya, kedua aspek ini jelas berbeda baik
pada titik ini dan pada turunannya kelak. Dan untuk itu, jawaban mengapa manusia beragama
adalah karena konsekuensi conditio sine qua non yang ada secara inheren dalam agama itu.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, tidak bisa tidak, selama manusia adalah manusia, ia akan
selalu beragama. Sine qua non dalam agama dapat berasal dari faktor warisan (legacy). Sesuatu
yang masih segar dalam ingatan saya bagaimana konteks agama sebagai warisan menuai
keributan. Selain dari faktor warisan, agama juga datang dari konstruksi sosial yang ada di
masyarakat. Jika warisan berada dalam horizon temporal, maka konstruksi sosial berada dalam
aspek keruangan. Dalam hal ini, menyerahkan kepercayaan sepenuhnya pada paham
konstruktivisme. Kita sebagai manusia, merupakan konstruksi yang berjalan baik secara
eksternal dan internal. Konstruksi internal kita dipengaruhi oleh berbagai macam hal: proses
kognitif, insting dan intuisi, preferensi, hingga pengalaman. Agama dapat menjangkau seluruh
hal itu dan karenanya, dalam hal pembentukan identitas, ia dapat dijadikan sebagai fundamen
dalam memahami diri kita sendiri. Sementara konstruksi eksternal dibentuk oleh masyarakat atau
superego melalui aparatus-aparatusnya. Aparatus eksternal tersebut (saya mengutip Althusser
lagi saja) dapat berupa aparatus ideologis seperti sekolah dan aparatus represif seperti militer.
Selain itu, masyarakat dan segala dinamika yang ada didalamnya juga menjadi aparatus untuk
membentuk dan memaksa kita untuk beragama. Baik, saya sudah meringkasnya. Kini saya perlu
menuliskan ringkasan apa yang tengah saya rasakan. Mengenai apa yang tengah saya lihat kini,
agama diperalat (jika tidak sedang diperkosa) untuk memuaskan syahwat superioritas manusia.
Pernah pada masanya saya didongengkan bahwa agama pernah begitu digdaya untuk membatasi
manusia mengembangkan senjata pemusnah masal, rekayasa genetik asal-asalan, dan karenanya,
menjaga umat manusia tetap pada kedamaian. Pernah, dulu. Namun melihat bagaimana mereka
menempatkan agama kini, saya menjadi sangsi, institusi agama akan sesuperior itu. Bagaimana
tidak, lihat lah bagaimana agama kini hanya mengurusi hal-hal kekanak-kanakan. Ia justru
menjadi candu dan suara sumbang di tengah tumbuh kembangnya manusia. Jika kemanusian
adalah anak dan agama adalah orangtuanya, maka sebagai orang tua agama menjadi orang tua
diktator yang mengganggu tumbuh kembang anak tersebut. Apa yang saya harapkan adalah
agama menjadi bahan bakar kita untuk terus melakukan pencapaian-pencapaian yang
mengagumkan: berkelana ke semesta luar atau mengelola kematian. Namun yang tampak bagi
saya adalah ia malah terus menerus merengek untuk diberikan tempat dan kuasa sembari
menakut-nakuti manusia lewat spekulasi-spekulasi surga dan neraka. Mengenai apa yang ideal
menurut saya kini, adalah agama sepatutnya memberikan kebebasan bagi manusia untuk menjadi
dewasa. Ia justru harus mendorong manusia untuk menjadi otonom dan dapat berdiri di atas
kakinya sendiri tanpa perlu meminta untuk dijadikan perhatian. saya juga menemukan orang
yang religius itu tidak perlu membuktikan bahwa dirinya baik, ataupun shaleh karena bagi
dirinya keyakinan itu vertikal hanya aku dan tuhanku.

Kehendak (voluntarism)
Saat ini, lini masa media sosial tengah ramai oleh suatu kesadaran yang saya pikir harusnya
sudah dihembuskan bertahun-tahun lampau: kosensi seksual. Dalam melakukan segala tindakan
seksual, dua pihak harus berada dalam keadaan yang sama-sama sadar dan memang
menginginkannya. Sederhananya jika salah satu pihak tidak berada dalam kondisi demikian
maka yang terjadi adalah pelecehan atau pemerkosaan. Sederhana namun sangat mengena dan
kini para warganet yang terhormat begitu getol mengkampanyekannya. Baik untuk mereka, baik
untuk kita. Terima kasih. Tapi bukan itu yang saya ingin perbincangkan. Kosensus kedua pihak
silahkan menjadi urusan Anda dengan pasangan Anda dimanapun Anda tengah bahagia berada.
Apa yang ingin saya tekankan adalah kosensus pihak ketiga dari perbuatan seksual yang Anda
lakukan. Yah, kita tahu bahwa di dalam ruang-ruang tempat Anda bercinta dan memadu rasa,
akan ada yang lain yang juga harus Anda pertimbangkan dampaknya ke mereka. Siapa saja?
Tuhan atau masyarakat atau, ini yang saya rasa cukup menantang untuk dibahas, anak Anda
kelak. Satu bahasan atau pertanyaan yang saya pikir cukup menarik untuk dibahas adalah:
“mengapa saya dilahirkan? Bagaimana jika seandainya saya tidak ingin dilahirkan?”. Sungguh
elok! Jika Anda belum pernah memikirkannya , ketahuilah bahwa pada suatu kesempatan nanti,
Anda anak dengan segala bakat dan karunianya akan menyimpan pertanyaan tersebut dan
barangkali mengungkapkannya kepada Anda. Si kecil Icha yang berusia 5 tahun dan berencana
masuk TK, pada suatu pertemuan keluarga boleh jadi akan berujar “aku tidak pernah meminta
untuk dilahirkan, kenapa juga kalian memaksaku untuk tetap bertahan dan hidup?”. So cute,
kawai. Begitulah, dalam benak orang yang menanyakan pendapat itu boleh jadi berpikir bahwa
sebelum terjadi ovulasi, Anda perlu menanyakan kepada sperma atau sel telur Anda:
“bersediakah kalian saling membuahi?” Hidup, dalam satu perspektif, terutama sekali perspektif
agama dan motivator Anda harus dimaknai sebagai suatu anugerah dan karunia karena
keindahannya. barangkali sama seperti cobaan dan godaan yang berasal dari setan yang juga
berasal dari Tuhan sehingga bagaimanapun ia harus dimaknai sebagai anugerah. Sangat
optimistis dan penuh motivasi. Pandangan ini selaras belaka dengan pendapat yang mengatakan
bahwa dunia ini dan kita semua adalah wayang yang dikendalikan oleh sang dalang di belakang
layar. Percaya atau tidak itu terserah Anda. Sementara lain, saya mengutip pandangan yang lebih
pesimistis: tidak ada maksud dan tujuan dari hidup ini, segalanya terjadi karena kebetulan belaka
saja. Ini untuk kalian, orang-orang yang tidak suka hidupnya dicampuri oleh entitas transenden
basa-basi macam Tuhan. Siapa yang bisa mengatur bagaimana pembuahan terjadi, sperma yang
mana yang akhirnya membuahinya? Semua terjadi serba kebetulan belaka. Bagaimanapun,
memahami posisi dan konteks kehidupan akan mendorong dan membantu Anda mengkaji makna
kehidupan Anda dan menemukan jawaban mengapa Anda dilahirkan. Sebagai catatan, jika Anda
percaya ada entitas transenden atau Tuhan yang mengaturnya, maka Anda saya sarankan berhenti
membaca tulisan ini disini. Bagi Anda yang mencoba melangkah melewati garis sedikit, mari
kita lanjutkan. Jawabannya sederhana menurut saya: orang tua Anda tengah birahi kala itu
sehingga Anda tercipta. Tuhan menghendakinya karena orang tua Anda birahi atas seizinnya
lewat pernikahan dalam institusi agama Anda, setidaknya itu yang perlu kita bahas. Namun
jikalau demikian, bagaimana anak yang lahir dari pembuahan di luar institusi pernikahan atau
institusi pernikahan di luar agama? Berkenan kah Tuhan padanya? Agaknya tulisan ini semakin
banyak mengemukakan pertanyaan ketimbang menyediakan jawaban, saya jadi semakin senang.
Dilahirkan dan bertahan hidup, bagi saya adalah dua hal yang berbeda. Anda boleh dilahirkan
dengan segala keyakinan akan kebetulan, aksiden dan ketidaksengajaannya namun perkara Anda
bertahan hidup dan dibesarkan hingga detik ini itu bukan lah kebetulan. Kita boleh protes
mengapa kita dilahirkan namun tidak dapat protes soal mengapa kita bertahan hidup sampai
sejauh ini. Pembuahan dan proses hingga Anda dilahirkan saya pikir boleh jadi sudah dibayar
lunas oleh orang tua Anda dengan membesarkan dan mendukung Anda untuk hidup. Sedangkan
perkara mengapa Anda tetap hidup hingga detik ini bukan lah tanggung jawab orang tua Anda,
secara tidak sadar Anda bertahan hidup. Ini menuntun kita kepada pertanyaan moral berikutnya:
“boleh kah kita, atas nama otoritas hidup, mengakhiri hidup kita?”. Kaum beragama sudah punya
jawaban jelas: tidak boleh karena hidup kita milik Tuhan, ia dan hanya ia yang memiliki hak
untuk mengambilnya. Namun perkaranya tidak sederhana bagi mereka yang menolak otoritas
Tuhan atas dirinya. Apakah ada? Ada. Dan menjadi tidak sederhana karena solusi untuk itu tidak
dapat hanya dengan meyakinkan orang-orang tersebut bahwa hidupnya milik Tuhan. Oh yah,
sedikit anomali juga bagi orang-orang yang melakukan bunuh diri atas nama Tuhannya. Kaum
halu. Saya sendiri tidak sepakat untuk itu. Otoritas hidup boleh jadi memfasilitasi kita untuk
sampai pada pertanyaan tersebut namun kita masih terbelit paradoks mendasar soal otoritas:
permasalahan soal voluntaris dan yang determinis. Saya meyakini bahwa tidak ada dorongan
instingsif dari dalam internal kita untuk melakukan bunuh diri kecuali untuk alasan altruistik dan
kepentingan survivalitas spesies umat manusia. Mengapa demikian? tidak ada individu yang
benar-benar bebas dalam menentukan otoritas atas tubuhnya. Ini yang menjadi permasalah moral
mendasar pada masa kini karena terkait dengan perkara lainnya: aborsi. Apakah atas nama
otoritas tubuh, seorang wanita berhak menghapuskan janin yang ada di perutnya? Demikian
sehingga, motivasi untuk mengakhiri hidup pada dasarnya berasal dari dorongan eksternal atau
dari masyarakat. dan karena berasal dari luar diri Anda, ia bisa didialogkan dan diubah
pendiriannya. Segini dulu saja deh. Intinya, saya belum dan tampaknya sulit sekali menemukan
landasan masuk akal untuk bunuh diri dan selama itu belum ditemukan, jangan coba-coba
melakukannya.

Penutup untukmu
Masih terlalu banyak yang belum punya kesempatan untuk diucapkan.
Setiap kekosongan yang kita buat, setiap keheningan yang mengikat hanya berada begitu saja.
Berlalu seakan tak tahu.
Dan hening selalu merajut air matamu, kamu tahu hal itu maka kamu selalu memintaku untuk
bersuara. Memutus benang nestapa dan jarum nelangsa yang menjadikan remukmu sebagai
selendang dingin air matamu.
Aku bukan apa-apa, dan kehampaan membunuh kita perlahan, kamu tahu hal itu.
Ya, aku yakin kamu tahu.
Ini adalah perbincangan antara aku, kamu, dan muntahan kemuakanmu akan hidup.
Dengar, ia bicara dan kamu harus berada di pusatnya.
Meski dalam lirih ini, kunanti kamu. Di setiap dingin menelusup dalam dadaku meski hangat
senyummu menerangi kepalaku.
Aku tahu kamu di sana sayang.
Bersembunyi di balik kisi-kisi energi dan di dalam kantung waktu.
ah waktu, ia yang tak pernah sadar dirinya sendiri, selalu berlalu.
Tidak, kita tak terpisah waktu sayang, kamu tahu kita bergerak bersama dalam waktu meski
tidak saling berdekap.
Maka berterimakasihlah padanya sementara jarak dan ruang memisahkan, kita menyatu dalam
waktu.
(*)
Ingatkah kamu malam itu?
Kerlip lampu dibias dalam sendu ketika kita menuai noda cinta kita
Sementara sang waktu tak menunggu dan melaju kita berbisik
aku tak takut menunggu. Bukankah kita bergerak bersama dalam waktu, sayang?
(*)
Dan kemudian kita sampai di persimpangan dalam ruang.
“waktu tak pernah memisahkan, perpisahan adalah ulah ruang sayang.
ingatlah waktu, didalamnya kita disatukan dan dalam kuasanya kita tak akan dipisahkan.”
Begitu katamu.
Dan tanpa bersajak kamu beranjak. Malam itu
Aku disini ditemani sang waktu yang ternyata membeku. Menulis sajak di dalam waktu yang tak
beranjak. Untukmu yang selalu kurindukan.

Vidi Vici Lavida


(Saya datang dan melihat hidup yang sangat Panjang)
Mccoverfield
Oke untuk para pembaca arena tertutup part 1 dan part 2 sepertinya saya belum bisa
mengakhirinya untuk arena tertutup ini, Vidi vici lavida ! saya tidak ingin anda dan saya berhenti
bergerak, menulis atau membaca. karena hidup ini seperti naik sepeda kalo anda berhenti
bergerak maka anda akan mati.(albert Einstein). keinginan saya sendiri adalah ingin membuat
kerangka berfikir, dengan tulisan yang terstruktur, sistematis dan mampu masuk ke arena
terbuka. Seperti tan malaka dengan bukunya madilog. Dan buku-buku lainya yang mampu
menembus kerumpun jagat literatur-literatur, toko buku, dan gramedia. Saya juga sadar untuk
kontestasi ke arena seperti itu masih jauh. Siapa saya ? yang bersembunyi dibalik kerut kemelut
kehidupan ini. Haha sungguh Ironi “just kidding” arena tertutup berakhir atau berlanjut.
Sudahlah tak penting sembari saya suka menulis hal receh tersebut tidak dipersoalkan verba
volant scriptamanent ! tulisan akan tetap ada dan mencintailah dalam diam karena itu
kesempurnaan jiwa “arena tertutup”
-Yusuf maulana yuliansyah-

Anda mungkin juga menyukai