Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH ALIRAN FILSAFAT MODERN

“FILSAFAT EMPIRISME”

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah filsafat ilmu

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Rochiati Wiriatmadja, M. A

Disusun oleh :

Ruli Seftiana Aziza ( 1906897 )

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq, hidayah serta
inayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa penyusun Makalah ini, bisa terwujud atas bantuan dan jasa
berbagai pihak, baik bantuan moril maupun materil. Untuk itu penulis tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada: Dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu Prof. Dr. Rochiati Wiriatmadja,
M.A yang telah membimbing dan memberikan masukan terhadap pembuatan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap, makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada
umumnya.

Bandung, 2019

Penyusn
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Zaman Modern...............................................................................................................3
B. Aliran Empirisme...........................................................................................................4
1. Pengertian Empirisme..............................................................................................4
2. Pemikiran Aliran Empirisme....................................................................................5
3. Tokoh Pendukung Aliran Empirisme.......................................................................5
a. Thomas Hobbes (1588-1679).............................................................................5
b. John Locke (1632-1704)....................................................................................6
c. David Hume (1711-1776)..................................................................................7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................................................9
B. Saran...............................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara historis abad modern dimulai sejak adanya krisis abad pertengahan. Selama
dua abad (abad 15 dan 16) di Eropa muncul sebuah gerakan yang menginginkan seluruh
kejayaan filsafat dan kebudayaan kembali hadir sebagaimana pernah terjadi pada masa
jayanya Yunani kuno. Gerakan tersebut dinamakan Renaissance. Renaissance berarti
kelahiran kembali, yaitu lahirnya kebudayaan Yunani dan kebudayaan Romawi. Pada
saat itu, terdapat keinginan untuk melepaskan diri dari dogmatisme Gereja sudah mulai
tampak di Eropa. Abad pertengahan manusia tidak berekspresi secara bebas, manusia
merasa dikekang oleh adanya dogma-dogma agama.
Pada abad ke 14 dan 15 terutama di Italia muncul keinginan yang kuat, sehingga
memunculkan penemuan-penemuan baru dalam bidang seni dan sastra, dari penemuan itu
memperlihatkan suatu perkembangan. Manusia lebih berani berpikir, antara lain
mengenai dirinya sendiri, manusia menganggap dirinya sendiri tidak lagi sebagai fitiator
mundi (objek dunianya), melainkan sebagai vaber mundi (pusat dunianya).
Zaman Renaissance sering disebut sebagai sebagai zaman humanisme, sebab pada
abad pertengahan manusia kurang dihargai sebagai manusia, kebenaran diukur
berdasarkan kebenaran gereja, bukan menurut yang dibuat oleh manusia. Humanisme
menghendaki ukuran haruslah manusia, karena manusia mempunyai kemampuan
berpikir, berkreasi, memilih dan menentukan, maka humanisme menganggap manusia
mampu mengatur dirinya dan mengatur dunianya.
Pada zaman inilah munculnya berbagai macam pemikiran-pemikiran yang
dilakukan oleh orang barat, sehingga menghasilkan aliran-aliran yang menjadi persatuan
dari pemikiran mereka. Diantara aliran tersebut ialah Rasionalisme, Empirisme,
Kritisisme, Idealisme, Positivisme Evolusionisme, Materialisme, Noe-Kantianisme,
Pragmatisme, Filsafat Hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme
(Asmoro, 2011:113).
Makalah ini secara khusus membahas mengenai aliran filsafat modern yaitu filsafat
Empirisme, dengan tokoh tokohnya; Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-
1679), John Locke (1632-1704), George Barkeley (1685-1753), David Hume (1711-
1776) (Salam, 2009: 195).

B. Rumusan Masalah
1. Kapan dan bagaimana zaman filsafat modern terjadi ?
2. Bagaimana aliran Empirisme ?
3. Tokoh tokoh Empirisme ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa mengetahui dan memahami kapan dan bagaimana zaman filsafat modern
terjadi.
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami bagaimana aliran Empirisme.
3. Mahasiswa memahami Empirisme melalui tokoh tokoh.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Zaman Filsafat Modern


Zaman modern dimulai dengan masa Renaissance (abad 15-16) yang berarti
kelahiran kembali, yaitu lahirnya kembali kebudayan dan pemikiran Yunani dan
Romawi. Renaissance kemudian diikuti oleh masa pencerahan (Aufklarung) yang
menjadi titik tolak modernism dimana ilmu pengetahuan, filsafat, dan ideologi
berkembang sedemikian rupa.
Pada abad ke 14 dan 15 terutama di Italia muncul keinginan yang kuat, sehingga
memunculkan penemuan-penemuan baru dalam bidang seni dan sastra, dari penemuan itu
memperlihatkan suatu perkembangan. Manusia lebih berani berpikir, antara lain
mengenai dirinya sendiri, manusia menganggap dirinya sendiri tidak lagi sebagai viator
mundi, yaitu orang yang berziarah di dunia ini melainkan sebagai vaber mundi, yaitu
orang yang menciptakan dunianya.
Pada saat itu, manusia mulai dianggap sebagai pusat kenyataan. Hal itu terlihat
secara nyata dalam karya karya seniman zaman renaissance seperti Donatello, Botticelli,
Michelangelo, Raphael, Perugino, Leonardo da Vinci. Dalam bidang penjelajahan terlihat
beberapa nama besar seperti Cristopher Columbus, Ferdinand Magellan. Dalam bidang
ilmu pengetahuan terdapat beberapa tokoh hebat antara lain Nicolas Copernicus, Andreas
Vasalius, Galileo Galilei, Johannes, Francis Bacon dan sebagainya.
Pada zaman modern, peranan substansi diambil alih oleh manusia sebagai “subjek”
dan pemikul seluruh kenyataan yang melingkupinya. Oleh karena itu zaman modern
sering disebut sebagai zaman pembentukan “subjektivitas”. Semua filsuf zaman modern
menyelidiki segi segi subjek manusiawi, sehingga manusia sebagai pusat pemikiran,
pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak, pusat perasaan.
Mulai zaman modern inilah manusia dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan
(Burhanuddin, 2018: 38-41).
Ranaissance akan banyak memberikan segala aspek realitas. Perhatian yang
sungguh-sungguh atas segala hal konkret dalam lingkup alam semesta, manusia,
kehidupan masyarakat, dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya manusia untuk
memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan yang lebih besar
karena adanya suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat menerankan segala macam
persoalan yang diperlukan juga pemecahannya. Hal ini dibuktikan adanya perang terbuka
terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya.
Asumsi yang digunakan, semakin besar kekuasaan akal akan dapat diharapkan lahir
“dunia baru”yang penghuninya (manusia-manusianya) dapat merasa puas atas dasar
kepemimpinan akal yang sehat (Asmoro, 2011:113).
Dengan adanya kebebasan dalam berfikir, maka para pemikir-pemikir pada zaman
tersebut mengeluarkan segala hasil pemikirannya, maka hasil atas pemikiran-pemikiran
mereka lahirlah 13 aliran-aliran yang diantaranya: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme,
Idealisme, Positivisme Evolusionisme, Materialisme, Noe-Kantianisme, Pragmatisme,
Filsafat Hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme.

B. Aliran Empirisme
Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penalaran dedutif, ternyata dianggap
mempunyai kelemahan, maka muncullah pandangan lain yang berdarkan pengalaman
yang konkret. Mereka mengembangkan pengetahuan yang berdasarkan pengalaman
konkret disebut penganut empirisme. Paham empirisme menganggap bahwa pengetahuan
yang benar adalah pengetahuan yang diperoleh langsung melalui pengalaman konkret.
Menurut paham empirisme, gejala alam bersifat konkret dan dapat ditangkap dengan
pancaindra manusia. Melalui pancaindra manusia berhasil menghimpun banyak
pengetahuan (Burhanuddin, 2018: 43).
Istilah empirisme berasal dari kata Yunani, emperia yang berarti pengalaman
indrawi. Oleh sebab itu, empirisme adalah paham yang memilih pengalaman sebagai
sumber utama pengenalan. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman lahiriah
(dunia) maupun pengalaman batiniah (menyangkut pribadi manusia) (Juhaya, 2003: 105).
Kata empirisme menurut Amsal Bakhtiar berasal dari kata Yunani
empereikos yang berarti pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh
pengetahuan dari pengalaman inderawi. Hal ini dapat dilihat bila memperhatikan
pertanyaan seperti: “Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?” Seorang empiris akan
mengatakan, “Karena saya merasakan hal itu dan karena seorang ilmuan telah merasakan
seperti itu”. Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui
(subjek), yang diketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin.
Bagaimana dia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat
peraba.dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa  pengetahuan itu
diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai (Bakhtiar, 2012: 98).
Pelopor pelopor aliran ini adalah John Locke, Thomas Hobbes, Francis Bacon,
George Barkeley, David Hume. Empirisme menganut bahwa sumber pengetahuan yang
benar hanya berasal dari pengetahuan empiris. Akal budi bukanlah sumber pengetahuan,
melainkan hanya berfungsi untuk mengolah bahan bahan yang diperoleh dari
pengalaman. Hanya pengalaman empiris yang benar. Di luar pengalaman tidak ada
kebenaran. Dalam mengembangkan dirinya, aliran ini sangat mengagungkan dan
mengandalkan metode induksi dalam usaha pencarian kebenaran ilmiah. Metode induksi
bertitik tolak dari hal khusus ke hal umum (Fios, 2013: 61).
Karena empirimse ini berkembang di Inggris, maka dikenal pula sebagai
empirisme Inggris, seorang empiri akan mendapatkan pengetahuan mengenal dunia dan
apa yang dikatakan indra. Rumusan klasik dari pendekatan empiris berasal dari
Aristoteles. Dia berkata, tidak ada sesuatu dalam pikiran, kecuali yang sebelumnya telah
diserap oleh indra. Pandangan ini menyiratkan kecaman tajam terhadap plato, yang
berpendapat bahwa manusia membawa serta ide ide bawaan dari dunia ide. Jadi menurut
empirisme, manusia tidak mempunyai gagasan atau konsepsi bawaan mengenai dunia
sebelum ia melihatnya (Solihin, 2007:160).
Jadi, selebihnya penjelasan dari empirisme adalah sebuah aliran filsafat modern
yang sangat berlawanan dengan rasionalisme, karena aliran ini banyak menekankan pada
pengalaman yang terjadi pada diri dari ahli yang mengalaminya itu. Karena sebagian dari
teori yang ada pada aliran ini adalah pengalaman yang benar-benar dialami oleh para ahli
yang kemudian membuat aliran filsafat empirisme ini.

C. Tokoh Pendukung Aliran Empirisme


Setiap aliran sangat berpengaruh kepada pendukung-pendukungnya, begitu juga
dengan aliran empirisme. Adapun tokoh-tokoh pendukung aliran ini diantaranya;
1. Francis Bacon (1561-1626)
2. Thomas Hoobes (1588-1679)
Thomas Hobbes lahir di Inggris pada 1588 M. Ia adalah putra dari seorang pastur
yang suka berdebat. Keluarganya lari dari daerahnya akibat situasi yang kurang
mendukung. Ia sosok yang cerdas, pada usia 6 tahun sudah menguasai bahasa Yunani dan
Latin. Pada usia 15 tahun, ia belajar di Oxford University (Maksum, 2008: 104).
Hobbes hidup era pergolakan, karena kekuasaan raja semakin besar, para
pedangan dan pemilik tanah mulai melihat adanya bahaya yang terkandung dalam
kekuasaan politik yang tidak terbatas dan tidak terkontrol, kesewenang wenangan para
penguasa berlangsung seiring dengan pergolakan yang diakibatkannya. Dalam situasi
yang demikian, Hobbes menulis karya politik terbesarnya Leviathan (Maksum, 2008:
105).
Sumbangan yang besar sebagai ahli pikir adalah suatu sistem materialistis yang
besar, termasuk juga perikehidupan organis dan rohaniah. Dalam bidang kenegaraan ia
mengemukakan teori Kontrak Sosial. Dalam tulisannya, ia telah menyusun suatu sistem
pemikiran yang berpangkal pada dasar-dasar empiris, di samping juga menerima metode
dalam ilmu yang matematis (Harun, 2014:32).
Sebagai penganut empirisme, Hobbes beranggapan bahwa pengalaman
merupakan permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam
perhitungan, yaitu penggabungan data data inderawi yang sama dengan cara berlainan.
Tentang dunia dan manusia, ia dapat dikatakan sebagai penganut materialistis. Karena itu
ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis yang pertama dalam sejarah modern.
Berbeda dengan Bacon, yang meletakkan eksperimen eksperimen sebagai metode
penelitian , Hobbes memandangnya sebagai doktrin (Juhaya, 2003: 106).
Filsafat Hobbes mewujudkan suatu sistem yang lengkp mengenai keterangan
tentang “yang ada” secara mekanis. Dengan demikian ia merupakan seorang materialis di
bidang ajaran tentang antropologi, serta seorang absolutis di bidang ajaran tentang negara
(Juhaya, 2003: 107).
Hobbes memperdalami dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun
suatu sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia
bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam
ilmu alam yang bersifat matematis. Hobbes mempersatukan empirisme dengan
rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman
modern. Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan
dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses
penjumlahan dan pengurangan misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya.
Pengalaman dimaksudkan sebagai keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan
dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan di masa depan, sesuai dengan
apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan indrawi terjadi karena gerak benda-
benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak didalam indra kita. Gerak ini
diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul reaksi, yaitu suatu
gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal
gerak reaksi tadi (Zainul, 2012: ).
Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengalaman diperoleh karena
pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan
tentang asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala ilmu pengetahuan
diturunkan dari pada pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang
memberi jaminan ((Juhaya, 2003: 109).
Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan
akal hanyalah fungsi mekanis semata mata. Karena pengalaman dan akal mewujudkan
suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Yang dimaksud pengalaman adalah
keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan di dalam ingatan atau digabungkan
dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada
masa lalu (Juhaya, 2003: 109).
Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes penganut nominalisme, dimana ia
menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang universal, kecuali nama. Ide dapat
digambarkan melalui kata kata. Dengan kata lain, tanpa kata ide tidak dapat digambarkan.
Tanpa bahasa, tidak ada kebenaran atau kebohongan, sebab itu hanya sekedar sifat saja.
Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas di dalam bentuk pikiran orang
(Juhaya, 2003: 110).
Hobbes mengibaratkan Negara sebagai Leviathan, sejenis monster (makluk
raksasa) yang ganas, menakutkan dan bengis yang terdapat dalam kisah perjanjian lama.
Makluk raksasa ini selalu mengancam keberadaan makluk-makluk lainnya. Leviathan
tidak hanya ditakuti tapi juga di patuhi segala perintahnya.Hobbes menjuluki Negara
kekuasaan (machtsstaat) sebagai Leviathan. Negara ini menimbulkan rasa takut kepada
siapapun yang melanggar Hukum Negara, Negara leviathan tak segan-segan menjatuhkan
vonis Hukuman mati. Negara Leviathan harus kuat. Bila lemah akan timbul anarkhi,
perang sipil mudah meletus dan dapat mengakibatkan kekuasaan terbelah (Suhelmi,
2007: 165).
Menurut Hobbes keadaan yang berpotensi menimbulkan anarkhi dan perang
didasarkan pada hakikat alamiah yang melekat pada diri manusia itulah yang melahirkan
persaingan sesama manusia. Dalam usaha memaksimalisasi kebahagiaan dan
meminimalisai penderitaandiri, manusia akan berhadapan dengan manusia lain. Maka ada
sebagian manusia yang akan lebih berhasil mencapai lebih banyak kebahagiaan dan
sedikit penderitaannya, tetapi dilain pihak sebagian besar manusia lainnya lebih banyak
menderita dari pada memperoleh kebahagiaan mereka yang kalah dalam persaingan itu
akan tersingkir dan mereka yang menang akan berkuasa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara historis, zaman modern dimulai sejak adanya krisis pertengahan sekita abad 15
ditandai munculnya gerakan Renaissance yang berarti kelahiran kembali yang
mengacu kepada gerakan keagamaan dan kemasyarakatan.
2. Ajaran pokok aliran ini ialah mengakui bahwa pengalaman adalah sumber satu-
satunya ilmu pengetahuan.
3. Ada 5 orang tokoh aliran Empirisme yaitu; Francis Bacon, Thomas Hobbes, John
Locke, George Barkeley dan David Hume.
B. Saran
Menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena kami sebagai penyusn
makalah ini hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan dosa. Kedepannya
kami akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan masalah-masalah yang sudah
dibahas dengan sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan. Masukan dari
berbagai pihak akan sangat membantu.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. 2011. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers.


Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: Grafindo Persada.
Burhanuddin, Nunu. 2018. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenada Media.
Fios, Frederikus. 2013. Pengantar Filsafat: Ilmu dan Logika. Jakarta: Salemba Humanika.
Harun, H. 2014. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kisanius.

Juhaya. 2003. Aliran Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media.

Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
Rahmat, Aceng, dkk.2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta:Kencana Prenada Media Group.
Rizal, Muhammad dan Misnal, Muhammad. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:Pustaka Belajar.
Salam, Burhanuddin. 2009. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Solihin. 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. Bandung:
Pustaka Setia
Sumama, Cecep. 2004. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung:Pustaka Bani Quraisy.
Sofyan, Ayi. 2010. Kafita Selekta Filsafat. Bandung:Pustaka Setia.
Frumensius, Andy. 2010. Pencari Kebenaran dan Kebijaksanaan.
http://andyfrumens.blogspot.co.id/2010/07. Diakses pada 26 November 2016.
Suhandra. 2012. Rasionalisme dan Empirisme. http://punyasuhanda.blogspot.co.id/2012/05/.
Diakses pada 30 November 2016.
Haq, Muhammad Zainul. 2012. Modern (rasionalisme, empirisme, kritisme, dan idealisme).
http://inul-makalah.blogspot.com/2012/03/. diakses 28 November 2016.
Admin B. Rasionalisme dan Empirisme. http://www.rangkumanmkalah.com/rasionalisme-dan-
empirisme/, diakses 23 November 2016.

Anda mungkin juga menyukai