TUGAS
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kajian Metodologi
Sejarah
Dosen:
Oleh:
APRIROZA DELAILA
NIM. 1706555
ABSTRAK
Apriroza Delaila
apriroza.delaila@gmail.com
Universitas Negeri Padang
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, ilmu sejarah memiliki dasar dan
struktur. Fakta adalah dasar pengetahuan sejarah dan historiografi sebagai
struktur pengetahuan sejarah (Leirisa, dalam Agus, 2009: 121). Penulisan
sejarah adalah puncak dari segalanya. Sejarah sebagaimana terjadinya dan
hasil penulisan sejarah inilah yang disebut historiografi (Taufik dalam
Agus, 2009:121).
Arah perkembangan historiografi Indonesia sejak tahun 1980-an mulai
bergeser dari sejarah orang-orang besar ke sejarah masyarakat biasa. Bisa
dikatakan Disertasi Sartono Kartodirjo tentang pemberontakan petani
Banten tahun 1988 merupakan salah satu karya sejarah yang berperan
penting dalam membawa perubahan historiografi Indonesia yang
sebelumnya hanya mengenai sejarah orang-orang besar. Tak bisa
dipungkiri Disertasi Sartono tentang petani Banten banyak mempengaruhi
mahasiswanya untuk mengangkat penelitian yang sejenis. Topik-topik
sejarah tentang orang-orang besar mulai ditinggalkan (Erwiza Erman,
2011). Seperti topik sejarah kemaritiman yang memperoleh parhatian yang
semakin meningkat setelah Disertasi A.B. Lapian, maka perhatian
terhadap sektor lain juga meningkat. Misalnya sektor pertambangan.
Sejarah sosial-politik dan sosial-ekonomi pertambangan semakin
meningkat sejak akhir awal tahun 1990–an baik oleh sejarawan Indonesia
maupun Belanda, antara lain misalnya studi mengenai rejim kerja di
tambang timah dan batubara oleh Erwiza Erman (1995; 2005), Bambang
Sulistyo di perusahaan minyak bumi (2005) (Erwiza Erman, 2011). Selain
membahas sejarah pertambangan Erwiza Erman juga menulis disertasi
tentang sejarah tambang batu-bara di Sawahlunto. Menurutnya, meskipun
dunia tambang lekat dengan maskulinitas, namun bukan berarti seorang
perempuan tidak boleh meneliti topik ini, Buk Eng merasa makin
tertantang dengan hal tersebut (Erwiza, 1999).
Metode dan metodologi dalam penelitian sejarah tentu tidak luput jika
kita bicara tentang historiografi. Meskipun metode dan metodologi
memiliki hubungan yang sangat erat, namun keduanya jelas berbeda dan
dapat dibedakan. Sartono Kartodirjo membedakan antara metode sebagai
“bagaimana orang memperoleh pengetahuan” (how to know) dan
metodologi sejarah sebagai “mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to
know how to know) (Kartodirjo, dalam Helius, 2016: 10).
Menurut Helius Sjamsuddin, pengusaan metode dan metodologi bagi
sejarawan adalah ibarat penguasaan keterampilan tukang tembok dan
penalaran serta kiat seorang insinyur bangunan. Seorang tukang tembok
mengetahui dan menguasai “metode” membangun rumah dengan
melakukan sendiri penyusunan batu demi batu, pencampuran semen untuk
beton dan plaster tembok tanpa harus mengetahui segala macam “teori”
dan perhitungan-perhitungan yang rumit. Tetapi seorang insinyur
bangunan harus menguasai “metodologi” (tentu saja termasuk metode)
pembangunan sebuah gedung. Ia merencanakan semua dari awal seperti
pembuatan cetak-biru (blue print), perhitungan konstruksi dan kekuatan
bangunan, kenyamanan serta keamanannya, sampai pada hubungan
gedung dengan lingkungan sekitar. Jadi, seorang sejarawan professional
dituntut penguasaan sekaligus metode dan metodologi disiplinnya (Helius,
2016: 11).
Dalam artikel ini penulis akan membahas metodologi (termasuk
metode) sejarah yang digunakan oleh Prof. Dr. Erwiza Erman dalam
bukunya yang berjudul Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap:
Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung.
Belitung, Belitong, Billiton, dan Negeri Laskar Pelangi adalah nama-
nama yang diperuntukkan untuk pulau ini. Asal usul kata Belitung
berkaitan erat dengan siput, tetapi ada pula yang menghubungkannya
dengan asal usul kata Belitung dalam buku Negara Kertagama karangan
Prapanca (Erwiza, 2014). Pulau Belitung letaknya di bagian timur Pulau
Sumatra, memiliki luas 4.800 km² atau 480.010 ha. Pulau ini diapit di
sebelah utara dengan Laut Cina Selatan, sebelah timur dengan Selat
Karimata, sedangkan di sebelah selatan dengan Laut Jawa, dan sebelah
barat berbatasan dengan Selat Gaspar.
Bicara tentang sejarah timah secara khusus berarti kita mengkaji
tentang sejarah pertambangan secara umum. Kajian tentang pertambangan
secara teknis memang sudah banyak dilakukan oleh para ilmuwan yang
ahli di bidang pertambangan. Namun kajian dan penelitian yang khusus
membahas sejarah dari pertambangan itu sendiri, terlebih sejarah
pertambangan di Indonesia masih sangat minim. Sebagai negara yang
mempunyai hasil tambang yang bisa diandalkan, sudah sepatutnya kita
memberikan perhatian yang lebih besar kepada dunia pertambangan dan
kajian historisnya. Sehingga sumber daya alam kita tidak lagi menjadi
objek eksploitasi para pengusaha dan penguasa.
Tidak hanya di Indonesia, kekurangan perhatian terhadap sejarah
pertambangan juga dialami oleh negara lain. Seperti studi tentang
pertambangan emas di Zimbabwe yang ditulis oleh Ann Kritzinger (2009)
yang memiliki potensi besar dalam pertambangan emas, namun
pemerintah kurang memperhatikan sektor ini, sehingga penelitian Ann
tergolong penelitian yang masih sangat muda dan dibutuhkan penelitian
lanjutan akan hal ini. Sejarah tentang pertambangan merkuri di Australia
juga ditulis oleh McQueen Ken (2011) yang meneliti tentang
pertambangan merkuri abad kesembilan belas di Australia dan tingginya
permintaan pasar seiring meningkatnya harga emas.
Seperti diungkapkan oleh George R. Lewis dalam bukunya bahwa
terlepas dari hubungan dengan pertambangan, komoditas timah merupakan
komoditi yang pantas untuk mendapatkan perhatian sejarah. Perhatian
terhadap buruh tambang juga terabaikan. Padahal mereka mempunyai
peranan yang sangat penting (George R. Lewis, 1908). Timah telah ada
semenjak dahulu kala, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa pada
zaman pra sejarah telah terjadi proses penambangan timah (Varyl, 2004)
pada awal zaman romawi kuno di Dartmoor. Sudut pandang lain tentang
penelitian pertambangan ditulis oleh (Michael, 2002) ia melihat bagaimana
potosi sebagai sebuah kota di dataran tinggi Bolivia yang merupakan kota
tambang perak terkaya di Amerika Selatan yang dibangun pada tahun
1545. Kota tambang ini dimanfaatkan sebagai wisata tambang yang
memberikan kesempatan kepada wisatawan di Potosi mengunjungi operasi
aktual daripada museum atau ranjau yang dipugar. Jumlah penelitian
terhadap sejarah pertambangan masih kurang dari cukup. Banyak hal yang
bisa digali dari dunia pertambangan yang terus mengalami pergerakan.
Membahas pertambangan, berarti menyangkut permasalahan lainnya
seperti yang dijelaskan Magnus Fiskesjo (2010) yang membahas tentang
pertambangan di wilayah perbatasan Burma-China diuraikan dan dibahas
dengan mengacu pada perdebatan yang lebih besar mengenai agensi,
otonomi, dan pembentukan negara, dengan perhatian khusus pada sumber
daya pertambangan dan hubungannya dengan politik wilayah Wa sebelum
pertengahan abad ke-20. Selanjutnya penelitian tentang pertambangan
peru kontemporer, yang ditulis oleh Mathew Himley (2014) melakukan
anlisis dengan terlebih dahulu mengkaji sejarah pertambangan di peru
khususnya pertambangan emas skala besar di kota Ancash, Peru. Mathew
menemukan pertambangan ditumpangi oleh kepentingan politik, ekplorasi
ketegangan antara masyarakat dan para pemodal, dan berbagai aspek
negatif lainnya dari industri pertambangan.
Dunia pertambangan tak jarang menimbulkan efek samping yang
merugikan masyarakat sekitarnya, seperti yang terjadi di penambangan
Uranium di Amerika Serikat (Dour Brugge & Rob Goble, 2011) pada
masa perang dunia ke II hingga tahun 1971 yang menimbulkan tingginya
penderita Kanker Paru –Paru di negara tersebut, hal ini diduga terjadi
karena lambatnya penanganan dari pemerintah dan kondisi pasca perang
yang juga tidak memungkinkan.
Dibandingkan dengan daerah-daerah penghasil timah lain di Indonesia,
pulau Bangka dan Belitung merupakan dua pulau yang telah lama
menghasilkan timah dan terbanyak jika dilihat dari sudut produksi. Pada
awal abad ke-19 kebutuhan akan timah mulai meningkat. Jadi timah yang
sebelumnya hanya dipasarkan intra-Asia mulai bergeser ke Amerika dan
Eropa. Dengan meningkatnya permintaan timah tersebut, para produsen
timah berpacu untuk memprroduksi timah sebanyak-banyaknya. Maka dari
sinilah dimulainya perekrutan tenaga buruh dari Cina untuk bekerja di
perusahaan timah Bangka-Belitung (Erwiza Erman, 2006) dalam
perjalanan panjang sejarahnya, buruh Cina memberikan pengaruh terhadap
sosial-politik masyarakat Bangka-Belitung sampai masa sekarang.
Bicara tentang pertambangan, (termasuk tambang timah) bisa
menyangkut berbagai aspek. Aspek perusahaan tambang, para buruh yang
bekerja, penyelundupan timah, monopoli perdagangan timah, praktek
bisnis legal dan ilegal, dan banyak aspek lainnya yang butuh segera dicari
penyelesaian masalahnya. Ekonomi ilegal bisnis timah bisa dilacak
semenjak zaman VOC menjajah Indonesia bahkan jauh sebelum itu. Pada
abad ke-18 Bangka Belitung berada dibawah kekuasaan kerajaan
Palembang. Sultan Palembang menyetujui perjanjian dengan VOC untuk
hanya menjual hasil produksi timah hanya kepada VOC dengan harga
yang telah ditentukan. Perjanjian ini terpaksa disetujui karena Kerajaan
Palembang juga mendaapat keuntungan dari VOC berupa proteksi
keamanan kerajaan dri serangan pihak luar.
Dalam melacak sejarah bisnis ilegal, ada dua pasang kata yang tak bisa
dipisahkan. Yaitu monopoli dan penyelundupan. Legal dan ilegal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengajukan
rumusan masalah:
1. Bagaimana metodologi (termasuk metode sejarah) yang digunakan
oleh Erwiza Erman dalam bukunya yang berjudul Dari Pembentukan
Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka
Belitung?
2. Bagaimana sejarah perkembangan timah di Bangka-Belitung pada
buku Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak
Sejarah Timah Bangka-Belitung yang ditulis oleh Erwiza Erman.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Menjelaskan pendekatan dan metodologi yang digunakan
oleh Erwiza Erman dalam bukunya yang berjudul Dari
Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak
Sejarah Timah Bangka Belitung
2. Menjelaskan tahapan metode sejarah yang digunakan
Erwiza Erman dalam bukunya yang berjudul Dari
Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak
Sejarah Timah Bangka Belitung.
BAB II
A. Identitas Buku
1. Judul Buku : Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap:
Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung
2. Nama Penulis : Erwiza Erman
3. Nama Penerbit : Ombak
4. Tahun Terbit : 2009
5. Cetakan :1
6. Jumlah hal : 291
7. Jumlah Bab : 7 (tujuh) Bab
Diakhir tulisannya dari buku ini, Buk Eng memunculkan istilah yang
ia namakan dengan keuntungan diam: studi hubungan kekuasaan dalam
bisnis pertimahan. Menurut penulis, bab terakhir dalam buku ini
merupakan bagian terindah dalam buku ini, banyak hal baru yang
diungkap Buk Eng di bab terkahir ini. Konsep legal dan ilegal dijelaskan
dengan sangat kompleks, legal dan ilegal sebagai konflik multilapis
kontestasi kekuasaan dan sarat akan kepentingan politik. Sangat terlihat
kualitas Eriwiza Erman sebagai seorang sejarawan yang menggunakan
metodologi strukturis dalam tulisan ini, betapa pintarnya Buk Eng
menempatkan peranan manusia sebagai faktor sejarah yang tetap terikat
pada struktur sosialnya.
E. Metode
Erwiza Erman tidak menjelaskan metode penelitian apa yang diapakai
dalam penelitian ini, namun jika dilihat dari gaya penulisan, sumber-
sumber sejarah yang dipakai, maka penulis mengidentifikasi bahwa Buk
Eng menggunakan metode sejarah dalam penelitian ini.
Menurut Louis Gottschalk metode sejarah adalah sebuah proses
menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa
lampau manusia. Rekonstruksi yang imajinatif daripada masa lampau itu
berdasarkan data yang diperoleh (melalui kritik sumber) dengan
menempuh cara itu disebut historiografi (Gottschalk dalam Dudung,
2007). Kuntowijoyo dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah menerangkan
tahapan metode sejarah ke dalam empat bagian yaitu: pengumpulan dan
pemilihan sumber, verifikasi atau kritik sumber, interpretasi, dan penulisan
sejarah (historiografi) (Kuntowijoyo, 2013: 73-78). Berikut ini akan
dibahas satu persatu bagian tahapan metode sejarah dalam kaitannya
dengan penulisan buku Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap:
Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung.
1. Pemilihan Sumber (Heuristik)
Dalam buku yang dikaji ini, Buk Eng menggunakan sumber-
sumber tertulis dan lisan. Sumber tertulis dari kategori primer antara
lain berupa arsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ARNAS-
RI), Arsip Daerah diantaranya daerah Bangka dan Palembang, arsip
Badan Pemeriksa Keuangan (Bapekan), Arsip Nasional Belanda-Den
Haag, Koleksi KITLV (Hisdoc) Leiden. Wawancara untuk
kepentingan penelitian dilakukan Buk Eng dengan berbagai informan,
mulai dari tokoh-tokoh di Bangka (baik yang bekerja di pemerintahan
maupun para pensiunan PT Timah) sampai ke petani lada, manajer
perusahaan, penambang timah (TI), kolekor timah, para nelayan, dan
buruh pemetik lada. Sebagian informan bersedia disebutkan namanya
dan sebagian tidak. Waktu wawancara pun juga bervariasi, mulai 2002
sampai 2005. Setelah rentangan tahun itu, Buk Eng juga setiap tahun
datang ke Bangka untuk menemukan informan lama dan baru. Sumber
dari koran juga tak luput dari perhatian Buk Eng, seperti koran Bangka
Pos, Batanghari Sembilan, Far Eastern Economic Review, Suara
Rakyat, Suara Bangka, Suluh Bangka, Kompas, dan berbagai nama
koran dengan tahun terbit yang bervariasi.
Dalam studi lapangan dan dokumen yang beliau dapatkan, Buk
Eng berusaha menyelami lebih dalam berbagai aspek kehidupan orang
bangka-belitung (penduduk yang berdomisili di Bangka-Belitung)
yang dipengaruhi atau mempengaruhi kehidupan sosial, politik, dan
ekonomi mereka. Bisa dilihat dalam bukunya bahwa hampir seratus
persen sumber yang digunakan oleh Buk Eng merupakan sumber
primer. Sumber primer dalam artian disini adalah sumber yang didapat
langsung dari tangan pertama, bukan sumber yang dicari oelh orang
lain.
2. Kritik Sumber
a. Kritik Eksternal
Kritik eksternal yaitu mencari otensitas atau keotentikan
(keaslian) sumber. Jika kritik ekstern diberlakukan pada sumber
tertulis, maka pertama yang harus diperhatikan adalah bahan yang
dipakai, misalnya batu atau logam (prasasti), kertas (arsip atau
manuskrip), jenis tinta, cap, bentuk tulisan, waktu, zaman, tempat
dan gaya huruf itu sezaman atau tidak (Kuntowijoyo, dalam
Sugeng, 2012). Demikian juga dengan sumber lisan, kritik ekstern
bisa dilakukan dengan cara memperhatikan si pelaku dan si
penyaksi apakah buta atau tidak, tuli atau tidak, bisu atau tidak,
waras atau gila, suka berbohong atau tidak, dan pikun atau tidak.
Cacat dan mundurnya fisik seseorang berpengaruh dalam
memberikan kesaksian. Jika masalah fisik tidak menjadi masalah,
maka mereka adalah sumber yang otentik. Masalah keotentikan ini
berkaitan dengan tiga hal, yaitu : a) adakah sumber itu memang
sumber yang dikehendaki? b) adakah sumber itu asli atau turunan
(salinan)? c) adakah sumber itu utuh atau telah diubah-ubah
(bertambah atau berkurang)? (Notosusanto dalam Sugeng, 2012).
Ontentitas menjelaskan bahwa kesaksian benar-benar diberikan
oleh orang ini atau pada waktu ini (keaslian), sedangkan integritas
adalah kesaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada
perubahan (terpelihara isinya), tanpa ada suatu tambahan-tambahan
atau penghilangan isi yang substansial (Sjamsuddin, 2016: 85).
Dalam buku yang menjadi objek kajian tulisan ini, Buk Eng
menjelaskan bahwa sumber-sumber diperolehnya dari berbagai
tempat yang berupa arsip dan hasil wawancara. Ia memperoleh
sumber tertulis dan lisan secara langsung dengan mengunjungi
sumber tersebut, seperti menemukannya di Arsip Nasional
Indonesia, bahkan keluar negeri seperti ke Arsip Negeri Belanda,
arsip daerah, dan berbagai surat kabar. Untuk mengimbangi Arsip
tersebut Buk Eng melakukan wawancara dengan berbagai
informan dengan latar belakang berbeda untuk mendapatkan
kesaksian secara langsung dari mereka. Ketika di Belanda Buk Eng
bahkan memasang iklan di surat kabar untuk menemukan informan
yang diinginkannya.
b. Kritik Internal
Kritik internal bertujuan untuk menilai apakah sumber itu
memiliki kredibilitas(kebisaan untuk dipercaya) atau tidak
(Sugeng, 2012). Kebalikan dari kritik eksternal, kritik internal
menekankan aspek dalam yaitu isi dari sumber berupa kesaksian
(testimony). Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalui kritik
eksternal, tiba gilirannya sejarawan untuk mengadakan evaluasi
terhadap kesaksian. Ia harus memutuskan apakah kesaksian itu
dapat diandalkan (reliable) atau tidak (Sjamsuddin, 2016: 91).
Kritik internal dilakukan dengan memperhatikan dua hal yaitu
1) penilaian intrinsik (terkandung di dalam) terhadap sumber-
sumber, 2) membanding-bandingkan kesaksian dari berbagai
sumber agar sumber dapat dipercaya (diterima kredibilitasnya)
(Sugeng, 2012).
Dalam buku yang menjadi objek kajian ini, Buk Eng yang memang
sudah memiliki kedekatan intelektual dengan sejarah
pertambangan bisa melakukan kritik internal dengan baik. Seperti
salah satu halaman dari buku beliau menyatakan:
“..... meskipun kedua pengarang ini bukanlah sejarawan
profesional, akan tetapi mereka tampak kritis dalam
menghimpun berbagai informasi yang mengandung mitos
mengenai asal-usul Bangka. ... sikap kritis menyaring
keterangan dari para informan, para orang tua baik di
Bangka dan Palembang, dan kemudian mengingatkan para
pembaca akan validitas informasi, merupakan pekerjaan
sejarawan profesional ... (Erwiza, 2009: 48)”
Dari kutipan tersebut jelaslah jika Buk Eng sangat selektif
dengan sumber sejarah yang digunakannya. Buk Eng juga
membandingkan dan merujuk ke sejarawan baik nasional maupun
internasional yang membahas topik sejenis. Dengan sumber data
yang telah dikumpulaknnya selama bertahun-tahun, dalam waktu
yang tentu tidak singkat dan kapasitas keilmuan yang sangat
memadai sebagai sejarawan, maka tentulah Buk Eng melakukan
seleksi sumber yang ketat dengan melakukan perbandingan dan
konfirmasi, dengan demikian dapat dikatakan Erwiza Erman telah
dengan ketat melakukan kritik eksternal maupun internal yang
teruji otentitas, integritas, dan kredibilitasnya.
3. Interpretasi
Dalam sejarah terdapat dua unsur yang penting, yaitu fakta sejara
dan penafsiran atau interpretasi. Jika tidak interpretasi, maka sejarah
tidak lebih merupakan kronik, yaitu urutan peristiwa. Jika tidak ada
fakta, maka sejarah tidak mungkin dibangun (Kuntowijoyo dalam
Sugeng, 2012). Begitulah sepenggal petuah Kuntowijoyo yang dikutip
oleh Sugeng. Dari kutipan tersebut terlihat jelas bahwa interpretasi
merupakan poin yang sangat penting dalam sejarah.
Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang
subjektivitas. Sejarawan yang jujur akan mencantumkan data dan
keterangan dari mana data diperoleh. Orang lain dapat melihat kembali
dan menafsirkan ulang. Itulah sebabnya, subjektivitas penulisan
sejarah diakui, tetapi untuk dihindari. Interpretasi itu ada dua macam
yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan dan sintesis
berarti menyatukan (Kuntowijoyo, 2013: 78).
Pada tahap sintesis, peneliti mengaitkan dan menyatukan fakta-
fakta sehingga interaksi antar unsur akan membentuk makna
keseluruhan yang utuh dan bulat. Sintesis juga mempertemukan tesis
dengan tesis lain, atau tesis berhadapan dengan antithesis. Pertemuan
berbagai tesis akan menghasilkan tesis baru, yang dikenal dengan
sintesis. Penelitit harus mengembangkan cara berpikir dialektika
karena bisa jadi peneliti akan menghadapi berbagai fakta yang bersifat
paradoks (Sugeng, 2012: 78).
Berkenaan dengan interpretasi yang dilakukan oleh Erwiza Erman
di buku dengan judul Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap:
Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung yang menjadi objek kajian
tulisan ini, Buk Eng menganalisis sumber sejarah yang didapatkannya
baik di dalam maupun luar negeri, yang pada tahapan selanjutnya ia
melahirkan banyak fakta sejarah dari hasil interpretasi sumber tersebut.
“.... loyalitas mereka terhadap Sultan Palembang
dimungkinkan karena adanya hubungan keluarga dan status
sebagai Depati dan hak-hak istimewa yang diberikan Sultan
Palembang terhadap mereka.... (Erwiza, 2009: 55)”
PENUTUP
Secara umum karya Erwiza Erman dalam bukunya yang berjudul Dari
Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka
Belitung adalah bentuk penulisan sejarah yang menggunakan metodologi dan
pendekatan strukturisme dalam penulisan dan eksplanasi sejarah. Erwiza Erman
juga menggunakan pendekatan hermeunetika dan verstehen dalam memahami
setiap sumber dan fakta sejarah.
Metode yang digunakan oleh Buk Eng adalah metode sejarah yang terdiri dari
empat langkah. Berkaitan dengan pengumpulan sumber sejarah, Buk Eng telah
melakukan pelacakan dan penemuan sumber dari dalam dan luar negeri, seperti
bahan-bahan arsip dari Indonesia, Inggris, dan Belanda, sedangkan wawancara
dilakukan kepada pelaku sejarah dan masyarakat yang hidup pada zaman itu,
bahkan keluarga atau keturunan para pelaku sejarah. Sumber tersebut diverifikasi
secara ketat oleh Buk Eng untuk mengetahui autentisitas dan kredibilitasnya.
Selanjutnya, beliau melakukan interpretasi dengan menganalisis dan mengsintesis
sumber-sumber yang telah diverifikasikan untuk dijadikan sebuah fakta dan
konsep dalam membangun cerita sejarah. Tahapan akhir adalah historiografi
dalam bentuk penulisan dan penyajian cerita sejarah secara tertulis.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Buku