Anda di halaman 1dari 7

Rekontemplasi Periodisasi Prasejarah Di Indonesia

Jarwo Susetyo Edi Yuwono

Keywords: methods, theory, prehistory, periodization, paradigm

How to Cite:

Yuwono, J. S. E. Rekontemplasi Periodisasi Prasejarah Di Indonesia. Berkala


Arkeologi, 15(3), 144–149. https://doi.org/10.30883/jba.v15i3.687

Berkala Arkeologi
https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/

Volume 15 No. 3, 1995, 144-149


DOI: 10.30883/jba.v15i3.687

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-


ShareAlike 4.0 International License.
REKONTEMPLASI PERIODISASI PRASEJARAH DI INDONESIA

J. Susetyo Edy Yuwono


(Jurusan Arkeologi FS-UGM)

1
del sosial-ekonomi . Sedangkan renungan penu-lis
pribadi, mengenai periodisasi prasejarah Indo­
Arkeologi merupakan disiplin ilmu dengan nesia akan dipaparkan pada bagian akhir tulisan.
kajian yang luas. Bukti adanya aktivitas manusia
yang tertua, dalam hal ini data dari masa praseja­ II
rah, hanyalah merupakan tonggak awal penjelaja­
han arkeologi. Di lain pihak, data arkeologi seba­ Di dalam khasanah arkeologi Indonesia,
gai jembatan untuk memperoleh gambaran aktivi­ khususnya masa prasejarah, beberapa sistem pe­
tas dan proses budaya yang pernah terjadi ber­ riodisasi' sudah diajukan. Penyusunan sistem pe­
sifat fragmentaris. Keberadaannya di suatu situs riodisasi ini berhubungan erat dengan upaya un­
pun sudah banyak diwarnai bias. Dalam kaitan ini tuk memberikan arti kultur-historis terhadap ben­
.,.
kiranya menarik apa yang diungkap oleh Collins da-benda tinggalan masa lampau. Secara garis
(1979) mengenai tujuh sumber bias (Collins 1979: besar ada 2 konsepsi periodisasi yang pernah
29), secara umum dapat dikelompokkan dalam berkembang di Indonesia, yaitu 'konsepsi lama'
historical factors, post depositional factors, dan dan 'konsepsi baru' (Soejono 1976).
research factors (Daniels 1972:202). Sistem Tiga Jaman (Three Age System)
Luasnya kajian arkeologi sebagaimana di­ yang dikemukakan oleh C.J. Thomsen pada seki­
sebutkan di atas, ditambah dengan kondisi dan tar tahun 1836, barangkali merupakan salah satu
sifat data yang dipakai sebagai titik tolak kajian, 'konsepsi lama' yang paling berpengaruh terhadap
semakin menunjukkan pentingnya pemahaman kajian prasejarah di Indonesia, bahkan sam-pai
berbagai dimensi dan aspek kehidupan masa la-lu. sekarang. Thomsen, dengan menggunakan model
Ada tiga dimensi penting dalam kajian arkeo-logi, teknologi, membagi masa prasejarah ke dalam tiga
yaitu dimensi bentuk (shape), waktu (time), dan tingkatan, yaitu jaman batu, jaman pe-runggu, dan
ruang (space), yang ketiganya harus dilihat dalam jaman besi. Jaman batu diperinci lagi menjadi
suatu hubungan timbal-balik (Spaulding 1960:439). paleolitik, mesolitik, dan neolitik. Di lndo-nesia
Panjangnya dimensi waktu akhirnya mendasari periodesasi tersebut ditambahkan secara khusus,
pembabakan atau sistem periodisasi, termasuk yaitu tingkat megalitik. Hal tersebut dise-babkan
sistem periodisasi prasejarah. megalitik merupakan corak kebudayaan yang
Sejalan. dengan penalaran di atas, tulisan ini memiliki sifat dan ciri tertentu dan terjadi pada
dibuat untuk memberikan bahan renungan me­ akhir prasejarah serta disejajarkan dengan jaman
ngenai sistem periodisasi prasejarah di Indonesia. neolitik dan perunggu-besi.
Beberapa pertanyaan pokok yang menjadi bahan Konsepsi Thomsen, mendasarkan atas per­
renungan adalah: apakah dasar yang digunakan kembangan teknik pembuatan alat-alat, meman­
untuk membuat sistem periodisasi sudah sesuai dang arkeologi sebagai ilmu yang evolusioner.
dengan tujuan yang akan diraih; apakah sistem Dalam pandangan yang demikian ini kebudayaan
periodisasi tersebut mampu memberikan alterna-tif dianggap berevolusi dari bentuk yang sederhana
pemecahan mengenai berbagai fenomena ma-sa ke bentuk yang kompleks. Setiap perkembangan
prasejarah di Indonesia; apakah dari sistem ditandai dengan terciptanya alat-alat dengan ben­
periodisasi tersebut dapat diketahui proses peru­ tuk dan bahan tertentu. Dengan kata lain, alat-alat
bahan kebudayaan; dan akhirnya, apakah sistem yang diciptakan dapat memberikan gambaran
periodisasi yang sekarang dianut masih relevan tentang perkembangan tingkat kebudayaan ma­
dengan pesatnya perkembangan metode dan teo­ nusia prasejarah (Ibid.).
ri arkeologi. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini
kiranya mendesak untuk dikaji lebih lanjut.
Uraian akan diawali dengan gambaran seki­
las tentang sistem periodisasi prasejarah yang Untuk keperluan ini, tulisan Mindra Faizaliskandiar,
pernah diterapkan di Indonesia. Pada bagian beri­ Variabilitas Tipe Artefak Sebagai lndikator Strategi
kutnya akan disajikan secara ringkas beberapa Substansi: Kajian atas Strategi Perburuan Paleolitik
penilaian yang pernah dilakukan terhadap sistem Asia Tenggara, dalam PIA V, 1989; dan Truman Si­
manjuntak, Neo/itik di Indonesia: Neraca dan Pers­
periodisasi prasejarah yang didasarkan atas mo-
pektif Penelitian, dalam JAi No. 111992, penulis ang­
gap sudah cukup memadai

Berka/a Arlceo/ogi - EDIS/ KHUSUS - 1995 I -l-l


Dalam perkembangannya, model teknolo-gis jarah di atas ternyata juga menimbulkan berbagai
yang diajukan oleh Thomsen dianggap kurang pertanyaan dan kritik. Pada bagian ini penulis akan
sesuai dan dapat menimbulkan kesulitan dalam menguraikan beberapa pokok penilaian yang
mengklasifikasikan jenis-jenis artefak. Untuk itu­ diberikan oleh para arkeolog Indonesia.
lah, pengertian teknologi harus dipandang seba­ Mindra Faizaliskandiar (1989), dalam kon­
gai 'tradisi' yang berevolusi dan tidak terikat oleh teks pembahasan me'ngenai strategi perburuan
batas waktu. Tradisi lama dapat terus berlang­ paleolitik, mengemukakan bahwa hakekat data
sung sampai ke masa yang lebih muda. Atas ke­ paleolitik Indonesia yang kebanyakan ditemukan di
nyataan inilah, untuk menggambarkan kembali 'permukaan tanah' belum bisa menjelaskan
suatu masa penghidupan manusia melalui bekas­ fungsinya secara meyakinkan. Untuk itulah ang­
bekas materi yang pernah memainkan peran da­ gapan bahwa alat-alat batu paleolitik dihasilkan
lam kehidupan manusia, R.P. Soejono mengaju­ oleh masyarakat yang hidupnya didominasi aktivi­
kan sebuah konsepsi baru yang didasarkan atas tas berburu perlu dipertanyakan. Penyamaan ma­
model sosial-ekonomi atau model mata penca­ sa paleolitik dengan masa berburu dan mengum­
harian hidup. Materi peninggalan manusia seba­ pulkan makanan nampaknya tidak didasari argu­
gai satu-satunya sumber guna menyusun sejarah mentasi yang jelas, karena alat-alat batu paleolitik
penghidupan manusia prasejarah yang multi kom­ tidak menggambarkan aktivitas berburu. Dengan
pleks, harus dapat memantulkan kondisi rohaniah kata lain, hubungan antara fungsi alat-alat batu
serta sistem sosial yang melatarbelakangi materi paleolitik dengan aktivitas berburu dan mengum­
arkeologis (Ibid). pulkan makanan masih sangat kabur.
Berdasarkan model ini, Soejono membagi Kekaburan hubungan yang dimaksud teru­
jaman prasejarah di Indonesia ke dalam beberapa tama dikaitkan dengan pendapat H.L.Movius bah­
tingkat, meliputi: masa berburu dan mengumpul­ wa penamaan alat-alat batu paleolitik semata-ma­
kan makanan tingkat sederhana (tradisi paleoli-tik), ta masih bersifat teknis untuk keperluan klasi-fikasi
masa berburu dan mengumpulkan makanan dan tidak menyangkut fungsi. Movius mem­
tingkat lanjut (tradisi epi-paleolitik}, masa berco­ bedakan artefak Paleolitik menjadi tipe-tipe kapak
cok tanam (tradisi neolitik), dan masa perundagi­ perimbas, kapak penetak, pahat genggam, kapak
an/kemahiran teknik (tradisi seni tuang perunggu). genggam, kapak genggam awal, dan alat serpih.
Menurut Soejono, konsepsi baru semacam inilah Mengenai fungsinya, Movius hanya mengajukan
yang patut diterapkan dalam pemaparan praseja­ penjelasan secara umum bahwa alat-alat di atas
rah di Indonesia, karena validitasnya telah diuji digunakan untuk menebas (menetak), memotong,
melalui pengamatan data arkeologi di banyak serta menyerut.
tempat. Kerangka semacam ini telah disesuaikan Melalui analisis functional argument, Faizal­
dengan kondisi yang ditemukan di Indonesia da­ iskandiar menyatakan bahwa alat-alat batu paleo­
lam jangkauan seluas mungkin {Ibid: 14, 17). litik paling dekat hubungannya dengan aktivitas
pembuatan alat kayu. Dari sini disimpulkan bah-wa
Ill strategi subsistensi paleolitik cenderung me­
nerapkan teknologi bukan-batu. Kalau kajian se­
Penerapan sistem periodisasi prasejarah mata-mata didasarkan atas alat-alat batu, strategi
berdasarkan model sosial-ekonomi sudah ber­ sub-sistensi yang dominan adalah aktivitas pe­
langsung sekitar 20 tahun. Selama kurun waktu itu ngumpulan makanan; tetapi kalau didasarkan atas
pula berbagai penelitian dan kajian arkeologi teknologi bukan batu, maka strategi yang dominan
prasejarah Indonesia didasarkan kepadanya. Ke­ bisa berupa pengumpulan makanan, perburuan,
rangka penjamanan tersebut dianggap sudah ma­ atau keduanya. Selain hal di atas, per-tanyaan
pan dan mampu menghadirkan kembali -melalui yang juga diajukan adalah alasan dan dasar
upaya rekonstruksi- kehidupan manusia praseja­ pembagian masa berburu dan mengumpulkan
rah. Suatu tingkat kehidupan manusia yang paling makanan ke dalam 'tingkat sederhana' dan 'tingkat
awal. Kepercayaan yang sangat besar terhadap lanjut'.
sistem periodisasi ini terbukti dari lahirnya puluh­ Penilaian serupa diajukan oleh Truman Si­
an skripsi dan ratusan kertas kerja yang dijiwai­ manjuntak (1992). Menurut Simanjuntak, konsep-si
nya2. Namun demikian, sistem periodisasi prase- baru yang didasarkan atas model sosial-ekono-mi
2 Sebagai ilustrasi, ada semacam kecenderungan di - seseorang merasa lebih menguasai tradisi neolitik
kalangan para arkeolog maupun calon arkeolog (ma­ atau mungkin megalitik daripada tradisi yang lain.
hasiswa) untuk lebih mengkonsentrasikan diri hanya Sikap semacam ini barangkali dibidangi oleh
keadaan yang seolah-ol · emaksa' seseorang
pada salah satu tingkat dari masa prasejarah. Seba­
gai contoh - dan kecenderungan semacam ini juga untuk meli-hat masa �ejarah dalam 'pengkotakan'
pernah mempengaruhi pandangan dan sikap penulis waktu.

Berl<ala Arl<eologi - EDIS/ KHUSUS - 1995 I ➔5


ternyata belum dapat menjawab permasalah-an dak membuka peluang pengujian yang baru. Ba­
dasar kronologi prasejarah Indonesia, bahkan gaimana tidak, berbagai penelitian prasejarah da­
dinilai lebih rumit ditinjau dari segi teknis peng­ lam beragam topik, akhirnya hanya menghasilkan
gunaannya. Kerangka yang diajukan lebih bersifat kesimpulan yang selalu sama. Tingkat kehidupan
penggantian terminologi, sedangkan maknanya manusia prasejarah sebagaimana digambarkan
sama dengan terminologi lama. Konsepsi baru ini dalam model sosial-ekonomi terlanjur dianggap
tetap mengacu pada pembabakan waktu prase­ sebagai kebenaran yang bersifat universal. Me­
jarah atas beberapa masa. Kesinambungan minjam istilah Popper, hal semacam ini lebih me­
budaya yang melampaui batas masa yang men­ rupakan pemikiran dogmatis daripada bersifat kri­
jadi dasar pergantian, tetap menjadi permasalah­ tis (Taryadi 1991:128). Sikap dogmatis yang di­
an yang tak terpecahkan. Selain hal di atas, mo­ maksud berhubungan dengan kecenderungan un­
del sosial-ekonomi justru ditunjang oleh data yang tuk selalu meneguhkan (verify) segala sesuatu dan
paling minim. Dalam arti bahwa tidak ada relevan­ selalu menerapkannya bahkan sampai ke ba-tas
si antara fungsi alat dari suatu jaman dengan melalaikan penyangkalan (Taryadi 1991:128).
kehidupan subsistensi yang digambarkannya. Hal Dengan demikian, 'kesalahan' yang sebe­
ini menjadikan dasar pembedaan masa berburu narnya, menurut penulis, bukan hanya pada kon­
dan mengumpulkan makanan ke dalam dua ting­ sepsi periodisasi yang diajukan, melainkan juga
kat menjadi tidak jelas. Minimnya data juga sa­ pemakai konsepsi tersebut. Kecenderungan un-tuk
ngat terasa kalau dikaitkan dengan gambaran selalu melakukan peneguhan menunjukkan
sosial masa bercocok tanam. kurangnya sikap kritis seorang ilmuwan, dan se­
Model sosial-ekonomi agaknya terbatas pa­ kaligus melupakan sifat tentatif suatu pengeta­
da pembabakan pokok tanpa adanya pembagian huan. Perlu diingat bahwa pengetahuan dalam
lebih lanjut dari masing-masing masa. Suatu ting­ ilmu-ilmu sosial tidak pernah dapat dikatakan
kat budaya, misalnya tingkat neolotik, mungkin benar atau salah secara absolut, apapun meto­
dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub-tingkat denya. Tingkat tertentu dari subjektivitas, relativi­
dan selanjutnya menjadi beberapa fasies. Harus tas, dan parsialitas selalu ada, dan tidak pernah
pula diakui bahwa kerangka baru yang diusulkan ada penelitian yang menghasilkan keberhasilan
tidak memberi gambaran yang lengkap terhadap secara mutlak atau kesalahan secara menyeluruh
aspek sosial dan ekonomi, tetapi lebih terbatas (Melas 1991: 137). Hal yang demikian inilah yang
pada aspek ekonomi saja. seharusnya ditindaklanjuti dengan sikap untuk se­
Menurut Simanjuntak, terminologi lama se­ lalu meragukan hasil penelitian, sehingga pada
harusnya tidak perlu diubah tetapi pengertian yang suatu saat nanti tercipta suatu teori yang benar­
dikandung yang perlu dirumuskan. Termino-logi benar mampu bertahan terhadap ujian yang keras
neolitik, misalnya, mengandung arti luas yang sekalipun. Dengan kata lain, falsifikasi seharus­
sekaligus mencakup aspek teknologi, sosial dan nya tidak dilihat sebagai sesuatu yang tabu.
ekonomi. Keberatan penggunaan terminologi la­ Seandainya peneguhan yang selama ini
ma atas dasar adanya kesinambungan budaya dilakukan bersumber pada tingginya tingkat koro­
dapat diatasi dengan penyesuaian terhadap kon­ boras/3 hal ini merupakan suatu yang positif. Na­
disi yang ditemukan di Indonesia. Dalam hal ini mun perlu diingat, kerangka penalaran yang digu­
pembabakan prasejarah secara umum harus di­ nakan untuk menyusun sistem periodisasi pra­
lihat sebagai tingkat perkembangan budaya tanpa sejarah model sosial-ekonomi adalah kerangka
batas periodisasi waktu. Jadi, konsepsi kerangka induktif. Kerangka pemikiran yang mendasarkan
prasejarah Indonesia sebaiknya tidak merupakan pada kelengkapan data ini pada kenyataanya jus­
periodisasi waktu, tetapi lebih sebagai kerangka tru menunjukkan penyimpulan dengan data yang
budaya tanpa mengenal batas perkembangan sangat minim. Mungkin tepat apa yang dikatakan
yang seragam (Simanjuntak 1992:128). Faizaliskandiar (1989) dan Simanjuntak (1992),

IV
bahwa tidak ada relevansi antara fungsi alat de­
ngan kehidupan subsistensi yang digambarkan- ..
Mengamati perkembangan sistem periodi­ 3
Koroborasi diartikan sebagai tingkat kemampuan
sasi prasejarah di Indonesia, serta memperhati­ suatu teori menghadapi tes. Suatu teori dikorobora­
kan berbagai penilaian terhadapnya, penulis ber­ sikan sejauh i,a tahan terhadap tes-tes yang keras.
anggapan bahwa penerapan sistem periodisasi Jadi tingkat koroborasi tidak boleh diartikan sebagai
model sosial-ekonomi menghasilkan implikasi, baik tingkat rasionalitas kepercayaan kita terhadap ke­
metodologis maupun teoritis, yang sangat serius. benaran. Untuk lebih jelasnya baca: Taryadi, 1991,
Secara metodologis, kajian yang menda­ khususnya yang membahas ' Pikiran Pokok Popper
sarkan diri kepada sistem periodisasi tersebut ti- dalam Periode Metodologis'.

Berka/a Arlceo/ogi - EDIS/ KHUSUS - 1995 146


nya. Demikian juga, alasan pembagian masa ber­ lingkungan, sehingga suatu interpretasi tidak
buru dan mengumpulkan makanan ke dalam ting­ lantas diberlakukan secara umum (Hodder 1982:
kat sederhana dan tingkat lanjut menjadi tampak 219-220).
kabur. Rekonstruksi masa prasejarah melalui mo­
Secara teoritis, kelemahan sistem periodi­ del sosial-ekonomi, tidak seharusnya menghasil­
sasi prasejarah model sosial ekonomi berhubu­ kan pembabakan waktu. Kecenderungan untuk
ngan dengan paradigma yang dianut. Paradigma memasukkan suatu tingkat sosial-ekonomi ke da­
merupakan khasanah tujuan, persoalan, dan pola lam dimensi waktu tertentu dirasakan sebagai
pikir dengan perangkat dan tatacaranya untuk langkah yang kurang menguntungkan. Kenyataan
mencapai tujuan dan memecahkan persoalan yang ada sekarang menunjukkan bahwa satu
yang ada. Paradigma akan memberikan arah tingkat kehidupan tidak selalu berlangsung pada
suatu penelitian (Tanudirjo 1992:168), dan sekali­ atau sejajar dengan satu kurun waktu tertentu,
gus menggambarkan sikap dalam memandang sebaliknya, satu masa tidak selalu ditandai de­
data. Sistem periodisasi prasejarah di Indonesia ngan satu pola subsistensi saja. lstilah yang di­
jelas menganut paradigma sejarah budaya (cultu­ pakai untuk menyebut tingkatan periodisasi pra­
ral history}, yang memandang tinggalan arkeo­ sejarah yang sekarang masih dianut, secara tidak
logis sebagai 'fosil' sistem budaya lampau dan langsung mengakibatkan porsi pola subsistensi
dapat dihidupkan kembali menurut imajinasi pe­ yang lain menjadi kurang diperhatikan. Salah satu
neliti, tanpa pengujian ulang (Binford 1989; Tanu­ contoh yang dapat diajukan adalah aktivitas do­
dirjo 1992). Penerapan paradigma semacam ini mestikasi binatang. Di dalam periodisasi model
cenderung melihat bagaimana manusia hidup di sosial-ekonomi, domestikasi binatang tidak per­
masa lampau. Padahal tugas penelitian arkeologi nah dikaji secara mendalam, melainkan hanya di­
seharusnya lebih ditekankan kepada pertanyaan, singgung sedikit sebagai 'pelengkap' salah satu
bagaimana dan mengapa proses perubahan terja­ kemajuan yang dicapai oleh masyarakat yang
di sehingga menghasilkan bentuk masyarakat dan mulai hidup menetap (Soejono, 1984).
kebudayaan seperti yang masih hidup pada saat Pengertian domestikasi mencakup proses
ini (Layton 1989: ix). penangkapan dan penjinakan spesies binatang
Beberapa penilaian terdahulu terhadap sis­ tertentu oleh manusia untuk berbagai tujuan, se­
tern periodisasi ini memang sangat perlu diper­ hingga terjadi perpindahan dari lingkungan alam di
hatikan. Pada bagian sebelumnya sudah dijelas­ mana mereka hidup ke lingkungan komunitas
kan bahwa data prasejarah sebagian besar meru­ pemeliharaan (Bokonyi 1989: 22). Dari pengertian
pakan temuan permukaan sehingga tidak menun­ di atas, domestikasi binatang dapat dipandang
jukkan konteks temuan yang jelas (Faizaliskandi­ baik sebagai moment sejarah maupun situasi yang
ar 1989: 139). Kalau disejajarkan dengan tipologi spesifik (Ducos 1989:28-30). Penelitian me-ngenai
lambang menurut Charles Sanders Peirce (Sudji­ domestikasi di beberapa tempat ternyata mampu
man dan Zoest 1992:89-95), kondisi data sema­ mengungkap man-animal relationship, yang
cam ini masih berada pada tingkat rheme , seba­ semula merupakan hubungan predator-pro-tektor
4

gaimana satu 'huruf yang belum mempunyai menjadi hubungan simbiosis yang sangat
5
makna. Untuk sampai kepada makna tertentu, menarik.
konteks temuan merupakan suatu hal yang prin­ Dalam kaitannya dengan pemukirnan, sis­
sip. Karena data arkeologi yang ditemukan tidak tern periodisasi model sosial-ekonomi lebih me­
dapat menceriterakan kepada kita arti budaya nekankan hubungan antara pemukiman menetap
yang dikandungnya, maka "... interpretation of dengan pertanian. Gambaran pemukiman masa
meaning is constrained by interpretation of con­ berburu dan mengumpulkan makanan tingkat se­
text ... " (Hodder 1986: 5). Pemahaman terhadap derhana sama sekali tidak diberikan. Pertanyaan
suatu konteks juga penting untuk membanding-kan yang muncul ialah apakah pengertian nomaden
perbedaan yang terdapat pada masing-ma-sing
s Mengenai hubungan antara perburuan, pet-keeping,
Pierce membuat tipologi lambang menjadi tiga domestikasi binatang, petemakan, penggembalaan,
tingkat, yaitu: rheme, dicent sign, dan argumen. dan animal husbandry; serta mengapa terdapat per­
Rheme me-nunjuk pada lambang firstness, misal bedaan khas mengenai jenis binatang yang
"huruf atau 'kata' yang masih berdiri sendiri; dicent didomes-tikasi . di antara masing-masing daerah,
sign meru-pakan lambang secondness yang sudah baca Clottun-Brock, 1989. Meskipun semua artikel
dapat di-ketahui maknanya sebagaimana sebuah dalam buku ter-sebut merupakan hasil penelitian di
proposisi, dengan demikian sudah memiliki konteks luar Indonesia, namun sebagai gambaran bahwa
tertentu; sedangkan argument merupakan kesatuan domestikasi tidak selayaknya diabaikan dan
beberapa proposisi yang sudah memiliki 'hukum' digambarkan secara se-derhana, buku tersebut
yang menunjuk pada hubungan masing-masing. merupakan bacaan yang sa-ngat penting.

Berka/a Arkeologi - EDISI KHUSUS - 1995 147


harus diartikan sebagai perpindahan terus-mene­ Satu hal yang perlu mendapat perhatian
rus? Kalau ya, di manakah mereka berlindung dan adalah pembagian satu tingkat periodesasi . men­
melakukan kegiatan sosialisasi di luar akti-vitas jadi beberapa sub-tingkat atau bahkan fasies-fa­
perburuan. Kalau tidak, misalnya saja mere-ka sies sebagaimana yang diusulkan Simanjuntak.
memanfaatkan gua-gua sebagai 'rumah', lan-tas di Kalau hal ini dilakukan, kita akan kembali diha­
manakah perbedaan antara masa berburu dan dapkan pada keruwetan istilah, seperti halnya ka­
mengumpulkan makanan tingkat sederhana dan lau kita mendengar 'masa berburu dan mengum­
tingkat lanjut dalam hal pemukiman? Dalam kaitan pulkan makanan tingkat sederhana' dan 'masa
dengan kehidupan bercocok tanam, mung-kin ada berburu dan mengumpulkan makanan tingkat Ian­
benarnya kalau subsistensi pertanian me­ jut'. Secara prinsip, pembagian semacam itu me­
nyebabkan manusia hidup menetap. sebaliknya, mang tidak diperlukan.
kehidupan menetap tidak harus. dilakukan oleh Baik konsepsi lama maupun konsepsi baru,
masyarakat yang melakukan subsistensi pertani­ rupa-rupanya telah melupakan satu dimensi yang
an. Penelitian di Kepulauan Andaman menun­ sangat penting, yaitu dimensi ruang. Untuk itulah
jukkan bahwa kemantapan pemukiman pemburu­ dinamika proses perubahan akan semakin jelas
peramu berkorelasi dengan letak kawasan penye­ kalau aspek ruang juga mendapatkan perhatian
suaian manusia. Semakin dekat dengan perairan yang besar. Penerapan sistem pengkerangkaan
besar, semakin mantap pola pemukiman (Miksic secara universal merupakan suatu hal yang keliru,
6
1986) karena pada dasarnya proses perubahan budaya
V cenderung bersifat multi-linear (Miksic, 1986). Ke­
nyataan bahwa suatu daerah menonjol temuan •
Mengingat berbagai kelemahan yang dimi­ megalitiknya sedangkan daerah lain tidak, meru­
liki oleh sistem periodisasi prasejarah Indonesia pakan salah satu alasan bahwa pemahaman pro­
serta berbagai implikasi yang ditimbulkannya, sis­ ses budaya pada masa prasejarah harus lebih
tern pengkerangkaan prasejarah yang baru nam­ bersifat locally determined.
paknya merupakan kebutuhan yang sangat men­
desak. Penulis sependapat dengan Simanjuntak
(1992: 127-128)), bahwa yang harus diperhatikan KEPUSTAKAAN
adalah sistem pengkerangkaan budaya dan bu­
kan sistem periodisasi. Barangkali usulan untuk Binford, Lewis. 1989. Debating Archaeology. San
kembali ke istilah 'paleolitik', 'mesolitik', 'neolitik', Diego: Academic Press.
dan 'perunggu-besi' untuk sementara masih dapat
dipertimbangkan, dengan catatan bahwa penger­ Bokonyi,Sandor.1989. Definitions of Animal Do­
tian yang dikandung lebih diperluas dari sekedar mestication. Dalam J. Glutton-Brock. The
pengertian teknologis dalam skala temporal. Pe­ Walking Larder: Patterns of Domestica­
nulis berpendapat bahwa istilah-istilah di atas jus­ tion, Partoralism, and Predation. London:
tru lebih 'netral' daripada istilah yang mengacu Unwin Hyman, 22-27.
kepada pola subsistensi. Dengan kata lain, peng­
gunaan istilah seperti 'masa bercocok tanam' se­ Glutton-Brock, J. The Walking Larder: Patterns
cara tidak langsung merupakan 'belenggu' untuk of Domestication, Partoralism, and Pre­
7
ruang gerak kajian prasejarah dation. London: Unwin Hyman.

Collins, Michael B.1979. Sources of Bias in Pro­


cessual Data.· An Appraisal. Dalam James
� Di Halmahera - berdasarkan informasi dari Or. P.M. W. Mueller (ed.). Sampling in Archaeolo­
Laksono, dosen di Jurusan Antropologi Budaya UGM gy. Arizona:The University of Arizona Press,
- ada kelompok masyarakat yang hidupnya menetap 26-32.
di hulu sungai, dan sampai sekarang masih meng­
gantungkan hidupnya kepada pengumpulan tumbuh­
Daniels,S.G.H.1972. Research Design Models.
tumbuhan. Di antara tumbuhan yang dikumpulkan ia­
lah sejenis padi liar yang tumbuh dan dipanen di da­
Dalam David L. Clarke. Models in Archaeo­
sar sungai. Seandainya fenomena seperti ini juga logy. London: Methuen & Co. Ltd, 201-229.
ada pada masa prasejarah, babakan waktu mana
yang kiranya sesuai untuk menempatkan pola Ducos,Pierre.1989.Defining Domestication: A Cla­
subsistensi di atas ?. rification. Dalam J. Glutton-Brock. The Wal­
7
Penulis kurang yakin apakah pengertian 'masa ber­ king Larder: Patterns of Domestication,
cocok tanam' dimaksudkan untuk menunjuk kepada Partoralism, and Predation. London: Un­
pengertian 'food producing'. Kalau demikian halnya, win Hyman, 28-30.
tentunya reduksi secara nyata telah terjadi.

Berka/a Arkeologi · EDIS/ KHUSUS - 1995 148


Faizaliskandiar, Mindra. 1989. Variabilitas Tipe Soejono,R.P.1976. Tinjauan tentang Pengkerang­
Artefak Sebagai lndikator Strategi kaan Prasejarah Indonesia. Aspek-aspek
Subsistensi: Kajian Atas Strategi Perburuan Arkeologi di Indonesia No. 5 Jakarta:
Paleolitik Asia Tenggara. Dalam PIA V. Puslitarkenas.
Jakarta: IAAI, 131-150.
---, 1984. Sejarah Nasional Indonesia I.
Hodder.Ian. 1982. Symbols in action. Cambridge: Jakarta: PN Balai Pustaka.
Cambridge University Press.
Spaulding.Albert C.1960.Archaeological Dimen­
Hodder,lan.1986.Reading the Past. Second edi­ sion. Dalam Gertrude E. Dole dan Robert L.
tion.Cambridge:Cambridge_ University Press Carneiro (ed.). Essays in the Science of
Culture: In Honor of Leslie A. White. New
Layton, R. Who Needs the Past? Indigenous York: Thomas Y. Crowell.
Values and Archaeology. London:The Aca­
demic Division of Unwin Hyman. Sudjiman,Panuti dan Aart Van Zoest, 1992.Serba-.
Melas, E.M. 1991. Etics, Emics and Empathy in serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia
Archaeological Theory. Dalam Ian Hodder. Pustaka Utama.
The Meanings of Things; Material Culture
and Symbolic Expression. Cambridge: Tanudirjo,Daud Aris. 1992. Retrospeksi Penelitian
Harper Collins Academic, 137-155. Arkeologi di Indonesia. Dalam PIA VI. Ma­
lang: IAAI.
Miksic, John N. 1986. Etnoarkeologi dan Faktor­
faktor Musiman dalam Pengembangan Pola Taryadi, Alfons. 1991. Epistemologi Pemecahan
Pemukiman. Seminar Metode Pengkajian Masalah Menurut Karl L. Popper. Jakarta:
Perubah an Masyarakat. Yogyakarta: Keluar­ PT Gramedia Pustaka Utama.
ga Mahasiswa Antropologi FS UGM.

Simanjuntak, Truman. 1992. Neolitik di Indonesia:


Neraca dan Perspektif Penelitian. Dalam JAi
No.1/Juli 1992. Jakarta: IAAI, 117-130

Ber"kala Arkeo/ogi · EDIS/ KHUSUS - 1995 149

Anda mungkin juga menyukai