Anda di halaman 1dari 7

Hubungan Silang Budaya: Arkeologi, Antropologi, Sejarah,

dan Filologi

Prasasti Sankhara, dianalisis melalui


gabungan pengetahuan sejarah dan arkeologi (Foto: Sejarah Nasional Indonesia)
Para pendahulu kita sering menyampaikan bahwa kemunculan ilmu pengetahuan diawali oleh
hasrat ingin tahu manusia terhadap apa yang ada di sekitar mereka. Hasrat ingin tahu
manusia tentang berbagai hal yang ingin mereka ketahui dari berbagai fenomena di sekitar
mereka inilah yang berkembang menjadi apa yang disebut sebagai ilmu. Munculnya berbagai
disiplin ilmu yang kita kenal selama ini merupakan perkembangan dan pengaruh dari
berbagai penjelasan filsafat dari berbagai fenomena. Keyakinan itu berkembang hingga
memunculkan kesan sekat-sekat disiplin ilmu seperti yang kita kenal sekarang. Jika kita
tinjau lebih dalam lagi, sebenarnya pembatasan yang terjadi dengan banyaknya disiplin ilmu
yang kita kenal selama ini tidaklah begitu tegas. Berbagai upaya mengurai kesukaran ini
sering dilakukan dengan pembedaan penamaannya, meskipun tidak jarang antara satu
dengan yang lainnya sulit untuk dipisahkan.

Berbagai cabang ilmu yang selama ini kita kenal sebenarnya berasal dari akar ilmu yang
sama. Menurut kacamata sebagai arkeolog, penulis menyebut hal ini sebagai hubungan
silang. Sebagai contoh adalah keempat ilmu yang tersurat dalam judul tulisan ini. Hubungan
silang budaya yang dialami oleh disiplin arkeologi, antropologi, sejarah, dan filologi yang
dimaksudkan tentunya dalam hal kajian budaya yang merupakan ilmu tentang manusia
(Humaniora). Keempat disiplin ilmu itu memang berakar dari subyek yang sama, yaitu
kebudayaan. Bahkan, ahli Epigrafi, Prof. Boechari, pernah menyampaikan bahwa ketiga
disiplin ilmu itu (minus Antropologi) merupakan ilmu-ilmu serumpun. Tidak jarang dalam
kajian ilmu arkeologi,  misalnya, sering digunakan pendekatan-pendakatan filologi atau
antropologi yang muaranya menghasilkan gagasan atau uraian yang berciri historiografi
sejarah.

Tidak jarang pula di berbagai tempat dalam model pembelajarannya di perguruan tinggi, ada
beberapa disiplin yang kita kenal dijadikan dalam satu departemen. Hal ini menunjukkan
bahwa kedua disiplin itu saling bersilang dalam kajiannya. Seperti di Amerika Serikat,
arkeologi merupakan bagian dari departemen atau fakultas antropologi pada berbagai
Universitasnya. Dalam antropologi, disiplin arkeologi digolongkan sebagai bagian dari kajian
ilmu Antropologi, terutama dalam kajian masa prasejarah (prehistory) atau prasejarah di
Amerika Serikat. Anggapan ini tidak lepas dari perkembangan ilmu antropologi di negara itu,
William A. Haviland dari University of Vermont menegaskan fenomena ini dalam salah satu
bukunya, bahwa disiplin antropologi dibagi menjadi empat cabang, yaitu antropologi fisik,
dan ketiga cabang antropologi budaya yang antara lain terdiri atas arkeologi, linguistik, dan
etnologi (Haviland, 1990:12).
Prof. Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu Antropologi (edisi revisi 2009) juga
menegaskan dalam bab pengertian khusus ilmu antropologi, mengenai ilmu-ilmu yang
merupakan bagian dari antropologi. Beliau menegaskan bahwa hubungan antara antropologi
dengan arkeologi dan filologi (yang diwakili oleh kajian etnolinguistik) memiliki kaitan dan
hubungan yang sangat dekat. Sepertinya paradigma ini mengikuti paradigma perkembangan
ilmu antropologi yang juga tergolong ilmu baru yang berkembang pesat di Amerika. Bagian
dari antropologi yang berhubungan dengan arkeologi sama seperti pembagian yang ada di
Amerika Serikat, yaitu bahwa prasejarah atau prehistory menjadi cabang dari kajian
antropologi budaya. Dalam konteks ini Prehistory digunakan untuk mempelajari sejarah
perkembangan dan penyebaran semua kebudayaan sebelum manusia mengenal tulisan
(Koentjaraningrat, 2009: 12), pengetahuan prasejarah berguna dalam penjelasan etnologi
dalam antropologi untuk mengetahui akar kebudayaan suatu masyarakat secara diakronik,
karena antropologi dalam etnologi mencoba menjelaskan unsur-unsur kebudayaan masa
sekarang pada kehidupan manusia. Hal itu sesuai dengan paradigma atau fungsi dari kajian
arkeologi yang secara khusus menghasilkan gambaran sejarah budaya manusia (lihat:
Sharer&Ashmore, 2003: 66-93).
Penjelasan sejarah perkembangan budaya secara descriptive integration selain menggunakan
data artefak juga menggunakan data etnolinguistik (bahan dari bahasa lokal). Semua data itu
termasuk data etnologi diolah menjadi satu untuk menghasilkan sejarah perkembangan
kebudayaan dari suatu masyarakat, artinya mencoba memandang dari sisi diakronisnya
(antarmasa dan budaya) juga (Koentjaraningrat, 2009: 14). Lebih lanjut Prof.
Koentjaraningrat memberikan contoh pada penelitian kebudayaan suku bangsa Ngada di
Flores Tengah yang melihat bukti atau data fosil dan artefak yang menjadi kapasitas ahli
arkeologi untuk menafsirkan bentuk kebudayaan manusia Ngada pada masa lalu. Tidak lain,
hal ini digunakan untuk mengetahui sejarah perkembangan atau sejarah budaya Ngada.
Untuk di Jawa, ilmu arkeologi yang meneliti setidaknya masa kerajaan pada abad ke-7- 15
Masehi bisa diterapkan untuk mengkaji secara etnologi kebudayaan masyarakat Jawa pada
masa kini. Unsur-unsur dari perkembangan budaya masyarakat Jawa masa sekarang tidak
dapat dilepaskan dari perkembangannya pada masa pengaruh Hindu-Buddha pada rentang
antara abad ke-7-sekitar awal 15 M. Telah kita ketahui bersama, bahwa kebudayaan Jawa
pada masa sekarang merupakan bentuk perkembangan dari berbagai pengaruh budaya yang
pernah masuk ke pulau Jawa, itu terjadi pada masa lampau.

Tercatat kebudayaan-kebudayaan besar seperti India, Arab, Cina hingga bangsa-bangsa


Barat memberikan andil dalam bentuk kebudayaan masyarakat Jawa pada masa sekarang.
Pengaruh budaya dari berbagai bangsa itu telah merasuki semua aspek kebudayaan
termasuk agama, pranata sosial sampai pada bentuk kesenian yang bercampur dengan
kebudayaan asli Jawa. Buku terkenal dari Dennys Lombard yang berjuluk Nusa Jawa Silang
Budaya menguraikan secara jelas gambaran pengaruh yang terjadi di bumi Jawa dan
kebudayaannya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika antropologi tidak mempunyai
kapasitas untuk mengetahui gambaran luas mengenai fenomena ini.
Juga dalam arkeologi, pengaruh kajian ilmu antropologi telah membentuk sebuah pendekatan
khusus, yaitu sebuah penelitian yang disebut sebagai aliran etnoarkeologi. Penelitian
etnoarkeologi ini mencoba melihat data arkeologi yang merupakan budaya materi (benda)
yang telah terlepas dari konteks sistem budayanya, sering kali terjadi kesulitan untuk
menafsirkan aspek budaya ide dan perilaku pada data arkeologi tersebut. Melalui kajian
etnoarkeologi, persoalan ini berhasil diatasi dengan mengamati kebudayaan masa sekarang
(kurang lebih disebut dengan etnologi) untuk menjelaskannya. Telah banyak penelitian
terdahulu yang menggunakan metode seperti ini, misalnya yang terjadi pada data arkeologi
Nekara yang sulit sekali untuk dijelaskan secara arkeologis. Paling maksimal hanya
penjelasan secara deskriptif. Melalui kajian etnologi pada berbagai suku bangsa di NTT dan
Pulau Rote, termasuk Pulau Kei, penjelasan mengenai fungsi artefak Nekara ini dapat
diterima oleh para arkeolog. Sampai sekarang beberapa suku bangsa tersebut menggunakan
Nekara yang diyakini sebagai hasil budaya perunggu Dong Son (Vietnam) sebagai media
upacara sakral untuk memanggil hujan. Ada juga yang masih menggunakannya sebagai mas
kawin. Berdasarkan data etno tersebut dapat ditafsirkan bahwa fungsi Nekara pada masa lalu
juga tidak jauh dari fungsinya pada masa sekarang. Keyakinan ini tidak lain diperkuat dengan
bagaimana masyarakat suku bangsa di NTT pada masa sekarang menggunakannya. Melalui
beberapa penjelasan di atas, jelas bahwa hubungan silang dalam kajian budaya antar kedua
disiplin ilmu ini sangat dekat  bahkan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Tentunya
lebih banyak lagi saling silang di antara kedua disiplin tersebut, terutama dalam penggunaan
metode atau cara-caranya dalam melihat sebuah kasus-kasus kebudayaan.

Hubungan unik juga terjadi antara arkeologi dan sejarah. Sebagai sama-sama disiplin yang
memusatkan perhatiannya terhadap masa lalu, kedua kajian ini hanya berbeda pada obyek
data yang digunakan. Sejarah melihat peristiwa yang terjadi pada masa lampau berdasarkan
bukti tertulis. Selama ada bukti tertulis dari masa lampau, sejarah dapat menyusun informasi
dari sebuah peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Sedangkan arkeologi menggunakan
data hasil budaya bendawi (materi) untuk menafsirkan kejadian yang terjadi pada masa
lampau. Selain itu arkeologi juga dapat menghasilkan rekonstruksi kehidupan manusia masa
lampau sampai pada tahapan sejarah budaya atau perkembangan budaya yang terjadi pada
sebuah masyarakat (Sharer&Ashmore, 1992: 15-16).

Gagasan menarik mengenai hubungan antara arkeologi dan sejarah pernah disampaikan oleh
Montana (1989) dalam artikelnya pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) V di Yogyakarta.
Beliau menyampaikan bahwa sejarah yang berfokus pada data tertulis dan dokumen yang
berasal dari masa lampau untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi di masa lampau hanya
memiliki 1% dari porsi  kejadian yang terjadi di masa lampau. Itu artinya hanya sedikit saja
dari masa lampau manusia yang dapat dipelajari melalui data atau dokumen tertulis. Lebih
lanjut,  selebihnya yaitu 99% dari masa lampau itu tidak meninggalkan catatan, itu diluar
batasan kajian sejarah (Fish, 1978: 187 dalam Montana, 1989: 194). Beliau menambahkan
bahwa porsi yang lebih banyak tersebut tercakup dalam kajian arkeologi, termasuk dalam
prosentase yang 1% itu dapat dikatakan bahwa “lahan” masa lalu sejarah telah digarap
dalam kajian arkeologi. Di sinilah terjadi percampuran (jumbuh) antara kajian arkeologi dan
sejarah.

Arkeologi melakukan kajian terhadap tinggalan hasil budaya bendawi manusia yang dimulai
dari mencari data hingga menafsirkannya. Pencarian data arkeologi yang berupa hasil budaya
bendawi ini dilakukan dengan melakukan survei arkeologi dan melakukan penggalian
(ekskavasi) arkeologi. Metode ekskavasi inilah yang tidak dimiliki oleh disiplin lain, termasuk
sejarah, antropologi maupun filologi. Meskipun dalam cabang kajian antropologi fisik,
memungkinkan dilakukannya penggalian tetapi hal ini membutuhkan keterampilan atau
kapasitas yang berbeda, domain yang dicakup bisa luas, seperti menggunakan seorang ahli
paleoantropologi. Meskipun begitu hal tersebut bukan merupakan kajian antropologi murni.
Kembali lagi pada langkah kerja arkeologi, setelah memperoleh data dari hasil pencarian,
arkeologi juga melakukan tafsiran atau analisis yang menghasilkan informasi mengenai
peristiwa masa lampau. Sebenarnya tahapan melakukan tafsir ini sudah masuk dalam ranah
ilmu sejarah.

Tidak dipungkiri bahwa buku Sejarah Nasional Indonesia yang sangat akrab sekali dengan
kita, dalam kajian mengenai sejarah kuno atau masa Hindu-Buddha disusun  oleh bukan ahli
sejarah. Prof. Boechari mengatakan bahwa dalam buku tersebut, penulisan sejarah kuno
dilakukan oleh para arkeolog dan ahli epigrafi yang berpretensi menjadi sejarawan (Boechari,
1978: 6). Hal ini terjadi karena bukti yang digunakan untuk menyusun informasi mengenai
sejarah kuno merupakan bukti-bukti arkeologi yang dapat ditemukan kembali pada masa
kini. Meskipun ada juga bukti tertulis prasasti dan naskah sastra masa lalu yang seharusnya
menjadi kajian ilmu sejarah, entah kenapa telah menjadi objek kajian para arkeolog juga.
Mungkin karena prasasti yang ditulis pada batu atau logam itu dipandang sebagai artefak
yang termasuk hasil budaya bendawi manusia (lihat: Kusumohartono, 1994: 17). Fenomena
ini menjadi sebuah fakta yang menarik terkait studi masa lampau di Indonesia.
Telah disebutkan pada paragraf sebelumnya bahwa arkeologi dalam kajian masa lampau
melakukan kerja pencarian terhadap data kajiannya. Di sinilah antara lain ilmu sejarah
berguna untuk arkeologi. Para arkeolog sebelum melakukan kajian terhadap sebuah wilayah
sering kali melakukan pencarian data yang sering disebut sebagai studi literatur. Pada
tahapan ini para arkeolog melakukan pencarian dan pengkajian terhadap dokumen dan
naskah-naskah sejarah terkait obyek atau wilayah yang akan diteliti seolah-olah sebagai
seorang sejarawan. Terkait hal ini, Carl Russel Fish dalam Relation of Archaeology and
History (1978) mengatakan bahwa setiap sejarawan seyogyanya adalah seorang arkeolog,
dan setiap arkeolog seyogyanya mengetahui segala sesuatu terkait kerja sejarawan.
Kerja sejarawan seperti itu juga sering dilakukan oleh para antropolog. Karena latar belakang
sejarah menjadi sesuatu yang penting untuk digunakan dalam mengetahui gambaran umum
wilayah budaya. Terlebih, dalam beberapa laporan-laporan penelitian, pengetahuan dasar
mengenai sejarah sebuah wilayah selalu diungkap terlebih dahulu. Demikian juga dalam studi
filologi yang disebut sebagai knowledge of known, penulis susah sekali mencari arti kalimat
ini dalam bahasa Indonesia. Istilah tersebut disebutkan dalam Encyclopedia und Metodologie
der Philologischen (Montana, 1989: 196). Yang dimaksud dengan knowledge of known dalam
filologi itu kurang lebih dapat dijelaskan seperti ini: filologi yang mengkaji salah satu bentuk
data masa lampau yaitu naskah dan teks sastra mau tidak mau menemui berbagai informasi
mengenai budaya masa lampau dimana naskah atau teks tersebut dibuat. Informasi
mengenai masa lampau dalam naskah atau teks umunya berupa bahasa, adat istiadat, seni,
politik, religi, kehidupan masyarakat, dll. Hal tersebut menuntut seorang ahli filologi untuk
mengetahui berbagai pengetahuan yang sangat beragam itu.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, filologi merupakan sebuah ilmu yang
mempunyai obyek kajian pada naskah dan teks klasik. Filologi dalam kajiannya berusaha
mengungkapkan hasil budaya suatu masyarakat (bangsa) melalui kajian bahasa pada
peninggalan berbentuk tulisan. Berita tentang hasil budaya yang diungkapkan oleh teks
klasik dapat dibaca dalam peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan yang disebut naskah
(Baried, et. al., 1985: 4). Kajian filologi merupakan kajian yang jarang sekali dilakukan di
Indonesia karena dianggap sebagai ilmu yang sukar dan membutuhkan keuletan untuk
melakukan. Jangankan untuk menggelutinya, melakukannya saja sudah merupakan sesuatu
yang luar biasa. Tetapi untuk beberapa tahun terakhir ini muncul banyak peneliti muda yang
tertarik untuk menggeluti filologi.
Sebagai salah satu kajian budaya, filologi memberikan banyak data menarik terkait masa
lampau dalam kehidupan manusia yang mencakup banyak aspek mengenai kehidupan
manusia. Misalnya dalam bidang sosial, politik, ekonomi, agama, bahasa, dan sastra.
Menurut Baroroh Baried, dkk dalam Pengantar Teori Filologi (1985), filologi apabila dilihat
dari sisi pengungkapannya dapat dikatakan bahwa kebanyakan isinya mengacu kepada sifat-
sifat historis, didaktis, religius, dan belletri. Jika kita memahami kalimat itu, antara ilmu
filologi dengan disiplin ilmu budaya lain yang telah banyak disebutkan dalam tulisan ini
memiliki hubungan yang sangat dekat. Dari sisi antropologi yang melihat dari kacamata
bentuk budaya gagasan dan perilaku manusia, filologi dikatakan mampu menyumbangkan
informasi mengenai bayangan fikiran atau gagasan manusia, termasuk norma yang berlaku
pada masa lampau yang tercermin dari kandungan isi naskah maupun teks klasik.
Lebih lanjut, dalam penggarapan naskah filologi tidak dapat dilepaskan dari konteks
masyarakat dan budaya yang membuat atau yang melahirkannya (Baried, et. al., 1985: 19).
Untuk itulah dalam kajian mengenai tanggapan masyarakat terhadap keberadaan naskah
pada masa kini dapat memanfaatkan kajian antropologi. Biasanya keberadaan naskah karya
sastra di tengah masyarakat yang masih menyimpan dan mempergunakannya dianggap
sebagai benda keramat, dihormati dan suci sehingga perlakuannya sangat khusus. Beberapa
naskah-naskah kuno yang disimpan di Keraton Surakarta dan Yogyakarta yang sampai
sekarang masih dianggap benda pusaka yang sakral, secara berkala ditaruhlah sesajen di
dekat naskah tersebut. Kasus-kasus mengenai fenomena seperti itu tentunya membutuhkan
bantuan atau bekal pengetahuan dari antropologi.
Hubungan silang sesama kajian budaya antara filologi dengan sejarah juga sangat dekat.
Banyak naskah karya sastra klasik yang telah digunakan sebagai data sejarah
seperti Nagarakrtagama, Pararaton, Hikayat Raja-Raja Pasai, dll. Beberapa naskah terlebih
dulu harus dikaji dalam filologi melalui metode kritik teks, satu-satunya metode yang dimiliki
oleh disiplin pengkaji naskah dan teks kuno ini, yang mencari bentuk asli dari beberapa edisi
naskah maupun teks yang biasanya banyak terjadi. Setelah melalui screening oleh metode
kritik teks tersebut, naskah yang dimaksud dapat digunakan sebagai data sejarah maupun
data pembanding untuk bukti-bukti sejarah atau arkeologi seperti artefak, berita asing,
prasasti, dll. Demikian sebaliknya, informasi yang didapat oleh para filolog dari naskah klasik
tentu berkonteks dengan masyarakat pembuatnya, disini ilmu arkeologi dan sejarah dapat
digunakan hasil-hasil dari kajiannya untuk para filolog. Terutama dalam sejarah budaya,
untuk di Indonesia, beragamnya naskah dengan berbagai pengaruh budaya yang terjadi
dalam periode yang panjang menuntut pengetahuan tentang sejarah budaya dalam mengkaji
berbagai naskah Nusantara.
Berdasarkan dari uraian sekilas pada paragraf-paragraf di atas, hal yang dapat diambil ialah
keempat disiplin ilmu yang sama-sama mengkaji tentang budaya manusia (humaniora) ini
memiliki hubungan yang sangat dekat. Antar satu dengan yang lainnya bahkan memiliki
keterkaitan dan hubungan timbal balik. Istilah hubungan silang yang dipilih dalam kalimat
judul tulisan ini agaknya sedikit memuaskan jika bermaksud menggambarkan hubungan
antara satu disiplin dengan disiplin yang lainnya yang memang memiliki kesan hubungan
yang saling membutuhkan. Karena itu, sebagai penutup, penulis menyitir kalimat Prof.
Boechari (1978) terkait konteks hubungan arkeologi dan sejarah, tetapi dalam konteks ini
dihubungkan dengan keempat disiplin ilmu yang dibahas dalam tulisan ini.

“Sudah semestinya dalam kajian budaya dalam konteks sekarang maupun masa lampau,
para ahli dari keempat disiplin ilmu ini dapat bekerja sama untuk masing-masing saling
melengkapi”.

Daftar Pustaka

Boechari. 1978. “Bahan Kajian Arkeologi Untuk Pengajaran Sejarah”. Majalah Arkeologi Th. II


No. 1 Sept. 1978. hlm. 3-26.
Baried, Siti Baroroh, et. al. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Fish, Carl Russel. 1978. “Relation of Archaeology and History”. Historical Archaeology, Robert
Sohuyler (Ed). New York.
Haviland, William A. 1999. Antropologi Jilid I. Terj. Soekadijo. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Koentjaraningrat, Prof. Dr. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
_____________. 1987. Pengantar Teori Antropologi-Cetakan 2010. Jakarta: UI Press.
Kusumohartono, Bugie. 1994. “Data Baru Dari Distribusi Artefak Prasasti”. Berkala
Arkeologi Tahun XIV Edisi Khusus. Hlm. 17-21.
Montana, Suwedi. 1989. “Studi Tentang Arkeologi Linguistik, Lingkup dan
Terapannya”. Proceeding PIA V Yogyakarta. Hlm. 190-211.
Sharer, Robert J. & Wendy Ashmore. 2003. Archaeology Discovering Our Past. Third Edition.
McGraw-Hill Companies, Inc.

Anda mungkin juga menyukai