Anda di halaman 1dari 14

PERKEMBANGAN ILMU ARKEOLOGI

Setiap cabang ilmu perngetahuan baik itu ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial dan Budaya
tumbuh dan berkembang sesuai dengan sejarahnya masing-masing. Setiap cabang ilmu pengetahuan
dengan sendirinya memiliki perjalanan sejarahnya sendiri tidak terkecuali Arkeologi.

Berdasarkan perspektif teori, strategi, dan metode penelitian yang dilaksanakan oleh para ahli
arkeologi, khususnya di Amerika dan Eropa, Willey dan Sabloff (1981) telah membagi sejarah
perkembangan ilmu arkeologi ke dalam beberapa babakan masa.
Menurut pengamatan dan sintesis kedua sarjana tersebut setiap babakan masa menunjukkan
ciri masing-masing. Diharapkan dengan uraian tersebut kita akan dapat memperoleh gambaran
mengenai perkembangan ilmu arkeologi di dunia pada umumnya dan di Indonesia khususnya.
I. MASA SPEKULASI (1492-1840)
Seperti dikemukakan oleh beberapa penulis, arkeologi dilahirkan dan berkembang dari
antiquarianism Eropa, khususnya Renaissanse Italia, yang diwujudkan dalam upaya pencarian dan
penemuan tinggalan monumen-monumen purbakala. Kegiatan tersebut melahirkan gambaran
mengenai beraneka ragam kebudayaan di dunia. Gambaran komparatif semacam inilah yang
kemudian menjadi inti dari kajian arkeologi dan antropologi.
Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah konsep yang lebih luas yaitu bahwa perbedaan
bentuk kebudayaan tidak hanya disebabkan oleh perbedaan waktu, tetapi juga karena perbedaan
ruang (geografik). Kegiatan antiquarianism dalam masa ini seakan-akan terbagi dua: pertama, yaitu
kegiatan yang menggarap kepurbakalaan di masing-masing negara secara lokal; dan kedua, yang
menggarap secara umum kepurbakalaan di berbagai bagian dunia (wilayah budaya Klasik dan Timur
Tengah).
Dalam babakan masa yang rentangannya paling panjang ini (350 tahun) arkeologi belum
merupakan suatu disiplin. Pada umumnya data arkeologi diperoleh dari kegiatan survei dan
penggalian yang tidak direncanakan. Meskipun tinggalan arkeologi dari bermacam-macam bentuk
ditemukan dalam jumlah cukup besar sehingga tidak mungkin untuk diabaikan begitu saja, namun
dalam masa ini terdapat banyak spekulasi. Secara umum suasana intelektual yang ada di Amerika
ketika itu misalnya adalah spekulasi mengenai asal mula orang Indian Amerika yang disusun dari
belakang meja (armchair speculation).
Dalam abad 16 dan 17 perhatian diarahkan ke wilayah Amerika Latin. Orang-orang yang
menyertai penjajah Sepanyol dan para pendeta serta pejabat administrasi membuat catatan rentetan
kejadian dan tulisan yang mencoba menggambarkan kebudayaan Indian Amerika. Mulai abad 18 dan
terutama pada awal abad 19, perhatian diarahkan ke wilayah Amerika Utara. Para penjelajah dan
pelancong terutama di Amerika Utara dan kadang-kadang di Amerika Latin membuat catatan-catatan
yang melukiskan reruntuhan tinggalan monumen arkeologi sebagai bahan buku-buku bacaan sastra.
Mereka membuat banyak spekulasi tentang asal mula dari benda-benda yang mereka temukan.
Kegiatannya ditujukan pada pengamatan dan perekaman dari semua benda yang ditemukan. Di
antara mereka ada pula yang melengkapinya dengan deskripsi etnografi dari kelompok suku Indian
Amerika. Dokumen etnografi inilah yang kemudian digunakan ahli arkeologi untuk mengadakan
analogi baik secara umum maupun spesifik, serta untuk memperlihatkan adanya kesinambungan dari
berbagai kebiasaan atau adat.
Dalam babakan masa ini belum ada usaha-usaha yang keras untuk menyusun tipologi dari
benda-benda temuan dengan baik. Dominasi pemikiran spekulatif dalam masa ini terutama
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kekurangan data arkeologi yang dapat diandalkan,
kekurangan model penalaran arkeologi yang cocok, serta adanya pengaruh dari pendekatan teologi
dan kesusasteraan. Faktor-faktor ini ditambah dengan rasa kekaguman orang terhadap peninggalan
yang eksotik dan kebutuhan mendesak untuk menciptakan sejarah kepahlawanan bagi daerah baru,
mengakibatkan semua wacana mengenai tinggalan arsitektur dan kebudayaan materi dari penduduk
Amerika masa lalu didominasi oleh spekulasi. Spekulasi, yaitu konjektur (perkiraan) yang tidak
ilmiah, berlangsung dalam masa ini karena ketiadaan data yang kuat untuk perbandingan dengan
hasil pengamatan mereka, bahkan dalam banyak kasus tidak diperoleh informasi sama sekali. Karena
itu dalam masa spekulasi sukar sekali dihasilkan suatu rekonstruksi yang dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan data yang benar. Bahkan dalam beberapa kasus, ketika
informasi primer diperoleh, baik melalui survei maupun ekskavasi, mereka tidak menggunakan data
secara hati-hati untuk membangun atau menyusun hipotesis, melainkan data mentah dan spekulasi
itu cenderung digarap secara berkotak-kotak. Pemikiran semacam ini jelas berakar dari kekurangan
tradisi penalaran yang ilmiah dalam arkeologi Amerika. Baru kemudian sekitar tahun 1930-an
(dalam masa klasifikasi-historikal) arkeologi diperkenalkan oleh pemikiran Lyell seperti yang ditulis
dalam bukunya Principles of Geology. Sementara itu dalam masa ini pengaruh penjelasan teologi
masih kuat.

II. MASA KLASSIFIKASI-DESKRIPTIF (1840-1914)


Dari pandangan antiquarianism muncullah untuk pertama kali pemikiran arkeologi yang
sistematik, yang terwujud sebagai konsep dan penerapan klasifikasi Sistem Tiga Jaman dari
Christian Thomsen (Three Age System: Stone, Bronze and Iron age), dan Hukum Worsaae (bahwa
benda-benda yang terkuburkan bersama-sama dalam satu kubur merupakan benda-benda yang

2
dipakai pada waktu yang sama). Dalam masa ini terdapat perubahan sikap dan cara pandang
arkeologi. Perhatian diberikan pada upaya untuk mendeskripsi benda-benda arkeologi, terutama
arsitektur dan bangunan, serta menyusun klasifikasi (yang tidak sempurna) atas benda-benda
tersebut. Dalam masa ini para ahli berusaha menjadikan arkeologi sebagai disiplin yang sistematik
dan saintifik. Meskipun mereka dianggap tidak berhasil, tetapi mereka telah meletakkan dasar bagi
berbagai perkembangan arkeologi dalam abad 20.
Dalam babakan masa ini terdapat suatu pertumbuhan yang mantap dalam penemuan dan
pemerian tinggalan arkeologi, yaitu sejak mereka memperluas daerah kajiannya ke Amerika Barat,
dan mulai melakukan penjelajahan ke berbagai wilayah di Amerika Selatan dan Amerika Utara.
Kegiatan ini diselenggarakan di Amerika secara luas, baik oleh pemerintah dan universitas maupun
oleh museum dan masyarakat ilmiah. Arkeologi mulai diajarkan di universitas sehingga generasi
arkeolog yang terlatih secara profesional menjadi aktif pada awal abad 20. Terdapat aliansi antara
arkeologi dan antropologi pada awal masa ini, baik dalam bidang akademik maupun kegiatan di
lapangan. Selain memusatkan perhatian pada deskripsi benda arkeologi, dalam babakan masa ini
terdapat pula kajian terhadap manusia purba.

III. MASA KLASIFIKASI-HISTORIKAL: KRONOLOGI (1914-1940)


Dalam masa ini pusat perhatian diberikan kepada penerapan Teori Deposisi Stratigrafik
(Lyell) dan Teori Evolusi Biologi (Darwin), yang kemudian berkembang kepada Evolusi
Budaya dan Evolusi Masyarakat (Tylor dan Morgan). Setelah itu muncul apresiasi terhadap
sains dengan rasionalismenya, yaitu ketika kegiatan industrialisasi di Eropa dan Amerika
mulai berkembang. Dalam babakan masa ini terdapat kegiatan arkeologi-lapangan yang
diselenggarakan dalam jangka waktu panjang, baik di Eropa dan Timur Tengah maupun di
daerah Maya (Amerika), sehingga lahirlah ekskavasi-ekskavasi yang mempunyai muatan
profesional serta muncullah ahli-ahli arkeologi yang profesional.
Kajian-kajian yang menekankan pada dimensi bentuk-waktu dalam wilayah-wilayah
kompleks budaya dimaksudkan untuk menyusun sejarah kebudayaan, yang tidak lain merupakan
upaya sintesis sejarah. Tema sentral dalam arkeologi Amerika ketika itu ialah kronologi. Disebut
masa historikal karena perhatian para ahli arkeologi banyak dipusatkan pada penyusunan urutan
waktu dari kejadian-kejadian. Ekskavasi yang menekankan pada stratigrafi merupakan metode utama
dalam penyusunan kronologi data. Ekskavasi stratigrafik semacam ini diperkenalkan dalam kajian
arkeologi Amerika dalam tahun 1914 sehingga dalam dua dasawarsa berikutnya metode penelitian
ini menyebar di seluruh wilayah Amerika. Kronologi dapat dicapai dengan baik manakala metode

3
pengurutan waktu dari benda-benda arkeologi atau seriasi (seriation) dikaitkan dengan kajian
stratigrafi.
Tipologi dan klasifikasi yang sudah dimulai dalam masa sebelumnya, sekarang dikaitkan
dengan metode stratigrafik dan seriasi. Kalau klasifikasi terdahulu hanya dimaksudkan untuk
memerikan artefak, dalam masa ini metode ini dianggap sebagai alat untuk menambah atau
membantu menempatkan bentuk-bentuk data arkeologi dalam dimensi ruang dan waktu. Ahli
arkeologi Amerika juga menggarap klasifikasi kebudayaan secara keseluruhan, di samping
klasifikasi artefak, yang sudah tentu sangat dipengaruhi oleh pertimbangan kronologi. Lebih jauh
dari metode seriasi-stratigrafik dan klasifikasi, tujuan arkeologi dalam masa ini adalah sintesis
sejarah kebudayaan di wilayah Amerika. Dalam masa ini terdapat perbaikan dalam metode lapangan
dan ekskavasi, yang jelas merupakan bagian yang penting dalam metode stratigrafik yang
sedemikian mengemuka dalam babakan masa ini.
Sebagai hasil dari aliansi arkeologi Amerika dengan etnologi adalah strategi penelitian yang
disebut direct-historical approach. Secara sederhana pendekatan ini berarti bekerja mundur dari
kajian atas kebudayaan yang mempunyai dokumen sejarah ke dalam masa prasejarah. Dalam
arkeologi Amerika penerapan pendekatan ini berkenaan dengan situs-situs yang dihuni oleh
penduduk asli suku Indian yang masih hidup. Dengan demikian ekskavasi atas situs-situs ini
menghasilkan kompleks artefak yang dapat diasosiasikan dengan kebudayaan suku-suku bangsa
yang masih dapat diamati dengan jelas. Arkeolog kemudian dapat menemukan situs-situs lain yang
artefaknya menunjukkan gaya yang bertumpang tindih dengan kompleks budaya sejarah yang
asalnya dari masa prasejarah.

IV. MASA KLASIFIKASI-HISTORIKAL: KONTEKS-FUNGSI (1940-60)


Dalam masa ini hubungan dimensi ruang-waktu dari bentuk-bentuk budaya dalam wilayah-
wilayah budaya mulai dikembangkan, dan para peneliti berupaya mencari jejak-jejak dari difusi
budaya yang pernah terjadi.
Terdapat sekurang-kurangnya tiga macam pendekatan utama yang ada dalam masa ini:
1. Pendekatan pertama mendasarkan anggapannya bahwa artefak seyogyanya difahami
sebagai benda materi dalam suatu sistem perilaku budaya masyarakat, sehingga perhatian para ahli
arkeologi terpusat pada kajian terhadap konteks arkeologi untuk mencapai kesimpulan fungsional.
1. Pendekatan kedua beranggapan bahwa pola permukiman merupakan kunci yang
penting untuk memahami adaptasi sosio-ekonomik dan organisasi sosio-politik, serta cara manusia
mengatur dirinya di permukaan bumi berkaitan dengan bentuk alam dan dengan komunitas lain.

4
1. Pendekatan ketiga melandaskan anggapannya bahwa hubungan antara kebudayaan
dan lingkungan alam adalah penting, dan ini berarti dalam kajiannya perlu mengikutsertakan aspek
manusia ke dalam aspek sumberdaya alam. Pendekatan ini sering disebut ekologi budaya (cultural
ecology) dalam tahun 1940--60-an, yang sebenarnya merupakan pendekatan yang kurang lengkap
dibanding dengan pendekatan ekosistem (ecosystem) yang muncul kemudian.
Dalam kajian konteks dan fungsi, penggunaan konsep dan metode dari ilmu-ilmu keras
(sains) dianggap merupakan metodologi yang paling tepat. Hasil kajian dari geologi, geografi,
botani, biologi, analisis bahan, kimia, dan metalurgi misalnya, amat diperlukan arkeologi terutama
untuk mengetahui tempat asal dari barang komoditas dan proses pembuatan artefak. Di atas semua
itu penemuan pertanggalan mutlak C-14 adalah yang teramat penting.
Dalam masa ini pula para ahli arkeologi berupaya untuk melakukan rekonstruksi yang lebih
rinci mengenai cara-cara hidup dari kelompok manusia, dengan memperhatikan fungsi serta
hubungan antara kebudayaan dengan lingkungan fisik, dan setelah itu perkembangannya diarahkan
kepada berbagai upaya untuk memahami struktur sosialnya.
Dalam tahun 1950-an terdapat ketidakpuasan dalam hal cara penelitian arkeologi itu
diselenggarakan. Ketidakpuasan ini tidak ditujukan kepada pelaksanaan teknik ekskavasi, melainkan
kepada cara menarik kesimpulan dari suatu penelitian. Demikian juga terhadap cara arkeolog
menerangkan hasil penelitian, dan prosedur yang digunakan dalam penalarannya. Ketidakpuasan
yang paling mendasar disebabkan oleh kenyataan bahwa kesimpulan penelitian terdahulu tidak
pernah menerangkan sesuatu, tetapi dikaitkan misalnya dengan konsep migrasi manusia dan
mengenai pengaruh-pengaruh budaya yang diperkirakan. Sekitar tahun itu memang Walter W.
Taylor telah merumuskan ketidakpuasan ini (1948). Pendekatan konjungtif (conjunctive) menurut
Taylor dapat mengungkapkan sistem budaya secara keseluruhan. Demikian juga dalam tahun 1958
Willey dan Phillips mengusulkan perlunya perhatian diberikan pada aspek sosial bagi interpretasi
prosesual atau proses-proses umum dalam sejarah kebudayaan.

V. MASA EKSPLANASI: TAHAP AWAL (1960-AN)


Dalam masa ini muncul kembali konsep evolusi yang sudah ada sejak tahun 1950-an,
setelah sekian lama dirasakan kurang sesuai. Timbul perhatian kepada teori sistem dalam arkeologi,
konsep ekosistem, dan teknik statistik serta peranan komputer. Demikian pula penggunaan penalaran
deduktif, dan filsafat ilmu pengetahuan positivisme mengemuka dalam masa ini. Muncul satu
gerakan ilmiah baru yang dikenal dengan nama ‘New Archeology’, yang perspektifnya dapat kita
lihat dari tiga sikap dasar yang melatarinya. Pertama, memberi tekanan perhatian pada

5
penggambaran proses budaya, karena penganut aliran ini dipelopori para arkeolog muda, yang
setelah lulus dari perguruan tinggi dilatih oleh para ahli antropologi sosial. Kedua, mereka memiliki
optimisme yang besar terhadap kemungkinan berhasilnya eksplanasi prosesual, dan tercapainya
hukum dinamika budaya. Ketiga, mereka menganggap bahwa arkeologi harus juga relevan dengan
permasalahan dunia masa kini.
Dari ketiga sikap yang melatari pandangan mereka itu kita dapat menelusuri bagaimana
pendekatannya. Pertama ialah pendekatan yang evolusioner atau yang mempunyai perspektif sejarah.
Pendekatan kedua ialah yang berasal dari teori general systems dengan pandangan sistemik dari
kebudayaan dan masyarakat. Pendekatan ketiga ialah penerapan penalaran deduktif. Aspek-aspek
lain dari New Archeology merupakan perluasan dari ketiga pendekatan dasar tadi dalam memandang
data arkeologi. Pendekatan evolusioner memungkinkan timbulnya anggapan bahwa aspek tekno-
ekonomik dari kebudayaan merupakan faktor penentu yang paling utama di dalam perubahan,
sedangkan faktor sosial dan ideologi datang kemudian. Hal ini memperlihatkan perbedaan dengan
pendekatan historical development dari Willey dan Phillips yang tidak mengusahakan kajian
kausalitas. Dalam masa ini proses budaya merupakan tujuan pokok arkeologi, dan untuk kepentingan
kajiannya diperlukan berbagai disiplin ilmu lain.
Di Amerika Serikat Lewis R. Binford menawarkan pendekatan baru terhadap masalah
interpretasi arkeologi. Binford dan kawan-kawan menyadari adanya potensi yang besar dari bukti
arkeologi untuk penelitian aspek sosial ekonomi dari masyarakat masa lalu. Pandangan mereka lebih
optimis dari pada arkeolog sebelumnya. Mereka mengusulkan agar penalaran arkeologi harus
eksplisit. Penarikan kesimpulan tidak hanya didasarkan atas otoritas seseorang dalam menyusun
interpretasi tetapi harus pada kerangka argumentasi yang logis dan eksplisit, serta harus terbuka
untuk diuji oleh orang lain. Mereka berusaha menerangkan (explanation) dan bukan hanya
memerikannya (explication) secara sederhana. Oleh karena itu harus disusun generalisasi yang sahih.
Mereka menghindari pembicaraan mengenai pengaruh dari satu kebudayaan terhadap kebudayaan
lain. Sebaliknya mereka lebih cenderung untuk menganalisis suatu kebudayaan sebagai sistem yang
dipecah ke dalam beberapa subsistem. Hal ini memberi kemungkinan untuk mengetahui hal-hal
tentang mata pencaharian, teknologi, subsistem sosial, subsistem ideologi, perdagangan, demografi
dan lain-lain. Mereka kurang memberi penekanan pada kajian tipologi artefak dan klasifikasi.
Demikianlah mereka sebenarnya menyiapkan penggunaan pendekatan ekologi yang sudah ada sejak
tahun 1950-an.
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini pendekatan sejarah agak dijauhi, sebaliknya ilmu-ilmu
keras didekati. Hal semacam ini juga terjadi di Inggris, seperti dikemukakan oleh David L. Clarke

6
yang menghendaki penggunaan teknik kuantitatif sehingga memungkinkan penggarapan himpunan
data yang besar secara statistik dengan bantuan komputer untuk pengujian signifikansi misalnya,
bukan dengan pendekatan kualitatif yang sederhana. Demikian pula diusahakan memperoleh
gagasan-gagasan dari disiplin lain, terutama geografi.
Para ahli arkeologi dari aliran ini berpendapat bahwa arkeologi haruslah menunjukkan
peranannya dalam upaya menjelaskan perubahan-perubahan budaya yang terjadi pada masa lalu.
Oleh karena itu kegiatannya dipusatkan pada upaya eksplanasi, bukan hanya pada deskripsi yang
menghasilkan rekonstruksi sejarah kebudayaan dan rekonstruksi cara-cara hidup. Untuk dapat
menerangkan proses perubahan budaya diperlukan teori yang eksplisit. Penjelasan yang diupayakan
seharusnya ada dalam rangka proses budaya, yang dapat menerangkan bagaimana perubahan-
perubahan sistem ekonomi dan sosial telah terjadi pada masa lalu.
Prosedur penelitian yang dilakukan didasarkan pada penalaran deduktif, yaitu yang diawali
dengan perumusan hipotesis, penyusunan model, dan deduksi, tidak sekedar melakukan ‘piecing
together the past'. Kesimpulan yang ditarik dengan cara menguji hipotesis merupakan prosedur yang
dianggap sahih, bukan atas dasar otoritas atau senioritas seorang peneliti.
Fokus penelitian harus dirancang untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan spesifik secara
ekonomis. Penelitian tidak diselenggarakan hanya atas dasar tujuan mengumpulkan data sebanyak-
banyaknya, yang dalam kenyataannya mungkin tidak relevan dengan tujuan penelitian. Sikap mereka
lebih positif dalam menghadapi penelitian yang rumit sekalipun, dan menganggap bahwa masalah
arkeologi tidak dapat dipecahkan apabila mereka tidak pernah mencoba melakukannya. Mereka lebih
optimis dan tidak bersikap pesimis terhadap keterbatasan data arkeologi (secara kuantitatif dan
kualitatif) untuk rekonstruksi sistem sosial dan sistem ideologi masyarakat masa lalu

VI. MASA EKSPLANASI: DATA DAN INTERPRETASI BARU 1960-70


Dalam masa ini makin banyak data dan interpretasi arkeologi yang baru. Pandangan
yang sudah ada dalam masa 1960-an tetap berlanjut dan ternyata telah mempengaruhi perubahan
sikap dari kebanyakan ahli arkeologi Amerika. Perubahan sikap ini tercermin dalam upaya
menghubungkan tujuan untuk memahami proses budaya dengan tujuan sejarah kebudayaan,
sehingga perbedaan tersebut sudah makin berkurang.
Dalam masa ini paradigma New Archeology mempengaruhi perkembangan Historical
Archaeology, yaitu dari sifatnya yang partikularistik kepada pandangan yang lebih luas dalam
Anthropological Archaeology. Perpindahan tekanan perhatian ini mungkin disebabkan oleh dua
faktor: (1) ahli arkeologi-sejarah mulai menyadari pentingnya data yang partikularistik itu

7
dikendalikan dengan cermat untuk dievaluasi serta disumbangkan kepada metodologi perekaman
data arkeologi serta interpretasi untuk kepentingan penyusunan teori; dan (2) pertumbuhan yang
cepat dari kajian manajemen sumberdaya budaya (cultural resource management), yang seringkali
meliputi situs prasejarah dan sejarah, telah menyebabkan arkeolog berlatar belakang antropologi
memahami masalah arkeologi sejarah. Dengan demikian teori-teori antropologi masuk pula ke dalam
studi arkeologi-sejarah (South 1977). Arkeologi-sejarah di Amerika dengan demikian memberi
sumbangan juga pada perkembangan metode arkeologi dan teori perubahan budaya. Dalam 1970-an
sebagian ahli arkeologi menggarap interpretasi tingkat menengah dari perilaku sosial budaya, dan
sebagian lain menangani teori dan interpretasi tingkat tinggi.

VII. MASA EKSPLANASI: INOVASI TEORI (1970-AN)


Apabila dalam awal tahun 1960 mulai diperkenalkan gagasan New Archeology dan
pada masa berikutnya gagasan itu diterapkan dalam sejumlah besar penelitian dengan berbagai topik,
maka dalam periode 1970-an berkembang penemuan-penemuan baru dalam bidang metodologi dan
teori. Banyak sekali kajian-kajian yang menggunakan teori tingkat rendah dan tingkat menengah
yang diperlukan untuk menguji hipotesis-hipotesis dalam rangka pemahaman mengenai sebab-sebab
terjadinya perubahan budaya. Penelitian-penelitian semacam itu menghasilkan konsep yang
dibutuhkan dalam usaha menghubungkannya dengan teori tingkat tinggi. Di antara teori rendah dan
tengah yang kita kenal misalnya kajian Schiffer (1976) yang berkenaan dengan proses formasi
budaya (cultural formation process) dan formasi bukan-budaya (non-cultural formation process)
yang berpangkal pada konsep bahwa tinggalan arkeologi dan struktur persebarannya merupakan
pencerminan yang terganggu dari sistem perilaku manusia masa lalu. Oleh sebab itu tafsiran
arkeologi atas dasar konsep in situ perlu dikaji lebih kritis dengan memperhatikan proses-proses
transformasi yang pernah terjadi di situs .
Demikianlah gambaran singkat dari perkembangan arkeologi hingga tahun 1970-an. Setelah
tahun 1970-an perkembangan arkeologi pada dasarnya tidak bergeser banyak dari pandangan New
Archeology, dan tetap berfokus pada penelitian prosesual. Baru pada akhir-akhir ini ada pandangan
baru yang sering disebut sebagai pasca prosesual (post processual). Sebagaimana diketahui
penelitian arkeologi prosesual didasarkan atas metodologi penelitian deduktif yang menggunakan
rancangan penelitian formal sebagai awal, perumusan hipotesis yang eksplisit dan dapat diuji, serta
pengujian hipotesis dengan data yang telah dikumpulkan. Seringkali hipotesis awal dibuat
berdasarkan data yang diperoleh melalui strategi induktif sejarah kebudayaan. Dua pendekatan yaitu
deduktif-nomologikal dan sistem-ekologikal termasuk golongan pendekatan arkeologi prosesual.

8
Dalam pendekatan deduktif-nomologikal digunakan metodologi formal-saintifik yang didasarkan
pada general laws, yang menganggap bahwa dunia ini terdiri dari gejala-gejala yang dapat diamati,
dan bergerak dengan cara yang teratur. Dengan kata lain dunia dapat dijelaskan dengan prediksi atas
serangkaian gejala yang menunjukkan keteraturan tertentu. General laws (yang menguasai pula
perilaku manusia) yang digunakan arkeolog diambil dari disiplin antropologi dan ilmu sosial lainnya.
Kini banyak arkeolog menolak asumsi bahwa general laws itu ada, dan bahwa metode saintifik
deduktif dari ilmu fisika dan sains lainnya tidak tepat digunakan untuk data arkeologi. Pendekatan
sistem-ekologikal mengkaji cara berfungsinya sistem-sistem budaya, baik secara internal maupun
terkait dengan faktor eksternal seperti lingkungan. Pendekatan ini didasarkan pada tiga model
perubahan budaya yaitu: (1) model systems, yang berpangkal pada teori general systems; (2) model
ekologi budaya, yang melahirkan model interaksi yang rumit antara kebudayaan dengan lingkungan;
dan (3) model evolusi budaya multilinear, yang menggabungkan dua pendekatan tersebut di atas ke
dalam satu teori evolusi budaya yang kumulatif dalam jangka waktu panjang melalui adaptasi yang
kompleks dengan lingkungan.
Akhir-akhir ini terdapat sejumlah arkeolog yang memberikan reaksi terhadap pendekatan
evolusioner dan fungsional yang dikembangkan dalam arkeologi prosesual. Mereka sering
digolongkan sebagai arkeolog pasca prosesual, namun demikian masih dapat digolongkan ke dalam
jalur New Archeology yang tetap berupaya mencapai eksplanasi, bukan sekedar deskripsi. Arkeologi
pasca prosesual berkembang ke dalam apa yang dinamakan Hodder sebagai arkeologi struktural
(structural archaeology), atau arkeologi kognitif (cognitive archaeology), yang terutama memberi
peran kepada idea (gagasan) dan simbol kebudayaan masa lalu dalam eksplanasi. Mereka
berpendapat bahwa kebudayaan arkeologi diciptakan oleh para pendukungnya (social construct),
sehingga perlu dipertanyakan apakah penjelasan kita sekarang sudah benar (pendekatan emik).
Arkeologi struktural berupaya menganalisis pola-pola kebudayaan (seperti pendekatan normatif) dan
transformasinya. Pola-pola kubur di pemakaman kuna bukan sekedar pencerminan dari perilaku dan
pola masyarakat, tetapi merupakan struktur dalam konteks simbolik. Arkeologi kognitif ini
menganalisis pola-pola yang terletak jauh di belakang kebudayaan materi.
Bentuk lain dari arkeologi pasca prosesual yaitu arkeologi kritikal (critical archaeology).
Arkeologi kritikal berasumsi bahwa ahli arkeologi adalah aktor dalam kebudayaan kontemporer,
karena itu mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat sekarang. Rekonstruksi masa lalu yang
disusun arkeolog mempunyai fungsi dalam masyarakat sekarang. Demikianlah arkeologi kritikal
berupaya mengkaji pola yang berada di belakang kebudayaan materi yang dipelajarinya dan yang
berkaitan dengan konteks masa kini. Banyak kajian arkeologi kritikal yang memusatkan

9
perhatiannya pada pemahaman golongan masyarakat yang semula tidak diperhitungkan (class
interest) seperti golongan tertindas, orang Negro, wanita, dan sebagainya.

VIII. CATATAN AKHIR


Dari uraian di atas jelas bahwa sejarah perkembangan arkeologi di Amerika (dan juga di
Eropa dan negara lain) dapat dibagi ke dalam tiga periode utama yang masing-masing memiliki
kekhasan dalam bahasan utamanya dan cara mengkajinya. Dalam masa klasifikasi terdapat
perbedaan tekanan perhatian yaitu mula-mula klasifikasi yang memusatkan pada deskripsi,
kemudian klasifikasi yang menekankan pada kronologi, dan akhirnya klasifikasi yang memfokuskan
pada kajian konteks-fungsi. Dalam masa eksplanasi perpindahan tekanan perhatian tidak banyak
bergeser, kecuali dalam arkeologi pasca prosesual. Kita juga melihat bahwa kecenderungan mutakhir
dari penelitian arkeologi tidak lepas dari kecenderungan penelitian sebelumnya. Bahkan beberapa
pokok kecenderungan disebabkan oleh reaksi terhadap kekurangan atau kelemahan dari penelitian
sebelumnya. Taylor misalnya dengan pendekatan konjungtifnya memberikan reaksi terhadap
kegiatan arkeolog yang terlalu menyibukkan diri dengan klasifikasi benda arkeologi. Sedangkan
Binford dengan gerakan ilmiah New Archeology dalam tahun 1960-an memberikan reaksi terhadap
kegiatan arkeologi ketika itu.
Pada dasarnya perkembangan pemikiran arkeologi seperti yang dicontohkan di Amerika
Serikat kurang lebih serupa dengan yang ada di Inggris atau Eropa pada umumnya, dan mungkin
juga di Indonesia. Namun kesadaran akan masalah-masalah pokok yang ada sepanjang
perkembangan itu belum banyak dibicarakan arkeolog Indonesia secara lebih terbuka. Tulisan Daud
Aris Tanudirjo (1992) dan Mindra Faisaliskandiar (1992a; 1992b) misalnya cukup menggambarkan
perlunya kita menilai kembali konsep dan pelaksanaan penelitian arkeologi di negara kita. Dalam
menyusun kebijakan penelitian masa depan arkeologi Indonesia sudah tentu kita tidak perlu meniru
atau mengadopsi sepenuhnya model kajian arkeologi mutakhir seperti yang telah dikerjakan di
negara-negara yang biasa dijadikan contoh itu.
Masalah-masalah yang kiranya perlu dipertimbangkan dalam kebijakan penelitian antara lain
mengenai: (1) masalah pencapaian tiga tujuan arkeologi, (2) masalah sifat data arkeologi Indonesia
yang berpengaruh pada strategi penelitian, (3) masalah penelitian berwawasan pelestarian,
pemanfaatan, dan tanggung jawab arkeologi Indonesia, serta (4) masalah strategi penelitian
arkeologi di Indonesia, meliputi hal-hal berkenaan dengan rancangan penelitian, satuan penelitian,
pendekatan multidisipliner, teori, dan metode survei, terutama yang sesuai dengan kondisi sekarang
di Indonesia.

10
11
Daftar Pustaka
Binford, Lewis R.
1972 An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press.
Bosch, F.D.K.
1929 Aim and Methods of Archaeological Research in Java. Dalam:
Indian Art and Letters III (2):79--100.
Chang, Kuang Chih
1967 Rethinking Archaeology. New York: Random House.
Clarke, David L.
1968 Analytical Archaeology. London: Methuen & Co.
Clarke, David, L. (ed.)
1972 Models in Archaeology. London: Methuen & Co.
Courbin, Paul
1988 What is Archaeology? An Essay on the Nature of Archaeological Re-
search. Diterjemahkan oleh Paul Bahn. Chicago: The Univ. of Chicago
Press.
Daniel, Glyn
1975 A Hundred and Fifty Years of Arcaheology. Cetakan kedua.
Duckworth.
Fagan, Brian M.
1991 In the Beginning. Cetakan ketujuh. New York: Harper Collins Pub.
Faizaliskandiar, Mindra
1992a "Krisis dalam Arkeologi Indonesia" Dalam: Jurnal Arkeologi
Indonesia, I:34--43.
1992b "Penulisan Sejarah Kebudayaan Indonesia:Sumbangsih
Arkeologi kepada Masyarakat Kontemporer". Dalam: Pertemuan
Ilmiah Arkeologi VI:1--23.
Klejn, Leo S.
1977 A Panorama of Theoretical Archaeology. Current Anthropology 18
(1):1-- 42.
Leone, Mark P. (ed.)
1975 Contemporary Archaeology: A Guide to Theory and Contributions.
Edisi ketiga. London:Feffer & Simons.

12
Preucel, Robert W. (ed.)
1991 Processual and Postprocessual Archaeologies: Multiple Ways of
Knowing the Past. Southern Illinois University at Carbondale: Centre for
Archaeo- logical Investigation.
Renfrew, C., M. J. Rowlands, dan B. A. Segraves (ed.)
1982 Theory and Explanation in Archaeology. London: Academic Press.
Renfrew, C. dan Paul Bahn
1991 Theory, Methods and Practice. London: Thames and Hudson.
Schiffer, Michael B. (ed.)
1976 Behavioral Arcahaeology. New York: Academic Press.
1978-87 Advances in Archaeological Method and Theory 1--11.
New York: Academic Press.
1989-92 Archaeological Method and Theory 1--4. Tucson: The
University of Arizona Press.
Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore
1979 Fundamentals of Archaeology. California:Benjamin/Cummings
Publishing Company, Inc.
Tanudirjo, Daud Aris
1992 "Retrospeksi Penelitian Arkeologi di Indonesia" Dalam:
Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI:156--74.
Taylor, Walter W.
1973 A Study of Archaeology. Edisi keempat. London: & Simons.
Thomas, David H.
1979 Archaeology. New York: Holt, Rinehart and Winston.
1989 Archaeology. Edisi kedua yang diperbaiki. Fort Worth: Holt, Rinehart
and Winston Inc.
Trigger, Bruce G.
1978 Time and Traditions: Essays in Archaeological Interpretation.
Edinburg: Edinburg University Press.
1990 A History of Archaeological Thought. Cetakan kedua. New York: Cam-
bridge University Press.
Watson, Patty Jo, Le Blanc dan Charles Redman.

13
1971 Explanation in Archaeology: An Explicitly Scientific Approach.
New York: Columbia University Press.

14

Anda mungkin juga menyukai