Secara etimologis, arkeologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu archaeo yang
berarti kuno dan logos yang berarti ilmu. Jadi, Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari
kebudayaan manusia masa lalu melalui kajian sistematis atas data bendawi yang
ditinggalkan. Kajian sistematis meliputi penemuan, dokumentasi, analisis, dan
interpretasi data berupa artefak (budaya bendawi, seperti kapak batu dan bangunan
candi) dan ekofak (benda lingkungan, seperti batuan, rupa muka bumi, dan fosil)
maupun fitur (artefaktual yang tidak dapat dilepaskan dari tempatnya (situs arkeologi).
Teknik penelitian yang khas adalah penggalian (ekskavasi) arkeologis, meskipun survei
juga mendapatkan porsi yang cukup besar.
Secara khusus, arkeologi mempelajari budaya masa silam, yang sudah berusia
tua, baik pada masa prasejarah (sebelum dikenal tulisan), maupun pada masa sejarah
(ketika terdapat bukti-bukti tertulis). Pada perkembangannya, arkeologi juga dapat
mempelajari budaya masa kini, sebagaimana dipopulerkan dalam kajian budaya
bendawi modern (modern material culture).
Karena bergantung pada benda-benda peninggalan masa lalu, maka arkeologi
sangat membutuhkan kelestarian benda-benda tersebut sebagai sumber data. Oleh
karena itu, kemudian dikembangkan disiplin lain, yaitu pengelolaan sumberdaya
arkeologi (Archaeological Resources Management), atau lebih luas lagi adalah
pengelolaan sumberdaya budaya (CRM, Culture Resources Management).
Dari ketiga sikap yang melatari pandangan mereka itu kita dapat menelusuri
pendekatan utamanya sebagai berikut:
Tokoh ini dalam arkeologi Indonesia dikenal dengan nama Brandes atau J.L.A
Brandes. Ia adalah salah seorang ahli arkeologi bangsa Belanda yang telah meletakkan
dasar bagi perkembangan arkeologi Indonesia, khususnya dalam bidang epigrafi
(=tulisan kuno). Ketika masih di Belanda, Brandes telah mempelajari bahasa Jawa
Kuno dan prasasti. Karena itulah, setibanya di Hindia Belanda (Jawa) ia sudah tidak
asing lagi dengan prasasti dan mulai menggarap prasasti-prasasti yang disimpan di
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional
di Jakarta). Karyanya ini kemudian diterbitkan di dalam “Aanteekeningen Omtrent de
op Verschillende Voorwerpen Voorkomende Inscriptie en een Voorlopigen Inventaries
der Beschreven Steenen” dalam Catalogus der Archeologische Verzameling va het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, edisi W.P. Groeneveldt
tahun 1887.
Pada tahun 1894 Belanda menyerbu Lombok termasuk menduduki istana
Cakranegara. Dalam penyerbuan itu Brandes disertakan dengan tujuan untuk
menyelamatkan benda-benda tinggalan budaya masa lampau, termasuk naskah-naskah
kuno yang tersimpan di istana. Pada waktu itulah Brandes berhasil menemukan naskah
Nagarakertagama yang isinya sangat penting bagi penulisan sejarah Majapahit. Naskah
ini diterbitkannya pada tahun 1902 dalam bentuk asli, yaitu dalam aksara Bali. Naskah
lain yang juga cukup penting bagi penulisan sejarah adalah Pararaton yang
diterbitkannya lebih dahulu pada tahun 1896.
Pada tahun 1901 pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah komisi yang
bernama Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java
en Madoera. Komisi ini bertugas menangani masalah-masalah kepurbakalaan yang
ditemukan di Jawa dan Madura. Oleh pemerintah Hindia Belanda, Brandes diangkat
sebagai Ketua Komisi dan dibantu oleh dua orang anggota, yaitu J. Knebel dan H.L.
Leydie Melville. Komisi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Dinas Purbakala
yang sekarang berkembang menjadi Pusat Penelitian Arkeologi.
Brandes meninggal pada tahun 1905 ketika masih menjabat sebagai Ketua Komisi.
Sebagai ketua, banyak jasanya bagi perkembangan arkeologi Indonesia dan juga
penyelamatan benda-benda tinggalan budaya masa lampau terutama yang ditemukan di
Jawa dan Madura.
Bosch sudah berada di Hindia Belanda sejak tahun 1914, dan pada tahun 1916
hingga tahun 1936 beliau dipercaya pemerintah kolonial untuk memimpin
Oudheidkundige Dienst menggantikan pendahulunya, Krom yang kembali ke Belanda
pada tahun 1915. Pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah menyelesaikan
pekerjaan yang dilakukan pendahulunya dan menerbitkannya. Karya monumental yang
hingga kini masih dipakai sebagai pedoman para peneliti arkeologi adalah inventaris
mengenai tinggalan budaya masa lampau. Buku inventaris ini hingga saat ini
merupakan satu-satunya yang ada.
Bosch menjadi terkenal di kalangan para ahli arkeologi setelah menulis “Een
Hypothese Omtrent den Oorsprong der Hindoe-Javaansche Kunst” yang dimuat dalam
Handelingen Eerste Congres voor Taal-, Land- en Volkenkunde van Java, tahun 1921.
Dalam karyanya ini beliau mengungkapkan peranan bangsa Indonesia sebagai pencipta
bangunan-bangunan candi serta kesenian lainnya. Karena peranan inilah maka tidak
ada jurang yang memisahkan antara masa sekarang dari masa lampau bangsa
Indonesia. Dengan landasan pemikiran itu, Bosch mengarahkan arkeologi Indonesia ke
dalam dua usaha, yaitu: 1) penelitian yang mendalam terhadap unsur-unsur Indonesia
dalam segala aktivitas kesenian pada masa lampau, dan 2) pengembalian kemegahan
serta keindahan semua hasil kesenian masa lampau. Dari landasan pemikiran inilah
maka selama masa kepemimpinan Bosch banyak candi yang dipugar, sehingga
kemegahan dan keindahan candi tersebut dapat dinikmati masyarakat.
Perhatian terhadap kepurbakalaan di Hindia-Belanda tidak hanya melakukan
pemugaran saja, tetapi juga memberikan perlindungan hukum. Melalui perjuangannya
yang panjang, pada tahun 1931 keluar Monumenten Ordonantie (Stbl 1931 No. 238)
yang kini telah menjadi Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya.
Selama kepemimpinannya Bosch telah membawa arkeologi di Hindia-Belanda
ke arah kedewasaan melalui pemikiran di berbagai bidang, baik prasejarah, kesenian,
arsitektur, kebudayaan, maupun epigrafi sehingga arkeologi Indonesia mulai berdiri
tegak sebagai ilmu dan sejajar dengan arkeologi di negara-negara lain.
Satyawati Suleiman atau lebih dikenal dengan panggilan Ibu Leman atau Ibu
Yati di kalangan sahabatnya, dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Oktober 1920. Lulus
sebagai sarjana arkeologi dari Universitas Indonesia pada tahun 1953, tetapi mulai
bekerja di Dinas Purbakala sejak tahun 1948. Di kalangan para ahli arkeologi,
Satyawati Suleiman dikenal sebagai ahli Ikonografi (seni arca), tetapi pengetahuannya
mengenai benda-benda tinggalan budaya masa lampau sangat luas.
Pada tahun 1954, bersama-sama dengan R.P. Soejono, Uka Tjandrasasmita,
Boechari, Basoeki dan para arkeolog Belanda melakukan ekspedisi ke Sumatra,
terutama ke Sumatra Selatan dan Jambi. Ekspedisi yang dilakukannya itu, merupakan
rintisan jalan untuk menelaah tentang Kerajaan Sriwijaya, khususnya studi tentang
ikonografi arca-arca di Sumatra. Karirnya sebagai pegawai pemerintah di bidang
kebudayaan, khususnya kepurbakalaan dimulai sebagai Atase Kebudayaan di India
(1958-1961) dan dilanjutkan sebagai Atase Kebudayaan di Inggris (1961-1963).
Selama bertugas di India beliau banyak menimba pengetahuan tentang candi dan arca
yang kelak dapat bermanfaat bagi studi ikonografi dan candi di Indonesia.
Sekembalinya bertugas sebagai duta bangsa di bidang kebudayaan, pada tahun
1963 kembali ke Indonesia dan bertugas memimpin Bidang Arkeologi Klasik pada
Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Pada waktu itu yang memimpin
Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional adalah Soekmono. Beliau menjabat
sebagai Kepala Bidang Arkeologi Klasik selama hampir 10 tahun (1963-1973).
Pada tahun 1973, Soekmono yang kala itu menjabat sebagai Kepala Lembaga
Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN), mendapat tugas sebagai Penanggung-
jawab Proyek Pemugaran Candi Borobudur. Karena kesibukannya itu, jabatannya
digantikan oleh Satyawati Suleiman. Satyawati Suleiman menjabat sebagai Kepala
LPPN dari tahun 1973 hingga 1977. Di akhir masa jabatannya sebagai Kepala LPPN,
lembaga tersebut berubah menjadi Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan
Nasional. Perubahan ini disebabkan karena pemisahan LPPN menjadi dua lembaga
yang berbeda tugas dan wewenangnya, yaitu Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional bertugas melakukan penelitian arkeologi, dan Direktorat
Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala bertugas melakukan
perlindungan dan pemugaran.
Selesai bertugas sebagai Kepala LPPN, Satyawati Suleiman masih berkiprah di bidang
arkeologi sebagai Ahli Peneliti Utama di Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan
Nasional. (1977-1985). Pada waktu itu beliau menjabat juga sebagai Governing Board
pada SEAMEO Project on Archaeology and Fine-Arts (SPAFA).
Raden Pandji Soejono biasa dipanggil Pak Yono atau Oom Jon di kalangan
dekatnya, lahir di Mojokerto pada 27 November 1926. Lulus sebagai sarjana arkeologi
dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1959, dan mendapat gelar Doktor
dari fakultas tersebut pada tahun 1977. Pengalamannya dalam penelitian prasejarah
telah dimulai sejak tahun 1953 ketika masih menjadi mahasiswa dengan selalu
menyertai van Heekeren melakukan penelitian di berbagai tempat di Indonesia.
Pada tahun 1954, bersama-sama dengan Satyawati Suleiman, Soekmono, Uka
Tjandrasasmita, Boechari, Basoeki, dan arkeolog Belanda ikut dalam ekspedisi ke
Sumatra. Dalam tim tersebut beliau bersama van Heekeren dan Basoeki melakukan
penelitian di situs-situs prasejarah di daerah Lahat (Sumatra Selatan). Sejak awal
hingga sekarang, minat dan keahlian beliau ada di bidang prasejarah, khususnya
Paleolitik.
Pada tahun 1956 beliau secara resmi mulai bekerja pada Dinas Purbakala, dan
ketika pada akhir tahun tersebut van Heekeren meninggalkan Indonesia, maka
pekerjaannya dilanjutkan oleh Soejono. Penelitian yang pertama dilakukannya ialah
mengadakan survei di daerah Buni (Bekasi) pada tahun 1960.
Sebagai seorang arkeolog yang bekerja di lingkungan arkeologi, pada tahun
1960-1964 beliau menjabat sebagai Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan
Nasional Cabang Bali. Di wilayah kerjanya beliau dapat dengan leluasa melakukan
penelitian yang lebih mendalam dan terencana pada situs-situs arkeologi yang terdapat
di Bali. Dalam waktu yang relatif singkat, beliau berhasil mendata seluruh situs
prasejarah mulai dari masa paleolitik hingga masa perundagian.
Karirnya sebagai seorang arkeolog yang bekerja di lembaga penelitian
mencapai puncaknya pada tahun 1977, yaitu ketika diangkat menjadi Kepala Pusat
Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Sebelumnya, ketika lembaga tersebut
dikepalai oleh Satyawati Suleiman, beliau menjabat sebagai Kepala Bidang Prasejarah
hingga tahun 1977. Di bawah kepemimpinan beliau Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional mendirikan dua buah Unit Pelaksana Teknik (UPT), yaitu Balai
Arkeologi Yogyakarta dan Balai Arkeologi Denpasar. Selain itu dibangun juga dua
buah laboratorium, yaitu Laboratorium Paleoekologi dan Radiometri di Bandung dan
Laboratorium Bio dan Paleoantropologi di Yogyakarta.