Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH ARKEOLOGI DAN PENINGGALANNYA

Secara etimologis, arkeologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu archaeo yang
berarti kuno dan logos yang berarti ilmu. Jadi, Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari
kebudayaan manusia masa lalu melalui kajian sistematis atas data bendawi yang
ditinggalkan. Kajian sistematis meliputi penemuan, dokumentasi, analisis, dan
interpretasi data berupa artefak (budaya bendawi, seperti kapak batu dan bangunan
candi) dan ekofak (benda lingkungan, seperti batuan, rupa muka bumi, dan fosil)
maupun fitur (artefaktual yang tidak dapat dilepaskan dari tempatnya (situs arkeologi).
Teknik penelitian yang khas adalah penggalian (ekskavasi) arkeologis, meskipun survei
juga mendapatkan porsi yang cukup besar.

Arkeologi pada masa sekarang merangkumi berbagai bidang yang berkait.


Sebagai contoh, penemuan mayat yang dikubur akan menarik minat pakar dari berbagai
bidang untuk mengkaji tentang pakaian dan jenis bahan digunakan, bentuk keramik dan
cara penyebaran, kepercayaan melalui apa yang dikebumikan bersama mayat tersebut,
pakar kimia yang mampu menentukan usia galian melalui cara seperti metoda
pengukuran karbon 14. Sedangkan pakar genetik yang ingin mengetahui pergerakan
perpindahan manusia purba, meneliti DNAnya.

Secara khusus, arkeologi mempelajari budaya masa silam, yang sudah berusia
tua, baik pada masa prasejarah (sebelum dikenal tulisan), maupun pada masa sejarah
(ketika terdapat bukti-bukti tertulis). Pada perkembangannya, arkeologi juga dapat
mempelajari budaya masa kini, sebagaimana dipopulerkan dalam kajian budaya
bendawi modern (modern material culture).
Karena bergantung pada benda-benda peninggalan masa lalu, maka arkeologi
sangat membutuhkan kelestarian benda-benda tersebut sebagai sumber data. Oleh
karena itu, kemudian dikembangkan disiplin lain, yaitu pengelolaan sumberdaya
arkeologi (Archaeological Resources Management), atau lebih luas lagi adalah
pengelolaan sumberdaya budaya (CRM, Culture Resources Management).

Menurut Mundardjito, dalam artikelnya yang berjudul “Paradigma dalam


Arkeologi Maritim”, Arkeologi dilahirkan dan berkembang dari antiquarianism Eropa,
khususnya Renaissanse Italia, yang diwujudkan dalam upaya pencarian dan penemuan
tinggalan monumen-monumen purbakala. Kegiatan tersebut melahirkan gambaran
mengenai beraneka ragam kebudayaan di dunia, yang kemudian menjadi inti dari
kajian ilmu arkeologi dan antropologi.
###Masa 1492-1840
Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah konsep yang lebih luas yaitu bahwa
perbedaan bentuk kebudayaan tidak hanya disebabkan oleh perbedaan waktu, tetapi
juga oleh perbedaan ruang (geografik). Dalam masa sekitar tahun 1492- 1840 arkeologi
belum merupakan suatu disiplin ilmiah, dan banyak spekulasi yang disusun dari
belakang meja (armchair speculation).
Pada umumnya dalam masa spekulatif ini data arkeologi diperoleh dari kegiatan
para antiquarian (peminat barang antik) yang menyurvei dan menggali situs tanpa
rencana penelitian, serta dari looters yang melakukan penggalian-penggalian liar.
Dari pandangan antiquarianism tersebut di atas, lahirlah kemudian pemikiran
arkeologi yang sistematik seperti: perkembangan kebudayaan manusia yang disusun
atas dasar “Sistem Tiga Zaman” dari Christian Thomsen (bahwa kebudayaan
berkembang secara unilineal dari zaman batu, lalu zaman perunggu, dan akhirnya
zaman besi), dan “Hukum Worsaae” (bahwa benda- benda yang terkuburkan bersama-
sama dalam satu kubur merupakan benda- benda yang dipakai pada waktu yang sama,
karena itu pertanggalannya juga sama).
###Masa 1840-1914
Dalam masa klasifikasi-deskriptif ini sekitar tahun 1840-1914 terdapat
perubahan sikap dan cara pandang arkeolog yang berusaha menjadikan arkeologi
sebagai disiplin yang sistematik dan saintifik.
###Masa 1914-1940
Dalam masa berikutnya sekitar tahun 1914-1940 para arkeolog memberi
perhatian kepada kronologi dengan menerapkan “Teori Deposisi Stratigrafik” (Lyell)
dan “Teori Evolusi Biologis” (Darwin), yang kemudian berkembang kepada “Teori
Evolusi Budaya” dan “Teori Evolusi Masyarakat” (Tylor dan Morgan). Dalam masa
“klasifikasi-historikal” ini muncul apresiasi terhadap sains dengan rasionalismenya,
yaitu ketika kegiatan industrialisasi di Eropa dan Amerika mulai berkembang.
Banyak kegiatan arkeologi-lapangan diselenggarakan dalam jangka waktu
panjang, sehingga lahirlah ahli-ahli
arkeologi yang profesional. Kronologi dapat dicapai lebih baik karena pengurutan
tarikh dari benda-benda arkeologi (seriation) dikaitkan dengan hasil kajian stratigrafi.
Tipologi dan klasifikasi yang sudah dimulai dalam masa sebelumnya, sekarang
dikaitkan dengan metode stratigrafik dan seriasi.
###Masa 1940-1960
Sekitar tahun 1940-1960 hubungan dimensi bentuk-ruang-waktu mulai
dikembangkan, dan para peneliti berupaya mencari jejak-jejak dari difusi budaya yang
pernah terjadi. Berkembanglah sekurang-kurangnya tiga macam pendekatan utama
yang ada dalam masa ini:
1. Pendekatan yang menganggap bahwa artefak seyogianya difahami sebagai
benda materi dalam suatu sistemperilaku budaya masyarakat, sehingga
perhatian para ahli arkeologi terpusat pada kajian terhadap konteks temuan
di dalam situs arkeologi (in situ) untuk mencapai kesimpulan fungsional.
Fungsi suatu benda dapat ditafsirkan secara benar jika dikaji dalam konteks
temuan-temuan lain (associated finds) di dalam suatu situs (conjunctive
approach dari W.W. Taylor). Dalam kajian konteks-fungsional diperlukan
pula bantuan ilmu-ilmu lain (multidisciplinary), termasuk sains seperti
geologi, geografi, botani, biologi, analisis bahan, kimia, dan metalurgi
untuk mengetahui tempat asal dari barang komoditas dan proses pembuatan
artefak. Di atas semua itu penemuan pertanggalan mutlak dengan
radiocarbon (C-14) adalah yang teramat penting.
2. Pendekatan yang beranggapan bahwa hubungan antara kebudayaan dan
lingkungan alam adalah penting, maka dalam kajian arkeologi para
arkeolog mengaitkan aspek budaya manusia dengan aspek sumber daya
alam (cultural ecology), yang mengawali
pendekatan ekosistem (ecosystem) yang muncul kemudian.
3. Pendekatan yang beranggapan bahwa pola permukiman merupakan kunci yang
penting untuk memahami adaptasi sosio-ekonomik dan organisasi sosio-
politik, serta cara manusia mengatur dirinya di permukaan bumi berkaitan
dengan bentuk alam dan komuniti lain di sekitarnya. Dalam masa ini para
ahli arkeologi berupaya untuk melakukan rekonstruksi
lebih rinci mengenai cara-cara hidup dari kelompok manusia, dengan
memperhatikan fungsi serta hubungan antara kebudayaan dan lingkungan
fisik, dan setelah itu perkembangannya diarahkan kepada berbagai upaya
untuk memahami struktur sosialnya.
###Masa 1950-an
Dalam tahun 1950-an terdapat ketidakpuasan dalam hal cara penelitian
arkeologi itu diselenggarakan. Ketidakpuasan ini tidak ditujukan kepada pelaksanaan
teknik ekskavasi, melainkan kepada cara menarik kesimpulan suatu penelitian, cara
arkeolog menerangkan hasil penelitian, serta prosedur yang digunakan dalam
penalarannya. Ketidakpuasan yang paling mendasar disebabkan oleh kenyataan bahwa
kesimpulan penelitian tidak pernah menerangkan sesuatu, tetapi dikaitkan misalnya
dengan konsepmigrasi manusia dan mengenai pengaruh-pengaruh budaya yang
diperkirakan.
###Masa 1960-an
Dalam tahun 1960-an muncul kembali konsepevolusi yang sudah ada sejak
tahun 1950-an. Timbul perhatian kepada teori sistem dalam arkeologi,
konsep ekosistem, dan teknik statistik serta peranan komputer. Demikian pula
penggunaan penalaran deduktif, dan filsafat ilmu pengetahuan yang beraliran
positivisme mengemuka dalam masa ini. Muncul satu gerakan ilmiah baru yang dikenal
dengan nama ‘New Archeology’, yang perspektifnya dapat kita lihat dari tiga sikap
dasar yang melatarinya.

1. Pertama, memberi tekanan perhatian kepada penggambaran proses budaya.


2. Kedua, memiliki optimisme yang besar terhadap kemungkinan berhasilnya
eksplanasi prosesual, dan tercapainya hukum dinamika budaya.
3. Ketiga, mereka menganggap bahwa arkeologi harus juga relevan dengan
permasalahan dunia masa kini.

Dari ketiga sikap yang melatari pandangan mereka itu kita dapat menelusuri
pendekatan utamanya sebagai berikut:

1. Pendekatan evolusioner atau yang berperspektif sejarah;


2. Pendekatan sistemik dari kebudayaan dan masyarakat yang berasal dari teori
general systems;
3. Pendekatan penalaran deduktif.

Aspek-aspek lain dari New Archeologymerupakan perluasan dari ketiga pendekatan


dasar tadi dalam memandang data arkeologi.
Pendekatan evolusioner memungkinkan timbulnya anggapan bahwa aspek tekno-
ekonomik dari kebudayaan merupakan faktor penentu yang paling utama di dalam
perubahan, sedangkan faktor sosial dan ideologi datang kemudian.
Hal ini berbeda misalnya dengan pendekatan historical development dari Willey dan
Phillips yang tidak mengusahakan kajian kausalitas. Dalam masa ini proses budaya
merupakan tujuan pokok arkeologi, dan untuk kepentingan kajiannya diperlukan
berbagai disiplin ilmu lain.
Di Amerika Serikat Lewis R. Binford menawarkan pendekatan baru terhadap masalah
interpretasi arkeologi. Binford dan kawan-kawan menyadari adanya potensi yang besar
dari bukti arkeologi untuk penelitian aspek sosial ekonomi dari masyarakat masa lalu.
Pandangan mereka lebih optimis daripada arkeolog sebelumnya. Mereka mengusulkan
agar penalaran arkeologi harus eksplisit.
Penarikan kesimpulan tidak hanya didasarkan atas otoritas seseorang dalam menyusun
interpretasi tetapi harus didasarkan atas kerangka argumentasi yang logis, eksplisit,
serta harus terbuka untuk diuji oleh orang lain. Mereka berusaha menerangkan
(explanation) dan bukan hanya memerikannya (explication) secara sederhana. Oleh
karena itu, harus disusun generalisasi yang sahih.
Mereka menghindari pembicaraan mengenai pengaruh dari satu kebudayaan terhadap
kebudayaan lain. Sebaliknya mereka lebih cenderung untuk menganalisis suatu
kebudayaan sebagai sistem yang dipecah ke dalam beberapa subsistem atau unsur-
unsur budaya. Hal ini memberi kemungkinan untuk mengetahui hal-hal tentang mata
pencaharian, teknologi, subsistem sosial, subsistem ideologi, perdagangan, demografi
dan lain-lain.
Mereka kurang memberi penekanan pada kajian tipologi artefak dan klasifikasi.
Demikianlah, mereka sebenarnya menyiapkan penggunaan pendekatan ekologi yang
sudah ada sejak tahun 1950-an secara lebih tertib.
Untuk mencapai tujuan ini pendekatan sejarah agak dijauhi, sebaliknya “ilmu-ilmu
keras” didekati. Hal semacam ini juga terjadi di Inggris, seperti dikemukakan oleh
David L. Clarke yang menghendaki penggunaan teknik kuantitatif dalam penelitiannya,
sehingga dimungkinkan untuk menggarap himpunan data yang besar secara statistik
dengan bantuan komputer untuk pengujian signifikansi misalnya, bukan dengan
pendekatan kualitatif yang sederhana.
Demikian pula diusahakan memperoleh gagasan dari disiplin lain, terutama geografi.
Para ahli arkeologi dari aliran ini berpendapat bahwa arkeologi haruslah menunjukkan
peranannya dalam upaya menjelaskan perubahan budaya yang terjadi pada masa lalu.
Oleh karena itu, kegiatannya dipusatkan pada upaya eksplanasi, bukan hanya pada
deskripsi yang menghasilkan rekonstruksi sejarah kebudayaan dan rekonstruksi cara
hidup. Untuk dapat menerangkan proses perubahan budaya diperlukan teori yang
eksplisit.
Penjelasan yang diupayakan seharusnya ada dalam rangka proses budaya, yang dapat
menerangkan bagaimana perubahan sistem ekonomi dan sosial telah terjadi pada masa
lalu.
Prosedur penelitian yang dilakukan didasarkan pada penalaran deduktif, yaitu yang
diawali dengan perumusan hipotesis, penyusunan model, dan deduksi; tidak sekadar
melakukan “piecing together the past”. Kesimpulan yang ditarik dengan cara menguji
hipotesis merupakan prosedur yang dianggap sahih, bukan atas dasar otoritas atau
senioritas seorang peneliti.
Fokus penelitian harus dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik
secara efisien. Penelitian tidak diselenggarakan hanya atas dasar tujuan mengumpulkan
data s ebanyak-banyaknya, yang dalam kenyataannya mungkin tidak relevan dengan
tujuan penelitian. Sikap mereka lebih positif dalam menghadapi penelitian yang rumit
sekalipun, dan menganggap bahwa masalah arkeologi tidak dapat dipecahkan apabila
mereka tidak pernah mencoba melakukannya. Mereka lebih optimis dan tidak bersikap
pesimis terhadap keterbatasan data arkeologi (secara kuantitatif dan kualitatif) untuk
merekonstruksi sistem sosial dan sistem ideologi masyarakat masa lalu
###Masa 1960-1970
Dalam tahun 1960—1970 makin banyak data dan interpretasi arkeologi yang baru.
Pandangan yang sudah ada dalam masa 1960-an tetap diteruskan dan ternyata
mempengaruhi perubahan sikap dari kebanyakan arkeolog. Perubahan sikap ini
tercermin dalam upaya menghubungkan antara tujuan untuk memahami proses budaya
dengan tujuan merekonstruksi sejarah kebudayaan, sehingga perbedaan di antara
keduanya makin berkurang.
Dalam masa ini paradigma New Archaeology mempengaruhi perkembangan
Historical Archaeology, yaitu dari sifatnya yang partikularistik kepada pandangan yang
lebih luas sebagaimana dianut dalam Anthropological Archaeology. Perpindahan
tekanan perhatian ini disebabkan oleh dua faktor:
1. Ahli arkeologi-sejarah mulai menyadari pentingnya data yang partikularistik itu
dikendalikan dengan cermat untuk dievaluasi serta disumbangkan kepada
metodologi perekaman data dan interpretasi untuk kepentingan penyusunan
teori; dan
2. Pertumbuhan yang cepat dari kajian manajemen sumber daya budaya (cultural
resource management), yang seringkali meliputi situs prasejarah dan
sejarah, telah menyebabkan arkeolog berlatar
belakang antropologi memahami masalah arkeologi sejarah.

Dengan demikian teori- teori antropologimasuk pula ke dalam studi arkeologi-sejarah


(South 1977). Arkeologi-sejarah di Amerika dengan demikian memberi sumbangan
juga pada perkembangan metode arkeologi dan teori perubahan budaya. Apabila dalam
awal tahun 1960 mulai diperkenalkan gagasan New Archeology dan pada masa
berikutnya gagasan itu diterapkan dalam sejumlah besar penelitian dengan berbagai
topik, maka dalam periode 1970- an berkembanglah penemuan-penemuan baru dalam
bidang metodologi dan teori. Banyak sekali kajian yang menggunakan teori tingkat
rendah dan tingkat menengah yang diperlukan untuk menguji hipotesis-hipotesis dalam
rangka uaya memahami sebab-sebab terjadinya perubahan budaya.
Penelitian semacam itu menghasilkan konsepyang dibutuhkan dalam usaha
menghubungkannya dengan teori tingkat tinggi. Di antara teori rendah dan tengah yang
kita kenal misalnya adalah kajian Schiffer (1976) yang berkenaan dengan proses
formasi budaya (cultural formation process) dan formasi bukan-budaya (non-cultural
formation process) yang berpangkal pada konsep bahwa tinggalan arkeologi dan
struktur persebarannya merupakan pencerminan yang terganggu dari sistem perilaku
manusia masa lalu.
Oleh sebab itu, tafsiran arkeologi atas dasar konsep in situ perlu dikaji lebih kritis
dengan memperhatikan proses-proses transformasi yang pernah terjadi di suatu situs .
###Masa Setelah 1970
Setelah tahun 1970-an perkembangan arkeologi pada dasarnya tidak bergeser banyak
dari pandangan New Archeology, dan tetap berfokus pada penelitian prosesual. Baru
pada akhir-akhir ini ada pandangan baru yang sering disebut sebagai pascaprosesual
(post processual). Sebagaimana diketahui penelitian arkeologi prosesual didasarkan
atas metodologi penelitian deduktif yang menggunakan rancangan penelitian formal
sebagai awal, perumusan hipotesis yang eksplisit dan yang dapat diuji, serta meguji
hipotesis dengan data yang telah dikumpulkan.
Seringkali hipotesis awal dibuat berdasarkan data yang diperoleh
melalui strategi induktif sejarah kebudayaan. Dua pendekatan yaitu deduktif-
nomologikal dan sistem-ekologikal termasuk golongan pendekatan arkeologi prosesual.
Dalam pendekatan deduktif-nomologikal digunakan metodologi formal saintifik yang
didasarkan pada general laws, yang menganggap bahwa dunia ini terdiri dari gejala
yang mampu kita amati, dan bergerak dengan cara yang teratur. Dengan kata lain dunia
dapat dijelaskan dengan prediksi atas serangkaian gejala yang menunjukkan keteraturan
tertentu.
General laws (yang menguasai pula perilaku manusia) yang diterapkan para arkeolog
diambil dari disiplin antropologi dan ilmu sosial lainnya. Meski demikian, kini ada juga
arkeolog yang menolak asumsi bahwa general laws itu ada, dan bahwa metode saintifik
deduktif dari ilmu fisika dan sains lainnya tidak tepat digunakan untuk data arkeologi.
Pendekatan sistem-ekologikal berusaha mengkaji cara berfungsinya
sistem- sistembudaya, baik secara internal maupun terkait dengan faktor eksternal
seperti lingkungan. Pendekatan ini didasarkan pada tiga model perubahan budaya yaitu:

1. Model systems, yang berpangkal pada teori general systems;


2. Model ekologi budaya, yang melahirkan model interaksi yang rumit antara
kebudayaan dengan lingkungan; dan
3. Model evolusi budaya multilinier, yang menggabungkan dua pendekatan
tersebut di atas ke dalam satu teori evolusi budaya yang kumulatif dalam
jangka waktu panjang melalui adaptasi yang kompleks terhadap
lingkungan.

Akhir-akhir ini terdapat sejumlah arkeolog yang memberikan reaksi terhadap


pendekatan evolusioner dan fungsional yang dikembangkan dalam arkeologi prosesual.
Mereka sering digolongkan sebagai arkeolog pascaprosesual, namun menurut Willey
dan Sabloff pendekatan ini masih dapat digolongkan ke dalam jalur New Archeology
yang tetap berupaya mencapai eksplanasi, bukan sekedar deskripsi.
Arkeologi pascaprosesual berkembang ke dalam apa yang dinamakan Hodder sebagai
arkeologi struktural (structural archaeology), atau arkeologi kognitif (cognitive
archaeology), yang terutama memberi peran kepada idea (gagasan) dan simbol
kebudayaan masa lalu dalam melakukan eksplanasi. Mereka berpendapat bahwa
kebudayaan arkeologi diciptakan oleh para pendukungnya (social construct), sehingga
perlu dipertanyakan apakah penjelasan kita sekarang sudah benar (pendekatan emik).
Arkeologi struktural berupaya menganalisis pola-pola kebudayaan (seperti pendekatan
normatif) dan transformasinya.
Pola-pola kubur di pemakaman kuna bukan sekedar pencerminan dari perilaku dan
pola masyarakat, tetapi merupakan struktur dalam konteks simbolik. Arkeologi kognitif
ini menganalisis pola-pola yang terletak jauh di belakang kebudayaan materi.
Bentuk lain dari arkeologi pascaprosesual yaitu arkeologi kritis (critical archaeology).
Arkeologi kritis berasumsi bahwa ahli arkeologi adalah aktor dalam kebudayaan
kontemporer, karena itu mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat sekarang.
Rekonstruksi masa lalu yang disusun arkeolog harus mempunyai fungsi dalam
masyarakat sekarang. Demikianlah arkeologi kritis berupaya mengkaji pola yang
berada di belakang kebudayaan materi yang dipelajarinya dan yang berkaitan dengan
konteks masa kini. Banyak kajian arkeologi kritis yang memusatkan perhatiannya pada
pemahaman golongan masyarakat yang semula tidak diperhitungkan (class interest)
seperti golongan tertindas, orang Negro, perempuan, dan sebagainya.
Para ahli arkeologi di dunia kini sependapat bahwa ilmu arkeologi mempunyai tiga
tujuan pokok, yaitu:

1. Rekonstruksi sejarah kebudayaan;


2. Rekonstruksi cara hidup masyarakatmasa lalu; dan
3. Penggambaran proses-proses budaya.

Perkembangan dunia arkeologi Indonesia tidak dapat lepas kaitannya dengan


tokoh-tokoh arkeologi bangsa Belanda yang pernah malang melintang di situs-situs
yang mengandung tinggalan budaya masa lampau di Nusantara, terutama di Jawa dan
Sumatra. Bisa dimaklumi karena pada waktu itu Nusantara masih dijajah Belanda.
Keberadaan tinggalan budaya masa lampau banyak dicatat oleh para arkeolog tersebut.
Bahkan cikal bakal berdirinya Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional,
dirintis oleh para arkeolog Belanda tersebut Ada arkeolog yang profesional, ada yang
amatir, dan ada pula yang berangkat dari kecintaannya terhadap keantikan suatu karya
seni.
Dari sekian banyak yang menyatakan dirinya sebagai seorang ahli arkeologi
yang tergabung dalam organisasi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) mungkin
hanya sedikit yang mengetahui siapa orang itu sebenarnya, dan apa karyanya yang
“monumental”. Sebagai seorang yang memproklamirkan dirinya arkeolog, sudah
seharusnya mengenal orang-orang yang berjasa tersebut, mulai dari J.L.A Brandes dari
abad ke-19, sampai dengan Uka Tjandrasasmita yang pernah bertualang di Sumatra
Selatan dan Jambi pada tahun 1953 bersama-sama dengan R. Soekmono, R.P. Soejono,
Satyawati Suleiman, dan Boechari.

Tokoh ini dalam arkeologi Indonesia dikenal dengan nama Brandes atau J.L.A
Brandes. Ia adalah salah seorang ahli arkeologi bangsa Belanda yang telah meletakkan
dasar bagi perkembangan arkeologi Indonesia, khususnya dalam bidang epigrafi
(=tulisan kuno). Ketika masih di Belanda, Brandes telah mempelajari bahasa Jawa
Kuno dan prasasti. Karena itulah, setibanya di Hindia Belanda (Jawa) ia sudah tidak
asing lagi dengan prasasti dan mulai menggarap prasasti-prasasti yang disimpan di
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional
di Jakarta). Karyanya ini kemudian diterbitkan di dalam “Aanteekeningen Omtrent de
op Verschillende Voorwerpen Voorkomende Inscriptie en een Voorlopigen Inventaries
der Beschreven Steenen” dalam Catalogus der Archeologische Verzameling va het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, edisi W.P. Groeneveldt
tahun 1887.
Pada tahun 1894 Belanda menyerbu Lombok termasuk menduduki istana
Cakranegara. Dalam penyerbuan itu Brandes disertakan dengan tujuan untuk
menyelamatkan benda-benda tinggalan budaya masa lampau, termasuk naskah-naskah
kuno yang tersimpan di istana. Pada waktu itulah Brandes berhasil menemukan naskah
Nagarakertagama yang isinya sangat penting bagi penulisan sejarah Majapahit. Naskah
ini diterbitkannya pada tahun 1902 dalam bentuk asli, yaitu dalam aksara Bali. Naskah
lain yang juga cukup penting bagi penulisan sejarah adalah Pararaton yang
diterbitkannya lebih dahulu pada tahun 1896.
Pada tahun 1901 pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah komisi yang
bernama Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java
en Madoera. Komisi ini bertugas menangani masalah-masalah kepurbakalaan yang
ditemukan di Jawa dan Madura. Oleh pemerintah Hindia Belanda, Brandes diangkat
sebagai Ketua Komisi dan dibantu oleh dua orang anggota, yaitu J. Knebel dan H.L.
Leydie Melville. Komisi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Dinas Purbakala
yang sekarang berkembang menjadi Pusat Penelitian Arkeologi.
Brandes meninggal pada tahun 1905 ketika masih menjabat sebagai Ketua Komisi.
Sebagai ketua, banyak jasanya bagi perkembangan arkeologi Indonesia dan juga
penyelamatan benda-benda tinggalan budaya masa lampau terutama yang ditemukan di
Jawa dan Madura.

Adalah seorang ahli kesusasteraan Klasik Latin-Yunani bangsa Belanda. Beliau


datang ke Hindia Belanda pada tahun 1910 untuk menduduki jabatan sebagai Ketua
Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en
Madoera menggantikan J.L.A Brandes yang meninggal dunia.
Setelah menduduki jabatan sebagai Ketua Komisi, beliau menyadari bahwa
persoalan kepurbakalaan Hindia Belanda tidak dapat ditangani hanya oleh sebuah
komisi saja. Penanganannya harus dilakukan oleh sebuah badan pemerintah yang tetap
dengan suatu organisasi yang baik. Berkat perjuangannya yang gigih, pada tahun 1913
berdirilah Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) dan beliau dipercaya oleh
pemerintah kolonial Belanda sebagai Kepala Dinas. Jabatan ini diembannya hingga
tahun 1915, dan setelah itu beliau kembali ke Belanda.
Setelah selesai masa jabatannya, di Belanda beliau banyak menulis tentang
arkeologi Hindia Belanda, termasuk menerbitkan naskah yang ditinggalkan Brandes
Oud-Javaansche Oorkonden (OJO). Hampir seluruh karya tulis yang dibuatnya sangat
mengagumkan dan monumental, di antaranya adalah monografi tentang candi
Borobudur setebal 800 halaman folio dengan lampiran berupa foto-foto dan gambar-
gambar relief candi Borobudur berupa tiga buah “buku raksasa” sebesar halaman surat
kabar. Buku lainnya yang merupakan karya monumental adalah Inleiding tot de
Hindoe-Javaansche Kunst (1919 dan 1923) dan Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926
dan 1931). Kedua buku ini, hingga sekarang masih dipakai sebagai pegangan dan
landasan pertama bagi siapa saja yang berniat untuk bergerak dalam bidang serta
pekerjaan sejarah kuno dan arkeologi Indonesia.

Bosch sudah berada di Hindia Belanda sejak tahun 1914, dan pada tahun 1916
hingga tahun 1936 beliau dipercaya pemerintah kolonial untuk memimpin
Oudheidkundige Dienst menggantikan pendahulunya, Krom yang kembali ke Belanda
pada tahun 1915. Pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah menyelesaikan
pekerjaan yang dilakukan pendahulunya dan menerbitkannya. Karya monumental yang
hingga kini masih dipakai sebagai pedoman para peneliti arkeologi adalah inventaris
mengenai tinggalan budaya masa lampau. Buku inventaris ini hingga saat ini
merupakan satu-satunya yang ada.
Bosch menjadi terkenal di kalangan para ahli arkeologi setelah menulis “Een
Hypothese Omtrent den Oorsprong der Hindoe-Javaansche Kunst” yang dimuat dalam
Handelingen Eerste Congres voor Taal-, Land- en Volkenkunde van Java, tahun 1921.
Dalam karyanya ini beliau mengungkapkan peranan bangsa Indonesia sebagai pencipta
bangunan-bangunan candi serta kesenian lainnya. Karena peranan inilah maka tidak
ada jurang yang memisahkan antara masa sekarang dari masa lampau bangsa
Indonesia. Dengan landasan pemikiran itu, Bosch mengarahkan arkeologi Indonesia ke
dalam dua usaha, yaitu: 1) penelitian yang mendalam terhadap unsur-unsur Indonesia
dalam segala aktivitas kesenian pada masa lampau, dan 2) pengembalian kemegahan
serta keindahan semua hasil kesenian masa lampau. Dari landasan pemikiran inilah
maka selama masa kepemimpinan Bosch banyak candi yang dipugar, sehingga
kemegahan dan keindahan candi tersebut dapat dinikmati masyarakat.
Perhatian terhadap kepurbakalaan di Hindia-Belanda tidak hanya melakukan
pemugaran saja, tetapi juga memberikan perlindungan hukum. Melalui perjuangannya
yang panjang, pada tahun 1931 keluar Monumenten Ordonantie (Stbl 1931 No. 238)
yang kini telah menjadi Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya.
Selama kepemimpinannya Bosch telah membawa arkeologi di Hindia-Belanda
ke arah kedewasaan melalui pemikiran di berbagai bidang, baik prasejarah, kesenian,
arsitektur, kebudayaan, maupun epigrafi sehingga arkeologi Indonesia mulai berdiri
tegak sebagai ilmu dan sejajar dengan arkeologi di negara-negara lain.

Sejak pertengahan tahun 1936 kepemimpinan Bosch di Oudheidkundige Dienst


kemudian digantikan oleh Stutterheim. Stutterheim mulai bekerja di lembaga ini sejak
tahun 1924, tetapi pada tahun 1926 ia ditugaskan untuk mendirikan dan mengepalai
Algemene Middlebarre School (AMS) bagian A (setingkat Sekolah Menengah Atas
jurusan Sastra Timur) di Solo. Dalam kurikulumnya, sekolah ini mencantumkan Sastra
dan Sejarah Kebudayaan Indonesia sebagai mata pelajaran yang utama.
Meskipun beliau memimpin sebuah sekolah menengah, namun beliau tidak
meninggalkan dunia arkeologi bahkan meningkatkan kemampuannya di bidang
arkeologi. Usahanya tidak sia-sia hingga pada tahun 1936 beliau diangkat menjadi
Kepala Oudheidkundige Dienst. Dalam usahanya menyelami kebudayaan Indonesia,
beliau banyak bergaul dengan masyarakat Indonesia sehingga dapat menyelami
pandangan orang Indonesia mengenai kebudayaannya di masa lampau. Dalam
pikirannya dikemukakan bahwa kebudayaan Indonesia kuno haruslah dianggap sebagai
kebudayaan Indonesia, sedangkan pengaruh kebudayaan India hanyalah sebagai
tambahan. Karena itu, tidak menjadi masalah dari bagian India mana unsur kebudayaan
itu datang, tetapi yang terpenting bagaimana unsur itu dapat berpadu dengan pola
kebudayaan Indonesia.
Stutterheim bukan saja berjasa di dalam ilmu percandian dan kebudayaan
Indonesia saja, tetapi beliau juga berjasa dalam memperhatikan keramik yang dapat
dijadikan bahan kajian penelitian arkeologi. Pada tahun 1939 beliau memerintahkan
penelitian keramik di Prambanan, dan pada tahun 1940 di Grobogan. Tujuan
penelitiannya adalah untuk melokalisasikan Kerajaan Mda?. Dari penelitiannya itu
dihasilkan suatu kesimpulan bahwa pada sekitar abad ke-9 Masehi Gunung Muria
merupakan pulau tersendiri yang terpisah dari Jawa.

Bersama-sama dengan Satyawati Suleiman, Soekmono termasuk dalam


arkeolog pertama bangsa Indonesia yang berhasil menyelesaikan gelar sarjananya pada
tahun 1953 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pak Soek, biasa dipanggil oleh
rekan, bawahan, dan mahasiswanya, lahir di Ketanggungan (Brebes) pada tanggal 14
Juli 1922. Bersama-sama dengan Satyawati Suleiman, Soejono, Boechari, Uka
Tjandrasasmita, Basoeki dan arkeolog Belanda pada tahun 1954 melakukan ekspedisi
ke Sumatra. Dari ekspedisinya itu, beliau berpendapat bahwa pada masa Sriwijaya garis
pantai Sumatra bagian timur terletak di daerah pedalaman. Di Jambi terdapat sebuah
teluk, sedangkan kota Palembang terletak di ujung sebuah semenanjung. Pendapatnya
ini terus dipertahankan hingga akhir hayatnya.
Soekmono merupakan orang Indonesia pertama yang lulus sebagai doktorandus
dalam bidang studi arkeologi. Setelah lulus tahun 1953, pada tahun itu juga beliau
diangkat sebagai Kepala Dinas Purbakala Republik Indonesia, suatu kedudukan yang
sebelum itu dijabat oleh orang-orang Belanda. Jabatan ini terus dipangkunya hingga
tahun 1973. Pada tahun 1970 beliau dipercaya pemerintah untuk memimpin Proyek
Pemugaran Candi Borobudur, sebuah proyek besar yang didanai oleh pemerintah RI
dan UNESCO.
Ditengah-tengah kesibukannya memimpin suatu proyek besar, pada tahun 1974
beliau sempat menyelesaikan disertasinya yang berjudul "Candi, Fungsi dan
Pengertiannya" di Universitas Indonesia. Pada bidang studi inilah keahlian dan
pengalaman beliau dapat diuji, terutama pengetahuannya mengenai candi-candi di
Indonesia. Pengalamannya pada Proyek Pemugaran Candi Borobudur menjadikannya
seorang ahli mengenai bangunan candi yang sedang ditanganinya. Di dunia
internasional pengetahuan beliau mengenai konservasi bangunan monumental banyak
dipakai. Beberapa jabatan yang berkaitan dengan masalah-masalah konservasi banyak
disandangnya.
Kesibukannya sebagai “praktisi arkeologi” tidak menjadikannya lupa akan
dunia akademis. Pengetahuannya yang luas mengenai Sejarah Kebudayaan Indonesia,
diamalkannya di ruang kuliah Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada,
Universitas Udayana, dan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di Batusangkar sebagai
Dosen Luar Biasa (1953-1978). Pada tahun 1978 beliau dikukuhkan sebagai Gurubesar
Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kemudian pada tahun 1986-1987
sebagai Gurubesar tamu di Rijksuniversiteit te Leiden, Belanda.

Satyawati Suleiman atau lebih dikenal dengan panggilan Ibu Leman atau Ibu
Yati di kalangan sahabatnya, dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Oktober 1920. Lulus
sebagai sarjana arkeologi dari Universitas Indonesia pada tahun 1953, tetapi mulai
bekerja di Dinas Purbakala sejak tahun 1948. Di kalangan para ahli arkeologi,
Satyawati Suleiman dikenal sebagai ahli Ikonografi (seni arca), tetapi pengetahuannya
mengenai benda-benda tinggalan budaya masa lampau sangat luas.
Pada tahun 1954, bersama-sama dengan R.P. Soejono, Uka Tjandrasasmita,
Boechari, Basoeki dan para arkeolog Belanda melakukan ekspedisi ke Sumatra,
terutama ke Sumatra Selatan dan Jambi. Ekspedisi yang dilakukannya itu, merupakan
rintisan jalan untuk menelaah tentang Kerajaan Sriwijaya, khususnya studi tentang
ikonografi arca-arca di Sumatra. Karirnya sebagai pegawai pemerintah di bidang
kebudayaan, khususnya kepurbakalaan dimulai sebagai Atase Kebudayaan di India
(1958-1961) dan dilanjutkan sebagai Atase Kebudayaan di Inggris (1961-1963).
Selama bertugas di India beliau banyak menimba pengetahuan tentang candi dan arca
yang kelak dapat bermanfaat bagi studi ikonografi dan candi di Indonesia.
Sekembalinya bertugas sebagai duta bangsa di bidang kebudayaan, pada tahun
1963 kembali ke Indonesia dan bertugas memimpin Bidang Arkeologi Klasik pada
Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Pada waktu itu yang memimpin
Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional adalah Soekmono. Beliau menjabat
sebagai Kepala Bidang Arkeologi Klasik selama hampir 10 tahun (1963-1973).
Pada tahun 1973, Soekmono yang kala itu menjabat sebagai Kepala Lembaga
Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN), mendapat tugas sebagai Penanggung-
jawab Proyek Pemugaran Candi Borobudur. Karena kesibukannya itu, jabatannya
digantikan oleh Satyawati Suleiman. Satyawati Suleiman menjabat sebagai Kepala
LPPN dari tahun 1973 hingga 1977. Di akhir masa jabatannya sebagai Kepala LPPN,
lembaga tersebut berubah menjadi Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan
Nasional. Perubahan ini disebabkan karena pemisahan LPPN menjadi dua lembaga
yang berbeda tugas dan wewenangnya, yaitu Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional bertugas melakukan penelitian arkeologi, dan Direktorat
Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala bertugas melakukan
perlindungan dan pemugaran.
Selesai bertugas sebagai Kepala LPPN, Satyawati Suleiman masih berkiprah di bidang
arkeologi sebagai Ahli Peneliti Utama di Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan
Nasional. (1977-1985). Pada waktu itu beliau menjabat juga sebagai Governing Board
pada SEAMEO Project on Archaeology and Fine-Arts (SPAFA).

Raden Pandji Soejono biasa dipanggil Pak Yono atau Oom Jon di kalangan
dekatnya, lahir di Mojokerto pada 27 November 1926. Lulus sebagai sarjana arkeologi
dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1959, dan mendapat gelar Doktor
dari fakultas tersebut pada tahun 1977. Pengalamannya dalam penelitian prasejarah
telah dimulai sejak tahun 1953 ketika masih menjadi mahasiswa dengan selalu
menyertai van Heekeren melakukan penelitian di berbagai tempat di Indonesia.
Pada tahun 1954, bersama-sama dengan Satyawati Suleiman, Soekmono, Uka
Tjandrasasmita, Boechari, Basoeki, dan arkeolog Belanda ikut dalam ekspedisi ke
Sumatra. Dalam tim tersebut beliau bersama van Heekeren dan Basoeki melakukan
penelitian di situs-situs prasejarah di daerah Lahat (Sumatra Selatan). Sejak awal
hingga sekarang, minat dan keahlian beliau ada di bidang prasejarah, khususnya
Paleolitik.
Pada tahun 1956 beliau secara resmi mulai bekerja pada Dinas Purbakala, dan
ketika pada akhir tahun tersebut van Heekeren meninggalkan Indonesia, maka
pekerjaannya dilanjutkan oleh Soejono. Penelitian yang pertama dilakukannya ialah
mengadakan survei di daerah Buni (Bekasi) pada tahun 1960.
Sebagai seorang arkeolog yang bekerja di lingkungan arkeologi, pada tahun
1960-1964 beliau menjabat sebagai Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan
Nasional Cabang Bali. Di wilayah kerjanya beliau dapat dengan leluasa melakukan
penelitian yang lebih mendalam dan terencana pada situs-situs arkeologi yang terdapat
di Bali. Dalam waktu yang relatif singkat, beliau berhasil mendata seluruh situs
prasejarah mulai dari masa paleolitik hingga masa perundagian.
Karirnya sebagai seorang arkeolog yang bekerja di lembaga penelitian
mencapai puncaknya pada tahun 1977, yaitu ketika diangkat menjadi Kepala Pusat
Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Sebelumnya, ketika lembaga tersebut
dikepalai oleh Satyawati Suleiman, beliau menjabat sebagai Kepala Bidang Prasejarah
hingga tahun 1977. Di bawah kepemimpinan beliau Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional mendirikan dua buah Unit Pelaksana Teknik (UPT), yaitu Balai
Arkeologi Yogyakarta dan Balai Arkeologi Denpasar. Selain itu dibangun juga dua
buah laboratorium, yaitu Laboratorium Paleoekologi dan Radiometri di Bandung dan
Laboratorium Bio dan Paleoantropologi di Yogyakarta.

Uka Tjandrasasmita lahir di Subang pada tanggal 8 Oktober 1930. Dalam


bidang arkeologi karirnya dimulai pada tahun 1952 dengan bekerja di Dinas Purbakala.
Sebagaimana halnya dengan Satyawati Suleiman dan R.P. Soejono, beliau
berkesempatan untuk ikut dalam tim ekspedisi ke Sumatra pada tahun 1954. Dalam tim
itu beliau termasuk anggota yang termuda dan masih duduk di bangku universitas. Pada
tahun 1960 beliau berhasil menyelesaikan studinya di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia dengan mengambil spesialisasi di bidang arkeologi islam.
Sejak tahun 1960-an hingga tahun 1978 beliau menjabat sebagai Kepala Bidang
Arkeologi Islam pada Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. Kemudian sejak
dibentuk Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala,
beliau dipercaya menjabat sebagai Direktur pada Direktorat tersebut hingga tahun
1990.
Sebagai ilmuwan di bidang arkeologi, Uka Tjandrasasmita lebih mengkhususkan diri
pada tinggalan-tinggalan budaya masa pengaruh Islam di Indonesia. Di Indonesia, Uka
Tjandrasasmita dikenal sebagai arkeolog yang mengkhususkan diri pada perkotaan
masa Islam di Nusantara. Buku pertamanya tentang kota Islam yang beliau tulis
berjudul Kota-kota Muslim di Indonesia. Keahliannya di bidang arkeologi Islam lebih
diperdalam lagi setelah selesai menjabat sebagai Direktur. Sejak tahun 1990, beliau
lebih banyak mengajar dan membuat penelitian/tulisan tentang arkeologi Islam.
Adapun peninggalan yang ditinggalkan pada masa islam antara lain yaitu:
1. Masjid Agung Demak
2. Masjid Gedhe Kauman
3. Masjid Ampel
4. Keraton Ngayoyakarta Kadiningrat
5. Keraton Surosowan
6. Pemakam Imogiri
7. Hikayat Amir Hamzah
8. Hokayat Hang Tuah
9. Sjair Abdoel Moeloek
10. Grebek Besar Demak
11. Masjid Raya Baiturrahman
12. Istana Maimun
13. Keraton Surakarta Hadiningrat
14. Abuik
Ada pula peninggalan Kalimantan yaitu:
- Peninggalan - peninggalan Islam di Kalimantan Selatan:
1. Makam dan Masjid Suriyansyah atau Masjid Kuin yang merupakan Masjid tertua di
Kalimantan Selatan.
2. Masjid Agung Al Karomah adalah masjid terbesar yang terletak Martapura
3. Makam Sultan Inayatullah terletak di Desa Dakam Pagar Kecamatan Martapura
Timur Kabupaten Banjar.
4. Makam Sultan Musta’im Billah terletak tidak jauh dari makam Sultan Inayatullah.
5. Makam Sultan Adam al Wasiqubillah terletak di Kelurahan Jawa, Kecamatan
Martapura Kabupaten Banjar.
- Peninggalan - peninggalan Islam di Kalimantan Barat:
1. Keraton Sambas yang berlokasi di Muare Ulaka di daerah pertemuan sungai
Sambas, Sambas kecil, dan Terberau.
2. Keraton Kadariyah yang didirikan oleh Sultan Syarif Abdulrahman pada tanggal 23
oktober 1771.
3. Masjid Jami Sultan Abdulrahman Masjid ini merupakan masjid Kesultanan
Pontianak.
- Peninggalan - peninggalan Islam di Kalimantan Timur:
1. Singgasana Sultan
2. Meriam
3. Keramik Kuno Tiongkok
4. Gamelan Gajah Prawoto

Anda mungkin juga menyukai