Anda di halaman 1dari 13

KEBUDAYAAN INDIS: SILANG BUDAYA JAWA-BELANDA DAN

PENGARUHNYA TERHADAP KELENGKAPAN HIDUP MASYARAKAT


INDIS PADA ABAD KE 19-20

Adhe Lia Nirmalasari, Heny Intan Permatasari, Yohanes Iwano


Jehaut Masang
adhelianirmala@gmail.com

Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial


Universitas Negeri Malang
Abstrak: Masa kolonialisasi Belanda di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa
pada abad ke 19 , menyebabkan percampuran antara budaya Jawa dan budaya
Belanda. Hal tersebut terjadi dengan proses akulturasi dua budaya antara budaya
Jawa dan Belanda yang dalam prosesnya melahirkan suatu kebudayaan baru
yang disebut kebudayaan Indis. Perubahan dan pengaruh sosial kebudayaan Indis
dapat dilihat dalam tujuh unsur universal budaya. Kelengkapan hidup menjadi
fokus yang cukup besar pada fenomena sosial ini karena selalu berhubungan
dengan gaya hidu masyarakat pada masa kolonial.

Kata kunci: kebudayaan indis, akulturasi, kelengkapan hidup.

Sejarah mencatat jauh sebelum kehadiran bangsa Belanda ke Nusantara, orang


India, Cina, Arab, dan Portugis telah datang ke Pulau Jawa. Tentunya masing-
masing bangsa tersebut membawa kebudayaannya sendiri. Pada abad ke-16, orang
Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi kemudian menjadi
penguasa di Indonesia (Soekiman, 2014:1). Kehadiran bangsa Belanda sebagai
penguasa di pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua unsur budaya yang berbeda,
lambat laun kedua unsur budaya tersebut semakin kental. Percampuran budaya
Eropa (Belanda) dan bumiputera (Jawa) ini menghasilkan akibat diberbagai hal,
misalnya identitas suatu golongan. Hal ini sesuai dengan pendapat Buger (1983)
yang menyatakan bahwa pada dasarnya, hubungan dalam ruang lingkup
masyarakat kolonial di Jawa terpolakan dalam sistem kelas yang eksis pada
struktur sosial dan ditandai adanya batasan hubungan antar golongan. Masyarakat
dalam struktur sosial inilah yang menjadi masyarakat pendukung kebudayaan
Indis.

Orang Jawa (bumiputera) pada masa kolonial Hindia Belanda dalam


kesehariannya berinteraksi dengan orang-orang Belanda. Orang Belanda memilki
ciri khas tersendiri dalam kebiasaan hidup dan kesehariannya. Hal tersebut ikut
berpengaruh pada gaya hidup, bentuk bangunan rumah tradisional, serta
fungsinya. Alat perlengkapan rumah tangga tradisional Jawa yang biasa
digunakan masyarakat setempat juga mengalami perubahan. Dengan demikian,
kebudayaan Eropa (Belanda) dalam hal gaya hidup berumah tangga sehari-hari,
serta ketujuh unsur universal kebudayaan ikut terpengaruh pula. Tujuh unusur
universal budaya yang merupakan campuran unsur budaya Belanda dan budaya
Jawa inilah yang disebut kebudayaan Indis (Soekiman, 2014: 4).

Untuk mendukung kebenaran berkembangnya kebudayaan Indis di


Indonesia, perlu adanya suatu bukti yang konkret. Menurut Soekiman (2014)
banyak tulisan atau karangan dari abad ke-18 dan abad ke-20 yang berupa
monografi, kesusastraan, kisah perjalanan, lukisan, foto, sketsa, artefak, dan seni
bangunan Indis. Semua sumber tersebut bermanfaat sebagai bukti munculnya
kebudayaan dan peradaban Indonesia dari suatu kurun waktu tertentu. Meskipun
unsur kebudayaan Jawa terpengaruh oleh kebudayaan Belanda, hal tersebut tidak
menghilangkan unsur-unsur lokal yang ada dalam kebudayaan Jawa. Hal ini
senada dengan pendapat Anderson (1969) bahwa masyarakat Jawa memiliki sikap
open minded tolerance atau savoir vivre (lapang dada) dalam menanggapi
kebudayaan asing yang hadir sepanjang sejarah Indonesia. Suku Jawa telah
berpengalaman menghadapi derasnya kehadiran budaya asing yang hadir karena
Pulau Jawa terletak di persimpangan jalan perdagangan antara benua Eropa, Asia,
dan Australia. Meskipun di tanah Jawa telah hadir berbagai macam kebudayaan
yang dibawa oleh orang Cina, India, Arab dan Eropa, ternyata local genius yang
dimiliki suku Jawa mampu menanggapi kehadiran budaya asing dengan aktif
tanpa kehilangan kepribadiannya (Soekiman, 2014: 9).

Kebudayaan Indis muncul dari sekelompok masyarakat penghuni


kepulauan di Indonesia, khususnya keluarga keturunan Belanda dan Jawa. Gaya
hidup Indis ikut berpengaruh pula pada keluarga Bumiputera dalam sektor
pendidikan serta pergaulan sehari-hari dalam pekerjaan dan perdagangan. Selain
itu, aspek penting lainnya dalam kebudayaan Indis adalah gaya hidup dan
bangunan rumah tinggal karena rumah tinggal merupakan area kegiatan keluarga
sehari-hari. Rumah tinggal dan kegiatan keluarga sehari-hari merupakan aspek
yang terkandung kedalam salah satu dari tujuh unsur universal budaya, yakni
unsur kelengkapan hidup. Pada artikel ini, akan menelaah rumusan masalah
mengenai bagaimana silang budaya antara kelengkapan hidup orang Belanda
dengan kelengkapan hidup orang Jawa yang saling mengisi dan melengkapi dalam
salah satu unsur kebudayaan Indis yang pernah berkembang di Pulau Jawa.
Menurut Soekiman (2014) yang dimaksud dengan kelengkapan hidup di sini
adalah semua hasil cipta yang digunakan untuk melindungi dan melengkapi
sarana hidup sehingga memudahkan hidup manusia.

Perkembangan kebudayaan Indis dapat dikatakan cukup singkat, meskipun


demikian kebudayaan dan gaya hidup Indis merupakan suatu fenomena historis,
yaitu sebagai bukti hasil kreativitas kelompok atau golongan masyarakat pada
masa kekuasaan Hindia Belanda, baik dalam menghadapi tantangan hidup
tradisional Jawa maupun gaya Belanda di negeri Belanda. Perkembangan
kebudayaan Indis berakhir bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Hindia
Belanda ke tangan kekuasaan Jepang selama tiga setengah abad. Pola hidup dan
gaya Indis memang tidak lagi berkembang, tetapi bangunan rumah gaya Indis
masih banyak yang tersisa hingga saat sekarang.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode studi pustaka.
Dimana dalam penggunaan metode ini ialah dengan mengumpulkan sumber-
sumber yang relevan dengan topik yang akan dibahas. Teknik yang digunakan
dalam pengumpulan data adalah dengan menghimpun sumber-sumber yang
berhubungan dengan pembahasan, baik itu dari buku atau artikel dari jurnal-jurnal
ilmah.

Analisis dari sumber-sumber yang diperoleh menggunakan triangulasi sumber


dengan membanding-bandingkan dan menelaah sumber-sumber yang telah
dikumpulkan. Kemudian data-data yang telah terkumpul disusun dan
dikembangkan menjadi satu tulisan yang berkesinambungan.

AWAL KEMUNCULAN KEBUDAYAAN INDIS


Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi (akal), yang dapat diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat,
1990: 27). Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, budaya bersifat kompleks
abstrak dan luas. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi
(Soelaeman, 2011:22). Kehadiran bangsa Belanda di tanah Jawa menyebabkan
pertemuan dua kebudayaan yang masing-masing di dukung etnis dan struktur
sosial yang berbeda. Perkembangan kolonialisme Belanda memengaruhi interaksi
sosial dan budaya di tanah Jawa. Pengaruh tersebut adalah persentuhan budaya
Jawa dengan Belanda, inilah yang disebut dengan budaya Indis yang menyebar ke
segala bidang dan merubah kondisi masyarakat Hindia Belanda (Rahman, 2011).
Kebudayaan Indis adalah kebudayaan campuran (Indonesia dan Eropa) yang
didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda.

Suburnya budaya Indis, pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup


membujang para pejabat Belanda, karena pada saat itu ada larangan membawa
isteri dan mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia Belanda. Hal tersebut
mendorong lelaki Belanda menikahi penduduk setempat, karena itu, tejadilah
percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran, serta menumbuhkan
budaya dan gaya hidup Belanda-Bumiputera, atau gaya Indis. Pada 1870, Terusan
Suez dibuka, hal ini memperpendek jarak antara negeri Belanda dan Indonesia
sehingga kehadiran perempuan dari negeri Belanda makin banyak ke Indoneisa.
Kehadiran perempuan Eropa ke Indonesia pun memperluas percampuran budaya
(Soekiman, 2014: 6).

Menurut Sukiman (2014), sebutan “Indis” berasal dari istilah


Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di
seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut
Nederlandsch Oost Indie. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan dengan
kebudayaan lain, yang meliputi wilayah Suriname, dan Curascao yang wilayahnya
disebut Nederlandsch West Indie. Penggunaan istilah Indis mulai muncul pada
masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia oleh pendukungnya, khususnya
di Jawa. Pada zaman kolonial Belanda istilah Indis dipakai untuk beberapa realitas
masa lalu seperti Indische Partij, Indische Vereeniging, Indische Katholike Partij
atau Indische Sosial-Demokratische Vereeniging (Bastian, 2018). Kehadiran
orang-orang Belanda di Indonesia tentu memberi pengaruh pada segala macam
aspek kehidupan masyarakat bumiputra, yang kemudian menjadi penguasa di
pulau Jawa.

Gaya Indis sebagai suatu hasil perkembangan budaya campuran Belanda


dan bumiputra Jawa, menunjukan adanya proses historis. Unsur-unsur normatif
gaya Indis terbentuk oleh keadaan yang khusus. Gaya Indis sebagai fenomena
historis timbul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi
historis, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Soekiman (2014), faktor
yang menentukan dalam perkembangan pola hidup gaya Indis antara lain, adanya
nasib dan penderitaan yang sama sebagai rakyat jajahan, karena masyarakat Indis
lahir dari keturunan Eropa dan Jawa, keinginan untuk hidup lebih baik, bekerja
pada penguasa penjajah, keinginan untuk mendapat pendidikan atau jabatan yang
tinggi. Bentuk perubahan budaya masyarakat bumiputra yang dipengaruhi
kebudaayan Belanda memberikan pengaruh pada gaya hidup, bentuk bangunan,
rumah tradisional setra fungsi ruangannya. Kebudayaan baru tersebut muncul dari
sekelompok masyarakat kepulauan Indonesia, keturunan Belanda dan Jawa.

Orang Eropa di Hindia – Belanda (Indonesia) dipisahkan dalam dua


kelompok yaitu : Trekkers (pengembara) dan Blijver (penduduk tetap) (Hellwig,
2007:6). Trekkers atau masa kini disebut ekspatriat adalah orang Eropa yang
berkeinginan kembali ke Eropa setelah tugasnya selesai. Blijver ini banyak beristri
orang setempat (bumiputera) yang dijuluki Nyai atau dengan orang Tionghoa.
Kedua kelompok ini berbeda orientasinya, para Trekkers cenderung
mempertahankan nilai – nilai Eropa (Barat) sehingga selalu eksklusif dan elastis.
Sementara para Blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai – nilai lokal,
meskipun mereka tetap merupakan representasi kultur Eropa. Gaya hidup Indis
pada awalnya cenderung bercirikan budaya Belanda. Hal ini terjadi karena para
pendatang bangsa Belanda ke Indonesia membawa kebudayaan asli dari Belanda.
Pengaruh kebudayaan Belanda yang sangat besar lambat laun makin berkurang,
terutama setelah anak dari hasil perkawinan dengan bangsa Jawa semakin banyak
yang melahirkan masyarakat indo (Susanti dan Purwaningsih, 2013: 452).

Peradaban kolonial telah menjadi dominasi dan pembaharuan dalam


kebudayaan Indonesia. Namun sebelum adanya pencampuran kebudayaan
peradaban Indonesia memang sudah tinggi. Masyarakat Jawa banyak berperan
dalam proses pencampuran budaya tersebut, sehingga budaya asli Jawa tidak
lenyap seluruhnya. Peranan kepribadian Jawa ikut menentukan dalam memberi
pengaruh dalam kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan Belanda mulanya dibawa
oleh para pedagang dan pejabat VOC yang kemudian diikuti oleh rohaniawan
Protestan dan Katolik. Peran pejabat dan cendekiawan memiliki pengaruh besar
dalam mengembangkan kebudayaan Indis.

MASYARAKAT PENDUKUNG KEBUDAYAAN INDIS

Percampuran kebudayaan melalui pernikahan merupakan hal yang biasa,


terutama ketika masing-masing pasangan tetap mempertahankan kebudayaannya
masing-masing. Pertemuan kedua budaya yang dilanjutkan dengan penjajahan
telah menimbulakan perubahan dalam struktur masyarakat Jawa. Kartodirdjo
(1990) mengamati perubahan struktur sosial dalam prespektif sejarah karena
masyarakat Jawa sebagian besar masih berakar pada tradisi lama. Sejak abad ke
18 sampai abad ke 20 muncul golongan baru sebagai pendukung kuat kebudayaan
Belanda di Pulau Jawa. Burger, (dalam Sukiman 2014:16) menyebutkan bahwa
ada lima golongan masyarakat baru di atas desa, yaitu: (a) golongan pamong praja
bangsa Belanda, (b) golongan pegawai Indonesia baru, (c) golongan pengusaha
partikelir Eropa, (d) golongan akademisi Indonesia (sarjana hokum, insinyur,
dokter, guru, ahli pertanian, dan ilmi-ilmu lainnya), dan (e) golongan menengah
Indonesia, yaitu para pengusaha Indonesia yang mempunyai usaha di bidang
perniagaan dan kerajinan. Tempat kelahiran menentukan status sebutan
masyarakat, orang yang bukan murni keturunan Belanda disebut mestizen,
creolen, dan liplappen. Masyarakat kolonial Hindia Belanda memiliki struktur
yang bersifat semi feodal yang mengalami modernisasi dikarenakan
masyarakatnya tumbuh sejalan dengan perkembangan sistem produksi dan
teknologi.
Prestise golongan masyarakat bumiputra yang berpendidikan barat
menjadi semakin kuat. Golongan bangsawan dan kaum terpelajar, serta pegawai
pemerintahan kolonial (priayi) adalah kelompok utama pendukung kebudayaan
Indis. Gaya Indis sebagai suatu hasil perkembangan budaya campuran Belanda
dan bumiputra Jawa, menjukukan adnaya proses historis yang mengandung unsur-
unsur normatif. Unsur normatif gaya Indis terbentuk oleh keadaan yang khusus
yang bersifat subjektif, seperti solidaritas, dan rasa kesatuan dalam kelompok, rasa
senasib sepenanggungan, kehendak bekerja sama, serta faktor mental lainnya
(Sukiman, 2014). Unsur tersebut berkembang sebagai gerakan sosial segolongan
masyarakat kolonial dengan tujuan menciptakan sebuah kelas sosial yang
didukung oleh pejabat pemerintah kolonial. Keturunan golongan masyarakat
Belanda dan bumiputra tetap menganggap budaya masa lampau perlu untuk
dibanggakan, dan menggunakan budaya Barat untuk karir jabatan dan prestisenya
dalam kehidupan masyarakat kolonial.

Konseptualisasi metodologis gaya hidup Indis, dapat dipahami melalui


beberapa sudut masyarakat pendukung gaya Indis sebagai suatu faktor yang
bersifat sosio-psikologis dalam beberapa aspek, yaitu: (1) aspek kognitif,
berhubungan erat dengan tingkat perasaan yang berkaitan dengan berbagai
aktivitas dan meliputi berbagai objek dan struktur dasar yang kompleks. Sebagai
contoh, dalam membangun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya.
Dalam proses memahami aspek kognitif gaya Indis, konteks budaya Belanda dan
Jawa perlu diperhitungkan, karena jelas bahwa tempat tinggal orang Belanda tidak
memiliki konotasi ritual seperti pandangan dan kepercayaan budaya Jawa. (2)
aspek normatif, yang bermakna orientasi nilai, tujuan, normatif dan kepercayaan.
Aspek normatif menunjukan keadaan yang dianggap sebagai hal berharga yang
menjadi tuntutan dan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik dibawah
kekuasaan kolonial. Contohnya, dalam hal bangunan rumah tinggal yang lebih
bersifat pribadi, dengan ruangan-ruangan yang memiliki fungsi khusus. Apabila
bangunan rumah masih bergaya Jawa, seorang priayi pejabat kolonial akan
kesulitan untuk merundingkan sesuatu yang bersifat rahasia. (3) aspek afektif,
tindakan kelompok yang menunjukan situasi. Aspek ini dikaitkan dengan
kehidupan berumah tangga, terutama komposisi sebuah keluarga yang tinggal
dalam sebuah rumah. Dalam sebuah keluarga Eropa atau Belanda lazimnya hanya
terdapat seorang istri. Dengan demikian keluarga Indis yang meniru gaya hidup
Eropa harus mengubah susunan ruang rumah. (4) komposisi sosial, kehidupan
keluarga menunjukkan susunan masyarakat Jawa yang berbeda dengan
masyarakat Eropa. Contohnya, gaya hidup priayi yang berpendidikan mendekati
gaya hidup Eropa, misalnya dalam hal cara berpakaian dan makan (Sukiman,
2014 ).

Kebudayaan Indis memang belum mampu mengadakan regenerasi secara


luas dan mendalam di seluruh lapisan masyarakat Jawa, namun selama beberapa
tahun bahkan ratusan tahun proses kolonialisasi Belanda di wilayah Indonesia ini,
tidak menutup kemungkinan terjadi persilangan antar budaya, khususnya budaya
Eropa (Belanda) dan budaya bumiputera (Jawa) yang ada di wilayah Indonesia
hingga saat ini. Secara lebih mendalam fenomena persilangan budaya Jawa
dengan budaya Belanda dapat diamati di masa kolonial. Sisa-sisa persilangan
budaya antar budaya Jawa dan Belanda dapat dilihat pada salah satu dari tujuh
unsur kebudayaan yakni dari unsur kelengkapan hidup masyarakat Indis. Menurut
Soekiman (2014) unsur kelengkapan hidup masyarakat Indis adalah hasil karya
berupa rumah tempat tinggal, kelengkapan rumah tangga, pakaian, alat produksi
(kelengkapan alat dapur dan jenis makanan) dan alat transportasi.

KELENGKAPAN HIDUP MASYARAKAT INDIS

Menurut Soekiman (2014) pendekatan kultur-historis sangat membantu


untuk lebih memahami peradaban masyarakat Indis. Konsep Indis hanya terbatas
pada ruang lingkup di daerah kebudayaan Jawa, yaitu tempat khusus bertemunya
kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa. Hasil karya dari kelengkapan hidup
masyarakat Indis yang dapat diamati antara lain.

1. Rumah Tempat Tinggal


Sejak awal kehadiran orang Belanda, unsur-unsur budaya dan
iklim alam sekeliling sudah memengaruhi orang-orang Eropa dalam
membangun rumah tempat tinggal mereka di Jawa. Bentuk bangunan
tempat tinggal dengan ukuran yang besar dan luas, memiliki hiasan
mewah, penataan halaman yang rapi, dan perabotan lengkap merupakan
ciri khas dari rumah tempat tinggal masyarakat Indis.
Pada awal kedatangan Belanda di Jawa, rumah tempat tinggal
orang Eropa di dalam benteng Batavia mempunyai susunan tersendiri yang
secara umum mirip dengan yang terdapat di negari asalnya. Sementara itu,
landhuizen atau rumah tinggal di luar benteng dibangun dengan
lingkungan alam Timur, yaitu Pulau Jawa. Adapun hasilnya adalah suatu
bentuk campuran, yaitu tipe rumah Belanda dengan Pribumi Jawa. Sebagai
hasil akhir berdirilah rumah-rumah bangunan gaya Indis dalam abad ke 18
sampai dengan runtuhnya kekuasaan Belanda di Indonesia (Soekiman,
2014).
Pada umumnya gaya rumah yang terletak di wilayah particulier
landerijen di luar Kota Batavia, dalam batasan tertentu memperlihatkan
adanya pengaruh model rumah aristokrat bumiputera. Ciri khasnya yakni
memiliki teras yang sejuk sebagai pengganti pendapa, lingkungan yang
rimbun, dan dikelilingi oleh kebun yang amat luas. Model yang dianggap
mewakili gaya ini terlihat pada het landhuis Tjitrap milik Augustin
Michiels atau Majoor Jantje yang sangat terkenal di kalangan bumiputera.
2. Kelengkapan dan Peralatan Rumah
Sebelum kehadiran Belanda di Pulau Jawa, orang Jawa tidak
banyak mengenal tentang berbagai macam peralatan rumah. Kelengkapan
rumah tangga, seperti meja, kursi dan lemari, merupakan barang baru yang
dikenal oleh suku Jawa setelah orang Eropa datang di Nusantara
(Soekiman, 2014:42). Setelah itu, baru kemudian golongan bangsawan dan
priyayi mulai menggunakan peralatan rumah tangga tersebut. Peralatan
rumah tangga tersebut biasa disebut meubelair dalam bahasa Belanda.
Sementara itu, sebagian besar rakyat tetap menggunakan peralatan rumah
tangga yang sederhana, seperti tikar sebagai alas duduk.
Yang menarik dalam kelengkapan peralatan rumah adalah pada
ranjang tempat tidur. Tempat tidur berukir dengan gantungan kelambu dari
perak bermotif naga. Tempat tidur tersebut juga dilengkapi bantal dan
guling, (guling tidak dikenal di Belanda). Dalam hal ini dapat terlihat
bahwa unsur kebudayaan Jawa dan Belanda tampak saling melengkapi
dalam kebudayaan Indis.
Selain para priyayi, yang menggunakan peralatan rumah tangga
atau meubelair berupa lemari, meja, kursi, dan ranjang adalah orang Indo
dan masyarakat Timur Asing (Cina, Arab dan sebagainya). Perabotan
rumah tangga yang dibuat di Hindia Belanda berbahan dasar kayu jati
berkualitas tinggi, dengan ukiran motif bergaya Jawa, atau bercampur
dengan motif bergaya eropa.
3. Pakaian dan Kelengkapannya
Ciri lain gaya hidup yang berkembang pada masa kebudayaan
Indis yang banyak dipengaruhi oleh gaya Eropa adalah tata busana.
Disebabkan pengaruh para pembantu rumah tanggpppa dan para nyai,
kaum perempuan Indis menggunakan sarung dan kebaya (Soekiman,
2014). Kain dan kebaya digunakan untuk pakaian sehari-hari di rumah
oleh para perempuan Eropa, sedangkan pria menggunakan sarung dan baju
takwo atau pakaian tidur (piyama) motif batik. Namun, untuk acara resmi
mereka tetap mengenakan pakaian Eropa. Kebiasaaan orang Eropa
memakai pakaian pribumi, hampir sama dengan kebiasaan makan sirih di
kalangan perempuan keturunan Eropa.
4. Alat Berkarya dan Berproduksi
Belanda mengenalkan kepada penduduk bumiputera berbagai alat
berkarya atau alat-alat yang dapat digunakan untuk memudahkan
kehidupan. Misalnya, mesin jahit, lampu gantung, lampu gas, dan kereta
tunggang yang disebut dos-a-dos atau sado. Sunan Surakarta menerima
kereta Kyai Garuda dengan roda berjeruji dari kompeni pada 1668 AJ atau
1743 AD. Pemakaian kereta api bukanlah hal yang baru karena Raja
Hayam Wuruk penguasa Majapahit sudah menggunakan alat pengangkut
berupa pedati beroda dalam perjalanannya berkunjung ke berbagai wilayah
di Jawa Timur (Soekiman, 2014).
5. Kelengkapan Alat Dapur dan Jenis Makanan
Di negeri Belanda sampai sekarang banyak rumah makan yang
menyediakan berbagai jenis masakan/menu Indis Tempoe Doeloe dengan
memasang papan nama bertuliskan Indische Restaurant. Banyak keluarga
Belanda, khususnya anak keturunan yang pernah tinggal atau datang dari
Indonesia, menghidangkan menu Indische risttafel. Hidangan ini terdiri
dari nasi soto, nasi goreng, gado-gado, nasi rames, lumpia dan sebagainya
(Soekiman, 2014). Sementara itu, di Indonesia, masyarakat Indis termasuk
priyayi Jawa, menghidangkan makanan keluarga dengan perlengkapan dan
menu campuran Eropa dan Jawa. Misalnya beafstuk, resoulles, dan soup.
Pengaturan susunan peralatan makanan di meja makan pun tidak sama
dengan di negeri Belanda.
Soup dalam istilah Indonesia ditulis dengan kata Sup, merupakan
salah satu masakan yang mendapat pengaruh dengan masakan Jawa.
Orang-orang Jawa mengenal sup dengan nama Sop, hal ini dikarenakan
penyesuaian dengan lidah orang Jawa yang lebih mudah melafalkan Sop
daripada Sup. Sup dikalangan orang Belanda biasa disajikan panas sebagai
hidangan pembuka, terutama sebagai penghangat tubuh saat musim dingin.
Akan tetapi, tinggal di Jawa yang beriklim tropis membuat kebanyakan
orang Belanda menikmati sup dengan membiarkan dingin sebagai
pendamping nasi. Orang Jawa kemudian mengadopsi sup sebagai salah
satu sayur yang dapat dimakan dengan nasi. Salah satu resep sup
peninggalan Belanda yang masih sering disajikan dikalangan orang Jawa
saat ini adalah Hollandsche Vermicellisoep atau sup soun belanda
Schumacher (dalam Susanti dan Purwaningsih, 2013).
Beafstuk, dalam istilah Jawa disebut bistik, atau juga dapat
dikatakan dengan istilah bahasa Inggris dengan kata steak, merupakan
jenis olahan daging yang biasa dimakan orang-orang Belanda bersama
kentang, polong, dan wortel. Orang Jawa pada umumnya mengenal bistik
sebagai makanan khas orang Eropa yang tidak biasa atau tampilan bentuk
makanan bistik yang berbeda dengan bentuk sajian menu hidangan
keseharian. Bistik dicirikan dengan tata cara makan yang menggunakan
berbagai peralatan makan yang tidak lazim digunakan oleh orang Jawa.
Bistik menjadi makanan yang bergengsi pada masa kolonial.
Orang-orang Jawa mengadopsi bistik dalam berbagai bentuk masakan.
Bistik merupakan bentuk simbol sosial atau masyarakat. Hal ini dianalisis
dari pemakaian piranti makan yang banyal\k dalam melakukan kegiatan
makan (Susanti dan Purwaningsih, 2013).

KESIMPULAN

DAFTAR RUJUKAN

Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni Sampai


Revolusi. Depok: Komunitas Bambu

Buger, D.H. 1983. Perubahan-Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa.


Jakarta: Bhratara

Anderson, Benedict. 1969. Mythology and Tolerance of The Javanese. New York:
Cornel University

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Soelaeman, M. 2011. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika


Aditama

Rahman, F. 2011. Rijsttafel: Budaya Kuliner Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta:


Kompas Gramedia

Bastian, R. 2018. Perkembangan Kebudayaan Indis dan Pengaruhnya Terhadap


Kehidupan Sosial Masyarakat Tradisional Yogyakarta Abad ke-19. (online)
(Https://repository.usd.ac.id) diakses pada 1 Maret 2019

Hellwig, Tineke. Citra Kaum Peempuan di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan


Obor Indonesia

Susanti dan Purwaningsih. 2013. Akulturasi Budaya Belanda dan Jawa: Kajian
Historis pada Kasus Kuliner Sup dan Bistik Jawa Tahun 1900-1942. Avatara e-
journal Pendidikan Sejarah, Vol. 1 no. 3. (online) https://repository.unesa.ac.id
diakses pada 1 Maret 2019
Kartodirdjo, S. 1990. Sejarah Pergerakan Nasional, jilid II. Jakarta: PT.
Gramedia

Anda mungkin juga menyukai