Anda di halaman 1dari 25

OUTLINE

BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. Latar Belakang Masalah Perumusan dan Pembatasan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Kerangka Analisis Metode Penelitian Sistematika Penulisan

BAB II TERBENTUKNYA KOTA BATUSANGKAR A. Letak Geografis B. Asal Usul Kota Batusangkar C. Penduduk BAB III PERUBAHAN DAN PERKEMBANGAN KOTA BATUSANGKAR A. Masuknya Kolonial Belanda ke Batusangkar B. Pendirian Benteng Pertahanan Belanda (Fort van der Capellen) C. Batusangkar dijadikan Ibu Kota Kabupaten BAB IV KEADAAN EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA MASYARAKAT KOTA BATUSANGKAR A. Batusangkar sebagai Pusat Pasar Serikat B. Masuknya masyarakat pendatang di Batusangkar C. Peninggalan-peninggalan Belanda di Batusangkar BAB V KESIMPULAN Daftar Pustaka Daftar Informan

Proposal Thesis
Sejarah Kota Batusangkar (dari Kota Militer hingga Kota Administratif) 1821-1945

Oleh :

NAJMI 1021217004

Sejarah Kota Batusangkar (dari Kota Militer hingga Kota Administratif) 1821-1945

1.1. Latar Belakang Masalah Batusangkar merupakan ibukota Kabupaten Tanah Datar yang dikenal sebagai Luhak Nan Tuo. Kota Batusangkar sendiri terletak pada tiga wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Lima Kaum, Kecamatan Tanjung Emas, dan Kecamatan Sungai Tarab. Selain terletak di tiga kecamatan, Batusangkar juga terletak antara dua nagari yaitu Nagari Baringin dan Nagari Pagaruyung. Sebagai ibukota kabupaten, Batusangkar tidak sebagai pusat pemerintahan karena hampir semua pusat perkantoran berada di Nagari Pagaruyung.1 Selain menjadi ibukota kabupaten, Batusangkar merupakan pusat pasar dan dijadikan Pasar Serikat di Kabupaten Tanah Datar. Hal ini karena Barusangkar diapit oleh dua buah nagari yaitu Nagari Pagaruyung dan Nagari Baringin. Hasil dari Pasar Batusangkar digunakan untuk kepentingan pembanguan dari kedua nagari tersebut. Sebelum menjadi pasar serikat, pusat pasar di Tanah Datar pada masa Kolonial Belanda bukan Batusangkar tetapi adalah Balai Selasa yang terletak di Koto Baranjak.2 Batusangkar memiliki dua pasar yang bersebelahan yaitu Pasar Atas dan Pasar Bawah. Pasar Atas terdiri dari penjual makanan mulai dari buah-buahan dan makanan ringan lainnya, minuman seperti es teler, alat-alat untuk menjahit seperti benang, toko
Badan Pusat Statistik Kerjasama dengan BAPPEDA Kab. Tanah Datar, Tanah Datar dalam Angka 2010, (Tanah Datar: Badan Pusat Statistik Kab. Tanah Datar, 2010), hlm. 4. 2 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hj. Saharudin Yusuf pada tanggal 27 Desember 2011, Pensiunan Pegawai Tata Pemerintahan Kab. Tanah Datar. Balai Selasa yang menjadi pusat pasar di Tanah Datar ini, kemudian dijadikan asrama polisi.
1

buku dan kaset, warung makanan dll. Pasar Bawah yang terdiri dari gedung bertingkat dua atau disebut juga Pasar Tingkek (Pasar Tingkat). Pada Pasar Tingkat ini terdapat berbagai tempat penjahit dan penjual dasar kain, dan pada bagian bawahnya terdapat berbagai toko mulai dari toko buku, baju, sepatu dll. Di bagian belakang Pasar Tingkat masih banyak pedagang yang berjualan seperti toko baju, pedagang buah dengan lapak yang sederhana, pedagang sayur, dan rempah-rempah. Kemudian mengarah ke daerah Jati terdapat Pasar ikan dan Pasar daging. Di samping kanan Pasar Tingkat terdapat bangunan toko penjual emas dan di samping kiri Pasar Tingkat terdapat bangunan toko bahan-bahan bangunan dan pedagang plastik, bunga, kaca dll. Selain pasar, di Batusangkar juga terdapat perkampungan di antaranya; Malana Ponco, Jati, Kampung Sudut, Baringin, Belakang Pajak, Diponegoro, Jalan Minang, Kampung Baru, Lantai Batu, Parak Jua, Pasar dan Sigarunggung. 3 Namanama kampung/dusun ini merupakan bagian dari Nagari Baringin, dengan kata lain wilayah Batusangkar mulai dari pasar dan kampung-kampung di sekitarnya merupakan wilayah administratif Nagari Baringin. Seperti kota-kota lainnya, Batusangkar juga termasuk kota yang heterogen. Walaupun masih didominasi oleh penduduk lokal yaitu Minangkabau, namun ada etnis lain yang tinggal di Batusangkar seperti Etnis Keling dan Etnis Tionghoa. Etnis Keling ini merupakan campuran dari orang Arab dan India, dan nama Keling berasal dari nama wilayah di India yaitu Kalingga. Keturunan Keling yang datang ke

Rekapitulasi Pendataan Keluarga tingkat desa/kelurahan oleh Nagari Baringin Kec. Lima Kaum Kab. Tanah Datar, tahun 2010.

Batusangkar berasal dari Aceh bukan dari India langsung, karena perkampungan Keling sudah ada terlebih dahulu di wilayah Aceh dan kemudian menyebar ke Minangkabau. Selain keturunan Keling, ada orang Tamil yang memang langsung datang dari India yaitu yang berasal dari wilayah India Selatan. Menurut prasasti Bandar Bapahat, bahwa sudah lama India Tamil ini datang ke Batusangkar yaitu pada masa Kerajaan Adityawarman. Hal ini juga terbukti dari tulisan prasasti Bandar Bapahat yang beraksara Granta, yang lazim digunakan oleh orang Tamil di India Selatan.4 Etnis Tionghoa atau lebih dikenal Etnis Cina, juga terdapat di Batusangkar. Ini juga ditandai dengan adanya kampung Cina yang berada di wilayah Kampung Baru. Kampung ini tidak lagi ditinggali oleh orang Cina karena setelah Indonesia merdeka penduduk Cina pindah ke daerah lain dan kampung ini diambilalih oleh pemerintah. Sebelum pengambilalihan ini, ketika Kolonial Belanda masih menguasai Batusangkar, Etnis Cina membeli tanah di daerah Kampung Baru ini kepada Belanda. Setelah kemerdekaan, Kampung Baru dijadikan asrama tentara dan didirikan gedunggedung sekolah. Selain itu, masih ada bekas rumah orang Cina dan kuburannya di wilayah ini.5 Kepindahan orang Cina ini disebabkan karena Batusangkar tidak terlalu berkembang dari segi perdagangan, karena letak Batusangkar sendiri tidak pada jalur lintas seperti Bukittinggi dan Payakumbuh.
M. D. Mansoer, dkk, Sedjarah Minangkabau, (Jakarta: Bhratara, 1970), hlm. 62. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Syafrial pada tanggal 25 Desember, yang bekerja di BP3 Batusangkar. Selain di daerah Kampung Baru, kuburan Cina ini juga terdapat di daerah Guguk Katitiran, yang letaknya agak di lereng atau penurunan. Menurut Freek Colombijn, dalam bukunya menyebutkan bahwa wilayah pekuburan Cina terletak di lereng-lereng perbukitan. Hal ini juga terdapat di Batusangkar, dan menandakan bahwa keturunan Cina pernah mendirikan perkampungan di wilayah ini.
5 4

Masyarakat di Batusangkar ini juga berasal dari daerah sekitarnya seperti Simawang, Sungai Pua, Sianok, dll. Penduduk pendatang dari Simawang ini bertempat tinggal di daerah Malana, Penduduk Sungai Pua tinggal di daerah Lantai Batu (tepatnya di belakang Pasar Atas), dan Penduduk dari Sianok tinggal di Sigarunggung (tepatnya di belakang bioskop karya yang sudah lama tidak digunakan).6 Hal ini berarti, di Batusangkar tidak banyak penduduk asli yang menetap melainkan penduduk dari luar. Penduduk asli biasanya tinggal beberapa kilometer dari Batusangkar. Berdasarkan namanya, Batusangkar termasuk kota yang unik. Sebelum bernama Batusangkar yang merupakan ibukota kabupaten Tanah Datar, pada abad 19 (tepatnya tahun 1825) adalah bagian dari Afdeeling Darek (Afdeeling Padangsche Bovenlanden). Ibukota dari Afdeeling ini bukan Batusangkar melainkan Fort van der Capellen.7 Nama Batusangkar sendiri menurut cerita rakyat berasal dari nama sebuah batu yang mirip sangkar burung yang ditemukan di daerah Guguk Katitiran yang masih dalam kawasan Kota Batusangkar, namun batu tersebut dibawa oleh orang Belanda ke daerah asalnya. Selain itu pada awal abad 20 (tepatnya pada tahun 1913), Batusangkar baru dijadikan sebuah distrik oleh pemerintah Kolonial Belanda. Dalam arti Batusangkar masih berupa dusun kecil dan bagian dari Fort van der Capellen.

Ibid. Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi, (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006), hlm. 38. Selain Tanah Datar, Afdeeling Darek ini mencakup Agam dan Lima Puluh Kota. Penataan pemerintahan ini dilakukan oleh de Stuers pada akhir tahun 1825.
7

Fort van der Capellen adalah salah satu bukti sejarah penjajahan Kolonial Belanda dan menjadi salah satu pusat pemerintahan juga merupakan benteng pertahanan militer Belanda yang dibangun sekitar tahun 1824.8 Awal abad 19 Sumatera Barat dijadikan Resident dengan nama daerah administratifnya yaitu Residentie Padang en Onderboorigbeden (Keresidenan Padang dan daerah taklukannya). Residen ini dibagi menjadi dua District yaitu District Padang dan District Minangkabau. District dipimpin oleh seorang Adsistent Resident. Adsistent Resident Padang berkedudukan di Padang dan Adsistent Resident Minangkabau berkedudukan di Fort van der Capellen.9 Di atas sebuah Bukit dekat Pagaruyung, Belanda mendirikan benteng yang diberi nama Fort van der Capellen.10 Penamaan benteng van der Capellen berasal dari nama salah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yaitu van der Capellen. Gubernur Jenderal van der Capellen inilah yang mengangkat de Stuers menjadi Residen pada tahun 1824.11 Pemerintah Kolonial Belanda sering mengganti bentuk daerah

administratifnya seiring dengan pergantian gubernur jenderalnya di Sumatera Barat. Pergantian daerah administratif ini juga berpengaruh terhadap wilayah yang ada di Sumatera Barat khususnya Tanah Datar. Tanah Datar pada tahun 1825 adalah bagian dari Afdeeling Darek (Afdeeling Padangsche Bovenlanden), namun pada tahun 1833
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, Laporan Pemugaran Benteng van der Capellen Tahap III, tahun 2010. 9 Gusti Asnan, op.cit, hlm. 36-37. Adapun Asisten Residen Padang dijabat oleh A.F. van den Berg dan Asisten Residen Minangkabau dijabat oleh G.A. Baud, sedangkan jabatan Residen Padang diduduki oleh Letkol. Raaff (pada tahun 1823). 10 M. D. Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau, (Jakarta: Bhratara, 1970), hlm. 134. 11 Gusti Asnan, op.cit, hlm. 37.
8

bagian dari Afdeeling van Padangsche Bovenlanden yang dibagi ke dalam enam Onderafdeelingen yang salah satunya yaitu Fort van der Capellen, dengan seorang Controleur kelas 1 di Fort van der Capellen dan seorang Controleur kelas 4 di Tanjung Alam.12 Afdeeling yang dahulu dipimpin oleh seorang Adsistent Resident, tahun 1833 menjadi Onderafdeeling yang dipimpin oleh seorang Controleur. Pada tahun 1841 pemerintah Kolonial Belanda kembali melakukan reorganisasi pemerintahan Sumatras Westkust sesuai dengan dikeluarkannya Besluit No. 1 pada tanggal 13 April 1841. Berdasarkan besluit ini, Tanah Datar kembali menjadi Afdeeling yang terdiri dari Distrik Tanah Datar, XX koto, IX Koto, Sumawang dan Batipuh. Tidak hanya pada tahun ini, reorganisasi pemerintahan Sumatras Westkust juga terjadi pada tahun 1865, 1866, 1876, 1880, 1892, 1898.13 Perubahan bentuk pemerintahan ini juga memberikan pengaruh terhadap daerah adminstratifnya. Misalnya berkurang dan bertambahnya suatu wilayah afdeeling, bertukarnya nama afdeeling menjadi distrik, dan masih banyak lagi bentuk perubahan yang dilakukan oleh Kolonial di Sumatras Westkust akibat reorganisasi tersebut. Pada tahun 1913 terjadi lagi reorganisasi pemerintahan Kolonial. Pada tahun inilah nama Batusangkar baru muncul. Afdeeling Tanah Datar yang kembali dipimpin oleh seorang adsistent resident dengan ibu kota Sawahlunto dibagi ke dalam empat Onderafdeeling. Salah satu Onderafdeeling tersebut yaitu Fort van der Capellen yang terdiri dari Districten Batusangkar dan Pariangan, di bawah pimpinan seorang

12 13

Ibid. hlm. 45. Ibid. hlm. 62.

Controleur dari Bestuur Binnenlandsch, dengan ibu kota Fort van der Capellen.14 Pada tahun 1913 inilah Batusangkar muncul sebagai distrik yang sebelumnya hanya sebagai daerah kecil/dusun kecil yang berada di dekat benteng van der Capellen. Reorganisasi pemerintahan Kolonial masih tetap berlanjut. Pada tahun 1935 susunan Afdeeling Tanah Datar kembali berganti. Afdeeling Tanah Datar berganti ibu kota yaitu di Padang Panjang. Hal ini terjadi karena adanya perlawanan rakyat baik melalui partai politik yang menjamur awal abad 20 maupun perlawanan bersenjata. Selain itu Afdeeling Tanah Datar terdiri dari tiga Onderafdeeling, salah satunya Fort van der Capellen yang juga terdiri dari Distrik Batusangkar-Pariangan. Distrik ini juga dibagi menjadi Onderdistricten Pagaruyung, Salimpaung, Buo, Sungai TarabLimo Kaum dan Pariangan. Pejabat tertinggi di Onderafdeeling ini dipegang oleh seorang Controleur yang berkedudukan di Fort van der Capellen.15 Pembangunan Fort van der Capellen juga tidak terlepas dari kekuasaan Paderi yang cukup besar di Tanah Datar. Jauh sebelum benteng ini ada, perang Paderi sudah lama berlangsung di Minangkabau. Tepatnya pada tahun 1803, ketika tiga orang haji pulang dari Mekkah yaitu Haji Sumanik, Haji Miskin, dan Haji Piobang memperoleh gagasan yang tepat untuk melakukan tindakan pembersihan. Pembersihan ini sama halnya dengan kisah kaum Wahabi dalam menaklukkan Mekah dari kekuasaan dinasti Khalifah Usmaniyah dari Turki. Tindakan keras kaum Wahabi di Mekah ini yang akan diterapkan oleh tiga orang haji tersebut di Minangkabau.16
14 15

Ibid. hlm. 72. Ibid. hlm. 77. 16 A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau , (Jakarta: Grafiti, 1984), hlm. 29-30.

Tanah Datar yang menjadi pusat Kerajaan Pagaruyung, pengembangan ajaran Paderi banyak mendapat perlawanan yang keras, sehingga terjadilah perang antara kaum Paderi dan kaum adat di Tanah Datar. Ketika pihak Kerajaan Pagaruyung merasa tersudut oleh Paderi maka Sutan Alam Bagagarsyah mencari bantuan Inggris yang berkedudukan di Padang. Pada saat yang sama, Padang diserahkan Inggris ke Belanda berdasarkan Konvensi London tahun 1814, namun Sumatera Barat baru dikuasai Belanda tahun 1819. Setelah Belanda menerima Padang dari Inggris, para penghulu dan kerabat Kerajaan Pagaruyung yang beramai-ramai meminta bantuan Belanda untuk mengalahkan Paderi dari nagarinya masing-masing.17 Pemerintah Kolonial mengambil kesempatan yang besar dari para penghulu dan Raja Pagaruyung yang dijabat oleh Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagarsyah. Pemerintah Kolonial membantu para kaum adat ini tentu dengan syarat yang lebih pula. Kemudian Pemerintah Kolonial membuat perjanjian pada tanggal 10 Februari tahun 1821 yang pada dasarnya berisi tentang penyerahan Alam Minangkabau pada pemerintah Kolonial. Setelah perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, pemerintah Kolonial mulai bergerak dan melakukan perang dengan kaum Paderi tahun 1821 hingga tahun 1838.18 Perang inipun banyak memakan korban jiwa baik di pihak Kolonial Belanda maupun pihak Paderi sendiri. Batusangkar yang dijadikan Ibu kota Kabupaten Tanah Datar memiliki perjalanan tersendiri. Perkembangan dari kota ini walaupun tidak cukup signifikan namun cukup memberikan perubahan dari segi tata kotanya. Misalnya dari segi
Ibid. hlm. 31-32. M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 215.
18 17

10

pembangunan benteng, rumah asisten residen, sekolah, dan masih banyak lagi bangunan-bangunan Belanda yang akan penulis teliti di kota Batusangkar. Selain itu sejarah kota juga tidak terlepas dari situasi administrasi pemerintahannya atau politik pemerintahan serta sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya. Permasalahan mengenai sejarah perkotaan khususnya di Sumatera Barat secara umum telah ada yang menulis, namun sejarah Kota Batusangkar secara khusus sejauh pengetahuan penulis belum ada yang menulis. Adapun karya-karya yang telah membuat mengenai hal di atas seperti buku karya Zulqayyim yang berjudul Boekittinggi Tempo Doeloe.19 Penulis mengambil buku ini karena Bukittinggi yang secara geografis hampir sama dengan Batusangkar yaitu terletak di kaki Gunung Merapi. Selain itu perkembangan kota Bukittinggi lebih pesat dibandingkan kota Batusangkar. Biarpun sama-sama dijajah dan sama-sama memiliki benteng pertahanan, pertumbuhan dan perkembangan kotanya juga sangat berbeda, karena itu penulis ingin mengetahui kenapa hal tersebut terjadi. Selain itu buku-buku yang membahas tentang pengertian dan klasifikasi kota yaitu yang ditulis oleh Hadi Sabari Yunus, berjudul Klasifikasi Kota.20 Kemudian yang ditulis oleh Azwar yang berjudul Pendekatan Klasifikasi Kota Dunia dan Indonesia mulai dari cara Numerik sampai Non-numerik.21 Mereka membahas tentang klasifikasi kota yang ditinjau dari berbagai segi misalnya dari segi lingkungan, dari jumlah penduduk, dari segi fungsinya dan lain-lain sebagainya.
Zulqayyim, Boekittinggi Tempo Doeloe, (Padang: Andalas University Press, 2006). Hadi Sabari Yunus, Klasifikasi Kota, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005). 21 Azwar, Pendekatan Klasifikasi Kota Dunia dan Indonesia mulai dari cara Numerik sampai Non-numerik, (Padang: Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unand Padang, 1999).
20 19

11

Selain itu juga pengertian kota menurut beberapa ahli menurut disiplin ilmunya masing-masing. Selanjutnya buku yang ditulis oleh Gusti Asnan yang berjudul Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi.22 Di dalam buku ini membahas secara detail tentang penataan dan reorganisasi pemerintahan Kolonial di Sumatera Westkust yang pada awal abad 19 setingkat Residentie. Selain itu juga berisi tentang benteng van der Capellen yang pernah menjadi ibu kota District Minangkabau (Padangsche Bovenlanden). Tidak hanya sebagai benteng, van der Capellen juga sebagai pusat pemerintahan administratif dan pertahanan militer Kolonial Belanda. Selain dari bentuk administratif pemerintahan, keadaan sosial masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota. Kota Batusangkar juga mengalami pergerakan yaitu yang disebut gerakan Paderi. Adapun buku-buku yang membahas tentang perang Paderi ini cukup banyak, di antaranya yang ditulis oleh A. A. Navis yang berjudul Alam Terkembang Jadi Guru (Adat dan Kebudayaan Minangkabau),23 M. C. Ricklefs yang berjudul Sejarah Indonesia Modern,24 Hamka yang berjudul Islam dan Adat Minangkabau,25 dan Zubir Rasyad yang berjudul Ranah dan Adat Minangkabau.26

Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi, (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006). A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau , (Jakarta: Grafiti, 1984). 24 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993). 25 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984). 26 Zubir Rasyad, Ranah dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Agra Wirasanda, 2009).
23

22

12

Selain itu srikpsi yang ditulis oleh Irfendi Walis yang berjudul Sejarah Kota Payakumbuh 1970-1994.27 Dalam tulisannya Irfendi Walis menerangkan proses terbentuknya Kotamadya Payakumbuh yang terdiri dari tujuh nagari. Pembentukan kota ini dimulai dari kota kecil yang mana objek yang dikaji nantinya berada dalam Kotamadya Payakumbuh. Dalam pembahasannya si penulis juga menerangkan perkembangan pembangunan fisik dan non fisik serta kehidupan sosial ekonomi, politik dan budaya. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan mencoba mengkaji sejarah Kota Batusangkar dari zaman Kolonial. Selain itu apa saja perubahan yang terjadi di kota ini walaupun perkembangan Batusangkar dari Kolonial hingga awal kemerdekaan tidak terlalu signifikan bila dibandingkan kota-kota lain di Sumatera Barat. Berdasarkan hal tersebut penulis mengemukakan judul yaitu Sejarah Kota Batusangkar (dari Kota Militer hingga Kota Administratif) 1821-1945.

1.2. Perumusan dan Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah latar belakang lahirnya Fort van der Capellen sebagai sebuah benteng di Afdeeling Tanah Datar ? 2. Bagaimanakah awal terbentuknya Kota Batusangkar ?

Irfendi Walis, Sejarah Kota Payakumbuh 1970-1994, Skripsi (Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, 1997).

27

13

3. Apa sajakah perubahan dan perkembangan Kota Batusangkar setelah masuknya Kolonial Belanda? 4. Bagaimanakah keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Kota Batusangkar setelah masuknya Kolonial Belanda ? Agar penelitian ini lebih mengarah pada pokok persoalan, dibatasi dengan batasan spasial dan temporal. Batasan spasialnya yaitu: Kota Batusangkar khususnya dan Tanah Datar pada umumnya. Maksudnya, Batusangkar yang baru dijadikan distrik pada tahun 1913 dan dijadikan ibu kota kabupaten (luhak) pada pasca kemerdekaan. Selain itu, sebelum namanya Batusangkar daerah ini pada tahun 1821 diberi nama Fort van der Capellen yang pernah menjadi ibu kota dari Distrik Minangkabau. Batasan temporal penelitian ini yaitu mulai dari tahun 1821 sampai tahun 1945. Tahun 1821 dijadikan batasan awal karena pada tahun ini terjadi penyerahan alam Minangkabau oleh para penghulu ke pemerintah Kolonial sebagai akibat dari perang Paderi. Pada tahun ini Belanda menguasai Tanah Datar dan membangun benteng pertahanannya yang diberi nama Fort van der Capellen yang bertujuan memantau pergerakan Paderi yang ada di wilayah ini. Pembangunan benteng ini membuat Batusangkar pernah menjadi kota pertahanan militer. Tahun 1945 dijadikan batasan akhir karena pada tahun ini dibentuknya Provinsi Sumatera dan Sumatera Barat dijadikan Keresidenan. Berdasarkan Besluit No. R.I/I tertanggal 8 Oktober 1945, Kepala Pemerintah Republik Indonesia Daerah

14

Sumatera Barat memutuskan keresidenan dibagi menjadi delapan luhak. Di antara ke delapan luhak tersebut yaitu Luhak Tanah Datar, dengan Ibu Kotanya Batusangkar.28

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan latar belakang lahirnya Fort van der Capellen sebagai sebuah benteng di Batusangkar. 2. Menjelaskan awal terbentuknya Kota Batusangkar. 3. Menjelaskan apa saja perubahan dan perkembangan Kota Batusangkar setelah masuknya Kolonial Belanda. 4. Menjelaskan bagaimana keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Kota Batusangkar setelah masuknya Kolonial Belanda. Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat menambah sumbangan ilmiah bagi literatur tentang kajian sejarah, khususnya kajian terhadap sejarah pemerintahan dan perkotaan.

1.4. Kerangka Analisis Berdasarkan latar belakang dari penulisan, Sejarah Kota Batusangkar termasuk pada kajian sejarah perkotaan dan sejarah lokal. Batusangkar yang merupakan kota kecil yang terletak di Kabupaten Tanah Datar. Sebagai ibu kota kabupaten, Batusangkar termasuk kota yang tidak terlalu memiliki perkembangan
Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi, (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006), hlm. 126-127.
28

15

yang cukup signifikan. Penulis juga ingin meneliti situasi sosial yang membuat Batusangkar tidak terlalu berkembang sebagai sebuah kota besar bila dibandingkan dengan kota-kota di sekitarnya seperti Bukittinggi dan Payakumbuh. Adapun beberapa teori tentang kota yang dikemukakan oleh beberapa ahli di antaranya yaitu Max Weber dan Christaller. Max Weber menganggap suatu tempat adalah kota apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Selanjutnya barang-barang dihasilkan oleh penduduk setempat dan penduduk dari pedalaman dan dijualbelikan di pasar. Weber lebih menekankan bahwa pasar sebagai ciri sebuah kota. Menurut Christaller kota berfungsi menyelenggarakan penyediaan jasa-jasa bagi daerah lingkungannya. Hal ini menjadi aspek penting yang menjadi dasar teori bahwa kota adalah pusat pelayanan (central place theory, Christaller). Dalam teori ini kota tidaklah diartikan sebagai tempat pemukiman, melainkan sebagai pusat pelayanan.29 Batusangkar sebagai pusat kebutuhan ekonomi yang ditandai dengan adanya pasar dan pusat pelayanan publik yaitu adanya kantor pemerintahan dan layanan jasa lainnya. Hal ini sesuai dengan teori Max Weber dan Chistaller yaitu kota sebagai pusat pasar dan pusat pelayanan. Ditinjau dari segi bentuknya, Batusangkar digolongkan pada kota yang berbentuk bujur sangkar. Kota yang berbentuk bujur sangkar ini biasanya merupakan

P. J. M. Nas, Kota di Dunia Ketiga Pengantar Sosiologi Kota dalam tiga bagian, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1979), hlm. 28-29.

29

16

kota yang terbentuk karena adanya kegiatan yang relatif seragam dan biasanya sangat dipengaruhi oleh kegiatan pertanian. Pasar induk, biasanya betul-betul terletak di bagian tengah dari kota yang bersangkutan. Lama-kelamaan daerah permukiman yang ada akan berkembang di sisi-sisinya ke segala jurusan, dan oleh karena itu di sekitarnya relatif tidak ada halangan fisikal yang berarti, maka bentuk/morfologi kotanya akan berbentuk bujur sangkar atau sedikit membulat.30 Dari tipologi kota, Batusangkar termasuk kategori kota berbentuk bujur sangkar. Hal ini ditandai dengan adanya pasar serikat sebagai pasar induk yang terdapat di tengah-tengah kota dan permukiman penduduk terdapat di sekitar Kota Batusangkar. Dari segi pengertian dan klasifikasi kota sangat banyak dan setiap ahli memiliki pandangan yang tidak sama. Secara konseptualpun istilah kota dengan perkotaan juga berbeda. Menurut Bintarto, istilah kota diidentikkan dengan city, sedangkan perkotaan berupa daerah yang memiliki suasana kehidupan dan penghidupan modern yang disebut dengan urban. Di negara-negara lain seperti Swedia, Polandia, dan Romania yang disebut dengan urban adalah kota-kota dan kabupaten-kabupaten yang termasuk dalam wilayah administratif urban.31 Kota tumbuh dan berkembang menjadi semakin kompleks, sehingga sulit mendefesinikan kota secara komprehensif dan representatif. Kota tidak hanya mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek non-fisik (manusia). Aspek-aspek fisik yaitu geografis, topografis, iklim dan sebagainya. Aspek non-fisik yaitu sosial,
30 31

Hadi Sabari Yunus, Klasifikasi Kota, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005), hlm. 26-27. Azwar, Pendekatan Klasifikasi Kota Dunia dan Indonesia (mulai dari cara numerik sampai non-numerik), (Padang: Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unand, 2006), hlm. 8.

17

ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa setiap pakar lebih cenderung mengemukakan defenisi kota menurut disiplin ilmunya masing-masing.32 Gejala perkotaan di Indonesia yang mulai tampak sejak pertengahan abad ke19, disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu adanya penjajahan Belanda. Selain sebagai pusat administratif pemerintahannya, pada awalnya kota-kota juga berfungsi sebagai tempat pengumpulan hasil bumi daerah sekitarnya. Berbagai infrastruktur, seperti birokrasi, pasar, transportasi, sekolah dan rekreasi, yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda ditujukan untuk kepentingan kolonialnya. Oleh karena itu, kota-kota yang dibangun oleh pemerintah Kolonial Belanda lebih merupakan sebagai kota kolonial.33 Seperti halnya Batusangkar yang dijadikan kota pertahanan militer oleh Kolonial Belanda, yang ditandai dengan dibangunnya benteng van der Capellen pada awal abad ke-19 (sekitar tahun 1824). Adapun pengertian kota militer yaitu wilayah yang dijadikan basis pertahanan militer baik dari angkatan darat, angkatan laut maupun angkatan udara. Hal ini berdasarkan fungsi dan arti strategis dari kota-kota tersebut.34 Batusangkar yang pernah dijadikan kubu pertahanan Belanda yang ditandai dengan pendirian benteng van der Capellen, juga dikelilingi parit pertahanan dan tanggul melingkar mengelilingi benteng. Adanya kubu pertahanan yang permanen dan strategis maka secara militer dan politis memudahkan Belanda menguasai wilayah Batusangkar dan

32 33

Zulqayyim, Boekittinggi Tempo Doeloe, (Padang: Andalas University Press, 2006), hlm. 3. Ibid, hlm. 4. 34 Hadi Sabari Yunus, op.cit, hlm. 14-15.

18

sekitarnya. Selain itu, Belanda juga dapat melakukan operasi militer untuk menumpas kaum paderi.35 Selain pernah menjadi kota militer, Batusangkar setelah kemerdekaan dijadikan kota pusat administrasi. Kota administrasi merupakan kota-kota yang berfungsi sebagai ibu kota suatu negara, ibu kota propinsi, ibu kota kabupaten, dan lain sebagainya.36 Selain itu seluruh ibu kota propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia tergolong kota. Sebagai ibu kota propinsi atau kabupaten/kota maka di pusat kota ditandai dengan gedung kantor pemerintah terutama kantor bupati atau walikota. Hampir kota-kota di seluruh Indonesia kantor bupati atau walikota berdekatan dengan pusat pasar.37 Dalam hal ini Batusangkar dijadikan ibu kota Kabupaten Tanah Datar sekaligus pusat administrasi. Batusangkar yang pernah dikuasai Kolonial Belanda pada awal abad ke-19 dan juga mendapatkan perlawanan dari rakyat mulai dari perang Paderi hingga masyarakat, membuat kota ini tidak terlalu berkembang bila dibandingkan kota-kota di sekitarnya. Letak Batusangkar yang juga berada di pedalaman (darek) membuatnya sulit untuk berkembang secara cepat. Selain itu juga tidak terletak pada jalur lintas seperti Bukittinggi dan Payakumbuh. Berbagai faktor membuat Batusangkar tidak berkembang secara cepat dan lebih terlihat stagnasi, namun ada faktor lain membuat Batusangkar sebagai kota kecil menarik untuk dikaji dan diteliti. Misalnya,
35

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, Laporan Pemugaran Benteng van der Capellen Tahap III, tahun 2010, hlm. 6. 36 Hadi Sabari Yunus, op.cit, hlm. 14. 37 Azwar, Pendekatan Klasifikasi Kota Dunia dan Indonesia (mulai dari cara numerik sampai non-numerik), (Padang: Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unand, 2006), hlm. 17.

19

salah satu pusat kerajaan Minangkabau yang bisa dijadikan kota pusat kebudayaan. Dalam hal ini potensi kulturnya kelihatan menonjol dibanding dengan fungsi-fungsi lain yang ada.38 Sejarah Kota Batusangkar juga termasuk kajian sejarah lokal. Sejarah lokal yang membahas tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada lokasi kecil, desa atau kota kecil pada umumnya, tidak menarik perhatian karena tidak mempunyai dampak yang luas. Namun ada kalanya sejarah lokal sangat menarik karena mengungkapkan soal-soal kemanusiaan secara khusus.39 Selain itu, sejarah lokal itu sendiri adalah sejarah dari suatu tempat atau lokasi yang batasannya ditentukan oleh perjanjian yang dilakukan oleh penulis sejarah.40 Di sini penulis membatasi lokasi penelitian yaitu di Kota Batusangkar.

1.5. Metode Penelitian Sebagaimana lazimnya tulisan ilmiah, tidaklah terlepas dari metode dan kaidah-kaidah ilmiah. Penulisan inipun nantinya menggunakan metode sejarah. Metode ilmu sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis, rekaman dan peninggalan masa lalu manusia guna memperoleh konstruksi aktivitas manusia tersebut pada masa lampau.41 Langkah-langkah dalam penulisan ini mulai dari heuristik yaitu mencari dan mengumpulkan data sejarah, mengkritik data baik

Ibid, hlm. 10. Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah , (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 73. 40 Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996), hlm. 15. 41 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1980), hlm. 32.
39

38

20

eksternal maupun internal, interpretasi atau pemahaman terhadap data yang diperoleh dan kemudian penulisan.42 Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan studi lisan dan tulisan. Penelitian lisan penulis dapatkan dari hasil wawancara yang bisa dijadikan data/sumber penelitian, namun karena penelitian ini dimulai dari abad ke-19, mungkin sedikit sumber lisan yang penulis gunakan. Selanjutnya penulisan melakukan studi tulisan atau tertulis berupa arsip-arsip yang berhubungan dengan sejarah Kota Batusangkar yang dimulai dari benteng van der Capellen. Adapun arsip yang berhubungan dari penelitian ini yaitu Besluit van den Gouverneur van Nederlandsch-Indie van 12 September 1913 IF 23, Algemeen verslag het Gouvernement Sumatras Westkust over heb jaar 1860, dan S.W.K Fort van der Capellen 1829. Selain itu penulis juga melakukan studi lapangan mengenai sejarah Kota Batusangkar ini. Dimulai dari arsip dan perpustakaan Provinsi Sumatera Barat, perpustakaan Pemerintahan Kabupaten Tanah Datar, Perpustakaan Fakultas Sastra Unand, Perpustakaan Jurusan Sejarah Unand, Perpustakaan kantor BP3 Batusangkar, Arsip Daerah Kabupaten Tanah Datar, dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang.

1.6. Sistematika Penulisan Penulisan ini terdiri dari lima bab dengan pembagian sebagai berikut:

42

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1992), hlm. 94.

21

Bab I Pendahuluan merupakan gambaran permasalahan secara umum yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka analisis, metode penelitian serta sistematika penulisan. Di dalam pendahuluan yang terstruktur ini akan menceritakan tentang sejarah Kota Batusangkar (dari Kota Militer hingga Kota Administratif) tahun 1821 hingga 1945 dan bagaimana latar belakang berdirinya serta sejarah yang dimilikinya sampai konsep yang dipakai dalam penulisan tersebut. Bab II Merupakan bab yang menerangkan awal terbentuknya Kota Batusangkar. Bab III Membahas perubahan dan perkembangan Kota Batusangkar setelah masuknya Kolonial Belanda, yang dimulai dari sebuah dusun kecil hingga menjadi sebuah distrik. Selain itu juga menjelaskan kota Batusangkar yang menjadi pusat pasar serikat. Bab IV Menjelaskan bagaimana keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Kota Batusangkar setelah masuk dan keluarnya Kolonial Belanda. Bab V Penutup, memberikan kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya berdasarkan pada interpretasi atas masalah yang akan dibahas. Selain itu menjawab pertanyaan yang diajukan dalam bab pendahuluan dan merupakan penutup dari keseluruhan penulisan.

22

Daftar Pustaka Arsip Besluit van den Gouverneur van Nederlandsch-Indie van 12 September 1913 IF 23 Algemeen verslag het Gouvernement Sumatras Westkust over heb jaar 1860 S.W.K Fort van der Capellen, 1829

Buku-buku A. A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: Grafiti, 1984 Ahmad Husein, dkk, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau 1945-1950, Jakarta: BPSIM, 1991 Azwar, Pendekatan Klasifikasi Kota Dunia dan Indonesia mulai dari cara Numerik sampai Non-numerik, Padang: Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unand Padang, 1999 Djoko Soekirman, dkk, Sejarah Kota Yogyakarta, __________________ E. B. Kielstra, Sumatras Westkust van 1833-1835, _________________ Edi Sedyawati, dkk, Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1992 Freek Colombijn, Paco-Paco (Kota) Padang Sejarah Sebuah Kota di Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota, Yogyakarta: Ombak, 2006 Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi, Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006 Hadi Sabari Yunus, Klasifikasi Kota, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1992
23

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1980 Maamin, Minangkabau Dahoeloenya Negeri Tandjoeng Baroelak (Fort van der Capellen), Merapi Fort de Kock, 1925 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993 M. D. Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau, Jakarta: Bhratara, 1970 Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008 Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Jakarta: Balai Pustaka, 1964 M. Sayuti, Tau Jo Nan Ampek (Pengetahuan yang Empat Menurut Ajaran Adat dan Budaya Alam Minangkabau), Padang: Mega Sari Kerjasama Sako Batuah, 2005 P. J. M. Nas, Kota di Dunia Ketiga Pengantar Sosiologi Kota dalam Tiga bagian, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1979 Rusli Amran, Padang Riwayatmu Dulu, Jakarta: CV Yasaguna, 1988 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993 Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996 Yondri dan Efrianto, Pasar Tradisional dan Hubungannya dengan Sistem Sosial Studi Kasus: Pasar Tradisional Padang Luar, Kec. Banuhampu Kab. Agam Sumatera Barat, Padang: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata BPSNT Padang, 2008 Zubir Rasyad, Ranah dan Adat Minangkabau, Jakarta: Agra Wirasanda, 2009 Zulqayyim, Boekittinggi Tempo Doeloe, Padang: Andalas University Press, 2006

Laporan Penelitian dan Skripsi Irfendi Walis, Sejarah Kota Payakumbuh 1970-1994, Skripsi (Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, 1997)
24

L. C. Westenenk, De Minangkabausche Nagari, Padang: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, 1969 (terjemahan oleh: Mahjuddin Saleh) Lindayanti, Birokrasi dalam Sistim Laras di Minangkabau pada tahun 1823-1914. Laporan Penelitian (Padang: Pusat Penelitian Unand), 1988 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, Laporan Pemugaran Benteng van der Capellen Tahap II dan III, 2010

25

Anda mungkin juga menyukai