Anda di halaman 1dari 28

Tumasik:

Sejarah Awal Islam di Singapura (1200-1511 M)


Oleh: Asep Saefullah, M.Ag.

A. PENDAHULUAN
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama, Bahrul Hayat, menyampaikan
harapannya untuk membangun peradaban dan Islam Nusantara dalam Senior Official
Meeting (SOM) MABIMS ke-36 di Mataram-Lombok, NTB, pada 3-6 Oktober 2011.
Membangun Peradaban dan Islam Nusantara diangkat menjadi tema SOM MABIMS
tersebut. Menurutnya, Pada masa lalu, Islam tumbuh dan berkembang secara dinamis.
Islam Nusantara merupakan rangkaian sejarah panjang peradaban Islam Asia Tenggara,
baik secara sosial, intelektual maupun sejarah kebudayaan... Kami, sangat antusias dan
menganggap penting setiap penyelenggaraan SOM (Senior Official Meeting). Di
pertemuan ini, kita dapat menggali dan berbagi pengalaman tentang solusi-solusi kreatif,
agar ke depan, Islam mampu menjadi sumber informasi dan inspirasi. Untuk itu, pada
kesempatan SOM kali ini kami sengaja mengusung tema: Membangun Peradaban dan
Islam Nusantara. 1
Sejalan dengan pernyataan Sekjen tersebut, penelusuran dan penulisan kembali
sejarah Islam di Nusantara menjadi penting dilakukan. Di antara manfaatnya adalah agar
mata rantai sejarah peradaban Islam di kawasan ini dapat dirajut kembali, dan lebih dari
itu, generasi muda dan generasi yang akan datang tidak akan kehilangan akar sejarahnya,
baik secara sosial, kultural, maupun intelektual.
Salah satu wilayah yang patut mendapatkan perhatian dalam konteks sejarah Islam
di kawasan Asia Tenggara adalah Singapura. Selain karena kaum Musliminnya sebagai
minoritas, persoalan sejarah awal Islam di negara ini tergolong kurang mendapat
perhatian. Padahal, Singapura pernah menjadi salah satu pusat produksi (pencetakan)
kitab-kitab keagamaan sekitar abad ke-19 M sampai awal abad ke-20 M. Menurut
Sugihara Yumi, dosen Sejarah Islam di Indonesia di Osaka University, Jepang,
Singapore became a vital center of Islamic publications between 1860 and 1900,
because it was a meeting point of the political and economic networks cenderning the
West and the East, and it was the main port for the outwart-bound journey to Mecca....2
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mencoba menelusuri dan
mengungkap kembali keberadaan Islam di Singapura dari masa awal (ancient Singapore)
sampai penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M. Pada masa lalu, Singapura
dikenal sebagai Tumasik dan terkadang disebut juga Temasek. Sumber historiografi
tradisional, seperti dalam Sejarah Melayu (Malay Annals)3 dan Tuhfah al-Nafis4

1 Studi Islam Asia Tenggara, dalam http://emka.web.id/ke-nu-an/2011/studi-islam-asia-tenggara/. NU


Online. Upload 6 October 2011, diakses 4 Oktober 2012.
2 Sugahara Yumi, Publications of Kitabs and Development of Using Jawi and Pegon Scripts, dalam
Kawashima Midori, A Provinsial Catalog of Southeast Asian Kitabs of Sophia University, (Tokyo: Sophia University,
2010), h. 9.
3 Abdul Rahman Haji Ismail, Sejarah Melayu (Malay Annals), dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A
Historical Encyclopedia,from Angkor Wat to East Timor, (California: ABC-CLIO, Inc., 2004), h. 1182-1183.
4 Ooi Keat Gin, Tuhfat al-Nafis (The Precious Gift), dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical
Encyclopedia..., h. 1355-1356.
0

dilafalkan jadi Temasek, sedangkan dalam Pararaton,5 dan Negarakertagama,6


dilafalkan Tumasik.7 Dalam Southeast Asia, A Historical Encyclopedia, from Angkor
Wat to East Timor, dan sumber lain seperti Ensiclopedia Britanica disebut Temasek
atau kadang dalam tanda kurung (Tumasik).8 Oleh karena itu, problem pertama yang
dikaji adalah masalah sumber sejarah tentang Tumasik.9 Problem kedua adalah tentang
keberadaan awal Islam di daerah ini.
Posisi Singapura yang berada di ujung Semenanjung Malaya sebelah tenggara
Malaysia menjadikannya sebagai tempat yang paling strategis dalam jalur perdagangan
dan lalu lintas jalur laut. Karena posisinya yang strategis itulah, Singapura menjadi
tempat yang penting di wilayah Asia Tenggara sejak dahulu kala. Karena itu pula,
Singapura selalu disinggahi para pedagang dan juga menjadi rebutan kerajaan-kerajaan
atau kesultanan-kesultanan di sekitarnya, dan kemudian oleh kaum penjajah.
Dalam konteks persebaran Islam di sekitar Selat Malaka, beberapa kesultanan
pernah menguasai daerah ini, seperti Kesultanan Malaka (1398-1511), Kesultanan Johor
(1511-1699), dan Kesultanan Johor-Riau (1699-1818) atau dari akhir abad ke-14 sampai
awal abad ke-17 M. Sebelumnya, sebagai masa kuno Singapura sekitar 1200-1398, dua
kerajaan Hindu Buddha di Nusantara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit juga pernah
menguasainya. 10
Sebelum membahas dua persoalan pokok di atas, terlebih dahulu akan dibahas
beberapa persoalan terkait studi tentang Islam di Asia Tenggara.11 Pembahasan tersebut
perlu dilakukan sebagai pra kondisi sebelum masuk pada pembahasan utama. Sebab,
dalam konteks kajian sejarah Islam di Singapura secara lebih spesifik, data dan informasi
tentang sejarah Islam di Singapura termasuk minim, apalagi tentang sejarah awalnya.
Beberapa Persoalan Kajian Sejarah Islam di Asia Tenggara
Kajian tentang Islam di kawasan Asia Tenggara merupakan sesuatu yang menarik
perhatian banyak kalangan, dari agamawan, sejarawan, antropolog, sosiolog, filolog,
arkeolog, ahli efigrafi, ahli numistik, budayawan, sastrawan, seniman, dan lain-lain. Dari
segi masanya juga demikian, dari masa-masa yang paling awal, konon abad ke-7 M/1 H
ketika Islam di Jazirah Arab belum lama lahir sampai masa sekarang ini. Deri segi tema
pun sangat beragama, baik pemikiran, pendidikan, hukum, politik, sosial, budaya,
5 Edi Sedyawati, Pararaton (Book of Kings), dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical
Encyclopedia..., h. 1021.
6 Tentang Negarakretagama, dijelaskan dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical
Encyclopedia..., pada entry Gajah Mada (t. 13311364), h. 533-534; Haym Wuruk (Rjasanagara) (r. 1350
1389), h. 567-568; dan Majapahit (1293ca. 1520s) , h. 822-824, yang ditulis oleh Edi Sedyawati.

7 Lim Tse Siang, 14th Century Singapore: The Temasek Paradigm, A Thesis submitted for the Degree of
Master of Arts, Department of History, National University of Singapore, 2012, h. 6. Lihat juga Slamet Muljana,
Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, (Yogyakarta: LKiS, 2006), h. 158. Lihat juga The Great Soviet Encyclopedia, 3rd
Edition
(1970-1979).
The
Gale
Group,
Inc.,
2010
edisi
online
dalam
http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/Tumasik, entry Tumasik. Diakses 11 Oktober 2012.
8 John N. Miksic, Temasek (Tumasik), dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical
Encyclopedia..., h. 1311.
9 Penjelasan mengenai sumber primer (primary sources) tentang Tumasik atau Temasik, lihat Lim Tse
Siang, 14th Century Singapore: The Temasek Paradigm, h. 4-20. Tinjauannya atas Sejarah Melayu, lihat h. 34-39.
10 Jean Abshire, The History of Singapore, Singapore: ABC-CLIO, 2011. Untuk periode klasik (Ancient
Singapore) lihat h. 18-23, dan untuk periode kesultanan Islam (Malaka, Johor, dan Johor-Riau), lihat h. 23. Bahkan
sampai saat ini, Singapura merupakan salah satu negara Persemakmuran Inggris (Commonwealth) alias salah satu
anggota dari negara-negara Persemakmuran Inggris.
11 Pembahasan mengenai beberapa persoalan terkait dengan kajian tentang Islam di Asia tenggara diambil dan
diolah dari Desain Operasional Penelusuran Sejarah Islam di Nusanara, Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tahun 2012.
1

sejarah, filologi, arekeologi, dan aspek-aspek ajaran Islam itu sendiri, seperti fikih atau
syariah, tasawuf, ilmu kalam, akidah, akhlak, dan lain-lain. Begitu beragam dan
kompleksnya persoalan Islam di Asia Tenggara menyebabkan kajian Islam di kawasan ini
selalu menarik untuk dilakukan.
Salah satu tema kajian yang sampai saat ini masih menarik untuk diperbincangkan
adalah tentang sejarah awal Islam di Asia Tenggara. Tema ini masih menyimpan berbagai
kepenasaran, bukan saja karena kelangkaan sumber yang sezaman, tetapi juga karena
adanya tarik menarik kepentingan yang sangat kuat antara bangsa-bangsa di Asia
Tenggara di satu pihak dengan kaum kolonial di pihak lain. Demikian juga dengan
anggapan sebagian kalangan yang menyebut Islam di kawasan ini sebagai periferi, tidak
murni, lapisan tipis luarnya saja, dan tidak menjadi bagian dari Dunia Islam yang besar
atau dari tradisi besar Islam.12 Sementara itu, sudah banyak ditemukan bukti mengenai
intensitas hubungan Islam di kawasan ini dengan Islam di tempat kelahirannya, Timur
Tengah, seperti terlihat dalam jaringan ulama Nusantara dengan Haramain.13
Sejarah perkembangan Islam di masa modern di kawasan ini juga sanga menarik
antara lain karena munculnya beragam wajah Islam di sini, misalnya Islam garis
keras atau radikalisme, fundamentalisme, terorisme yang tidak jarang dituduhkan
pada Islam dan umanya, gerakan Islam liberal atau liberalisme, pluralisme,
gender, dan lain-lain. Meskipun kajian tentang tema-tema tersebut telah banyak
dilakukan, tetapi karena watak sejarah itu terus bergerak dan mengalami perubahan
sehingga tema-tema itu, khususnya dari perspektif sejarah, tetap saja menjadi aktual dan
peting untuk dikaji. Apalagi jika terkait dengan radikalisme tidak jarang Islam selalu
menjadi yang tertuduh.14
Terkait sejarah masuknya Islam dan perkembangannya di Nusantara atau di
kawasan yang sekarang menjadi Asia Tenggara merupakan salah satu tema kajian yang
selalu menarik untuk diperbincangkan. Persoalan sejarah awal masuknya Islam di
kawasan ini pun hingga sekarang dapat dikatakan belum menemukan kesepakatan
terutama mengenai kapan masuknya, siapa pembawanya, wilayah mana yang pertama
kali diisalamkan, dan bagaimana proses pengislamannya. Sedangkan terkait dengan
perkembangannya, banyak tema yang masih menyisakan berbagai pertanyaan.
Misalanya, dari aspek politik, kapan komunitas Islam di wilayah ini mencapai kekuasaan
politik dan menjadi sebuah negara, wilayah mana saja yang mencapai kekuasaan
politik tersebut dan dalam bentuk apa kekuasaan tersebut; bagaimana kekuasaan itu
diperoleh dan bagaimana pula hubungannya di atara berbagai wilayah yang memiliki
kekuasaan politik tersebut. Sebut saja misalnya kesultanan-kesultanan Islam yang pernah
ada, mulai dari Samudera Pasai di Aceh, Malaka di Semenanjung Malaya, Tumasik di
Singapura sekarang, Demak, Cirebon, Banten, Aceh Darussalam, Palembang, Riau, GoaTallo, Ternate-Tidore, Banjar, Sumbawa, Bima, dan lain-lain di Indonesia sekarang.
Demikian juga di kawasan Asia Tenggara yang dulunya menggunakan bahaya Melayu
sebagai lingua franka, seperti Pattani di Thailand, Mindanao dan Sulu di Filipina, serta
12 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), h. 56-57.
13 Lihat anra lain Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, (Bandung : Mizan, 1994, dan Geoff Wade, An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE,
dalam Journal of Southeast Asian Studies, 40(2), Edisi Juni 2009, h. 221265.
14 Lihat misalnya John L. Esposito, Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan
dengan Barat (Terj. Eva Y. Nukman dan Edi Wahyu SM. dari The Future of Islam), (Bandung: Mizan, 2010), h. 23.
Tinjauan atas buku ini lihat Asep Saefullah, Membangun Peradaban Dunia yang Damai: Pentingnya Pembaharuan
Islam dan Kearifan Barat, Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius, XI(1), 2012, h. 145-154. Lihat juga
Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (Eds.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005).

seluruh wilayah yang sekarang menjadi Malaysia dan Brunei Darussalam. Oleh karena
itu, merupakan suatu hal yang menarik untuk menelusuri kembali jejak-jejak Islam di
wilayah ini.15
Sejauh ini, kajian Islam di Asia Tenggara harus diakui belum mendapatkan
perhatian memuaskan dari para sarjana Muslim kawasan ini. Azyumardi Azra
menyebutkan empat alasan mengapa kajian Islam di Asia Tenggara minim peminat,
yaitu:
Pertama, orang perlu menghabiskan waktu untuk menguasai ilmu lain, semacam bahasa Belanda.
Kedua, ia harus siap berbungkus lumus mengumpulkan bahan-bahan atau arsip yang terpencar di
mana-mana. Ketiga, ia harus siap untuk menambah tebal kaca matanya, karena matanya rusak
mebaca arsip dan naskah tulisan tangan yang tidak mudah dibaca dan dipahami. Keempatini tak
kurang pentingnyaia harus bias berada (sic.; berbeda [?]) dengan apa yang pernah ditulis orang
lain (khususnya sarjana asing) jika ia berharap studinya punya arti penting. 16

Dalam melihat proses Islamisasi di Asia Tenggara dapat digunakan konsep


pembentukan tradisi. Konsep ini dapat melihat berbagai data dan fakta terkait dengan
sejarah awal dan perkembangan Islam di wilayah tertentu dengan memerhatikan kondisi
masyarakat setempat serta pandangan hidup mereka dalam melihat masa lalu. Dengan
mengutip E. Shils dari bukunya Traditions, Taufik Abdullah menjelaskan bahwa:
Sebagai sesuatu yang diturunkan dari masa lampau, tradisi tidak hanya berkaitan dengan landasan
legitimasi tetapi juga dengan sistem otoritas dan kewenangan. Sebagai suatu konsep sejarah, tradisi
dapat dipahami sebagai suatu paradigma kultural untuk melihat dan memberikan makna terhadap
kenyataan. Karena proses pembentukan tradisi sesungguhnya merupakan suatu proses seleksi ketika
cita-cita harus senantiasa berhadapan dengan kenyataan dan di saat kebebasan harus menemukan
modus vivendi dengan keharusan-keharusan strukturalmaka tradisi dapat pula dilihat sebagai
seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang menentukan sifat dan corak komunitas kognitif.
Tradisilah yang memberi kesadaran identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih
awal.17

Sementara itu, banyak hasil kajian Islam dari kalangan sarjana Barat yang
cenderung menafikan peran Islam di kawasan ini. Pengkerdilan peran Islam di Asia
Tenggara hampir dilakukan secara sistematis dengan membangun argumen yang terkesan
ilmiah dan akademis, seperti dilakukan antara lain oleh London (1949), Van Leur
(1955), Winstedt (1951), Geertz, atau Snouck Hurgronje. Berbagai kritik telah
disampaikan bukan saja dari sarjana kawasan Nusantara tetapi juga dari kalangan sarjana
Barat sendiri. Sebut misalnya Edward Said, A.H. John dan Marshall G. Hudgson. Edward
Said juga mengkritik secara tajam pandangan para sarjana Barat terhadap Dunia Timur
(Oriental) secara umum, juga terhadap Islam dan Dunia Muslim secara khusus.18 Azra
kemudian menjelaskan:
Persepsi orientalis terhadap Islam di Asia Tenggara, tak kurang cacatnya. Dibandingkan dengan
studi-studi tentang Islam dan masyarakat-masyarakat Muslim di Timur Tengah yang begitu banyak,
Islam di Asia Tenggara masih merupakan lahan yang tak terlalu banyak disentuh kaum orientalis.
Dalam skala perbandingan ini, meskipun studi tentang Islam di Asia Tenggara masih relatif sedikit,
15 Dari paragraf ini sampai dengan paragraf sebelum bagian B. Rumusan Masalah, diambil dan diolah dari
Desain Operasional (DO) Penelusuran Sejarah Islam di Nusantara, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan,
2012.
16 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 3.
17 Taufik Abdullah, Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara: Sebuah Perspektif Perbandingan,
dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique (Eds.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta:
LP3ES, 1989), h. 61 dan 84.
18 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 4.

orientalis tak urung berhasil menciptakan dan membentuk potret yang tak selalu akurat tentang Islam di
kawasan ini.
Kemunculan dan pengokohan kolonialisme Inggris dan Belanda di Asia Tenggara juga bertanggung
jawab atas terciptanya pandangan yang keliru tentang Islam di Nusantara. Seperti dikemukakan Ellen...,
kedua kekuatan kolonial ini menciptakan distorsi-distorsi terhadap Islam sejak pertama kali mereka
mencoba secara sistematis menggambarkan Islam dan mengungkapkan Islam di Dunia Melayu.
Sayangnya, mispersepsi dan distorsi yang mereka ciptakan malah dijadikan kerangka kerja (framework)
bagi kesarjanaan dan keilmuan tentang Islam di Asia Tenggara pada masa-masa berikutnya .19

Pandangan yang kurang berimbang juga terjadi dalam hal penggunaan sumbersumber lokal tentang Islam di Asia Tenggara. Azra menyebutkan sebagai berikut,
Untuk konteks Asia Tenggara, bahan-bahankhususnya tentang sejarah awal Islambukan tidak
ada sama sekali. Terdapat bahan-bahan tertulis selain bukti arkeologi dan epigrafi, baik lokal maupun
asing. Bahan-bahan lokal, semacam hikayat, babad, sejarah, tambo, atau historiografi klasik lain
memberi informasi tentang konversi penduduk lokal kepada Islam dan perkembangan awal agama ini
di tempat tertentu di Nusantara. Tetapi banyak sarjana Barat, seperti dikritik Johns, memandang
historiografi lokal ini secara negatif, karena genre literatur tersebut tidak sesuai dengan kategorikategori Barat tentang sejarah dan historiografi. Bahkan sarjana Barat, seperti de Graaf, bersikeras
bahwa historiografi awal Islam di Nusantara tidak terlalu bisa dipercaya. Terdapat keseragaman bunyi
di antara mereka, yang tidak menunjukkan kebenaran.20

Terlepas dari karakteristiknya yang khas yang berbeda dengan historiografi Barat,
sarjana yang serius, jujur, dan objektif tidak bisa mengabaikan historiografi klasik Islam
di Nusantara. Karena, bagaimanapun, historiografi klasik memberikan sejumlah
informasi tentang watak dan perkembangan Islam; bahkan memberikan semacam pola
umum bagaimana Islam diperkenalkan dan berkembang di kawasan Asia Tenggara.
Lebih dari itu, historiografi klasik ini memberikan dan mengimbangi informasi dan
gambaran tentang Islam dan masyarakat Muslim Nusantara seperti diberikan sumbersumber asing: Barat, Cina, dan Arab.21
Sejarah tidak semata-mata mengejar kepastian sejarah mengenai 5 W dan 1 H,
yaitu apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana suatu peristiwa itu terjadi.
Akan tetapi, dengan memerhatikan kondisi masyarakat dan pandangan hidup mereka
yang terekam dalam berbagai media, baik benda-benda arkeologis maupun manuskripmanuskrip atau cerita yang berkembang di masyarakat, maka dapat ditangkap watak
zaman di saat suatu peristiwa itu terjadi. Catatan-catatan mengenai pandangan hidup
masyarakat terhadap masa lalu di Nusantara khususnya terekam dalam warisan
masyarakat itulah historiografi klasik, atau seperti disebut Taufik Abdullah sebagai
historiografi tradisional. 22
Pada umumnya, kajian Islam yang dilakukan sarjana asing cenderung bias dan
tidak lepas dari maksud-maksud tertentu di luar masalah akademis. Kecenderungan ini
telah berlangsung lama sehingga jelas terdapat keengganan di kalangan orientalis untuk
mengakui eksistensi Islam, sebagaimana adanya di Asia Tenggara. Bahkan, untuk kajian
Islam di Timur Tengah pun yang memiliki bahan yang melimpah ruah, tokoh-tokoh
sarjana seperti Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Crone, menolak reliabilitas sunah
historis dan tradisi sahabat. Sikap seperti ini menunjukkan adanya maksud-masud yang
19 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 4.
20 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 9, dari A.H. Johns, The Turningg Image: Myth and
Reality in Malay Perception of the Past, dalam Anthony Reid dan David Marr (Eds.), Perception of the Past in
Southeast Asia, (Kuala Lumpur: Heinemann Educational Books, 1979), h. 43 dan H.J. de Graaf, South-East Asian
Islam to the Eig1hteenth Century, dalam P.M. Holt et. Al. (Eds.), The Cambridge History of Islam, Vol. II,
(Cambridge: Cambridge University Press, 1970), h. 123.
21 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 9-10.
22 Taufik Abdullah, Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara..., h. 63.

bersifat ideologi dan bertujuan mengobrak-abrik basis historis dan sekaligus doktrinal
Islam awal.23
Kecenderungan meminggirkan peranan Islam di kawasan Asia Tenggara antara lain
karena jauhnya wilayah ini dari pusat perkembangan Islam di Timur Tengah. Tidak
jarang pembahasan mengenai peradaban Islam mengabaikan Islam di kawasan Asia
Tenggara. Sebenarnya, perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari
Timur Tengah. Bukti-bukti mengenai adanya hubungan yang kuat antara Asia Tenggara
dan Timur Tengah tidak bisa diragukan lagi. Teoritisasi mengenai kedatangan Islam di
kawasan iniyang hingga saat ini masih diperdebatkantidak berangkat dari perspektif
yang sama. Oleh karena itu, tidak heran jika terjadi perbedaan pendapat, apakah Islam
yang masuk ke Indonesia itu berasal dari Arab, India, Gurajat, Persia, atau Cina.
Semuanya bisa jadi benar jika diyakini perkembangan Islam di berbagai kawasan di Asia
Tenggara terjadi secara simultan. Ketika Islam masuk ke Aceh, misalnya, bisa jadi pada
saat yang sama, Islam juga datang di tanah Jawa. Ketika para pedagang Arab berniaga
dengan penguasa Sriwijaya di Sumatera, bisa jadi ada ekspedisi lain berlabuh di Celebes
(Sulawesi), dan seterusnya. Apalagi jika dilihat bahwa hubungan Asia Tenggara dan
Timur Tengah sudah terjadi sejak sebelum Islam lahir di Jazirah Arab.24
Berdasarkan uraian di atas, beberapa masalah yang menjadi pertanyaan dalam
tulisan ini antara lain: 1) Bagaimana asal-usul Singapura dalam konteks sejarah Islam di
Asia Tenggara?; 2) Bagaimana proses masuknya Islam ke Singapura, dan bagaimana
perkembangannya sampai dengan awal abad ke-16 M?; dan 3) Kesultanan atau
kekuasaan politik apa saja yang pernah berkuasa di Singapura sebelum abad ke-16 M?
Dengan mengungkapkan sejarah awal Islam di kawasan Nusantara, khususnya di
Singapura, dan mendata serta menguraikan kesultanan atau kerajaan bercorak keislaman
yang pernah ada dapat dilihat keterkitan berbagai lokasi awal kedatangan dan hubungan
di antara berbagai kesultanan tersebut. Hal ini tidak saja bermanfaat sebagai pengetahuan
sejarah, tetapi juga sangat berguna bagi penguatan jati diri dan karakter peradaban
bangsa-bangsa di kawasan ini, yang pada gilirannya pula dapat semakin mempererat
persatuan dan kesatuan serta kerjasama antarnegara di Asia Tenggara yang memiliki akar
sejarah yang hampir sama.
Secara kelembangaan, hasil kegiatan ini bermanfaat bagi penyediaan data dan
informasi keagamaan, khususnya terkait literatur yang membahas sejarah awal Islam dan
perkembangannya berdasarkan sumber-sumber lokal yang berupa historiografi
tradisional dan peninggalan arkeologis. Manfaat lain adalah pelestarian khazanah
keagamaan, khususnya informasi dalam manuskrip-masnuskrip dan peninggalanpeningalan arekologis tentang sejarah awal Islam dan perkembangannya di Nusantara.
Dalam konteks nasional, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber bagi
penyempurnaan buku Sejarah Nasional Indonesia jilid III, khususnya, yang membasan
tentang Islam dan Perkembangannya di Indonesia.25
B. TUMASIK, NAMA ARKAIK SINGAPURA
1. Asal-Usul Singapura
23 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 9.
24 Sampai dengan bagian ini merupakan hasil olahan dari Desain Operasional (DO) Penelusuran Sejarah
Islam di Nusantara, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2012.
25 Penjelasan Manfaat Penelitian diambil dari Desain Operasional (DO) Penelusuran Sejarah Islam di
Nusantara, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2012.

Singapura (Singapore) merupakan nama modern yang digunakan sekarang untuk


menyebut negara yang terletak di selat Malaka. Penyebutan Singapura sering
dihubungkan dengan kekuasaan Thomas Stanford Raffles yang menggagas proyek
singapore pada tahun 1818 karena kekecewaannya terhadap Belanda yang merebut
kembali tanah Jawa dari Inggris. Kemudian, Raffles menandatangani perjanjian dengan
Temanggong Sri Maharaja untuk menguasai Pulau Singapura pada 19 Januari 1819. 26
Maka, tahun 1819 dipandang sebagai awal penggunaan nama Singapura untuk
menyebut daerah tersebut. Akan tetapi, asal-usul dan kemunculan istilah Singapura
untuk pertama kalinya tetapi belum dapat dipastikan.
Menurut salah satu sumber Melayu Lama disebutkan bahwa,
salah seorang keturunan Sang Superba dari Palembang pergi dan tinggal di pulau Bintan, dari sana
ia melihat pantai putih di pulau lain. Ketika ia menanyakan tempat itu, ia mengetahui bahwa pulau itu
adalah pulau Tumasik, dan ia minta untuk mengunjungi pulau tersebut. Tetapi ketika baru saja berlayar
menuju pulau itu, tiba-tiba datang angin topan menerpa kapal mereka. Angin topan begitu dahsyatnya,
sampai kemudian mahkota sang pangeran jatuh ke dalam air. Tanpa diduga angin topan itupun tiba-tiba
berhenti dan air lautpun kembali tenang. Atas kejadian itu, mereka meyakini bahwa jatuhnya mahkota
sang pangeran ke dalam air yang kemudian disertai terhentinya angin topan dan tenangnya kembali air
laut, merupakan pertanda diperbolehkannya sang pangeran beserta pengikutnya untuk memasuki pulau
tersebut. Ketika memasuki pulau itu, mereka melihat seekor binatang, yang anggun gerakannya,
tangkas dan berani, dengan bulu bagian kepalanya yang hitam, putih di bagian lehernya dan coklat di
bagian badannya. Mereka terkesan dengan binatang yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Kemudian seorang tua memberitahukan kepada sang pangeran, bahwa nama binatang itu adalah
Singa. Kemudian ia memutuskan untuk tinggal di sana dan memberi nama tempat itu dengan Singapura, kota-Singa. Dari cerita tersebut kemudian lahir nama Singapura. 27

Penjelasan lain diberikan berdasarkan riwayat yang dikisahkan dalam Sejarah


Melayu (the Malay Annals), bahwa suatu ketika seorang Tamil yang merupakan putera
raja, yakni Sang Nila Utama dan istrinya yang bernama Wan Sri Bini[?] (puteri Banten
[?]) berangkat ke Banten bersama para pengikutnya, kemudian berlabuh terlebih dahulu
di sebuah pulau di selatan Semenanjung Malaya. Ketika mereka naik ke daratan, Sang
Nila Utama melihat seekor binatang buas melintasi jalan yang akan mereka lalui;
binatang itu lebih besar dari kambing, badan binatang itu berwarna cokelat, lehernya
berwarna hitam, dan dadanya berwarna putih, binatang itu ternyata singa. Sang Nila
Utama menganggap peristiwa itu merupakan pertanda baik. Maka kemudian ia memberi
nama wilayah yang dimasukinya itu dengan Singapura, artinya kota singa...28
Dalam buku Islam Melayu VS Islam Jawa, Maharsi Resi meringkaskan kisah
tentang Singapura yang merupakan cerita ketiga dari Sejarah Melayu, sebagai
berikut:
Sang Nila Utama yang beristrikan Wan Sri Beni bertempat tinggal di Bintang [?]. Pada suatu hari
Nila Utama mohon diri kepada permaisuri Iskandar Syah pergi ke Tanjung Bemban untuk berburu
binatang. Ketika Sang Nila Utama naik ke pegunungan daerah itu, ia melihat sebuah pantai putih yang
sangat indah. Dengan mengendarai perahu, Nila Utama dan rombongan pergi ke pantai itu yang
26 Thomas Stanford Raffles, The History of Java (Edisi Indonesia), (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008), h. viviii.

27 Ajat Sudrajat, Perkembangan Islam di Singapura,


Yogyakarta. h. 8-9.

Kertas Kerja Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY,

28 Muhammad Yusuf, Islam di Singapura: Studi Pembaharuan Pemikiran Islam, IAIN Raden Intan Bandar
Lampung, 2004, h. 18, dari Hsu Yun-tsiao, Notes on the Historical Position of Singapore, dalam Malayan History,
Singapore, 1962, h. 226. Sejarah dan Perkembangan Islam di Siangapura, http://www.segenggamharapan.com/2012/07/sejarah-dan-perkembangan-islam-di.html. Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Nagara
Kretagama, h. 158. Lihat juga Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 376-377.
6

kemudian dinamakan Kuala Tumasik. Di tempat itu mereka melihat seekor binatang menyerupai singa,
maka tempat itu dinamakan Singapura. Nila Utama berhasil mendirikan Kerajaan Singapura sebagai
kerajaan dagang yang besar dan sangat ramai. Di Kerajaan Singapura, Nila Utama menjadi raja besar
bergelar Sri Teribuana.29

Sementara itu, sama-sama bersumber dari Sejarah Melayu (The Malay Annals),
juga disebutkan bahwa Singapura pada masa lalu bernama Temasik yang merupakan
kota perdagangan pertama yang cukup besar di Semenanjung Malaya. Daerah ini selalu
berpindah dari penguasaan satu kerajaan ke kerajaan lain. Kerajaan-kerajaan yang
tercatat pernah menguasai Temasik adalah Sriwijaya, Majapahit dan Melaka. Pada
maka kekuasaan Malaka, sultan yang berkuasa saat itu adalah Sultan Iskandar Syah, yang
dikonfirmasi juga oleh sumber berita dari Cina, Sejarah Dinasti Ming atau the Ming
Annals. Berdasarkan kalkulasi masa waktu antara Sejarah Melayu dan Sejarah Ming,
diperkirakan bahwa Sultan Iskandar Syah menguasai Temasik pada tahu 1395 M,
sedangkan titi mangsa pendirian Kerajaan Temasik ini adadah pada 1299 M.30
John N. Miksic menjelaskan Temasik, dalam Southeast Asia, A Historical
Encyclopedia from Angkor Wat to East Timor, sebagai berikut:
The place-name Temasik appears in several sources of the fourteenth century. It can be localized in
the area of the south coast of the island of Singapore. Closely associated with it was the name Long
Yamen, Dragons Tooth Strait, whence a mission was sent to Yuan dynasty China around 1320. Later
fourteenth-century sources concerning this chiefdom include a reference in the Desawarnana
(Ngarakertgama), a Majapahit court poem written in 1365 C.E., that lists Temasik as one of the
Javanese kingdoms vassals.31

Nama lain untuk Temasik disebutkan pula dalam beberapa sumber dari abad ke14 M. Daerah yang terletak di ujung Semenanjung Malaya ini disebut juga "Pulau
Ujung" (Pu-Lo-Chung), "Salahit" -Selat, dan juga Temasek, Tumasik (Jawa), serta
"Tam-ma-sik" (China). Ia juga disebut Lion City (Kota Singa). Sumber lain menyebutkan
bahwa daerah ini merupakan menjadi tempat persinggahan para pedagang Majapahit
pada abad ke-14 sehingga ia dinamakan Singapura yang bararti kota (Pura)
singgah (Singgah). 32 Sementara itu dalam kitab Tuhfah al-Nafis, nama Singapura pada
masa awal adalah Temasik, Tumasek (Jawa), atau Ta-ma-sek (Cina). Pada awal abad ke19, sekitar tahun 1819, Tumasik di bawah kekuasaan Sultan Husein Syah. 33
Menurut Rose Liang, sumber lain menyebutkan bahwa Wang Dayuan, 34 seorang
pengembara dari Cina, yang berkunjung pada 1330, ke sebuah tempat yang disebut
Pancur (berarti Spring), sebuah perkampungan Melayu dengan beberapa orang Cina.

29 Maharsi Resi, Islam Melayu vs Islam Jawa, Menelusuri Jejak Karya Sastra Sejarah Nusantara,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 31.
30 John N. Miksic, Temasek (Tumasik), h. 1311. Lihat juga Singapore, http://www.britannica.com/
EBchecked/topic/545725/Singapore/ 214573/History,
31 John N. Miksic, Temasek (Tumasik), h. 1311.
32 Menurut Wheatley (1961), lokasi ini disebut Pancur, Wolters (1982) menyebutnya Temasek, dan
Gibson-Hill (1954) menyebut Longyamen ("Dragon's Tooth Strait"). Geoff Wade dan Joyce Zaide (Eds.),
Provenance Research on 14th-Century, Greenwares Found in Singapore, (Singapore : The Nalanda-Sriwijaya Centre,
Institute of Southeast Asian Studies, 2009), h. 15. Lihat Anonim, Sejarah dan Perkembangan Islam di Siangapura
http://www.segenggam-harapan.com/2012/07/sejarah-dan-perkembangan-islam-di.html.
33 Agus Hairi, Islam di Singapura, http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html,
Minggu, 26 September 2010. Dikases 4 Oktober 2012. Agus Hairi merujuk buku-buku berikut Abd. Ghofur, Sejarah
Islam Asia Tenggara. Pekanbaru, 2008; Asmal May dan M. Arifuddin, Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekabaru, 2006;
dan Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara. IAIN Pekanbaru, 2002.
34 Deskripsi Wang Lihat Lim Tse Siang, 14th Century Singapore: The Temasek Paradigm, h. 39-47.
7

Demikian juga, Nagarakretagama, sebuah puisi epik Jawa menyebut Singapura sebagai
Temasek (Sea Town/Kota Laut). Jejak-jejak arkeologis menunjukkan bahwa pada
abad keempatbelas, Temasek, sebutan bagi Singapura pada masa lalu, digunakan sebagai
kota pelabuhan dan pusat perdangan serta komersial untuk berbagai kepentingan.
Sejarah Melayu (Malay Annals), sebuah kronik Melayu abad ketujuh belas mecatat
bahwa pada 1299, seorang pangeran dari Sriwijaya, Sri Tri Buana, ketika melihat
berpikir untuk memberi nama pulau yang dikunjunginya, ia melihat seekor singa, maka
ia memberi nama Singapura (Lion City/Kota Singa) untuk pulau tersebut, dan
menjadikannya sebagai pos perdagangan untuk Kerajaan Sriwijaya. 35
Rose Liang juga menjelaskan bahwa selama abad ke-14, Singapura mengalami
beberapa kali serangan dari Kerajaan Jawa, Majapahit, yang meluaskan kekuasaannya
dari selatan dan perluasan kekuasaan Kerajaan Thai, Ayutthaya ke utara. Sejarah Melayu
juga menyebutkan bahwa menjelang akhir abad keempat belas, Parameswara, seorang
Pangeran dari Palembang yang pada 1388 melarikan diri dari serangan Kerajaan Jawa,
Majapahit, ia mencari perlindungan di Singapura, kemudian ia membunuh dan
mengganti penguasanya, yang bisa jadi menjadi vassal Kerajaan Siam. Kerajaan Siam
(Thai) melancarkan serangan balasan dan menghancurkan Singapura sehingga daerah ini
tidak dihuni lebih dari 400 tahun. Parameswara melarikan diri ke Malaka, kemudian
memeluk Islam dan berusaha mengembangkan Kesultanan Malaka, yang pengaruh
kekuasaannya meliputi Singapura yang merupakan bagian dari Kesultanan Johor. 36

Gambar Peta Singapura saat ini yang menunjukkan lokasi situ-situs arkeologi, petunjuk-petunjuk,
dan batas-batas wilayah pra-kolonial yang dapat diketahui.
Sumber: Lim Tse Siang, 14th Century Singapore: The Temasek Paradigm, 2012, h. 2

Menurut asal katanya, Singapura berasal dari bahasa Sansakerta. Nama ini terdiri
atas dua dua kata, yaitu singa, nama binatang buas, dan pura yang berarti kota.
Dengan demikian, Singapura juga berarti Kota Singa. Sebelum Kesultanan Malaka
dan Kesultanan Johor menguasai daerah ini, diceritakan bahwa di sana pernah berdiri
35 Rose Liang, Change and Continuity in the Culture of Singapores Primary School Teachers from 1959 to
2006, A Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, Department of Sociology, National University of
Singapore, 2007, h. 66.
36 Rose Liang, Change and Continuity in the Culture..., h. 66-67. Bandingkan dengan Edi Sedyawati
Majapahit (1293ca. 1520s), h. 822, dan John Villiers, Melaka, h. 868, dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia,
A Historical Encyclopedia.... dan Lim Tse Siang, 14th Century Singapore: The Temasek Paradigm, h. 4-6.

Kesultanan Tumasik. Adapun sultan-sultan yang memerintah Tumasik sebelum


dikuasai oleh Kesultanan Malaka adalah :
1. Raja I Sri Tri Buana (1299-1347);
2. Raja II Seri Pikrama Wira (1347-1362);
3. Raja III Sri Rana Wikema (1362-1375);
4. Raja IV Sri Maharaja (1375- 1388).
5. Raja IV Sri Sultan Iskandar Syah, memerintah selama lima tahun di Singapura (13881391), kemudian di Malaka (1393-1397).37
Sampai di sini, asal usul Singapura masih simpang siur, terlebih masa-masa
sebelum kedatangan Portugis pada tahun 1510 di Nusantara, yang setahun kemudian,
1511, menaklukan Malaka. Sebagian penutup subbagian ini, cukup kiranya dikutipkan
penjelasan ringkas dalam situs Wikipedia, the free encyclopedia, setidaknya dapat
merangkum berbagai keterangan di atas, yakni sebagai berikut ini:
Temasek ('Sea Town' in Old Javanese, spelt Tumasik) was the name of an early city on the site of
modern Singapore. From the 14th century, the island has also been known as Singapura, which is
derived from Sanskrit and means "Lion City". Legend has it that the name was given by Sang Nila
Utama when he visited the island in 1299 and saw an unknown creature, which he mistook as a lion.
While the early history of Singapore is obscured by myth and legend, some conclusions can be
drawn from archaeological evidence and from written references by travellers. Archaeology points to
an urbanised settlement on the site by the 14th century. Allusions by travellers give some evidence that
there may have been a city or town present as early as the 2nd century. At its height, the city boasted a
large earthen city wall and moat; many of the buildings were built with stone and brick foundations.
Remains of old pottery, coins, jewellery and other artifacts have been found, with many of these
artifacts believed to be imported from various parts of China, India, Sri Lanka, and Indonesia. These are
sometimes seen as evidence of the city's status as a regional trade centre. An aquatic route which is part
of the larger Silk route, passes through Temasek.
From the 7th to the 13th centuries, the island of Singapore was controlled by the Srivijaya empire
based in Sumatra. By the emergence of Temasek as a fortified city and trading centre in the 14th
century, the Srivijaya empire was in a long period of decline. The city was conquered by the Majapahi t
empire in 1401 and changed hands several times before coming under the influence of the Sultanate of
Malacca in the 15th century. After the fall of Malacca to the Portuguese in 1511, the island came under
the control of the Malay Sultanate of Johor.38

2. Gambaran Umum Singapura


Negara-negara di Asia Tenggara ditinjau dari segi sosiokultural dan perkembangan
Islam, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu negara-negara yang
penduduk muslimnya sedikit, seperti Thailand, Kamboja, Burma, dan Filipina; negaranegera yang mayoritas warga negaranya beragama Islam dan memerhatikan masalah
agama, seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam; dan negara yang
pertumbuhan ekonominya cukup lumayan tetapi negara kurang begitu memerhatikan

37 Linehan, W. The Kings of 14th Century Singapore, dalam T.S.D.M Sheppard (Ed.), Singapore 150
Years, (Singapore: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, (1982), h. 60. Lihat juga Agus Hairi, Islam di
Singapura, http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html, upload Minggu, 26 September 2010.
Akses 4 Oktober 2012. Lihat juga The Great Soviet Encyclopedia, 3rd Edition (1970-1979),
http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/ Tumasik, diakses 11 Oktober 2012.
38 Temasek, http://en.wikipedia.org/wiki/Temasek. Bandingkan dengan Nicholas Tarling (Ed.), The
Cambridge History Of Southeast Asia, Volume One, From Early Times to c.1800, (Cambridge: Cambridge University
Press 1992; Edisi Singapura, 1994), tentang The Early Kingdoms, h. 175-176. Lihat juga Sang Nila Utama,
http://en.wikipedia.org/wiki/ Sang_Nila_Utama.

masalah agama, yaitu Singapura.39 Sesuai dengan sasaran penelitian ini, berikut gambaran
sekilas mengenai negara yang menjadi sasaran penelitian, yaitu Singapura.
Singapura merupakan sebuah negara imigran karena sebagian penduduknya adalah
pendatang. Zaman modern Singapura, yang dulunya disebut Tumasik, seing dihubungkan
dan dimulai sejak Thomas Stamford Raffles dari Inggris mulai menancapkan kekuasaan
perusahaan negaranya, East India Company (EIC) di Singapura pada tahun 1819. C.
M.Turnbull menjelaskan demikian:
Attracted by Singapores historical associations as the probable site of the port of Temasek
(Tumasik), which was destroyed in the late fourteenth century, on 30 January 1819 Raffles signed a
preliminary agreement with the local chieftain permitting the EIC to set up a trading post. Since the
sultanate was disputed by two half brothers, with the Dutch supporting the younger claimant, Raffles
recognized the elder as sultan and signed a treaty with him on 6 February 1819. Raffles immediately
left to negotiate the Aceh treaty, returning briefly in May 1819 with settlers from Penang. In face of
vigorous Dutch protests, the British occupation was not recognized until 1824.40

Selanjutnya, pada tahun 1824, seluruh pulau Singapura berada di bawah kekuasaan
Inggris melalui perjanjian lebih lanjut dimana Sultan dan Temanggong menyerahkannya
kepada British East India Company. Pada 1826, Singapura menjadi bagian dari British
Straits Settlements (Negeri-Negeri Selat di bawah kekuasaan Inggris), kemudian menjadi
ibukotanya pada 1836. Sebelum Raffles tiba, terdapat sekitar 1.000 orang yang tinggal di
Singapura, sebagian besar mereka adalah etnis Melayu, dan beberapa lusin etnis Cina.
Menjelang 1869, karena ada migrasi dari Malaysia dan tempat-tempat lain di Asia,
penduduk Singapura mencapai 100.000 orang. Imigran Cina dan India datang ke
Singapura untuk bekerja, dan keturunan merekalah yang kemudian menambah jumlah
populasi penduduk Singapura.41

Gambar Tenda-Tenda Orang Laut Tanjong Rhu


(Sumber: Karl Hack, The Singapore Malay Community, h. 4.)

Sebelum tahun 1819, sungai-sungai di Singapura telah dihuni oleh berbagai


kelompok masyarakat yang hidup di atas perahu. Mereka disebut Orang Laut. Orang
Laut terutama ditemukan di Sungai Singapura, Sungai Kallang, dan sungai-sungai lain di
Singapura. Di samping itu, ada juga komunitas Orang Laut hidden yang hidup di sekitar
Telok Blangah (sekarang dekat World Trade Centre). Pada tahun 1830-an, Orang Laut di
wilayah ini dikenal sebagai perompak yang sering mengganggu kapal-kapal dagang di
tegah-tengah pertumbuhan pelabuhan yang semakin cepat. Seteah menemukan
Singapura, Orang Laut di sekitar Sungai Singapura menetap di rumah-rumah perahu
39 Shamsul A.B., Convergence of Interest and Sharing a Future: Deepening the Understanding of Islam in
Asia and Europe, ASIEN 100 (Juli 2006), h. 63. Lihat juga Anonim, Perkembangan Islam di Asia Tenggara,
http://irmasgirljpr.blogspot.com/2011/08/ perkembangan-islam-di-asia-tenggara.html, Jumat, 12 Agustus 2011. Diakses
3 Mei 2012.
40 C. M.Turnbull, Raffles, Sir (Thomas) Stamford Bingley (17811826), dalam Ooi Keat Gin (Ed.),
Southeast Asia, A Historical Encyclopedia..., h. 1122.
41 C. M.Turnbull, Raffles, Sir (Thomas) Stamford Bingley (17811826), h. 1122.

10

mereka. Orang Laut Sungai Singapura akhirnya diusir antara tahun 1842-1843, dan
direlokasi di Tanjong Rhu, Telok Blangah, Selat Sinkeh, Pasir Panjang dan di pulahpulau sebelah utara seperti Pulau Brani.42

Gambar Keluarga Orang Laut


(Sumber: Karl Hack, The Singapore Malay Community, h. 4.)

Singapura mencapai kemerdekaannya dan menjadi Republik Singapura pada 9


Agustus 1965. Sebelumnya pada 31 Agustus 1963, Singapura pernah mendeklarasikan
kemerdekaannya dari Inggris, dan bergabung dengan Malaya, Sabah, dan Serawak untuk
membentuk Ferderasi Malaysia sebagai hasil dari Referendum Penyatuan (Merger
Referendum) pada tahun 1962.43 Para pemimpin Singapura memiliki beberapa alasan
untuk bergabung dalam federasi baru ini, antara lain sebagai berikut:
Firstly, as a small country, they did not believe that the British would find it viable for Singapore to
become independent by itself.
Secondly, they also did not believe that Singapore could survive on its own, due to scarcity of land,
water, markets and natural resources.
And lastly, the Singapore government wanted the help of the Malaysian government to flush out the
Communists. 44

Selama dua tahun Singapura menjadi bagian dari Malaysia selalu terjadi
pertentangan. Bangsa Malaysia sangat pro pada masyarakat Melayu sehingga mereka
mendapatkan hak-hak istimewa sebagai Bumiputra. Sementara orang-orang Singapura
menginginkan hak yang sama tanpa membedakan etnisnya. Sebagai bagian dari
Malaysia, ekonomi Singapura juga mengalami kemunduran karena pemblokiran
beberapa macam pembiayaannya. Akibatnya, muncul kerusuhan dan konflik ideologi di
antara dua pemerintahan tersebut. Pada tahun 1965, Parlemen Malaysia akhirnya
memutusnya melalui pemungutan suara untuk mengeluarkan Singapura dari Malaysia.
Hasil pemungutan suara mencapai 100%, yakni 126 lawan 0, menyetujui pemisahan
tersebut. Akhirnya Singapura memperoleh kemerdekaannya menjai Republik Singapura,
tetapi tetap sebagai anggota Commonwealth pada 9 August 1965, dengan Yusof bin
Ishak sebagai Presidennya dan Lee Kuan Yew sebagai Perdana Menterinya.45
Pertambahan jumlah penduduk dilihat dari persentase etnis, penduduk Singapura
relatif stabil sejak pertengahan abad ke-19. Pernah terjadi perubahan demografik yang
cukup signifikan pada awal abad ke-19, yaitu ketika penduduk Cina mulai mengambil
alih komposisi persentase jumlah penduduk sehingga menjadi penduduk mayoritas yang
42 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, versi pdf, Open University,
UK, t.th., h. 3-4.
43 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, h. 4.
44 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, h. 4.
45 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, h. 4.

11

menonjol dibanding etnis Melayu. Pada tahun 1891, jumlah penduduk Cina di Singapura
lebih dari 50 %, yaitu 67.1%, kemudian Melayu 19.7%, India 8.8% dan yang lain-lain.
Etnis dari Eropa dan Arab berjumlah 4.3%. Komposisi penduduk ini berubah signifikan
sensus dilakukan pada tahun 1990. Penduduk Singapura yang berjumlah 2.7 juta orang
terdiri atas mayoritas etnis Cina dengan jumlah 77.7%, etnis Melayu 14.1%, etnis India
7.1 %, dan warga lainnya 1.1%. Pada sensus tahun yang sama, dilihat dari komposisi
keagamaannya, persentasenya sebagai berikut: Penganut Buddha 31.1%; Taoisme 22.4%;
Islam 15.3%; Kristen 12.5%; Hindu 3.7% dan agama lain 0.6% . Sebagaimana di
Indonesia dan Malaysia, etnis Melayu rata-rata memeluk Islam, etnis Melayu identik
dengan Islam, seperti di Jawa Barat, Sunda identik dengan Islam, dan di Singapura,
identitas kemelayuan dapat dikatakan sebagai identitas keislaman. 46
Pada tahun 2006, jumlah penduduk Singapura mencapai 4.131.200 jiwa, dengan
komposisi etnis China sebanyak 79.7%, Melayu 13.9%, India 7.9%, dan etnis lain sekitar
1.5%. Melihat komposisi tersebut, etnis China adalah etnis mayoritas, disusul Melayu
dan India. Etnis Melayu sebagian besar berasal dari imigran Sumatera, Sulawesi,
Bawean, dan lain-lain.
Pada tahun 2008, penduduk Singapura mencapai 4.839.000 jiwa, sekitar 15 % dari
jumlah itu adalah Muslim. Mayoritas kelompok etnik Melayu di Singapura memeluk
Islam. Selain itu, pemeluk Islam meliputi kelompok etnik India dan Pakistan, juga
sejumlah kecil kelompok etnik Cina, Arab, dan Eurasia. Sekitar 17 % dari jumlah
Muslimin Singapura berasal dari kelompok etnik India. Paham keagamaan kaum muslim
di Singapura pada umumnya merupakan muslim Sunni yang mengikuti mazhab Syafii.
Ada sebagian dari mereka yang mengikuti mazhab Hanafi, dan ada juga kelompok
muslim yang mengikuti mazhab Syiah. Sedangkan menurut sensus penduduk tahun 2011,
jumlah penduduk Singapura telah mencapai 5.183.700 jiwa, dan 3.257.000 jiwa adalah
kelahiran Singapura. 47
Pada dasarnya Singapura adalah negara yang bersikap netral terhadap agama.
Negara ini sebenarnya tidak terlalu memerhatikan agama rakyatnya. Akan tetapi,
perkembangan Islam di negara ini tergolong maju dan tidak dapat dikatakan mundur, jika
dibandingkan denan negara-negara tetangganya, seperti Malaysia dan Indonesia.
Hal ini dapat terlihat pada sekolah Agama swastanya yang berjumlah dari TK
sampai dengan SMA-nya sebanyak 21 buah. Suraunya berjumlah 76 buah dan mesjid 40
buah. Beberapa tahun yang lalu, 23 buah mesjid-mesjid telah dirubuhkan karena terdesak
dengn pemodenan kota. Namun 23 mesjid yang menampung 5.830 jamaah yang digusur
itu telah berganti dengan 10 buah mesjid baru yang berdaya tamping 26.000 jamaah,
kemudian dibangun lagi 5 buah mesjid sekitar tahun 1988 yang dapat menampung
15.000 jamaah.
Selain rumah ibadah untuk umat Islam, Masjid, di Singapura juga terdapat rumah
ibadah untuk pemeluk agama yang lain. Kuil Cina (Kelenteng) ada 700 kuil, Pura, rumah
ibadahnpenganut agama Hindu ada 27, dan Gereja Kristen ada 19. Terkait dengan
pembangunan Masjid, cukup menarik untuk disebutkan bahwa hampir seluruh dananya
adalah sumbangan masyarakat yang dikumpulkan oleh The Administation of Muslim
Law Act (AMLA). Wujud organisasi ini diakui oleh Parlemen Singapura sejak tahun
1966, yang sekaligus berarti memberikan kedudukan hukum terhadap adanya institusi
yang sah dalam rangka melaksanakan hukum dan ajaran Islam bagi pemeluknya.

46

Anonim, Sejarah dan Perkembangan Islam di Siangapura, http://www.segenggam-harapan.com/


2012/07/sejarah-dan-perkembangan-islam-di.html
47 Islam in Singapore, http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Singapore.

12

Lembaga ini baru efektif tahun 1968, dengan kewenagannya utamanya menyangkut tiga
lembaga keagamaan Islam, yaitu: 1) Majelis Ugama Islam Singapura (the Islamic
Religious Council of Singapore), 2) Peradilan Syariah (the Syariah Court), dan 3)
Pendaftaran Pernikah Orang-Orang Islam (the Registry of Muslim Marriages). 48
Pengakuan negara atas peran umat Islam tidak terbatas pada kehidupan individu
tetapi juga untuk negara, yaitu melalui lembaga yang menghimpul para ulama Singapura
yang bernama Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS), semacam Majelis Ulama
Indonesia (MUI) di Republik Indonesia. Status legal lembaga ini terdapat dalam
konsituti, yakni Article 153, yang menyatakan:
The Legislature shall by law make provision for regulating Muslim religious
affairs and for constituting a Council to advise the President in matters relating to the
Muslim religion.49
Berdasarkan Article 153 ini, MUIS mempunyai otoritas untuk memberikan nasihat
kepada Presiden Singapura dalam masalah-masalah Islam dan umatnya.
Fenomena menarik lainnya adalah pertumbuhan organisasi-organisasi Islam di
negara yang dianggap sekular ini. Dengan semakian bertambah organisasi-organisasi
Islam, kegiatan keagamaan Islam semakin terorganisir, misalnya dakwah yang dilakukan
dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, khususna teknologi informasi, baik melalui
media audio-visual maupun media cetak, dan sarana lainnya seperti internet. Di antara
organisasi-organisasi keagamaan Islam di Singapura adalah sebagai berikut:
1. Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS)
2. Majelis Pendidikan Anak-Anak Islam (MENDAKI)
3. Lembaga Beasiswa Kenangan Maulid (LBKM)
4. Persatuan Seruan Islam Singapura (IAMIYAY)
5. Persatuan Guru-Guru Agama Singapura (PERGAS)
6. Persatuan Muhammadiyah
7. Persatuan Pelajar-Pelajar Agama Dewasa Singapura (PERDAUS)
8. Persatuan Taman Pengajian Islam Singapura (PERTAPIS)
9. Darul Arqam
10. Himpunan Belia Islam (HBI)
11. Persatuan Pemudi Islam Singapura (PPIS)
12. Persatuan Muslim Singapura (PERMUSI )
13. Tamil Muslim Jemaah Singapura.50
Sejarah Singapura, yang nama awalnya Tumasik, terus mengalami pergantian
penguasa atas daerah ini, mulai Sriwijaya, Majapahit, Malaka, dan Johor, sampai dengan
beberapa kesultanan di Nusantara saat ini. Klaim terhadap wilayah Tumasik di Nusantara
antara lain muncul dari tiga kerajaan, yaitu Kerajaan Samu-Samu di Maluku, Kerajaan
Luwuk di Sulawesi Selatan, dan Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Menurut mereka,
Singapura merupakan bagian dari wilayah Nusantara berdasarkan dokumen yang terkait
dengan wilayah tersebut. Dokumen itu masih tersimpan rapi di Banten. Raja Samu-Samu
VI dari Maluku mengatakan, "Dokumen tentang Singapura itu masih ada di Banten",
seperti disampaikannya dalam acara Dialog Budaya Nusantara di Jakarta pada Kamis,
12 Januari 2012. Ia mewakili tujuh kerajaan di Nusantara, yang hadir dalam acara
tersebut yang mengusung tema "Menghidupkan Kembali Nilai-nilai Luhur Budaya
Bangsa Menuju Nusantara Jaya".51
48 Islam in Singapore, http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Singapore.
49 Islam in Singapore, http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Singapore.
50 Islam in Singapore, http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Singapore.

13

Sejarah panjang Singapura yang selalu berganti penguasa, hingga sekarang secara
de facto, dan bahkan de jure, merupakan bagi dari kekuasaan yang lebih besar,
Commonwealth, negara-negara persemakmuran Inggris, antara lain bersama Malaysia
dan Australia.
C. TUMASIK: SINGAPURA ISLAM TEMPO DULU
1. Kedatangan Islam di Singapura
Masuknya Islam ke Singapura terkait dengan proses kedatangan Islam di Asia
Tenggara. Tentang proses kedatangan Islam di Asia Tenggara, para ahli sejarah berbeda
pendapat mengenai kapan dan dari mana datangnya. Kajian mengenai teori kedatangan
Islam di Asia Tenggara telah banyak dilakukan, baik teori-teorinya mapun tinjauan kritis
atas teori-teori tersebut. Oleh karena itu, penjelasan mengenai hal ini disajikan secara
ringkas berdasarkan salah satu tinjauan yang pernah ada.52 Berikut ini teori Islamisasi di
Asia Tenggara.
a.
Teori pertama, Teori Arab, menyebutkan bahwa Islam datang ke Asia Tenggara
langsung dari Arab, tepatnya dari Hadramaut. Menurut teori ini, Islam masuk ke Asia
Tenggara sejak masa abad pertama Hijriah atau abad ke-7 dan abad ke-8 Masehi.
Proses masuknya Islam pada masa ini, ditandai dengan dominasi pedagang Arab
dalam perdagangan Barat-Timur. Teori ini didukung dengan fakta dari sumber-sumber
Cina yang menyebutkan bahwa menjelang abad ke-7 M, ada seorang pedagang Arab
yang menjadi pemimpin pada sebuah pemukiman muslim Arab di pesisir pantai
Sumatera. 53
Crawfurd mendukung teori ini, meskipun ia tetap mempertimbangkan adanya
peranan kaum Muslimin yang berasal dari pantai timur India, orang-orang
Mohammedan di India Timur. Sementara Kaijzer berpendapat bahwa Islam di Asia
Tenggara memang berasal dari Timur Tengah, tetapi lebih tepatnya berasal dari Mesir,
karena Muslim di Asia Tenggara khususnya di Nusantara mayoritas bermazhab Syafii
yang sama dengan Mesir. Niemann dan de Hollander sedikit merevisi pandagan
Keijzer tersebut, dengan menyatakan bahwa sumber Islam di Nusantara berasal dari
Hadramaut. Sedangkan Veth hanya menyebut orang-orang Arab, tanpa
mengungkapkan lebih dalam apakah dari Hadramaut, Mesir, atau India.
Teori ini juga dipegang kuat oleh Hamka, yang mengatakan bahwa meskipun
terdapat peran Persia maupun India, tetapi Islam pertama kali masuk di Asia Tenggara
dibawa langsung oleh Muslim Arab. Begitu juga dengan Al-Attas yang menegaskan
bahwa Islam masuk Asia Tenggara dibawa langsung oleh Muslim Arab. Hal ini dapat
dibuktikan dengan apa yang disebutnya sebagai Teori umum tentang Islamisasi
Nusantara, yang harus didasarkan pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan

51

Feril Nawali, Tujuh Kerajaan di Indonesia Klaim Singapura Masuk Wilayah Nusantara,
http://www.rmol.co/read/2012/01/12/51797/Tujuh-Kerajaan-di-Indonesia--Klaim-Singapura-Masuk-WilayahNusantara-, Kamis, 12 Januari 2012.
52 Penjelasan mengenai teori kedatangan Islam di Asia Tenggara sepenuhnya diolah dari, termasuk
sumbernya, yang dirujuk pada catatan dalam, Boharudin, Kedatangan Islam dan Islamisasi di Asia Tenggara
http://boharudin.blogspot.com/2011/04/kedatangan-islam-dan-islamisasi-di-asia.html, Kamis, 21 April 2011, diakses 3
Mei 2012. Akan tetapi teori-teori yang dikemukakannya dikonfirmasi lagi dengan merujuk kepada Azyumardi Azra,
Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 31-34. Tambahan pula sebagai rujukan, Syamsuddin Arif, Islam di Nusantara:
Historiografi dan Metodologi, Islamia, Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, VII(2), 2012, h. 13-25.
53 Dari Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 6 (Catatan No. 4 dalam Baharudin,
Kedatangan Islam...). Lihat juga Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 31.

14

b.

c.

d.

sejarah Pandangan-Dunia Melayu sebagaimana yang terlihat pada perubahan konsep


dan istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada abad ke-10 sampai ke-11 M.
Menurutnya, setelah Islam datang, telah terjadi pergesaran Pandangan Dunia-Melayu.
Begitu pula sebelum abad ke-17 M, seluruh literatur Islam yang relevan tentang
keagamaan di Asia Tenggara, justru berasal dari nama-nama Arab, bukan dari Muslim
India. Bahkan nama-nama dan gelar-gelar yang dibawa oleh para pembawa Islam ke
Asia Tenggara adalah Muslim Arab-Persia.
Teori kedua, Teori India yang dikemukakan oleh beberapa ahli dari Belanda, di
antaranya Pijnappel (1872), yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara datang dari
India, tepatnya Gujarat, sehingga teori ini lebih dikenal dengan Teori Gujarat.
Menurutnya, asal mula Islam menjalin kontak dengan Asia Tenggara berangkat dari
wilayah Gujarat dan Malabar. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan
perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Batuta, ia menyatakan bahwa orang-orang
Arab yang bermahzab Syafii, setelah berimigrasi dan menetap di wilayah Gujarat
dan Malabar di India, kemudian membawa Islam ke Nusantara. Dalam pandangan
Pijnappel, kontak paling awal tersebut adalah melalui kontak perdagangan. Ia
meyakini bahwa melalui perdagangan sangat dimungkinkan terjadinya hubungan
antara Islam dan Asia Tenggara, bahkan menurutnya istilah-istilah Persia dari India
digunakan dalam bahasa masyarakat di kota-kota pelabuhan.54
Teori ini dipertegas oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa ketika
komunitas Muslim Arab sudah mapan di beberapa kota di pelabuhan Anak Benua
India, maka mereka masuk ke wilayah Melayu-Nusantara sebagai penyebar agama
Islam pertama. Ia menyebut kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa
Islam ke Nusantara. Setelah itu barulah orang-orang Arab, terutama yang
menisbahkan dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad, yaitu dengan memakai
gelar Sayyid dan Syarif, yang menjalankan dan menyelesaikan proses dakwah Islam,
baik sebagai ustaz maupun sebagai Sultan. Morrison, pada 1951, memastikan India
sebagai tempat asal Islam di Nusantara. Pantai Koromandel disebutnya sebagai tempat
bertolaknya para pedagang Muslim menuju Nusantara. 55
Teori ketiga, adalah Teori Bengal, disampaikan oleh Q. Qadarullah Fatimi yang
memberikan kesimpulan bahwa Islam masuk ke Asia Tenggara atau Nusantara
melalui Bengal (Banglades). Menurutnya, Islam datang pertama kali di sekitar abad
ke-8 H (ke-14 M). Kesimpulan ini ia ambil berdasarkan keterangan Tome Pires yang
menyatakan bahwa mayoritas orang terkemuka di Pasai adalah orang Bengali atau
keturunan mereka. Islam muncul pertama kali pada abad ke-11 di Semenajung Malaya
adalah dari arah pantai timur, bukan barat (Malaka), yaitu melalui Kanton, Phanrang
(Vietnam), Leran dan Trengganu. Selain itu, beberapa prasati yang ditemukan di
Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ada di Leran Jawa Timur.56
Teori keempat, Teori Persia menyatakan bahwa para pedagang Persialah yang
membawa Islam ke Asia Tenggara. Teori ini didukung oleh data yang kuat mengenai
pelayaran orang-orang Persia ke India dan melalui wilayah Asia Tenggara menuju
Cina. Menurut berita Cina, Yuan-Tchao yang menulis Tcheng-yuan-sin-ting-che-kiaomou-lou pada abad ke-99, mencatat bahwa sekitar 35 kapal dari Persia telah berlabuh
di Palembang pada tahun 99 H (717 M).57
54 Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 32.

55 Dari Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 3 (Catatan No. 3 dalam Boharudin,
Kedatangan Islam...). Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 32.
56 Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 32.

15

e.

Teori kelima mengatakan bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara didorong


oleh pertarungan antara Islam dan Kristen untuk mendapat pengikut atau penganut
masing-masing agama. Teori ini dikemukakan oleh Schrieke. Ia berpandangan bahwa,
pada kenyataannya, ekspansi yang dilakukan oleh bangsa Portugis, yang kemudian
menjadi upaya kolonialisasi, merupakan sebuah kelanjutan dari mata rantai Perang
Salib di Eropa dan Timur Tengah. Menurutnya, petualangan dan pelayaran yang
dilakukan oleh bangsa Portugis ke Asia merupakan ambisi dan keinginannya untuk
mencapai sebuah kehormatan yang dikombinasikan dengan semangat keagamaan.
Setelah mereka mampu mengusir kaum Moors (Muslim) dari Semenanjung Iberia,
lalu menaklukan beberapa wilayah di sepanjang pesisir barat Afrika hingga sampai
mengelilingi Tanjung Harapan, Afrika Selatan, maka kemudian mereka merenuskan
kolonialisasi di Asia Tenggara. 58
Pendapat Schrieke diperkuat oleh Reid yang mengatakan bahwa pada paruh abad
ke-15 dan ke-17 telah terjadi peningkatan dan penguatan polarisasi serta
eksklusivisme agama, terutama agama Islam dan Kristen. Namun teori ini mendapat
kritik dari Naquib Al-Attas yang cukup keras. Menurutnnya, Kristen sebagai Agama,
bukanlah alasan yang cukup penting untuk menunjukan penyebaran Islam di Asia
Tenggara. Karena, bagi Al-Attas Kristen muncul dan mendapat pengaruhnya
dinusantara ketika abad ke-19. Penolakan Al-Attas ini wajar, karena ia bersiteguh
bahwa Islam tersebar di Asia Tenggara sejak abad ke-1 H atau abad ke-7 M. 59
Dalam konteks Islamisasi di Asia Tenggara, Tumasik (Singapura dulu) menempati
posisi yang strategis di selat Malaka. Posisi strategis yang merupakan nilai lebih yang
dimiliki Singapura menjadikannya sebagai transit perdagangan dari berbagai kawasan.
Pada sisi lain, selain sebagai transit perdagangan letaknya yang strategis juga telah
memungkinnya menjadi pusat informasi dan komunikasi dakwah Islam, baik pada masa
kesultanan Malaka (sebelum kedatangan kolonial Eropa), maka kolonial, sampai pada
awal abad ke-20. Peran penting tersebut segera berakhir tatkala Singapura memisahkan
diri dari negara federasi Malaysia, umat Islam menjadi minoritas, selanjutnya komunitas
muslim yang sebagian besar adalah bangsa melayu menempati posisi kelas dua di bawah
etnis Cina. Pada perkembangan selanjutnya, Islam di Singapura disebarkan oleh para
ulama dari berbagai belahan Asia Tenggara dan Anak Benua India, seperti Syaikh Khatib
al-Minangkabawi, Syaikh Ahmad Aminudin, Syaikh Habib Ali Habsi. 60
Berdasarkan teori-teori Islamisasi di atas, dapat dipastikan bahwa para pedagang
Muslim dari Arab dan Persia, khususnya, yang melakukan pelayaran ke Selata Malaka
antara abad ke-8 sampa abad ke-11 M, juga telah mengunjungi dan singgah di Tumasik.
Sebab, Tumasik masa itu telah menjadi kota pelabuhan penting yang diperebutkan oleh
57 Syamsuddin Arif, Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi, h. 17. Lihat juga Azyumardi Azra,
Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 32, yang menyebutkan pandangan Pijnappel bahwa masyarakat di kota-kota
pelabuhan di Nusantara telah umum menggunakan istilah-istilah Persia, walaupun telah melalui India terlebih dahulu.
58 Dari Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah...,h. 13 (Catatan No. 5 dalam Baharudin,
Kedatangan Islam...). Teori ini lebih merupakan Teori Konversi atau teori perpindahan agama masayarakat Asia
Tenggara kepada Islam. Tentang konversi masyarakat Asia Tenggara kepada Islam, lihat Azyumardi Azra, Renaisans
Islam Asia Tenggara..., h. 37-39.
59 Sampai dengan paragraf ini diolah dari Boharudin, Kedatangan Islam... dengan merujuk kembali pada
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., khususnya h. 31-34 dan 36-39, dengan perubahan paragraf dan
penambahan data dan informasi, antara lain dari Syamsuddin Arif, Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi,
Islamia, Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, VII(2), 2012, h. 13-25. Paragraf ini dari Catatan No. 6 dalam
Boharudin, Kedatangan Islam..., bersumber dari Helmiaty, dkk., Sejarah Islam Asia Tenggara, Pekanbaru: Institute
for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau bekerjasama dengan Alat Riau, 2006), h. 17-27.
60 Agus Hairi, Islam di Singapura, http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html, Minggu,
26 September 2010. Akses 4 Oktober 2012.

16

Sriwijaya dan Majapahit sebagaimana dijelaskan di atas. Akan tetapi, tentang kedatangan
Islam di Tumasik secara khusus, ada beberapa pendapat yang dapat disebutkan, yaitu:
a. Menurut Azmi, Islam telah datang sejak abad pertama Hijriah, karena pada
pertengahan abad tersebut, orang Arab Islam telah sampai ke gugusan kepulauan
Melayu dan bersamaan dengan itu mereka melakukan dakwah Islam.
b. Menurut Fatimi, sekitar abad ke-8 H (14 M). Pendapat ini berpegang pada penemuan
batu bersurat di Trengganu yang bertanggal 702 H (1302 M).
c. Menurut Majul, abad ke-15 atau 16 M. Pendapat ini tidak dapat diterima sebab ada
juga bukti bahwa Islam sudah masuk sebelum itu (abad ke-8 H/14 M), bahkan sejak
abad pertama Hijriah (7 M), yaitu dengan ditemukannya batu nisan di Tanjung Inggris
Kedah tahun 1965.61
Perbedaan semacam ini selalu terjadi karena seringkali para ahli tersebut
melihatnya dari perspektif yang berbeda-beda atau dari jalur masuknya yang berbeda.
Ketika jalur perdagangan mengikuti jalur yang masuk ke Asia Tenggara menyusuri pantai
barat Aceh, yaitu melalui Barus, di Sumatera Utara sekarang, maka jalur pelayaran
berikutnya akan sampai ke Selat Sunda dan pantai selatan Pulau Jawa. Akan tetapi jika
jalur perdagangan ini memasuki Selat Malaka, maka dapat dipastikan bahwa kapal-kapal
dagang itu akan singgah di Tumasik sebelum meneruskan pelayaran ke wilayah lain,
khususnya yang menuju Cina. Jalur pelayarannya menyusuri pantai timur Sumatera,
melewati Malaka, Tumasik, Banten, dan Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa. Oleh karena
itu, tidak dapat pula dipastikan kapan Islam masuk ke Singapura. Hanya saja, mengingat
aktivitas perdagangan di Tumasik cukup ramai dan berdasarkan sumber di atas bahwa
Tumasik juga merupakan kota dagang yang besar pada saat itu, kuat dugaan bahwa
komunitas Muslim telah tumbuh di sana antara abad ke-8 dan ke-11 M.
Sebagaimana disebutkan di atas, Singapura (dulu Tumasik) sendiri menempati
posisi yang strategis dan karenanya mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam
di Asia Tenggara. Sejak masa kuno, Tumasik telah menjadi kota pelabuhan yang ramai
disinggahi kapal-kapal para pedagang dari berbagai belahan dunia, India, Persia, Arab,
dan termasuk Eropa. 62 Bahkan sejak pertengahan abad ke-19 sampai dengan awal abad
ke-20, Singapura menjadi pusat informasi dan komunikasi dakwah Islam, melaui
produksi, reproduksi, dan distribusi kitab-kitab cetak keagamaan, dari dari wilayah Asia
Tenggara maupun Timur Tengah dan Eropa.63
Terkait dengan rute perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara tersetbut, dalam
An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE, Geoff Wade menjelaskan
sebagai berikut:
The burgeoning of Islamic trade to Southeast Asia and southern China let us now turn our view
westward. Andr Wink argues that the eighth to eleventh centuries constituted a period of expansion of
Muslim (Arab and Persian) commerce on all major routes in the Indian Ocean, turning the Indian
Ocean into an Arab Mediterranean, but suggesting that the Islamic influence during this period was
essentially of a commercial nature. Initially settling in Konkan and Gujarat, the Persians and Arabs
extended their trading bases and settlements to southern India and Sri Lanka by the eighth century, and
to the Tamil lands of the Coromandel Coast by the ninth century, with the trade route extending to
Guang-zhou in southern China. The tenth century saw the development of further trade linkages
between the Middle East and Southeast Asia through these ports of the Indian subcontinent, with Arabs,
Persians and Jews trading along these routes.

61 Agus Hairi, Islam di Singapura http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html, Minggu,


26 September 2010. Akses 4 Oktober 2012.
62 Geoff Wade, An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE, h. 231-233.
63 Sugahara Yumi, Publications of Kitabs..., h. 9.

17

One of the few named tenth-century Jewish traders was Ishaq ibn Yahuda, a merchant from Sohar in
Oman, who is mentioned by Buzurg ibn Shahriyar, in his Kitab Ajaib al-Hind (Book of the wonders
of India, c. 950 CE), as having travelled to China from Sohar between the years 882 and 912, returning
to Oman with great wealth. He then departed for China again but was killed en route in Sumatra.
George Hourani notes that this route must have grown in importance in the tenth century, when Egypt
was gradually replacing Mesopotamia as the center of population and wealth in the Islamic world....
Muslim merchants established convoy merchant fleets (Karim) for trading to the Indian Ocean and
beyond, and the new Fatimid caliphate provided armed escorts for these fleets. The increased security
and thus growth of the merchant participants in this endeavour the so-called Karimis meant that the
convoy system extended further through the Arab lands and that trade between this region and the
Indian Ocean increased. At the same time, there is much evidence of a growth in Islamic connections
between China and Southeast Asia. Chinese texts of the tenth century record the arrival at the northern
Song court (at Kai-feng) of missions from Da-shi (the Arab lands), the Cola empire, Zabaj=Zabag
(likely Srivijaya) and Champa, all comprising envoys who bore names which can be reconstructed as
being Islamic. These arrivals reflect the great maritime trade route which connected the Arab lands with
China, passing through southern India, Zabaj=Srivijaya in Sumatra, and Champa in what is today
central Vietnam. Arab texts also provide us with details of the Southeast Asian ports visited by Middle
Eastern traders during this period. Claudine Salmon has detailed the trade of Arabs and Persians to
China through the ports of India and Southeast Asia. Some evidence of Jewish traders in Indian Ocean
trade, extending to Southeast Asia, over the eleventh to thirteenth centuries can be gleaned from the
letters found in the Cairo Geniza and translated by S.D. Goitein.64

Kutipan panjang di atas antara lain menjelasakan bahwa sejak abad ke-8 sampai
dengan ke-11 M, para pedagang Muslim dari Arab dan Persia telah menempuh pelayaran
sampai ke Samudera India. Bangsa India dan Arab mengembangkan basis-basis
perdagangan dan pemukiman mereka di sebelah selatan India, Sri Langka, dan Pantai
Coromandel, melalui basis mereka di Konkan dan Gujarat. Selanjutnya meraka terus
mengembangkan perdagangannya sampai ke Guang-zhou di Cina selatan. Abad ke-10 M
merupakan perkembangan lebih lanjut dari hubungan dagang antara Timur Tengah
dengan Asia Tenggara, melalui pelabuhan-pelabuhan di Anak Benua India.
Perlu dicatat bahwa Geoff Wade menyertakan catatan perjalanan dari sumber Arab
dan sumber Cina yang relatif kurang dimanfaatkan dalam mengkaji Islam di Asia
Tenggara, dan khususnya dalam kaitannya dengan Timur Tengah. Ia menyebutkan dan
mengutip Kitab Ajaib al-Hind- nya Buzurg ibn Shahriyar (Kitab tentang KeindahanKeindahan India, ditulis 950 M). Buzurg ibn Shahriyar telah melakukan perjalanan dari
Sohar65 ke China pada tahun 882 dan 912 dengan mengarungi Samudera India dan
tempat-tempat lain sesudahnya di bagian timur dan tenggara India, dengan fasilitas yang
disediakan oleh Khalifah dari Dinasti Fatimiyah di Kairo, Mesir. Sumber Arab juga
menginformasikan secara detail pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara yang disinggahi
para pedagang Timur Tengah.
Sementara sumber Cina yang dikutip antara lain menyebutkan kedatangan para
pendakwah dari Da-shi (tanah Arab) ke sebelah utara benteng Song di Kaifeng, juga dari
Kerajaan Cola, Zabaj=Zabag (diduga Sriwijaya) dan Champa. Kedatangan mereka
menunjukkan rute perdagangan maritim yang besar yang menghubungkan tanah Arab
dengan Cina, dengan melewati India bagian selatan, Zabaj=Sriwijaya di Sumatera, dan
Champa yang sekarang berada di Vietnam pusat. Demikian juga Claudin Salmon yang
merinci secara lebih detail tentang perdagangang bangsa Arab dan Persia dengan Cina
Melalui pelabuhan-pelabuhan di India dan Asia Tenggara.
64 Geoff Wade, An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE, h. 231-233.

65

Nama sebuah pelabuhan di Oman. Sohat terletak sekitar 200 km (124 mil) sebelah utara of Muscat, ibu
kota Oman, lihat Sohar, http://en.wikipedia.org/wiki/Sohar, Diakses 5 Desember 2012.

18

2. Tumasik Islam: Singapura Tempo Dulu


Pada pembahasan sebelumnya telah bahwa pada abad ke-13 dan ke-14 M, atau
sebelum itu pada masa Sriwijaya, Tumasik telah menjadi kota perdagangan yang cukup
besar di Semenanjung Malaya. Kota ini juga disebut sebagai Kota Laut (Sea Town).
Posisinya yang sangat strategis di ujung Semenanjung Malaya, bukan hanya menjadikan
Tumasik menggiurkan untuk dikuasai, tetapi dengan sendirinya juga ia merupakan salah
satu pelabuhan penting di Asia Tenggara dalam jaringan perdagangan internasional masa
itu. 66 Para pedagang Muslim dari Arab dan Persia telah menempuh pelayaran sampai ke
Samudera India jauh sebelum masa itu, antara lain pada abad ke-8 M. Melalui salah satu
basis pelayaran mereka di Gujarat atau India, mereka meneruskan perjalanan dagangnya
sampai ke ke Guang-zhou, Cina. Perkembangan pesat perdagangan Muslim di kawasan
Asia Tenggara semakin terlihat sejak abad ke-10 M.67
Sebelum masa Islam, hegemoni perdagangan di sekitar selat Malaka, termasuk
Tumasik, dan kemudian Singapura, dipegang oleh Sriwijaya. Dalam An Early Age of
Commerce in Southeast Asia, Geoff Wade menjelaskan kondisi tersebut:
In some ways, the ports on Sumatra and on the peninsular side of the Straits of Malacca can be
seen as having long been maritime trade polities par excellence. They appear to have grown out of and
thrived through maritime trade, from the early period when the Kedah and mid-coast Sumatran ports
(Po-luo-suo and Gan-Tuo-li) dominated, to the heyday of Srivijaya and through the years of Temasik,
Melaka and later Singapore.
During the period we are examining 900 to 1300 CE the Chinese note the existence of a
polity they knew by the name of San-fo-qi (likely a rendering of the Arabic term Zabaj) and previously
was known as Shi-li-fo-shi (frequently rendered as Srivijaya), in southern Sumatra... Pierre-Yves
Manguin has detailed ninth-century Guang-dong ceramics (and later Chang-sha wares) excavated in the
Srivijayan centre of Palembang, suggesting that this Sumatran port was already a node in long-distance
trade networks at the beginnings of the Early Age of Commerce.... 68

Dari kutipan ini, dapat dipahami bahwa hegemoni Sriwijaya atas pelabuhanpelabuhan penting di Semenanjung Malaya. Hubungan dagang Sriwijaya tidak terbatas
dengan para pedagang dari Timur Tengah, tetapi juga sampai ke Cina. Seperti dijelaskan
dala kutipan di atas, hasil eskapasi (penggalian arkeologis) di pusat kekuasaan Sriwijaya
di Palembang ditemukan kerami-keramik Cina abad ke-9 M dari Guang-dong. Kenyataan
tersebut memperlihatkan jaringan perdagangan Sriwijaya yang sangat luas. Pada saat itu,
kontrol Sriwijaya atas wilayah-wilayah pinggiran yang dikuasainya cukup ketat sehingga
membuat kerajaan ini semakin kaya dan sejahtera berkat perdagangan internasionalnya. 69
Tumasik menjadi salah satu pelabuhan yang dilalui para pedangan yang menyusuri Selat
Malaka menuju Cina. Tumasik, dengan demikian, tidak diragukan lagi telah disinggahi
oleh para pedagang Muslim, terutama dari Arab dan Persia yang menjalin hubungan
dagang dengan Sriwijaya.
Di sepanjang jalur perdagangan ini, Tumasik yang berada di jalur Malaka-Cina
merupakan tempat strategis dan menguntungkan bagi para pedagang untuk beristirahat,
dan bahkan menempuh kehidupan baru. Pada abad ke-9 M, di setiap pelabuhan di
sepanjang rute perdagangan dari Malaka ke Cina, hampir dapat dipastikan ditemukan
sekelompok kecil pedagang Islam. Ketika dominasi Sriwijaya mulai lemah menjelang
66 John N. Miksic, Temasek (Tumasik), h. 1311, juga h. 822, dan h. 868, dan lihat Rose Liang, Change
and Continuity in the Culture of Singapores Primary School Teachers..., h. 66-67. Bandingkan antara kedua sumber
ini.
67 Geoff Wade, An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE, h. 231-232.
68 Geoff Wade, An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE, h. 252.
69 Geoff Wade, An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE, h. 253.

19

penghujung abad ke-13 M, hegemoni perdagangan di Selat Malaka mulai pindah ke


Kesultanan Malaka yang baru tumbuh. 70
Pada abad ke-12 sampai dengan abad ke-14, Kedah dan Tumasik merupakan
pelabuhan-pelabuhan penting di Semenanjung Malaya. Kedah pernah disebut sebagai
salah satu pusat aktivitas komersial pada abad ke-12 dan ke-13 M. Di daerah ini
ditemukan bukti-bukti arkeologis berupa candi-candi, gelas-gelas kaca dari Timur
Tengah, barang-barang pecah belah (glassware) dan manik-manik atau tasbih (beads)
import yang menghubungkan situs ini dengan Cina, India, dan Timur Tengah. Lonjakan
aktivitas komensial di Semenanjung ini terus berlanjut hingga akhir abad ke-13 M, dan
pada abad ke-14 M, aktivitas perdagagan yang masih ada terkonsentrasi di Tumasik,
dalam fase yang sama sekali berbeda terkait dengan pelabuhan pintu masuk bagi
peradaban Semenanjung.71
Konsentrasi jalur perdagangan di Tumasik pada abad ke-14 M bersamaan dengan
kemunculan Malaka sebagai salah satu kekuatan politik dan perdagangan. Dalam The
Cambridge History Of Southeast Asia, dijelaskan asal mula kemunculannya sejak
Parameswara melarikan diri ke Tumasik karena serangan Majapahit, kemudian pindah
lagi ke Malaka karena tekanan Siam, sebagai berikut:
The founder of Melaka, a Malay prince known as Paramesvara, first appears as a vassal of
Majapahit at Palembang. In the 1390s he sought to escape Javanese overlordship by shifting to Tumasik
(modern Singapore); recent archaeological work in Singapore reveals the late fourteenth century as an
especially prosperous time for commercial activity. Tumasik, however, was too exposed to Ayutthaya,
and Siamese pressure forced Paramesvara to shift to Melaka, where he presided over a rebirth of Malay
political authority under the protection of the Chinese. Paramesvara's close relations with China were
the key to his success in competing with Ayutthaya for space on the Malay peninsula.72

Dengan proteksi Cina, Malaka dengan cepat dapat berkembang sebagai versi baru
dari model Sriwijaya sebagai pintu masuk perdagangan di Semenanjung Malaya.
Kemudian Malaka mengukuhkan supremasinya atas pelabuhan-pelabuhan lain di
Semenanjung Malaya dan pantai utara Sumatera, sebagaimana dijelaskan dalam The
Cambridge History of Southeast Asia demikian:
Melaka established its supremacy over other centres of Malay authority along the coasts of the
peninsula and the northeastern coast of Sumatra, thereby guaranteeing control of all trade passing
through the straits. Firm relationships were developed with Gujerati and Tamil merchants having access
to Western markets and with the north Javanese ports that enjoyed access to Maluku (the Moluccas), the
spice islands to the east. For the next century, Melaka was the central entrepot for trade in and through
Southeast Asia.73

Perkembangan Islam di Selat Malaka dan sekitarnya semakin insentif dan


mengalami kemajuan yang pesat di bawah kekuasaan Kesultanan Melaka. Islam
kemudian tersebar ke wilayah-wilayah kekuasaannya, mulai Pahang, Trengganu,
Kelantan, Selat Malaka, Rokan, Kampar, Siak, Riau-Lingga dan Indragiri. 74 Selama abad
ke-15 M, Islam telah dianut oleh para penguasa (sultan-sultan) Malaka. Dari sini
kemudian Islam menyebar ke bagian-bagian lain di wilayah ini. Berdirinya Malaka dan
70 M. Haritsyah. Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara), dalam http://m-haritsyah.blogspot.com/
2012/07/islam-di-singapura-studi-islam-asia.html, Selasa, 03 Juli 2012. Lihat juga Geoff Wade, An Early Age of
Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE, h. 254.
71 Geoff Wade, An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE, h. 258.
72 Nicholas Tarling (Ed.), The Cambridge History Of Southeast Asia, Volume One..., h. 175.
73 Nicholas Tarling (Ed.), The Cambridge History Of Southeast Asia, Volume One..., h. 175.
74 M. Haritsyah. Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara), 03 Juli 2012.

20

kemunculan Islam menandai dimulainya sejarah Melayu sebagaimana sebagaimana pada


abad-abad sebelumnya mereka telah memainkan perannya dalam kerangkan hubungan
dangan dengan bangsa-bangsa lain, seperti Arab, Persia, India, dan Cina. Dari perspektif
historiografi Islam, banyak dijumpai berbagai kisah dan riwayat tentang orang-orang
Melayu pada masa-masa itu, tetapi keberadaan mereka sebelum Islam kurang mendapat
perhatian. Sementara catatan sejarah mengenai Melayu, seperti dalam sumber Cina dan
Arab, maupun sumber arkeologis, sebagai ingatan kolaktif masyarakat, dapat dimulai
dengan Malaka. Ini merupakan bukti yang memungkinkan kita untuk mengatakan
bahwa Malaka merupakan versi baru tradisi yang sangat kuno dari perilaku para
penguasa Melayu, sebuah tradisi tentang bagaimana memusatkan berbagai keuntungan
yang dapat diperoleh dari perdagangan.75
Sejak kemunculannya di Selat Malaka setidaknya sejak abad ke-14, Malaka terus
berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara, hingga
mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477).
Untuk meperkuat armadanya, Malaka banyak memiliki tentara bayaran yang berasal
dari Jawa. Selama tinggal di Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika
mereka kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses
penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa,
Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan).76
Perkembangan Malaka yang begitu pesat dalam kurun waktu yang relatif singkat
merupakan fakta sejarah yang mengagumkan untuk konteks masanya. Dalam waktu yang
tidak terlalu lama sejak lemahnya hegemoni Sriwijaya menjelang akhir abad ke-19 M,
dan setelah melalui satu atau dua generasi, Malaka telah tumbuh menjadi wilayah
perdagangan internasional, di samping sebagai tempat terpenting penyebaran agama
Islam. Wilayah ini mengalami apa yang disebut Geoff Wade the booming trade
(ledakan perdagangan dan menjadi sebuah pelabuhan yang terpenting di Semenanjung
Malaya pada abad ke-15. Selain sebagai salah pusat pusat perdagangan internasional di
kawasan Asia Tenggara, Malaka juga merupakan pintu masuk utama daengan pelabuhanpelabuhan penting di sekitarnya yang menjadi tempat transit para pedagang yang akan
menuju negeri-negeri penghasil rempah di kawasan timur Nusantara. Oleh karena itu,
menurut Duarte Barbosa, sebagaimana dikemukakan M. Haritsyah, untuk menguasai
dunia, Malaka harus dikuasai, seperti terlihat dalam ucapannya: He who is lord of
Malacca has his hand on the throat of Venice (Siapa yang menguasai Melaka, ia dapat
menguasai perdagangan dunia").77
Keterlibatan para pedagang Muslim dalam perdagangan internasional pada abadabad ke-8 sampae ke-16 M, baik ketika Sriwijaya mendominasi wilayah Semenanjung
Malaya sampai menjelang akhir abad ke-13, maupun pada masa Kesultanan Malaka
sampai awal abad ke-16 (1511 M), tidak hanya dalam kepentingan komersial, tetapi juga
dalam politik dan diplomasi. Keterlibatan ini mengasosiasikan Islam dengan power
atau kekuasaan. Gambaran mengenai hal ini terlihat dalam kemunculan kerajaankerajaan Islam di berbagai wilayah pesisir, seperti Samudera Pasai, Malaka, Aceh,
Demak, Johor, Ternate, Goa, dan lain-lain. Kemunculan kerajaan-kerajaan ini jelas
didukung faktor rapid commercializarion saat itu, atau apa yang disebut Geoff Wade
dalam An Early Age of Commerce in Southeast Asia sebagai the burgeoning of
Islamic trade,78 pada gilirannya membantu menciptakan citra bahwa Islam itu kuat
75 Nicholas Tarling (Ed.), The Cambridge History Of Southeast Asia, Volume One..., h. 176.
76 M. Haritsyah. Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara), 03 Juli 2012.
77 M. Haritsyah. Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara), 03 Juli 2012.
78 Geoff Wade, An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE, h. 231.

21

(powerful), baik secara spiritual, ekonomi, politik maupun militer. Oleh karena itu,
menjadi Islam pada saat itu sangat prestisius.79
Dalam konteks perdagangan internasional itulah, para pedagang dan orang-orang
yang singgah dan berdagang di Tumasik, sebagian mareka menetap dan bahkan menikahi
wanita-wanita setempat. Kota pelabuhan itu semakin ramai oleh penduduk baru yang
merupakan generasi selanjutnya yang lahir dari pernikahan tersebut. Dari waktu ke
waktu, penduduk setempat terus berkembang. Apalagi ada sebagian dari para pedagang
asing tersebut, baik Arab, Persia, India, maupun Eropa, dan juga Cina, yang membawa
istri dan anak-anaknya tinggal bermukim di sana. Mereka yang menetap di sana atau
generasi baru yang lahir dari pernikahan orang Arab dengan penduduk setempat menjadi
orang Arab-Melayu dan keturunan dari pernikahan India-Melayu menjadi Jawi
Peranakan.80
Perlu disampaikan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Arab Muslim
atau para pedagang muslim lainnya, baik pendatang maupun generasi yang lahir dari
hasil perkawinan semakin menyemarakan kegiatan keislaman di sana. Aktivitas bisnis
yang mereka lakukan tidak hanya berupa barang, tetapi juga jasa, misalnya jasa
pemberangkatan haji. Ketika bangsa Indonesia mengalami pembatasan haji oeh
pemerintah kolonial, misalnya, banyak di antara masyarakat Indonesia yang pergi haji
melalui Singapura. Kaum muslimin yang akan pergi haji melalui Singapura adakalanya
menunggu lama di sana sehingga sebagian dari mereka bekerja dulu sebelum kembali ke
Indonesia, dan sebagian yang lain lagi menetap di sana. Kehadiran orang Arab sangat
membantu proses pelaksanaan perjalanan haji sehingga meningkatkan reputasi Singapura
sebagai salah satu pelabuhan (embarkasi) pemberangkatan haji masyarakat Indonesia
sebelum menuju Mekah. Demikian juga dengan para penuntut ilmu dan bahkan ulama
yang akan pergi ke Timur Tengah, sebagian mereka transit terlebih dahulu di Singapura.
Kondisi ini direkam William Roff dalam Origins Of Malay Nationalisme sebagai berikut:
Para penuntut ilmu agama islam dari seluruh kepulauan
Yang ingin melanjutkan pelajaran dalam bidang hikum dan
Asas, telah pergi ke Mekah atau negri selat, maka ramailah
Ramailah para pelajar muda dating ke singapura, berguru
Dengan sarjana-sarjanislam yang terlatih dari Timur Tengah.81

Ledakan perdagangan (the booming trade) di wilayah Asia Tenggara umumnya,


dan khususnya di Semenanjung Malaya pada masa perdagangan (the age of commerce)
memastikan seluruh pelabuhan, kota laut, dan pusat komensial di Selat Malaka dan
sekitarnya ikut terlibat dalam perdagangan tersebut. Kota-kota pesisir merupakan
wilayah yang pertama kali disinggahi para pedagang yang hilir mudik, baik dari barat
(Eropa, Arab, Persia, India) maupun dari timur (Cina). Para pedagang Muslim yang
menguasai Samudera India pada masa itu tidak hanya membawa barang dagangan saja,
tertapi juga para ilmuan dan ulama. Dalam konteks inilah konversi massal masyarakat
Asia Tenggara, secara lebih khusus lagi, konversi massal masyarakat Indo-Melayu
kepada Islam dapat dipahami. Konversi ini terjadi berbarengan dengan masa ledakan
perdagangan di kawasan ini.82
79 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 23, dan Geoff Wade, An Early Age of Commerce in
Southeast Asia, 9001300 CE, h. 231.

80 M. Haritsyah. Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara), 03 Juli 2012.

81 M. Haritsyah. Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara), 03 Juli 2012.

82 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 21.


22

Dengan demikian, Tumasik Islam, jika dapat disebut demikian, dapat diduga kuat
muncul pada masa ledakan perdagangan ini karena kota ini merupakan salah satu
pelabuhan penting yang dikuasai oleh Malaka saat itu.83 Hal ini dapat dijelaskan dengan
meminjam kerangkan pikir sebagaimana dikemukakan oleh Azyumardi Azra, babhwa
Kota-kota di wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan,
kekayaan, dan kekuasaan... masa-masa ini tidak hanya mengantarkan wilayah IndoMelayu ke dalam internasionalisasi perdagangan, tetapi juga kosmopolitanisme
kebudayaan-peradaban yang tidak pernah dialami masyarakat kawasan ini pada masamasa sebelumnya.84
Posisi Tumasik sebagai salah satu pusat konsentrasi perdagangan internasional
tersebut juga disebutkan oleh Geoff Wade. Ia mengatakan: This commercial boom was
to dissipate in the peninsula at the end of the thirteenth century, and the remaining
tradewould concentrate in Temasek in the fourteenth century, in an entirely different
phase of the entrept port civilization of the Malay Peninsula.85 Para pedagang Muslim
pada masa-masa ini cukup mendominasi perdagangan di wilayah Semenanjung Malaya.
Oleh karena itu, masyarakat Semenanjung Malaya merasa bangga menjadi Muslim
karena memiliki keunggulan, kekayaan, dan kekuatan. 86 Fakta sejarah ini dan bukti-bukti
lain yang diuraikan di atas, kiranya dapat menjadi argumen kuat untuk mengatakan,
bahwa Singapura dulu, bukan saja merupakan salah satu pintu masuk perdagangan
internasional, tetapi juga pusat konsentrasi Muslim dan dapat disebut Tumasik Islam.
Akar sejaran ini sekaligus dapat menjelaskan, mengapa Singapura pada abad ke-19
sampai awal abad ke-20 menjadi salat satu pusat perkembangan intelektual Islam di Asia
Tenggara. Wallahu alam
D. PENUTUP
Studi sejarah Islam di Nusantara atau Asia Tenggara sekarang telah banyak
sejarahwan dan para ahli. Namun, tema ini sampai saat ini masih menyisakan berbagai
misteri dan perdebatan terutama tentang sejarah awal kehadirannya. Penelusuran dan
penulisan kembali tema ini dirasa masih relevan dan layak dilakukan. Dalam kerangka
inilah dilakukan penulisan kembali Sejarah Islam Awal di Singapura ini, dengan fokus
studi tentang Tumasik sebagai lokus dan komunitas Muslim awal di Singapura
antara tahun 1200-1500 M (awal abad ke-13 sampai awal abad ke-16, ketika Portugis
menduduki Malaka, 1511 M). Berdasarkan data dan informasi sebagaimana diuraikan
pada bab-bab terdahulu, dapat diambil beberapa kesimpulan sementara sebagai berikut:
1. Asal-usul Singapura dalam konteks sejarah Islam di Asia Tenggara masih terdapat
silang pendapat di kalangan para ahli. Beberapa sumber atau historiografi lokal yang
digunakan para ahli adalah naskah-naskah Pararaton, Sejarah Melayu,
Negarakretagama, dan Tuhfah al-Nafis. Sumber asing yang digunakan antara lain
kisah perjalanan dan kronik dari Arab dan Cina. Berdasarkan beberapa sumber
tersebut, dapat dikatakan bahwa Singapura pada masa lalu disebut Tumasik,
walaupun pelafalannya berbeda-beda, yaitu Temasik atau Temasek.
Tumasik adalah sebagai sebuah negara kota di Asia Tenggara yang lokusnya
83 M. Haritsyah. Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara), 03 Juli 2012.
84 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 21.
85 Geoff Wade, An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE, h. 258.
86 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 23, dan Geoff Wade, An Early Age of Commerce in
Southeast Asia, 9001300 CE, h. 231.

23

sekarang berada di Singapura. Pendapat umum mengatakan Tumasik didirikan pada


1299 M.
Nama Singapura sering dihubungkan dengan Thomas Stanford Raffles (Inggris)
yang menguasai pulau itu pada tahun 1819 berdasarkan penjanjian Raffles dengan
penguasa lokal saat itu, Temanggong Sri Maharaja, ketika Singapura di bawah
kekuasaan Sultan Husein Syah, pada 19 Januari 1819. Tahun 1819 sering dipandang
sebagai awal penggunaan nama Singapura, sementara nama itu Singapura telah
disebut pada akhir abad ke-14 M. Sumber historiografi lokal, seperti Sejarah Melayu,
menceritakan asal-usul Singapura, bahwa seorang Tamil, yakni Sang Nila Utama,
dalam perjalanannya menuju Banten, melihat seekor binatang buas melintasi jalan
yang akan mereka lalui; Binatang itu adalah singa. Sang Nila Utama kemudian
memberi nama tempat itu dengan Singapura, yang berarti Kota Singa. Masih
dalam Sejarah Melayu, juga disebutkan bahwa Singapura pada masa lalu bernama
Temasik, yang merupakan kota perdagangan yang besar di Semenanjung Malaya.
Dalam Nagarakretagama, sebuah karya sastra Jawa, Singapura disebut sebagai
Temasek (Sea Town/Kota Laut). Dalam berita Cina, kota ini disebut "Pulau
Ujung" (Pu-Lo-Chung). Nama-nama lain adalah "Salahit" - Selat, dan "Tam-ma-sik"
(Cina). Para masa Majapahit, negeri Singapura dianggap sebagai kota (Pura) dan
singgah (Singgah), jadi berarti Kita Singgah.
2. Proses masuknya Islam di Singapura, sebagaimana di daerah lain di Asia Tenggara,
diselimuti legenda dan mitos. Akan tetapi, fakta sejarah dan temuan arkeologis dapat
memastikan, atau setidaknya menguatkan perkiraan, bahwa Islam telah hadir di
Singapura (dulu Tumasik) sejak masa-masa awal negara pulau di ujung Semenanjung
Malaya ini terlibat dalam perdagangan internasional. Pada abad ke-10-14 M, telah
terjadi the booming trade (ledakan perdagangan) di wilayah Asia Tenggara umumnya,
dan khususnya di Semenanjung Malaya. Hal ini memastikan seluruh pelabuhan, kota
laut, dan pusat komersial di Selat Malaka, tak terkecuali Tumasik, ikut terlibat dalam
perdagangan tersebut. Kota-kota pesisir merupakan wilayah yang pertama kali
disinggahi para pedagang tersebut, yang berasal dari Arab, Persia, India, dan Cina.
Pada saat bersamaan, para pedagang Muslim telah terlibat dalam perdagangan
internasional di wilayah ini. Perdagangan kaum Muslimin, khususnya Arab dan
Persia, di Asia Tenggara mengalami peningkatan yang sangat pesat anatara abad ke-8
s.d. ke-11 M. Mereka mengarungi Samudera India, hilik mudik, dari Laut Mediterania
- Arab, dan juga sebaliknya. Kota-kota pesisir dan pelabuhan-pelabuhan di
Semenanjung Malaya menjadi pemukiman-pemukiman bagi para pedagang Muslim
tersebut. Sebagian dari mereka bahkan diberitakan menetap dan berkeluarga di sana.
Dengan demikian, dapat disimpulkan sementara, bahwa Islam telah hadir di Tumasik
(sekarang Singapura) paling awal abad ke-8 M atau paling lambat abad ke 11 M.
Hingga permulaan abad ke-16 M, Singapura lama tetap menjadi pemukiman Muslim,
bersama para pedagang lain, baik dari Eropa, India, maupun Cina, dan sekaligus
menjadi pelabuhan penting di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka, sampai dengan
kesultanan ini ditaklukan oleh Portugis pada 1511 M.
3. Singapura lama atau Tumasik sejak zaman Sriwijaya merupakan kota dagang yang
penting di Asia Tenggara. Kota pulau di ujung Semenanjung Malaya ini selalu
menjadi rebutan berbagai kerajaan di Nusantara hingga Ayutthaya di Tahailand
(Siam). Diceritakanmeskipun sumbernya harus diverifikasibahwa antara tahun
1299-1388, pernah berdiri Kesultanan Tumasik, dengan lima sultan, yaitu: 1) Raja I
Sri Tri Buana (1299-1347); 2) Raja II Seri Pikrama Wira (1347-1362); 3) Raja III Sri
Rana Wikema (1362-1375); 4) Raja IV Sri Maharaja (1375- 1388); dan 5) Raja V Sri

24

Sultan Iskandar Syah, memerintah selama lima tahun di Singapura (1388-1391),


kemudian di Malaka (1393-1397).
Adapun kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Tumasik dimulai oleh Sriwijaya
yang mendominasi wilayah ini sampai akhir abad ke-13 M. Pada abad ke-14 M,
Tumasik kemudian berada di bawah kekuasaan Majapahit, sebuah kerajaan di Jawa,
yang ingin menguasai seluruh Nusantara lewat legenda Sumpah Palapa yang
diucapkan patihnya yang bernama Gajah Mada. Setelah Majapahit mundur, Tumasik
berada di bawah kekuasaan Ayutthaya. Selanjutnya pada abad ke-15 M, Tumasik
berada di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka sampai pendudukan Portugis 1511 M.
Setelah itu secara beturut-turut, Singapura berada di bawah Kesultanan Johor, (15111699), dan Kesultanan Johor-Riau (1699-1818), sampai akhirnya diduduki oleh
Britisth East India Company, perusahaan dagang Inggris di Timur, dibawah pimpinan
Thomas Stamford Raffles sejak 19 Januari 1819 M.
Penelusuran sumber bacaan, data, dan informasi tentang Sejarah Islam Awa di
Singapura yang tergolong sulit--karena dari berbagai literatur modern yang membahas
asal-usul singapura umumnya merujuk pada empat naskah Nusantara, yaitu Pararaton,
Sejarah Melayu, Negarakretagama, dan Tuhfah al-Nafis. Sumber asing yang digunakan
antara lain Kitab Ajaib al-Hind (Arab) dan Sejarah Ming (Cina). Akan tetapi, data
tentang Islam awal, baik dalam historiografi Nusantara maupun sumber asing, sangat
minim. Sementara itu, sumber lain berupa artikel dalam berbagai website masih
memerlukan penelaahan dan pembuktian lebih lanjut. Oleh karena itu, dalam konteks
studi sejarah islam pada masa awal di Singapura, perlu disarankan beberapa hal berikut:
1. Mempublikasikan data dan informasi sejauh yang dapat ditemukan dari berbagai
sumber melalui institusi resmi, seperti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan,
Badan itbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Data dan informasi tersebut harus
diupayakan diperoleh langsung dari sumber primer, baik historiografi lokal seperti
Pararaton, Sejarah Melayu, Negarakretagama, dan Tuhfah al-Nafis, maupun sumber
asing, seperti Kitab Ajaib al-Hind (Arab) dan Sejarah Ming (Cina).
2. Untuk mendukung dan menguatkan data dan informasi tersebut, perlu dilakukan
peninjauan lokasi dan situs-situs terkait, baik di Singapura maupun daerah lain di Asia
Tenggara.
3. Dalam kerangka penelitian yang lebih besar, tidak hanya sejarah Islam di Singapura,
tetapt sejarah Islam di Asia Tenggara secara umum, perlu dilakukan kerjasam dengan
lembaga-lembaga terkait, baik di Indonesia maupun di negara lain di kawasan Asia
Tenggara, baik dengan lembaga riset/perguruan tinggi maupun pemerintah. Wallahun
alam, wa huwa yahdi man yasya ila al-sirat al-mustaqim...[]
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Artikel
Abdullah, Taufik, Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara: Sebuah Perspektif Perbandingan,
dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique (Eds.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1989, h. 58-99.
Abshire, Jean, The History of Singapore, Singapore: ABC-CLIO, 2011.
Arif, Syamsuddin, Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi, Islamia, Jurnal Pemikiran dan
Peradaban Islam, VII(2), 2012, h. 13-25.

25

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
Bandung: Mizan, 1994.
---------, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000.
Desain Operasional Penelusuran Sejarah Islam di Nusanara, Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tahun 2012.
Esposito, John L., Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat (Terj.
Eva Y. Nukman dan Edi Wahyu SM. dari The Future of Islam), Bandung: Mizan, 2010.
Hack, Karl, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, versi pdf, Open University,
UK, t.th.
Ismail, Abdul Rahman Haji, Sejarah Melayu (Malay Annals), dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia,
A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, California: ABC-CLIO, Inc., 2004, h.
1182-1183.
Liang, Rose, Change and Continuity in the Culture of Singapores Primary School Teachers from 1959 to
2006, A Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, Department of Sociology,
National University of Singapore, 2007.
Lim Tse Siang, 14th Century Singapore: The Temasek Paradigm, A Thesis submitted for the Degree of
Master of Arts, Department of History, National University of Singapore, 2012.
Linehan, W., The Kings of 14th Century Singapore, dalam T.S.D.M Sheppard (Ed.), Singapore 150
Years, Singapore: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 1982, h. 57-66.
Muljana, Slamet, Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, Yogyakarta: LKiS, 2006.
Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, California:
ABC-CLIO, Inc., 2004.
---------, Tuhfat al-Nafis (The Precious Gift), dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical
Encyclopedia..., h. 1355-1356.
Raffles, Thomas Stanford, The History of Java (Edisi Indonesia), Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008.
Turnbull, C. M., Raffles, Sir (Thomas) Stamford Bingley (17811826), dalam Ooi Keat Gin (Ed.),
Southeast Asia, A Historical Encyclopedia..., h. 1122-1123.
Resi, Maharsi, Islam Melayu vs Islam Jawa, Menelusuri Jejak Karya Sastra Sejarah Nusantara,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Saefullah, Asep, Membangun Peradaban Dunia yang Damai: Pentingnya Pembaharuan Islam dan
Kearifan Barat, Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius, XI(1), 2012, h. 145-154.
Sedyawati, Edi, Majapahit, dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia..., h.
822 -824.
Shamsul A.B., Convergence of Interest and Sharing a Future: Deepening the Understanding of Islam in
Asia and Europe, ASIEN 100 (Juli 2006), h. 62-69.
Sudrajat, Ajat, Perkembangan Islam di Singapura, Kertas Kerja Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY,
Yogyakarta.
Sugahara Yumi, Publications of Kitabs and Development of Using Jawi and Pegon Scripts, dalam
Kawashima Midori, A Provinsial Catalog of Southeast Asian Kitabs of Sophia University, Tokyo:
Sophia University, 2010.
Tarling, Nicholas (Ed.), The Cambridge History Of Southeast Asia, Volume One, From Early Times to
c.1800, Cambridge: Cambridge University Press 1992; Edisi Singapura, 1994.
Thohir, Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Turmudi, Endang dan Sihbudi, Riza (Eds.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005.
Villiers, John, Melaka, Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical Encyclopedia..., h. 868-871.
Wade, Geoff dan Zaide, Joyce (Eds.), Provenance Research on 14th-Century, Greenwares Found in
Singapore, Singapore : The Nalanda-Sriwijaya Centre, Institute of Southeast Asian Studies, 2009.
Wade, Geoff, An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 9001300 CE, dalam Journal of Southeast
Asian Studies, 40(2), Edisi Juni 2009, h. 221265.
Yusuf, Muhammad, Islam di Singapura: Studi Pembaharuan Pemikiran Islam, Bandar Lampung: IAIN
Raden Intan Bandar Lampung, 2004.

26

Website
Anonim, Penduduk, Bahasa dan Budaya, Sebuah Kaleidoskop Multikultural, dalam http://www.
yoursingapore.com/content/traveller/id/browse/aboutsingapore/people-lang-culture. html. Diakses 4
Oktober 2012.
Anonim, Perkembangan Islam di Asia Tenggara, http://irmasgirljpr.blogspot.com/2011/08/perkem bangan-islam-di-asia-tenggara.html, Jumat, 12 Agustus 2011. Diakses 3 Mei 2012.
Anonim, Sebuah Sejarah Ringkas, Napak Tilas ke Masa Lalu Singapura, dalam http://www.
yoursingapore.com/content/traveller/id/browse/aboutsingapore/a-brief-history.html.
Diakses
4
Oktober 2012.
Anonim, Sejarah dan Perkembangan Islam di Siangapura http://www.segenggam-harapan.com/
2012/07/sejarah-dan-perkembangan-islam-di.html. Diakses 4 Oktober 2012.
Anonim, Studi Islam Asia Tenggara, dalam http://emka.web.id/ke-nu-an/2011/studi-islam-asiatenggara/. NU Online. Upload 6 October 2011, diakses 4 Oktober 2012.
Boharudin, Kedatangan Islam dan Islamisasi di Asia Tenggara http://boharudin.blogspot.com/2011/04/
kedatangan-islam-dan-islamisasi-di-asia.html, Kamis, 21 April 2011, diakses 3 Mei 2012.
Hairi, Agus, Islam di Singapura, http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html,
Minggu, 26 September 2010. Dikases 4 Oktober 2012.
Haritsyah. M., Islam di Singapura (Studi Islam Asia Tenggara), dalam http://m-haritsyah.blogspot.com/
2012/07/islam-di-singapura-studi-islam-asia.html, Selasa, 03 Juli 2012.
Historical method, http://en.wikipedia.org/wiki/historical_method. Diakses 3 Maret 2012.
Islam in Singapore, http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Singapore. Diakses 3 Maret 2012.
Nawali, Feril, Tujuh Kerajaan di Indonesia Klaim Singapura Masuk Wilayah Nusantara,
http://www.rmol.co/read/2012/01/12/51797/Tujuh-Kerajaan-di-Indonesia--Klaim-SingapuraMasuk-Wilayah-Nusantara-, Kamis, 12 Januari 2012.
Primary Source, http://www.statemaster.com/encyclopedia/Primary-source. 3 Maret 2012.
Sang Nila Utama, http://en.wikipedia.org/wiki/Sang_Nila_Utama. Dikases 4 Oktober 2012.
Secondary Source, http://www.statemaster.com/encyclopedia/Sec , ondary-source. Dikases 4 Oktober
2012.
Singapore, http://en.wikipedia.org/wiki/Singapore. Diakses 3 Mei 2012.
Singapore, http://www.britannica.com/EBchecked/topic/545725/Singapore/214573/History. Diakses 3
Mei 2012.
Sohar, http://en.wikipedia.org/wiki/Sohar, Diakses 5 Desember 2012.
Temasek, http://en.wikipedia.org/wiki/Temasek. Diakses 4 Oktober 2012.
The Great Soviet Encyclopedia, 3rd Edition (1970-1979). The Gale Group, Inc., 2010 edisi online dalam
http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/Tumasik, entry Tumasik. Diakses 11 Oktober 2012.

27

Anda mungkin juga menyukai