Anda di halaman 1dari 25

RE-ORIENTASI KESULTANAN ISLAM NUSANTARA

DALAM HISTORIOGRAFI INDONESIA


Abstract
Kesultanan Islam Nusantara memiliki arti penting bagi warna dan potret ke-Islam-an di
Indonesia. Sementara hasil studi para sejarawan dalam historiografinya, belum menggambarkan
posisi dan eksistensi yang sesungguhnya, bahkan dalam batas-batas tertentu belum memuaskan
secara akademik. Kajian historiografi dalam studi sejarah, memberi peluang untuk bisa
melakukan kritik dan bagaimana cara membangun gagasan-gagasan baru untuk menuliskan
kembali sejarahnya secara utuh dan menyeluruh. Lahirnya berbagai tradisi Islam yang ada, sebagai
mozaik Islam Indonesia, seiring dengan masa pertumbuhan sistem kesultanan Islam Nusantara.
Bangunan historiografi Islam Nusantara dalam perspektif baru, harus bisa menampilkan corak
keragaman dan kesatuan spirit keagamaan masing-masing kesultanan, menemukan fakta-fakta
yang konkrit dan menyeluruh tentang struktur kesultanannya, bentuk-bentuk relasi sosial
budayanya, dan melihat secara konkrit masing-masing dinamika perkembangannya. Bila kajian
tanpa melihat aspek-aspek tersebut secara sinkronik, hampir mustahil bisa mewujudkan
historiografi Islam Nusantara secara ideal. Tulisan ini mencoba memberi gagasan baru bagaimana
memposisikan kesultanan Islam Nusantara secara asli sebagai peradaban global, kesatupaduan
dan dinamikanya di masing-masing wilayah, bagaimana para sarjana Barat dan Indonesia melihat
dan memotretnya, bagaimana cara-cara mewujudkan kembali historiografi kesultanan Islam
Nusantara dalam bingkai kesatuan dan keragamannya, bagaimana konsep-konsep metodologis
dan pola penulisan yang harus dipenuhi di dalamnya.

Key Words
Historiografi Islam, Kesultanan Islam, Tradisi Islam, Islam Nusantara, Metodologi sejarah

Dr. Ajid Thohir: ajid.thohir@uinsgd.ac.id Dosen dan Peneliti di Program Studi Sejarah dan kebudayaan
Islam di Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

A. Pendahuluan
Mengkaji sejarah Islam dan perkembangan kesultanan Islam di Nusantara, serta bagaimana
para ahli sejarah menuliskan (historiografi)-nya, merupakan topik kajian yang menarik untuk
diperbincangkan. Para ahli sejarah hingga kini, nampaknya belum menemukan kesepakatan secara
utuh bagaimana seharusnya sejarah Islam dituliskan dalam sejarah Indonesia1. Hingga kini, upaya
menuliskannya dalam bentuk historiografi “kesultanan Islam Nusantara” secara utuh dan
menyeluruh belum banyak dilakukan. Berkait dengan bagaimana perkembangan sistem kesultanan
Islam Nusantara, nampaknya para peneliti dan pengkaji keislaman di Indonesia perlu banyak
memunculkan tema-tema pembahasan baru sekitar masalah-masalah kesultanan yang bisa
memperkaya penjelasan secara komprehensif tentang entitas kesultanan Islam Nusantara,
misalanya dari aspek politik ketatanegaraannya, bentuk-bentuk kekuasaan politik agama hingga
mewujudkan diri menjadi sebuah “negara”; apakah setiap wilayah memiliki kesamaan dalam sistem
politik ketatanegaraannya; bagaimana bentuk-bentuk relasi politik antara berbagai wilayah
kesultanan terwujud, bagaimana menentukan batas-batas kekuasaan politiknya, yang lebih penting
bagaimana masing-masing kesultanan memproduk mozaik kebudayaan Islam Nusantara.

1. Mengenai kapan agama Islam masuk di wilayah Nusantara, siapa pembawanya, wilayah mana yang pertama
kali diislamkan, dan bagaimana proses islamisasinya, bagaimana mereka membentuk pemahaman keagamaan
hingga pemerintahan dalam sistem kesultanannya. Bagaimana upaya pengislaman yang dilakukan oleh setiap
kesultanan terhadap kebudayaan lokal, serta menjelaskan berbagai produk budaya yang diwujudkannya, jelas
merupakan pekerjaan ilmiah yang sangat menantang.

1
Kajian etno-linguistik dan geo-politik terhadap sejumlah kesultanan Islam di Nusantara pada
kurun abad ke 16 – 17 Masehi, bisa menjadi sesi tersendiri dan memerlukan kajian metodologis
yang cukup komprehensif. Sebut saja misalnya relasi antara kesultanan-kesultanan Islam yang
pernah ada, mulai dari Samudera Pasai di Aceh, Malaka di Semenanjung Malaya, Tumasik di
Singapura, Demak, Cirebon, Banten, Aceh Darussalam, Palembang, Riau, Goa-Tallo, Ternate-
Tidore, Banjar, Sumbawa, Bima, dan lain-lain di Indonesia. Demikian juga di kawasan Asia
Tenggara yang dulunya menggunakan bahaya Melayu sebagai lingua franka, seperti kesultanan di
Pattani di Thailand, Mindanao dan Sulu di Filipina, serta seluruh wilayah yang sekarang menjadi
Malaysia dan Brunei Darussalam, semuanya perlu dilihat secara komprehensif yang melibatkan
bukan hanya kajian-kajian diplomatik dengan coraknya yang ada pada kurun waktu tersebut, tapi
juga sikap-sikap politik sistem kesultanan dalam menghadapi dunia luar “Islam” dan sejumlah pola-
pola kebudayaan Islam yang mengiringinya sebagai “ijtihad dalam menyatukan Islam dan kekuatan
kebudayaan lokal”.2
Pertanyaan-pertanyaan metodologis tersebut harus bisa banyak dimunculkan, karena fakta-
fakta sejarah selalu berangkat dari sejumlah pertanyaanya. Namun menemukan sejumlah fakta-
fakta historis nampaknya tidak semudah sebagaimana membuat pertanyaannya. Dalam hal ini,
nampaknya para sejarawan Indonesia sudah saatnya memerlukan kerja kolektif dalam merumuskan
gagasan besar untuk menuliskan kembali tentang “Kesultanan Islam Nusantara dalam
Historiografi Indonesia” secara utuh, menyeluruh dan komprehensif. Dari kajian seperti ini
diharapkan akan menjadi model baru bagi kajian sejarah Islam di Nusantara, sebagai satu-satunya
ilmu yang memiliki kewenangan dan keunikannya dalam menjelaskan berbagai fenomena
kemanusiaan dalam ruang dan waktunya.

B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan melakukan Critical Review dan
Perbandingan Historiografi terhadap sejumlah karya-karya sejarah yang menuliskan tentang sejarah
Islam di Indonesia, khususnya yang berkait tentang materi-materi pembahasan yang menyangkut
tentang kesultanan Islam di Indonesia, baik oleh sejarawan Indonesia maupun sejarawan Asing.
Adapun langkah-langkah penelitiannya adalah sebagai berikut: 1) mengumpulkan berbagai karya-
karya sejarah (historiografi) tentang Islam di Nusantara; 2). mengkategorisasikan historiografi
tentang kesultanan Islam Nusantara baik dari penulis Barat maupun dari Indonesia; 3). melakukan
penelaahan (kritik internal dan eksternal) pada sejumlah karya yang menuliskan tentang materi-
materi kesultanan Islam di Indonesia; 4). membandingkan formulasi struktur dan rekonstruksi
tulisan tentang kesultanan dalam berbagai kecenderungannya, khususnya tentang objek-objek
pembahasannya; 5). melihat sumber-sumber yang digunakan serta metodologi kesejarahan yang
dipakainya; 5). Menuliskan kembali hasil temuan studi perbandingan dan merumuskan gagasan-
gagasan baru untuk mewujudkan model penulisan baru dalam studi kesultanan Islam di Nusantara.
Critical review terhadap sejumlah karya tulisan sejarawan akan menemukan elemen-elemen
penting, gagasan utama yang dimunculkan dalam melihat posisi dan eksistensi kesultanan Islam di
Indonesia. Menemukan berbagai konstruksi dan narasi-narasi penjelasan atau ekplanasi secara
umum dan khusus pada sejumlah bentuk-bentuk struktur dan sistem kesultanan yang ada.
Melakukan perbandingan historiografi terhadap sejumlah karya-karya tersebut, adalah untuk
menemukan pola-pola penulisan yang sudah dilakukan oleh sejumlah sejarawan, dan memudahkan
untuk melakukan koreksi secara struktural mengenai materi-materi penjelasan tentang kesultanan
Islam di Nusantara secara umum. Di antara karya-karya sejarah dari penulis Barat yang digunakan
untuk melakukan studi perbandingan historiografi di antaranya: Bernard H.M.Vlakee, Nusantara:
Sejarah Indonesia; De Graaf dan Pigeud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa; Denys Lombart, Nusa Jawa:Silang
Budaya (jilid 1-3); J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society; Antony Reid, Shouteast Asia in the Age of Commerce
(1450-1680); MC.Ricklef, Sejarah Indonesia Modern; Sedangkan dari karya-karya sejarawan Indonesia

2 Thohir, Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam; Perspektif Etno-linguistik dan Geo-politik, cet.2, Rajagrafindo,
Jakarta, 2011

2
di antaranya; Sanusi Pane, Sejarah Nusantara; Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Sejarah Banten;
Marwati Joened dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 3; Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia
Dari Imporium ke Emporium; Onghokham, Kepemimpinan Dalam Sejarah Islam; Taufik Abdullah, Pola
Kepemimpinan Islam di Indonesia: Tinjauan Umum. Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara. Dari
sejumlah karya-karya sejarah ini, penulis menggunkan teori-teori kajian historiografi kemudian
memformulasikan kembali dalam bentuk konstruksi yang mempadukan dari masing-masing
kelebihan dari karya-karya historiografi tersebut. Sehingga menghasilkan rumusan-rumusan baru
bagi formulasi penulisan yang lebih baik mengenai kesultanan Islam Nusantara yang lebih
komprehensif,

C. Kesultanan Islam Nusantara sebagai Peradaban Dunia Islam


Menjelaskan secara lebih tegas mengenai daya tarik kesultanan Islam di Asia Tenggara untuk
terus diteliti dan membandingkannya dengan kajian-kajian Islam Timur Tengah dengan sejumlah
daulat-daulat kecil (al-duwailât) yang pernah ada3, jauh lebih menarik dan bisa membuktikan posisi
Islam Asia Tenggara punya daya tawar yang seimbang bahkan lebih menarik secara metodologis
bagi para pengkaji ilmu-ilmu sosial humaniora khususnya dalam melihat relasi antara agama dan
asimilasi dengan budaya lokal. Dikatakan bahwa “Asia Tenggara tidak hanya sekedar tempat bagi
agama besar dunia –Islam, Budha, Kristen dan Hindu—mengelaborasikan diri tetapi juga
penyebarannya sedemikian rupa sehingga ikatan-ikatan yang mempersatukan pengikutnya dapat
mengaburkan dan sekaligus menegaskan batas-batas perbedaan politis dan territorial yang pernah
ada. Dalam masalah ini kasus Islam adalah hal yang paling menarik, mengingat para pengikutnya
terdapat di hampir semua negara Asia Tenggara dalam jumlah yang cukup besar, dan di antara
beberapa negara tersebut menembus batas-batas politik yang menghalanginya.4
Kajian Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian secara lebih khusus dari para sarjana dan
sejarawan Asia Tenggara sendiri pada tahun 1980-an. Beberapa hasil diterbitkan dalam buku bunga
rampai yang diberi judul Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Taufik Abdullah dan Sharon
Shiddique [Eds.], 1989). Akan tetapi upaya tersebut hingga kini masih memerlukan perhatian yang
lebih besar karena sejak kajian-kajian yang telah dilakukan tersebut masih meninggalkan sejumlah
persoalan terutama terkait dengan sejarah awal perkembangan kesultanan di kawasan ini.
Ada beberapa alasan mengapa betapa beratnya mengkaji Islam Asia Tenggara ini, hal
tersebut pernah dimunculkan oleh Azyumardi Azra5 antara lain:
1. Orang perlu menghabiskan waktu untuk menguasai ilmu lain, semacam bahasa Belanda.
2. Ia harus siap “berbungkus lumus” mengumpulkan bahan-bahan atau arsip yang terpencar
di mana-mana.
3. Ia juga harus siap untuk menambah tebal kaca matanya, karena matanya “rusak” membaca
arsip dan naskah tulisan tangan yang tidak mudah dibaca dan dipahami.
4. Alasan yang tak kurang pentingnya bahwa ia harus bisa berbeda dengan apa yang pernah
ditulis orang lain (khususnya sarjana asing) jika ia berharap studinya punya arti penting.
Pernyataan terakhir inilah yang nampaknya masih banyak dimungkinkan untuk terus bisa kita
kembangkan dalam melihat kembali arti penting Islam di Asia Tenggara, khususnya kajian secara
komprehensif untuk menuliskan tentang kesultanan Islam di Nusantara. Membandingkan dengan
karya karya C.E.Bosworth, Islamic Dynasties; a Chronological and Geneological handbook, Edinburgh
University Press 1963, nampaknya bisa memberi inspirasi ketika kita bisa menuliskan kembali

3 Sejumlah negara-negara kecil dalam bentuk daulat-daulat yang mendiri, sebut saja mislanya yang berada di
sebelah Barat Baghdad, Amawiyah II, Thuluniyah. Ikhsyidiyah, Aghlabiyah, Idrisiyah, Fathimiyah, Hamdaniyah
dan lain-lain. Sebelah Timur Baghdad, Thahiriyah, Samaniyah, Shafariyah, Ghaznawiyah, dan lain-lain bahkan
yang mendominasi pusat kekhalifahan Abbasiyah, seperti Buwaihiyah, Seljukiyah dan lain-lain. Lihat Philip K.
Hitti, History of the Arab,The Macmillan Press.LTD, 1974, C.E.Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, Mizan, 1989.
4 Abdullah,Taufik dan Shiddique, Sharon [Eds.], Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, LP3ES, 1989:
x
5 Lihat Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer, Gramedia, 2002,

3
posisi, geneologi, artikulasi, dan peran-peran kesultanan Islam Nusantara dalam membentuk
kebudayaan Islam Nusantara. Wajah Islam Indonesia seperti yang mewujud sekarang, merupakan
perwujudan politik dari sistem kesultanan yang pernah ada sebelumnya. Nampaknya para
sejarawan hampir tidak mungkin mengamati secara keseluruhan dinamika masyarakat muslim
nusantara secara detil dan menyeluruh, --meskipun pernah dicoba oleh Denys Lombart, Nusa
Jawa:Silang Budaya (jilid 1-3) Gramedia,1996--, kecuali dengan lebih mudah melihat dinamika
kebudayaan yang dilakukan oleh pranata kesultanan dan lembaga-lembaga pranata keagamaannya.
Mengingat budaya tulis muslim nusantara yang merekam jejak seluruh apa yang ada, biasanya sudah
terbiasa dilakukan di masing-masing kesultanan nusantara.
Bukan hal yang mengherankan bila saat ini perhatian bangsa Indonesia, khususnya para
akademisi untuk menggali kembali secara komprehensif keberadaan jati diri bangsa melalui warisan
sejarahnya. Tergugah atas situasi global yang serba kempetitif dan

D. Posisi Wilayah Nusantara dan Historiografi Kesultanan


Posisi dan letak geografis (geo-politik) Kepulauan Nusantara sejak abad ke 7 - 17
memberikan arti penting bagi peradaban dunia, baik China, India, Arab dan Eropa, khususnya
dalam membangun pola komunikasi budaya antar bangsa dan menyatukan mereka dalam wadah
kemanusiaannya. Bagi penduduk di wilayah-wilayah Kepulauan Nusantara sendiri, kedatangan para
tamu asing yang mencari lokasi-lokasi perdagangan dan barang dagangannya secara langsung telah
memberi keuntungan yang luar biasa banyaknya bagi perkembangan mentalitas mereka. Paling
tidak dengan kedatangan para tamu asing dari bangsa-bangsa luar tersebut telah dapat
mempersatukan dan menyambungkan antar kantong-kantong penduduk pribumi dan memberi
kontribusi bagi perkembangan mentalitas sosial, budaya, agama dan ekonomi pribumi. Kepulauan
Nusantara sebagai tempat persimpangan lalu lintas perdagangan laut dunia dan sebagai titik
persilangan kegiatan ekonomi antara benua, berkembang satu persatu menjadi titik sentral
perdagangan. Sriwijaya sebagai pusat kerajaan Maritim Nusantara di Palembang yang telah
mengembangkan kekuasaannya sejak abad 7 dan 8 M di Pulau Sumatra, ia merupakan magnet
kekuatan maritim yang mengundang para saudagar dan koloni dagang luar untuk bisa memasuki
dan mengembangkan serta mempopulerkan nama-nama kepulauan Nusantara. Sehingga wilayah-
wilayah yang memiliki pesisir pantai cukup baik dan strategis untuk sandaran kapal-kapal dagang,
bisa berkembang pesat dalam mewadahi ritme perdagangan dan komunikasi kebudayaan antar ras
manusia, seperti halnya pantai Aceh, Malaka, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Gresik, Tuban,
Goa, Tallo, Ternate, Tidore, Maluku, dan lainnya.
Kedatangan Islam ke berbagai daerah di Kepulauan Nusantara tidak sama dan serentak,
bahkan kemunculan pusat-pusat kota dagang tersebut dikembangkan satu persatu oleh para
saudagar muslim menjadi kesultanan yang cukup hebat. Bangsa China mungkin datang lebih awal
dibanding Arab, Persia dan India dalam dunia perdagangan di Nusantara. Mungkin sejak masa
Dinasti T’ang yang semasa dengan Sriwijaya, namun China nampaknya tidak membawa misi agama
dan politik kenegaraan, mungkin mereka lebih tertarik pada perdagangan dan pengusaan maritim
saja. Sebaliknya para saudagar muslim meskipun datang belakangan, tapi karena ada misi agama,
maka secara realistik selalu ada motivasi untuk lebih intens menata masyarakatnya melalui
kesultanannya, bahkan untuk memasuki wilayah-wilayah baru dan mengembangkan sosial budaya
Islamnya. Sehingga hampir bisa dipastikan, seluruh pusat-pusat perdagangan yang telah disebutkan
di atas, menjadi kantong-kantong dakwah Islam lewat kesultanan Islam, seperti Kesultanan Malaka,
Aceh, Banten, Cirebon, Demak, Banjar, Ternate, Tidore, Goa, Tallo dan lain-lain.
Dari aspek sosial, letak geografis Kepulauan Nusantara menyebabkan bangsa dan
penduduknya lebih mudah dalam berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain sehingga proses asimilasi,
akulturasi antarbangsa lebih mudah terjalin. Masyarakat di Kepulauan Nusantara bisa menjalin
hubungan baik dengan masyarakat benua Asia dan Eropa. Saat itu, tentu masyarakat benua
Australia belum memiliki adanya tanda-tanda hubungan ke arah ini. Karena posisi Kepualaun
Nusantara yang terletak di posisi silang (cross position) itulah yang menyebabkan penduduknya

4
banyak mempunyai mitra kerjasama dengan negara-negara perdagangan laut dan berkembang
menjadi bandar-bandar besar di setiap pesisir pantainya, dimana kuasa budayanya berada ditangan
para kesultananan Islam.
Dari aspek budaya bahasa, penduduk di Kepulauan Nusantara mempunyai karakteristik
bahasa yang sangat beragam, baik dari posisi masing-masing pulau –sehinggga disebut Nusa
Antara—, kesukuan, adat istiadat, bahkan kepercayaan dan keagamaannya. Posisi dan letak
kepulauan yang begitu beragam juga tidak kalah menariknya dalam mewujudkan tipologi
kamajemukan yang permanen dari masing-masing demografi suku bangsa di Kepulauan Nusantara
ini. Suku- suku penduduk yang terpisah antar pulau ini mencerminkan entitas kamajemukan yang
permanen karena watak sosial bahasanya yang relatif berbeda karena beberapa hal terutama akibat
kondisi lingkungan geografisnya yang berbeda seperti topografi tanah, suhu udara dan lain
sebagainya. Semua perbedaan karakter penduduk kesukuan, nampaknya hanya bisa ditembus
melalui komunikasi keagamaan atau perdagangan antar berbagai pulau. Realitas kemajemukan
budaya yang tercipta antara pulau seperti itu, seringkali mencair dalam kesatupaduanpun di antara
budaya mereka sendiri akibat asimilasi, islamisasi serta akulturasi antar budaya lokal dengan lokal
lainnya, bahkan dengan budaya global saat itu, yakni Islam. Di sinilah arti penting kontak
perdagangan dan kesultanan Islam dalam penyebaran agama Islam dalam menyatupadukan
perbedaan kebudayaan antara mereka, lewat bahasa Melayu yang tercipta pada periode kesultanan
Islam di Nusantara. Meskipun secara konkrit penggunaan Bahasa Melayu dalam bentuk tulisan
telah menyebar ke seluruh kesultanan Islam sejak tahun 1590 an6, namun penggunaannya sebagai
bahasa “pemersatu komunkasi” antar kesultanan dan wilayah-wilayah pedalaman jauh lebih lama
sebelum adanya naskah-naskah tulisan tersebut. Sehingga bisa dikatakan bahasa Melayu sebagai
bahasa baru dalam Dunia Islam diperkirakan tumbuh dan berkembang seiring dengan tradisi
pertumbuhan kesultanan Islam di Nusantara, yang mempadukan percampuran antara bahasa Arab,
Palawa-Sansekerta, Persia dan Melayu Riau, dan pola pembentukannya diduga kuat mulai tumbuh
sejak abad ke 13 M.
Potensi letak geografis Kepulauan Nusantara yang memiliki keberagaman tersebut
menyebabkan pula keragaman tumbuhan dan fauna, keberagaman kesuburan jenis tanah,
keberagaman vegetasi, dan sebagainya. Keberagaman vegetasi ini dipengaruhi oleh keadaan iklim
Kepulauan Nusantara yaitu beriklim tropis, sehingga mempunyai potensi kekayaan alam yang
melimpah seperti kekayaan hasil hutan, hasil tambang, hasil perkebunan yang bisa dimanfaatkan
untuk kesejahteraan masyarakat Kepulauan Nusantara. Sifat dan karakteristik geografis Kepulauan
Nusantara ditinjau dari aspek iklim, adalah negara humid tropik yang berpengaruh pada kehidupan
tumbuhan, satwa dan manusia, sehingga sebagian besar sumberdaya lahan adalah lahan yang subur
untuk pertanian. Kondisi laut yang membentang mempunyai potensi ikan dan keindahan alam
serta berfungsi sebagai penghubung antar pulau. Sumberdaya manusia yang beragam, suku, agama,
tradisi dan budaya serta bahasanya setempat adalah aset sosio-kultural geografis yang cukup
penting, dan telah dikembangkan sebagai aset kearifan lokal. Para pengembangnya adalah
kesultanan Islam Nusantara selalu mengadopsi dan memelihara tradisi lokal setempat. Seperti
halnya terlihat pada kesultanan di Sulawesi dan Maluku, Cirebon dan Banten, Mataram dan lainnya,
eksistensi dan filosofi ketatanegaraan masing-masing kesultanannya sangat dipengaruhi dan
dibangun atas pemikiran lokalitasnya.
Dengan demikian, munculnya beragam sejarah kesultanan di masing-masing wilayah telah
membangkitkan potensi-potensi lokal dan menghidupkan kekuatannya. Dalam banyak hal
bermacam ragam kearifan lokal, mitos dan legenda, folklor dan sejarah mengiringi keragaman
tersebut. Semua aspek keragaman adalah sumber pengetahuan sejarah Nusantara yang perlu
dijelaskan dalam kajian historiografi Nusantara. Kepentingan studi sejarah hari ini, bagaimana
posisi historiografi tentang Kepulauan dan Kesultanan Islam Nusantara --yang berada di antara
belahan benua Australia dan Asia-- dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi kerjasama kesepahaman

6 Reid, Antony, Shouteast Asia in the Age of Commerce (1450-1680), Yale University, 1993, p.157-158

5
antar negara yang memiliki nasib bersama dengan negara-negara ASEAN atau Asia Tenggara pada
hari ini.

E. Eksistensi Kesultanan Dalam Historiografi Sarjana Barat


Dalam aspek spasial global, posisi wilayah Nusantara sejak dulu selalu menjadi perhatian
khusus, baik para pelancong, pedagang, maupun para pengkaji wilayah. Keunikan wilayah
Nusantara nampaknya harus dilihat dari semua unsur yang berada di dalamnya, terlebih terhadap
para penguasa dan sistem kekuasaannya yang sedang memainkan peran kekuasaannya. Para penulis
Barat seringkali melewati periode kajian Wilayah Nusantara dengan mengesampingkan periode
masa-masa kesultanan Islam. Mereka nampaknya lebih senang mengkaji Wilayah Nusantara
dengan masa-masa peran Hindu dan Budha, seperti periode Sriwijaya di Palembang Sumatra,
Pajajaran di Jawa Barat dan Majapahit di Jawa Timur. Tulisan De Graf dan Pigeud sekilas
nampaknya lebih bersemangat ketika menulis kesultanan Islam Mataram yang lebih dekat dengan
pola-pola Jawa Hindu, ketimbang kesultanan yang sangat dekat dan tegas dengan Islam. Bisa jadi,
penghindaran kajian secara tuntas dan menyeluruh tentang keberadaan kesultanan Islam
Nusantara, secara subjektif mungkin akan menimbulkan “kemunculan kekuatan Islam” secara
ideologis yang anti pada Eropa (Kristen). Karena menjelaskan posisi Kesultanan Islam sama halnya
membahas konflik agama Islam dengan Kristen Eropa di wilayah Nusantara. Maka mereka
nampaknya lebih senang membahas masa-masa Hindu atau Budha yang periode masanya tidak
bersentuhan langsung dalam konflik dengan dunia mereka, Eropa. Pertanyaan ini yang terus
mengusik para sejarawan belakangan, apakah memang demikian penghindaran itu untuk menjauhi
penulisan “konflik agama” atau mungkin menyisakan tugas untuk mengkaji Islam Nusantara, harus
dilakukan oleh para sejarawan muslim dari dalam. Apakah realitas ini seiring dengan kanyataan atau
kesepahaman dengan para sejarawan Inggris yang juga memiliki misi yang sama, yakni mereka lebih
senang untuk membesarkan peran Hindu di India ketimbang membesarkan peran kesultanan
Mughol di India? Karena misi Inggris di India secara politis juga ingin disebut sebagai “pahlawan”
baru bagi masyarakat India dan ingin menghapus peran Islam yang telah lama menduduki India
lewat kesultanan Mughalnya. Sejarawan Inggris seolah ingin membangun kesan, bahwa Inggris-lah
sebagai bangsa yang memerdekakan dan membesarkan wilayah India, yang sekian lama telah dijajah
oleh umat Islam. Maka sebagian besar misi sejarawan Inggris selalu berupaya untuk mengecilkan
peran kesultanan Mughol India dalam aspek apapun.7
Mengaca dari model penulisan Barat terhadap wilayah jajahannya, seringkali membuat
“stereo-type” terhadap keberadaan dunia Islam (kesultanan) bahkan memperlakukannya
sedemikian rupa jahat dan tidak berharganya. Contoh kasus mengenai teori konversi agama dan
penaklukan muslim terhadap India, telah melahirkan dua teori besar yang berlawanan; satu
menyudutkan keberadaan Islam, dan yang lainnya menyatakan kehadiran Islam telah
membebaskan masyarakat India dari keterbelakangan mental dan sistem sosialnya. Teori pertama
menyatakan, bahwa kehadiran Islam ke India selalu diwarnai dengan kekerasan, penaklukan dan
pedang. Teori ini dikembangkan dan disosialisasikan oleh para sejarawan Inggris dan nasionalis
India, seperti Elliot, Cousens, Majundar dan Vayadya. Sedangkan teori kedua menyatakan bahwa
kehadiran Islam di India dilakukan secara damai, meskipun terjadi peperangan hanya sebatas raja-
raja India yang selalu ingin mengekalkan kekuasaannya saja. Terbukti sufisme di India mengakar
kuat, bahkan banyak masyarakat Hindu yang beralih agama karena keteladanan tokoh-tokoh sufi
seperti pada daya tarik terhadap Muinuddin Chisty, yang juga merupakan bagian dari keberadaan
keultanan Mughal India. Teori kedua ini dikembangkan oleh tokoh muslim India modern dan
nasionalis Pakistan, yakni Habib dan Quraisy8.
Hal serupa nampaknya juga berlaku pada sejarawan Belanda, misalnya ketika melakukan
kajian tentang keberadaan sejarah kesultanan Islam Nusantara oleh penulis seperti Bernard

7 Thohir , Ajid dan Kusdiana, Ading, Islam di Asia Selatan, Bandung; Humaniora, 2004
8 Penjelasan lebih detil tentang teori konversi agama di India dalam perspektif sejarawan Barat dan Muslim, bisa
dilihat dalam Derryl N, Religion and Society in Arab Sind (London, Mac Lean, 1989), p.22-23

6
H.M.Vlekke dalam karyanya, Nusantara: A History of Indonesia,9 peran kesultanan Islam Nusantara
tidak dihadirkan secara konkrit dan jelas. Meskipun sudah dicoba digambarkan, namun keberadaan
posisi kesultanan Islam Nusantara hanya diperankan dan diperlakukan sebagai “objek penderita”
dari hubungan dagang dan kekuasaan orang-orang Eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan
Belanda. Keberadaan dan peran kesultanan Islam Nusantara dalam diplomasi hubungan dengan
orang-orang Eropa sama sekali tidak diungkapkan secara utuh dan lebih dikesankan sebagai
komunitas muslim yang tidak memiliki “kuasa kebudayaan”. H.M.Vlakee menggambarkan posisi
dan keberadaan kesultanan Islam Nusantara dengan cara-cara yang tidak adil bahkan
menempatkannya dengan deskripsi yang sambil lalu saja. Sehingga karya historiografi yang
dimunculkannya lebih dominan tentang sejarah dan keberadaan orang-orang Eropa yang sedang
memainkan dan menguasai wilayah Nusantara, dari pada kesultanan Islam.
Begitu pula penulis Barat modern seperti Antony Reid dalam karyanya, Shouteast Asia in the
Age of Commerce (1450-1680), memperlakukan objek kesultanan Islam dibuat tidak semenarik
kenyataannya. Meskipun dia menjelaskan secara komprehensif tentang dunia perdagangan Asia
Tenggara, tidak pernah menggambarkan keberadaan dan peran penting kesultanan Islam
Nusantara secara utuh di masing-masing kepulauan Nusantara, kecuali beberapa saja seperti
kesultanan di Patani, Aceh, Banten dan Makasar itupun dia jelaskan hanya cukup dengan masing-
masing satu paragraf saja10.
Melihat kenyataan historiogfi Islam yang dilakukan oleh sarjana kolonial, nampaknya perlu
mendapat perhatian yang kritis oleh para sejarawan muslim saat ini. Mereka para akdemisi muslim
diharapkan sudah bisa memberi koreksi dan melakukan rekonstruksi baru dalam menuliskan secara
komprehensif realitas kesejarahan dunia Islam di Nusantara. Karena menyatakan arti kebesaran
dan keagungan Islam Nusantara, haruslah dilihat arti penting posisi peradaban Islam dengan
kesultanannya, atau sebaliknya secara berbarengan terbahas keduanya secara sinergis; posisi
kesultanan dan produk budayanya. Karena setiap kesultanan pasti telah memproduksi berbagai
karya-karya dan kreasi budayanya. Dalam hal ini, fenomena kesultanan nampaknya akan bisa
diukur dan dilihat dari seberapa lama periode kekuasaannya dan seberapa besar jumlah produksi
kebudayaan yang terkait dengan nilai-nilaia Islamnya. Semua tingkat kemajemukan dan
perkembangan sosial budaya di masing-masing wilayah selalu merefleksikan antara perwujudan
keislaman dan perwujudan kebudayaannya. Karena Kepulauan Nusantara yang membentang dari
Aceh hingga Papua, perwujudan peradaban dan realitas karakternya hanya bisa diungkapkan
melalui macam corak keislaman yang dimunculkan dari masing-masing kesultanannya, seperti
pemikiran, kesenian, sastra, sains, teknologi, pranata sosial, hingga bermacam jenis dekorasi dan
atribut istana, gamelan, alat perang, atribut benda keagamaan dan lain-lain.
Kemajemukan dan keragaman kesultanan Islam Nusantara, sekaligus telah membentengi
dan menyatupadukan warna budaya Islam secara universal dan general, akibat akumulasi antara
relasi kuasa lokal dan dukungan jaringan setempat bahkan dari kesultanan-kesultanan yang sudah
ada sebelumnya. Sehingga bisa dinyatakan periode pembentukan karakter keislaman sebanding
lurus dengan tegaknya model-model kepemimpinan dan kesultanan di masing-masing daerah.
Bahkan spirit general dari produk budaya di masing-masing kesultanan Islam Nusantara bisa
dipahami sebagai jembatan antara nilai-nilai Islam, Melayu dan Nusantara menyatu dalam
perwujudan khasnya. Antara pemikiran Syed Nequib Alatas11 yang banyak membahas Tamadun
Islam Melayu dan Denys Lombart12 yang banyak membahas dunia Nusantara, nampaknya perlu
disinkronisasikan dalam historiografi kesultanan Islam Nusantara. Tentunya kajian diakronik
(periodesasi) sebagai ciri kajian sejarah dan perspektif atau pendekatan ilmu-ilmu sosial humaniora
perlu juga mendapat perhatian para pengkaji, khususnya untuk menjelaskan bagaimana

9.Vlakee, Bernard H.M, Nusantara: Sejarah Indonesia, terj. Syamsudin Berlian, Jakarta: Gramedia, cet.4, 2008
10 Reid, Antony, Shouteast Asia in the Age of Commerce (1450-1680), Yale University, 1993, p. 246-248
11 Alatas, Syed Naquib, Islam dan Kebudayaan Melayu, Bndung, Mizan, 1989
12 Lombart, Denys, Nusa Jawa:Silang Budaya (jilid 1-3) Jakarta, Gramedia,1996

7
pertumbuhan dan perkembangan masing-masing Kesultanan Islam Nusantara tersebut secara
komprehensif bisa diwujudkan.
Tradisi menuliskan perkembangan Islam Nusantara, nampaknya telah tumbuh sejak masa-
masa kesultanan di masing-masing wilayah. Hal ini terbukti dari munculnya sejumlah temuan
naskah-naskah sejarah yang berkaitan dengan kesultanan di masing-masing wilayah. Para ahli
filologi telah bekerja keras untuk bisa mengungkap isi dan substansi dari masing-masing jenis
naskah di bekas berbagi kesultanan Islam Nusantara13. Namun demikian, harapan menuliskan
tentang berbagai macam corak sistem pemerintahan di masing-masing kesultanan bukan perkara
yang mudah, karena dari sekian banyak naskah yang muncul, tentu tidak memiliki keseragaman
yang bisa mengungkap sistem dan pola pemerintahannya.

F.Mempetakan Kembali Eksistensi Kesultanan Islam Nusantara dari Dalam


Menyatukan pemetaan dan mengkronologisasi kesultanan Islam Nusantara dalam kerja
sejarah hingga kini belum dikerjakan secara komprehensif dengan akademik yang memadai. Pihak
kementerian Agama atau Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Pariwisata dan
Kementerian Pertahanan Nasional atau lembaga-lembaga yang memiliki tugas utama dalam bidang
sosial politik dalam menjaga NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) nampaknya bisa andil
dalam menangani kesejarahan Islam Nusantara ini. Bahkan secara teknis pekerjaannya dilakukanya
secara team oleh sejumlah tenaga akademik dan ahli-ahli keislaman dari seluruh Prodi Sejarah dan
Kebudayaan Islam di seluruh lingkungan UIN, IAIN dan STAIN se- Indoensia. Kesultanan Islam
di masing-masing Kepulauan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara Barat
dengan wilayah-wilayah Timur Papua perlu dituliskan secara utuh dan menyeluruh, melalui
pendekatan kajian ilmu-ilmu sosial humaniora.
Menggambarkan geneologi kesultanan di tiap-tiap kepulauan nusantara dan periodesasi
perkembangannya akan menunjukkan arti kebesaran Islam Nusantara di tengah-tengah peradaban
dunia Islam lainnya. Jika di Asia Selatan masyarakat muslim India dan Pakistan akan
membanggakan arti penting kesultanan Mughol-nya, masyarakat Iran dengan dinasti Safawiyah-
nya, masyarakat Turki dengan Turki Utsmaniyah-nya, maka Islam keindonesiaan dan rumpun
Melayu-nya akan mudah dilihat dengan sejumlah fenomena kesultannya yang tersebar dari mulai
ujung kepulauan Sumatra hingga kepulauan Maluku dan Tidore-nya dan kesultanan Bima hingga
pranata Islam di Papua.
Jika sumber-sumber sejarah yang dimiliki dari masing-masing kesultanan tersebut ada
keterbatasan, namun selama kesultanan masih memiliki situs kesejarahannya dan selalu muncul
dalam memori masyarakatnya, semuanya bisa direkonstruksi secara historis meskipun sebagai
langkah awal baru tahap pendataan. Karena sesungguhnya cara-cara kerja sejarah selalu memiliki
tahapan-tahapan akademiknya masing-masing, misalnya dengan menggunakan cara kerja sejarah
yang fleksibel, seperti dengan cara-cara pendekatan sejarah lisan, atau paling tidak melalui oral
tradition (tradisi lisan) atau folkloor (cerita rakyat) yang berkembang di masyarakat setempat. Karena
atas alasan apapun realitas sumber-sumber lokal harus diapresiasi secara sebenarnya, dan orang-
orang pribumi lah yang lebih mudah memahaminya. Karena setiap budaya manusia selalu lahir dari
dimensi ruangnya masing-masing. Maka cara-cara mengungkap dari dalam itulah yang perlu banyak
dikaji oleh para sejarawan muslim nusantara. Oleh karenanya memperlakukan sumber-sumber
sejarah Islam Nusantara, perlu melibatkan sejumlah dinamika kebudayaanya, baik sastra, dongeng,
legenda dan sejumlah rekaman tentang masa lalu masyarakatnya. Menurut Al-Attas, ia
menyebutkan, ada empat faktor penyebab minimnya sumber dan kajian sejarah Islam dan sejarah
penyebaran Islam di Nusantara 14.

13 Lihat, Huda, Khaerul, Islam Melayu Dalam Pusaran Sejarah; Sebuah Transformasi Kebudayaan Melayu
Nusantara, Toleransi UIN Suska Riau, vol.8 no 1, th.2016, hal.78-96

14 Islamic Studies Forum for Indonesia, Kuala Lumpur, Malaysia;


http://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas; hidayatullah.com, Benarkah Nusantara telah

8
Pertama, sumber dan karya ilmiah sejarah Islam yang ditulis dalam huruf Jawi/Pego (Arab latin)
oleh masyarakat Nusantara tidak begitu terkenal di kalangan ilmuwan Barat karena tidak banyak
dari mereka yang pandai membaca tulisan Jawi
Kedua, banyak sumber sejarah yang hilang atau tidak diketahui keberadaannya pada zaman
penjajahan.
Ketiga, biasanya sumber-sumber sejarah yang ditulis masyarakat Nusantara dianggap oleh
orientalis sebagai artifak sastra, sebagai karya dongeng atau legenda, yang hanya bisa dipelajari dari
sudut filologi atau linguistik, dan tidak bisa diterima sebagai sumber sejarah yang sempurna dan
benar
Keempat, karena minimnya sumber dan kajian sejarah Islam Nusantara membuat para ilmuwan
Barat hanya menggunakan sumber, kajian dan tulisan dari luar Nusantara termasuk dari Barat.
Mereka tidak memperhatikan atau mungkin tidak tahu adanya bahan-bahan dan informasi yang
terdapat dalam berbagai sumber sejarah Islam termasuk sumber-sumber sejarah dari wilayah
Nusantara.
Padahal jika sejarawan muslim mampu memposisikan sumber-sumber sejarah lokal sebagai
sumber sejarah dan memahaminya secara substantif arti dari informasi ke masa laluannya, pasti
akan bernilai secara historis. Misalnya mengapa sumber-sumber babad selalu lebih bersifat
penyanjungan “hagiografi” pada ketokohan yang digambarkannya, maka yang harus perlu dilihat
karena tradisi penulisan babad harus dihubungkan dengan trend corak penulisan historiografi
Islam secara umum di Timur Tengah saat itu. Khususnya Baghdad, Damaskus dan Turki pada
periode Pertengahan Sejarah Islam, corak-corak penulisan manaqib tokoh-tokoh sufi sedang
berkembang pesat. Sehingga memahami “hagiografi”, legenda, dongeng dan cerita-cerita rakyat
lainnya sebagai fakta sejarah juga harus didekati secara semiotik dan simbolik, bukan hanya sekedar
dari aspek-aspek filologis belaka. Termasuk nama-nama tokoh penting sejarah kesultanan
Nusantara, banyak yang memiliki nama-nama samaran atau dalam tradisi Arab sebagai “laqab”,
gelar-gelar yang bisa menyangkut prestasi atau prestise dari masyarakat Nusantara. Juga tempat-
tempat yang biasa disebut secara simbolik, perlu dilihat secara metodologis yang komprehensif.
Misalnya nama-nama tempat “pasarean”, “patapan”, “panglinggihan”, dan lain-lain, harus dilihat
dari fungsi dan dinamika antara ruang dan pelakunya. Aspek-aspek tersebut biasanya seringkali
untuk menggambarkan berbagai realitas ketokohan yang ada di masing-masing tradisi kesultanan,
yang pada ujungnya berkait dengan tradisi penulisan “hagiografi” para sufi di Timur tengah.
Salah satu langkah bagaimana keberanian memperlakukan sumber-sumber lokal sebagai
fakta sejarah, misalnya upaya yang dilakukan oleh Hoesein Djajadiningrat ketika menjelaskan
kebudayaan masyarakat dan kesultanan Banten, dengan karyanya yang cukup terkenal, Critische
Becschouing van de Sadjarah Banten. Karya disertasi ini ditulis tahun 1913; karya sejarah pertama kali
yang mengulas sejarah Indonesia, oleh orang Indonesia dan menggunakan sumber-sumber lokal.
Hasilnya sangat memuaskan dan bisa mengangkat keindonesiaan secara akademik di mata sarjana
Barat. Sumber-sumber yang digunakan dari sejenis legenda, folkloor dan manuskrip-manuskrip
lokal, dan berhasil menjelaskan entitas kebudayaan masyarakat Banten dan kesultanannya secara
detil.15
Begitupula apa yang dilakukan oleh Muhammad Syed Naguib al-Attas tentang Awal Masuk
Islam Nusantara. Benarkah pulau Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah SAW semasa hidup, serta
telah dilalui dan disinggahi para pedagang dan pelaut Arab di masa itu? Pernyataan ini diungkap
Muhammad Syed Naquib al-Attas16 di buku terbarunya “Historical Fact and Fiction” yang di

dikenal di jaman Nabi; Sumber: http://yasirmaster.blogspot.com/2012/10/sumatra-telah-dikenal-sejak-


zaman_4804.html

15 Lihat Djajadiningrat, Hoesein, Tinjauan Kritis Sejarah Banten, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1984
16 Syed Muhammad al Naquib al Attas lahir di Bogor, 5 September 1931 adalah seorang cendekiawan dan filsuf
muslim saat ini dari Malaysia. Ia menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia juga menulis

9
seminarkan November 2011 lalu. Kesimpulan Al-Attas ini berdasarkan inductive methode of reasoning.
Metode ini, ungkap al-Attas, bisa digunakan para pengkaji sejarah ketika sumber-sumber sejarah
yang tersedia dalam jumlah yang sedikit atau sulit ditemukan, lebih khusus lagi sumber-sumber
sejarah Islam dan penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.
Ada dua fakta misalnya yang al-Attas gunakan untuk sampai pada kesimpulan di atas.
Pertama, bukti sejarah Hikayat Raja-Raja Pasai yang di dalamnya terdapat sebuah hadits
yang menyebutkan Rasulullah saw menyuruh para sahabat untuk berdakwah di suatu tempat
bernama Samudra, yang akan terjadi tidak lama lagi di kemudian hari. Hikayat Raja-raja Pasai antara
lain menyebutkan sebagai berikut:
“…Pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat yang
maha mulia itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda Nabi:
“Bahwa sepeninggalku ada sebuah negeri di atas angin samudera namanya. Apabila ada didengar khabar negeri
itu maka kami suruh engkau (sediakan) sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa orang dalam negeri
(itu) masuk Islam serta mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahdan, (lagi) akan dijadikan Allah Subhanahu
wa ta’ala dalam negeri itu terbanyak daripada segala Wali Allah jadi dalam negeri itu”
Dasarnya tentu sangat kuat baik secara teologis maupun secara antropologis. Hamzah Fansuri,
Nurruddin Ar-Raniry, Syamsuddin As-Sumatrani, Syech Abdurrauf As-singkili yang terkenal
dengan nama Syeikh di Kuala atau Syiah Kuala adalah sekian diantara ulama besar Aceh yang
pernah ada di zaman keemasan kesultanan Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan, sekian
diantara Wali Songo memiliki garis hubungan pendidikan atau lulusan (alumni) yang berguru di
Samudera Pasai sebagai pusat peradaban Islam Asia tenggara kala itu. Bahkan beberapa diantaranya
ada yang memiliki hubungan keturunan dengan Aceh penyebar Islam di Tanah Jawa.
Kedua, berupa terma “kāfūr” yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata ini berasal dari kata
dasar “kafara” yang berarti menutupi. Kata “kāfūr” juga merupakan nama yang digunakan bangsa
Arab untuk menyebut sebuah produk alam yang dalam Bahasa Inggris disebut camphor, atau
dalam Bahasa Melayu disebut dengan kapur barus. Masyarakat Arab menyebutnya dengan nama
tersebut karena bahan produk tersebut tertutup dan tersembunyi di dalam batang pohon kapur
barus/pohon karas (cinnamomum camphora) dan juga karena “menutupi” bau jenazah sebelum
dikubur. Produk kapur barus yang terbaik adalah dari Fansur (Barus) sebuah kecamatan di
Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang terletak di pantai barat Sumatra.
Dengan demikian tidak diragukan wilayah Nusantara lebih khusus lagi Sumatra telah dikenal
oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari para pedagang dan pelaut yang kembali dengan
membawa produk-produk dari wilayah tersebut (pasai) dan dari laporan tentang apa yang telah
mereka lihat dan dengar tentang tempat-tempat yang telah mereka singgahi. Perlu di ketahui,
bahwa asal-usul penamaan pulau "Sumatera" sendiri berasal dari kata "Samudera" Pasai. Menurut
berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di
kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina.
Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan
di kawasan itu.
Sesungguhnya jika kita menengok jauh ke masa silam, sejarah awal Islam dan
perkembangannya di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari hubungan kawasan ini dengan dunia
luar, seperti Arab, Persia, India, Cina, dan lain-lain, termasuk Mesir. Bukti-bukti mengenai adanya
hubungan Asia Tenggara dengan kawasan lain dapat terungkap dari berbagai kajian tentang
hubungan dan jalur dangan internasional masa lalu, terutama sebelum Islam datang di Asia
Tenggara. Beragam bangsa dan kawasan yang berhubungan dengan Asia Tenggara inilah yang
kemudian melahirkan berbagai perspektif dalam hal teoritisasi mengenai kedatangan Islam di
kawasan ini sehingga masih diperdebatkan sampai saat ini. Oleh karena itu, tidak heran jika terjadi
perbedaan pendapat, apakah Islam yang masuk ke Indonesia itu berasal dari Arab, India, Gurajat,

berbagai buku di bidang pemikiran dan peradaban Islam, khususnya tentang sufisme, kosmologi, filsafat, dan
literatur Malaysia.

10
Persia, atau Cina. Semuanya bisa jadi benar jika diyakini perkembangan Islam di berbagai kawasan
di Asia Tenggara terjadi secara simultan. Ketika Islam masuk ke Aceh, misalnya, bisa jadi pada saat
yang sama, Islam juga datang di tanah Jawa. Ketika para pedagang Arab berniaga dengan penguasa
Sriwijaya di Sumatera, bisa jadi ada ekspedisi lain yang berlabuh di Celebes (Sulawesi), dan
seterusnya. Apalagi jika dilihat bahwa hubungan Asia Tenggara dan Timur Tengah sudah terjadi
sejak sebelum Islam lahir di Jazirah Arab.

G. Pentingnya Membangun Historiografi Islam Nusantara


Secara umum, banyak hasil kajian Islam dari kalangan sarjana Barat yang cenderung
menafikan peran Islam di kawasan ini. Pengkerdilan peran Islam di Asia Tenggara hampir
dilakukan secara sistematis dengan membangun argumen yang terkesan “ilmiah” dan “akademis”,
seperti dilakukan antara lain oleh London (1949), Van Leur (1955), Winstedt (1951), Geertz (1954),
atau Snouck Hurgronje (1890 an). Berbagai kritik telah disampaikan bukan saja dari sarjana
kawasan Nusantara tetapi juga dari kalangan sarjana Barat sendiri. Sebut misalnya Edward Said,
A.H. John dan Marshall G. Hudgson. Edward Said mengkritik secara tajam pandangan para sarjana
Barat terhadap Dunia Timur (Oriental) secara umum, juga terhadap Islam dan Dunia Muslim secara
khusus.
Kalangan orientalis dan sebagian sarjana asing memiliki persepsi yang kurang tepat—untuk
tidak mengatakan cacat—terhadap Islam di Asia Tenggara. Kajian terhadap Islam di Asia Tenggara
masih merupakan lahan yang tidak terlalu banyak disentuh kaum orientalis dibandingkan dengan
studi-studi tentang Islam dan masyarakat-masyarakat Muslim di Timur Tengah yang begitu banyak.
Akan tetapi para orientalis tampaknya telah berhasil menciptakan dan membentuk potret Islam di
Asia Tenggara yang sesungguhnya tidak selalu akurat. Kehadiran kolonialisme, khususnya Inggris
dan Belanda di kawasan ini ikut bertanggung jawab atas terciptanya pandangan yang keliru tersebut.
Sejak pertama kali mereka mencoba secara sistematis menggambarkan Islam dan mengungkapkan
Islam di kawasan ini, mereka, orientalis dan kolonialis, telah menciptakan berbagai distorsi
terhadap Islam. Sayangnya, mispersepsi dan distorsi yang mereka ciptakan malah dijadikan
kerangka kerja (framework) bagi kesarjanaan dan keilmuan tentang Islam di Asia Tenggara pada
masa-masa berikutnya 17.
Dalam “Pengantar” buku Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Taufik Abdullah dan
Sharon Shiddique, telah menegaskan pula mengenai penanfsiran kolonial yang cenderung
menyimpangkan tradisi Islam di Asia Tenggara. Islam yang telah ada di kawasan ini sekitar tujuh
abad telah membentuk suatu tradisi tersendiri yang telah tertanam secara kukuh dalam konteks
sosio-ekonomi dan politik. Pemahaman terhadap tradisi ini memang merupakan hal yang rumit
karena bukan hanya tradisi local yang harus dipahami tetapi juga tradisi Islam itu sendiri sebelum
dan sesudah berkembang di kawasan ini. Akan tetapi, persoalannya menjadi lebih rumit banyak hal
yang harus dikoreksi terkait dengan “penafsiran kolonial, yang banyak di antaranya cenderung
menyimpangkan tradisi Islam di kawasan ini, disesuaikan dengan aspirasi kolonial dan kepentingan
administratif.18
Pandangan yang kurang berimbang tersebut juga terjadi dalam hal penggunaan sumber-
sumber lokal tentang Islam di Asia Tenggara. Azra menyebutkan sebagai berikut;
“Untuk konteks Asia Tenggara, bahan-bahan—khususnya tentang sejarah awal Islam—
bukan tidak ada sama sekali. Terdapat bahan-bahan tertulis selain bukti arkeologi dan epigrafi, baik
lokal maupun asing. Bahan-bahan lokal, semacam hikayat, babad, sejarah, tambo, atau historiografi
klasik lain memberi informasi tentang konversi penduduk lokal kepada Islam dan perkembangan
awal agama ini di tempat tertentu di Nusantara. Tetapi banyak sarjana Barat, seperti dikritik
A.H.Johns memandang historiografi lokal ini secara negatif, karena genre literatur tersebut tidak
sesuai dengan kategori-kategori Barat tentang sejarah dan historiografi. Bahkan sarjana Barat,

17 Azra, Azyumardi, Perspektif Islam di Asia Tenggara, Yayasan Obor, 2000; 4


18 Abdullah, Taufik dan Shiddique, Sharon, “Pengantar”, 1989: 1

11
seperti de Graaf, bersikeras bahwa historiografi awal Islam di Nusantara tidak terlalu bisa
dipercaya. “Terdapat keseragaman bunyi di antara mereka, yang tidak menunjukkan kebenaran.”
Penilaian de Graaf agaknya berlebihan. Karena terlepas dari karakteristiknya yang khas yang
berbeda dengan historiografi Barat, sarjana yang serius, jujur, dan objektif tidak bias mengabaikan
historiografi klasik Islam di Nusantara. Karena, bagaimanapun, mereka memberikan sejumlah
informasi tentang watak dan perkembangan Islam; bahkan memberikan semacam pola umum
bagaimana Islam diperkenalkan dan berkembang di kawasan Asia Tenggara. Lebih dari itu,
historiografi klasik ini memberikan dan mengimbangi informasi dan gambaran tentang Islam dan
masyarakat Muslim Nusantara seperti diberikan sumber-sumber asing: Barat, Cina, dan Arab 19.
Pada umumnya, kajian Islam yang dilakukan sarjana asing cenderung bias dan tidak lepas
dari maksud-maksud tertentu di luar masalah akademis. Kecenderungan ini telah berlangsung lama
sehingga “jelas terdapat keengganan di kalangan orientalis untuk mengakui eksistensi Islam,
sebagaimana adanya di Asia Tenggara.” Bahkan, untuk kajian Islam di Timur Tengah pun yang
memiliki bahan yang melimpah ruah, tokoh-tokoh sarjana seperti Goldziher, Schacht, Juynboll,
dan Crone, menolak reliabilitas sunah historis dan tradisi sahabat. Sikap seperti ini menunjukkan
adanya maksud-masud yang bersifat ideologi dan bertujuan “mengobrak-abrik” basis historis dan
sekaligus doktrinal Islam awal 20
Kecenderungan meminggirkan peranan Islam di kawasan Asia Tenggara setali tiga uang
dengan kencenderungan penafsiran kolonial dalam menyimpangkan tradisi Islam. Fenomena ini
terjadi karena beberapa alasan, selain untuk kepentingan kolonialisme di kawasan ini, antara lain,
pertama, karena jauhnya wilayah ini dari pusat perkembangan Islam di Timur Tengah. Kedua,
sumber-sumber lokal, baik yang berupa peninggalan tertulis maupun lisan, material culture maupun
immaterial cultures, cenderung diabaikan dan kurang dipercaya sebagai sumber sejarah. Ketiga, akibat
dari alasan kedua, sebagaimana disebutkan di atas, berbagai kajian tentang Islam di Asia Tenggara
seperti dilakukan Geertz dan Snouck Hurgronje hanya permukaannya saja dan memaknai Islam
yang berkembang di kawasan ini hanya dari satu perspektif. Keempat, dari kalangan Muslim sendiri,
terkesan kurang menyentuh persoalan Islam di kawasan Asia Tenggara sehingga watak dan karakter
Islam kawasan ini kurang dipahami secara utuh dan belum masuk dalam kerangka global Dunia
Islam.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu simpul persoalan terkait dengan sejarah
awal dan perkembangan Islam di Asia Tenggara adalah dalam hal penggunaan sumber lokal.
Sumber lokal tersebut terutama yang berbentuk historiografi tradisional seperti babad, hikayat,
tambo, sajarah, silsilah/salasilah, dan kaba, serta peninggalan arkeologis dan tradisi setempat. Selain
kepentingan kolonial, sulitnya mengakses sumber-sumber lokal tersebut juga merupakan penyebab
lain dari kurang tergalinya informasi tetang Islam di kawasan ini. Kesulitan tersebut karena, selain
usianya yang sudah tua, juga karena tersebar di hampir seluruh kawasan ini. Oleh karena itu,
penelusuran kembali sumber-sumber lokal di berbagai wilayah di kawasan ini menjadi penting
dilakukan. Dengan penelusuran ini diharapkan akan diperoleh data dan fakta mengenai sejarah
awal dan perkembangan Islam di kawasan ini. Data dan fakta tersebut kemudian diidentifikasi,
dideskripsikan, diverifikasi, dan dihadirkan sebagai bukti sejarah yang dapat dipercaya. Dalam
rangka penelusuran data dan fakta tersebut, diperlukan kerja team antar Prodi Sejarah dan
Peradaban Islam se-Indonesia. Adapun tahapannya pada kegiatan pendataannya difokuskan
bebrapa kepulauan yang menyimpan artefaktual dan situs-situs sejarah kesultanan di Nusantara
seperti Sumatra, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Nusa Ternggara Barat, Jawa dan seterusnya.

H. Merumuskan Kembali Historiografi Kesultanan Islam Nusantara


Penulisan sejarah Islam di Nusantara memiliki kecenderungan Eropa centris di satu sisi, dan
di sisi lain sangat nasionalis. Persepektif pertama belum dapat memosisikan Islam sebagai bagian

19Azra, Azyumardi, 2000: 9-10


20Azra, Azyumardi, 2000: 9

12
penting dari sejarah kawasan ini. Peran Islam cenderung dipinggirkan dan sumber lokal yang
berupa historiografi tradisonal seperti babad, hikayat, tambo, sajarah, dan kaba kurang dipercaya
sebagai sumber dalam penulisasn sejarah Islam. Sementara perspektif nasionalis—meskipun
sampai batas tententu menguntungkan bagi kepentingan dalam negeri untuk melepaskan diri dari
kolonialisme dan imperialisme—belum sepenuhnya menggunakan sumber lokal sebagai acuan
dalam penulisan sejarah Islam dalam konteks sejarah perkembangan negara bersangkutan. Dua
kecenderungan ini sama-sama belum memaksimalkan sumber lokal tersebut, yang dikenal sebagai
historiografi tradisional, dalam menggambarkan sejarah awal dan perkembangan Islam kawasan
ini.
Selain historiografi tradisional, sumber lainnya yang berupa peninggalan arkeologis juga
masih dilihat secara terpisah-pisah mengikuti batas-batas geografi negara-negara yang sekarang
tergabung dalam kawasan Asia Tenggara. Sesungguhnya negara-negara tersebut memiliki
keterkaitan satu sama lain di masa kesultanan lalu, apalagi jika dilihat dari bahasa yang
digunakannya, yaitu bahasa Melayu. Maka sebagian wilayah Thailand dan Filipina serta seluruh
wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam disebut sebagai Jawah atau al-Jawi,
yakni sebuah kawasan yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ilmu dan pergaulan.
Dengan demikian, kerja penelitian ini berbeda dari dua kecenderungan tersebut di atas.
Penelusuran kembali sumber-sumber lokal, baik berupa historiografi tradisional maupun tinggalan
arkeologis akan melengkapi kekurangan dari keduanya. Dengan menginventarisasi dan
mendeskripsikan historiografi tradisional atau manuskrip-masnuskrip yang berisi tentang sejarah
awal Islam dan pertumbuhan serta perkembangan kesultanan Islam di kawasan ini, sejarah Islam
di kawasan ini dapat direkonstruksi secara lebih berimbang, yakni dengan menggunakan perspektif
dan sumber asing yang sering banyak digunakan dan juga perspektif dan sumber lokal yang masih
kurang mendapatkan perhatian. Gabungan dua perspektif ini dapat memberikan kontribusi yang
sangat berharga tentang teori-teori kedatangan Islam dan perkembangan kesultannya di kawasan
Nusantara ini. Dinamika internal kawasan dapat dibaca melalui manuskrip-manuskrip dan tradisi
lisan tersebut.
Selain melalui historiografi tradisonal, peninggalan-peninggalan masa lalu Islam di kawasan
ini, seperti prasasti, istana, dan rumah ibadah kuno, atau tradisi dan adat istiadat keagamaan dapat
pula menggambarkan dinamika agama Islam dan kaum Muslimin dilingkungan kesultannya. Selain
itu, penulisan sejarah kesultanan atau kerajaan yang bercorak Islam juga dapat lebih akurat, yang
pada gilirannya nanti dapat pula memposisikan kesultanan-kesultanan tersebut dalam proses
islamisasi dan perkembangan Islam di kawasan Nusantara.
Dengan mengungkapkan sejarah awal masuknya Islam di kawasan Nusantara, dan mendata
serta menguraikan perkembanga kesultanan atau kerajaan bercorak keislaman yang pernah ada
dapat melihat keterkitannya dengan asimilasi antara Islam sebagai doktrin dengan budaya lokal
setempat. Serta melihat bagaimana pola hubungan di antara berbagai kesultanan di kawasan
Nusantara. Hal ini tidak saja bermanfaat sebagai pengetahuan sejarah, tetapi juga sangat berguna
bagi penguatan jati diri dan karakter peradaban Islam sebagai sebuah bangsa di kawasan ini, yang
pada gilirannya pula dapat semakin mempererat persatuan dan kesatuan serta kerjasama antar
negara di Asia Tenggara yang memiliki akar sejarah yang hampir sama.
Secara kelembangaan, hasil kegiatan ini bermanfaat bagi penyediaan data dan informasi
keagamaan, khususnya yang terkait dengan literatur yang membahas sejarah awal Islam dan
perkembangannya, berdasarkan sumber-sumber lokal yang berupa historiografi tradisional dan
berbagai peninggalan arkeologis. Manfaat lain adalah pelestarian khazanah keagamaan, khususnya
informasi dalam manuskrip-masnuskrip dan peninggalan-peningalan arekologis tentang sejarah
awal Islam dan perkembangannya di Nusantara. Dalam konteks nasional, hasil penelitian ini dapat
menjadi salah satu sumber beagi penyempurnaan buku Sejarah Nasional Indonesia jilid III yang
membahas tentang Islam dan Perkembangannya di Indonesia.
Penelusuran kembali sumber lokal tentang sejarah kesultanan Islam di Nusantara baik yang
berupa historiografi tradisional, peninggalan arkeologis, maupun tradisi dan adat istiadat setempat

13
merupakan wilayah kajian yang sangat luas. Sehubungan dengan itu, diperlukan batasan dan
rumusan masalah agar penelitian untuk tidak melebar kepada hal-hal yang tidak berkaitan langsung
tentang pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Islam abad ke 17 di kawasan ini. Oleh karena
itu, penelitiannya harus dibatasi pada masalah awal masuknya Islam dan masa pertumbuhan
kesultana/kerajaan yang bercorak keislaman serta perkembangannya hingga dewasa ini di kawasan
Nusantara. Maka, sesuai dengan keperluan tersebut, kerja team perlu:
1. Menginventarisasi sumber-sumber sejarah Islam dan mendeskripsikan historiografi tradisional
atau manuskrip-manuskrip termasuk folkloor, oral tradition, babad, hikayat, dan sebagainya
yang berkait dengan dan yang mengandung informasi tentang sejarah awal masuknya Islam,
pertumbuhan dan perkembangan kesultanan di kawasan Nusantara
2. Mendeskripsikan dan menganalisis eksistensi kesultanan di masing-masing daerah dan peran
institusinya dalam membentuk tradisi Islam di daerah-daerah masing-masing.
3. Menggambarkan dan menganalisis kesultanan atau kerajaan yang bercorak keislaman di
kawasan ini, mengenai waktu berdirinya dan geneologi sultan-sultan, serta posisinya pada masa
kini.
4. Mendeskripsikan dan menganalisis perkembangan Islam dewasa ini di masing-masing lokasi
kesultanan tersebut.
Kajian tentang sejumlah pusat-pusat pemerintahan di Timur Tengah khususnya pada
periode klasik dan pertengahan telah banyak dilakukan. C.E.Bosworth telah mendata sekitar 82
kelompok pemerintahan dari mulai Spanyol hingga India baik yang besar seperti sistem ke-
khalifahan, hingga yang kecil seperti daulat kecil (al-duwailât) di setiap wilayah, termasuk para wazir
dan gubernur (amir) dan peran mereka dalam dinamika politik keislaman. Karya ini diterjemahkan
oleh team (Zaki M.Hasan dkk) menjadi Mu’jam al-Ansâb wa al-Usarat al-Hakima fi al-Târikh al-
Islâm.21
Keberadaan kesultanan Islam Nusantara sejak mulai muncul hingga perkembangannya di
abad ke 17, mungkin jauh lebih menarik untuk dilakukan pemetaannya berdasarkan tipologi
wilayah-wilayah kekuasaannya, nama dan sistem kekuasaannya, periode kekuasaan dan nama-nama
kesultananya, serta sistem budaya, tradisi dan produk budaya Islam yang dikembangkannya. Tabel
berikut, nampanya secara sederhana bisa mengawali pendataannya:

Tabel: Pendataan Objek Kajian Kesultanan

Wilayah Nama dan Sistem Periode, Tokoh Sistem Tradisi dan


Kepulauan Kesultanan Kesultanan dan Produk Budaya
Kekuasaannya
Sumatra dan Samudera Pasai Abad ke- 15-18 (Pasai: Ketatanegaraan, wilayah
Malaka Aceh, Aceh Sultan Malikus Shalih, kekuasaan, adat istiadat,
Darussalam, Riau, Malikuz Dzahir, etc.) sosial budaya, pemikiran,
Malaka di (Malaka: Sultan kesenian, makanan,
Semenanjung Malaya, Muhammad Syah, teknologi, dekorasi,
Tumasik di Iskandar Syah, etc.), naskah-naskah, dll
Singapura, (Aceh: Sultan Alauddin
Palembang Riayat Syah, Mansur
Syah, Iskandar Muda,
etc.), (Palembang:
Sultan Badarudin, dll.)

Kalimantan Banjar Abad ke- 16-20. Sultan Ketatanegaraan, wilayah


Sulaiman bin Raja kekuasaan, adat istiadat,

21 Bacharach, Jere L, A Middle East Studies HandBook, Cambridge University Press, 1980; 16

14
Tengah – Raden Mulia sosial budaya, pemikiran,
Ibrahim bin Pangeran kesenian, makanan,
Adipati Ahmad, dll. teknologi, dekorasi,
naskah-naskah, dll
Jawa Banten, Cirebon, Abad ke-15-18. Ketatanegaraan, wilayah
Demak, Mataram (Cirebon: Syarif kekuasaan, adat istiadat,
(Yogya – Solo), Hidayatullah Pangeran sosial budaya, pemikiran,
Sumedang Pasarean, Zaenal ‘Alim, kesenian, makanan,
dll.), (Banten: teknologi, dekorasi,
Hasanudin, Maulana naskah-naskah, dll
Yusuf, Ageng Tirtayasa
dll.), (Mataram Yogya:
Sultan Agung,
Amangkurat, dll.),
(Sumedang: Geusan
Ulun, Pangeran Santri
dll.)

Sulawesi Goa-Tallo Makasar Abad ke- 16. Sultan Ketatanegaraan, wilayah


Hasanudin, dll. kekuasaan, adat istiadat,
sosial budaya, pemikiran,
kesenian, makanan,
teknologi, dekorasi,
naskah-naskah, dll
Nusa Tenggara Bima, Sumbawa, Abad ke-18-20. TGH Ketatanegaraan, wilayah
Barat Abdul Gafur-TGH kekuasaan, adat istiadat,
Zainudin AM, dll. sosial budaya, pemikiran,
kesenian, makanan,
teknologi, dekorasi,
naskah-naskah, dll
Maluku Ternate-Tidore Abad ke- 16. (Ternate: Ketatanegaraan, wilayah
Sultan Zainal Abidin, kekuasaan, adat istiadat,
Babullah, dll.) (Tidore: sosial budaya, pemikiran,
Sultan Khairun, dll.) kesenian, makanan,
teknologi, dekorasi,
naskah-naskah, dll

I. Pemikiran dan Pendekatan Sejarah Nasional


Ada banyak cara untuk memajukan Ilmu Sejarah dan mengembangkan Historiografi
Indonesia, yakni dengan mengubah filsafatnya, teorinya, metodologinya, metodenya serta
perspektif kajiannya. Bahkan memperkaya objek kajian tentang berbagai hal yang berkait dan
terkait dengan fenomena ke-indonesiaannya adalah cara-cara yang paling mudah dikerjakan
dalam membangun eksistensi historiografi sekaligus memperkokoh warisan peradaban Islam
Nusantara. Mempetakan posisi kesultanan Islam Nusantara sebagai objek kajian sejarah Nasional
adalah langkah strategis untuk memahami artikulasi keislaman Nusantara, bahkan untuk
mengarahkan pada pemahaman bahwa poros peradaban yang membangun kebhinekaan corak
Islam secara umum adalah dari warisan kesultanan yang telah ada.

15
Mengembangkan filsafat, teori, metodologi dan metode sejarah paling tidak akan
menyangkut tiga aspek penting; ontologis, etis dan estetis.22 Pandangan ontologis akan
mengarahkan pada aspek critical philosophy of history, yakni apa tugas ilmu sejarah itu, bagaimana
mungkin masa lalu bisa diketahui dan bagaimana bentuk pengetahuannya. Apakah bisa sejarawan
menuliskan masa lalu dengan objektif dan bagaimana menjelaskan masa lalu dengan aspek
kausalitas sejarahnya, dan lain-lain. Tapi yang paling inti dari aspek pandangan filsafat sejarah
yang kita bangun, adalah kembali mempertanyakan bagaimana meletakkan perubahan paradigma
dari pemikiran Eropasentrisme ke Indoensiasentrisme, yakni memposisikan arti penting
eksistensi keindonesiaan dalam kaca mata sejarah, sehingga teori, metodologi serta filsafat sejarah
harus diselaraskan dengan realitas-realitas keindonesiaan. Seperti yang selama ini dipahami para
sarjana Barat yang selalu berpandangan, bahwa sumber-sumber lokal keindonesiaan tidak bisa
dijadikan sumber-sumber sejarah secara ilmiah, karena penuh mitos dan legenda. Stereotype
Barat terhadap keberadaan sumber-sumber lokal Indonesia inilah yang telah menjadi masalah
yang sangat krusial untuk segera diselesaikan secara akademik. Mungkinkah sarjana Barat belum
memahami scara simbolik fakta-fakta mental yang ada dibalik mitos, legenda dan sastra-sastra
agama. Bukankah semua fenomena bisa dipahami sebagai fakta yang merdeka, yang secara
akademik dituntut untuk bisa membacanya, mengerti serta memahaminya. Inilah pemikiran dari
dalam sebagai anak bangsa yang tentu akan lebih mengerti arti kedalaman realitas nenek
moyangnya.
Dari persoalan filosofis di atas, tentu kelanjutannya akan menuntut pada aspek estetis,
yakni bagaimana sejarawan Indonesia harus bisa membuka rahasia dan kabut ilmiah yang
meyelimuti warisan peninggalan nenek moyangnya. Seluruh persoalan kebangsaan dan proses
sejarahnya, nampaknya perlu penjelasan dari dalam, untuk menghindari stereotype salah paham
dari orang luar. Pekerjaan ini bagi para sejarawan kita melahirkan sejumlah tuntutan terutama
menuntut sejumlah pendekatan ilmu-ilmu bantu dan persepktif agar bisa memahami masa lalu
secara komprehensif. Kemampuan menghubungkan ilmu sejarah dengan sejumlah ilmu-ilmu
sosial bahkan bisa saja ilmu-ilmu lainnya segera dirumuskan untuk bisa menjelaskan polemik-
polemik tentang masa lalu bangsanya. Pandangan etis ini mempertanyakan secara metodologis
hubungan ilmu sejarah yang dimiliki sejarawan dengan sejumlah ilmu-ilmu sosial dalam rangka
membantu menyelesaikan tugas-tugas pokonya, yakni menjelaskan masa lalu bangsanya.
Setelah persoalan filosofis dan etis, akan menuntut aspek estetisnya, yakni bagaimana
menuliskan sejarah kesultanan Islam Nusantara dengan baik dan benar. Cara-cara menuliskan
yang akademik tentu sebagai aspek yang paling penting, karena akan dipublikasikan ke seluruh
dunia. Ini adalah tugas strategis bagaimana menyuguhkan hasil olahan, mempromosikan,
memelihara keberadaan warisan, dan mempertaruhkannya dengan peradaban bangsa-bangsa lain
dalam panggung sejarah dunia.
Secara estetik, permasalahan pokok yang inhernt pada konsep membangun historiografi
nasional adalah harus memperhatikan lima hal: 1).bila menuliskan sejarah nasional baik scope
temporal maupun spatialnya masih dalam ruang kebangsaan Indonesia. 2). Untuk menentukan
skala sejarah nasional diperlukan rumusan yang baik, bagaimana menghubungkan antara sejarah
lokal (kesultanan) dengan keberadaan sejarah nasional. 3).persepktif historis mana yang wajar
untuk bisa menyusun sejarah nasional. 4).untuk memahami kompleksitas kebhinekaan diperlukan
kerangka teoritis dan interpretatif approach multidimensional. 5).kerangka dimensional moral apa
yang bisa diberikan dari hasil kajian sejarahnya bagi pengembangan sejarah nasional.23
Lalu bagaimana menghubungkan warisan kesultanan Islam Nusantara dengan keberadaan
kebangsaan hari ini? Meskipun eksistensi kesultanan Islam Nusantara secara fisik sebagian besar
telah tiada, namun spirit dan warisan peradabannya dalam dimensi-dimensi karakteristik serta
nuansa mentalitas di masing-masing daerah tetap bisa dirasakan, baik secara antropologis,

22 Kuntowidjoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarya, Tiara Wacana, 1994; xi-xii


23 Kartidirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Jakarta, Gramedia, 1982, P. 30

16
sosiologia maupun politik. Warisan kebudayaan berupa peninggalan produk budaya masih bisa
disaksikan, suasana keagamaan, pemikiran keagamaan, serta dimensi-dimensi spiritualnya masih
memiliki denyut kehidupan dan masih terus dihidupkan oleh para pewarisnya, meskipun dengan
ukuran yang variatif dan minimalis. Yang jelas, menghubungkan masa lalu dengan suasana
kekinian akan mudah ditemukan oleh ilmu sejarah. Perlu dipahami lebih dahulu, bahwa ilmu
sejarah ilmu yang cukup diri, artinya sebagai lambang sebuah kesadaran ia mempunyai cara yang
secara langsung membentuk kesadaran kebangsaan. Pendekatan sejarah selalu menekankan
kesinambungan dan perubahan. Tidak ada gejala yang tidak mengalami
pertumbuhan dan perkembangan, sedangkan pendekatan genetis adalah miliki sejarawan.

Tabel: Beberapa Pilihan Kajian,Tipe dan Model Historiografi Kesultanan


Pemetaan Kesultanan Model Kajian Sistem Kesultanan
 Wilayah/Daerah  Model Geneologi Politik:  Perkembangan sistem kesultanan,
 Nama Kesultanan tema yang masih banyak yang
Kajian secara komprehensif untuk menyisakan berbagai pertanyaan.
menuliskan tentang kesultanan Islam di Misalanya: dari aspek politik,
Nusantara. Membandingkan dengan kapan komunitas muslim berada di
karya karya C.E.Bosworth, Islamic wilayah Nusantara kemudian
Dynasties; a Chronological and Geneological mencapai proses kekuasaan politik
handbook, Edinburgh University Press 1963, hingga menjadi sebuah “negara”;
nampaknya bisa memberi inspirasi ketika  1). Apakah setiap wilayah
menuliskan kembali posisi, geneologi, kesultanan mengunakan sistem
artikulasi, dan peran-peran kesultanan kekuasaan politiknya yang sama
Islam Nusantara dalam membentuk dan dalam bentuk apa sistem
kebudayaan Islam Nusantara di masing- kekuasaannya terwujud;
masing lokasi  2). Bagaimana kekuasaan diperoleh
dan membentuk sistem kekuasaan
dan kenegaraannya.
 3). Bagaimana geneologi
kekuasaan dan relasi politik di
antara berbagai wilayah kekuasaan
kesultanan terbentuk, bagaimana
menentukan batas-batas kekuasaan
politiknya.
 Sistem Kesultanan  Model Kajian Geo-politik:  Para ahli sejarah belum
 Geneologi Sultan Kajian etno-linguistik dan geo-politik menemukan kesepakatan
terhadap sejumlah kesultanan Islam di mengenai kapan masuknya, siapa
Nusantara pada kurun abad ke 16 – 17 pembawanya, wilayah mana yang
Masehi, bisa menjadi sesi tersendiri dan pertama kali diislamkan, dan
memerlukan kajian metodologis yang bagaimana proses islamisasi,
cukup komprehensif berdirinya sistem kesultanan dan
upaya pengislaman serta perannya
Relasi politik global perlu dilihat antara terhadap pengolahan kebudayaan
kesultanan Islam yang pernah ada, mulai lokal
dari Samudera Pasai di Aceh, Malaka di
Semenanjung Malaya, Tumasik di
Singapura, Demak, Cirebon, Banten,
Aceh Darussalam, Palembang, Riau,
Goa-Tallo, Ternate-Tidore, Banjar,
Sumbawa, Bima, dan lain-lain di
Indonesia

17
 Periode Kekuasaan  Model Kajian Perbandingan  Sistem Tradisi dan Produk Budaya
 Wazir dan karya dengan Timur Tengah: yang dihasilkan masing-masing
Pemikiran Kesultanan Islam Nusantara
Kesultanan Menjelaskan secara lebih tegas mengenai
daya tarik kesultanan Islam di Asia
Tenggara untuk terus diteliti dan
membandingkannya dengan kajian-
kajian Islam Timur Tengah dengan
sejumlah daulat-daulat kecil (al-duwailât)
yang pernah ada. Kesultanan Islam
Nusantara jauh lebih menarik karena;
kompleknya wilayah kepulauan,
pertemuan dg agama-agama dunia
Hindu, Budha, dan Agama Pribumi

Melihat wajah Islam Indonesia seperti


yang mewujud sekarang, merupakan
perwujudan dan perpaduan politik lokal
dan global dari sistem kekuasaan yang
pernah ada sebelumnya; kerajaan,
kesukuan, syahbandar dll

J.1.Menentukan Metodologi Penelitian


a. Kerangka Teori
Dalam melihat proses pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Islam di Nusantara dapat
digunakan konsep tentang “pembentukan tradisi”. Konsep ini dapat melihat berbagai data dan
fakta yang terkait dengan sejarah awal dan perkembangan kesultanan Islam di wilayah tertentu
dengan memerhatikan kondisi sosial masyarakat setempat serta pandangan hidup mereka dalam
melihat masa lalu. Dengan mengutip E. Shils dari bukunya Traditions, Taufik Abdullah menjelaskan
bahwa “sebagai sesuatu yang diturunkan dari masa lampau, tradisi tidak hanya berkaitan dengan
landasan legitimasi tetapi juga dengan sistem otoritas dan kewenangannya. Sebagai suatu konsep
sejarah, tradisi dapat dipahami sebagai suatu paradigma kultural untuk melihat dan memberikan
makna terhadap kenyataan. Karena proses pembentukan tradisi sesungguhnya merupakan suatu
proses seleksi – ketika cita-cita harus senantiasa berhadapan dengan kenyataan dan di saat
kebebasan harus menemukan modus vivendi dengan keharusan-keharusan struktural—maka tradisi
dapat pula dilihat sebagai seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang menentukan sifat dan
corak komunitas kognitif. Tradisilah yang memberi kesadaran identitas serta rasa keterkaitan
dengan sesuatu yang dianggap lebih awal.”24
Berdasarkan teori di atas, sejarah tidak semata-mata mengejar kepastian sejarah mengenai 5
W dan 1 H, yaitu apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana suatu peristiwa itu terjadi.
Akan tetapi, dengan memerhatikan kondisi masyarakat dan pandangan hidup mereka yang terekam
dalam berbagai media, baik benda-benda arkeologis maupun manuskrip-manuskrip atau cerita
yang berkembang di masyarakat, maka dapat ditangkap watak zaman di saat suatu peristiwa itu
terjadi. Catatan-catatan mengenai pandangan hidup masyarakat terhadap masa lalu di Nusantara
khususnya terekam dalam warisan masyarakat yang dikenal dengan historiografi tradisional.
Taufik Abdullah (1988: 63) mengatakan;

24 Abdullah, Taufik (ed.), Sejarah dan Masyarakat , Yayasan Obor, Jakarta (1988: 61; “tradisi integrasi”, h. 84)

18
“… sejarah bukanlah sekedar masalah kepastian sejarah, yang mengharuskan setiap
peristiwa yang dinyatakan secara kritis dapat dibuktikan dengan sumber-sumber yang jelas,
melainkan juga menyangkut masalah kewajaran (fairness), ketika sejarah dipahami sebagai sesuatu
yang berkaitan dengan makna sosial dan budaya, maka pandangan mengenai masa lampau
masyarakat yang bersangkutan berperanan sangat penting...”

Bila sejarah dapat dilihat sebagai suatu rangkaian peristiwa-yang-dikehendaki, yang


menjadikan para pelaku memainkan peranan aktif, kita juga dapat beranggapan bahwa dalam
proses sejarah para pelaku tidak sekedar bereaksi terhadap lingkungannya sendiri tetapi juga
terhadap konsepnya mengenai kepantasan (propriety). Kepantasan dalam pola tingkah laku ini
didasarkan pada pengetahuan serta pandangan dunia si pelaku. Salah satu gudang aspek-aspek
kognitif dan normatif dari kehidupan ini adalah historiografi tradisional. Memang pada titik ini kita
mengkin menghadapi suatu lapisan tipis yang memisahkan sejarah dan mitos. Namun bila mitos
dapat dilihat sebagai perwujudan dari pandangan dunia dalam bentuk cerita, maka dapat berharap
untuk mendapatkan sejumlah informasi masa lalu di satu pihak, dan konseptualisasi masyarakat
mengenai masa lalu sebagai perwujudan dari keprihatinan-kultural di pihak lain. Realitas sewajarnya
menjadikan sejumlah tradisi lokal sebagai sumber-sumber potensial dari sejarah, karena berisi
sebagai rekaman dari peristiwa-masa-lampau. Nilainya pentingya, yang pertama akan memberikan
kepada para sejarawan suasana yang telah diterima sebagaimana apa adanya, sedangkan yang kedua
tentang bagaimana mereka merekam suasana peristiwa masa lampau dengan potensinya. Karena
itu, untuk memahami proses awal dan dinamika Islam di kepulauan Nusantara, suatu tinjauan
sekilas mengenai berbagai historiografi tradisional perlu juga dilakukan.

b. Sifat dan Pendekatan


Penelitian ke arah ini merupakan penelitian kualitatif, yakni dengan mengkaji data yang
diperoleh dari historiografi tradisional dan peninggalan-peninggalan masa lalu. Maka, dalam uraian
hasilnya akan digunakan pendekatan sejarah sebagai pendekatan utama. Sampai batas tertentu akan
digunakan pula pendekatan filologi dalam melihat manuskrip dan pendekatan arkeologi dalam
mengamati peninggalan-peninggalan masa lalu. Dalam menggambarkan dan menganalisis
perkembangan Kesultanan Islam dewasa ini dapat digunaka pendekatan budaya, sosilogi, dan
antropologi.

2. Langkah-Langkah Penelitian yang dilakukan


Penelusuran Sejarah kesultanan Islam di Nusantara, jelas termasuk dalam lingkup penelitian
sejarah secara umum. Dalam hal metodologi, penelitian sejarah merupakan kajian atas berbagai
sumber sejarah, baik primer maupun sekunder. Langkah-langkah dalam penelitian sejarahnya
terdiri atas empat tahap, yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

a. Heuristik
Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Berhasil-
tidaknya pencarian sumber, pada dasarnya tergantung dari wawasan peneliti mengenai sumber yang
diperlukan dan keterampilan teknis penelusuran sumber. Berdasarkan bentuk penyajiannya,
sumber-sumber sejarah terdiri atas manuskrip, arsip, dokumen, buku, majalah/jurnal, surat kabar,
benda-benda arkeologis material seperti prasasti, bangunan bersejarah, makam, dan sejenisnya,
maupun nonmaterial seperti cerita rakyat atau adat istiadat. Dalam studi kesultanan para peneliti
perlu menemukan situs-situs bangunan dan produk-produk budaya yang telah diwujudkannya.

b. Kritik Sumber
Berdasarkan sifatnya, sumber sejarah terdiri atas sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer adalah sumber yang waktu pembuatannya tidak jauh dari waktu peristiwa terjadi.
Sumber primer adalah sebagaimana didefiniskan berikut:

19
a primary source is a document, or other source of information that was created at or near the time being
studied, by an authoritative source, usually one with direct personal knowledge of the events being described. In this
sense primary does not mean superior. It refers to creation by the primary players, and is distinguished from a
secondary source, which in historical scholarship is a work, such as a scholarly book or article, built up from primary
sources.25 (Artinya kurang lebih: Sumber primer adalah dokumen, atau sumber informasi lain yang
dibuat pada saat atau dekat waktunya dengan peristiwa yang sedang dikaji, oleh sumber terpercaya,
biasanya seseorang yang mengetahui langsung kejadian-kejadian yang sedang diuraikan. Dalam
pengertian ini, primer tidak berarti superior [lebih unggul]. Hal ini merujuk pada informasi yang
disampaikan oleh pelaku-pelaku langsung, dan berbeda dengan sumber sekunder, yang dalam
keilmuan sejarah adalah sebuah karya, seperti buku atau artikel ilmiah, yang disusun berdasarkan
sumber-sumber primer).
Dalam studi kesultanan, banyaknya peninggalan kesultnan baik berupa bangunan, peralatan,
hingga doukumen tulisan yang ada dan berkait dengan masa kesultanan, perlu diuji kembali
otentisitas dan kredibilitasnya. Apakah naskah-naskah atau benda-benda tersebut berkait dengan
sistem kesultanan atau tidak sama sekali.
Adapun sumber sekunder adalah seperti definisi berikut:
a secondary source is a document or recording that relates or discusses information originally presented
elsewhere. A secondary source contrasts with a primary source, which is an original source of the information being
discussed. Secondary sources often involve generalization, analysis, synthesis, interpretation, or evaluation of the
original information. Primary and secondary are relative terms, and some sources may be classified as primary or
secondary, depending on how it is used.26 (Artinya kurang lebih: Sumber sekunder adalah dokumen atau
rekaman yang berhubungan atau membahas informasi yang pada dasarnya menyajikan dari mana
saja. Sumber sekunder berbeda dengan sumber primer, yang merupakan sumber original (asli) dari
informasi yang sedang dibahas. Sumber sekunder mencakup generalisasi, analisis, sintesis,
interpretasi, atau penilaian terhadap informasi asli. Primer dan sekunder merupakan istilah-istilah
yang relatif, dan sebagian sumber dapat diklasifikasikan sebagai primer maupun sekunder
bergantung pada bagaimana ia digunakan).
Terkait dengan sumber untuk penulisan sejarah ilmiah, sumber-sumber tersebut terlebih
dahulu harus dinilai melalui kritik ekstern dan kritik intern. Kritik sumber dimaksudkan untuk
menentukan otentisitas dan kredibilitas daripada bahan-bahan sumber tersebut. Untuk
mendapatkan sumber-sumber yang otentik dan kredibel diadakan kritik sumber. Ada dua cara
dalam melakukan kritik sumber, yaitu:
a. Kritik Ekstern, digunakan untuk menguji apakah data tersebut otentik (asli/sejati) atau palsu,
yakni dengan meneliti tanggal pembuatan, siapa pembuatnya, dan bukti-bukti yang mendukung
pembuatannya seperti bentuk huruf, ejaan, tinta atau alat tulis, bahan yang dipakai dan
bahasanya.
b. Kritik Intern, digunakan untuk menguji bagaimana nilai pembuktian yang sebenarnya dari isinya
atau berusaha untuk menetapkan kesahihan (validity) dan dapat dipercaya atau tidak isi dari
sumber itu (credibility).
Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta. Setiap
data dicatat dalam lembaran lepas (sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya
berdasarkan kerangka tulisan. Data tentang sejarah awal masuknya Islam dikelompokkan dalam
satu kategori, kemudian data tetang kesultanan dan sultan-sultannya dalam kelompok lain, dan
benda-benda material dikelompokkan khusus peninggalan material, serta tradisi dan adat istiadat
keagamaan pun demikian, misalnya tentang upacara keagamaan dalam kelompok tersendiri dan
tari-tarian dalam kelompok tersendiri pula. Demikian seterusnya.

c. Interpretasi

25
http://www.statemaster.com/encyclopedia/Primary-source
26
http://www.statemaster.com/encyclopedia/Secondary-source

20
Dalam metode sejarah, interpretasi atau penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh
dari arsip, internet, buku-buku yang relevan dengan masalah yang diangkat, maupun hasil
wawancara langsung dengan para tokoh yang pernah terlibat langsung dengan peristiwa atau objek
dan subjek yang diteliti atau saksi sejarah dan tokoh lainnya yang memiliki pengetahuan tentang
masalah yang diteliti. Pada tahap interpretasi juga dihubungkan antara satu fakta dengan fakta lain.
Penafsiran atas fakta harus dilandasi oleh sikap obyektif. Kalaupun dalam hal tertentu bersikap
subyektif, harus subyektif rasional, jangan subyektif emosional. Rekonstruksi peristiwa sejarah
harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran. Pada tahap ini dilakukan pula
analisis dengan menggunakan kerangka teori yang disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Tahapan ini menuntut kehati-hatian dan integritas penulis untuk menghindari interpretasi
yang subjektif terhadap fakta. Hal ini dimaksudkan untuk memberi arti terhadap aspek yang diteliti,
mengaitkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, agar ditemukan kesimpulan atau
gambaran sejarah yang ilmiah. Dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan yang luas dari peneliti, baik
pengetahuan dalam ilmu sejarah maupun pengetahuan dalam disiplin ilmu sosial humaniora
lainnya, seperti sosiologi, antropologi, arkeologi atau filologi, agar dapat memberikan interpretasi
yang tepat di dalam sumber sejarah. Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua fakta
sejarah tersebut penting untuk dimasukkan sebagai sumber yang relevan, perlu analisis lebih lanjut
mengenai keterkaitannya dengan objek yang diteliti.
Memotret karakteristik kesultanan dan produk-produk budaya yang diwujudkannya,
memerlukan teori-teori ilmu sosial humaniora serta melakukan kajian korelatif dan fungsionalitas
budaya masing-masing kesultanannya. Apakah produk-produk budaya tersebut masih banyak
mewarnai pada nilai-nilai Islam lokal atau sudah hilang sama sekali secara fungsional di masyarakat
setempat. Sekaligus dari perspektif ini kita akan mudah melihat bagaimana karakteristik masing-
masing kesultanan tersebut mewujud dan mudah membedakan heterogenitasnya dan mudah
menemukan nilai-nilai homogenitasnya sebagai kesultanan Islam Nusantara.

d. Historiografi
Tahap terakhir dari langkah-langkah dalam penelitian sejarah adalah historiografi, yaitu
merangkaikan fakta berikut maknanya secara kronologis/diakronis dan sistematis, menjadi karya
sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Historiografi merupakan puncak dari
metode penelitian sejarah, yang dalam penelitian ini merupakan laporan hasil penelitian. Penulisan
laporan hasil penelitian pada tahap ini mencoba menangkap dan memahami realita sejarah. Dalam
konteks ini penyajian hasil temuan lapangan tidak hanya menjawab pertanyaan apa, siapa, kapan,
dan bagaimana tetapi melakukan suatu eksplanasi secara kritis tentang bagaimana, dan mengapa.
Adapun tujuan dari penulisan yaitu menciptakan kembali totalitas dari fakta sejarah dengan
menulis kejadian atau peristiwa masa lampau yang sebenarnya terjadi dengan melakukan sintesis
dan analisis. Pada tahap akhir ini, penulis berusaha merekonstruksi kembali jalannya peristiwa
dalam bentuk karya sejarah. Hasil tersebut dipaparkan dalam bentuk deskriptif naratif dan
deskriptif analisis. Diskriptif naratif yaitu menguraikan peristiwa dalam bentuk kisah sejarah
dengan memerhatikan urutan kronologis peristiwa atau fenomena perkembangan kesultanan. Hal
ini dimaksudkan agar tulisan yang disajikan dapat lebih sistematis dan dapat dipahami oleh
pembaca. Sedangkan deskriptif analisis, khususnya untuk menjadi pertanyaan ‘mengapa’, atau yang
dalam metode sejarah disebut sebagai sebab akibat terjadinya suatu peristiwa.
Melakukan penulisa sejarah secara akademik, memerlukan pilihan kata yang jelas dan lugas
serta kecermatan argumentasi yang logis, faktual, serta narasi yang mudah dipahami.
Menggambarkan realitas kesultanan Islam Nusantara dan produk-produk budaya yang
dihasilkannya, serta furngsi dan perannya dalam membentuk tradisi masyarakat lokal adalah
sesuatu yang memerlukan penjelasan yang baik dan menarik. Bagaimana masing-masing mereka
memiliki potensi dan akselerasi dalam upaya pengembangan sosial budaya yang dinaunginya serta
memberi pewarnaan yang kuat dalam mewujudkan ke-bhinekaan-nya.

21
K. Penutup
Arti penting historiografi adalah memberi kontribusi bagi perkembagan penulisan dan ilmu
sejarah. Tanpa bisa memetakan dan kepedulian untuk mengembangkanya, karya sejarah dan ilmu
sejarah akan mandeg. Kesadaran dan keberanian mengapresiasi sumber-sumber lokal akan
memberi ghairah baru bagi upaya penulisan sejarah Islam Nusantara. Kesangsian para sarjana Barat
tentang sumber-sumber lokal pribumi, hanya akan membelenggu kreatifitas para sejarawan muslim
dalam berkarya untuk melihat jati diri bangsa atau leluhurnya. Solusi memecahkan secara akademik,
bukan dengan mengkritik sumber-sumber lokal hingga tidak menghargainya, tapi solusi ilmu-ilmu
sosial humaniora berupaya untuk terus memhami isi dan makna dari sebuah informasi masa lalu
dengan cara-cara akademik yang jujur.
Membaca pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Islam Nusantara, memerlukan
pemetaan secara komprehensif dan mensinkronisasikannya dengan sumber-sumber lokal. Jika
pemetaan dan pendataan secara komprehensif bisa dilakukan, akan menampilkan wajah dunia
Islam Nusantara memiliki kesejajarn dengan peradaban dunia Islam di belahan dunia lainnya.
Wajah Islam Indonesia saat ini adalah refleksi dari masa lalu, hasil dari dinamika kesultanan Islam
yang memberi kontribusi bagi keberlangsungan kebudayaan Islam dan kekuatan lokal pribumi.
Untuk itu, membaca sejarah secara bersama dalam forum akademik akan menemukan titik temu
rekonstruksi baru, sebagaimana kata pepatah di kalangan sejarawan; jika ada pertemuan tiga orang
saudagar, pasti akan membuat kongsi bisnis, sebaliknya jika tiga orang sejarawan bertemu maka
pasti ingin melakukan rekonstruksi baru dalam penulisan sejarah. Awal dari kerja akademik ini
mudah-mudahan ada tindak lanjutnya, semoga.***

22
Daftar Pustaka

Ibrahim, Ahmad et.al. 1989, Perspektif Islam di Asia Tenggara, tej.LP3ES


Thohir, Ajid, 2011, Studi Kawasan Dunia Islam; Perspektif Etno-linguistik dan Geo-politik, cet.2,
Rajagrafindo, Jakarta,
----------------------, 2013, Sumedang Puseur Budaya Sunda; Kajian Sejarah Lokal, Galuh Nurani, Ciamis,
cet.1

----------------------, 2012, Hagiografi Sufi dalam Perspektif Fenomenologi dan Historiografi Islam, Balitbang
Kemenag RI
-------------------, dan Ading Kusdiana, , 2004, Islam di Asia Selatan, Bandung; Humaniora
Hasan, Alimudin, 2009, Historiografi Melayu; Kajian Atas Tuhfat al-Nafis Karya Raja Ali Haji, Al-
Fikra, Program Pascasarjana UIN Syarif Kasim Riau, vol.8. no.2, hal.396-431
John, A.H, 1961, Sufism as Category in Indonesia Literature and History, JSAH,Vol.2, July
Arberry, AJ, 1979, Muslim Saints and Mystics, episode from Fariduddin al-Attar, Tadzkirật al-
Awliyậ, (London: Routledge & Kegan Paul,)
--------------, 1989, Pasang Surut Aliran Tasawuf, terj. Bambang Herawan, (Bandung, Mizan cet.II,)
Reid, Antony, 1993, Shouteast Asia in the Age of Commerce (1450-1680), Yale University,
Suminto, Aqib. 1986. Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES.
Azra, Azyumardi 2002, Historiografi Islam Kontemporer, Gramedia,Jakarta.
---------------------,2000, Perspektif Islam di Asia Tenggara, Yayasan Obor,
Vlakee,Bernard H.M. 2008, Nusantara: Sejarah Indonesia, terj. Syamsudin Berlian, Jakarta:
Gramedia, cet.4,
Yatim, Badri, 1999, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci, Logos Wacana Ilmu Jakarta,
Bosworth, C.E. 1989. Dinasti-dinasti Islam, Bandung; Mizan,
Geertz. Clifford 1982. Islam Yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia, Jakarta: YIIS.
_____________. 1989. Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya.
Muzafar, Chandra (ed.). 1989. Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES.
De Graf & Vigeud, 1989, Kebangkitan Mataram, Jakarta: Grafiti Press
De Graaf dan Pigeud. 1989. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Jakarta: Grafiti Pers.
Lombart, Denys,1996, Nusa Jawa:Silang Budaya (jilid 1-3) Jakarta, Gramedia
Derryl N, 1989, Religion and Society in Arab Sind (London, Mac Lean,)
Eugene Smith, Donald. 1985. Agama dan Modernisasi Politik, Jakarta: Rajawali Pers.
A Rapter, David. 1987. Pengantar Analisa Politik, Jakarta: LP3ES.
Noer, Deliar. 1988. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES.
Carr, Edward Hallet. 1974. What is History? London: Penguin Books.
K Notingham, Elizabeth. 1990. Sosiologi Agama, Jakarta: Rajawali Pers.
Rosenthal, Franz, 1968, A History of Muslim Historiography, (Leiden: E.J.Brill,)
Drewes, GWJ. 1983, Indonesia; Mistisisme dan Aktivisme, dalam Islam Kesatuan Dalam
Keragaman, Gustave von Grunibaum, ed. terj. Effendy N.Yahya, Yayasan Obor,
Drewes, G.W.J (ed). 1983. Islam Kesatuan dalam Keragaman, Jakarta: Obor.
Pijper. G.F 1985. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Jakarta: UI Press.
_________. 1987. Pragmenta Islamica, Jakarta: UI Press.
Hamka, 1982, Sejarah Umat Islam jilid 1-4, Bulan Bintang, Jakarta
Benda, Harry J. 1985. Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta: Pustaka Jaya.
M Kallen, Horace (ed.). 1985. Encyclopaedia of The Social Science, Vol XIII, New York.
Hasan Ibrahim Hasan, 2012 Tarikh al-Islamy; al-Siyasy wa al-Diny wa al-Tsaqofy wa al-Ijtima’iy, Nahdlah
al-Mishriyyah, Kairo
Djajadiningrat, Hoesein, 1984, Tinjauan Kritis Sejarah Banten, Penerbit Djambatan, Jakarta

23
Michrob, Halawni dan A Mudjahid. 1990. Catatan Masa Lalu Banten, Serang: Proyek Pembangunan
Mesjid.
Gibb, HAR dan Krammers, J.H. 1961. Shorter Encyclopaedia of Islam, New York: Ancor Books.
Mayyerhof. Hans 1959. The Philosopy of History in Our Time, New York: Ancor Books.
Bacharach, Jere L, 1980, A Middle East Studies Hand Book, Cambridge University Press
Van Leur, J.C. 1953, Indonesian Trade and Society, (Den Haag,)
Wahyudi, Johan, 2017 Model Diplomasi Kuno di Nusantara: Kasus Kesultanan Aceh dan Johor Abad
XVI-XVII, Al-Turas; vol.23 no.1. Fak.Adab dan Humaniora UIN Jakarta, hal. 37-53
Veeger. KJ, 1986. Realitas Sosial, Jakarta: Gramedia
Steenbrink. Karl A 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan
Bintang.
_______________. 1986. Kerukunan Antar Agama: Cita Keilmuandan Hambatan Struktural, Majalah
Pesantren Nomor 4/Vol. III, Jakarta.
_______________. 1986. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, Jakarta;
LP3ES.
Huda, Khaerul, 2016,Islam Melayu Dalam Pusaran Sejarah; Sebuah Transformasi Kebudayaan Melayu
Nusantara, Toleransi UIN Suska Riau, vol.8 no 1, hal.78-96
Kuntowidjoyo 1994, Metodologi Sejarah, Yogyakarta, Tiara Wacana
____________, 1985. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Shalahuddin Press.
____________. 1991. Paradigma Islam, Bandung: Mizan.
____________. 1987. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana.
____________. 1990. Serat Cebolek dan Mitos Pembangkangan Islam, UQ Vol.II, Jakarta.
Kuntjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.
_____________. 1987. Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI Press.
Stoddard, Lothrop. 1966. Dunia Baru Islam, Jakarta: Deppen.
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press.
Bruinessen, Marten Van. 1989. Tarekat Qadiriyah- dan Ilmu Syaikh Abdul Qodir Jailany di India,
Kurdistan dan Indonesia, UQ, Vol. II/No. 2, Jakarta.
____________. 1990. Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci. UQ Vol. II/No.5, Jakarta.
____________, Syari’a Court, Tarekat and Pesantren; Religious Institutions in The
Banten Sultanate, Archipel, vol.50, Paris 1995
____________, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat, Bandung Mizan cet. III, 1999
Djuned P, Marwati dan Notosusanto, Nugroho. 1990. Sejarah Nasional Indonesia jilid 1-4, Jakarta:
Balai Pustaka.
Adas, Michael. 1990. Ratu Adil, Jakarta: Rajawali Pers.
Muthahhari, Murtadho. 1986. Masyarakat dan Sejarah, Mizan: Bandung.
Duverger. Maurice, 1989. Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Pers.
Madale, Nagasure (ed.). 1989. Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES.
Onghokham. 1977. Kepemimpinan Dalam Sejarah Islam, Jurnal Prisma no. 6, Jakarta: LP3ES.
__________. 1982. Penelitian Sumber-sumber Gerakan Mesianis, Prisma no.6 Jakarta: LP3ES.
K. Hitti, Philip, 1974, History of the Arab,The Macmillan Press.LTD,

24
H Laurer. Robert. 1989. Perspektif tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Bina Aksara.
Redfield, Robert. 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan, Jakarta:YIIS .
Ricklef MC. 1991. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1973. Protest Movement in Rural Java, Oxford University Press.
________________. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi di Indonesia Suatu Alternatif,
Jakarta: Gramedia.
________________, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta Gramedia
________________. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pustaka Jaya.
________________. 1984. Ratu Adil, Jakarta: Sinar Harapan.
________________. 1984. Respons-Respons Pada Penjajahan Belanda di Jawa, Jurnal Prisma, nomor
11, Jakarta: LP3ES.
________________. 1984. Messianisme dan Futurisme, Prisma, Nomor 1, Jakarta: LP3ES.
Naquib al Attas, Syed Muhammad, 1989, Islam dan Kebudayaan, Mizan Bandung,
Soedjatmoko et.al. 1975. An Introduction to Indonesian Historiografi, New York: Cornel University
Press.
Hurgronye. Snouck, 1983. Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bharata.
Soeroto, Soeri dan H. Frederick, William, 1989, Pemahaman Sejarah Indonesia, Jakarta, LP3ES,
Parsons.Talcott 1951. The Social System, New York: Free Press.
Abdullah. Taufik 1982. Pola Kepemimpinan Islam di Indonesia: Tinjauan Umum, Jurnal Prisma,nomor 6,
Jakarta: LP3ES.
____________(ed.), 1988, Sejarah dan Masyarakat , Yayasan Obor, Jakarta,

____________. 1989. Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Abdullah, Taufik dan Shiddique, Sharon [Eds.], Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara,
LP3ES, 1989
Abdullah, Taufik & Suryomihardjo, Abdurrahman (ed), Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan
Perspektif, (Jakarta: Gramedia, 1985)
http://www.statemaster.com/encyclopedia/Primary-source; Encarta electronic encyclopedia
http://www.statemaster.com/encyclopedia/Secondary-source; Encarta electronic encyclopedia
http://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas; hidayatullah.com,
Islamic Studies Forum for Indonesia, Kuala Lumpur, Malaysia; Benarkah Nusantara telah dikenal di
Zaman Nabi; 20013

25

Anda mungkin juga menyukai