Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TRANSFORMASI IDENTITAS DAN KONVERSI AGAMA :


ASPEK-ASPEK PSIKOLOGIS-SOSIAL DALAM ISLAMISASI
DI NUSANTARA ABAD KE-15 SAMPAI 17
Tugas Mata Kuliah Peradaban Islasm
Dosen Pengampu : Mahillah, M.Fil.I

Disusun Oleh Kelompok 3 :

Anisatul Mufidah (U20193063)

Faidatuz Zulfa ( U20193072 )

Laila ( U20193069 )

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER


PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Transformasi Identitas
Dan Konversi Agama : Aspek-Aspek Psikologis-Sosial Dalam Islamisasi Di Nusantara Abad
Ke-15 Sampai 17’’ .
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Peradaban Islam . Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang “Transformasi Identitas Dan Konversi Agama : Aspek-Aspek Psikologis-Sosial Dalam
Islamisasi Di Nusantara Abad Ke-15 Sampai 17’’ .
Bagi para pembaca dan juga bagi penulis sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang di tekuni.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari, makalah yang telah di tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan sangat di nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Jember, 21 Maret 2021

(Penulis)
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

a. Islamisasi Asia Tenggara


b. Perspektif Psikososial dalam Islamisasi di Nusantara Abad ke 15-17

c. Istana, Raja dan Konversi Agama

d. Identitas Baru

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asia Tenggara merupakan tempat tinggal terbesar di dunia bagi penduduk Indonesia.
Kawasannya pun merupakan tempat yang unik dan menarik bagi perkembangan agama-
agama dunia, sehingga hampir seluruh agama terutama agama besar pernah singgah dan
berpengaruh di beberapa tempat kawasan ini, termasuk agama Islam. 1 Bahkan penduduk
musli terbesar berada di kawasan ini, karena sekitar 240 juta muslim atau 42% dari jumlah
penduduk di Asia Tenggara.
Islam masuk ke Asia Tenggara melalui suatu proses damai yang berlangsung selama
berabad-abad. Penyebaran islam di kawasan ini tanpa pergolakan politik atau bukan
melalui ekspansi pembebasan yang yang melibatkan kekuatan militer, pergolakan politik
atau pemaksaan struktur kekuasaan dan norma-norma masyarakat dari luar negeri.
Melainkan Islam masuk melalui jalur perdagangan, perdagangan, perkawinan dakwah dan
pembauran masyarakat muslim Arab, Persia dan India dengan Masyarakat Pribumi. 2
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Islamisasi di Asia Tenggara ?

2. Bagaimana Perspektif Psikososial dalam Islamisasi di Nusantara Abad ke 15-17 ?

3. Bagaimana peranan Istana, Raja dan Konversi Agama di Asia Tenggara ?

4. Identitas Baru

C.Tujuan

Dapat mengetahui Bagaimana Islamisasi di Asia Tenggara , Perspektif Psikososial


,Istana, Raja dan Konversi Agama serta Identitas Baru.

1
Dardiri Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, ( Pekanbaru, kerjasama ISAIS dan Alat Baru, 2006 ), hal 53
2
Dr. Hj. Helmiati, M.Ag, Sejarah Islam Asia Tenggara , Nuansa Jaya Mandiri Pekanbaru 2014, hal 8
BAB II

PEMBAHASAN

1. Islamisasi Asia Tenggara


Kehadiran Islam di bumi Nusantara berlangsung secara sistematis, terencana
dan tanpa kekuatan militer, di bawa oleh para ulama alim yang memang membawa
misi khusus menyebarkan Islam. Adapun beberapa peristiwa yang sangat penting dan
menarik dalam sejarah Asia Tenggara adalah gelombang Islamisasi yang hingga kini
masih menyimpan kekaguman sekaligus rasa kepenasaran (curiosity) para sejarawan,
terutama parasejarawan Barat. Hingga kini, kuriositas sejarah ini belum hilang dari
memorikolektif sejarawan. Islamisasi dipandang sebuah sukses besar terutama bila
dilihat dari aspek geografis yaitu jarak yang sangat jauh dari pusat Islamnya di Timur
Tengah. Jarak yang jauh ini cukup mengherankan bila dilihat dari konteks tradisional
saat itu dimana alat transportasi masih sangat sederhana dan tidak ada organisasi yang
kuat yang mengorganisir penyebaran Islam. Keheranan itu semakin menguat mengingat
Islamisasi masa klasik mampu menggeser kebudayaan Hindu India yang sudah berakar
ratusan tahun dalam endapan kultur, tradisi dan keyakinan masyarakat pribumi
Nusantara.
Walaupun beberapa kompromi dengan kepercayaan lama masih berlangsung
selama periode Islamisasi, tidak lebih dari sekitar tiga abad Islam telah secara drastis
menggantikan kebudayaan Hindu India yang sudah berakarkuat di Nusantara. Masih
adanya kompromi dengan kebudayaan lama ini menimbulkan perdebatan diantara para
sejarawan tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Nusantara. Apakah masyarakat
Asia Tenggara benar- benar melakukan “konversi” atau hanya “adhesi”? Menurut
Anthony Reid ketimbang “konversi” yaitu perpindahan agama kepada Islam atau
Kristen, yangsebenarnya terjadi adalah “adhesi” (kelekatan) berdasarkan kenyataan
bahwa yang mereka lakukan hanyalah konfesi (membaca kalimat syahadat) dan tidak
sepenuhnya meninggalkan kepercayaan dan ritual-ritual animistik dan samanistik
sebelumnya. Setelah masyarakat Nusantara melakukan “konversiagama” mereka masih
tetap sebagai Muslim nominal. 3
Terlepas dari persoalan itu, sejak abad ke-15 ketika penyebaran telah
menyentuh seluruh kepulauan Nusantara, Islam kemudian muncul menjadiagama yang

3
Robert R Jay, Relegion and politics in Rural Java, curtural Report Series, Southeast Asia Studies, Yale
University, 1963, hal 6
paling penting di Asia Tenggara dan mengubur puing-puingkebudayaan India ke sudut-
sudut sejarah.Islam seperti dikatakan Hall,“memberikan interupsi tiba- tiba” (conveys
of a sudden break ) dalam sejarah Hinduisme. "Dewa-dewa lama Hindu-Buddha
dilupakan, dan menjadi Jawa mulai berarti menjadi Muslim,” kata Robert Jay ketika dia
menggambarkan suksesnya Islamisasi di Jawa. Pendek kata, “interupsi Islam dan
penyebarannya,” seperti dicatat Coedès, telah "memotong hubungan-hubungan
spritual"antara Hindu Asia Tenggara dengan Brahma India dan “membunyikan
loncengkematian kebudayaan India di Nusantara.”
2. Perspektif Psikososial dalam Islamisasi di Nusantara Abad ke 15-17
Faktor psikologis-sosial adalah fenomena dimana penduduk pribumi
menghayati situasi dan menyerap lingkungan secara psikologis yang kemudian terjadi
tranformasi identitas diri dan mendorongnya melakukan sebuah keputusan penting
yaitu konversi agama kepada Islam. Dalam pandangan psiko-sosial, sejarah Asia
Tenggara bukanlah persepsi orang luar, dan dalam konstruksi sejarawan atau catatan
penguasa dan kelompok-kelompok dominan melainkan sebuah perspektif pribumi
(view from within) dari fenomena sosial sehari-hari terutama yang diperankan para
pedagang. “Pedagang-pedagang Asia sebagai penggerak sejarah,” kata Lombard,
“kurang sekali digambarkan” dan “kurang diakui.” Fenomena sosial yang
mendominasi panggung sejarah Asia Tenggara pada abad ke-15-16 adalah jaringan
perdagangan internasional yang bercorak kosmopolit. Dimana penduduk Muslim
melakukan aktivitas perdagangan dan mengalami peningkatan status ekonomi, tulisan
ini ingin menunjukkan bahwa faktor keuntungan ekonomi sesungguhnya hanyalah
sebuah batu loncatan (stepping stone) atau langkah antara (temporary aims) untuk
memasuki sesuatu yang lebih bermakna dalam konversi agama.
Dalam Faktor Psikologi Sosial terdapat penghayatan dari Masyarakat pribumi
atas situasi perdagangan Internasional yang mencangkupi kehidupan sosial dimana hal
tersebut melahirkan sebuah imajinasi, dan juga harapan-harapan tentang masa depan
dan Identitas baru. Karena aspek-aspek itulah yang berperan lebih kuar dalam hal
mempengaruhi penduduk untuk masuk islam. Dengan demikian , untuk menjadi
seorang islam bukan hanya memperoleh kemajuan atau meningkatnya kesejahteraan
hidup, melainkan juga menjadi warga dunia. Dengan perspektif psiko-sosial, tulisan ini
mencoba menangkap setting psiko-sosial politik konversi agama dengan masuk ke
dalam relung jiwa dan dunia pandang masyarakat pribumi yang mengalami
transformasi identitas seperti dirasakan oleh berbagai lapisan penduduk pribumi
Nusantara terutama para pedagang dan juga kelompok elit penguasa (raja-raja) serta
kalangan istana. Perspektif psikologis ini dimaksudkan untuk memperkaya analisis dan
melengkapi teori yang sudah dikemukakan oleh para sejarawan tentang motivasi-
motivasi konversi masyarakat Asia Tenggara.
Dalam sosiologi kontemporer, emosi mendapat perhatian besar sebagai faktor
sentral dalam memahami perilaku dan tindakan manusia. Emosi adalah suatu realitas
psikologis yang hadir melekat pada perasaan tapi ‘tidak empiris’ dan ‘tidak terbaca’
dalam realitas sosial. Sebagai realitas batin, ia berupa keyakinan, harapan, cita-cita,
kekecewaan dan seterusnya. Seperti diungkapkan, Geertz, emosi yang merajut
rangkaian makna dalam kebudayaan adalah kata kunci dalam memahami tindakan dan
kebudayaan manusia. Simbol-simbol lewat mana manusia berkomunikasi,
mengekspresikan perasaan dan mengembangkan pengetahuannya dalam kehidupan,
ujar Geertz, harus dipahami agar mengerti mengapa manusia melakukan tindakan sosial
tertentu.
Dengan kata lain, sejauh menyangkut tindakan manusia, begitu banyak sisi
kehidupan yang harus dipertimbangkan. Disinilah, ungkapan Braudel, pelopor
pendekatan total history, menginspirasikan kita bahwa semua unsur di masa silam –
manusia, alam, peristiwa sosial politik dan situasi psikologis– memiliki ritme-ritme
kehidupan, pertumbuhan dan perannya sendiri-sendiri, dan sebuah panggung sejarah
baru hanya akan lengkap bila keseluruhan aspeknya memainkan perannya sendiri-
sendiri ibarat sebuah orkestra.”
3. Peranan Raja, Istana dan Konversi Agama di Asia Tenggara
Peranan penting istana-istana dan para raja di Asia Tenggara dalam mendorong
proses Islamisasi tidaklah diragukan. Dalam membahas Islamisasi di sepanjang rute
laut dan peranan yang dimainkan para penguasa dihadapan rakyatnya, banyak
sejarawan tidak bisa menghindari kenyataan betapa kuatnya peranan istana dan para
raja tersebut. Milner, karena itu, mengingatkan untuk tidak mengabaikan perhatian atas
peranan mereka.

Para penguasa Asia Tenggara haruslah dilihat bahwa mereka telah


(sebagaimana mereka memerankan dirinya) memainkan peranan yang sangat penting
dalam proses Islamisasi, bahwa inovasi-inovasi dan inkalkulasi agama harus
disandarkan pada mereka. Para raja telah berperan sentral dan memainkan karakteristik
dominan di negara-negara Asia Tenggara.
Paling tidak ada tiga alasan mengapa para penguasa dan istana harus diberi
perhatian lebih dalam mengkaji proses Islamisasi: Pertama, dimilikinya peranan
istimewa dan posisi stategis mereka dihadapan rakyatnya. Dunia pandang kerajaan-
kerajaan dan para rajanya di Asia Tenggara relatif homogen, semuanya memiliki sistem
penghayatan, tradisi dan dunia pandang yang relatif seragam sebagai warisan dunia
pandang tradisi lokal dengan nilai-nilai Hinduisme India. Kerajaan-kerajaan Asia
Tenggara merupakan titik pertemuan antara tradisi-tradisi politik Jawa, Burma,
Thailand dan Vietnam di satu sisi dan ide-ide politik agama India di sisi lain. Reid
menggambarkan bahwa unsur dominan kepercayaan tradisional tentang kekuasaan
pada istana-istana di Asia Tenggara bersifat spiritual.
Dalam kasus Melayu, Milner mengatakan, “sebagaimana halnya Raja Jawa,
Raja Melayu juga dipercaya sebagai pemilik semua tanah di wilayahnya dan rakyatnya
menyadari dirinya sebagai budak-budak Raja.” Dengan demikian, “orang-orang
Melayu menyadari dan menggambarkan dirinya,” kata Milner, “hidup tidak dalam
negara atau dibawah hukum-hukum Tuhan, melainkan di bawah hukum Raja.”
Masyarakat Jawa percaya bahwa “mereka hanya memerlukan beberapa hari saja di
dalam istana untuk menyadari keharusan melakukan pemujaan berhala dimana para
penguasa istana memerintah atas nama Tuhan, mereka juga percaya tanah dan rakyat
adalah milik raja-raja mereka.” Raja Alam di Minangkabau dipandang oleh rakyatnya
sebagai pancaran Tuhan. Seperti halnya rakyat Pasai, Dampier menyatakan, “rakyat
Mindanau juga mendekati rajanya dengan hormat dan pemujaan, dengan membungkuk
dan berlutut.”
Ketika Islam masuk ke dalam struktur masyarakat seperti ini, dengan tradisi
penghayatan dan dunia pandang yang sudah mengakar kuat, posisi tradisional raja dan
rakyat seperti digambarkan di atas tidak berubah dan pada gilirannya memfasilitasi
saluran yang efektif bagi proses Islamisasi. Sekali rajanya berpindah agama memeluk
Islam, dengan mudah diikuti oleh seluruh rakyatnya. Gejala ini adalah umum terjadi di
kerajaan-kerajaan Nusantara dan Asia Tenggara sebagai model konversi agama
kerajaan-kerajaan Hindu kepada Islam.
Kedua, terdapat hubungan para penguasa istana dengan jaringan perdagangan
dunia. Sudah menjadi determinasi sejarah Nusantara bahwa Islamisasi terjadi pada saat
era perdagangan (the age of commerce) yang mengalami puncak kesibukannya pada
abad ke-15–17. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu hampir tidak ada satu pun kerajaan
yang berada di pelabuhan-pelabuhan kota (city-ports) yang tidak terhubungkan dengan
perdagangan internasional. Sementara itu, situasi perdagangan sendiri tengah
mengalami puncak kesibukannya pada periode booming perdagangan perak (silver
boom) yang terjadi antara tahun 1570–1630. Agar perdagangan itu tetap aktif dan
terjaga, adalah tidak mungkin bagi istana-istana di Asia Tenggara tidak mengikatkan
diri mereka pada situasi perdagangan internasional saat itu.
Konsekuensinya, relasi antara istana dan perdagangan tumbuh berkembang luar
biasa. Dalam konteks inilah, Hooker mengatakan, "Islam secara khas adalah sebuah
fenomena istana," dimana saudagar-saudagar besarnya umumnya adalah orang-orang
Arab, Muslim India dan Cina. Sejak awal, Islam –selain sebagai agama rakyat yang
menyebar di lapisan bawah– kemudian juga berkembang menjadi karakter istana.
Sebagai agama dakwah (missionaris), Islam kemudian menyebar melalui kota-kota
pelabuhan di Asia Tenggara dimana transaksi-transaksi antara para saudagar Muslim
dan kerajaan-kerajaan lokal terjadi. Maka, “perpindahan agama kepada Islam,” ungkap
Jay, “menyebar ibarat gelombang, dari Timur ke Barat, melalui negara-negara
kepulauan. Setelah itu, selama lebih dari bentangan dua abad, kebanyakan pusat-pusat
perdangan besar termasuk pelabuhan-pelabuhan di utara Jawa, berada dalam pengaruh
penguasa-penguasa Muslim lokal.”
Ketiga, dampak besar masuk Islamnya para penguasa. Dalam pandangan dan
kepercayaan tradisional pra-Islam, penguasa atau raja-raja dipersepsi sebagai “dewa-
raja” (god-kings), “pancaran dewa” (god-emanations), atau “reinkarnasi dewa" (god-
reincarnations) dimana rakyat menghamba dan melayani mereka sepenuh hati dengan
jiwa raga karena raja dipercaya oleh rakyatnya sebagai titisan dewa sehingga legitimasi
kekuasaan raja sangat kuat. Taat kepada raja dihayati sebagai taat kepada dewa. Maka,
berontak kepada raja adalah sesuatu yang tabu atau tidak mungkin. Kepercayaan ini
terus berlanjut hingga masuknya pengaruh Islam. Karenanya, mudah diduga, sistem
kepercayaan lama ini melempangkan jalan yang mudah bagi Islamisasi. Konversi
agama para penguasa lokal memfasilitasi percepatan gelombang masuknya Islam
secara kuantitatif. Sejarah Melayu, seperti dikutip oleh Milner, menginformasikan
bahwa Sultan Muhammad Syah, Raja Malaka, "adalah orang pertama yang masuk
Islam di Malaka, dan kemudian memerintahkan semua rakyatnya, baik golongan
rendah atau golongan elit, untuk masuk Islam.” Di Buton, Halu Oleu atau Timbang-
timbangan raja ke-6 Kerajaan Buton masuk Islam pada 1538 dan bergelar ‘ulul amri
wa qa’imuddin (pemerintah dan penegak agama). Setelah ia masuk Islam kemudian
diikuti serentak oleh rakyatnya. Alauddin masuk Islam pada 1605, ia merubah Gowa
menjadi kerajaan Islam dimana ia menjadi sultannya yang pertama. Setelah Alauddin
mengumumkan Islam sebagai agama resmi kerajaannya, ia memerintahkan seluruh
rakyatnya untuk masuk Islam. Setelah mengislamkan rakyatnya, Sultan Alauddin juga
menyeru kerajaan-kerajaan tetangga yaitu Bone, Soppeng dan Wajo untuk bersatu dan
memeluk Islam dengan bayangan ancaman perluasan kekuasaan kompeni Belanda
yang sudah melebar ke perairan Maluku. Masuknya Islam ke kerajaan Banjar
Kalimantan selatan dibawa oleh Demak saat Majapahit tengah mengalami kemunduran.
Rajanya yang terkenal adalah Sultan Suriansyah, sultannya yang pertama yang
sebelumnya bernama pangeran Daha. Ia merupakan tokoh terpenting dalam sejarah
sejarah di Kalimantan karena melalui keislaman dialah, para pembesar dan rakyat
Kesultanan Banjar masuk Islam. Kekuasaan Banjar meliputi daerah-daerah Sambas,
Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Batanglawai, Medawi, Landak, Mendawai, Pulau
Laut, Kutai Pasir dan Berau. Diberitakan dalam sejarah Tallo bahwa Islam dibawa ke
Makassar oleh Sultan Abdullah dari Tallo dan kemudian secara resmi diikuti oleh
seluruh penduduk kerajaan Makassar dan Bugis selama tahun 1605–1612. Selain
penyebaran Islam, raja-raja Nusantara juga dipercaya sebagai penjaga syari’ah (the
guardians of Islamic shari'a). Iskandar Muda, penguasa Aceh (1607–1636), "diberi
tanggung jawab untuk memperkuat pemberlakuan syari’at Islam bagi rakyatnya.”
Sementara, Siegel menyatakan, "sultan telah berfungsi sebagai penjaga berlakunya
hukum Islam dan negara kerajaan difungsikan sebagai aparat dan administrasi untuk
mengelola dan mengorganisasikannya."
Dari penjelasan tersebut, nampaklah bahwa proses Islamisasi khususnya di
daerah-daerah urban yaitu kota-kota pelabuhan sepanjang jalur pantai dimana kerajaan-
kerajaan umumnya berada, berlangsung secara efektif. Malaka, selain sebagai
pelabuhan terbesar juga "telah mendorong perluasan agama Islam di seluruh daerah
pantai Semenanjung Malaka dan Sumatra bagian timur. Negara-negara pelabuhan baru
Islam tumbuh subur di sepanjang rute-rute rempah-rempah ke pantai utara Jawa dan
Maluku yang terus meluas ke Brunei dan Manila.” 4
4. Identitas Baru
Telah dijelaskan dimuka bahwa Asia Tenggara adalah kawasan pertemuan
peradaban-peradaban besar yang kemudian mendorong banyak perubahan dan

4
Moeflich Hasbullah. “Perdagangan, Internasionalisme, dan Konversi Agama: Perspektif Psiko-sosial dalam
Islamisasi di Nusantara Abad ke-15–17”. Jurnal Kajian Agama dan Budaya, Lembaga Penelitian (LEMLIT)
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,Volume 29, Nomor 1, 2012. Halaman 11-15.
perkembangan sosial politik yang terjadi didalamnya, mempengaruhi orientasi berfikir,
semangat jiwa, corak kehidupan masyarakat dan menentukan arah perkembangan
sejarah kawasan tersebut. Salah satu dampak yang segera muncul dari perkembangan
sosial ekonomi akibat perdagangan adalah kemakmuran dan naiknya status sosial.
Transformasi status sosial ekonomi adalah sesuatu yang niscaya dilihat dari situasi
kegiatan ekonomi dalam bentuk perdagangan di yang sangat kaya di Jawa. Kekayaan
pulau itu digambarkan Marco Polo pada tahun 1291 sebagai berikut:
“Pulau itu kaya sekali. Ada lada, buah pala, sereh, lengkuas, kemukus, cengkeh dan
semua rempah-rempah yang langka di dunia. Pulau itu didatangi sejumlah besar kapal
dan pedagang, yang membuat laba tinggi disana. Di pulau itu terdapat harta kekayaan
sedemikian banyaknya hingga tak ada orang di dunia ini yang dapat menghitungnya
ataupun menceritakannya semua. Dan ketahuilah bahwa Khan Agung tidak dapat
memperolehnya, karena jauh dan berbahayanya pelayaran menuju ke sana. Dari pulau
itu, para pedagang dari Zaitun (Quanzhou) dan Mangi (Cina selatan) telah memperolah
harta banyak sekali dan begitulah halnya setiap hari.”
Secara umum, abad ke-15-17 adalah periode munculnya orang-orang baru –budak-
budak, rakyat kecil dan pedagang-pedagang yang menjadi kaya– meskipun beberapa
dari mereka kurang mampu mengatur dirinya, Tome Pires menilai bangsawan-
bangsawan besar Jawa itu “senantiasa berlagak sombong dan membuat orang
menghormati mereka seakan-akan merekalah penguasa jagat raya…” Pada
perkembangannya, setelah terjadinya perubahan ekonomi dan naiknya status sosial, di
kawasan Asia Tenggara muncul sebuah tipe masyarakat baru yang dicirikan oleh dua
perubahan besar dalam kehidupan ekonomi dan politiknya. Perubahan besar dalam
ekonomi adalah perkembangan sistem keuangan dimana masyarakat Nusantara untuk
pertama kalinya menciptakan ekonomi moneter dan memiliki sistem keuangannya
sendiri. Munculnya sistem moneter tentu menggoncangkan sistem sosial lama dan
merubah sistem dependensi sosial politik. "Sebuah elit baru terbentuk, yang tidak lagi
berdasarkan kelahiran dan keuntungan tanah pertanian, tetapi berdasarkan kekayaan
benda bergerak.”
Pada periode tersebut, selain terjadinya restrukturisasi sistem perbudakan, muncul
juga sebuah konsep baru tentang negara dimana negara tidak lagi dilihat sebagai
interaksi antara mikro dan makro kosmos tetapi juga sebagai perangkat hukum dan
kontrak sosial. Eksistensi kesultanan di Asia Tenggara sendiri adalah sebuah tahap
perkembangan penting dalam modernisasi sistem politik. Pada periode dimana
mayoritas masyarakat Asia Tenggara tengah dipengaruhi oleh perubahan-perubahan
sosial, ekonomi dan politik ini, mereka sendiri secara simultan sedang terserap ke dalam
sistem ekonomi internasional. Karena itulah, kebutuhan untuk melakukan transformasi
diri ke dalam sebuah tatanan dunia baru dengan identitas diri yang baru pula akhirnya
tidak terelakkan, Dalam menghadapi tantangan-tantangan perubahan sosial pada abad
ke-17 di Asia Tenggara, tradisi dan mentalitas lama tidak lagi relevan. Dalam konteks
inilah, konversi agama kepada agama baru menemukan pijakan eksplanasinya. Selain
tidak terhindarkan, berpindah agama kepada Islam juga bermakna memasuki sebuah
lembaran hidup dan pergantian identitas baru. identitas masyarakat pribumi ini dapat
diamati pada abad ke-16 ketika sejumlah masyarakat rural dan urban masuk Islam.
Diprakarsai oleh para penguasanya, mereka “meninggalkan cara hidup lama, seperti
mengkonsumsi babi, kemudian mengenakan pakaian ala Islam, mengucapkan
‘assalamu’alaikum,’ melaksanakan ritual baru dan mengidentifikasi diri mereka
sebagai bagian dari masyarakat Islam internasional.”

Selain itu, aspek penting lain dari konversi Islam yang menjelaskan bahwa masuk
Islam berarti memiliki identitas baru adalah, seperti diutarakan Coedès, tentang sistem
aristokrasi Hinduisme. Sebagaimana sejarah membuktikan bahwa Hinduisme Asia
Tenggara berasal dari India, sistem kasta India juga “terkubur dan hilang ke dalam
lapisan bawah kesadaran masyarakat Jawa.” Dalam doktrin Hinduisme, tidak akan
pernah ada perubahan status pemeluk Hindu dari kelas bawah ke kelas di atasnya
selama mereka dilahirkan sebagai kelas rendah. Ketika Islam datang dengan prinsip
egalitarianismenya dihadpan Tuhan, prinsip ini berfungsi sebagai pendorong penting
bagi percepatan Islamisasi.

Islam telah menjadi kekuatan pembebas (liberating force) bagi masyarakat-


masyarakat tertindas yang terstruktur secara hirarkhis. Di Asia Tenggara, terutama di
Jawa, prinsip persamaan ini menemukan momentumnya. Bagi kelas bawah (sudra)
dalam struktur masyarakat Hindu, menjadi Muslim berarti menaikkan status dan posisi
sosial, derajat kemanusiaan, harga diri dan identitas. Islam memperlakukan mereka
sebagai manusia yang mulia dan terhormat. Prinsip ini, sebagaimana dicatat
Nieuwenhuijze, adalah faktor pendorong bagi akselerasi Islamisasi bagi masyarakat
urban dan penduduk yang tinggal di sepanjang pantai utara Jawa yang tidak menyukai
ajaran kasta Hindu yang merendahkan mereka. 5

5
Moeflich Hasbullah. “Perdagangan, Internasionalisme, dan Konversi Agama: Perspektif Psiko-sosial dalam
Islamisasi di Nusantara Abad ke-15–17”. Jurnal Kajian Agama dan Budaya, Lembaga Penelitian (LEMLIT) UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta,Volume 29, Nomor 1, 2012. h.33-38
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Islamisasi Asia Tenggara

Sejarah Asia Tenggara adalah gelombang Islamisasi yang hingga kini masih
menyimpan kekaguman sekaligus rasa kepenasaran (curiosity) para sejarawan,
terutama parasejarawan Barat. Hingga kini, kuriositas sejarah ini belum hilang dari
memorikolektif sejarawan. Islamisasi dipandang sebuah sukses besar terutama bila
dilihat dari aspek geografis yaitu jarak yang sangat jauh dari pusat Islamnya di Timur
Tengah.

2. Perspektif Psikososial dalam Islamisasi di Nusantara Abad ke 15-17


- Fenomena sosial yang mendominasi panggung sejarah Asia Tenggara
pada abad ke-15-16 adalah jaringan perdagangan internasional yang
bercorak kosmopolit.Dimana penduduk Muslim melakukan aktivitas
perdagangan dan mengalami peningkatan status ekonomi, tulisan ini
ingin menunjukkan bahwa faktor keuntungan ekonomi sesungguhnya
hanyalah sebuah batu loncatan (stepping stone) atau langkah antara
(temporary aims) untuk memasuki sesuatu yang lebih bermakna dalam
konversi agama.
- Dalam Faktor Psikologi Sosial terdapat penghayatan dari Masyarakat
pribumi atas situasi perdagangan Internasional yang mencangkupi
kehidupan sosial dimana hal tersebut melahirkan sebuah imajinasi, dan
juga harapan-harapan tentang masa depan dan Identitas baru. Karena
aspek-aspek itulah yang berperan lebih kuar dalam hal mempengaruhi
penduduk untuk masuk islam.
3. Istana, Raja dan Konversi Agama
Ada tiga alasan mengapa para penguasa dan istana harus diberi perhatian lebih
dalam mengkaji proses Islamisasi:
- Pertama, dimilikinya peranan istimewa dan posisi stategis mereka
dihadapan rakyatnya.
- Kedua, terdapat hubungan para penguasa istana dengan jaringan
perdagangan dunia. Sudah menjadi determinasi sejarah Nusantara
bahwa Islamisasi terjadi pada saat era perdagangan (the age of
commerce) yang mengalami puncak kesibukannya pada abad ke-15–17.
- Ketiga, dampak besar masuk Islamnya para penguasa. Dalam
pandangan dan kepercayaan tradisional pra-Islam, penguasa atau raja-
raja
4. Identitas Baru

Asia Tenggara adalah kawasan pertemuan peradaban-peradaban besar


yang kemudian mendorong banyak perubahan dan perkembangan sosial politik
yang terjadi didalamnya, mempengaruhi orientasi berfikir, semangat jiwa, corak
kehidupan masyarakat dan menentukan arah perkembangan sejarah kawasan
tersebut
DAFTAR PUSTAKA

Dardiri Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, ( Pekanbaru, kerjasama ISAIS dan Alat Baru,
2006 )
Dr. Hj. Helmiati, M.Ag, Sejarah Islam Asia Tenggara , Nuansa Jaya Mandiri Pekanbaru 2014
Robert R Jay, Relegion and politics in Rural Java, curtural Report Series, Southeast Asia
Studies, Yale University, 1963,
Moeflich Hasbullah. “Perdagangan, Internasionalisme, dan Konversi Agama: Perspektif
Psiko-sosial dalam Islamisasi di Nusantara Abad ke-15–17”. Jurnal Kajian Agama dan
Budaya, Lembaga Penelitian (LEMLIT) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,Volume 29, Nomor
1, 2012
Moeflich Hasbullah. “Perdagangan, Internasionalisme, dan Konversi Agama: Perspektif Psiko-
sosial dalam Islamisasi di Nusantara Abad ke-15–17”. Jurnal Kajian Agama dan Budaya,
Lembaga Penelitian (LEMLIT) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,Volume 29, Nomor 1, 2012.

Anda mungkin juga menyukai