Anda di halaman 1dari 187

Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional


Badan Penelitian, Pengembangan dan Perbukuan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi

JEJ
JEJA K
K MULTIKULTUR
MULTIKULTUR A LISME
LISME D
D A A A
L
L M
M RKEOLOGI
RKEOLOGI
Membaca Makam Islam di Palembang

RETNO PURWANTI
JEJAK MULTIKULTURALISME PADA ARKEOLOGI
Membaca Makam Islam di Palembang

Oleh:
Retno Purwanti

Editor:
Nor Huda Ali

BALAI ARKEOLOGI PROVINSI SUMATERA SELATAN


PALEMBANG
2021
Jejak Multikulturalisme Pada Arkeologi
Membaca Makam Islam di Palembang
+ i-xxi, 160 hlm, 14.8 cm x 21 cm
ISBN: 978-623-98580-0-1

Penulis : Retno Purwanti


Editor : Nor Huda Ali
Lay out : Titet Fauzi Rachmawan dan Trisna Sari Agustin

Cetakan Pertama, 2021

Diterbitkan Oleh:
Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan
Lorong Rusa Jl. Kancil Putih, Demang Lebar Daun, Kec. Ilir Bar. I,
Kota Palembang, Sumatera Selatan 30137
Telepon: (0711) 445247
Email: balaiarkeologi.sumsel@kemdikbud.go.id
https://arkeologisumsel.kemdikbud.go.id/

Gambar Sampul : Makam Talang Kerangga tahun 2020


KATA PENGANTAR KEPALA BALAI

Alhamdulillah, puji syukur atas terbitnya buku “JEJAK


MULTIKULTURALISME DALAM ARKEOLOGI Membaca Makam
Islam di Palembang”. Buku ini merupakan hasil penelitian desk study
tahun 2020 disaat pandemi covid-19 sedang melanda. Ternyata di balik
kesulitan ada kemudahan, terbukti buku ini terbit pada saat kondisi yang
kurang menguntungkan. Akan tetapi dengan keyakinan dan kerja keras,
semuanya bisa terjadi.
Wilayah kerja Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan terdiri
dari Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, dan Kepulauan
Bangka Belitung. Di wilayah kerja, data arkeologi tersebar di dataran
tinggi, dataran rendah sampai pantai/pesisir. Palembang adalah salah
satu wilayah kerja yang mempunyai keragaman data arkeologi,
terutama masa Hindu-Buddha (Sriwijaya), Islam (Kesultanan
Palembang Darussalam), dan kolonial. Sejak masa Sriwijaya sampai
masa-masa berikutnya, Palembang merupakan tempat bertemunya suku
bangsa, etnis dan budaya yang berbeda. Maka tidaklah mengherankan
apabila di kota ini terjadi pembauran dari berbagai budaya.
Multikulturalisme terlihat pada makanan, hasil seni/budaya, dan
data arkeologi. Sebagai suatu hasil budaya, data arkeologi dapat
menjelaskan terjadinya percampuran budaya, faktor-faktor yang

i
mempengaruhinya serta dampaknya. Multikulturalisme pada masa
Islam terlihat pada beberapa makam. Makam Islam di Palembang
dipengaruhi budaya yang telah berkembang sebelumnya, budaya
berkembang secara berkesinambungan.
Sebagai kelanjutan hasil penelitian arkeologi, buku ini semoga
dapat menampilkan dan menambah data arkeologi baru. Buku ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan (peneliti,
akademisi, pemerintah daerah, dll). Semoga.

Kepala Balai

ii
Pengantar Editor
AKULTURASI BUDAYA PADA MAKAM KUNO MUSLIM DI
INDONESIA:
Bagaimana Bisa Terjadi?

Akulturasi budaya adalah perpaduan di antara unsur-unsur yang


berbeda dan bersatu dalam upaya membentuk kebudayaan baru tanpa
menghilangkan kepribadian kebudayaan yang asli. Dengan demikian,
yang dimaksud akulturasi budaya di sini adalah terjadinya dialektika
kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal yang telah berkembang,
sehingga membentuk kebudayaan yang khas Nusantara. Dalam kasus
ini, perlu dicermati ajaran Islam, proses islamisi, dan resepsi
masayrakat Islam.
Sebagai agama universal, Islam telah membawa peradabannya
sendiri yang berakar kuat pada pada tradisi yang sangat panjang sejak
masa Rasulullah. Ketika bersentuhan dengan situasi lokal dan
partikular, peradaban Islam itu tetap mempertahankan esensinya yang
sejati, walaupun secara instrumental menampakkan bentuk-bentuk yang
kondisional.1 Oleh karena itu, kebudayaan Islam di Indonesia
mempunyai kekhasan tersendiri yang berbeda dengan kebudayaan Islam
di negara-negara Islam lainnya. Hal ini dapat dilihat beberapa
kebudayaan material yang telah dikaji secara arkeologis. Di antara
peninggalan arkeologi Islam Nusantara dapat dikelompok ke dalam dua
kategori, yaitu bangunan sakral -atau disakralkan- dan profan. Yang

1
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999),
h. 82.
iii
termasuk dalam kateori pertama adalah masjid dan makam. Termasuk
dalam kategori kedua adalah bangunan lingkungan istana, bangunan-
bangunan publik, pemukiman, dan lain-lain.
Aspek-aspek arkeologi Islam di Indonesia sudah banyak dikaji oleh
Uka Tjandrasmita (1930-2010) dan Hasan Muarif Ambary (1939-2006),
dua tokoh penting dalam penelitian arkeologi Islam di Indonesia. Kedua
figur ini telah menekuni bidang kajian sejarah dan arkeologi Islam di
Indonesia. Yang disebut pertama telah banyak menghasilkan karya tulis
yang, di antaranya, berjudul Arkeologi Islam Nusantara (2009) -sebuah
buku kumpulan hasil penelitian. Sementara itu, di antara karya
monumental Ambari adalah Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis
dan Historis Islam di Indonesia (1998). Karya-karya ini telah
menjelaskan proses islamisasi Nusantara (Indonesia) sampai
terbentuknya budaya yang khas Islam Indonesia berdasarkan data
arkeologis.
Sejak masuk dan berkembangnya, Islam di Indonesia memerlukan
proses yang sangat panjang dan melalui saluran-saluran Islamisasi yang
beragam, seperti melalui perdagangan, perkawinan, tarekat atau
tasawuf, pendidikan,2 cabang-cabang kesenian, dan lain-lain. Antara
kedatangan Islam, etrbentuknya masayrakat Muslim, lebih-lebih
munculnya kerajaan-kerajaan Islam, mengambil proses waktu berabad-
abad. Proses tersebut melalui beragam saluran yang tentunya saling

2
Marwati Djoned Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah
Nasional III (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 188-95.
iv
menguntungkan kedua belah pihak, baik orang-orang Islam yang datang
maupun masyarakat yang menerima Islam. 3 Tentu saja di sini
melibatkan faktor-faktor yang bersifat ekonomi dan politik. Fakta
kehidupan sosial di kota-kota pelabuhan pulau-pulau di Nusantara
sebelum Islam tentu saja melibatkan struktur politik yang cukup
canggih.4
Hasan Muarif Ambary membagi fase islamisasi ke dalam: [I] fase
kehadiran para pedagang Muslim, [II] fase terbentuknya kerajaan Islam
(abad XIII-XVI), dan [III] fase pelembangaan Islam.5 Dalam proses
islamisasi ini juga berlangsung melalui jaringan yang berfungsi secara
cepat dan tepat dalam memanfaatkan saluran media lokal. Penyebaran
tersebut mengalir melalui jalur ekonomi perdagangan maritim yang
menimbulkan kontak dengan bangsa-bangsa dari dunia Islam seperti:
Arab, Syria, Persia, Mesir, Gujarat, Cina, dan lain-lain.
Mempertimbangkan jaringan seperti ini, B.J.O. Schrieke (sosiolog asal
Belanda) berkesimpulan bahwa sejak abad ke-16, Nusantara telah
diintegrasikan secara kultural oleh Islam yang muncul di kawasan yang
relatif jauh dari wilayah yang selama ini disebut sebagai pusat dunia

3
Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di
Indonesia (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 27-8.
4
Anthony H. Johns, “Islamization in Southeast Asia: Reflections and
Reconsiderations with Special Reference to he Role of Sufism”, Southeast Asian
Studies, Vol. 31 No. 1, June 1993, h. 43.
5
Lihat Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan
Historis Islam Indonesia (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1988), h. 55-8.
v
Islam.6 Kiranya perlu dijelaskan di sini bahwa dalam perkembangan
komunitas Muslim di Nusantara yang mulai tumbuh dari kantong-
kantong pemukiman berskala kecil (enclaves), selanjutnya berkembang
sampai pada tingkat kota pelabuhan, bahkan kerajaan yang yang
bersifat metropolis nisacaya mendorong terjadinya proses adaptasi
kultural simbiosis. Proses yang sering ditafsirkan sebagai sinkretisme
ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari terjadi dalam memberi
warna perkembangan Islam di Nusantara mengingat penyiaran dan
sosialisasi Islam berlangsung melalui cara-cara kultural dan damai
(penetration pacifique). Simbiosis mutualistis yang menggejala ini,
selanjutnya, berpengaruh besar pada produk-produk budaya dan
peradaban Islam yang telah berhasil dikembangkan di Nusantara.7
Akibat pertumbuhan kerajaan-kerajaan islam, proses islamisasi
memperoleh pijakan yang semakin kuat, dan pada saat yang bersamaan,
pusat kota besar atau kecil menjadi pusat kebudayaan Islam.8
Muarif Ambary menegaskan bahwa proses adaptasi dan akulturasi
budaya tersebut sama sekali bukan merupakan suatu wujud upaya
pengingkaran terhadap masalah-masalah akidah, ibadah, atau moralitas
Islam. Sebaliknya, “nafas Islam” dalam produk kebudayaan Nusantara
tetap terlihat dalam aspek-aspek fungsional primer, di mana seni Islam
merupakan instrumen hasil karya yang berkaitan, baik dengan

6
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, h. 63.
7
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, h. 37.
8
Uka Tjandarsasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2009), h. 36.
vi
kehidupan keagamaan maupun kehidupan sekuler. 9 Hal ini mengingat
bahwa Islam adalah agama yang sangat tegas dalam masalah aqidah -
keesaan Tuhan (tawh}i>d) dan ibadah. Namun, dalam masalah-masalah
kemasyarakatan (mu’a>malah), Islam bersikap akomodatif. Pada
kesempatan lain Hasan Muarif Ambary menyimpulkan bahwa masa-
masa datang, tumbuh dan berkembangnya Islam, unsur-unsur budaya
Islam di Nusantara, menghasilkan dan meninggalkan peradaban yang
secara ideologis bersumber pada kita>bulla>h dan Sunnah Rasul.
Sementara itu, secara fisikal, memperlihatkan anasir yang
berkesinambungan dengan unsur kebudayaan pra-Islam.10 Oleh karena
itu, kebudayaan Islam di Indonesia (Nusantara) mempunyai kekhasan
tersendiri yang berbeda dengan kebudayaan Islam di negara-negara
Islam lainnya.
Sedikit penjelasan di atas, marilah kita gunakan untuk menganalisis
makam kuno Muslim yang ada di Nusantara. Nisan atau maesan kubur
merupakan salah satu hasil budaya manusia Indonesia yang menonjol.
Dilihat dari segi bangunan, makam memiliki tiga unsur yang saling
melengkapi. Ketiga unsur itu adalah sebagai berikut. Pertama, jirat -
yang di Jawa disebut dengan kijing. Jirat atau kijing ini merupakan
pondasi dasar yang bebrbentuk persegi panjang, terkadang berhiaskan
simbar (antefix). Kedua, maesan atau nisan yang diletakkan di atas jirat

9
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, h. 37.
10
Lihat Hasan Muarif Ambary, “Makam-makam Kesultanan dan Para Wali
Penyebar Islam di Pulau Jawa”, dalam Aspects of Indonesian Archeology, No. 12
(Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1991), h. 1.
vii
atau kijing yang biasanya berjumlah dua buah -ada juga yang satu buah.
Dua nisan ini diletakkan di bagian kepala dan kaki. Sementara jirat
yang memilki satu nisan diletakkan di bagian kepala. Maesan ini ada
yang terbuat dari kayu, batu, atau logam. Ketiga, adalah atau cungkup.
Dari segi arsitektur, demikian menurut Ambary, banyak bentuk maesan
dan jirat makam kuno Muslim di Indonesia menunjukkan kelanjutan
dari tradisi arsitektur Indonesia-Hindu.11 Bahkan, pada masa prasejarah
juga sudah dikenal dengan peti-peti kubur atau sarcofag sebagai bagian
dari prosesi penguburan.
Dilihat dari perkembangan arsitekturnya, bangunan makam di
Indonesia merupakan hasil kreativitas manusia. Mereka mencoba
memberikan pola-pola hias yang beraneka ragam. Pola-pola hias yang
merupakan kelanjutan tradisi masa Indonesia-Hindu dapat dijumpai
pada makam-makam kuno Muslim di Jawa, Aceh, dan Madura.
Meskipun secara normatif Islam memerintahkan agar bangunan makam
dibuat sederhana, tetapi adanya pola-pola hias ini didorong oleh hasrat
budaya seni yang tinggi. Namun, dapat dipastikan bahwa bahwa semua
bangunan Islam tidak dibenarkan dekorasi gambar manusia. Dekorasi
yang diperbolehkan adalah lukisan, hiasan, atau ukiran dedaunan (floral
design). Oleh karena itu, para seniman Muslim Indonesia mewujudkan
hasrat seninya dengan membuat hiasan atau ukiran pada pada makam
berupa dedaunan yang telah diberi gaya (distyler) sedmikian rupa,

11
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, h. 18.
viii
sehingga -bila diamati secara cermat- tampak menyerupai makhluk
hidup.12
Ada juga makam atau nisan yang menggunakan pola hias yang
bersifat kronologis. Pada nisan itu tertulis nama tokoh yang
dimakamkan serta waktu wafatnya. Hal ini perlu dilakukan oleh
Moquette ketika meneliti makam Malik al-Shalih, pendiri Kerajaan
Samudera Pasai, yang wafat pada Ramadlan 696 H bertepatan dengan
1297 M. Selain kronologi angka tahun, pada makam-makam kuno
Muslim di beberapa tempat terdapat tulisan yang memuat dua kalimat
syahadat dan Ayat Kursi (Surat al-Baqarah: 256-7). Di samping itu, ada
makam yang nisannya bertuliskan ayat-ayat Alqur’an yang memberi
peringatan tentang kematian kepada mereka yang masih hidup. 13
Di dalam kaitan tulisan yang ada di makam, tidak bisa dilepaskan
dengan khath Arab atau kaligrafi. Kaligrafi merupakan puncak
perkembangan atau proses sosialisasi budaya Islam di Nusantara selain
aksara dan bahasa Arab dan arsitektur peribadatan yang mengadaptasi
rancang-bangun lokal.14 Ada dua macam tipe tulisan yang menjadi cikal
bakal perkembangan seni kaligrafi. Kedua tipe tulisan itu adalah kufi
dan naskhi. Tipe tulisan kufi lebih bergaya bundaran-bundaran,
sedangkan tipe naskhi berbentuk miring (cursive). Kufi merupakan
ragama tulisan yang paling awal yang digunakan dalam penulisan

12
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, h. 19.
13
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, h. 19.
14
Hasan Muarif Ambary, “Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Kiprahnya
dalam Pembangunan Nasional”, Buletin Al-Turas, Vol. 2 No. 1, 1996, h. 6.
ix
dalam sejarah Islam, meskipun salah satu kesulitannya adalah tidak
mudah dibaca secara cepat.15 Tipe kufi sangat populer dan banyak
dipakai secara luas oleh masyarakat Makkah, Madinah, dan Kufah,
sehingga tulisan tipe kufi ini dijadikan huruf resmi dalam menuliskan
Alqur’an.16 Seiring dengan perjalanan waktu terjadi pengembangan
ragam hiasan tulisan Arab, seperti: Ta’liq, Tsulus, Magribi, dan Diwani.
Akhirnya, berkembanglah ragam Naskhi yang digunakan dalam tulis
dan komunikasi.17
Di Indonesia, tipe tulisan kufi paling banyak digunakan pada
makam dan naskah kuno,18 sedangkan model tulisan yang lebih lazim
dan bisa ditemukan dalam jumlah cukup banyak adalah tulisan-tulisan
gaya naskhi. Kaligrafi ini memperkaya pola hias dedaunan yang ada
pada makam-makam kuno Muslim.
Makam kuno Muslim di Nusantara juga memiliki tipe yang
berbeda. Ada tipe Aceh, Demak-Troloyo, Ternate-Tidore, dan Bugis-
Makassar. Sesuai dengan kepentingan tulisan ini, maka di sini hanya
dibahas nisan tipe Demak-Troloyo. Nisan tipe ini dianggap memiliki
unsur-unsur kuna yang diilhami kesinambungan simbol-simbol

15
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), edisi I, cetakan 2, terj. Ghufron
A. Mas’adi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 207.
16
Muslihin Sultan, “Inskripsi Huruf Arab dan Ragam Hias pada Masjid Tua Al-
Mujahidin, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan”, Jurnal Al-Qalam, Vol. 18 No. 1,
Januari-Juni 2012, h. 103.
17
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), h. 207.
18
Sirojuddin A.R., “Peta Perkembangan Kaligrafi Islam di Indonesia”, Al-
Turas, Vol. XX No. 1, Januari 2014, h. 223.
x
penghormatan di dalam kuil-kuil Hindu.19 Konon, tipe nisan ini telah
ada sejak awal perkembangan Islam di Jawa dan Madura. Selanjutnya,
tipe nisan berkembang keluar Jawa mengikuti alur perdagangan dan
juga daerah-daerah taklukan kerajaan Islam di jawa. Ambary
menggambarkan nisan tipe Demak-Troloyo sebagai berikut: 20
Tipe [nisan] ini menyerupai kepala kerbau dengan telinga
yang mengelilingi sisi luar, sehingga membentuk pita sulur
yang ujung-ujungnya melengkung ke atas. Subasemen-nya
dibentuk dari dua atau tiga talang (pelipit) segi empat,
sedang nisan tubuh polos atau berinskripsi aksara Arab
berisi tahun dan nama [yang] wafat, serta kadang kutipan
ayat atau syair. Pada contoh yang lebih baru terdapat hiasan
tumpal di bagian tengah, atau gambar mata keris.

Nisan dengan pola hias medalion bersudut banyak (pola hias


sinar Majapahit) tersebut tersebar luas. Pola hiasan ini tidak hanya
dijumpai di makam, tetapi juga di beberapa masjid di Jawa. Motif
sinar Majapahit ini tidak hanya tersebar di pesisiran, tetapi juga di
pedalaman, seperti di Tembayat (Klaten), Kota Gede, dan Imogiri -
keduanya di Yogyakarta. Di makam Mantingan (Jepara) terdapat
sebuah nisan dengan pola hias matahari bersegi delapan yang di
engahnya dihiasi kaligrafi Arab yang berbunyi “Allah” dan
“Muhammad”. Sementara itu, di kompleks makam Sabakingking,
Palembang terdapat nisan-nisan dengan hiasan tumpal yang
ujungnya mengarah pada medalion berisi kelopak bunga konsentris.

19
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, h. 65.
20
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, h. 65.
xi
Nisan-nisan Palembang bergaya Demak-Troloyo ini berasal dari
abad ke-17 sampai 18.21
Hal penting lainnya dalam makam adalah bentuk dan
keberadaan makam-makam itu sendiri. Ada sejumlah makam kuno
Islam yang memiliki seni hias dan stereotipe candi, makam
berundak-undak, maupun bentuk-bentuk ikon pada nisan-nisan
makam raja-raja. Penempatan makam juga bervariasi mulai dari
puncak bukit, dataran, dan di sekitar masjid. Makam-makam yang
berada di puncak bukit dapat diasosiasikan dengan tradisi pemujaan
arwah nenek moyang dalam tradisi pra-Islam di Indonesia. Hal ini
menunjukkan bahwa makam yang ditempatkan paling atas
merupakan makam orang yang paling suci. Sementara itu, makam-
makam kuno Muslim yang ada di dataran, orang-orang yang
dianggap paling suci , makamnya ditempatkan halaman yang paling
belakang, yaitu halaman ketiga. Demikian pula dengan bentuk nisan
(maesan) dan kijingnya yang tinggi berundak, biasanya
menunjukkan kedudukan atau status sosial yang tertinggi. 22
Pengaruh tradisi pra-Islam lainnya dalam kaitannya dengan
makam adalah sebutan makam itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia
kata makam, paling tidak memiliki lima pengertian. Di antara kelima
itu, makam berarti: kubur, tempat tinggal (kediaman), dan

21
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, h. 65.
22
Uka Tjandarsasmita, Arkeologi Islam Nusantara, h. 5.
xii
kedudukan mulia (tinggi). 23 Sementara itu, makam dalam bahasa
Arab berbeda dengan pengertian dalam bahasa Indonesia, meskipun
kata ini diserap dari bahasa Arab, maqam. Dalam bahasa Arab,
maqam -dengan huruf “qaf”, bukan “kaf”- berarti: [1] tempat
berpijaknya dua kaki, [2] kedudukan seseorang, [3] berdiri, [4]
bangkit, [5] bangun, dan [6] berangkat.24 Makam yang dimaksudkan
kuburan dalam bahasa Indonesia -dalam bahasa Arab- adalah al-
qabru yang berarti mengebumikan jenazah, memendam, melupakan,
memasukkan, dan menyembunyikan. Sementara itu, tempatnya
disebut dengan maqbarah, yang dalam bahasa Indonesia disebut
dengan pekuburan. Kubur dan kuburan, dalam bahasa Indonesia
memiliki makna yang sama, tempat menguburkan mayat. 25
Kecenderungan digunakannya kata makam daripada kata
kuburan oleh orang-orang Indonesia, secara etnografis, berkaitan
dengan penghormatan leluhur. Menurut Ambary, dalam tradisi pra-
Islam hampir tidak mengakui kematian. Karena itu, kata kematian
seringkali disamarkan dengan -atau ditafsirkan sebagai- “kembali ke
alam dewa”, “hilang”, “sirna”, atau “moksa”. Dengan demikian,
makam tidak dianggap sebagai kubur dalam pengertian Islam, tetapi

23
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam
https://kbbi.web.id/makam. Diakses pada Selasa, 08 September 2020 pukul 09.06 wib.
24
Bandingkan dengan Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Besar
Arab- Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1175.
25
Halimi Zuhdy, “Salah Kaprah Soal Istilah Makam dan Kuburan”, dalam
https://www.nu.or.id/post/read/110992/salah-kaprah-soal-istilah-makam-dan-
kuburan. Diakses pada Selasa, 08 September 2020 pukul 09.36 wib.
xiii
sebagai tempat “tidur panjang” (pesarean), “astana”, atau “tempat
ketenangan” (kasunyatan).26 Inilah hakikat dari sebuah kematian di
mana alam kubur merupakan salah satu titik tolak untuk menuju ke
alam selanjutnya pada Hari Kebangkitan kelak.
Secara normatif, Nabi Muhammad SAW telah melarang
pembangunan terhadap makam untuk menjaga kemurnian keyakinan
Islam dan menjaga keyakinan Islam bahwa hidup sebagai
pengasingan sementara.27 Meskipun demikian, Islam sebagai
peradaban tidak dapat terhindar dari pertanda atau perlambang. Hal
ini biasa dilakukan oleh umat Islam dalam membangun pertanda
sejumlah makam para wali dan raja-raja. Oleh karena itu, arsitektur
pembangunan makam-makam mengalami perkembangan yang
cukup pesat sepanjang sejarah Islam meskipun terdapat sejumlah
larangan.28
Sebagai catatan akhir perlu ditegaskan bahwa dalam kaitannya
dengan akulturasi makam-makam kuno Muslim di Indonesia, paling
tidak, ada tiga hal penting yang perlu dicatat. Ketiga hal itu adalah:
ajaran Islam, sosialisasi Islam, resepsi Islam. Pertama, bahwa Islam
adalah agama universal yang berlaku bagi seluruh umat manusia
sepanjang zaman di seluruh dunia. Dalam ajaran Islam terdapat
aspek-aspek yang berkaitan dengan akidah atau ibadah dan

26
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, h. 42.
27
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), h. 246.
28
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), h. 246.
xiv
mu’amalah. Yang disebut pertama, umat Islam dilarang keras untuk
mengubahnya. Semuanya harus dilakukan dengan penuh keimanan.
Sementara itu, hal-hal yang berkaitan dengan mu’amalah, umat
Islam diberi kewenangan untuk berkreativitas selama itu tidak
melanggar norma-norma akidah. Hal inilah yang memberi peluang
umat Islam pada masa untuk memadukan unsur-unsur budaya lokal
atau pra-Islam dengan kebudayaan Islam itu sendiri.
Di samping itu, yang juga diperlu diperhatikan adalah corak
keberagamaan umat Islam Nusantara yang cenderung ke arah
sufistik. Ajaran agama seperti ini lebih mementingkan substansi
ajaran Islam daripada kepada ajaran-ajaran yang bersifat formalistik.
Salah satu corak keberagamaan yang bersifat sufistik adalah lebih
toleran dan inklusif dengan paham-paham lain. Dengan sikap seperti
ini, mereka terbuka dengan ajaran atau budaya lain yang dipandang
tidak bertentangan secara akidah.
Kedua, kita semua tahu bahwa agama Islam disebarluaskan
dengan cara yang damai. Islamisasi berjalan secara alamiah sehingga
memerlukan proses yang cukup panjang. Sosialisasi Islam yang
demikian menjadikan perjumpaan antar budaya lebih bersifat
akomodatif daripada resisten. Hubungan budaya seperti ini
menghasilkan interaksi budaya yang simbolis-mutualistis. Proses
perjumpaan budaya yang demikian, akan menghasil sebuah budaya
yang lebih tahan lama.

xv
Ketiga, meskipun demikian, harus juga dicatat bahwa orang-
orang Nusantara memiliki sikap ekletif dalam menerima kebudayaan
dari luar. Mereka hanya menerima khazanah intelektual kebudayaan
asing, bukan menerima secara totalitas. Oleh karena itu, orang-orang
Nusantara dapat mempertahankan kebudayaannya yang khas
meskipun pernah mengalami Indianisasi dan islamisasi. Nusantara
(Indonesia) dipengaruhi kebudayaan Hindu, tapi tidak pernah
menjadi India. Begitu juga dengan pengaruh kebudayaan Islam yang
tidak serta merta Indonesia ter-Arab-kan. Dengan cara seperti ini,
kebudayaan yang datang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga
dapat diterima oleh semua kalangan.
Buku yang ditulis oleh Mbak Retno Purwanti pendek ini
mendiskusikan makam kuno muslim yang mengindikasikan telah
adanya akulturasi kebudayaan. Kajian ini bermaksud menganalisis
pola atau ragam hias yang ada di makam kuno yang ada karena di
luar otoritas keilmuan. Buku tersebut juga melihat proses terjadinya
akulturasi itu sendiri. Oleh karena itu, rekonstruksi sejarah dalam
tulisan ini perlu mempertimbangkan pendekatan interdisipliner,
seperti: sosiologi, antropologi, dan Islam selain ilmu sejarah itu
sendiri.
Walla>hu a’lam bi al-s}awab!

Daftar Rujukan

xvi
Ahmad Warson Munawwir. Kamus Al-Munawwir: Besar Arab-
Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Glasse, Cyril. Ensiklopedia Islam (Ringkas), edisi I, cetakan 2, terj.
Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Halimi Zuhdy. “Salah Kaprah Soal Istilah Makam dan Kuburan”, dalam
https://www.nu.or.id/post/read/110992/salah-kaprah-soal-istilah-
makam-dan-kuburan. Diakses pada Selasa, 08 September 2020 pukul
09.36 wib.
Hasan Mua’arif Ambary. “Makam-makam Kesultanan dan Para Wali
Penyebar Islam di Pulau Jawa”, dalam Aspects of Indoesian Archeology,
No. 12. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,1991.
Hasan Muarif Ambary. “Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan
Kiprahnya dalam Pembangunan Nasional”, Buletin Al-Turas, Vol.
2 No. 1, 1996.
Hasan Muarif Ambary. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan
Historis Islam Indonesia. Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1988.
Johns, Anthony H. “Islamization in Southeast Asia: Reflections and
Reconsiderations with Special Reference to he Role of Sufism”,
Southeast Asian Studies, Vol. 31 No. 1, June 1993.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam https://kbbi.web.id/makam.
Diakses pada Selasa, 08 September 2020 pukul 09.06 wib.
Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos, 1999.
Marwati Djoned Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.). Sejarah
Nasional III. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Muslihin Sultan. “Inskripsi Huruf Arab dan Ragam Hias pada Masjid Tua Al-
Mujahidin, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan”, Jurnal Al-Qalam, Vol.
18 No. 1, Januari-Juni 2012.
Sirojuddin A.R. “Peta Perkembangan Kaligrafi Islam di Indonesia”, Al-Turas,
Vol. XX No. 1 Januari 2014.
Uka Tjandrasasmita. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di
Indonesia. Kudus: Menara Kudus, 2000.
Uka Tjandarsasmita. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2009.
Sleman, Awal Agustus 2021

Nor Huda Ali

xvii
Kata Pengantar
Buku yang ada di hadapan pembaca ini berupaya menjelaskan
tentang fenomena kultural makam-makam Islam di Palembang pada
masa kesultanan. Buku ini merupakan hasil penelitian penelitian
berjudul: “Pengaruh Hindu-Buddha Pada Makam-Makam Islam di
Palembang”. Penelitian ini dilatar-belakangi oleh fakta bahwa hampir
tidak ada penelitian yang komprehensif tentang unsur-unsur Hindu-
Budha pada makam-makam dari masa kesultanan di Palembang.
Padahal terdapat berbagai fakta historis yang menunjukkan bahwa
Palembang merupakan kota dengan sejarah yang panjang dari masa
Sriwijaya sampai kolonial. Kajian yang paling banyak dieksplorasi
berkaitan dengan bentuk arsitektur dan akulturasi makam. Di samping
itu penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh fakta bahwa hasil budaya
Palembang tumbuh dan berkembang karena proses interaksi dengan
berbagai suku dan etnis dari luar Palembang, bahkan dari luar
Nusantara. Proses interaksi antar etnis ini memiliki dampak pada
perubahan aspek-aspek budaya dan sosial masyarakat Palembang.
Akulturasi melahirkan corak budaya yang tertuang dalam bentuk
keragaman bentuk jirat, nisan dan ragam hias pada makam. Proses
intersaksi antar budaya multikulturalisme di Palembang. Buku ini
membahas kesejarahan makam dan tokoh yang dimakamkan dengan
menyajikan realitas bangunan makam-makam dan keletakannya.

xviii
Kehadiran buku ini menjadi mungkin atas bantuan beberapa pihak
sehingga penulis harus mengucapkan terima kasih kepada beberapa
pihak. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Nor Huda Ali yang
telah menyempatkan waktunya untuk menyunting naskah ini untuk
menjadi sebuah buku. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua
pegawai Balai Arkeologi Sumatera Selatan dan anggota penelitian
terutama Titet Fauzi Rachmawan atas foto, suntingan, dan ide-idenya.
Wahyu Rizky Andhifani atas transkripsinya. Yan Arif Budiman atas
gambar peta dan Apen Hara Hara atas denahnya serta Mahasiswa UIN
Raden Fatah yang terlibat dalam pengumpulan data. Penulis juga
berterima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan
satu persatu.
Akhirnya, penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang ada
dalam buku ini; dan karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat
penulis harapkan. Meskipun demikian, penulis tetap berharap agar buku
ini bermanfaat bagi para pecinta keilmuan dan menjadi salah satu amal
ibadah yang senantiasa mendapat kerelaan-Nya. Amin!

Palembang, 30 September 2021


Penulis,

Retno Purwanti

xix
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KEPALA BALAI i


PENGANTAR EDITOR iii
KATA PENGANTAR xviii
DAFTAR ISI xx

BAB I : ISLAM DI PALEMBANG 1


A. Masuk dan Berkembangnya Islam di Palembang 1
B. Konsep Makam dalam Islam 23
C. Kedudukan Makam dalam Tata Kota Kesultanan Palembang 30

BAB II: GAMBARAN UMUM KOTA PALEMBANG 33


A. Letak Geografis dan Topografis 33
B. Demografi 44
C. Sosial Budaya 49
D. Ekonomi dan Aktivitas Perekonomian 51

BAB III: MAKAM-MAKAM ELIT POLITIK DI PALEMBANG 59


A. Kompleks Makam Kawah Tengkurep 59
B. Kompleks Makam Sabokingking 82
C. Kompleks Makam Gedingsuro 87
D. Makam Panembahan 97
E. Kompleks Makam Sultan Agung Sri Teruna 98
F. Kompleks Makam Kebongede (Sultan Mansyur) 100
G. Kompleks Makam Talangkerangga 102
H. Kompleks Makam Candi Walang (Sultan Abdurrahman) 107
I. Kompleks Makam Sidengrajek 108
J. Kompleks Makam Panembahan Hamim 113
K. Kompleks Makam Pangeran Nangling 115

BAB IV: JEJAK-JEJAK MULTIKULTURALISME PADA 117


MAKAM-MAKAM KUNO MUSLIM DI PALEMBANG
A. Deskripsi Makam 117
B. Pegaruh Hindu Buddha 146
xx
C. Multikulturalisme 148

BAB V: PENUTUP 153


A. Simpulan 153
B. Beberapa Rekomendasi 154

DAFTAR PUSTAKA 156

xxi
xxii
BAB I
ISLAM DI PALEMBANG

A. Masuk dan Berkembangnya Islam di Palembang


Islam dalam kesejarahan Indonesia diyakini sudah masuk ke
Indonesia sejak masa Kedatuan Sriwijaya melalui hubungan dagang
(Tjandrasasmita, 2008: 82). Hubungan dagang antara orang Arab dan
Persia dengan Kedatuan Sriwijaya pada abad ke-8 diperkuat dengan dua
surat yang dikirim oleh Kedatuan Sriwijaya kepada Khalifah Bani
Umayyah. Surat pertama diberikan kepada al-Jahiz (Amir al-Bahr, 136-
255 H/753-869 M). Berdasarkan cerita surat itu ditujukan kepada
Khalifah Muawiyah (41-60 H/661-680 M). Surat kedua dengan isi yang
sama disimpan oleh Ibn Adl al-Rabbih (244-329 H/860-940 M). Surat
tersebut dikirimkan maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abd
al-Aziz (99-102 H/717-720 M) yang berisi hadiah dan tanda
persahabatan (Azra, 2005: 26-30). Dengan adanya dua surat tersebut
memperlihatkan bahwa hubungan dagang yang telah berlangsung
kemudian dilanjutkan dengan hubungan diplomatik (Azra, 2005: 19).
Data arkeologis yang membuktikan adanya hubungan dagang antara
Posse (Persia) dan Ta-shih (Arab) dengan Sriwijaya adalah artefak dari
gelas dan kaca. Artefak ini berbentuk vas, botol, jambangan, pecahan
keramik, dan tembikar yang ditemukan di situs Barus, Muarajambi,
Muarasabak, dan Lambur. Barang-barang tersebut merupakan komoditi

1
penting yang didatangkan dari Persia atau Timur Dekat sejak abad ke-9
sampai ke-14 Masehi (Utomo, 2008: 103; Guillot, 2001: 139-196).
Kehadiran orang-orang Persia dan Arab di Sriwijaya juga diperoleh
dari sumber berita asing, yaitu: sumber berita Cina dan sumber berita
Arab. Sumber berita Cina yang menyebutkan adanya hubungan dagang
Persia dan Arab dengan Sriwijaya berasal dari 717 Masehi dan
menyebutkan adanya 35 kapal Posse (Persia) di Palembang
(Tjandrasasmita, 2008: 82). Dengan merujuk pada sumber berita Cina
dan Arab, Gungwu (1958: 124) memperkirakaan bahwa hubungan
dagang tersebut sudah terjadi sebelum abad ke-7 Masehi.
Sumber-sumber Arab yang menguraikan tentang hubungan dagang
antara Persia dan Arab dengan Sriwijaya antara lain: kitab al-Masa>lik
wal-Mama>lik yang ditulis oleh Ibn Hordadzbeh dari tahun 844-848
Masehi; berita Arab dari saudagar Sulayman tentang pelayarannya ke
timur berjudul Akhba>ru al-Shin wa al-Hind ditulis tahun 851 Masehi;
berita Arab dari Ibn al-Fakih pada tahun 902 Masehi; berita Arab dari
Abu Sayd pada tahun 916 Masehi; dan berita Arab dari Abu Hasan Ali
Al-Mas’udi seorang ahli geografi yang berjudul Muru>ju al-Z}ahab wa
Ma-adin al-Jawhar pada tahun 955 Masehi. Hubungan dagang antara
Arab dan Persia dengan Sumatera menurut kedua sumber berita Cina
dan Arab sudah berlangsung sejak masa Sriwijaya tetapi pemberitaan
tentang jejak Islam di Sumatera baru diperoleh dari penjelajah dari
Venesia, yaitu: Marco Polo (1254-1324 M). Dalam pemberitaannya,
Marco Polo mengunjungi Sumatera Utara pada 1292 M dan
2
menyebutkan adanya jejak-jejak Islam di beberapa tempat. Pemberitaan
lainnya diperoleh dari Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati al-
Tanji bin Batutah atau yang dikenal dengan Ibn Batutah (1304-1369 M)
yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345-1346. Dalam
memoirnya, Ibnu Battuta menyebutkan bahwa penguasa setempat telah
menerapkan hukum Islam (Mazhab Syafi’i) (Ricklef, 2013: 113).
Islam di Indonesia mengalami perkembangan pesat setelah abad ke-
13 M. Perkembangan Islam yang sudah terjadi sejak abad ke-13 di
Aceh tersebut tidak secara linier diikuti oleh daerah-daerah lainnya di
Sumatera. Hal ini terbukti dengan belum munculnya kerajaan-kerajaan
bercorak Islam di Sumatera Bagian Tengah dan Sumatera Bagian
Selatan. Di kedua bagian wilayah Sumatera ini, kedatuan-kedatuan
bercorak Islam baru muncul pada medio abad ke-16 berdasarkan tradisi
lisan dan sumber-sumber naskah kuno. Bukti dokumentasi berupa arsip
dan gambar baru ada sejak abad ke-17. Terdapat juga kerajaan-kerajaan
bercorak Islam yang baru lahir pada abad ke-19 M (Resink, 1987).
Perkembangan kerajaan-kerajaan bercorak Islam diikuti oleh tumbuh-
kembang kota-kota di berbagai wilayah di Indonesia pada abad ke-16 di
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Ternate, dan Tidore
(Tjandrasasmita, 2000: 38-40).
Bukti tertua yang mengungkap keberadaan komunitas Islam lokal
ditemukan di Sumatera Bagian Utara berupa batu nisan Sultan Sulaiman
bin Abdullah bin al-Basri yang meninggal di Lamreh (Aceh) pada 1211.
Batu nisan milik penguasa Islam pertama di Indonesia tertera pada
3
nisan milik Sultan Malik al-Saleh dari Samudera Pasai yang meninggal
pada 1297 M (Ricklef, 2013: 113). Palembang merupakan ibukota
Sriwijaya pada periode abad VII-X Masehi (Purwanti, 2001). Di kota
ini diduga sudah ada komunitas Islam yang tinggal walaupun bersifat
sementara. Komunitas Islam ini adalah kaum pedagang dari Persia
seperti yang diberitakan dalam sumber-sumber berita Cina (Groneveltd,
1960). Karena sifatnya yang sementara informasi ini sulit dicari
kebenarannya secara arkeologis. Bukti arkeologi adanya masyarakat
Islam di Palembang tertua berasal dari Kompleks Pemakaman
Gedingsuro dari abad ke-16 Masehi. Di kompleks pemakaman tersebut
dimakamkan Ki Gede Ing Sura, pendiri kerajaan bercorak Islam
pertama di Palembang.
Di dekat kompleks pemakaman ini terdapat sebuah keraton. Keraton
Palembang awal ini disebut Keraton Kuto Gawang. Keraton ini
dibumihanguskan oleh VOC pada tahun 1659. Di atas reruntuhan
bangunan keraton Kuto Gawang saat ini berdiri bangunan PT. PUSRI.
Kuto Gawang memiliki benteng dari kayu sebagaimana dilukiskan pada
tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen). Arah hadap kuto menghadap ke
arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai
Rengas. Di sebelah timur kuto berbatasan dengan Sungai Taligawe dan
di sebelah baratnya berbatasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar
sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai
Buah dimana antara satu sungai dengan sungai lainnya tidak ber-
sambung tetapi semuanya bermuara ke Sungai Musi. Sebagai batas kota
4
sisi utara adalah pagar dari kayu besi atau kayu unglen. Di tengah
benteng keraton terdapat bangunan keraton yang letaknya di sebelah
barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah bastion
yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing (Tionghoa dan
Portugis) ditempatkan/bermukim di seberang sungai sisi selatan Musi
yaitu di sebelah barat Muara Sungai Komering.
Setelah dihancurkan VOC pada 1659 oleh Susuhunan Abdurrahman
pusat pemerintahan dipindahkan ke arah Hulu Musi di suatu tempat
yang bernama Beringin Janggut. Lokasinya kira-kira di sekitar kawasan
Mesjid Lama (Jl. Segaran). Data mengenai keberadaan, bentuk, dan
ukuran keraton ini belum ditemukan hingga saat ini. Perkiraan lokasi
hanya didasarkan atas toponimi yang masih tertinggal.
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (Jayo
Wikramo, 1741-1757) pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke sebelah
barat Sungai Tengkuruk (sekarang Jl. Jenderal Soedirman, kaki sisi
utara Jembatan Ampera). Keraton yang dibangun ini dikenal dengan
nama Keraton Kuto Tengkuruk atau Keraton Kuto Batu. Pada masa
pemerintahannya dapat dikatakan Palembang mengalami kemajuan
pesat dalam hal pembangunan fisik, misalnya: dibangun Masjid Agung
(Masjid Sultan), Keraton Kuto Tengkuruk, dan Makam Lemahabang.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Bahaudin (1776-1803)
dibangun Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto
Tengkuruk. Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya institusi
Kesultanan pada 7 Oktober 1823 mengakibatkan bangunan Kuto
5
Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk,
atas perintah van Sevenhoven, kemudian dibangun rumah Regeering
Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud
Badaruddin II.
Bangunan-bangunan yang dibangun pada masa Gemeente
Palembang, misalnya: Rumah Sakit Charitas yang lokasinya di per-
tigaan Jl. Mayor Ruslan dan Jl. Jend. Soedirman, Menara Air (sekarang
Kantor Walikota Palembang), Societeit (sekarang Balai Prajurit), Jl.
Tengkuruk (bekas Sungai Tengkuruk yang sekarang Jl. Jend.
Soedirman), Pasar 16 Ilir, Pelabuhan Boom Baru, veerpont (tempat
penyeberangan), jaringan Kereta Api Kertapati, dan perumahan di
Talang Semut. Perumahan di Talang Semut dapat dikatakan seperti
Real Estate yang dibangun oleh developer melalui tender yang
diumumkan di surat kabar. Untuk menelusuri kesejarahan raja-raja dan
sultan di Palembang data dapat dilihat pada tabel 1 yang disusun oleh
Wolders berdasarkan tiga naskah berbeda dengan kode UBL; tabel 2
yang disusun oleh Husni Rahim berdasarkan berbagai macam sumber
dan tabel 3 juga disusun oleh Wolders berdasarkan naskah dengan kode
TR- 3. Dari ketiga tabel tersebut terlihat adanya perbedaan terutama
tabel yang dibuat oleh Husni Rahim karena dirunut mulai Aria Dilah,
sementara yang lainnya dimulai dari Ki Gede Ing Suro. Dari naskah-
naskah lama yang disusun oleh Woelders tampak juga adanya
perbedaan, utamanya dalam masa kekuasaan para raja dan sultan saat
memerintah. Naskah itu semuanya mencantumkan nama Ki Gede Ing
6
Sura sebagai penguasa pertama di Palembang. Perbedaan lama
kekuasaan atau tahun masa kekuasaan para raja dan sultan yang
memerintah dapat dikaitkan dengan masa penulisan naskah-naskah
tersebut yang semuanya berasal dari setelah kesultanan Palembang
dihapuskan. Para penulis naskah tidak mempunyai sumber rujukan yang
otentik yang membuat perbedaan tersebut terjadi. Apalagi untuk
mengingat suatu kejadian yang sudah ratusan tahun terjadi sebelum si
penulis menuliskannya pada suatu naskah.

Tabel 1. Daftar Penguasa Palembang Berdasarkan Naskah-Naskah Yang Terdapat


Dalam Buku Woelders
No. Nama Penguasa Kode Naskah
Palembang UBL 2 UBL 5 KI 4

1. Kiai Geding Sura 954 1547 967 1560/59 981 1573/74

2. Kemas Dipati 977 1569/70 989 1581 ----- ----

3. Kiai Geding Sura ----- ----- 1002 1593/92 ----- -----


(-Muda)

4. Pangeran Mading 989 1581 1002 1594/93 1003 1595/94


Suka

5. Pangeran Made 1024 1615 1037 1628/27 1038 1629/28


Alit

6. Pangeran Siding 1025 1616 1038 1629/28 1039 1630/29


Pura

7. Pangeran Siding 1032 1623/22 1045 1635/36 1049 1639/40


Kenayan

7
8. Pangeran Siding 1044 1634/35 1057 1647 1061 1651/50
Pesarean (Sultan
Jamaluddin)

9. Pangeran Siding 1045 1635/36 1058 1648 1062 1652/51


Rajak (Saka Tiga)

10. Suhunan 1054 1643/44 1066 1556/55 1069 1659/58


Abdurahman
(Cinde Belang of
Candi Walang)

11. Sultan 1098 1687/86 1111 1114 1702/03


Muhammad 1699/1700
Mansur (Kebon
Gede)
12. Sultan Agung 1110 1698/99 1123 1711/12 1126 1714
(Kamaruddin,
Palembang Lama)

13. Sultan Mahmud 1120 1708/09 1133 1721/12 1136 1724


Badaruddin
(Lemabang)

14. Suhunan Ahmad 1155 1742/43 1168 1755/54 1171 1757


Najamuddin

15. Sultan 1180 1766/67 1193 1779 1190 1776


Muhammad
Baha’uddin
16. Sultan Mahmud 1207 1793/92 1220 1805/06 1218 1804
Badaruddin (1270!)(1854/53)
(Ternati)
17. Sultan Ahmad ------ ------ 1229 1814/13 ----- ------
Najamuddin
(Later: Suhunan
Husin Dia’uddin)

8
Tabel 2. Daftar Raja Dan Sultan Palembang Tahun 1455 – 1851 berdasarkan Husni
Rahim
PENGUASA MAJAPAHIT DI PALEMBANG
Tahun Pemerintahan Nama Penguasa Palembang Lama Kekuasaan
1455-1486 Ario Abdillah (Ariodillah) 31 tahun

PENGUASA DEMAK-PAJANG DI PALEMBANG


Tahun Pemerintahan Nama Penguasa Palembang Lama Kekuasaan
1547-1552 Pangeran Sido Ing Lautan 5 tahun

1552-1573 Kyai Gede Ing Suro Tuo 21 tahun

1573-1590 Kyai Gede Ing Suro Mudo (Kyai Mas 17 tahun


Anom Adipati Ing Suro)

1590-1595 Kyai Mas Adipati, anak Kyai Gede Ing 5 tahun


Suro Mudo

PENGUASA MATARAM DI PALEMBANG


Tahun Pemerintahan Nama Penguasa Palembang Lama Kekuasaan
1595-1629 Pangeran Madi Ing Angsoka. 34 tahun

1629-1630 Pangeran Madi Alit, anak Kyai Gede 1 tahun


Ing Suro Mudo

1630-1639 Pangeran Sido Ing Puro, anak Kyai 9 tahun


Gede Ing Suro Mudo.

1639-1650 Pangeran Sedo Ing Kenayan, anak 11 tahun


Kyai Mas Adipati.

1651-1652 Pangeran Sedo Ing Pasarean, saudara 1 tahun


dari isteri Pangeran Sedo Ing Kenayan
(Ratu Sinuhun).

9
1652-1659 Pangeran Sedo Ing Rajek, anak 7 tahun
Pangeran Sedo Ing Pasarean.

KESULTANAN PALEMBANG
Tahun Pemerintahan Nama Sultan Palembang Lama Kekuasaan

1659-1706 Kyai Mas Endi, Pangeran Ario 47 tahun


Kesuma Abdurrohim, Sultan
Abdurrahman Khalifatul Mukminin
Saidul Imam, anak dari Pangeran Sedo
Ing Pasarean.

1706-1714 Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing 8 tahun


Lago, anak dari Sultan Abdurrahman.

1714-1724 Sultan Komaruddin Sri Teruno, anak 10 tahun


Sultan Abdurrahman.

1724-1758 Sultan Mahmud Badaruddin Jayo 34 tahun


Wikramo, anak Sultan Muhammad
Mansyur.

1758-1776 Sultan Ahmad Najamuddin Adi 16 tahun


Kesumo, anak Sultan Mahmud
Badaruddin Jayo Wikramo.

1776-1803 Sultan Muhammad Bahauddin, anak 27 tahun


Sultan Ahmad Najamuddin Adi
Kesumo.

April 1804 - 14 Mei Sultan Mahmud Badaruddin, anak 8 tahun


1812 Sultan Muhammad Bahauddin, dikenal
pula sebagai Sultan Mahmud
Badaruddin II atau juga Susuhunan
Mahmud Badaruddin.

10
14 Mei - 13 Juli Sultan Ahmad Najamuddin, anak
1813 sultan Muhammad Bahauddin,
sebelumnya bergelar Pangeran Adipati
Raden Muhmmad Husin, kemudian
mendapat gelar pula sebagai
Susuhunan Husin Diauddin.

13 Juli 1813 - 14 Sultan Mahmud Badaruddin II.


Agustus 1813

14 Agustus 1813 - Sultan Ahmad Najamuddin.


23 Juni 1818

23 Juni 1818 - 30 Sultan Mahmud Badaruddin II dan


Oktober 1818 Sultan Ahmad Najamuddin
memerintah secara bersama.

30 Oktober 1818 Sultan Ahmad Najamuddin diturunkan


dari tahta dan dibuang ke Cianjur.

30 Oktober 1818 - 1 Sultan Mahmud Badaruddin II,


Juni 1821 kemudian tahun 1819 menobatkan
anaknya Pangeran Ratu sebagai sultan
dengan gelar Ahmad Najamuddin
Pangeran Ratu dan Sultan Mahmud
Badaruddin sendiri bergelar Susuhunan
Mahmud Badaruddin.

1 Juli 1821 Keraton diduduki oleh belanda dn


tanggal 3 Juli 1821 susuhunan
Mahmud Badaruddin II dan Sultan
Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu
dibuang ke Ternate. Susuhunan
Mahmud Badaruddin II wafat pada
tanggal 26 November 1852 dan Sultan
Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu
wafat tahun 1860 di Ternate.

11
16 Juli 1821 – 19 Sultan Ahmad Najamuddin Prabu
September 1825 Anom dinobatkan menjadi sultan (anak
Sultan Ahmad Najamuddin) dan Sultan
Ahmad Najamuddin sendiri kemudian
bergelar Susuhunan Husin Diauddin.

22 November 1824 Sultan Ahmad Najamuddin Prabu


Anom memberontak dan tanggal 29
November 1824 Susuhunan Jusin
Diauddin dibuang ke Batavia dan
wafat tanggal 22 Februari 1825. Pada
tanggal 15 Oktober 1825 Sultan
Ahmad Najamuddin Prabu Anom
ditangkap dan tanggal 19 Oktober
1825 dibuang ke Banda lalu ke
Menado dan wafat di sama tahun 1844.

1825-1851 Pangeran Keramo Jayo menantu Sultan


Mahmud Badaruddin II diangkat oleh
pemerintah Belanda sebagai Rijksbe-
stuurder. Pada tahun 1851, karena
diduga mengorganisir pemberontakan
di pedalaman, ia ditengkap dan
diasingkan ke Probolinggo dan wafat
tanggal 5 Mei 1862. Semenjak itu
jabatan Rijksbe-stuurder dihapuskan
dan jabatan tertinggi orang pribumi
hanya demang.

12
Tabel 3. Susunan Raja-raja Palembang berdasarkan Teks TR 1.
Raja no. 1 Pada tahun 966 yaitu Keding Suroh; lamanya ia jadi raja 22 tahun
dualikur tahun …………………

Raja no. 2 Pada tahun 968 Diganti saudaranya Keding Ilir, lamanya 1 tahun
setahun; tapi dia berjulukjuga Keding Suroh
…………………
Raja no. 3 Pada tahun 977 Diganti puteranya Emas Dipati ……… 12 tahun

Raja no. 4 Pada tahun 989 Diganti saudaranya Pangeran Medang 35 tahun
Suka …………………………

Raja no. 5 Pada tahun 1024 Diganti adindanya Pangeran Madi Alit 1 tahun
…………………
Raja no. 6 Pada tahun 1025 Diganti adindanya Siding Pura ………. 7 tahun

Raja no. 7 Pada tahun 1032 Diganti keponakannya Pangeran Siding 12 tahun
Kenayan ………………………….

Raja no. 8 Pada tahun 1044 Diganti oleh misannya, yaitu Pangeran 1 tahun
Siding Pesarian …………………….

Raja no. 9 Pada tahun 1045 Diganti anaknya Pangeran Siding 8 tahun
Rajak, yang di Saka Tiga makamnya ………………..

Raja no. 10 Pada tahun 1053 Diganti saudaranya Suhunan 45 tahun


Abdurrahman, Cinde Walang …………………..

Raja no. 11. Pada tahun1098 Diganti puteranya Sultan Muhammad 12 tahun
Mansur ……………….

Raja no. 12 Pada tahun 1118 Diganti saudaranya Sultan Agung 10 tahun
Kamaruddin, yang makamnya di Palembang Lama …….

Raja no. 13 Pada tahun ………. Diganti anak saudaranya Sultan … tahun
Mahmud Badaruddin di Kawa Tekurep …………….

13
Raja no. 14 Pada tahun …….. Diganti puteranya Suhunan Ahmad … tahun
Najamuddin ……………………

Raja no. 15 Pada tahun1120 Diganti puteranya Sultan Muhammad 27 tahun


Baha’uddin, Lemabang ………………..

Raja no. 16 Pada tahun 1207 Diganti puteranya Suhunan Mahmud 10 tahun
Badaruddin, Ternati; lebih kurang 10 tahun.

Diganti saudaranya Suhunan Husin Dia’uddin, 7 tahun


memerintah kota besar oleh karena Bangsawan Inggeris.
Kemudian kembali lagi Suhunan Mahmud Badaruddin
oleh karena Olanda lebih kurang 6 tahun.

Dalam tulisan ini penelusuran kesejarahan para penguasa di


Palembang lebih banyak menggunakan tabel 2 (kolom lama kekuasaan
merupakan tambahan penulis) dan tabel 3 karena mencantumkan angka
tahun yang jelas dan masa kekuasaannya. Dalam sejarah tutur
Palembang diceritakan bahwa kerajaan Sriwijaya dikalahkan oleh
Majapahit, sehingga menjadi daerah bawahannya. Cerita ini sesuai
dengan sumber berita Cina dari masa Dinasti Ming yang menyebutkan
bahwa pada 1377 terjadi aneksasi kerajaan Sriwijaya (San-fo-tsi) oleh
Majapahit. Setelah dikuasai oleh Majapahit, menurut cerita tutur
Palembang, yang menjadi penguasa di Palembang adalah Arya Damar
atau Ario Dilah. Ia adalah putera Majapahit Prabu Brawijaya Sri
Kertawijaya dan berkuasa di Palembang sejak tahun 1455-1486. Dalam
masa pemerintahannya, Arya Damar bertindak sewenang-wenang
sehingga diusir ke Jawa dan meninggal di Cirebon. Pada masa
berikutnya Palembang diperintah oleh seorang Dipati bernama

14
Karangwidara yang masa pemerintahannya tidak diketahui angka
tahunnya. Setelah kekuasaan Dipati Karangwidara Palembang
mengalami masa “interregnum”. Jika merujuk pada daftar para
penguasa di Palembang yang dibuat oleh Husni Rahim Karangwidara
berkuasa antara tahun 1486. Setelah masa kekuasaan Arya Damar dan
sebelum 1574 sebelum kedatangan Pangeran Sido Ing Lautan atau Ki
Gede Ing Suro Tua. Seandainya Dipati Karangwidara menjadi Penguasa
Palembang selama dua puluh tahun maka masih tersisa sekitar 41 tahun
Palembang tanpa penguasa, yaitu antara tahun 1506-1547. Dalam
rentang waktu 41 tahun seharusnya sudah terjadi suksesi kekuasaan dari
dua sampai tiga orang bahkan mungkin lebih. Tentu saja hal itu akan
membawa implikasi yang luas pada kehidupan politik, ekonomi, dan
sosial-budaya masyarakat Palembang waktu itu. Minimnya data tekstual
maupun arkeologis dari masa itu tidak memungkinkan untuk
merekonstruksi kesejarahan para penguasanya. McRobert yang
membahas tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Palembang antara
kurun waktu 1389-1511 tidak memberikan gambaran jelas tentang
kekuasaan di Palembang sampai tahun 1460. Dia hanya menyebutkan
bahwa antara tahun 1392-1463 merupakan masa “kemerdekaan”
Palembang setelah tahun 1463 Palembang dikuasai oleh Malaka dan
Demak.
Setelah mengalami masa kekosongan kekuasaan (interregnum) yang
berkuasa di Palembang ialah Ki Gede Ing Sura Tua. Menurut kajian
Graaf dan Pigeaud, Ki Gede Ing Sura Tua dianggap sebagai raja
15
pertama dan berkuasa sejak tahun 1547 sampai 1552. Ki Gede Ing Sura
Tua merupakan salah satu pelarian dari Jipang yang kemudian
memegang pemerintah di Palembang pada tahun 1541. Angka tahun ini
diperoleh Graaf dan Pigeaud berdasarkan catatan de Kock. Hal ini
berbeda dengan catatan Sturler yang menyebut angka tahun 1549
sebagai angka tahun kedatangan Ki Gede Ing Sura Tua di Palembang.
Angka tahun ini disetujui oleh Graff dan Pigeaud karena pada tahun
1541 Sultan Trenggono masih berkuasa di Demak. Ki Gede Ing Sura
tidak pernah dimakamkan di Palembang karena ia meninggal saat dalam
pelayaran kembali ke Jawa. Oleh karena itu ia mendapat julukan
Pangeran Sido Ing Lautan. Dengan demikian Pangeran Sedo Ing Lautan
merupakan orang yang sama dengan Ki Gede Ing Sura Tua. Menurut
Husni Rahim masa kekuasaan Pangeran Sido Ing Lautan 5 tahun
sedangkan masa kekuasaan Ki Gede Ing Suro 21 tahun. Sehingga kalau
dijumlahkan maka lama kekuasaannya di Palembang sekitar 26 tahun.
Menurut teks TR. 1 22 tahun. Jika melihat masa kekuasaannya yang
lama maka dapat disimpulkan bahwa pada masa itu kondisi Palembang
stabil. Sebelum kembali ke Jawa Pangeran Sido Ing Lautan memberi
mandat kepada saudaranya, Ki Gede Ing Sura Muda untuk
melaksanakan pemerintahan di Palembang. Tokoh ini memerintah
Palembang sejak tahun 1572 – 1589 atau selama 17 tahun. Angka tahun
yang disebutkan oleh Husni Rahim ini berbeda dengan yang terdapat
dalam teks TR. 1. karena menyebutkan masa kekuasaannya hanya satu

16
tahun, yaitu mulai tahun 968. Ki Gede Ing Sura Muda inilah
kemungkinan yang membangun kompleks pemakaman di Gedingsuro.
Setelah itu kekuasaan berpindah ke tangan Pangeran Kemas Dipati
anak Ki Gede Ing Sura Muda (1589-1594) sehingga lama kekuasaannya
hanya lima tahun. Angka tahun ini ternyata juga mengalami perbedaan
dengan yang tercantum pada teks TR. 1., karena menyebutkan angka
tahun 977 Hijriah sebagai awal masa pemerintahannya dan baru diganti
tahun 989 Hijriah atau berkuasa selama 12 tahun. Jika Ki Gede Ing
Suro Ilir baru diganti pada tahun 977 Hijriah, maka seharusnya masa
kekuasaannya sekitar 9 tahun, bukannya satu tahun. Perbedaan lama
kekuasaan Kemas Depati yang disusun oleh Husni Rahim dan TR. 1
adalah 7 tahun. Mungkin kesalahan ini disebabkan oleh kesalahan
penulis TR. 1 karena meskipun ditulis masa kekuasaan Ki Gede Ing
Suro Ilir hanya satu tahun tetapi dia baru digantikan pada tahun 977
Hijriah. Kalau Ki Gede Ing Suro Ilir hanya berkuasa selama satu tahun,
tentunya tidak akan sempat membangun kompleks pemakaman di
Gedingsuro. Oleh karena itu lebih dimungkinan jika masa
kekuasaannya sekitar 9-17 tahun. Karena untuk membangunan
kompleks pemakaman di atas bangunan sebelumnya akan lebih
membutuhkan waktu yang lebih lama, dibandingkan pembangunan di
lokasi yang baru. Masa kekuasaan antara 9-17 tahun tidak dapat
dikatakan singkat, apalagi mengingat usianya yang sudah tua,
karenanya Ki Gede Ing Sura kemudian menyerahkan kekuasaan kepada
saudaranya yaitu Pangeran Madi Angsoka yang memerintah sekitar
17
tahun 1594-1627 atau sekitar 34-35 tahun. Meskipun pada masa
Pangeran Madi Angsoka ini terjadi perang “kafir” dengan Banten, tetapi
dia berhasil mengatasinya. Hal ini juga ditandai dengan kemenangan di
pihak Palembang dalam perang melawan Banten tersebut. Setelah
penyerangan Banten tersebut tampaknya kondisi kerajaan Palembang
relatif stabil sehingga terjadilah kontrak dagang pertama dengan pihak
VOC. Lamanya masa pemerintahan Madi Angsoka (34-35 tahun)
menunjukkan kondisi perekonomian dan perpolitikan di masa itu yang
relatif stabil dan aman.
Ketika Pangeran Madi Angsoka wafat terjadi perebutan kekuasaan
antara menantu (Pangeran Jambi) dengan dua paman isterinya (saudara
Pangeran Madi Angsoka) dan kemenangan di pihak paman. Karena itu,
yang menjadi raja adalah Pangeran Madi Alit yang disebut Raja Depati
(1629-1630). Pangeran Madi Alit hanya berkuasa selama satu tahun dan
beliau mati terbunuh karena persoalan perempuan. Pangeran Madi Alit
kemudian digantikan oleh saudaranya Pangeran Seding Puro atau juga
disebut Pangeran Made Sokan yang dikenal dengan Raden Aria yang
memerintah sekitar tahun 1629-1636. Masa kekuasaan Raden Aria yang
hanya tujuh tahun terhitung singkat tapi mengingat sebutannya
Pangeran Seding Puro (artinya meninggal di Pura atau kraton) maka
penggantiannya kemungkinan disebabkan karena beliau wafat pada
masa pemerintahannya.
Raden Aria kemudian diganti oleh saudaranya Pangeran Seding
Kenayan yang memerintah sekitar 1636-1652. Isteri Pangeran Seding
18
Kenayan adalah Ratu Sinuhun yang sangat terkenal di masyarakat
Palembang. Pada masa pemerintahan Pangeran Seding Kenayan ini
tampaknya kondisi keamanan dan politik waktu itu relatif stabil,
sehingga dapat memerintah selama kurun waktu 16 tahun. Hal ini
didukung oleh keluarnya “Undang-Undang Simbur Cahaya” yang oleh
masyarakat Palembang diyakini merupakan hasil karya Ratu Sinuhun.
Kestabilan masa pemerintahan Seding Kenayan juga didukung fakta
bahwa dia diganti setelah meninggal. Setelah Pangeran Seding Kenayan
wafat dan digantikan oleh kemenakan Ratu Sinuhun, yaitu Pangeran
Seding Pesariyan (1652-1653),1 yang kemudian digantikan oleh
anaknya Pangeran Seding Rajak (1653-1660).
Pada masa pemerintahan Pangeran Seding Rajak itulah VOC
menyerang dan membakar Kota Palembang (1659). Pangeran Seding
Rajak mengundurkan diri ke Inderalaya dan meninggal dunia di sana.
Pangeran Seding Rajak dimakamkan di Dusun Sakatiga, Kabupaten
Ogan Komering Ilir. Ia digantikan oleh Raden Tumenggung atau Ki
Mas Endi Ario Kesumo yang kemudian dikenal dengan Sultan
Abdurrahman atau Sultan Abdul Hamal/Jamal dan lebih dikenal dengan
Sunan Cinde Walang. Di masa ini pula Palembang melepaskan diri dari
Kerajaan Mataram dan menyatakan berdiri sendiri. Ki Mas Endi
menggunakan gelar sultan yang lengkapnya menjadi Sultan

1
Jika melihat dari julukannya Pangeran Seding Pesariyan (artinya pangeran
yang meninggal di pesariyan = tempat tidur), maka masa kekuasaan yang singkat
tersebut disebabkan karena meninggal secara mendadak.
19
Abdurrahman Khalifatul Mukminin Saidul Imam. Sebagai sultan
pertama Palembang ia telah mendirikan kraton baru di Beringin Janggut
dan kompleks pemakaman Cinde Walang.
Pada sisi lain, setelah Kesultanan Palembang berdiri sendiri dan
VOC atau kompeni telah berkuasa di Batavia maka proses peralihan
kekuasan dari satu sultan ke sultan lain sering menimbulkan konflik dan
pertikaian antar keluarga. Keadaan ini didorong dan ditumbuhsuburkan
oleh pihak VOC sebagai satu upaya menanamkan pengaruh dan
kekuasaannya. Benih-benih perpecahan yang ada di keraton terutama
antar putera-putera sultan dari beberapa ibu yang berlainan
dimanfaatkan dengan baik bagi keuntungan dagang dan perluasan
kekuasaan VOC. Kemelut tersebut dapat diamati ketika terjadi proses
penggantian Sultan Muhammad Mansyur (1706-1714) dimana muncul
kasus penunjukan wali kerajaan Raden Uju yang kemudian menjadi
Sultan Komaruddin. Selain itu, hal ini juga terjadi proses penggantian
Sultan Komaruddin (1714-1724) antara Pangeran Mangkubumi
Muhammad Ali dengan adiknya Raden Lambu. Peristiwa yang sama
juga terjadi pada proses perebutan kekuasaan antara Sultan Mahmud
Badaruddin dengan Sultan Ahmad Najamuddin II serta putera-
puteranya (1804-1823).
Seperti paparan di atas bahwa kesultanan Palembang sudah sejak
lama mempunyai hubungan dengan Belanda. Kerajaan ini penting bagi
posisinya yang strategis, ladanya, dan kedaulatannya atas pulau-pulau
Bangka dan Belitung. Timah telah ditemukan di Bangka pada awal abad
20
XVIII. Setelah merosotnya VOC pada akhir abad itu, tambang-tambang
timah telah memperoleh arti penting yang baru dan mencapai
produktivitas yang lebih tinggi pada awal abad XIX. Belitung juga
memiliki kandungan timah, dan diduduki oleh Belanda pada tahun 1817
tanpa menghiraukan protes dari pihak Inggris. Pelaku utama dalam
drama Palembang ini, Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1812, 1813
dan 1818-1821) bukanlah sahabat Belanda. Di tengah kekacauan-
kekacauan yang berkaitan degan penaklukan Inggris atas Jawa pada
1811, dia menyerang dan membantai kedelapan puluh orang (dua puluh
empat di antaranya adalah orang Belanda) di garnisun Belanda (Loji
Sungai Aur) yang ada di Palembang.
Di samping itu, Sultan Mahmud Badaruddin II juga tidak kooperatif
terhadap pihak Inggris. Oleh karena itu, maka pada 1812 Inggris
menyerang Palembang, merampok istana, dan melantik adik
Badaruddin sebagai raja dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin
(1812-1813, 1813-1818). Sementara itu, Sultan Mahmud Badaruddin II
berhasil meloloskan diri tetapi pada tahun 1813 dia menyerah dan
menduduki singgasana lagi hanya selama sebulan. Raffles menolak
penetapan ini (yang telah dilakukan oleh Residen Belanda) dan
mendudukkan kembali Najamuddin di singgasana. Ketegangan-
ketegangan antara kedua bersaudara ini terus berlanjut sampai setelah
pihak Belanda tidak mampu menjalankan kekuasaan yang nyata dan
pihak Inggris semakin mempersulit permasalahan dengan melakukan

21
campur tangan dalam kejadian-kejadian di Palembang dari pos mereka
di Bengkulu.
Pada tahun 1818 suatu ekspedisi Belanda dikirim ke Palembang dan
Najamuddin diasingkan ke Batavia. Karena tindakan ini tidak dapat
mengakhiri kemerdekaan Palembang maka dikirim lagi suatu ekspedisi
pada tahun 1819 tetapi ekspedisi tersebut dikalahkan oleh Sultan
Mahmud Badaruddin II. Pada 1821 pihak Belanda menghimpun suatu
pasukan yang besar yang terdiri lebih dari 4.000 orang serdadu yang
dapat dipukul mundur dalam serangan pertamanya. Serangannya yang
kedua berhasil dan Sultan Mahmud Badaruddin II dibawa ke Batavia
dan selanjutnya diasingkan ke Ternate.
Palembang kini mendekati akhir kemerdekaannya. Putra sulung
Najamuddin diangkat menjadi sultan dengan gelar sama, yaitu Ahmad
Najamuddin (1821-1823). Pada tahun 1823 Belanda menempatkan
Palembang di bawah kekuasaan langsung mereka dan sultan
dipensiunkan. Dia dan pengikut-pengikutnya di istana merasa tidak
puas. Pertama-tama mereka mencoba meracun garnisun Belanda pada
21 November 1824 dan serangan mereka berikutnya terhadap garnisun
tersebut dipukul mundur dengan mudah. Sultan melarikan diri dan
menyerah pada 1825 dan diasingkan ke Banda. Sultan dipindahkan ke
Menado pada 1841 dan meninggal pada 1844. Pemberontakan yang
terakhir meletus pada tahun 1849 yang dapat ditumpas pihak Belanda.
Sebagai sebuah kerajaan Islam salah satu bangunan yang
manumental adalah masjid. Masjid merupakan bangunan yang memberi
22
ciri khusus bagi sebuah kerajaan Islam selain istana itu sendiri. Menurut
Wellan berdasarkan berita Belanda dalam surat laporan bahwa pada
1663 di Palembang sedang dibangun masjid baru karena masjid lama
terbakar ketika ekspedisi Mayor Joan Van der Laen menyerbu Kota
Palembang (1659). Peristiwa penyerbuan itu adalah peperangan
pertama antara Belanda dengan Palembang. Dari catatan ini dapat
diketahui bahwa di Palembang telah ada mesjid di daerah permukiman.
Menurut cerita tutur Palembang mesjid tersebut dibangun di Keraton
Kota Cawang (Gawang). Keraton ini tempat menetap pertama
rombongan Ki Geding Sura Tua (sekitar 1552). Dapat dikatakan bahwa
Ki Geding Sura Tua inilah yang membangun masjid tersebut (Rahim,
1998: 52).
Kehidupan keagamaan di Kesultanan Palembang dapat diamati juga
dari tulisan De Roo de la Faille. Dia menyebutkan bahwa di masa
kesultanan pada setiap akhir bulan puasa, sultan menerima pernyataan
penghormatan dari para pejabatnya. Di belakang sultan berjajar pada
tempat yang tetap yaitu anggota keluarganya, di samping sebelah kanan
sultan Pangeran Penghulu Nata Agama, kepala alim ulama (hoofd
ulama) yang mengadili hal-hal sesuai dengan hukum agama (Faille,
1971:32).

B. Konsep Makam dalam Islam


Islam di Nusantara meninggalkan sejumlah besar makam atau
kompleks makam, sejak dari Aceh sampai Ternate-Tidore. Sebagian

23
besar dari kompleks makam tersebut berupa makam para wali, raja atau
sultan yang di Jawa masih memperoleh perlakuan tertentu dari sebagian
masyarakat. Sebagian makam tersebut dianggap suci dan keramat,
bahkan kadang secara keliru dijadikan sebagai tempat meminta sesuatu
keberkahan. Islam tentu tidak mengenal upacara-upacara perkabungan
atau peringatan kematian di luar tata cara baku dalam perawatan
jenazah sampai pemakaman. Di Jawa dan juga beberapa daerah lain di
Indonesia dikenal adanya peringatan kematian pada hari-hari ketiga,
ketujuh, empat puluh, seratus, dan seribu hari yang semata-mata
berdasar adat pra-Islam.
Di dalam tradisi Islam dikenal dua istilah yang berkaitan dengan
siklus kehidupan manusia. Kedua istilah itu adalah makam dan kuburan.
Makam (dari bahasa Arab, maqam) adalah tempat tinggal, kediaman,
bersemayam yang merupakan tempat persinggahan manusia yang sudah
meninggal dunia dan kuburan adalah tempat menguburkan mayat.
Sementara itu, kuburan berasal dari kata bentukan dari “kubur + an”.
Kata kubur sendiri diadaptasi dari kata Arab, al-qubur, yang merupakan
jamak dari kata al-qabr, yang bermakna tempat pemakaman orang mati
atau tempat pemakaman manusia.
Makam sebagai suatu hasil kebudayaan manusia yang berkembang
pada masa Islam dalam proses pembuatannya memperhatikan beberapa
faktor di antaranya adalah kaidah-kaidah normatif dalam Islam tentang
proses pemakaman dan pendirian makam. Proses pembuatan makam
dan nisan tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan dan status sosial
24
orang yang dimakamkan. Berdasarkan makam-makam kuno yang
ditemukan di Nusantara tampak adanya perlakuan yang berbeda.
Makam raja/sultan, ulama, elit birokrat, dan masyarakat mendapat
perlakuan yang berbeda oleh masyarakat meskipun perbedaan
perlakuan ini tidak ditemukan dalam Alquran maupun hadits terkait
dengan kematian.
Berkaitan dengan hakikat kematian, secara umum pengetahuan
tentang mati hanyalah sebatas pengetahuan yang dapat diamati manusia.
Pada saat sakaratul maut, nafas tampak mulai tidak teratur, tersendat-
sendat dan akhirnya hilang. Pada saat itulah kehidupan seseorang
berakhir, badan menjadi tegang, kaku, dingin, darah tidak mengalir
serta tidak bereaksi. Inilah yang dinamakan mati.
Islam menegaskan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan
mengalami kematian (Q.S. Ali ‘Imran, 185). Menurut Islam, mati
adalah terpisahnya ruh dari jasad, jiwa dari badan, yang gaib dari yang
nyata. Ruh dan jasad kembali kepada fitrahnya. Jasmani dikuburkan
karena ia adalah materi sehingga menjadi tanah seperti asal mulanya
(Q.S., al-Mu’min: 67). Ruh yang ditiupkan tidak melalui proses alami
seperti jasad. Ruh itu abadi sehingga ia masuk ke alam barzah (Q.S. al-
Mu’minun: 100).
Dalam pandangan Islam kematian bukanlah merupakan istirahat
panjang seperti yang didefinisikan oleh berbagai tradisi. Kematian
merupakan suatu perubahan keadaan dari dunia pindah ke alam barzah.
Di alam ini ruh mendapat balasan sesuai dengan amal perbuatannya di
25
dunia. Dalam suatu hadist riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim,
Nabi Muhammad SAW. bersabda bahwa kubur adalah tempat terakhir
dari berbagai tempat di dunia dan tempat pertama dari berbagai tempat
di akhirat. Jika selamat di situ selamatlah ia, tetapi jika celaka akan
celakalah ia pada tahap-tahap selanjutnya. Nabi juga meriwayatkan
bahwa ada 99 sebab kematian kalau satu pun tidak ada yang
mengenanya, maka ketuaan pasti menjadi sebab.
Alam barzah tidak dijelaskan secara terperinci keletakkannya karena
termasuk dalam perkara gaib. Barzah artinya dinding atau pembatas
antara dunia dengan akhirat. Di sini ruh dihimpun, tidak dapat
meninggalkannya hingga Hari Pembalasan nanti. Letak alam barzah
bukan di liang kubur atau di tempat-tempat yang diduga manusia dan
jin pun tidak mengetahuinya.
Bila terjadi kematian, maka diwajibkan (fardlu kifayah) atas orang
[Islam] yang hidup atas empat perkara. Keempat hal itu adalah:
memandikan, mengkafani, menyembahyangkan, dan -terakhir-
menguburkannya. Memandikan adalah untuk membersihkan dari najis,
yang dilakukan oleh muhrim atau keluarganya. Mengkafani merupakan
tindakan untuk menghormatinya. Menyembahyangkannya adalah untuk
memohonkan ampun atas dosa-dosana. Menguburkan bertujuan untuk
mengembalikan jasad pada asalnya, menjaga kehormatannya, selain
agar tidak dimakam binatang juga untuk menjaga kesehatan lingkungan.
Upacara penguburan biasanya berjalan amat singkat. Setelah
jenazah diturunkan, diletakkan di liang lahat menghadap kiblat. Kepala
26
berada di sebelah utara dan kemiringan tubuh disangga oleh bulatan
tanah atau batu. Tali kafan dilepaskan dan wajah jenazah ditampakkan
sehingga menyentuh tanah. Papan dipasang miring melindungi jenazah
dari timbunan tanah. Batu sebagai tanda atau nisan dipasang di sebelah
utara. Pada akhir upacara, pelayat bersama-sama berdoa memohonkan
ampun serta memohonkan ketabahan dalam menghadapi Malaikat
Munkar dan Nakir.
Kedalaman liang lahat disesuaikan dengan tujuan penguburan.
Liang lahat dibuat pada tanah yang keras pada dinding barat. Bila
tanahnya mudah runtuh maka dapat dibuatkan lubang tepat di tengah
liang kubur.
Menurut hadits yang diriwayatkan Ahmad Muslim, Abu Dawud,
Tirmizi, dan Nasa’i bahwa bangunan makam dalam Islam hanya
dibolehkan sebagai tanda kubur dengan meninggikan tanah di atasnya
kira-kira “sejengkal” yang diberi batu atau benda lainnya untuk
menandai bagian kepala dengan catatan tidak dibenarkan ditembok,
ditulisi, atau dibuat bangunan di atasnya (Kramers & Gibb, 1963).
Tradisi penguburan Islam tidak mengenal bekal kubur (funeral
goods) dan penggunaan peti mati kecuali jika peti itu disertakan tanah
yang disentuhkan pada jenazah. Beberapa hadits yang mengatur
pemakaman dalam tradisi antara lain:2

2
Bandingkan dengan Marzuki, “Perawatan Jenazah” dalam
http://staff.uny.ac.id/sites/default/ files/ pengabdian/dr-marzuki-mag/dr-marzuki-mag-
perawatan-jenazah.pdf. Diakses pada Sabtu, 31 Juli 2021.
27
1. Kuburan sebaiknya ditinggikan dari tanah sekitar agar lebih
mudah dikenali (Baihaqi);
2. Memberi tanda kubur dengan batu atau benda lain pada bagian
kepala (Abu Daud);
3. Dilarang menembok kubur (Ahmad dan Muslim);
4. Dilarang membuat tulisan di atas kubur (Nasa’i);
5. Dilarang membuat bangunan di atas kubur (Ahmad dan
Muslim);
6. Kubur jangan ditinggikan, kalau terlanjur membukit sebaiknya
didatarkan (Muslim);
7. Dilarang menjadikan kuburan sebagai masjid (Bukhari dan
Muslim).
Di antara hal-hal yang termasuk dalam meninggikan kuburan yang
dilarang oleh hadits bahkan lebih berat lagi hukumnya adalah membuat
kubah-kubah dan ruangan-ruangan di atas kubur. Pemberlakuan
kuburan sebagai masjid juga dilarang dalam Islam. Rasulullah telah
mengutuk orang yang melakukan hal yang demikian. Dilarang oleh
syara’ menyembelih di kuburan dimaksudkan untuk menjauhi perbuatan
orang-orang jahiliyah, menghindari kemewahan, dan membangga-
banggakan diri. Hal ini telah disabdakan oleh Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud yang artinya, tidak boleh ada ‘aqr
(menyembelih di kuburan) dalam Islam. Abdurrazaq pernah berkata
bahwa dahulu orang-orang jahiliyah menyembelih sapi atau kambing di
sisi kuburan (H.R. Sunan Abdu Dawud).
28
Larangan duduk di kubur atau bersandar padanya dan berjalan di
atasnya didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
yang artinya bahwa jika salah seorang di antara kalian duduk di atas
bara api, lalu terbakar baju dan kulitnya adalah lebih baik baginya
daripada ia harus duduk di atas kuburan (H.R. Ahmad, Muslim, Abu
Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah). Larangan menembok, duduk, dan
membuat bangunan didasarkan pada hadits yang diterima Jabir r.a. dari
Rasulullah yang artinya bahwa Rasulullah telah melarang menembok
kubur, menduduki, dan membuat bangunan di atasnya” (H.R. Ahmad,
Muslim, Nasa’i dan Abu Daud serta Turmudzi). Yang dimaksudkan
menembok di sini ialah melebur dengan adukan semen. Oleh Jumhur
ulama larangan tersebut diartikan sebagai makruh sedangkan Ibnu
Hazmin memandangnya haram. Adapun hikmah larangan tersebut ialah
karena kubur itu hanya dibuat sementara bukan untuk selamanya
(Suprayitno, 2016:25).
Hadits-hadits tersebut sebaiknya dipandang sebagai kaidah-kaidah
normatif Islam. Pembangunan makam di Indonesia—sebagian jelas
bertentangan dengan hadits-hadits di atas—tentu harus dilihat sebagai
kenyataan lain yaitu bukan dalam konteks pengingkaran akidah Islam.
Hal tersebut tepatnya lebih pada tingkatan mu’amalat, yaitu hal-hal
teknis yang terus berlanjut dari akar tradisi pra-Islam. Khususnya
mengenai permanensi etnografis dalam penghormatan leluhur. Tradisi
pra-Islam hampir tidak mengenal atau mengakui kematian karenanya ia
kerapkali disamarkan atau ditafsirkan sebagai “kembali ke alam dewa”,
29
“hilang”, “sirna”, “telah berpulang”, dan sebagainya. Karena itu makam
tidak dianggap sebagai kubur dalam pengertian Islam tetapi sebagai
tempat “tidur panjang” (pasarean), “astana”, atau “tempat ketenangan”
(kasunyatan). Peninggalan-peninggalan makam-makam Islam awal juga
seringkali berkonotasi jenis okupasi komunitas Islam (Muslim), yang
sekaligus menunjukkan keberagaman pertanggalan bukti kehadiran
Islam di Nusantara.

C. Kedudukan Makam dalam Tata Kota Kesultanan Palembang


Makam merupakan salah satu komponen utama dalam tata kota
pada masa pengaruh Islam selain komponen kota lainnya, yaitu: kraton,
masjid, alun-alun, pasar, taman, dan pemukiman. Lokasi makam berada
pada daerah yang lebih tinggi dibandingkan sekitarnya bahkan ada yang
berada di perbukitan. Ditinjau dari segi keberadaannya pada waktu itu
sudah dipikirkan tempat pendeposisian penghuni kota yang sudah
meninggal. Pemakaman-pemakaman kuno yang ditemukan adalah
pemakaman khusus bagi para raja dan kaum kerabatnya. Belum pernah
ditemukan peninggalan makam bagi rakyat biasa. Dalam hal ini
memang dapat dipahami bahwa makam kerajaan tentu lebih terpelihara
dari pada makam rakyat biasa. Apalagi keluarga kerajaan yang
bersangkutan masih terus berkuasa sehingga pemakaman tersebut masih
terus dimanfaatkan.
Makam dan lokasinya sebagai bagian dari kota tidak ditemukan
dalil-dalilnya dalam fiqh Alquran. Aturan mengenai bentuk dan lokasi
30
penempatan makam tidak ditemukan rujukannya dalam Alquran. Dalam
sejarah kebudayaan Islam diketahui bahwa sejak abad IX ada gejala
penghormatan berlebihan terhadap makam para ulama, terutama di
lingkungan para penganut aliran Syi’ah. Hal yang sama tampaknya
mempengaruhi pola pikir para penguasa pada masa-masa kemudian
termasuk di Indonesia.
Berdasarkan keletakannya, makam-makam yang ditemukan di
Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Makam di daerah dataran tinggi atau puncak bukit;
2. Makam di dataran rendah;
3. Makam di dekat masjid.
Makam yang berada di puncak bukit mengingatkan pada tradisi
pemujaan arwah nenek moyang seperti kompleks necropole, yang di
Indonesia antara lain dijumpai pada:
1. Makam raja-raja Mataram di Imogiri;
2. Makam Sunan di Giri, Gunung Muria;
3. Makam Gunungjati, Cirebon;
4. Makam Papantinggi dan Mahligai di Barus;
5. Makam para sultan Ternate di Foremadayahe.
6. Makam Sunan Sendang di Sendangduwur
7. Makam Sunan Bayat, Klaten.
Makam-makam tersebut menunjukkan bahwa makam yang
ditempatkan paling atas merupakan makam yang paling suci. Makam
yang tempatnya di dataran makam yang ditempatkan di halaman paling
31
belakang merupakan makam yang paling suci, yaitu halaman ketiga.
Bentuk nisan dan jirat yang tinggi berundak biasanya menunjukkan
kedudukan atau status sosial yang tertinggi.
Dari pendekatan arkeologi dapat ditemui adanya penempatan letak
kubur-kubur para raja yang karena peristiwa politik di masa hidupnya
diletakkan terpisah-pisah atau bersebelahan. Misalnya makam sultan-
sultan Kasepuhan dan Kanoman (Makam Gunung Jati), sultan-sultan
Yogyakarta dan sunan-sunan Solo di Imogiri (Tjandrasasmita, 2009:5).
Letak makam di sekitar masjid, contohnya adalah: makam para sultan
Demak, Kudus, Muria, Giri, Sendangduwur, Ampel dan Banten.
Makam yang terletak di daerah dataran, antara lain: makam para raja-
sultan Palembang, makam para sultan di Kotabaru, Jambi.

32
BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA PALEMBANG

A. Letak Geografi dan Topografi


Palembang merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia
dan merupakan kota kedua terbesar di Pulau Sumatera yang sedang
tumbuh pesat saat ini. Secara geografis, posisi Kota Palembang terletak
antara 20 52’ sampai 30 5’ Lintang Selatan dan 1040 37’ sampai 1040
52’ Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan
laut.
Secara administratif, Kota Palembang memiliki batas-batas wilayah
sebagai berikut. Di sebelah utara, Kota Palembang berbatasan dengan
Desa Pangkalan Benteng, Desa Gasing dan Desa Kenten Kecamatan
Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin. Kota Palembang berbatasan
dengan Desa Bakung, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan
Komering Ilir dan Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim.
Sementara itu, di sebelah timur, Kota Palembang Berbatasan dengan
Balai Makmur Kecamatan Banyuasin I Kabupaten Banyuasin. Di
sebelah barat, Kota Palembang Berbatasan dengan Desa Sukajadi,
Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1998 tentang
Perubahan Batas Wilayah Kota Palembang, luas wilayah Kota
Palembang adalah sebesar 400,61 km 2 atau 40.061 Ha. Wilayah ini
terbagi atas 16 kecamatan dan 107 kelurahan dan pada tahun 2010
33
terdapat 922 Rukun Warga (RW) dan 4.108 Rukun Tetangga (RT).
Keenam belas kecamatan tersebut adalah kecamatan-kecamatan: Ilir
Timur I, Ilir Timur II, Ilir Barat I, Ilir Barat II, Seberang Ulu I,
Seberang Ulu II, Sukarame, Sako, Bukit Kecil, Gandus, Kemuning,
Kalidoni, Plaju, Kertapati dan dua kecamatan baru (hasil pemekaran
tahun 2007), yaitu: Kecamatan Alang-Alang Lebar dan Sematang
Borang.
Kecamatan Gandus merupakan kecamatan yang memiliki wilayah
terluas, yaitu sebesar 68.780 ha atau 17,17% dari total luas Kota
Palembang. Kecamatan yang memiliki luas paling kecil adalah
Kecamatan Ilir Barat II, yaitu 6.220 ha atau 1,55% dari total luas Kota
Palembang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat peta dan tabel berikut ini.

Gambar 1: Peta Administrasi Kota Palembang (Sumber: BPS, Palembang dalam


Angka 2011)

34
Tabel 4. Luas Daerah dan Pembagian Wilayah Administrasi Kota Palembang
(Sumber: BPS Palembang)
No Kecamatan Luas Persentase Jumlah Jumla Jumlah
Daerah thd Luas Kelurahan h RW RT
(Km2) Palembang
1 Ilir Barat II 6,22 1,55 7 51 208
2 Gandus 68,78 17,17 5 35 163
3 Seberang Ulu 17,44 4,35 10 98 450
I
4 Kertapati 42,56 10,62 6 51 265
5 Seberang Ulu 10,69 2,67 7 57 254
II
6 Plaju 15,17 3,79 7 66 218
7 Ilir Barat I 19,77 4,93 6 67 297
8 Bukit Kecil 9,92 2,48 6 39 196
9 Ilir Timur I 6,50 1,62 11 66 264
10 Kemuning 9,00 2,25 6 51 201
11 Ilir Timur II 25,58 6,39 12 89 364
12 Kalidoni 27,92 6,97 5 41 226
13 Sako 18,04 4,50 4 71 249
14 Sematang 36,98 12,85 4 23 108
Borang
15 Sukarami 51,46 9,23 7 68 347
16 Alang2 Lebar 34,58 8,63 4 49 208
Jumlah 400,61 100,00 107 922 4.108

Gambaran mengenai kota Palembang menurut catatan orang-orang


Arab dan Persia keadaannya mirip dengan kota-kota di tepi Sungai
Tigris. Kota Palembang digambarkan sebagai kota yang megah, dimana
jika dimasuki, kokok ayam jantan tidak berhendi bersahut-sahutan.
Dalam sumber-sumber berita Arab, Palembang dikenal dengan sebutan
Mamlakat al-Maharaja (Kerajaan Raja Diraja). Gambaran yang

35
berbeda diberikan oleh para pelaut Cina, yang melukiskan Palembang
dengan penduduknya yang hidup di atas rakit-rakit dan tidak pernah
dipungut pajak. Sementara itu, para pemimpinnya tinggal di rumah-
rumah yang didirikan di atas tanah yang bertiang (rumah panggung)
(Groeneveldt, 1960:79-80).
Berdasarkan kondisi geologi, Kota Palembang memiliki relief yang
beraneka ragam terdiri dari tanah berupa lapisan aluvial dan lempung
berpasir. Di bagian selatan kota, batuan berupa pasir lempung yang
tembus air, sebelah utara berupa batuan lempung pasir yang kedap air,
sedangkan sebelah barat berupa batuan lempung kerikil, pasir lempung
yang tembus air hingga kedap air.
Kota Palembang terbelah oleh Sungai Musi menjadi dua bagian
besar yang oleh masayrakat setempat disebut Seberang Ulu dan
Seberang Ilir. Selain itu, Kota Palembang dilintasi empat sungai besar
dengan 108 anak sungai. Sungai Musi adalah sungai terbesar dengan
lebar rata-rata 504 meter (lebar terpanjang 1.350 meter berada di sekitar
Pulau Kemaro, dan lebar terpendek 250 meter berlokasi di sekitar
Jembatan Musi II) (Kusumohartono, 1993). Ketiga sungai besar lainnya
adalah Sungai Komering dengan lebar rata-rata 236 meter; Sungai Ogan
dengan lebar rata-rata 211 meter, dan Sungai Keramasan dengan lebar
rata-rata 103 meter.
Di samping sungai-sungai besar tersebut terdapat sungai-sungai
kecil lainnya terletak di Seberang Ilir yang berfungsi sebagai drainase
perkotaan (terdapat ± 68 anak sungai aktif). Sungai-sungai kecil
36
tersebut memiliki lebar berkisar antara 3-20 meter. Pada aliran sungai-
sungai tersebut ada yang dibangun kolam retensi, sehingga menjadi
bagian dari sempadan sungai. Permukaan air Sungai Musi sangat
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada musim kemarau terjadi
penurunan debit sungai, sehingga permukaan air Sungai Musi mencapai
ketinggian yang minimum.
Pola aliran sungai di Kota Palembang dapat digolongkan sebagai
pola aliran dendritik, artinya merupakan ranting pohon. Sungai Musi
yang merupakan aliran sungai utama berperan sebagai batang pohon
sedangkan anak-anak sungai sebagai ranting pohonnya. Pola aliran
sungai seperti ini mencerminkan bahwa daerah yang dialiri sungai
tersebut memiliki topografi mendatar. Dengan kekerasan batuan relatif
sama (uniform) sehingga air permukaan (run off) dapat berkembang
secara luas yang akhirnya akan membentuk pola aliran sungai (river
channels) yang menyebar ke daerah tangkapan aliran sungai (catchment
area) (BAPPEDA Kota Palembang, 2011).
Secara geomorfik perubahan bentang alam pada satuan geomorfik
di Kota Palembang berkaitan dengan adanya sedimentasi sungai yang
bertanggung jawab terhadap pendangkalan sungai atau penyebab
terjadinya penyempitan (bottle neck) seperti yang terjadi di daerah
Mariana, Kecamatan Seberang Ulu I. Penambangan pasir sungai atau
gravel pada dasar sungai juga akan berdampak kepada pendalaman
cekungan. Selain itu, pemanfaatan dataran pada bantaran sungai untuk
permukiman, persawahan serta aktivitas lain yang akan berdampak pada
37
aliran sungai. Pendangkalan sungai juga disebabkan adanya penebangan
hutan illegal di daerah hulu sungai (BAPPEDA Kota Palembang, 2011).
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) Kota
Palembang 1999-2009, sekitar 30% dari total luas Kota Palembang
adalah berupa rawa yang terdiri atas rawa reklamasi dan rawa
perlindungan. Struktur rawa yang ada di Kota Palembang juga
dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Musi dan sungai-sungai lain yang
bermuara di Sungai Musi. Satuan geomorfik rawa pada umumnya
dicirikan oleh terbentuknya cekungan yang lebih luas, dengan
kedalaman relatif dangkal, genangan air yang relatif stagnant (yang
tergenang tidak mengalir, sepanjang masa), dan bahkan di beberapa
lokasi dijumpai pula area rawa yang telah kering atau tak berair kecuali
di musim hujan. Satuan geomorfik rawa banyak mendominasi terutama
kawasan Barat, kawasan Timur, daerah Seberang Ulu I, dan Seberang
Ulu II Kota Palembang. Pada satuan ini dijumpai pula beberapa
cekungan yang relatif lebih dalam bila dibandingkan dengan beberapa
daerah di sekitarnya, dan bentuk bentang alamnya ini merupakan
perairan yang ditumbuhi oleh gulma, yang lazim disebut dengan
“lebak”. Daerah ini dikenal dengan daerah tangkapan air yang banyak
digunakan untuk kolam retensi banjir yaitu di Kecamatan Ilir Barat I,
Kambang Iwak Talang Semut di Kecamatan Ilir Timur I, kolam retensi
Rumah Sakit Siti Khodijah, kolam retensi depan Kapolda dan kolam
retensi Kenten di Kecamatan Ilir Timur II.

38
Keadaan topografi Kota Palembang, pada umumnya merupakan
dataran rendah dengan ketinggian rata-rata + 4-12 meter di atas
permukaan laut, dengan komposisi: 48% tanah dataran yang tidak
tergenang air, 15% tanah tergenang secara musiman dan 35% tanah
tergenang terus menerus sepanjang musim. Lokasi daerah yang tertinggi
berada di Seguntang Kecamatan Ilir Barat I, dengan ketinggian sekitar
10 meter dpl. Sedangkan kondisi daerah terendah berada di daerah
Sungai Lais, Kecamatan Ilir Timur II. Kota Palembang dibedakan
menjadi daerah dengan tofografi mendatar sampai dengan landai, yaitu
dengan kemiringan berkisar antara ± 0-3o dan daerah dengan topografi
bergelombang dengan kemiringan berkisar antara ± 2-10o. Sebagian
besar dari wilayah Kota Palembang merupakan dataran rendah yang
landai dengan ketinggian tanah rata-rata + 12 meter di atas permukaan
laut, sedangkan daerah yang bergelombang ditemukan di beberapa
tempat seperti Kenten, Bukit Sangkal, Bukit Siguntang dan Talang
Buluh-Gandus.
Terdapat perbedaan karakter topografi antara Seberang Ulu dan
Seberang Ilir. Wilayah Seberang Ilir pada umumnya mempunyai
topografi yang relatif datar dan sebagian besar dengan tanah asli berada
di bawah permukaan air pasang maksimum Sungai Musi (± 3,75 m di
atas permukaan laut) kecuali lahan-lahan yang telah dibangun dan akan
dibangun dimana permukaan tanah telah mengalami penimbunan dan
reklamasi. Di bagian wilayah Seberang Ulu ditemui adanya variasi
topografi (ketinggian) dari empat sampai 20 meter di atas permukaan
39
laut dan ditemui adanya penggunaan-penggunaan mikro dan lembah-
lembah yang “kontinyu” dan tidak terdapat topografi yang
terjal. Dengan demikian, dari aspek topografi pada prinsipnya tidak ada
faktor pembatas untuk pengembangan ruang, baik berupa kemiringan
atau kelerengan yang besar.
Sebagian besar dari wilayah Kota Palembang merupakan dataran
rendah yang landai dengan ketinggian tanah rata-rata +12 meter di atas
permukaan laut, sedangkan daerah yang bergelombang ditemukan di
beberapa tempat, seperti: Kenten, Bukit Sangkal, Bukit Siguntang, dan
Talang Buluh-Gandus. Adanya perbedaan karakter topografis di Kota
Palembang (Kawasan Seberang Ulu dengan Seberang Ilir) terkait
dengan kondisi hidrologi, berupa keadaan anak-anak sungai dalam
wilayah tersebut. Di bagian wilayah Seberang Ulu terdapat anak-anak
sungai yang relatif besar yang bermuara di Sungai Musi. Anak-anak
Sungai Musi adalah Sungai Ogan dan Sungai Komering, yang berhulu
di Pegunungan Bukit Barisan. Sementara itu, anak sungai yang relatif
kecil adalah Sungai Keramasan, yang berhulu di Kabupaten
Muaraenim. Selain anak-anak sungai tersebut, terdapat pula anak-anak
sungai kecil dan pendek yang bermuara pada Sungai Musi dan berhulu
pada rawa-rawa di Kota Palembang dan daerah sekitarnya, seperti:
Sungai Aur dan Sungai Sriguna.
Pada bagian wilayah Seberang Ilir, aliran anak-anak sungai terbagi
menjadi dua sesuai dengan topografi yang ada, yaitu adanya
punggungan topografi. Pada bagian selatan punggungan, terdapat anak-
40
anak sungai yang mengalir pada Sungai Musi dan berhulu pada
punggungan topogafi. Anak-anak sungai tersebut meliputi Sungai
Lambidaro, Sekanak, Buah, Batang, Selincah, dan sebagainya. Pada
bagian utara punggungan terdapat anak-anak sungai yang mengalir ke
utara, yang bermuara -antara lain- ke Sungai Kenten.
Pengaruh bentuk alamiah Palembang atas sejarahnya dari masa ke
masa juga menduduki arti yang tidak kalah penting. Dikenal sejak
zaman Belanda sebagai “Venesia dari Hindia” atau Venice from The
East (Venesia dari Timur), daerah dataran rendah Palembang memiliki
banyak jaringan sungai besar dan anak sungai yang tidak saja
menyediakan jalur perhubungan utama, tetapi juga menjadi mata
pencaharian pokok penduduknya. Keberadaan prasarana perairan ini
telah memberikan komunitas pertanian sumberdaya air yang cukup
berlimpah dan oleh karenanya tidak perlu dikembangkan sistem irigasi
bagi penanaman tanaman dagang yang sama seperti di Jawa.
Sungai Musi, sebagaimana telah disinggung di atas, merupakan
sungai terbesar di Pulau Sumatera dan membelah Kota Palembang yang
terletak sekitar 90 km dari muara sungai yang berujung di dekat
Sungsang (Wolters, 1979:33-50). Permukaan air Sungai Musi
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada musim kemarau terjadi
penurunan debit sungai, sehingga permukaan air Sungai Musi mencapai
ketinggian yang minimum. Sungai Musi ini telah mempunyai peran
penting dalam kesejarahan Palembang dan menjadi urat nadi
transportasi dan komunikasi jauh sebelum Belanda menguasai wilayah
41
ini. Sebutan lain yang diberikan Belanda kepada Kota Palembang
adalah De Stad Twintig Einlanden (Kota Dua Puluh Pulau), dimana
pulau-pulau terbentuk akibat perpotongan anak-anak sungai yang
membelah daratan. Pada zaman kolonialisme Belanda, Palembang juga
mendapat julukan Palembangsche Beneden Landen atau Daerah Tanah
Datar (Sevenhoven, 1971).
Kondisi lingkungan Palembang sebagian besar didominasi oleh
tubuh perairan darat, baik berupa sungai maupun rawa memiliki
kandungan sumberdaya alam yang berbeda dengan lingkungan darat
maupun pegunungan. Perbedaan kondisi lingkungan dan kemampuan
budaya menyebabkan adaptasi manusia terhadap alam lingkungan di
berbagai wilayah yang bersangkutan sangat berbeda-beda. Hal ini
ditambah dengan tuntutan aspirasi hidup manusia yang juga terus
meningkat dan tantangan masalah yang juga tidak kunjung lenyap,
mengundang peningkatan daya adaptasi manusia terhadap
lingkungannya dan terhadap sesamanya. Daya adaptasi manusia yang
menggunakan kemampuan dan pengetahuan kebudayaannya, untuk
“sementara”, dapat mempertahankan kelangsungan hidup manusia di
permukaan bumi (Sumaatmadja, 1988). Kemampuan dan pengetahuan
kebudayaan manusia yang terungkap telah merealisasikan sumberdaya
alam menjadi kekayaan yang menjamin kehidupan. Namun, karena
sumberdaya dan kemampuan budaya manusia tidak merata, maka pada
kenyataannya realisasi kekayaan itu juga tidak merata. Konsep
sumberdaya dibatasi secara budaya (culturally defined resources), dapat
42
menjelaskan terjadinya ketimpangan antara kelompok manusia yang
bermukim di daerah kaya sumberdaya alam dengan komunitas lainnya
yang tinggal di kawasan miskin sumberdaya alam. Dalam kasus
Palembang ketimpangan seperti itu terjadi antara komunitas yang
tinggal di sebelah utara Sungai Musi (Iliran) dengan komunitas di
sebelah selatan Sungai Musi (Uluan).
Fungsi sungai di Kota Palembang sebelumnya adalah sebagai alat
angkutan sungai ke daerah pedalaman namun sekarang sudah banyak
mengalami perubahan fungsi antara lain sebagai drainase dan untuk
pengedalian banjir. Fungsi anak-anak sungai yang semula sebagai
daerah tangkapan air sudah banyak ditimbun untuk kepentingan sosial
sehingga berubah fungsinya menjadi permukiman dan pusat kegiatan
ekonomi lainnya. Rata-rata laju alih fungsi ini diperkirakan sebesar ±
6% per tahun. Secara geomorfik perubahan bentang alam pada satuan
geomorfik di Kota Palembang berkaitan dengan adanya sedimentasi
sungai yang berdampak terhadap pendangkalan sungai atau penyebab
terjadinya penyempitan (bottle neck) seperti di daerah Mariana
Kecamatan Seberang Ulu I. adanya penambangan pasir sungai atau
gravel pada dasar sunga, yang akan berdampak kepada pendalaman
cekungan. Pemanfaatan dataran pada bentaran sungai untuk
permukiman, persawahan serta aktivitas lain yang akan berdampak pada
aliran sungai. Adanya penebangan hutan illegal di daerah hulu Sungai
Musi.
Keadaan alam kota Palembang merupakan daerah tropis lembah
43
nisbi dengan suhu rata-rata sebagian besar wilayah Kota Palembang
21o-32o Celsius. Kota Palembang memiliki curah hujan 22-428 mml per
tahun. Musim yang terdapat di Kota Palembang sama seperti umumnya
yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia yaitu musim penghujan dan
musim kemarau. Suhu udara sebagian besar wilayah Kota Palembang
berdasarkan data dari stasiun Meteorologi tahun 2013 rata-rata 26,20o
Celcius sampai dengan 28,40o Celcius. Suhu udara maksimum terjadi
pada bulan September yang berkisar 34,60o Celcius, sedangkan suhu
udara minimum terjadi di bulan Januari dan Februari berkisar 23,40 o
Celcius. Kecepatan angin hampir di seluruh Kota Palembang merata
pada setiap bulannya yaitu berkisar antara 2 knots hingga 4 knots.
Angin di kota ini jarang bertiup terutama di musim kemarau yang
mengakibatkan kondisi panas. Rata-rata curah hujan selama tahun 2013
berkisar antara 14,6 mm3 (pada bulan September) sampai 392, 4 mm 3
(Maret). Kelembaban udara pada tahun 2012 rata-rata 7% (September)
sampai 87% (Januari-April dan Desember).

B. Demografi
Jumlah penduduk Kota Palembang pada pertengahan tahun 2010
adalah sebesar 1.455.284 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk rata-
rata selama periode 2005-2010 mencapai 1,86%. Laju pertumbuhan
penduduk ini pada dasarnya bersifat alami atau karena faktor kelahiran
dan kematian walaupun masih pula dipengaruhi oleh migrasi dengan
kepadatan penduduk 3.632 jiwa per km2. Kepadatan penduduk tertinggi

44
berada di Kecamatan Ilir Timur I sebesar 10.677,85 jiwa/km2 (pada
tahun 2010) (BAPPEDA Kota Palembang, 2011). Sementara itu,
wilayah kecamatan dengan tingkat kepadatan terendah adalah
Kecamatan Sematang Borang yaitu sebesar 625,88 jiwa/km2 pada
tahun yang sama.

Tabel 5. Komposisi Penduduk Kota Palembang Tahun 1930 (Sumber: Mestika Zed,
2003)
Kelompok Jumlah
Eropa 1.833
Bumiputera 87.516
Cina 15.815
Timur Asing 3.855
Total 109.019

Pada 1930, berdasarkan data sensus yang dilakukan oleh pemerintah


Kolonial Belanda, jumlah penduduk Palembang sebanyak 1.096.565
jiwa (rata-rata 12,8 jiwa/km2).1 Mereka menghuni kawasan seluas
85.918,06 km2. Palembang dibanding rata-rata daerah “Luar Jawa”
tergolong dalam kelompok daerah berpenduduk “menengah jarang”.
Daerah Palembang berada di bawah Sumatera Barat yang paling padat
penduduk tetapi di atas rata-rata daerah Kalimantan dan Maluku yang
berpenduduk sangat jarang. Di luar Pulau Jawa, pada darsa warsa kedua
dan ketiga abad ke-20, tidak ada daerah yang mengalami pertumbuhan
penduduk sepesat Kota Palembang. Hanya dalam tempo sepuluh tahun
saja penduduk Palembang meningkat sebesar 81,6% dari sebesar 60.000

1
Jumlah penduduk di sini meliputi seluruh Karesidenan Palembang bukan Kota
Palembang seperti saat ini.
45
jiwa pada tahun 1920nmenjadi 109.090 jiwa pada tahun 1930. Jumlah
tersebut menempatkan Palembang sebagai kota di “Luar Jawa” yang
paling padat penduduk (Zed, 2003:65).

Tabel. 6. Komposisi Penduduk Daerah Palembang 1900-1930 (Sumber: Mestika Zed,


2003)
Kelompok Palembang Palembang Ogan dan Total
Binnenlanden Bovenlanden Komering
Eropa 2.557 1.117 153 3.827
Bumiputera 528.705 25.773 207.489 1.061.967
Cina 18.922 5.523 1.621 26.066
Timur Asing 4.285 331 79 4.695
Total 544.469 332.744 209.342 1.096.565

Tidak disangsikan lagi pesatnya pertambahan penduduk Kota


Palembang selama tahun 1920-an terkait erat dengan berbagai
perubahan yang berlangsung pada periode ini. Pertambahan penduduk
biasanya diakibatkan oleh perpindahan penduduk pedesaan masuk ke
kota. Namun, dalam konteks Palembang proses tersebut menjukkan
gejala agak berbeda. Penduduk yang memadati Kota Palembang
sebagian besar berasal dari pendatang “luar” daerah Palembang, bukan
dari pedesaan sekitarnya. Data penduduk 1920-1930 memperlihatkan
bahwa kenaikan jumlah penduduk kelompok etnis non-Palembang yang
juga mengalir masuk ke pelososk daerah pedalaman jauh lebih
mencolok daripada kelompok bumiputera. Jumlah orang Eropa secara
keseluruhan meningkat hampir dua kali lipat pada 1920, separuh di
antaranya (47,9 %) menetap di Kota Palembang). Sementara itu, etnis
Cina meningkat lebih dari dua kali lipat, yakni 12.973 jiwa pada 1920
46
menjadi 26.066 jiwa pada 1930; lebih dari separuh (60,6 %) memilih
tinggal di Kota Palembang. Demikian pula kelompok “Timur Asing”
terutama orang-orang Arab dan Keling (India) yang menunjukkan
kecenderungan serupa. Walaupun tidak sebesar kelompok lain,
persentase penduduk bumiputera secara keseluruhan menunjukkan
peningkatan dari 810.353 jiwa menjadi 1.061.967 jiwa (31 %); 87.815
orang (8,2 %) di antaranya menetap di Kota Palembang.
Dalam bidang kependudukan tersebut ada perlakuan berbeda antara
orang Arab dan Cina pada masa Kesultanan Palembang. Orang-orang
Cina tidak diizinkan memiliki lahan pertanian dan tinggal di atas
daratan. Mereka harus tinggal di atas rumah rakit di kota. Kebijakan ini
diambil oleh sultan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan
kerajaan dan memudahkan pihak kesultanan untuk mengendalikan
orang-orang Cina, karena ada kekhawatiran sultan mereka akan
berkhianat. Jika hal ini terjadi, maka pihak kesultanan tinggal
membakar rumah rakit, dimana mereka bermukim.

Tabel. 7. Komposisi Penduduk Daerah Palembang 1930 (Sumber: Mestika Zed, 2003)
Tahun Eropa Cina Arab Timur Asing, Bumiputera Total
dan lain-lain
1900 542 6.915 2.144 188 657.737 667.526
1905 531 7.342 7.342 183 663.932 674.383
1910 1.003 8.135 2.470 528 712.098 724.234
1915 1.688 15.7582 770.178 787.624
1920 1.710 12.793 3.148 810.353 828.004
1930 3.837 26.066 4.695 861.967 1.096.565

2
Termasuk kelompok etnis Cina.
47
Perlakuan berbeda dilakukan oleh sultan terhadap orang-orang
Arab. Sultan mempersilahkan para pedagang Arab membangun rumah
dan gudang mereka di darat. Bahkan di lingkungan keratin, orang Arab
yang umumnya dating dari Hadramat mempunyai kedudukan khusus.
Orang Belanda yang pernah mengunjungi keratin Palembang
menyaksikan, bahwa jika pembesar kerajaan menghadap raja, mereka
harus menyembah sampai menyentuh lantai, sedangkan orang Arab
boleh di kursi di sisi sultan. Dalam segi hukum orang Arab juga hampir
kebal (Jumhari, 2010:7).
Pada masa kolonial Belanda terjadi perubahan dengan
diberlakukannya kebijakan politik segregasi rasial yang bertujuan untuk
melanggengkan kekuasaan kolonial. Masyarakat Hindia Belanda
dikelompokkan berdasarkan stratifikasi sosial yang timpang, kelompok
warga kelas satu ditempati oleh orang-orang Eropa, kelompok kedua
orang Timur Asing, yakni orang-orang Cina, Arab, dan bangsa Asia
lainnya (Jumhari, 2010:7). Selain kedua kelompok tersebut, ada satu
kelompok yang merupakan mayoritas yakni penduduk pribumi.
Mayoritas penduduk pribumi pada masa itu dikelompokkan dalam
strata sosial paling bawah.
Pengelompokkan masyarakat pada waktu itu makin kokoh dengan
adanya pengelompokkan hunian (pemukiman) berdasarkan kelompok
etnik tertentu. Oleh karena itu, di kota-kota besar di Indonesia pada
masa kolonial seperti Batavia dan Semarang ditemukan kampung-

48
kampung dengan kategori etnis, seperti: Kampung Cina, Kampung
Arab, Kampung Jawa, Kampung Bugis, dan kampung-kampung lainnya
(Jumhari, 2010:7-8).

C. Sosial Budaya
Sebagai kota maritim sejak zaman Sriwijaya dan sebagai ibukota
provinsi, Kota Palembang sejak dulu telah menjadi melting pot berbagai
suku atau etnis dari manca negara maupun dari dalam negeri sendiri,
seperti: Tionghoa (China), India, Arab (Timur Tengah), Hindustan
(India dan Pakistan), Jawa, Sunda, Padang, Bugis, Batak, dan Melayu.
Penduduk Kota Palembang juga berasal berasal dari suku-suku yang
asli dari Sumatera Selatan, seperti: suku Palembang, Ogan, Komering,
Semendo, Pasemah, Gumay, Lintang, Musi Rawas, Meranjat,
Kayuagung, Ranau, Kisam, Panesak, dan lain-lain (Zed, 2002).
Bahasa pengantar yang banyak dipergunakan antar suku yaitu
Bahasa Palembang yang berakar dari bahasa Melayu. Dalam
komunikasi sehari-hari, bahasa Melayu dialek Palembang merupakan
bahasa pengantar yang digunakan oleh sebagian besar penduduk
Palembang. Bahasa Melayu Palembang merupakan bahasa Melayu
yang sudah mengalami modifikasi serta percampuran dengan bahasa
dari luar, terutama dari bahasa Jawa.
Rumah adat Palembang adalah rumah Limas, yang mengandung
pengertian “lima emas”. Maksudnya adalah bahwa emas pertama
hingga emas kelima merupakan simbol norma-norma masyarakat, yaitu:

49
keanggunan dan kebenaran, rukun damai, sopan santun, aman sentosa,
serta makmur dan sejahtera.
Di bidang seni budaya daerah pembinaan terus diupayakan agar
dapat berkembang dan menjadi kebanggaan warga Kota Palembang.
Setiap tahun diselenggarakan Festival Palembang Darussalam yang
menggambarkan kebesaran Kota Palembang tempo dulu, termasuk juga
usaha menggalakkan kesenian bernafas ke-Islaman. Selain itu, dalam
memperingati Hari Jadi Kota Palembang setiap 17 Juni dilaksanakan
atraksi wisata dan pentas seni budaya asli Kota Palembang dan
merupakan kalender wisata Kota Palembang.
Pada masa kesultanan dan sebelum kolonial Belanda memerintah
Palembang secara langsung, masyarakat mengenal tata pemerintahan
tradisional yang disebut dengan “marga”. Sistem pemerintahan marga
ini merupakan model pemerintahan asli Palembang (Jumhari, 2010: 32).
Sistem marga ini tetap bertahan meskipun mengalami perubahan
teritorial seiring perkembangan wilayah dan sistem pemerintahan yang
silih berganti mengendalikan sejak dari masa kesultanan sampai
Indonesia merdeka. Sistem pemerintahan marga mulai dihapuskan sejak
pemerintah orde baru mengeluarkan UU No. 5 tahun 1978 tentang
Pokok-Pokok Pemerintah Desa. Undang-undang tersebut menjadikan
model pemerintahan terendah di luar Jawa harus mengikuti sistem ini.
Sebagian besar penduduk Palembang memeluk agama Islam,
bahkan sejak masa kesultanan agama Islam telah diakui sebagai agama
resmi kerajaan. Meskipun demikian, sisa-sisa tradisi pra-Islam masih
50
ada, seperti percaya kepada hal yang bersifat mistis. Tradisi leluhur
masih tetap dilakukan terutama menyangkut daur hidup, seperti:
kelahiran, perkawinan, kematian, dan tradisi lainnya.

F. Ekonomi dan Aktivitas Perekonomian


Kondisi lingkungan dengan sumberdaya alam yang dimiliki
Palembang tentunya melahirkan strategi adaptasi yang khas bagi
masyarakat dalam berbagai aspek kehidupannya, seperti yang tercermin
dalam tinggalan arkeologis. Salah satu aspek kehidupan manusia yang
tidak lepas dari kondisi lingkungan sekitarnya adalah mata pencaharian
hidup (subsistence) untuk memenuhi kebutuhan primer, yaitu sumber
pangan. Selama ini subsistensi utama masyarakat Palembang adalah
pedagang seperti yang terungkap dari data sejarah maupun arkeologi.
Namun, temuan berupa sisa-sisa tulang binatang, hasil-hasil hutan dan
alat-alat sarana untuk menangkap ikan mengindikasikan adanya
sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan mata pencaharian penduduk
yang ternyata tidak hanya sebagai pedagang.
Peran penting Palembang sebagai kota dagang sejak zaman
Kerajaan Sriwijaya sampai masa Kesultanan Palembang diperkuat oleh
data arkeologi dari situs-situs di Palembang dan sekitarnya. Bahkan,
peran tersebut tetap berlanjut pada masa Kolonial Belanda. Di samping
itu, hasil-hasil penelitian arkeologi di Palembang sejak dari tahun 1982
menunjukkan adanya proses adaptasi masyarakat Palembang lama
terhadap lingkungannya. Hal ini selaras dengan sejarah perkembangan
51
kehidupan manusia di permukaan bumi yang menunjukkan bahwa
manusia sejak lahir sampai kepada akhir hayatnya, tidak dapat
melepaskan diri dari pengaruh alam lingkungannya. Mulai dari udara
yang dihirup, air yang diminum, bahan pangan yang dimakan sampai
kepada tempat berlindung dari cuaca buruk dan binatang liar, diperoleh
manusia dari alam. Melalui penggunaan dan pemanfaatan alam untuk
kebutuhan hidupnya, manusia secara berangsur-angsur mengenal
berbagai unsur di alam ini yang dapat menjamin kehidupannya. Kondisi
hidup yang penuh rintangan dan tantangan mendidik manusia untuk
mengenal alam secara lebih mendasar dan mendalam. Pengenalan alam
yang lebih jauh ini, dimungkinkan oleh kemampuan manusia
mengembangkan dan memanfaatkan akalbudinya. Kemampuan adaptasi
manusia terhadap alam lingkungannya, diungkapkan dalam bentuk
relasi manusia dengan alam tersebut. Bentuk relasi ini berupa berbagai
tingkat dan taraf kehidupan di berbagai ruang di permukaan bumi
(Sumaatmadja, 1988:11-12). Relasi manusia dengan alam
lingkungannya bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya (varied
ways of living). Variasi kehidupan ini terutama dipengaruhi oleh tingkat
kebudayaan kelompok manusia di wilayah yang bersangkutan
(Sumaatmadja, 1988:12).
Dengan kondisi topografis Palembang yang berawa-rawa dan
banyak sungai mengakibatkan penduduknya lebih berorientasi pada
kegiatan perdagangan dibandingkan dengan pertanian. Meskipun
kondisi lahan tidak memungkinkan untuk dilakukan kegiatan
52
bercocoktanam, tetapi ada sebagian masyarakat yang melakukan
kegiatan bercocoktanan di daerah “talang”, yaitu suatu tempat yang
agak tinggi posisinya dari daerah lainnya. Selain itu, kegiata pertanian
juga sering dilakukan di daerah “lebak”, yaitu lahan pasang surut.
Selain perdagangan, penduduk Palembang juga merupakan
pengrajin kayu, seperti membuat almari ukir dan kerajinan laquer. Para
perempuan Palembang dikenal sebagai pengrajin yang tangguh, seperti:
menenun kain songket, menyulam, dan menjahit pakaian.
Di dalam lapangan ekonomi, menurut catatan Sevenhoven pada
awal pemerintahan Belanda di Palembang, orang Arab berjumlah
sekitar 500 orang yang sebagian besar tinggal mengelompok dalam
suatu kampong. Mereka adalah pedagang kain linen terbesar, dan ada di
antara mereka yang mempunyai kapal dan perahu sendiri. Meskipun
demikian, sebagian besar orang Arab merupakan pedagang perantara.
Perkampungan Arab ini dikepalai oleh salah seorang dari mereka yang
diberi gelar pangeran, seperti: Pangeran Umar, Pangeran Abdul
Rahman bin Hasan al-Habsyi (Sevenhoven, 1971:33-34).
Selain para pedagang Arab, di Palembang juga terdapat pedagang
Cina dengan posisi serupa sebagai pedangang perantara. Sebagai
sesama pedagang perantara, posisi para pedagang Cina ada di bawah
para pedagang Arab. Orang-orang Cina pada masa ini
memperdagangkan barang-barang seperti barang-barang pecah-belah,
sutera kasar, benang emas, panci-panci besi, obat-obatan, teh, manisan,
dan barang-barang Cina lainnya. Orang-orang pribumi biasanya
53
memperdagangkan hasil-hasil pertanian dan hutan, seperti: rotan,
dammar, lilin, dan sebagainya. Dalam berdagang biasanya mereka
menggunakan perahu yag disebut wangkang, yang mirip dengan kapal
atau jung Cina, tetapi ukuranya lebih kecil (Sevenhoven, 1971:47).
Pada masa kolonial Belanda setelah kebijakan politik segregasi,
terjadi juga perubahan dalam kebijakan ekonomi. Kelompok Timur
Asing dilarang menjalankan usaha pertanian dan memiliki tanah, namun
mereka tetap diberi keleluasaan peran sebagai mediator (pedagang
perantara) yang menjembatani kepentingan pribumi dengan pemerintah
colonial (Jumhari, 2010:8). Peran para pedangang Cina yang pada masa
kesultanan berada di bawah para pedagang Arab, maka pada masa
kolonial yang terjadi sebaliknya, orang-orang Cina diberi keistimewaan
dibandingkan orang-orang Arab.
Pada awal abad ke-20, dalam perspektif kepentingan ekonomi,
Palembang dilihat sebagai salah satu kawasan daerah yang
menguntungkan (wingesten). Hal ini disebabkan Palembang pada masa
ini mengalami booming ekonomi, yang ditandai dengan peningkatan
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi secara pesat. Sebagai
indikatornya adalah mulai terbukanya Palembang sebagai kawasan
eksploitasi perkebunan (tembakau, kopi, dan karet). Selain itu,
Palembang juga mulai menjadi daerah eksploitasi di bidang
pertambangan, yaitu minyak bumi dan batu bara (Zed, 2003:5). Pada
masa ini mulai tumbuh dan berkembang jaringan kepialangan
berdasarkan aliansi etnik dan jenis komoditas perdagangan. Jaringan
54
kepialangan merupakan bagian dari mata rantai perdagangan secara
lokal, nasional, maupun regional.
Di sisi lain Kota Palembang, di daerah hulu dimana terdapat sungai-
sungai yang dapat dilayari dengan perahu, bahkan di masa kini bisa
diarungi dengan kapal motor sampai ke daerah pedalaman. Perahu-
perahu dan kapal dengan berbagai ukuran dan jenis merupakan pasar
terapung yang membawa barang dagangan untuk ditukarkan dengan
hasil bumi yang berasal dari kawasan pedalaman. Posisi inilah yang
menjadikan Palembang sebagai pelabuhan transito yang
menghubungkan daerah hulu dengan daerah hilir.
Kawasan pedalaman yang berada di dataran tinggi di bagian barat
Palembang merupakan daerah penting penghasil komoditas hasil hutan,
seperti damar, getah perca, jelutung, dan rotan. Pada masa kolonial,
yakni sekitar tahun 1916-1917, komoditas hasil hutan seperti di atas
menjadi komoditas utama bagi penduduk Palembang.
Berdasarkan data Koloniaal Verslag tahun 1928 dapat diketahui
adanya pasang surut perdagangan keempat komoditas tersebut,
sebagaimana tampak dalam tabel 8 berikut ini:

Tabel 8. Hasil Hutan Palembang Tahun 1916-1917 (Sumber: Mestika Zed, 2003)
Hasil Hutan Tahun 1916 Tahun 1917
Damar 413.244 kg 305.661 kg
Getah perca 10.031 kg 11.749 kg
Getah jelutung 3.413.444 kg 1.318.341 kg
Rotan 4.704.626 kg 549.145 kg

55
Berdasarkan catatan harga yang berlaku pada waktu itu, damar per
pikul harganya f. 7.00 sampai dengan f. 20.00, getah perca per pikul
f.6.00 sampai dengan f. 100.00, getah jelutung per pikul harganya f.
4.00 sampai dengan f. 12.00 dan harga rotan per pikul f. 3.00 sampai
dengan f.7.00. Hasil-hasil hutan tersebut merupakan penghasilan
tambahan bagi penduduk, selain hasil perkebunan mereka berupa lada,
kopi, dan tembakau.
Saat ini, perkembangan perekonomian Palembang diukur melalui
tolak ukur modern. Salah satu indikator yang digunakan untuk
menganalisis pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB). Laju pertumbuhan ekonomi Kota
Palembang yang tercermin dalam laju kenaikan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) rata-rata selama kurun waktu 2006-2010, atas
dasar harga konstan tahun 2000 dengan migas adalah sebesar 6,87%
dan tanpa migas sebesar 8,22% per tahun. Laju pertumbuhan ini
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dengan rata-rata
pertumbuhan PDRB Provinsi Sumatera Selatan, yaitu sebesar 4,14%
per tahun. Pertumbuhan masing-masing sektor ekonomi relatif
bervariasi, pertumbuhan tertinggi dialami oleh sektor pengangkutan dan
komunikasi sebesar 13,24%, diikuti dengan sektor Keuangan,
persewaan dan jasa (8,52%) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran
sebesar 8,38%. Sementara itu, sektor pertambangan dan penggalian
merupakan sektor yang tidak memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi Kota Palembang, mengingat sektor tersebut
56
tidak berpotensi di Kota Palembang. Adapun untuk lebih jelasnya
mengenai nilai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi Kota Palembang
atas dasar harga konstan tahun 2000 untuk periode tahun 2006-2010
dan, dapat dilihat pada tabel 9.
Dari data PDRB Kota Palembang tahun 2010, sektor yang
memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam membangun Kota
Palembang adalah sektor industri pengolahan dengan nilai kontribusi
sebesar 35,89%, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan
restoran (19,9%), pengangkutan dan komunikasi (15,24%) serta sektor
jasa-jasa (11,95%).
Keempat sektor tersebut memberikan kontribusi lebih dari 80 persen
setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Kota
Palembang masih menggantungkan perekonomiannya pada sektor
industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta
ditunjang pula oleh sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor
jasa-jasa.

57
Tabel 9. Produk Domestik Regional Bruto Kota Palembang Menurut Lapangan Usaha (Atas Dasar Harga Konstan 2000)
Tahun 2006 – 2010 (Sumber: Indikator Ekonomi Kota Palembang Tahun 2010)
Lapangan Usaha PDRB (ADHK 2000)
2006 2007 2008 2009 2010
1. Pertanian 110.439 116.094 120.337 124.093 126.951
2. Pertambangan & Penggalian 0 0 0 0 0
3. Industri Pengolahan 5.485.441 5.734.651 5.963.705 6.203.585 6.479.068
a. Industri Migas 1.907.981 1.876.308 1.907.981 1.908.152
b. Industri tanpa Migas 3.577.460 3.858.343 4.055.724 4.570.916
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 204.440 217.441 228.040 236.099 250.795
a. Listrik 162.392 171.923 178.448 196.048
b. Gas 7.969 8.665 9.522 10.520
c. Air Bersih 34.079 36.853 40.070 44.227
5. Bangunan 1.080.857 1.172.161 1.247.949 1.336.865 1.444.163
6. Perdagangan, Hotel &Restoran 2.795.938 3.022.420 3.276.507 3.367.981 3.592.542
7. Pengangkutan dan Komunikasi 1.741.812 1.952.723 2.195.547 2.479.961 2.751.036
8. Keuangan, Persewaan & Perusahaan 920.101 1.001.097 1.068.962 1.160.568 1.250.981
9. Jasa-jasa 1.434.767 1.539.369 1.659.064 2.033.752 2.157.818
PDRB dengan Migas 12.226.258 13.087.898 13.998.092 16.942.904 18.053.454
PDRB Tanpa Migas 10.263.311 11.151.255 12.090.111 15.044.463 16.145.302
19
BAB III
MAKAM-MAKAM ELITE POLITIK DI PALEMBANG

Kompleks Makam Kawah Tengkurep


Kompleks Makam Kawah Tengkurep terletak di Kelurahan 3 Ilir,
Kecamatan Ilir II, Palembang. Kompleks terletak sekitar 100 meter di
sebelah utara Sungai Musi. Kompleks makam ini dibatasi dengan
pagar-pagar yang dibangun dari batu bata menghadap ke arah sungai.
Pagar dari bata ini sebagian besar masih terlihat tetapi dalam keadaan
rusak. Untuk memasuki kompleks makam ini harus melalui pintu
gerbang di sebelah selatan yang merupakan bangunan baru. Pagar
halaman paling depan tidak utuh lagi, terutama di sebelah barat karena
terpangkas untuk pembangunan jalan yang sekarang melintas di depan
kompleks pemakaman.

Gambar 2. Peta lokasi Komplek Makam Kawah Tengkurep (Sumber: Balai


Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2021)
59
Bangunan-bangunan yang masih relatif utuh adalah cungkup dan
pagar dari makam-makam tokoh terkenal seperti Sultan Mahmud
Badaruddin I, Sultan Baha’uddin dan Sultan Ahmad Najamuddin, yang
sampai sekarang masih dikeramatkan dan diziarahi oleh masyarakat
(Gambar 2). Kompleks pemakaman ini telah ditetapkan sebagai Situs
Cagar Budaya dengan Surat Ketetapan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor KM.09/PW.007/MKP/2004. Di dalam SK tersebut
situs Kawah Tengkurep ditetapkan sebagai situs cagar budaya kategori
situs kabupaten/kota, yaitu Kota Palembang. Adapun luas areal situs
berdasarkan surat keputusan tersebut adalah 1,4 hektar.

Gambar 3. Denah Kompleks Makam Kawah Tekurep (Sumber: Schnitger, 1936)

Kompleks pemakaman ini didirikan oleh Sultan Mahmud


Badaruddin Jayo Wikramo (SMB I) hampir bersamaan dengan
pembangunan Benteng Kuto Besak dan Masjid Agung. Kompleks
pemakaman ini dibangun di atas tanah tinggi (talang) dan terdiri dari

60
tiga teras. Dari sisa-sisa bangunannya, tampak terlihat bahwa di setiap
teras terdapat dinding pemisah dan dilengkapi dengan gapura atau pintu
masuk. Dinding dan gapura pintu masuk yang masih tersisa hanya di
teras teratas yang berbentuk Paduraksa. Di teras ketiga inilah terdapat
empat cungkup yang terdiri dari tiga cungkup untuk pemakaman para
sultan dan satu cungkup untuk pemakaman Pangeran Kamuk dan
kerabatnya. Ketiga cungkup makam sultan adalah cungkup makam
Sultan Mahmud Badaruddin I, Sultan Ahmad Najamuddin, dan Sultan
Muhammad Bahauddin. Di luar keempat cungkup makam tersebut
terdapat dua cungkup makam baru, yaitu cungkup makam Pangeran
Nato Dirajo di sebelah tenggara cungkup Makam Sultan Muhammad
Bahauddin dan cungkup para habib di belakang cungkup Sultan
Muhammad Bahauddin.

1. Cungkup Makam Sultan Mahmud Badaruddin Jayo wikaramo


Di dalam cungkup Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo
(1724-1758) terdapat makam sultan, permaisuri (Ratu Sepuh), tiga istri
lainnya, dan makam imamnya (Sayid Idrus al-Idrus). Istri-istri Sultan
Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo yang lain adalah Ratu Gading,
Ratu Mas Ayu, dan Nyimas Naimah. Keletakan makam sultan diapit
dengan makam permaisuri di sebelah kanan (timur) dan imam sultan di
sebelah kirinya (barat). Selain ketiga makam tersebut, makam-makam
keempat sultan berada di sebelah barat, utara dan timur makamnya. Di

61
halaman depan cungkup makam ini terdapat makam-makam putra-putri
sultan.

Gambar 4. Makam Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sumber: Balai


Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Cungkup makam sultan berupa bangunan masif, memiliki dinding


bangunan berbentuk segi empat dan atap berbentuk kubah. Pintu masuk
terletak di sebelah selatan (menghadap ke arah selatan). Daun pintu
dibuat dengan menggunakan kayu unglen dan diukir. Bahan yang
digunakan untuk membangun cungkup makam adalah bata berplester.
Jirat dan nisan makam terbuat dari batu granit. Bentuk jirat segi empat
dan terdapat lubang di bagian atasnya. Lubang jirat terletak di bagian
tengah dan berbentuk segi enam. Adapun nisan semuanya termasuk
dalam tipe Demak.
Dari enam makam yang ada di cungkup ini tidak semua
dideskripsikan, karena bentuk jirat dan nisan relatif sama dan hanya
perbedaan kecil pada ragam hias nisan makam. Adapun yang

62
dideskripsikan adalah makam imam, makam sultan, dan permaisurinya.
Imam Sultan Mahmud Badaruddin bernama Imam Syayid Idrus Al
Idrus. Makam imam sultan jiratnya terbuat dari batu granit dengan
ukuran panjang 201 cm, lebar 56 cm, dan tinggi 21 cm. Ukuran nisan
bagian kepala dan kaki sama yaitu tinggi keseluruhan 64 cm dan lebar
26 cm. Ukuran tinggi bagian kaki 18 cm, bagian badan 27,5 cm, tinggi
bagian sabuk 6,5 cm, dan bagian kepala 12 cm. Ukuran tebal bagian
kaki yaitu 35 cm sedangkan tebal bagian badan dan kepala 12 cm. Pada
bagian nisan terdapat hiasan berbentuk medalion terletak di bagian
tengah kepala. Motif hias ini diterakan di bagian dalam nisan kepala.
Medalion digambarkan berbentuk lingkaran ganda dengan ukuran
diameter lingkaran bagian luar yakni 18 cm dan diameter bagian dalam
16,5 cm. Pada bagian badan dan kaki nisan polos.

Gambar 5. Nisan kepala makam Imam Syayid Idrus Al Idrus (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

63
Makam Sultan Mahmud Badaruddin I jiratnya terbuat dari batu
granit dengan ukuran panjang 203 cm, lebar 50 cm dan tinggi 21 cm.
Ukuran nisan bagian kepala dan kaki sama yaitu tinggi keseluruhan 81
cm, lebar 18 cm, dan tebal 16 cm. Ukuran tinggi bagian kaki 16 cm,
bagian badan 39,5 cm, tinggi bagian sabuk 9 cm, dan bagian kepala
16,5 cm. Nisan kepala mempunyai ukiran dan medalion ganda dengan
ukuran diameter bagian luar 16 cm dan diameter lingkaran bagian
dalam 14,5 cm. Setelah medalion terdapat motif untaian daun yang
menjulur kebawah dengan bentuk tumpal terbalik.

Gambar 6. Nisan kaki makam Sultan Mahmud Badaruddin I (Sumber: Balai


Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Makam Ratu Sepuh jiratnya terbuat dari batu granit dengan ukuran
panjang 219 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 29 cm. Ukuran nisan bagian
kepala dan kaki sama, yaitu tinggi keseluruhan 81 cm, lebar 18 cm, dan

64
tebal 16 cm. Ukuran tinggi bagian kaki 16 cm, bagian badan 39,5 cm,
tinggi bagian sabuk 9 cm, dan bagian kepala 16,5 cm.

Gambar 7. Nisan kepala makam Ratu Sepuh (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)

2. Cungkup Makam Pangeran Kamuk


Di sebelah timur cungkup Sultan Mahmud Badaruddin Jayo
Wikramo berjarak dua meter terdapat cungkup makam Pangeran
Kamuk. Cungkup makam ini tidak permanen karena dibuat tanpa
dinding dan memiliki atap berbentuk tajuk dan ditutup dengan genting.
Tiang-tiang penyangga atap dibuat dari kayu. Di dalam cungkup ini
terdapat makam istri Pangeran Kamuk (Ratu Mudo) yang terletak di
sebelah timur dan imamnya (Sayyid Yusuf al-Angkawi) di sebelah
baratnya. Di deretan yang sama terdapat makam-makam anak-anak dan
panglimanya. Di dalam cungkup ini terdapat 23 makam.

65
Ukuran jirat Imam Sayyid Yusuf al-Angkawi adalah panjang 160
cm, lebar 51 cm, dan tinggi 26 cm. Ukuran nisan bagian kepala dan
kaki sama yakni tinggi keseluruhan 132, 8 cm. Ukuran tinggi bagian
kaki adalah 16,8 cm, lebar 31,8 cm, dan tebal 17 cm. Ukuran tinggi
bagian tubuh nisan yaitu 92 cm, lebar 28 cm, dan tebal 17 cm. Tinggi
bagian mahkota/kepala adalah 14 cm. Di bawah mahkota terdapat
medalion polos. Ukuran diameter medalion yaitu 16 cm.

Gambar 8. Nisan Imam Sayyid Yusuf al-Angkawi (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)

Ukuran jirat Pangeran Kamuk adalah panjang 160 cm, lebar 51,5
cm, dan tinggi 36 cm. Ukuran nisan bagian kepala dan kaki sama yakni
tinggi keseluruhan 106 cm. Ukuran tinggi bagian kaki adalah 19 cm,
lebar 34 cm, dan tebal 21,9 cm. Ukuran tinggi bagian tubuh nisan yaitu
50 cm, lebar 29 cm, dan tebal 17 cm. Tinggi bagian mahkota/kepala

66
adalah 37 cm. Di bawah mahkota terdapat tiga medalion dengan motif
hias bunga pada medalion bagian dalam. Ukuran diameter bagian
terluar dalam medalion yaitu 16,5 cm, medalion berikutnya berdiameter
9 cm, dan diameter medalion bagian luar 7 cm.
Ukuran jirat Ratu Mudo, istri Pangeran Kamuk adalah panjang 168
cm, lebar 51 cm, dan tinggi 28 cm. Ukuran nisan bagian kepala dan
kaki sama yakni tinggi keseluruhan 103 cm. Ukuran tinggi bagian kaki
adalah 17 cm, lebar 35 cm, dan tebal 22,5 cm. Ukuran tinggi bagian
tubuh nisan yaitu 86 cm, lebar 30 cm, dan tebal 18 cm. Tinggi bagian
mahkota/kepala adalah 15 cm. Di bawah mahkota terdapat medalion
tiga dengan motif hias bunga pada medalion bagian dalam. Ukuran
diameter bagian terluar dalam medalion yaitu 16 cm, medalion
berikutnya berdiameter 8,8 cm, dan diameter medalion bagian luar 7,5
cm.

Gambar 9. Nisan Pangeran Kamuk dan istrinya (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)
67
Di sebelah timur cungkup makam Pangeran Kamuk terdapat empat
makam yang salah satu di antaranya dikenal sebagai makam Panglima
Batu Api. Jirat makam sudah tidak asli lagi karena sudah dibentuk
punden berundak dua dengan menggunakan semen. Meskipun
demikian, nisan masih asli dan terbuat dari batu. Ukuran tinggi
keseluruhan nisan 100,6 cm. Ukuran tinggi bagian tubuh nisan yaitu 71
cm, lebar 29 cm dan tebal 19 cm. Tinggi bagian mahkota/kepala adalah
14 cm. Ukuran tinggi bagian kaki adalah 15,6 cm, lebar 33,8 cm, dan
tebal 22,2 cm. Di bawah mahkota terdapat tiga medalion dengan motif
hias bunga pada medalion bagian dalam. Ukuran diameter bagian
terluar dalam medalion yaitu 15,4 cm, medalion berikutinya
berdiameter 8,5cm, dan diameter medalion bagian luar 8 cm.
Di sebelah selatan makam Panglima Batu api terdapat makam lain
yang jiratnya juga sudah diganti baru berbentuk punden berundak
namun nisannya masih asli. Ukuran tinggi keseluruhan nisan 107,5 cm.
Ukuran tinggi bagian tubuh nisan yaitu 79,5 cm, lebar 28,2 cm, dan
tebal 10 cm. Tinggi bagian mahkota/kepala adalah 15 cm. Ukuran
tinggi bagian kaki adalah 13 cm, lebar 34 cm, dan tebal 13 cm. Di
bawah mahkota terdapat medalion ganda dengan motif hias inskripsi
Arab pada medalion bagian dalam. Ukuran diameter bagian terluar
dalam medalion yaitu 13 cm dan diameter medalion bagian luar 16 cm.

68
Gambar 10. Makam Panglima Batu Api (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera
Selatan 2020)

3. Cungkup Makam Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo


Cungkup yang kedua merupakan lokasi makam Sultan Ahmad
Najamuddin Adi Kesumo yang juga diapit oleh imam Sultan Sayyid
Abdurrahman Maulana Tuga’ah di sebelah kanan dan permaisurinya
yang bernama Mas Ayu Dalem di sebelah kiri. Di dalam cungkup ini
juga dimakamkan para keluarga Sultan Ahmad Najamuddin yang tidak
diketahui namanya.

Gambar 11. Cungkup makam Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)
69
Cungkup makam ini terletak di sebelah tenggara makam Sultan
Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan di sebelah selatan cungkup
makam Pangeran Kamuk. Di dalam nisan ini terdapat 27 makam, tiga di
antaranya adalah makam imam sultan, makam Sultan Ahmad
Najamuddin Adi Kesumo, dan permaisurinya. Bentuk jirat sama dengan
yang terdapat di cungkup makam Sultan Mahmud Badaruddin Jayo
Wikramo. Bentuk nisan adalah tipe Demak dan semuanya sudah diberi
warna dengan cat berwarna emas. Pada nisan kepala dan kaki sama
kecuali satu makam bagian kaki ditambahi dengan keramik baru,
medalion berukir satu bunga, terdapat mahkota di bagian kepala. Pada
bagian badan berukir motif tumpal kebawah. Bagian medalion terdapat
surya Majapahit atau sinar matahari dengan dua lapis delapan sinar.
Terdapat motif bunga anggrek di bagian kepala nisan kepala. Nisan
kepala dan kaki terbuat dari kayu sehingga corak ukiran lebih detail dan
jelas. Pada sabuk memiliki ukiran enam meru tiga lapis dengan lima
bunga berkelopak. Pada bagian kaki bermotif tiga bunga empat kelopak
dan terdapat kuncup bunga. Motif pada tumpal bercorak bunga yang
berbeda pada makam kedua. Pada sisi luar nisan kepala terdapat motif
bunga berkelopak empat.
Deskripsi ukuran makam hanya dilakukan pada nisan makam Imam
Sayid Abdurrahman Maulana Togaah, Sultan Ahmad Najamuddin Adi
Kesumo dan permaisurinya. Makam Imam Sayid Abdurrahman
Maulana Tuga’ah jiratnya terbuat dari batu granit dengan ukuran
panjang 216 cm, lebar 55 cm, dan tinggi 26 cm. Ukuran nisan bagian
70
kepala dan kaki sama, yaitu tinggi keseluruhan 111 cm, lebar 26 cm.
Ukuran tinggi bagian kaki 26 cm, bagian badan 57 cm, dan bagian
kepala 28 cm. Ukuran tebal bagian kaki yaitu 35 cm, sedangkan tebal
bagian badan dan kepala 12 cm. Pada nisan kepala terdapat motif
kelopak bunga teratai bertumpuk tiga. Terdapat tiga tingkatan bunga
teratai, yaitu: kuncup, setengah mekar, dan mekar yang disebut patma.
Mempunyai simbar delapan berlapis dua, bentuk badan seperti gada.
Pada bagian badan nisan kepala terdapat tiga tingkatan simbar dengan
delapan simbar. Pada bagian bawahnya berbentuk segi delapan. Pada
bagian kaki nisan kepala terdapat delapan kelopak teratai. Jirat
berlubang bersisi enam.

Gambar 12. Nisan Kepala Imam Sayid Abdurrahman Maulana Togaah (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Ukuran jirat Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo adalah


panjang 204 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 21 cm. Ukuran nisan bagian
kepala dan kaki sama yakni tinggi keseluruhan 101 cm. Ukuran tinggi
bagian kaki adalah 33 cm, lebar 23 cm, dan tebal 18 cm. Ukuran tinggi
71
bagian tubuh nisan yaitu 40 cm, lebar 28 cm dan tebal 19 cm. Tinggi
bagian mahkota/kepala adalah 28 cm. Di bawah mahkota terdapat
medalion ganda dengan inkripsi dengan menggunakan aksara Jawi.
Ukuran diameter bagian dalam medalion yaitu 16 cm sedangkan
diameter medalion bagian luar 18 cm. Selain aksara Arab Jawi, nisan
makam dengan tipe nisan Demak ini memiliki ragam hias sabuk berukir
motif meru. Pada nisan kepala bagian kepala terdapat ukiran bunga
anggrek dan di bagian badan berbentuk ukiran pucuk rebung kebawah.
Di bawah medalion ada rangkaian bunga seperti terompet dan anggrek.
Di bagian sabuk ada ukiran enam meru empat lapis, bagian sisi barat
dan timur nisan kepala sama berornamen pucuk rebung kebawah bersisi
silang daun, sisi utara nisan kepala dan kaki sama, berukir bunga
anggrek. bagian kaki memiliki ukiran empat bunga mekar dengan
medalion berinskripsi angka tahun 1185.

Gambar 13. Makam Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

72
Makam Mas Ayu Dalem, permaisuri Sultan Ahmad Najamuddin
Adikesumo memiliki jirat terbuat dari batu granit dengan ukuran
panjang 207 cm, lebar 53 cm, dan tinggi 24 cm. Ukuran nisan bagian
kepala dan kaki sama yaitu tinggi keseluruhan 80,5 cm. Ukuran tinggi
bagian kaki 15 cm, bagian badan 50,5 cm, dan bagian kepala 15 cm.
Pada bagian nisan terdapat medalion berinskripsi Jawi dengan lubang
jirat segi 6 tidak berigi, ornament nisan kepala berbeda dari nisan 4, ada
2 kelopak atas dan motif daun dengan bentuk motif antara nisan kepala
dan kaki sama. Pada medalion terdapat angka tahun 1166 dan sinar
matahari. Didalam sinar terdapat motif kelopak bunga. Pada bagian
badan nisan kepala berornamen tumpal/pucuk rebung yang berbeda dari
makan 4. Pada bagian sabuk nisan kepala terdapat ukiran enam meru
tiga lapis dan lima kelopak bunga dan pada sisi barat terdapat empat
meru tiga lapis dengan tiga kelopak bunga.

Gambar 14. Makam Mas Ayu Dalem (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera
Selatan 2020)
73
4. Cungkup Makam Sultan Muhammad Bahauddin
Kubah makam Sultan Bahauddin berisi 37 makam dengan 18
makam memiliki inskripsi. Tipologi nisan makam di sini seluruhnya
tipe Demak kecuali nisan makam ulama sultan, Datuk Murni al-Hadad.
Keletakan makam sultan berada di tengah. Di sebelah barat makam
ulama dan di sebelah timur makam permaisurinya, Ratu Agung. Nisan
yang berhias berjumlah 22 makam. Sultan Mahmud Bahauddin, anak
Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo memerintah tahun 1776-1803.
Selain makam Sultan Mahmud Bahauddin, dimakamkan juga imam
Sultan Datuk Murni al-Hadad, di sebelah kiri sultan dan makam Ratu
Agung, istri Sultan Muhammad Bahauddin di sebelah kanannya. Di luar
ketiga makam tersebut terdapat makam-makam istri dan anak-anaknya.
Makam Datuk Murni al-Hadad menggunakan jirat berbentuk dua
punden berundak yang dibuat dengan menggunakan semen. Tipologi
nisannya adalah tipe Aceh berbentuk gada. Bagian kepala berupa bunga
teratai ganda. Bunga bagian bawah digambarkan agak mekar sedangkan
teratai bagian atas digambarkan berbentuk kuncup yang mulai mekar.
Di bagian bawah bunga teratai ini terdapat delapan kelopak daun. Pada
badan bagian bawah terbagi menjadi tidak bagian dengan menggunakan
pita sebagai bidang pemisah. Pita bagian atas berbentuk kelopak daun
berjumlah delapan. Pita bagian bawahnya lagi juga berupa daun ganda
berjumlah delapan. Di bagian profil ini terdapat profil berbentuk segi
delapan melingkar. Pada bagian kaki berbentuk segi empat yang pada
bagian sudut dan di tengah bidang diberi motif simbar dari daun.
74
Ukuran jirat Datuk Murni al-Hadad adalah panjang 260 cm, lebar
51,5 cm, dan tinggi 36 cm. Ukuran nisan bagian kepala dan kaki sama
dengan tinggi keseluruhan 106 cm. Ukuran tinggi bagian kaki adalah 19
cm, lebar 34 cm, dan tebal 21,9 cm. Ukuran tinggi bagian tubuh nisan
yaitu 50 cm, lebar 29 cm, dan tebal 17 cm. Tinggi bagian
mahkota/kepala adalah 37 cm. Di bawah mahkota terdapat tiga buah
medalion dengan motif hias bunga pada medalion bagian dalam.
Ukuran diameter bagian terluar dalam medalion yaitu 16,5 cm,
medalion berikutnya berdiameter 9 cm, dan diameter medalion bagian
luar tujuh centimeter.

Gambar 15. Makam Datuk Murni al-Hadad (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)

Selain makam Datuk Murni, makam dengan dua punden berundak


juga terdapat pada makam Sultan Bahauddin, makam Ratu Agung, dan
tiga makam lain yang letaknya sederet. Selain itu, di gubah ini terdapat

75
13 makam yang jiratnya baru dibuat dengan menggunakan semen dan
keramik berwarna biru (berjumlah empat jirat).

Gambar 16. Sketsa denah keletakan makam-makam di dalam cungkup Sultan


Muhammad Bahauddin, Kawah Tekurep (Diolah oleh Apen Hara Hara).
Keterangan :

: makam yang nisannya terdapat kaligrafi

: makam yang nisannya tidak terdapat kaligrafi

Makam Sultan Muhammad Bahauddin memiliki ukuran panjang


makam 200 cm, panjang lubang bagian tengah jirat makam adalah 98
cm, dan lebar 16 cm. Tinggi keseluruhan nisan yakni 85 cm. Tinggi
bagian kepala nisan 14 cm, bagian badan 53 cm, dan bagian kaki 18 cm.
Inskripsi terdapat pada nisan kepala dan nisan kaki. Inskripsi diukir di
dalam medalion dengan aksara Jawi. Nisan bagian kepala terdiri dari

76
enam baris tulisan. Baris pertama tertulis angka 1217 yang diikuti
dengan tulisan waka>na ‘alaihi rad}iya Alla>hu. Pada baris kelima
terbaca “malam Ahad” dan baris keenam tertulis “pukul tujuh”. Nisan
bagian kaki terdiri dari lima baris tulisan.pada baris keempat terbaca
“Ibnu Mah}mu>d Shult}an”. Pada baris kelima terbaca “berpulang ke
rahmatullah”.

Gambar 17. Makam Sultan Muhammad Bahauddin (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)

Makam Ratu Agung jiratnya berukuran panjang 219 cm, lebar 80


cm, dan tinggi 29 cm. Pada bagian atas jirat terdapat lubang berbentuk
trapesium dengan ukuran panjang 97 cm dan lebar 15 cm. Nisan
berbentuk tipe Demak dengan ukuran tinggi keseluruhan 85,5 cm.
Tinggi bagian kepala 18 cm, tinggi badan 45 cm, dan tinggi kaki 15,5
cm. Pada nisan kepala dan kaki terdapat hiasan yang sama dengan
medalion berukir satu bunga dan mahkota di bagian kepala. Pada bagian
badan berukir motif tumpal ke bawah. Bagian medalion terdapat surya
Majapahit atau sinar matahari dengan jumlah dua lapis sinar bersudut

77
delapan. Terdapat motif bunga anggrek di bagian kepala nisan kepala.
Nisan kepala dan kaki terbuat dari kayu sehingga corak ukiran lebih
detail dan jelas. Pada sabuk memiliki ukiran enam meru tiga lapis
dengan lima bunga berkelopak. Pada bagian kaki bermotif tiga bunga
empat kelopak dan terdapat kuncup bunga. Motif pada tumpal bercorak
bunga yang berbeda pada makam nomor dua. Pada sisi luar nisan
kepala terdapat motif bunga berkelopak empat.

Gambar 18. Makam Ratu Agung (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan
2020)

Makam-makam selain ketiga makam tersebut memiliki ukuran dan


bentuk jiratnya sama. Begitupun dengan ukuran nisannya. Yang
membedakan adalah detail ragam hiasnya. Pada makam nomor enam
yang memiliki medalion polos, ornamen nisan kepala dan kaki sama,
pada bagian badan nisan kepala bermotif tumpal. Terdapat mahkota
pada nisan kepala dan kaki mempunyai motif anggrek dan kelopak
bunga. Pada bagian sabuk dalam nisan kepala memiliki ukiran lima
meru lima lapis dan lima kelopak bunga. Di antara dabuk dan kaki nisa

78
kepala terdapat sisi yang melengkung, sisi sabuk timur dan barat nisa
kepala dan kaki sama yang memiliki ukiran tiga meru lima lapis dengan
dua bunga empat kelopak, jirat berlubang bersisi enam tidak berigi.
Makam nomor tujuh mempunyai motif mahkota dan kelopak bunga,
mempunyai medalion polos, bagian badan bermotif tumpal kebawah.
Bagian sabuk terdapat ukiran lima meru dua lapis dengan empat
kelopak bunga, di antara sabuk dan kaki nisan kepala tersapat sisi
lengkungan. Pada bagian kaki nisan kepala terdapat motif kelopak
empat di dalam bingkai. Jirat berlubang bersisi enam tidak berigi. Motif
berbeda juga dijumpai pada makam nomor 16 yang pada bagian kepala
nisannya polos, tetapi di bagian badan bawah terdapat motif tumpal
tanpa motif. Pada nisan sisi barat dan timur terdapat huruf U terbalik,
bagian utara selatan nisan ada motif tumpal di bagian badan nisan.
Motif yang agak berbeda dijumpai pada nisan makam nomor 10
dimana pada bagian kepala nisan terdapat ukiran bunga anggrek, di
bagian badan bercorak tumpal, dibagian sabuk terdapat lima meru tiga
lapis. Pada bagian kaki terdapat bunga tiga mekar tidak sejajar dan
dikelilingi kuncup bunga. Di bagian jirat memiliki ornamen bunga
melati dalam bingkai berbentuk belah ketupat atau motif hias kertas
tempel. Pada makam nomor 11 memiliki jirat polos, tetapi nisan kepala
memiliki bentuk profil mirip profil kaki candi dari abad ke-9 Masehi.
Motif hias berupa bunga dan sulur-suluran. Pada bagian tengah
medalion terdapat inskripsi Arab Jawi. Pada bagian samping terdapat
ukiran daun menyilang di bawah terdapat bunga. Pada bagian sabuk
79
terdapat ukiran lima lapis meru satu bunga. Bagian dari kaki nisan
terdapat bunga mekar empat kelopak dengan putik yang bulat berjumlah
tujuh bunga, dengan ukuran bunga kecil dibagian atas dan bunga besar
di bagian bawah. Motif hias ini mirip dengan motif kertas tempel. Pada
makam nomor 13 pada nisan terdapat mahkota bermotif bunga
berkelopak. Medalion beraksara arab jawi, pada bagian badan bermotif
tumpal kebawah berornamen untaian kelopak bunga. Di dalam
medalion terdapat inskripsi beraksara Jawi “ … dua puluh lima Hijriah
bulan Safar”. Bagian sabuk nisan kepala memiliki ukiran enam meru
empat lapis. Pada bagian kaki nisan kepala terdapat motif kelopak
bunga di dalam bingkai.
Makam nomor 16 bagian nisan kepala memiliki medalion yang
beraksara Jawi yang menunjukkan angka tahun 1211 H. Bagian badan
nisan kepala berukir tumpal kebawah yang berukir, pada sabuk terdapat
lima meru empat lapis dan kelopak bunga. Di bagian kaki nisan kepala
memiliki motif kelopak bunga dan kuncup bunga yang tidak terbingkai.
Makam nomor 17 nisan kepala mempunyai motif kelopak dan medalion
beraksara Jawi. Pada bagian badan mempunyai ukiran tumpal, bagian
sabuk memiliki ukiran lima meru empat lapis dan kelopak bunga,
bagian kaki nisan berukir bunga berkelopak dan kuncup bunga. Makam
nomor 24 memiliki hiasan pada jirat berupa motif hias bunga dengan
empat kelopak dan putik bulat yang dikelilingi oleh bunga kuncup dan
daun. Makam nomor 30 nisan kepala memiliki ukiran kelopak bunga,
pada medalion bagian dalam berukiran kelopak bunga, bagian luar
80
medalion terdapat ukiran delapan sinar matahari, di bagian badan
berukiran motif tumpal kebawah dan kuncup bunga, jirat berlubang sisi
enam, pada nisan kaki polos. Makam nomor 31 memiliki ragam hias
mirip nisan makam 30 dan memiliki inkripsi di bagian dalam medalion.
Pada bagian badan berukir motif tumpal kebawah berukir kelopak
bunga, bagian sabuk memiliki ukiran lima meru tiga lapis, bagian kaki
memiliki ukiran kelopak bunga dan kuncup bunga tidak berbingkai,
jirat berlubang sisi enam, pada bagian sisi luar nisan bagian kepala
memiliki ukiran bunga yang diduga merupakan bentuk stiliran kala.
Selain makam-makam di atas, di halaman luar dekat pintu gerbang
terdapat dua makam di bawah cungkup baru. Satu makam
menggunakan nisan tipe Demak dan berinskripsi. Makam berinskripsi
ini jiratnya berukuran panjang 196 cm dan lebar 52 cm. Pada bagian
atas jirat terdapat lubang berbentuk trapesium dengan ukuran panjang
97 cm dan lebar 15 cm. Nisan berbentuk tipe Demak dengan ukuran
tinggi keseluruhan 71 cm. Tinggi bagian kepala 12 cm, tinggi badan 42
cm dan tinggi kaki 17 cm. Nisan ini dihiasi dengan motif flora pada
bagian kepala dan menjuntai sampai ke bawah.
Inskripsi beraksara Jawi terdapat di bagian dalam medalion dan
dalam keadaan baik. Namun, karena pengecatan yang dilakukan
berulang kali mengakibatkan relief tulisannya menjadi dangkal dan
beberapa kata sulit untuk dibaca. Inskripsi terdiri dari enam baris
tulisan. Baris pertama adalah angka tahun 1219 H. Baris kedua sampai

81
ketiga tidak terbaca. Baris keempat terbaca “pada malam Kamis” dan
baris kelima terbaca “pada pukul tiga”.
B. Kompleks Makam Sabokingking
Kompleks Makam Sabokingking terletak di Sabokingking,
Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Kota Palembang.
Berdasarkan letak astronomisnya berada pada koordinat S 02 o58.398’ E
104o47.401’. Di kompleks pemakaman ini tidak bisa dilakukan
pengukuran terhadap jirat dan nisan makam, karena tidak diizinkan oleh
juru kunci (pakuncen) makam. Selain itu, ketika itu juga karena ramai
oleh peziarah. Kompleks Makam Sabokingking sudah ditetapkan
sebagai situs cagar budaya peringkat kota oleh Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata dengan Nomor KM.09/PW.007/MKP/2004. Situs ini
memiliki nomor registrasi nasional CB.668.

Gambar 19. Lokasi Komplek Makam Sabokingking (Sumber: Balai Arkeologi


Provinsi Sumatera Selatan 2021)
82
Berbeda dengan makam-makam lainnya, kompleks pemakaman ini
dikelilingi oleh kolam dan berada di sekitar daerah rawa-rawa. Tokoh
yang dimakamkan di sini adalah: Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin
Amangkurat IV, Imam Sultan Tuan Sayyid Muhammad Nuh Imam al-
Pasaiy, R.A. Ratu Sinuhun Putri Ki Pancanegara Sumedang, dan
Nyimas Ayu Rabi’at al-Hasanah. Situs ini juga dikenal dengan Telaga
Batu karena di dekat tempat ini pernah ditemukan prasasti Telaga Batu
yang berasal dari abad ke-7 Masehi atau dari masa kerajaan Sriwijaya.
Di situs pernah ditemukan tidak kurang dari 30 prasasti pendek
(Siddhayatra) dan sisa-sisa bangunan kuno (Schnitger, 1937: 1). Yang
menarik dari situs ini adanya saluran air. Berdasarkan hasil foto udara
dapat diketahui bahwa situs ini berada pada sebuah pulau kecil
berbentuk segi empat yang keempat sisinya tepat menghadap arah mata
angin (Bakosurtanal, 1985 vide Rangkuti, 1992). Kolam yang
mengelilingi pulau kecil itu dihubungkan dengan saluran-saluran kecil
yang merupakan anak sungai Musi. Kolam ini masih bisa dilihat tetapi
sungai-sungai kecil sudah tertutup oleh pemukiman penduduk.
Kompleks pemakaman Sabokingking luasnya 100 x 100 meter.
Kondisi sekarang sudah diberi cungkup baru yang dibuat dengan
menggunakan bata dilapisi semen dan dicat. Ukuran bangunan cungkup
adalah 20 x 30 meter. Kondisi dalam cungkup ini berteras tiga. Jumlah
teras ada tiga dimana masing-masing teras membagi antara satu makam
dengan kelompok makam lainnya.

83
Gambar 20. Sabokingking dilihat dari udara (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)

Teras pertama terletak di samping kanan (barat) dengan pintu masuk


di depan. Di teras ini terdapat makam Ki Mas Agus Bodrowongso atau
Ki Abdurrahman.1 Jirat berupa punden berundak tiga dan dibuat dengan
menggunakan semen dan keramik berwarna hijau. Orientasi makam
utara-selatan. Nisan makam adalah tipe Aceh berbentuk gada.
Pada teras kedua terletak di atas teras pertama. Di sini terdapat 4
makam, tiga di antaranya berderet dan satu makam terletak di bagian
depan. Seluruh makam menggunakan jirat dari batu dan nisan
berbentuk tipe Demak. Tokoh yang dimakamkan masih keluarga
Pangeran Sideng Kenayan dan Pangeran Sideng Rajek.

1
Informasi terdapat pada papan nama di depan makam.

84
Teras ketiga merupakan teras tertinggi dimana dimakamkan raja-
raja Palembang dan keluarganya. Jumlah makam ada 21, yang disusun
berderet di atas punden yang dibuat dengan menggunakan semen.
Semua makam diberi penutup kain dan bunga-bunga yang dibawa oleh
para peziarah. Makam-makam tersebut, antara lain, adalah: makam
Pangeran Sideng Kenayan, makam Ratu Sinuhun, dan makam Sayid
Muhammad Umar al-Idrus.
Jirat makam Sayid Muhammad Umar al-Idrus berbentuk segi empat
tanpa ukiran dan dibuat dari batu granit. Nisan adalah tipe Demak dan
hanya memiliki motif medalion ganda dengan pancaran sinar berjumlah
16. Di dalam medalion terdapat motif bunga padma. Motif hias
medalion ini terletak pada bagian atas badan nisan dan di bagian bawah
mahkota nisan. Motif hias tersebut diterakan pada bagian dalam nisan.
Di bagian kaki nisan terdapat motif hias “gunungan” berjumlah enam.
Oleh masyarakat setempat motif hias ini disebut dengan istilah “sabuk”.

Gambar 21. Makam Sayid Muhammad Umar al-Idrus (Sumber: Balai Arkeologi
Provinsi Sumatera Selatan 2007)
85
Makam Pangeran Sideng Kenayan dan Ratu Sinuhun jiratnya
memiliki simbar di setiap sudutnya dan memiliki pelipit di bagian atas.
Nisan makam adalah tipe Demak. Bagian utara dan selatan jirat
memiliki profil mirip “yoni” dengan hiasan simbar (antefiks) pada
keempat sudutnya. Nisan semuanya dihias dari bagian kepala sampai
bagian kaki. Penggambaran medalion pada kedua nisan makam tidak
memiliki pancaran sinar. Di atas medalion terdapat motif hias flora dan
menjuntai sampai ke bawah dalam bentuk tumpal terbalik. Tumpal
tersebut berjumlah tiga dan tumpal bagian tengah tidak menyambung
pada bagian sabuk di bawahnya. Di dalam medalion terdapat motif hias
bunga. Di bawah tumpal terdapat sabuk dengan jumlah gunungan lima.
Bagian luar nisan dihias dengan bentuk stiliran kepala kala.Di bawah
sabuk adalah bagian kaki nisan yang memiliki profil seperti profil yoni
atau kaki candi. Ketiga makam tersebut diberi cungkup berbentuk segi
empat menyerupai arsitektur rumah limas.

Gambar 22. Makam Pangeran Sideng Kenayan (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2007)
86
Makam lainnya adalah makam Raden Usman (Pangeran Purbaya),
Putri Seloko, Fatimah Tussadiah, Panglima Mohammad Akil, Raden
Dendik, Jangsari, Raden Wancik (Kuncung Mas), Nyi Mas Ayu Rokiah
Chasanah, Putri Perak, Tubagus, Jiro Sentiko, Pangeran Sideng
Pasareyan, Pangeran Antasari (adik Ratu Sinuhun), Putri Ayu, Putra
Adi Kusuma, Ki Mas Gede Marta, Putri Cilik dan Putri Menur.

C. Kompleks Makam Gedingsuro


Situs Gedingsuro merupakan tanah darat dengan ketinggian rata-rata
empat meter di atas permukan air laut, di bagian utara agak tinggi. Situs
ini berjarak sekitar 500 meter ke arah timur laut dari situs
Sabokingking. Berdasarkan letak astronomisnya berada pada koordinat
S 02o58.674’ E 104o47.538’. Kompleks Makam Gedingsuro sudah
ditetapkan sebagai situs cagar budaya peringkat kota oleh Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata dengan Nomor
KM.09/PW.007/MKP/2004.
Lokasi situs dikelilingi parit yang sebagian dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian. Di sebelah selatan adalah Sungai Musi. Berdasarkan
hasil penelitian melalui foto udara saluran air tersebut terletak di
sebelah timur dan bermuara ke Sungai Musi. Bagian dekat sungai tidak
tampak jelas karena tertutup permukiman (BAKOSURTANAL, 1985
vide Rangkuti, 1992).

87
Gambar 23. Lokasi Komplek Makam Sabokingking (Sumber: Balai Arkeologi
Provinsi Sumatera Selatan 2021)

Bangunan yang masih dapat dilihat sampai saat ini adalah kompleks
pemakaman yang terdiri dari tujuh buah bangunan berbentuk fondasi
(batur) dari bata. Tiap-tiap bangunan terdapat makam-makam yang
jumlahnya bervariasi. Salah satu tokoh yang dimakamkan di sini adalah
Ki Gede Ing Suro Mudo yang berkuasa di Palembang sekitar tahun
1573-1590 dan merupakan saudara Ki Gede Ing Suro Tua. Makam
tokoh ini diapit oleh makam Tan Pualang Cian Cing (Hasan al-Din
Sontan) dan Raden Kusumaningrat. Struktur bangunan makam tersebut
terletak paling barat dan paling jauh dari sungai tetapi paling dekat
dengan daratan. Di sebelah selatannya adalah makam Raden Puspa
88
Arya Dillah. Struktur bangunan dari bata ini dulunya dilengkapi dengan
tiang-tiang penyangga atap (Schnitger, 1937: 3). Informasi ini diperkuat
dengan temuan pecahan-pecahan genting di sekitar makam. Struktur
bangunan jika dilihat dari gaya arsitekturnya berasal dari kurun waktu
antara abad XIV-XV Masehi (Schnitger, 1937: 3). Pendapat ini sesuai
dengan Satyawati Sulaiman, yang menambahkan bahwa struktur
bangunan yang berasal dari masa lebih kemudian mirip dengan
bangunan-bangunan di pantai utara Jawa pada masa Islam awal, yaitu
abad XV-XVI Masehi (Sulaiman, 1983: 5-6). Struktur bangunan bata
ini berasal dari sekitar abad ke-14 – 16 Masehi.
Yang menarik dari kompleks pemakaman ini adalah satu bangunan
yang di dalamnya terdapat susunan batu putih (batu karang). Batu putih
sebagai batu pengisi dinding candi umum digunakan untuk bangunan
candi-candi yang ditemukan di Jawa Tengah. Adanya temuan ini
mengindikasikan bahwa bangunan pemakaman ini dibangun di atas
sisa-sisa bangunan candi dari abad IX Masehi. Asumsi ini diperkuat
dengan tinggalan arkeologis yang ditemukan di sekitar situs berupa
sebuah arca Buddha berukuran 1,18 meter, yang menurut gaya seninya
berasal dari abad VIII – IX Masehi. Selain itu, ditemukan juga sebuah
makara, fragmen padma, fragmen taring makara, fragmen kepala hewan
dan relief burung kakatua bertengger di atas bunga (Schnitger, 1937: 1-
2).

89
Gambar 24. Arca Kepala Kala dari Gedingsuro (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2007)

Makam-makam yang terdapat di kompleks ini tanpa jirat dan


nisannya terbuat dari kayu ulin dengan tipe Demak-Tralaya. Pada 1993
beberapa nisan mempunyai inskripsi berhuruf Arab. Hanya saja, karena
kondisinya sudah sangat lapuk sulit untuk dibaca scara utuh. Inskripsi
ini sekarang sudah tidak dapat dilihat lagi karena nisannya sudah
diganti dengan nisan yang baru dan beberapa di antaranya terbuat dari
batu. Pada nisan baru tersebut diberi tulisan nama tokoh dengan
menggunakan huruf latin.

90
Gambar 25. Kompleks Makam Gedingsuro atau Gede ing Suro (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Berjarak sekitar 100-200 meter arah tenggara kompleks bangunan


Gedingsuro pada sebidang tanah berketinggian lima meter di atas
permukaan air laut ditemukan sisa-sisa industri arca Buddha dari
perunggu. Penggalian liar yang dilakukan oleh penduduk banyak
menemukan cetakan arca, limbah produksi, dan bakal arca. Selain itu,
ditemukan arca Buddha perunggu berlapis emas sebanyak 40 buah.
Menilik gaya pahatannya, arca-arca ini mirip dengan arca Buddha abad
IX Masehi. Temuan lain yang berhasil dikumpulkan adalah stupika
tanah liat dan tablet-tablet tanah liat berisikan mantra-mantra agama

91
Buddha berasal dari sekitar abad VII-IX Masehi (Tim Penelitian
Palembang, 1992: 232).
Situs Gedingsuro terdiri dari beberapa kelompok makam yang
terletak di atas batur berdenah segi empat. Batur ini hampir seluruhnya
terbuat dari bata. Dalam catatan Schnitger di situs ini terdapat enam
struktur bangunan bata (Candi), yaitu: Candi I sampai Candi VI. Jumlah
ini berbeda jika mengacu pada catatan Proyek Pemugaran Candi
Gedingsuro, Bidang Permuseuman, Sejarah dan Purbakala, Kantor
Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera
Selatan pada tahun 1980an. Seluruh bangunan hasil pemugaran terdiri
dari tujuh bangunan, masing-masing disebut dengan Bangunan A
sampai G.

Tabel 10. Penamaan Bangunan pada Situs Gedingsuro


F.M. SCHNITGER PROYEK PEMUGARAN
Candi I Bangunan F dan G
Candi II Bangunan E
Candi III Bangunan D
Candi IV Bangunan A
CandiV Bangunan B
CandiVI Bangunan C

Candi I atau Bangunan F dan G mempunyai ukuran tinggi 0,7 meter


dan 1,7 meter, dindingnya tidak mempunyai hiasan, dan merupakan dua
bangunan yang dihubungkan dengan tangga naik di Bangunan F. Tiap
92
anak tangga mempunyai ukuran lebar 70 cm. Bangunan F berdenah
empat persegi panjang dengan ukuran 9,5 x 6,5 meter dan tinggi 0,7
meter. Untuk menuju bagian atas bangunan ini tidak ada tangga naik.
Pada permukaan lantai atas bangunan, agak ke arah sisi utara terdapat
tangga naik menuju Bangunan G. Sisi selatan Bangunan G seolah-olah
bertumpu pada sisi utara Bangunan F. Bangunan G merupakan
bangunan terkecil dan tertinggi pada Kompleks Makam Gede ing Suro.
Denah berbentuk empat persegi panjang, membujur arah barat-timur
dengan ukuran 5 x 6 meter dan tinggi 1,7 meter dari permukaan tanah
atau 1 meter dari permukaan lantai Bangunan F.
Candi II atau Bangunan E dibuat dari tiga macam bahan yang
berbeda, yaitu: bata, limestone, dan batu andesit. Bata digunakan untuk
konstruksi badan bangunan, sedangkan limestone digunakan untuk
konstruksi lapik bangunan. Tinggi lapik 0,55 meter terdiri dari susunan
limestone yang masing-masing batu berukuran 11,8 x 11,8 cm. Pada
dinding lapik terdapat hiasan salib. Sisi selatan lapik terdapat tangga
naik yang berpipi tangga menuju bagian teras atas bangunan.
Bangunan utama dibuat dari bata dengan denah berbentuk segi
empat berukuran 9,5 x 11 meter dan tinggi 0,9 meter. Seluruh dinding
bangunan memiliki ragam hias geometris dan ragam hias flora. Ragam
hias geometri berbentuk salib dengan cekungan di bagian tengahnya.
Ragam hias flora berbentuk empat kelopak bunga dengan bulatan
menonjol (medalion). Seluruh ragam hias ini terletak alam panil-panil
bujursangkar yang disusun berselang-seling.
93
Limestone digunakan untuk konstruksi dinding yang mengitari
seluruh teras pemakaman. Teras pemakaman letaknya terpisah dengan
bangunan utama yang konstruksinya terbuat dari bata. Limestone yang
dipakai pada konstruksi dinding ini dibentuk menyerupai batu candi.
Pada dindingnya terdapat hiasan medalion dengan hiasan roset di
tengahnya. Hiasan medalion berjumlah empat. Di antara konstruksi
dinding bata dan dinding limestone dibatasi dengan semacam lorong.
Pada bangunan teras ini terdapat sembilan makam yang berjajar arah
barat – timur.
Candi III atau Bangunan D terletak di sebelah barat Candi I dengan
bentuk denah persegi panjang dan berukuran 8 x 9,5 meter membujur
arah utara – selatan. Bangunan ini merupakan bangunan yang paling
rendah di kompleks Gedingsuro dengan ukuran tinggi 0,95 meter.
Seluruh permukaan dinding tidak tidak mempunyai hiasan dan tidak ada
tangga masuk. Selain itu, bangunan ini tidak mempunyai teras yang
berlantai di sebelah timur pada sisi utara dan sisi selatan. Di bagian
atasnya terdapat dua makam.
Candi IV atau Bangunan A berdenah empat persegi panjang dengan
ukuran 6 x 9 meter, dan tinggi 1,22 meter. Lapiknya terdiri dari dua
bagian, bagian pertama agaknya merupakan bangunan tambahan pada
bagian kedua. Gejala ini tampak pada susunan bata yang menutup
bidang sisi selatan. Tangga ini memiliki lima anak tangga dengan pipi
tangga bagian ujungnya berbentuk ukel di kiri dan kanannya. Tinggi
pipi tangga 1,15 meter dengan pelipit di bagian bawah. Pada dinding
94
batur terdapat panil-panil berdenah bujursangkar denga pola hias
geometri berbentuk salib sebanak 18, diselingi dengan panil polos
sebanyak 12. Dinding sebelah timur dari Bangunan A menjadi satu
dengan dinding barat Bangunan B.
Candi V atau Bangunan B mempunyai denah berbentuk empat
persegi panjang dengan ukuran 5 x 8,5 meter dan tinggi 0,9 meter.
Bangunan ini berhimpitan dengan Candi IV atau bangunan A di sebelah
barat. Di sebelah timur terdapat dua makam. Ketiga bangunan ini
terletak di atas satu lapik. Pada sisi selatan bangunan ini terdapat tangga
naik setinggi 0,8 meter dengan pipi tangga pada ujungnya berbentuk
ukel dan pelipit di bagian bawahnya. Pola hias pada panil-panil
bangunan ini sama dengan yang ada pada Candi VI, yaitu motif
geometri yang diselingi dengan panil polos.
Candi VI atau Bangunan C merupakan bangunan yang terbesar pada
kompleks Gedingsuro. Bangunan ini mempunyai teras yang berukuran
11,5 x 12,5 meter dan bangunan utama berukuran 8,75 x 9 meter.
Tangga naik pada sisi selatan terdiri dari dua bagian yang bersatu, yaitu:
tangga teras dengan dua anak tangga, dan tangga pada bangunan utama
dengan tiga anak tangga. Pipi tangga berbentuk biasa dengan pelipit
pada bagian bawah. Pada bagian atasnya terdapat tiga makam dengan
batu nisan yang sudah aus.
Ragam hias yang terdapat pada teras pertama berbeda dengan ragam
hias pada bangunan utama. Ragam hias pada teras pertama terdapat
dalam panil-panil berbentuk empat persegi panjang dengan pola hias
95
sulur daun. Masing-masing panil dipisahkan dengan bingkai polos
berbentuk bujursangkar. Ragam hias pada bangunan utama terdiri dari
pola hias geometri berbentuk salib yang diselingi dengan panil yang
dihiasi dengan pola hias tanaman berbentuk ukiran bunga dengan
medalion polos di bagian tengah.

Gambar 26. Hiasan panil pada Kompleks Makam Gedingsuro atau Gede ing Suro
(Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020).

Bangunan-bangunan bata yang terdapat di situs Gedingsuro


sebenarnya merupakan runtuhan bangunan candi yang berasal dari masa
Majapahit (abad XIV – XVI Masehi). Pada masa Islam datang di
Palembang, runtuhan bangunan ini diubah bentuk dan fungsinya
menjadi kompleks pemakaman para pendiri Kerajaan Islam di
Palembang dengan tokohnya Ki Gede ing Suro. Bangunan candi yang
ada di situs ini tidak ada kaitannya dengan tinggalan budaya Sriwijaya
yang masa berlangsungnya di Palembang sekitar abad VII - XIV
Masehi.

96
Di sebelah timur laut makam Gedingsuro terdapat satu punden dari
susunan bata berdenah segi empat. Di atas punden ini terdapat dua
makam yang satu di antaranya adalah makam Panglima Nembing
Kapal. Ukuran panjang punden 302 cm, lebar 327 cm, dan tinggi 52 cm.
Kedua nisan berbentuk tipe Demak dan langsung ditanam di dalam
punden. Makam nomor satu memiliki ukuran tinggi nisan kepala adalah
76 cm, lebar 32 cm, dan tebal 17 cm. Nisan bagian kaki berukuran
tinggi 65 cm, lebar 31,5 cm, dan tebal 16 cm. Makam nomor dua
memiliki ukuran tinggi nisan kepala adalah 93 cm, lebar 29 cm, dan
tebal 18 cm. Nisan bagian kaki berukuran tinggi 77 cm, lebar 29 cm,
dan tebal 13 cm.

D. Makam Panembahan
Makam Penembahan terletak di 1 Ilir, berjarak sekitar 100 meter di
sebelah barat Kompleks Pemakaman Ki Gede Ing Suro. Makam
Panembahan ini bentuknya mirip dengan makam Gedingsuro berupa
bangunan batur. Di dalam kompleks makam Panembahan ini terdapat
dua struktur bata berdenah segi empat. Struktur pertama berukuran
lebar 4 m, panjang 8 m dan tinggi 1 m. Di atas struktur bata ini terdapat
lima makam yang ditandai dengan adanya dua nisan pada bagian kepala
dan kaki.

97
Gambar 27. Makam Panembahan (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera
Selatan 2020)

E. Kompleks Makam Sultan Agung Sri Teruna


Kompleks Makam Sultan Agung terletak 45 meter di sebelah utara
Sungai Musi, di Kelurahan Ilir I, Kecamatan Ilir Timur II, Kota
Palembang. Makam ini terletak di natara pemukiman penduduk dan
berada pada sebidang lahan yang lebih tinggi dibandingkan sekitarnya.
Kondisi makam tidak terpelihara dan dijadikan tempat pembuangan
sampah oleh masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan letak
astronomisnya berada pada koordinat S 02o58’54” E 104o47’35”.

98
Gambar 28. Lokasi Komplek Makam Sultan Agung Sri Teruna (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2021)

Di dalam kompleks makam ini terdapat dua deretan makam yang


masing-masing terletak di sebelah utara dan selatan. Kelompok makam
yang terletak di sebelah utara letaknya lebih tinggi dibandingkan yang
terletak di sebelah selatan. Jadi, tampak seperti teras berundak. Tokoh
yang dimakamkan pada makam di deretan utara adalah Sultan Agung
Sri Teruno (Sultan Komaruddin Sri Teruno), Sultan ke-3 dari
Kesultanan Palembang yang diapit oleh dua makam yang tidak
diketahui nama-namanya. Satu makam lagi adalah makam seorang yang
tidak diketahui identifikasinya yang tepat berada di sebelah selatan
makam Sultan Agung. Di bagian ujung timur kelompok makam di
deretan selatan terdapat makam Raden Tubagus Karang yang
merupakan seorang panglima perang dari Banten. Raden Tubagus

99
Karang ini adalah kakak kandung Raden Tubagus Kuning yang
dimakamkan di Plaju. Sultan Komaruddin Sri Teruno memerintah
Kesultanan Palembang ejak tahun 1714 – 1724 dan merupakan anak
Sultan Abdurrahman yang merupakan sultan pertama.
Nisan kepala memiliki ukuran tinggi 86,5 cm, lebar bagian kaki 33
cm, dan lebar bagian badan 29,5 cm. Terdapat motif hias medalion
dengan diameter 15 cm. Sementara itu, ukuran nisan kaki adalah tinggi
78,3 cm, lebar bagian kaki 34,4 cm, lebar bagian badan 29,4 cm.
Medalion juga terdapat pada nisan ini dengan ukuran diameter 16 cm.

Gambar 29. Nisan makam Sultan Agung Sri Teruno (Sumber: Balai Arkeologi
Provinsi Sumatera Selatan 2020)

F. Kompleks Makam Kebongede (Sultan Mansyur)


Kompleks Makam Kebongede terletak sekitar 50 meter di sebelah
utara Jalan Sultan Muhammad Mansyur, di Kampung Kebon Gede,
Kelurahan 32 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang. Berdasarkan
letak astronomisnya berada pada koordinat S 03o00.176’ E 104o44.865’.

100
Di dalam kompleks makam ini terdapat makam Sultan Muhammad
Mansur bin Susuhunan Abdurrahman dan permaisurinya serta seorang
ulama, Imam Sultan dari Arab yang tidak diketahui namanya. Selain
ketiga makam tersebut, di kompleks makam ini masih terdapat makam
Muhammad Yasin, anak dari Sultan Muhammad Mansyur dan makam-
makam keluarga serta anak keturunan keluarga kesultanan. Sultan ini
merupakan sultan kedua yang memerintah mulai tahun 1706 – 1714.

Gambar 30. Lokasi Komplek Makam Sultan Mansyur (Sumber: Balai Arkeologi
Provinsi Sumatera Selatan 2021)

Kondisi kompleks makam ini tidak terawat dan nyaris tergusur oleh
pemakaman baru. Bentuk makam dan nisannya masih asli yaitu terbuat
dari kayu unglen tetapi sudah aus termakan usia. Bentuk nisan tipe

101
Demak Tralaya. Khusus untuk makam sultan, istri dan ulamanya diberi
cungkup baru yang dibangun oleh Walikota Edy Santana Putra (2003 –
2013) dan diresmikan pada tahun 2004. Jirat dan makam di dalam
cungkup sudah diganti dengan baru. Makam-makam di luar cungkup
juga sudah diganti, kecuali 3 makam dengan nisan tipe Aceh.

Gambar 31. Cungkup dan Makam Sultan Muhammad Mansyur (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

G. Kompleks Makam Talangkerangga


Kompleks Pemakaman Talangkerangga terletak di Jalan Ki Rangga
Wirasentika, Kelurahan Ilir Barat I, Palembang. Kompleks pemakaman
terletak di sebelah utara dan selatan jalan. Berdasarkan letak
administrasinya berada pada koordinat S 02 o59.677’ E 104o44.876’ .
Kompleks pemakaman di sebelah utara jalan terdiri dari dua
subkompleks, yaitu kompleks makam yang oleh masyarakat setempat
disebut dengan “ Gubah Pengantin” dan kompleks makam Husin Prabu
Diradja.

102
Gambar 32. Lokasi Komplek Makam Talang Kerangga (Sumber: Balai Arkeologi
Provinsi Sumatera Selatan 2021)

Kompleks Makam Talangkerangga (Gubah Pengantin) terdiri dari


tiga halaman yang ditandai dengan pintu gerbang berbentuk paduraksa.
Pada bagian atas pintu gerbang halaman ketiga (paling belakang)
terdapat angka tahun dengan menggunakan angka Arab. Angka tahun
tersebut jika dikonfersikan ke tahun Masehi menjadi 1770. Kondisi
kompleks pemakaman ini sudah mengalami perubahan karena beberapa
lokasi makam ditempati oleh rumah-rumah warga. Cungkup makam
hanya tersisa di bagian halaman ketiga yang terletak pada bagian paling
belakang. Kondisi cungkup makam tidak utuh dengan bangunan atap
hilang. Berdasarkan bangunan yang tersisa dapat diketahui bahwa
cungkup makam ini pernah memiliki jendela dan pintu masuk. Di dalam
103
cungkup ini terdapat tujuh makam yang 3 di antaranya terletak sejajar,
sementara empat makam lainnya terletak di bagian depannya. Hal yang
menarik dari bangunan cungkup ini adalah bentuk bagian kaki
bangunan yang bentuknya menyerupai bentuk profil kaki candi.

Gambar 33. Cungkup dan kaki cungkup Makam Talang Kerangga (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2021)

Makam pertama terdiri dari jirat dan nisan. Jirat terbuat dari
susunan bata dengan ukuran panjang 195 cm, lebar 125 cm, dan tinggi
48 cm. Bentuk nisan termasuk tipe Aceh dengan berbentuk tangkai.
Ukuran nisan adalah tinggi 25,2 cm, lebar 14,7 cm, tebal bagian kaki
12 cm dan tebal bagian badan 48 cm. Makam kedua terdiri dari jirat dan
nisan. Jirat terbuat monolit berbentuk segi empat pipih dengan ukuran
panjang 184 cm, lebar 98 cm, dan tinggi 10 cm. Jirat ini dibentuk
dengan melalui pemangkasan pada keempat bidang. Pada bagian tengah
diberi lubang berbentuk segi empat, namun pada bagian ujung dekat
nisan runcing berbentuk segitiga. Kedua nisan dimasukkan ke dalam
lubang berdenah bujursangkar.
104
Nisan kepala dan kaki termasuk bentuk nisan tipe Demak. Bagian
atas nisan bermahkota berukir kelopak bunga, di bawahnya terdapat
motif hias medalion polos. Bagian badan nisan berukir tumpal terbalik.
Pada bagian sabuk terdapat enam meru tiga lapis dengan lima bunga
sebagai penghubung antar meru. Terdapat lengkungan di bagian antara
badan dan kaki. Terdapat varian kelopak bunga di bagian kaki didalam
bingkai. Pada nisan kepala dan nisan kaki berbeda yaitu bagian
lengkungan nisan kepala tidak terdapat lengkungan dan rata, karena
patah. Ukuran nisan kepala yaitu tinggi keseluruhan 76 cm, lebar 29
cm, tebal 17 cm.
Makam ketiga bentuk dan ukuran jiratnya sama dengan makam
nomor dua. Begitu pun dengan ukuran metrik nisannya. Nisan kepala
bagian kepala bermahkota. Medalion polos. Nisan kepala dan nisan kaki
berbeda yaitu pada lengkungan (kepala ke dalam, kaki keluar). Makam
keempat memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan makam nomor
dua. Ragam hias berbeda dengan makam nomor dua dan tiga, hanya
saja di bagian tengah medalion terdapat inskripsi dengan menggunakan
aksara Jawi. Pada bagian sisi samping nisan terdapat sabuk terdapat tiga
meru tiga lapis dengan dua bunga sebagai pengait antar meru.
Sementara itu sabuk pada bagian depan dan belakang nisan terdapat
lima meru sebanyak tiga lapis dengan empat bunga.
Makam kelima memiliki ukuran, bentuk dan ragam hias yang sama
dengan makam nomor dua. Hanya saja pada bagian dalam medalion
terdapat motif bunga. Pada bagian sabuk samping terdapat empat meru
105
tiga lapis dengan tiga bunga. Makam keenam jiratnya berukuran
panjang 240 cm, lebar 87 cm, dan tinggi tujuh centimeter. Jirat
berbentuk segi empat dari monolit yang dipangkas. Bentuknya sama
dengan makam nomor dua. Nisannya termasuk tipe Demak polos
dengan ukuran tinggi 77 cm, lebar 17,5 cm, dan tebal 8 cm.
Makam ketujuh jiratnya berukuran panjang 202 cm, lebar 54,5 cm,
dan tinggi 16,5 cm. Jirat berbentuk segi empat dari monolit yang
dipangkas. Bentuknya sama dengan makam nomor dua. Nisannya
termasuk tipe Demak dengan ukuran diameter medalion 15 cm. Ukuran
tinggi nisan adalah 21 cm, lebar bagian kaki 18,3 cm, dan lebar bagian
badan 14 cm.
Di luar cungkup makam tersebut terdapat makam-makam lain
terletak di sebelah kanan, kiri dan depan cungkup. Makam-makam ini
berada di sebelah kiri cungkup ditempatkan diatas batur yang disusun
dari bata. Nisan dari batu dan termasuk tipologi Demak. Sementara
makam yang terdapat di sebelah kanan cungkup diletakkan di atas
punden berundak dari susunan bata. Di atas punden berundak ini
ditempatkan jirat dari monolit berbentuk segi empat persegi panjang
dan berlubang di atasnya. Lubang ini berdenah segi enam. Nisan di
atasnya terbuat dari batu dan memiliki bentuk tipe Demak. Makam-
makam di depan cungkup langsung ditempatkan di atas tanah. Jirat dari
monolit berbentuk segi empat persegi panjang dan berlubang di atasnya.
Adapun nisannya menggunakan tipe Aceh dan Demak. Selain itu

106
ditemukan juga monolit berbentuk segi empat, namun tanpa lubang di
bagian tengahnya. Nisannya berupa monolit.

H. Kompleks Makam Candi Walang (Sultan Abdurrahman)


Kompleks Makam Candi Walang terletak 100 meter di sebelah barat
Jalan Jenderal Sudirman Palembang, atau tepat di belakang Pasar
Cinde. Berdasarkan letak administrasinya berada di Kelurahan 24 Ilir,
Kecamatan Bukit Kecil. Titik koordinat S 02o58.845’ E 104o45.257’.

Gambar 34. Lokasi Komplek Makam Candi Walang (Sumber: Balai Arkeologi
Provinsi Sumatera Selatan 2021)

Di dalam kompleks makam ini dimakamkan Susuhunan


Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman dan permaisurinya
serta Imam Sultan, yaitu Sayyid Musthafa Alaidrus dari Yaman. Di
sekitar tiga makam utama tersebut dimakamkan keluarga kesultanan

107
yang ditempatkan mengelilingi cungkup makam Sultan. Di antara
makam-makam itu, terdapat makam penyebar agama Islam bernama
Sayyid Abdurrahman Ibn Fuad yang terletak di sebelah barat daya
cungkup makam Sultan. Sultan Abdurrahman merupakan sultan
pertama kesultanan Palembang yang berkuasa sejak tahun 1662 – 1702
(Graaf & Pigeaud 2001: 230). Bentuk cungkup makam sultan berbentuk
kubah.

Gambar 35. Makam Susuhunan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman


(Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

I. Kompleks Makam Sidengrajek


Lokasi situs pemakaman Sidengrajek terletak di Dusun V, Desa
Sakatiga, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi
Sumatera Selatan. Berdasarkan letak administrasinya berada pada
koordinat S 03o15.443’ E 104o40.911’. Situs makam berada di tepi
jalan desa. Di sebelah utara terdapat pemakaman umum dan di sebelah
selatan merupakan pemukiman penduduk sedangkan di sebelah barat
adalah pemakaman umum.
108
Gambar 36. Lokasi Komplek Makam Sido Ing Rajek/Sidengrajek (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2021)

Makam Sideng Rajek berada di atas punden dari susunan bata.


Bentuk arsitektur punden ini mirip dengan di situs Gedingsuro,
Palembang. Pada bagian dinding terdapat motif hias palang Yunani
seperti yang terdapat pada punden makam Gedingsuro. Punden ini
berdenah segi empat dengan ukuran panjang 615 cm, lebar 515 cm, dan
tinggi 110 cm. Untuk menuju ke bagian makam Sideng Rajek harus
menaiki tangga sebanyak 5 anak tangga yang tampaknya pembuatannya
ditambahkan pada masa yang lebih kemudian. Punden ini diberi
bangunan dengan dinding di keempat sisi dan di bagian atasnya diberi
atap. Bangunan ini merupakan bangunan baru.

109
Gambar 37. Cungkup Sidengrajek dan makam di depan cungkup (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Di atas punden terdapat terdapat makam Sideng Rajek dan


ulamanya. Kedua makam terdiri dari jirat dan nisan. Jirat dan nisan
dibuat dengan menggunakan bahan kayu dan diletakkan di atas pondasi
dari batu berukuran panjang 238 cm, lebar 47,3 cm, dan tinggi 11 cm.
Ukuran jirat kayu panjang 227 cm dan tinggi 31 cm serta lebar 45,5 cm.
Kondisi kedua makam relatif masih utuh walaupun ada beberapa bagian
mengalami pelapukan.
Jirat pada kedua makam memiliki hiasan simbar (antefiks) di
keempat sisi bagian atas. Profil jirat menyerupai profil yoni. Bagian
badan jirat juga memiliki ukiran dengan motif sulur gelung. Di bagian
atas jirat terdapat lubang berbentuk segi enam dengan ujung runcing. Di
sekitar lubang inilah terdapat inskripsi beraksara dan berbahasa Arab.

110
Inskripsi terbaca sebagai kalimat syahadat. Inskripsi ini juga terdapat di
bagian depan dan belakang nisan kepala dan kaki.
Pada bagian jirat dan nisan terbuat dari kayu dengan kondisi yang
relatif bagus dan baik walaupun dibagian atas jirat dekat nisan kepala
telah lapuk. Jirat dan nisan memiliki ukiran. Pada bagian sabuk terdapat
6 meru 3 lapis. Di bagian kanan dan kiri lubang jirat terdapat tulisan
arab “Allah Muhammadarrosulullah” yang berukir halus. Bagian atas
dan bawah sisi lubang jirat bertulis arab “Allah …..”. Terdapat simbar
ke 4 sisi bagian jirat nisan kepala dan nisan kaki. Bagian luar nisan
terdapat kalimat syahadat. Pada bagian badan nisan kepala bermotif
tumpal tidak sampai kebagian sabuk. Medalion berinskripsi arab. Nisan
kaki tidak bermedalion.
Nisan kepala dan kaki Sideng Rajek berbentuk segi empat dengan
bagian kepala berbentuk ‘kurung kurawal’. Tipologi nisan termasuk
pada tipe Demak. Nisan kepala dan kaki memiliki ragam hias yang
sama dari bagian kepala, tubuh, dan kaki. Pada bagian badan atas
terdapat medalion. Di dalam medalion ini terdapat inskripsi ‘kalimat
syahadat’. Ukuran tinggi keseluruhan nisan kepala adalah 64 cm, lebar
36 cm, dan tebal 11 cm.
Nisan ulama Sideng Rajek juga memiliki ukiran dibagian nisan
kepala berupa medalion dengan inskripsi berlafaz “Muhammad”.
Bagian badan nisan berukir tumpal ke bawah yang tidak menyambung
ke sabuk. Bagian sabuk terdapat 5 meru 3 lapis dan 4 kelopak bunga.
Disamping bagian sabuk terdapat 3 meru 3 lapis dan 2 kelopak bunga.
111
Terdapat simbar segi 4 dibagian nisan kaki dan nisan kepala. Deskripsi
jirat sama dengan makam sido ing rajek. Medalion pada nisan bagian
kaki bermotif bunga dan terdapat motif sayap garuda dibagian kepala
nisan kaki dan kepala. Bagian lubang jirat masih dalam keadaan baik.

Gambar 38. Nisan dan makam Sidengrajek beserta ulamanya (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Di sebelah selatan punden makam Sideng Rajek terdapat punden


panglimanya yang namanya tidak diketahui. Punden berbentuk segi
empat ini disusun dengan menggunakan bata. Tangga naik dari susunan
bata berjumlah tiga anak tangga juga disusun dengan menggunakan bata
di sebelah selatan. Kondisi tangga ini sudah melesak. Ukuran punden
adalah tinggi 88 cm, panjang 327 cm, dan lebar 212 cm. Nisan makam
panglima ini dibuat dengan menggunakan batu tetapi nisan bagian kaki
sudah diganti dengan menggunakan bata dan semen. Ukuran nisan
kepala adalah tinggi keseluruhan 57 cm, lebar 21 cm, dan tebal 13,5 cm.
Pada nisan terdapat medalion polos dengan diameter 12 cm.

112
Gambar 39. Makam Panglima Sidengrajek (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)

Di sebelah selatan makam panglima terdapat punden dan nisan yang


menurut penuturan juru pelihara merupakan makam kuda milik
Pangeran Sideng Rajek. Di sebelah timur makam panglima terdapat
satu makam lain dengan jirat dari semen. Nisan makam masih asli
dengan bentuk segi empat dengan bagian puncak berbentuk kurung
kurawal.

J. Kompleks Makam Panembahan Hamim


Kompleks Panembahan Hamim terletak di Jalan Joko, Palembang.
Berdasarkan letak administrasinya berada pada koordinat S 02 o59’34”
E 104o45’04”. Di kompleks pemakaman ini dimakamkan Panembahan
Hamim dan keluarganya. Makam Panembahan Hamim terletak pada
tanah yang ditinggikan dengan menggunakan bata dan semen serta
diberi keramik. Pada batur ini ada dua makam yaitu makam

113
Panembahan Hamim dan istrinya. Jirat makam Panembahan Hamim
dan istrinya berbentuk segi empat dan dibuat dari batu granit. Ukuran
jirat makam Panembahan Hamim adalah panjang 219 cm, lebar 65,5 cm
dan tinggi 21 cm.

Gambar 40. Lokasi makam Panembahan Hamim (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2021)

Bentuk nisan Panembahan Hamim dan istrinya sama yaitu tipe


Demak. Ukurannya ialah tinggi keseluruhan 111,5 cm, lebar bagian
badan 15 cm, lebar bagian sabuk 17,5 cm, dan lebar bagian kaki 10,5
cm. Nisan tersebut memiliki medalion di bagian depan dan belakang
nisan dengan ukuran diameter 19,5 cm. Bagian sabuk tidak terlihat
hiasan. Pada bagian badan terdapat ukiran di kanan dan kiri ukiran
berbentuk suluran. Bagian kaki terdapat ukiran swastika cina. Di depan

114
punden makam tersebut terdapat makam-makam istri dan anak-
anaknya. Semua jirat dan nisan bebentuk tipe Demak dan diberi cat
baru berwarna hijau.

Gambar 41. Makam Panembahan Hamim dan istrinya (Sumber: Balai Arkeologi
Provinsi Sumatera Selatan 2020)

K. Kompleks Makam Pangeran Nangling


Kompleks Pemakaman Pangeran Nangling terletak di Jalan Jenderal
Sudirman di belakang Bank Mandiri. Kondisi makam tidak terawatt.
Terdapat banyak makam di sekitar makam utama yang tertutup semak-
semak. Lokasi makam juga agak sulit ditemukan karena tidak terlihat
dari jalan.

115
Gambar 42. Lokasi makam Pangeran Nangling (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2021)

Makam Pangeran Nangling berada di dalam gubah yang bentuknya


mirip gubah makam Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikarama. Di
dalam gubah terdapat tiga makam. Ketiga makam ini terdiri dari jirat
dan nisan. Salah satu makam nisannya menggunakan kayu sedangkan
dua makam lainnya menggunakan batu.

Gambar 43. Salah satu makam di kubah utama yang terbuat dari kayu (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)
116
BAB IV

JEJAK-JEJAK MULTIKULTURALISME PADA MAKAM-


MAKAM KUNA MUSLIM PALEMBANG

A. Deskripsi Makam
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terhadap 12 kompleks pemakaman
di Palembang dapat diketahui adanya tipologi bentuk jirat, nisan dan
ragam hias. Selain itu dapat diketahui tata letak makam dan pola halaman
kompleks halaman serta bentuk arsitektur makam. Analisis pada makam-
makam ini dilakukan berdasarkan tipologi, teknologi, dan gaya. Adapun
hasil analisis adalah sebagai berikut
1. Tipologi Jirat
Berdasarkan bentuk, jirat-jirat yang ditemukan pada kompleks-
kompleks pemakaman di Palembang dapat dibedakan menjadi 7 bentuk,
yaitu:
1. Bentuk profil batur candi atau yoni dari kayu unglen
2. Bentuk segi empat dari kayu
3. Punden dari susunan bata
4. Jirat di atas punden
5. Punden berundak
6. Monolit berbentuk segi empat dengan lubang segi enam di
bagian atas.
7. Monolit berbentuk segi empat tanpa lubang di bagian atas.
Bentuk jirat tipe 1 memiliki bentuk segi empat dan di bagian atas
terdapat lubang berbentuk segi enam. Jirat ini dibuat dengan

117
menggunakan kayu unglen. Profil jirat menyerupai bentuk yoni. Pada
keempat sudut bidang segi empat yang bentuknya menyerupai yoni diberi
hiasan antefik (simbar) seperti yang terdapat pada bangungan-bangunan
candi, baik candi Bumiayu maupun candi-candi di Jawa (Gambar 44).

Gambar 44. Profil jirat mirip yoni (Sumber: dokumen pribadi) dan Yoni Candi 1
Bumiayu (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2019)

Bentuk jirat tipe 1 ini ada di 2 tempat. Satu jirat berada di dalam
kompleks makam Sabokingking, Palembang dan jirat yang lainnya
terdapat di kompleks makam Sideng Rajek di Indralaya, Kabupaten Ogan
Ilir. Bentuk jirat 2 adalah segi empat dengan ukuran bagian atas lebih
kecil dibandingkan bagian bawah. Jirat tipe ini dibuat dengan
menggunakan bahan kayu dan di bagian atasnya terdapat lubang
berbentuk segi enam. Motif hias yang diterakan pada jirat ini adalah
motif tumbuhan disertai dengan meru, dan belah ketupat di bagian paling
atas jirat.

118
Gambar 45. Jirat dari kayu dengan motif tumbuhan, meru, dan belah ketupat di Kawah
Tengkurep (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Bentuk jirat 3 yaitu berupa punden dari susunan bata tanpa spesi
dengan denah berbentuk segi empat. Di atas jirat ini langsung ditanamkan
nisan, baik berupaka nisan tipe Demak maupun nisan monolit. Bentuk
jirat tipe 2 ditemukan di situs Kawah Tekurep, Talangkerangga, makam
Panglima Nembing Kapal dan Sideng Rajek (Gambar 46).

Gambar 46. Jirat berbentuk punden di situs Talangkerangga (Sumber: Balai Arkeologi
Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Tipe jirat 4 yaitu jirat di atas jirat di atas punden. Punden disusun dari
bata tanpa spesi berbentuk segi empat seperti pada tipe 2. Di atas punden
ini ditempatkan jirat dari batu granit berbentuk segi empat. Bagian atas

119
monolit yang dibentuk dengan proses pemangkasan ini terdapat lupang
berbentuk segi enam. Di atas monolit inilah kedua nisan ditempatkan
dengan cara memasukkan ke dalam lubang berbentuk segi empat
(Gambar 47). Jirat tipe 3 terdapat di situs Kawah Tekurep dan
Talangkerangga.

Gambar 47. Jirat batu granit di atas punden (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)

Selain jirat yang ditempatkan di atas punden, ditemukan juga nisan-


nisan makam yang ditempatkan di atas punden atau batur seperti yang
terdapat pada kompleks makam Gedingsuro, Panembahan dan sideng
Rajek. Yang menarik dari batur-batur makam tersebut terdapat motif hias
medalion dan salib Yunani atau salib Portugis (Gambar 48). Selain itu,
salah satu batur di Gedingsuro memiliki tangga naik, yang pipi tangganya
bentuknya menyerupai pipi tangga candi-candi dari masa Jawa Tengah
maupun Jawa Timur.

120
Gambar 48. Motif hias medalion dan salib Yunani pada batur di kompleks makam
Gedingsuro (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Tipe jirat 5 itu berbentuk punden berundak. Punden disusun dari bata
tanpa spesi berbentuk segi empat seperti pada jirat tipe 2, namun
pundennya berundak dua. Di atas punden ini langsung ditanamkan nisan
tipe Demak dan monolit. Jirat tipe 5 hanya ditemukan di situs kompleks
makam Talangkerangga (Gambar 49).

Gambar 49. Jirat di atas punden berundak (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera
Selatan 2020)

Jirat tipe 6 adalah jirat yang terbuat dari batu granit. Proses
pembuatannya dengan melakukan pemangkasan pada keempat sisi batu.
Di bagian atas jirat terdapat lubang berbentuk segi enam dan diletakkan
121
di bagian tengah. Pada masing-masing ujung terdapat lubang berbentuk
segi empat untuk memasukkan nisan kepala dan kaki (Gambar 50). Jirat
tipe ini dapat ditemukan di situs makam Kawah Tekurep dan
Talangkerangga.

Gambar 50. Jirat dari batu granit (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan
2020)

Jirat tipe 7 adalah jirat yang serupa dengan tipe 6, namun tidak
memiliki lubang di bagian atasnya. Jirat terbuat dari batu dan memiliki
hiasan pengganti lubang. Jirat tipe ini hanya ditemukan di situs makam
Talangkerangga.

Gambar 51. Jirat dari batu granit tanpa lubang (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)

122
2. Tipologi Nisan
Nisan-nisan makam di Palembang dapat dikelompokkan ke dalam 4
tipe, yaitu:
a. Tipe Tralaya
b. Tipe Demak
c. Tipe Aceh
d. Tipe Lokal

Gambar 52. Nisan tipe Tralaya di Sabokingking dan Kawah Tengkurep (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Nisan tipe Tralaya berbentuk kurung kurawal pada bagian sisi-sisinya


dan di bagian atas berbentuk runcing. Bahu badan tidak menonjol, tetapi
diberi hiasan pahatan yang memberi kesan bahwa bahu badan ini
menonjol keluar. Bentuk hiasan dibuat lebih runcing di bagian tengah di
atas kaki nisan. Hiasan pada badan maesan berupa garis lengkung dengan
sedikit gaya spiral. Berbeda dengan tipe Tralaya pada umumnya, dimana
pada bagian dalam nisan terdapat motif hias “Surya Majapahit”, nisan
tipe ini yang terdapat di Palembang tidak ada motif hias “Surya

123
Majapahit”. Motif motif hias “Surya Majapahit” diganti dengan motif
hias tumbuhan atau polos (Gambar 52).
Nisan tipe Demak yaitu berbentuk angkolade pada bagian puncak
dengan sisi-sisinya bergerigi atau berombak. Bahu badannya tidak begitu
menonjol dan agak rata. Badan nisan ada yang polos dan diberi hiasan
sederhana maupun hiasan yang raya (gambar 53).

Gambar 53. Nisan tipe Demak di Gedingsuro dan tempat lainnya (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Nisan tipe Aceh yang ditemukan di Palembang ada tiga subtipe, yaitu
yang berbentuk gada, berbentuk segi empat dan yang bertangkai. Nisan
berbentuk gada pada bagian kaki nisan berbentuk segi empat, bagian
badan bulat menyerupai gada, dan bagian puncak berupa bunga teratai
dengan 8 kelopak tumpuk tiga. Sementara itu, satu nisan berbentuk segi-
empat panjang, yang pada bahu kanan dan kiri melebar seperti tanduk
lembu dan puncak maesannya meninggi seperti kuncup bunga melati. Di
tengah badan nisan dihias dengan motif tumbuhan (gambar 54).

124
Gambar 54. Nisan tipe Aceh (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Nisan tipe lokal yang ditemukan di Palembang umumnya sederhana,


yaitu berupa monolit, tanpa proses pembentukan. Selain itu ada pula tipe
nisan lokal yang dibuat dari batu pipih, tanpa hiasan (gambar 55).

Gambar 55. Nisan tipe lokal (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

3. Ragam Hias
Ragam hias adalah karya seni rupa dari penggambaran bentuk
imajinasi, pikiran, dan kreativitas seniman yang dituangkan dalam
bentuk gambar dekoratif baik itu berupa flora (tumbuhan), fauna
(binatang), geometris, dan figuratif (objek manusia). Ragam hias flora

125
merupakan ragam hias yang menggunakan bentuk flora (tumbuhan)
sebagai objek motif ragam hias flora sebagai bentuk. Penggambaran
Ragam hias flora dalam seni ornamen dilakukan dengan berbagai cara
baik natural maupun stilisasi sesuai dengan konsep yang dimiliki
senimannya. Ragam hias fauna merupakan ragam hias yang
menggunakan bentuk Fauna (hewan) sebagai objek motif ragam hiasnya.
Penggambaran fauna dalam ornamen sebagian besar merupakan hasil
gubahan atau stilisasi, jarang berupa binatang secara natural, tapi hasil
gubahan tersebut masih mudah dikenali bentuk dan jenis binatang yang
digubah, dalam visualisasinya bentuk binatang terkadang hanya diambil
pada bagian tertentu (tidak sepenuhnya) dan dikombinasikan dengan
motif lain.
Ragam hias geometris merupakan motif hias yang dikembangkan
dari bentuk-bentuk geometris, kemudian digayakan sesuai dengan selera
dan imajinasi pembuatnya. Motif hias geometris merupakan pola bentuk
terukur yang dapat disesuaikan dengan karakteristik teknik dan bahan.
Motif ragam hias geometris berkembang dari bentuk titik, garis, atau
bidang yang berulang dari yang sederhana sampai dengan pola yang
rumit. Ragam hias figuratif (figur manusia) merupakan bentuk ragam
hias yang menggunakan objek manusia yang digambar dengan
mendapatkan penggayaan bentuk. Manusia sebagai salah satu objek
dalam penciptaan motif ornamen mempunyai beberapa unsur, baik secara
terpisah maupun menyatu.
Dari keempat bentuk ragam hias di atas, semuanya dapat ditemukan
pada makam-makam di Palembang, kecuali bentuk ragam hias figuratif.
126
Ragam hias tersebut dipahatkan pada bagian jirat dan nisan makam. Jirat
yang menggunakan hiasan hanya ditemukan pada beberapa makam, yaitu
dua makam di cungkup makam Sultan Muhammad Bahauddin, situs
Kawah Tekurep, satu jirat makam pada cungkup makam Pangeran
Kamuk, dua makam pada cungkup makam Sabokingking dan dua jirat
makam di cungkup makam Sideng Rajek (gambar 56).
Pada gambar 57 sebelah kiri jirat makam dihias dengan motif belah
ketupat di bagian atas jirat, sedangkan di bagian badan bawah jirat
terdapat hiasan meru dalam bentuk trmerugan. Jirat dengan motif hias
seperti ini ada dua dan diletakkan berdekatan dalam satu deret di dalam
cungkup makam Sultan Muhammad Bahauddin. Sementara itu, jirat pada
gambar 57 sebelah kanan dihiasi dengan motif antefiks atau simbar pada
setiap sudut bagian atas. Selain itu, di bagian tepian permukaan atas
dihiasi dengan inskripsi dengan lafas kalimat syahadat. Pada bagian
samping kanan dan kiri jirat di kompleks makam Sabokingking ada yang
diberi hiasan pilin atau sulur-suluran (gambar 58). Motif hias jirat seperti
ini terdapat di cungkup makam Sabokingking dan Sideng Rajek.

Gambar 56. Ragam hias belah ketupat pada jirat (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)

127
Ragam hias berbentuk kelopak bunga di bagian tengah dan sulur-
suluran terdapat pada bagian tubuh jirat makam Panglima Abdurrahman
(Lim Kulai), di dalam cungkup makam Pangeran Kamuk.

Gambar 57. Ragam hias sulur-suluran pada jirat makam di kompleks makam
Sabokingking (Sumber: Dokumen Pribadi 2020).

Ragam hias nisan diterakan pada keempat sisi nisan dan ditempatkan
pada bagian kaki tubuh/badan dan kepala nisan. Ragam hias yang
ditemukan pada nisan dapat dikategorikan dengan motif hias geometris,
motif hias flora, kaligrafi dan motif hias arsitektural.
Ragam hias medalion terdapat pada bagian tubuh nisan dan pada
bagian batur/kaki bangunan makam. Medalion digambarkan dalam
bentuk lingkaran polos, tanpa hiasan di dalamnya maupun bentuk
lingkaran dengan berbagai macam hiasan atau ukiran pada bagian
dalamnya. Medalion pada nisan makam sangat beragam bentuk bagian
isiannya maupun bentuk bagian luarnya. Beberapa medalion
digambarkan dengan menggunakan sinar atau lidah api, yang mirip
dengan surya Majapahit. Jumlah sinar ini ada yang delapan dan sebagian

128
besar berjumlah 16 (gambar 58). Ditemukan juga medalion yang bagian
luarnya diukir dengan menggunakan lidah api (gambar 59).

Gambar 58. Ragam hias medalion (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan
2020)

Gambar 59. Ragam hias medalion dengan sinar Majapahit dan lidah api (Sumber: Balai
Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan 2020)

Ragam hias lidah api seperti yang terdapat pada gambar 59 sebelah
kanan, digambarkan di luar lingkaran medalion. Di dalam medalion
terdapat ukiran ceplok bunga. Lidah api di luar medalion menyambung
dengan motif lidah api yang menempel pada bagian tepi nisan dan kepala
nisan.
Ragam hias tumpal tumpal atau hiasan berbentuk segi tiga
merupakan salah satu jenis ragam hias yang umum terdapat pada

129
nisan makam di Palembang. Bentuk tumpal biasanya terdapat bagian
kaki atau pinggang nisan. Selain itu bentuk tumpal terbalik
juga ditemukan pada bagian tubuh nisan dan diletakkan di luar
medalion (gambar 60).

Gambar 60. Ragam hias tumpal (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan
2020)

Motif hias swastika berbentuk zigzag atau bertumpuk


dengan motif lainnya. Motif ini dipakai sebagai hiasan pinggir, namun
pada nisan makam ditemukan pada bagian kaki atau pinggang nisan.
Motif hias ini hanya ditemukan di kompleks pemakaman Kawah Tekurep
(gambar 61). Motif swastika apabila dibuat saling berkaitan
disebut motif banji atau meander. Motif ini diletakkan pada bagian
pinggang nisan dan pada tepi medalion seperti pada gambar 61 sebelah
kanan.

130
Gambar 61. Ragam hias swastika dan meander (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)

Motif belah ketupat merupakan salah satu bentuk ragam hias


geometris berbentuk segiempat miring menyerupai bentuk
ketupat. Motif ini dapat ditemukan di beberapa jenis ornamen mulai
perabotan rumah tangga, anyaman, hiasan dinding, dan beberapa jenis
kain seperti kain sulam. Motif hias ini ditemukan pada nisan di kompleks
pemakaman Talangkerangga dan Pangeran Syarif Ali.
Motif hias pilin berbentuk mirip belah ketupat yang saling terjalin
seperti rantai. Motif hias ini terdapat pada bagian bagian pinggang nisan
(gambar 62).

Gambar 62. Ragam hias pilin (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan
2020)
131
Motif hias meru pada makam-makam di Palembang ditempatkan
pada bagian kaki nisan. Bentuk motif ini berupa bagian puncak gunung
(meru) dan digabung dengan motif hias ceplok bunga (gambar 63).

Gambar 63. Ragam hias Meru (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan
2020)

Ragam hias hiranyagarbha atau rahim emas ditemukan pada nisan


makam di situs Kawah Tekurep. Bentuk rahim emas ini berupa ukiran
sulur-suluran yang keluar dari vas menuju ke arah atas (kepala nisan)
(gambar 64 kanan) dan tanaman yang keluar dari tempayan (gambar 64
kiri). Selain itu, hiranyagarbha juga digambarkan dalam bentuk tanaman
lotus yang keluar dari bonggol.

Gambar 64. Ragam hias hiranyagarbha (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera
Selatan 2020)

132
Ragam hias ceplok bunga ditemukan di dalam lingkaran medalion
yang ditempatkan pada bagian tubuh nisan. Motif hias ini juga ditemukan
pada bagian pinggang atau kaki nisan. Motif hias ini seringkali juga
diikuti dengan motif hias sulur-suluran, yang digambarkan secara
horisontal maupun vertikal (Gambar 65). Motif ini ditemukan di
kompleks makam Sultan Mansyur, Kawah Tekurep, Sabikingking,
Talangkerangga dan Pangeran Syarif Ali. Gambar 65 sebelah kiri
merupakan makam baru yang ada di kompleks makam Sultan Mansyur.
Terdapat dua buah makam dengan model yang sama. Menurut informasi
makam ini dibangun pada tahun 90-an.

Gambar 65. Ragam hias ceplok bunga (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi Sumatera
Selatan 2020)

Motif sulur-suluran ditemukan hampir pada semua nisan yang ada di


Palembang. Motif ini berupa bentuk sulur daun atau sulur daun digabung
dengan bunga. Bentuk sulur daun yang digambarkan secara vertikal
dapat dilihat pada gambar 20 sebelah kanan. Selain bentuk sulur-suluran
ditemukan juga motif hias untaian daun yang digabung dengan daun
133
(gambar 66). Untaian flora ini diukir membentuk segi tiga terbalik dan di
bagian tengah terdapat bunga teratai.

Gambar 66. Ragam hias untaian bunga dan daun (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)

Motif hias fauna yang diukir pada nisan hanya ditemukan di


kompleks makam Pangeran Syarif Ali. Adapun bentuk fauna yang
digambarkan yaitu kupu-kupu dan burung. Motif hias kupu-kupu
digambarkan bersamaan dengan tanaman, yang terdiri dari batang, daun
dan bunga (buah). Sementara itu, motif hias burung digambarkan sedang
bertengger di suatu tempat dan di bagian kiri atas terdapat motif meru
(gambar 67).

Gambar 67. Ragam hias kupu-kupu dan burung (Sumber: Balai Arkeologi Provinsi
Sumatera Selatan 2020)
134
Motif kaligrafi dapat ditemukan pada bagian dalam medalion dan
jirat. Kaligrafi berupa tulisan dalam aksara Arab Melayu (Jawi) dan
ditemukan pada nisan makam yang terdapat di kompleks makam
Sabokingking, Kawah Tekurep, Cinde Welan, Sultan Mansyur,
Talangkerangga, Sideng Rajek dan Pangeran Syarif Ali. Jenis kaligrafi
yang dapat diamati berupa khat naskhi, tsulut, dewani dan riq’ah
(Gambar 68).

Gambar 68. Kaligrafi tsulut jaliy pada makam di cungkup Sultan Bahauddin (Sumber:
Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

Selain motif-motif di atas, di kompleks makam Kawah Tekurep dan


Talangkerangga ditemukan motif hias pilaster yang ditempatkan pada
sebelah kanan dan kiri pintu gerbang dan pintu masuk ke dalam cungkup
makam. Motif hias pilaster ini berjumlah 2 pilaster berjejer di sebelah
kanan dan kiri pintu masuk. Dengan demikian ada empat pilaster pada
setiap pintu masuk. Sementara itu di kompleks makam Talangkerangga,
bentuk pintu gerbang masuk kedua ke arah cungkup makam berbentuk

135
paduraksa dan memiliki bentuk puncak yang menyerupai bentuk ratna,
yang biasa digunakan sebagai puncak candi Hindu (Gambar 69).

Gambar 69. Pintu gerbang menuju cungkup makam Ki Rangga wirasentika (Sumber:
Afrinaldi Zulhen).

4. Inskripsi
Dari beberapa makam-makan masa Kseultanan Palembang tidak
semuanya berinskripsi. Kompleks makam yang memiliki inskripsi adalah
Kawah Tengkurep, Sabokingking, Cinde Welan, Sultan Mansyur,
Talangkerangga, Sideng Rajek, dan Pangeran Syarif Ali. Inskripsi pada
kompleks makam-makam pun tidak ditemukan pada cungkup makam,
namun hanya beberapa makam. Hampir seluruh inskripsi dipahatkan
pada bagian nisan. Hanya ada 3 makam yang inskripsinya diterakan pada
bagian jirat, yaitu satu makam di depan cungkup makam Sultan
Muhammad Bahauddin dan dua jirat di cungkup makam Sideng Rajek,
Indralaya.
Inskripsi paling banyak ditemukan di Kawah Tekurep dan isinya juga
lebih beragam. Di Kawah Tekurep inskripsi ditemukan pada kompleks
136
makam yang terdapat di sebelah timur cungkup makam Pangeran Ratu
Kamuk, cungkup makam Sultan Ahmad Najamuddin, cungkup makam
Sultan Muhammad Bahauddin, cungkup makam Pangeran Penghulu
Nata Diraja, dan di halaman luar makam-makam tersebut.
Inskripsi yang terdapat di Kawah Tekurep juga dapat digunakan
untuk melihat stratifikasi sosial dilihat dari isinya. Di cungkup makam
Sultan Ahmad Najamuddin terdapat empat nisan yang memiliki
inskripsi. Salah satu inskripsi terdapat pada nisan makam Sultan Ahmad
Najamudin Adikesumo. Adapun isi inskripsi tersebut adalah sebagai
berikut:

Gambar 70. Nisan Kepala dan Nisan Kaki Sultan Ahmad Najamuddin 1 (Sumber:
Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

 Nisan kepala
1) Nabi Muhammad SAW
2) aalaihim
3) pada 1150/1180/1185
4) lima hari bulan (dzuqoidah)
5) pada malam isnin

137
 Nisan kaki
1) wafat subuh
2) pada ketika jam pukul lima
3) setengah di rasa itulah
4) paduka susuhunan pulang
5) ke rahmatullah allahi

Di sebelah barat nisan makam Sultan Ahmad Najamuddin


Adikesumo terdapat nisan makam Imam Sayid Abdurrahman Maulana
Togaah yang di dalam sumber manuskrip merupakan imam atau guru
spiritualnya. Namun dalam inskripsi nama tersebut tidak terbaca karena
sudah aus. Adapun isi prasasti adalah:
1) Alhamdulillah (imtamala)
2) ilaa rahmatullah...
3) al-khair ibnu (alharata)ibnu alwi ibnu
4) Ahmad Nawla al-ithaqah (?) al-'idruus
5) yamqaidah 'inda malik muqtadir....
6) lailatul jum'at.. Rabi'us tsani sanah
7) 1211 hijratu Rasulullah 'alaihi
8) wasallam

Gambar 71. Nisan Kepala Imam Sayid Abdurrahman Maulana Togaah (Sumber:
Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Selatan 2020)
138
Pada cungkup makam Sultan Muhammad Bahauddin terdapat nisan
makam yang menyebutkan gelar yang pernah digunakan pada masa
kesultanan, yaitu: raden, raden ayu, dan pangeran.
 Nisan Kepala
1) jam pukul empat
2) masa (yu) radin ibnu abu ....
3) kaidah binti raden
4) yasin kembali ke rahma
5) tullah

 Nisan Kaki
1) ibnu daud abbas
2) adburahhim
3) pulang ke rahmatullah 11 isnin
4) ESA

Gambar 72. Nisan dengan gelar di Cungkup makam Sultan Muhammad Bahauddin
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

139
Selain di Kompleks Makam Sultan Muhammad Bahauddin, gelar
raden juga ditemukan pada nisan makam di Kompleks Makam Cinde
Walang. Adapaun isi inskripsi tersebut adalah:
 Nisan Kepala
1) pulang kerahmatullah
2) pada hari jumat
3) tanggal 3 dzulhijah
4) 1332

 Nisan Kaki
1) raden muhammad arafah
2) (pah phasa)
3) bin raden muhammad
4) ali

Gambar 73. Nisan Kepala dan Nisan Raden Muhammad Arafah (Sumber: Dokumentasi
Balai Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

Nisan lain yang menunjukkan pemakaian gelar pangeran adalah sebagai


berikut:
 nisan kepala
1) pada.....
2) ….
3) pada.....
140
 nisan kaki
1) bulan
2) …
3) ibnu pangeran ........
4) ........ hari ....
5) hari khomis 1211

Gambar 74. Nisan 7 di Cungkup /Bangunan IV Sultan Bahauddin (Sumber:


Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

 Nisan
1) 1155
2) pangeran

Gambar 75. Nisan 13 di Cungkup/Bangunan IV Sultan Bahauddin (Sumber:


Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

141
Gelar pangeran pada inskripsi juga tertera pada nisan makam di luar
pagar keliling cungkup makam sultan, tepatnya di depan makam Habib
Noh Al Habsee.

Gambar 76. Nisan 1 di dekat Makam Habib Noh Al Habsee (Sumber: Dokumentasi
Balai Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

 Nisan Kepala
1) muhammad syaid
2) pangeran penguhulu
3) natagama muhammad ....
4) ......
5) Palembang

 Nisan Kaki
1) muhammad syaid
2) pangeran penguhulu
3) natagama muhammad ....
4) ......
5) palembang

142
Gambar 77. Nisan 2 di dekat Makam Habib Noh Al Habsee (Sumber: Dokumentasi
Balai Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

Nisan makam dengan iskripsi berisi gelar juga terdapat pada makam
di dekat makam Habib Noh Al Habsyi. Adapun gelar yang digunakan
adalah Raden Ayu.
 Nisan Kepala
1) raden ayu
2) .......
3) ...... bin muhammad ......
4) palembang

 Nisan Kaki
1) …
2) …
3) ...... bin muhammad
4) hasyim

Nisan makam berinskripsi yang menunjukkan adanya jabatan


keagamaan pada masa kesultanan ditemukan pada dua makam di dekat
makam Habib Noh Al Habsyi. Jabatan yang tercantum dalam inskripsi
143
adalah Pangeran Penghulu Natagama, yaitu pejabat yang mengurusi hal-
hal terkait dengan hukum Islam. Inskripsi makam lainnya terdapat di
belakang pagar keliling cungkup makam sultan, yang menyebutkan
kedudukan yang dimakamkan sebagai “murid”. Adapun inskripsi makam
tersebut adalah sebagai berikut:
 Nisan
1) Rohim ......
2) .....
3) murid....
4) .......
5) ......
6) 1220 H

Gambar 78. Nisan dengan inskripsi murid di kepala nisan (Sumber: Dokumentasi Balai
Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

Makam Raden Hasan yang bergelar Raden Bongkok, beliau merupakan


salah satu panglima di era Sultan Mahumud Badaruddin II

144
 Nisan kepala
1) Sawllahiwasalam (SAW)
2) ….
3) …. Pangeran Basri (?)
4) …
5) ...
 Nisan kaki
1) ba’da
2) …
3) hari pada bulan muharam
4) jam …. ….
5) pukul dua …
6) 1212/1213

Gambar 79. Nisan Kepala dan Nisan Kaki Raden Hasan (Sumber: Dokumentasi Balai
Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

B. Pengaruh Hindu Buddha


Berdasarkan hasil analisis terhadap makam-makam di Palembang
dapat diketahui bahwa ada lima bentuk jirat dan tiga bentuk nisan. Dari
bentuk jirat dapat diketahui adanya pengaruh Hindu, karena profil jirat

145
yang mirip profil yoni (Yoni merupakan simbol dari sakti Dewa Siwa
dapat dilihat di gambar 45). Dalam suatu bangunan candi, yoni selalu
berpasangan dengan lingga yang merupakan manifestasi dari Dewa Siwa.
Pasangan yoni dan lingga sudah dikenal sejak masa abad ke-8 Masehi di
Jawa Tengah.
Selain bentuk profil jirat, ragam hias pada jirat juga memperlihatkan
persamaan dengan ragam hiasan pada bangunan candi. Ragam hias
tersebut adalah ragam hias pilin atau meander, belah ketupat dan
swastika. Ketiga ragam hias tersebut masuk dalam kategori ragam hias
geometris. Ragam hias lain yang memiliki persamaan dengan ragam hias
pada candi adalah sulur daun yang ditempatkan pada bagian tepi atas dan
badan jirat. Motif hias sulur daun dijumpai pada candi-candi dari periode
Jawa Tengah yang berkembang sejak abad ke-8-10 Masehi dan tetap
bertahan pada candi-candi dari periode Jawa Timur (abad ke-11-15
Masehi). Motif pilin atau meander, belah ketupat, dan swastika tidak
dijumpai pada candi-candi dari periode Jawa Tengah, tetapi ditemukan
pada candi-candi pada periode Jawa Timur, misalnya pada Candi Kidal,
Candi Sarwentar, Candi Penataran, dan Candi Jabung. Salah satu contoh
motif belah ketupat terdapat pada jirat makam di Sabokingking,
Talangkerangga, dan cungkup makam Sultan Bahauddin (gambar 80).

146
Gambar 80. Ragam belah ketupat pada makam di Sabokingking (kiri) dan bangunan
candi (kanan) (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

Motif hias medalion polos tanpa ukiran di bagian dalamnya sudah


dijumpai pada Candi Lumbung di Jawa Tengah. Motif ini berlanjut pada
masa Jawa Timur meskipun hanya ditemukan pada beberapa candi, yaitu
Candi Kidal, Penataran, Jabung, Kesiman Tengah, dan punden berundak
Penanggungan (Munandar, 1999). Motif hias yang sudah ada pada candi-
candi dari masa Jawa Tengah dan juga terdapat pada makam-makam di
Palembang adalah hiranyagarbha, kertas tempel, untaian bunga, meru
dan pilaster. Motif hias hiranyagarbha dan kertas tempel tidak dijumpai
lagi pada candi-candi dari periode Jawa Timur (Munandar, 1999). Motif
hias hiranyagarbha hanya ditemukan pada satu makam di situs Kawah
Tekurep dan satu makam di Talangkerangga. Motif hias ini dijumpai
pada sebagian besar candi-candi periode Jawa Tengah namun tidak
dijumpai pada candi di Kompleks Candi Dieng dan Kompleks Candi
Gedongsongo. Kedua kompleks percandian tersebut merupakan candi-
candi dari masa tertua yang ditemukan sampai saat ini.
Motif hias kertas tempel ditemukan pada bagian jirat dan kaki nisan
pada makam-makam di Kawah Tekurep, Sabokingking, Gedingsuro,
147
Candi Welan, Talangkerangga, dan Pangeran Syarif Ali. Pada candi-
candi periode Jawa Tengah motif hias ini ditemukan di Kompleks Candi
Dieng, Kompleks Candi Gedongsongo, dan Candi Plaosan.

C. Multikulturalisme
Multikulturalisme dalam wacana berkebangsaan sering dimaknai
secara berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Perbedaan
pemahaman kata ini merupakan sesuatu hal yang menarik bagi Tariq
Modood. Menurutnya istilah multikulturalisme bisa dipahami
berbeda oleh banyak negara tergantung latar belakang sosial politik
yang mengiringi kemunculan istilah ini. Di Amerika Serikat,
multikulturalisme diartikan sebagai cara untuk mengakui hak asasi
manusia dan kesetaraan warga negara sebagai bentuk respon atas
meningkatnya klaim atas perbedaan kelompok, seperti etnis Afrika,
kelompok etnis minoritas, perempuan, gay, dan lain sebagainya.
Terminologi tersebut berbeda dengan Negara-negara Eropa. Di sini
multikulturalisme adalah respon yang muncul dari imigrasi
pendatang dari luar Eropa yaitu dari orang non-kulit putih yang
masuk ke negara-negara mayoritas kulit putih. Dalam hal ini,
multikulturalisme berbentuk pengakuan atas kelompok-kelompok
yang berbeda dalam ruang publik dan memiliki fokus yang lebih
sempit yaitu berfokus pada konsekuensi imigrasi dan perjuangan
dari beberapa kelompok marjinal. (Modood 2013). Kebanyakan
negara Eropa bisa jadi memiliki pengalaman yang mirip terkait
imigrasi, akan tetapi fokus dari kebijakan multikulturalnya bisa
148
bermacam-macam. Di beberapa negara, bisa jadi rasisme dan warisan
kolonialisme menjadi sentral; di beberapa yang lain, perhatiannya
mungkin tertuju pada bagaimana merubah kondisi pekerja tamu ini
menjadi warga negara yang setara ketika kondisi sebelumnya tidak
menawarkan kesempatan untuk menjalankan kuasa demokratis
(Modood 2013). Kesimpulan dari berbagai pendapat tentang
multikulturalisme adalah merupakan respon suatu masyarakat atau
pemerintah terhadap isu-isu keragaman budaya dalam suatu masyarakat,
selain itu multikulturalisme sudah menjadi suatu ideologi untuk
melegitimasi masuknya keragaman etnis dalam struktur umum
masyarakat termasuk dalam struktur politik. Multikulturalisme
merupakan salah satu desain kebijakan publik untuk menciptakan
kesatuan nasional dalam suatu keragaman.
Berdasar terminologi di atas dan dielaborasikan dengan data pada
makam-makam di Palembang, maka tampak bahwa multikulturalisme
sudah ada pada era kesultanan. Bentuk multikulturalisme pada makam
ditandai dengan munculnya tipologi empat tipe nisan makam, yaitu Tralaya,
Demak, Aceh, dan Lokal. Dari keempat tipe nisan tersebut sebagian besar
adalah tipe Demak. Keberadaan budaya Demak ini bisa dirunut dari
kesejarahan para penguasa Palembang pada masa Islam yang berasal dari
pantai utara Jawa. Para pendatang tersebut adalah para pengikut Arya
Penangsang yang kalah perang melawan Jaka Tingkir. Selain itu, penguasa
Demak pertama adalah putera Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (raja
terakhir Majapahit) dengan putri Champa yang lahir dan besar di Palembang.
Fakta ini juga membawa dampak pada adanya unsur budaya Majapahit
149
bercorak Islam pada tipe nisan tipe Tralaya pada dua makam di
Sabokingking dan Kawah Tekurep. Makam dengan tipe Tralaya di
Kompleks Makam Sabokingking diyakini sebagai makam dari istri
Pangeran Sideng Rajek penguasa Palembang terakhir yang berkraton di
Kutog Gawang. Pangeran Sideng Rajek melarikan diri ke Inderalaya,
karena kratonnya dibumihanguskan oleh Belanda pada tahun 1659.
Sementara identitas makam dengan nisan tipe Tralaya di Kawah Tekurep
tidak diketahui. Namun, dari penempatan makamnya dapat diketahui,
bahwa tokoh yang dimakamkan bukan kerabat dekat sultan yang sedang
berkuasa. Keberadaan nisan tipe Aceh tidak banyak dijumpai pada
kompleks makam-makam dari masa Kesultanan Palembang. Nisan
tipe Aceh digunakan oleh ulama atau guru sultan Ahmad Najamudin
Adikesumo, Sultan Muhammad Bahauddin, nisan makam ulama
Sultan Agung dan Makam Ki Bodrowongso di Kompleks Makam
Sabokingking. Nisan-nisan makam tersebut berbentuk gada.
Sementara itu, nisan tipe Aceh terdapat di luar gubah makam sultan
dengan bentuk nisan yang berbeda, yaitu nisan dengan bentuk
bertangkai dan beberapa nisan makam di luar gubah, Kawah
Tekurep. Selain ketiga tipe nisan tersebut banyak juga ditemukan
nisan makam bentuk lokal yang terbuat dari monolit dan tidak
mengalami proses pembentukan oleh manusia.
Selain dari data bentuk nisan makam, multikullturalisme pada
masa Islam di Palembang juga dapat dilihat dari ragam hias pada jirat
dan nisan makam. Ragam hias swastika ganda, bunga peony, kendi
labu air, dan pustaka pada makam Panglima Lim Ku Lai
150
menunjukkan adanya pengaruh ragam hias Cina. Ragam hias swastika
ganda juga ditemukan pada bagian kaki nisan-nisan makam di belakang
gubah makam sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama. Ragam hias
kupu-kupu dan burung poenix pada nisan makam di Kompleks
Pemakaman Pangeran Syarif Ali tampaknya juga mendapat pengaruh
dari Cina.

Gambar 81. Bentuk ragam hias yang mendapat pengaruh dari Cina (Sumber:
Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Selatan 2020)

Dari sumber sejarah juga dapat diketahui bahwa istri-istri sultan


Palembang dan menantu-menantunya juga berasal dari beberapa daerah
di Nusantara, bahkan datang dari mancanegara. Dari sumber sejarah juga
dapat diketahui bahwa ulama dan guru-guru sultan semuanya berasal
dari etnis Arab. Pengaruh Arab tampak pada penggunaan aksara Arab
pada inskripsi yang diterakan pada jirat dan nisan makam dan jenis-jenis

151
kaligrafinya. Pengaruh Turki tampak pada penggunaan kaligrafi khat
Ri’qah pada nisan makam di Kawah Tekurep.
Berdasarkan pada sejumlah data arkeologi dan sejarah dapat
diketahui bahwa masyarakat multikultural sudah ada pada masa
Islam, bahkan sejak masa sebelumnya (Hindu-Buddha). Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat multikultural merupakan suatu
fakta sejarah dan bercampur baurnya penduduk dari berbagai etnis
dan daerah mampu memberikan peran pada persatuan masyarakat.
Menurut Suparlan (2014) masyarakat multikultural dapat terwujud
karena adanya pemahaman arti penting berbangsa oleh masyarakat
saat itu.

152
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Keberagaman dalam kebersamaan, gambaran inilah yang tampak
pada makam-makam Islam di Palembang. Bentuk arsitektur bangunan,
bentuk jirat, bentuk nisan, dan ragam hias menampilkan dinamika
masyarakat Palembang di masa lalu. Dinamika terjadi karena Palembang
merupakan kota pelabuhan sejak masa Sriwijaya sampai masa
kesultanan. Posisi ini memicu terjadinya interaksi antar warga pendatang
dan warga lokal. Proses interaksi ini melahirkan akulturasi budaya,
pluralisme, dan multikulturalisme di Palembang. Keberagaman ini juga
menandakan adanya identitas etnis, gender, sosial, dan kelas sosial.
Keletakan makam, kehalusan dan tingkat kerumitan, serta keragaman
motif hias pada satu makam membuktikan adanya identitas tersebut.
Makam-makam Islam di Palembang memperlihatkan sikap
akomodatif penguasa Palembang, dalam hal ini sultan, terhadap
keragaman masyarakat dan budayanya. Akomodasi terhadap
keberagaman budaya yang bercampur menciptakan kesatuan budaya
namun tidak menegasikan ciri-ciri masing-masing budaya. Keadaan ini
bisa diibaratkan sebagai gado-gado atau mangkok salad (salad bowl),
pelangi, atau mozaik.
Bentuk dan ragam hias pada makam menunjukkan adanya pengakuan
penguasa terhadap keragaman dan terwujudnya multikulturalisme
maupun pluralisme di Palembang. Pengakuan sultan secara politis akan
melihat keragaman sebagai aset budaya yang harus diakui bersama dan
153
saling memperkaya. Keinginan justru secara sadar menekan pebedaan
untuk menciptakan atau menemukan ikatan bersama. Dalam konteks
kekinian pernyataan pengakuan terhadap keragaman etnis, ras, budaya,
sosial, dan kepercayaan (multikulturalisme) perlu dikedepankan untuk
menghindari perpecahan antar masyarakat yang mulai mengemukan
sejak dasa warsa terakhir. Pancasila yang merupakan substansi unsur-
unsur kebudayaan seluruh suku-suku bangsa di Indonesia tetap harus
dijadikan pelindung multikulturalisme Indonesia.

B. Rekomendasi
Penelitian makam-makam pada masa Kesultanan Palembang
memberikan bukti bahwa bentuk arsitektur makam, bentuk jirat dan nisan
makam telah memberikan bukti pengakuan keragaman atau kebhinekaan
(multikulturalisme) pada masa Kesultanan Palembang. Hasil penelitian
tehadap ragam hias yang selama ini dianggap oleh masyarakat sebagai
khas Palembang dan tidak ditemukan di daerah lain ternyata tidak benar.
Motif hias belah ketupat, kertas tempel, tumpal yang menjadi motif hias
batik dan songket Palembang telah dikenal sejak abad ke-8 Masehi di
Jawa. Masyarakat juga menganggap bahwa kebudayaan Palembang
adalah kebudayaan Melayu, bukan Jawa. Banyaknya unsur-unsur Hindu-
Buddha pada makam-makam pada masa Kesultanan Palembang
memberikan bukti yang sebaliknya. Untuk memberikan pemahaman
tentang adanya pengaruh-pengaruh non Melayu yang dominan pada
makam, maka diperlukan sosialisasi kepada pejabat, akademisi, dan
masyarakat.
154
Hasil penelitian menunjukkan bahwa makam-makam yang diteliti
hampir semuanya telah mengalami perubahan akibat pewarnaan dengan
menggunakan cat, baik pada jirat maupun makam. Dampak dari proses
pengecatan ini adalah salah satunya adalah tidak terbacanya inskripsi-
inskripsi pada nisan makam. Sejumlah nisan dari kayu yang telah
mengalami pengeroposan oleh zuriat kemudian disemen. Oleh karena itu
diperlukan upaya sosialisasi kepada masyarakat akan arti pentingnya
pelestarian makam-makam tersebut.
Dalam penelitian ini secara khusus belum dilakukan pendataan
tentang tipe nisan secara rinci dan dari hasil pengamatan ditemukan
banyak tipe nisan yang tidak dapat dimasukkan ke dalam tipe Demak-
Tralaya, Aceh, atau Bugis Makasar. Ada kemungkinan nisan-nisan
tersebut merupakan tipe Palembang. Untuk mengetahui hal ini
diperlukan penelitian tersendiri untuk tipologi nisan di Palembang.
Penelitian lanjutan juga diperlukan untuk mengetahui pola kompleks
makam-makam lain yang belum terdokumentasikan pada penelitian kali
ini.

155
DAFTAR PUSTAKA

Adrisijati, Inajati. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam.


Yogyakarta: Jendela.
Anggraini, Kinanti Husnun, dkk. 2017. “Aplikasi Motif Hias Tinggalan
Arkeologi Masa Hindu-Budha Menjadi Motif Hias Batik di
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Trowulan”. Jurnal Humanis,
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Vol. 21, 1
Nopember (2017):31-36.
Ari, Kemas. 2007. Menyelusuri Jejak-Jejak Sejarah Kesultanan
Palembang Darussalam, yang Tersisa Pangeran Bupati
Panembahan Hamim (1779-1879). Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata Balai Arkeologi Palembang.
Andaya, Barbara Warton. 2016. Hidup Bersaudara Sumatra Tenggara
Pada Abad XVII dan XVIII. Yogyakarta: Ombak.
Cortesao, Armando. 1944. The Summa Oriental of Tome Pires. An
account of the east, from the Red Sea to Japan, writen in
Malacca and India 1512 – 1515. London: Hakluyt Society.
Damais, Louis-Charles. 1995. Epigrafi dan Sejarah Nusantara Pilihan
Karangan Louis-Charles Damais. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Faille, P. De Roo De. 1971. Dari Zaman Kesultanan Palembang.
Jakarta: Bhratara.
Istari, T. M. Rita. 2013. Motif Hias pada Pelipit Candi. Yogyakarta:
Balai Arkeologi Yogyakarta.
-------. 2015. Ragam Hias Candi-candi di Jawa. Yogyakarta: Kepel
Press.
Iswahyudi.2009. Perkembangan Motif Hias Medalion Pada Bangunan
Sakral di Jawa Abad IX-XVI. Imaji Jurnal Seni dan
Pendidikan Seni Vol. 7, No. 1, Februari (2009): 27-46.
Graaf, H.J. de, dan Th. G. Pigeaud. 2001. Kerajaan-kerajaan Islam
Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik abad XV dan XVI.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Groenevelt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia Malay Compiled
from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara.

156
Hanafiah, Djohan. 1989. Kuto Besak Upaya kesultanan Palembang
Menegakkan Kemerdekaan. Jakarta: Haji Mas Agung.
----------. 2002. “ Mencari Jejak Kraton yang Hilang Sebuah Pemikiran
tentang Situs Kraton Sultan Abdul Rahman, sebagai Sebuah
Bentuk Kota Tradisional”, Makalah Lokakarya Sejarah
Perkembangan Kota Palembang: Dari Wanua Sriwijaya ke
Kota Palembang Modern, PT. PUSRI palembang, 28-29 Mei
2002.
Hanafiah, Djohan dan A.W. Widjaja (ed.), 1995, Sejarah
Perkembangan Pemerintahan di Daerah Sumatera Selatan.
Palembang: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera
Selatan.
Holt,Claire. 1967. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca
and London: Cornell University Press.
Irwanto, Dedi. 2011. Venesia dari Timur: Memaknai Produksi Dan
Reproduksi Simbolik Kota Palembang Dari Kolonial Sampai
Pascakolonial. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Iskandar, T. 1996. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Lohanda, Mona. 2011. Membaca Sumber Menulis Sejarah.
Yogyakarta:Ombak.
Loeb, Edwin M. 2013. Sumatra Sejarah dan Masyarakatnya.
Yogyakarta: Ombak.
McRoberts, R.W. 1986. “Notes events in Palembang 1389 – 1511: the
Everlasting Colony”, dalam JMBRAS Vol. LIX. Part I, th.
1986, hlm. 73-84.
Marsden, William. 1999. Sejarah Sumatra. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Masyudi. 1999. “Jirat Pada Makam-makam Islam di Pedalaman Jawa
Tengah Bagian Selatan (Suatu Kajian Atas Bentuk dan
Bahan)”, dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah
Arkeologi VIII Yogyakarta, 15-19 Februari 1999: 445-449.
Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia-Menteri Pendidikan
Nasional.
Montana, Suwedi. 1985. “Mode Hiasan Matahari Pada Pemakaman
Islam Kuno di Beberapa Tempat di Jawa dan Madura”,
157
Proseding Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Ciloto, 23-28 Mei
1983: 722-738. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta-
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Munandar, Agus Aris. 1999. “Berbagai Bentuk Ragam Hias pada
Bangunan Hindu-Buda dan Awal Masuknya Islam di Jawa”,
dalam WACANA Vol. I, No. 1: 49-69.
Mujib dan Budi Wiyana. 1997. Penelitian Kompleks Makam Kambang
Koci Palembang. Laporan Penelitian Arkeologi. Palembang:
Balai Arkeologi Palembang (Tidak terbit).
Mujib. 1995/1996. Paleografi Nisan Makam di Indonesia:
Perkembangan dan Implikasinya dalam Sejarah Kebudayaan.
Aksara Balaputra Dewa No. 7. Palembang: Museum Negeri
Provinsi Sumatera Selatan Balaputra Dewa.
--------- 1997. Pemilihan Ulama Kesultanan Palembang: Primordialisme
atau Otoritas Sultan?. Intizar No. 9. Palembang IAIN Raden
Fatah Palembang Hlm. 19-38.
-------- 1998. Yang tersisa dari Situs Makam Kambang Koci Menarik
untuk Kajian Filo-Arkeologi Linguistik dan Kaligrafi. Jurnal
Arkeologi Siddhayatra Nomor: 2/III/Nopember/1998: 35-39.
-------- 2001. Data Arkeologis tentang Kesultanan Palembang. Nasution
(ed.). Islam dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera
Selatan. Dalam Zulkifli dan Abdul Karim Hlm. 25-67.
--------- 2011. Edisi Teks Naskah “Sejarah Raja-raja Palembang”
Sejarah Raja-Raja Palembang dan Silsilah Keturunannya.
Editor: K.H. Ali Hamid. Jakarta: Foukoka Pustaka Utama.
Novita, Aryandini. 2004. “Pemukiman Masa Awal Kesultanan
Palembang”, dalam Laporan Penelitian Balai Arkeologi
Palembang (Belum terbit).
-------. 2005. “Potensi Tinggalan-tinggalan Arkeologi di Kota
Palembang Upaya Pelestarian dan Pemanfaatannya”, dalam
Jurnal Arkeologi Siddhayatra Volume 8 No. 1 Mei 2003. Balai
Arkeologi Palembang. Hlm. 47-51.
---------. 2005. “Situs-situs Religi di Kota Palembang Pasca Masa Kerajaan
Sriwijaya”, Laporan Penelitian Balai Arkeologi Palembang
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Belum terbit).

158
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwanti, Retno. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Jatidiri
yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta:
Yayasan Naskah Nusantara (YANASA). Hlm. 19-42.
-----------.2006. “Perubahan Pola Permukiman Masyarakat Palembang:
Kajian Eko-Arkeologi”, dalam Tammadun Jurnal Kebudayaan
dan Sastra Islam No. 2 November 2006, 103-124.
------------.2005. “Sejarah Permukiman Cina di Palembang”, dalam
Jurnal Arkeologi Siddhayatra Volume XI No.2 September
2005. Balai Arkoelogi Palembang.
------------. 2018. “Keadaan Lingkungan Kaitannya dengan Subsistensi
Masyarakat Palembang Lama”, dalam Prof. Dr. Sutikno
(Penyunting), Arkeologi Lahan Basah di Sumatera dan
Kalimantan, Palembang: Balai Arkeologi Sumatera Selatan.
Purwanti, Retno., dkk. 2020. Pengaruh Hindu-Buddha Pada Makam-
makam di Palembang. Laporan Penelitian Balai Arkeologi
Sumatera Selatan.
Rahim, Husni. 1993. “Kesultanan Palembang Menghadapi Belanda
serta Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Palembang”,
dalam Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi. Media
Komunikasi Masyarakat Sejarawan Indonesia, hlm. 34-57.
Jakarta: MSI-PT. Gramedia Pustaka Utama.
----------. 1998. Sistem Otoritas & Administrasi Islam Studi Tentang
pejabat Agama Masa kesultanan dan Kolonial di Palembang.
Jakarta: Logos.
Resink, G. J. 1987. Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia
1850-1910: Enam Tulisan Terpilih. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
Schnitger, F. M. 1936. Oudheidkundige Vondsten in Palembang.
Leiden: E. J. Brill.
Sevenhoven, J.L. van. 1971. Lukisan Tentang Ibukota Palembang.
Jakarta: Bhratara.
Suprayitno, Wahyu. 2016. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli
di Atas Makam di TPU Islam Karang Tembok Surabaya”,
Skripsi. Surabaya: UIN Sunan Ampel.
159
Thorn, Mayor William. 2011. Penaklukan Pulau Jawa. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo.
Tjandrasasmita, Uka (editor). 1993. Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta: Balai Pustaka.
Tjandrasasmita, Uka. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-
Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII
Masehi. Kudus: Menara Kudus.
Utomo, Bambang Budi. 1992. Wanua Sriwijaya. Himpunan Penelitian
Arkeologi Palembang 1984-1992. Departmen Pendidikan dan
Kebudayaan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 59-85
(tidak diterbitkan).
Wolders, Michiel Otto. 1975. Het Sultanaat Palembang 1811 – 1825.
“s-Gravenhage.
Zed, Mestika. 2003. Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang
1900-1950. Jakarta: Pustaka LP3ES.

160
Retno Purwanti lahir di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tanggal 31

Oktober 1965. Pendidikan dari TK sampai SMA diselesaikan di Yogyakarta.

Seusai menamatkan SMA melanjutkan ke Jurusan Arkeologi, Fakultan Sastra-

UGM. Untuk jenjang S2 dengan mengambil bidang kajian Museologi

diselesaikan pada tahun 2008 di Fakultan Sastra-Universitas Padjadjaran,

Bandung. Jenjang S3 diselesaikan pada tahun 2019 di UIN Raden Fatah

Palembang dengan bidang kajian Sejarah Peradaban Islam (Islam Melayu

Nusantara). Sejak tahun 1994, penulis mengabdikan diri sebagai peneliti di

Balai Arkeologi Sumatera Selatan dengan jabatan terakhir adalah Peneliti

Madya. Sejak tahun 1999-sekarang tercatat sebagai dosen luar biasa (DLB)

pada program studi Sejarah Kebudayaan Islam (Sejarah Peradaban Islam)

Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Raden Fatah Palembang. Pada tahun

2015-2017 sebagai DLB pada program studi Arkeologi, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Jambi.

Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Selatan


Jalan Kancil Putih Lorong Rusa, Demang Lebar Daun - Palembang
30137 Telepon: 0711 – 445247 Faksimile: 0711 – 445246
e-mail : balaiarkeologi.sumsel@kemdikbud.go.id

Anda mungkin juga menyukai