Anda di halaman 1dari 28

Aspek-aspek Arkeologi Indonesia

Aspects of Indonesian Archaeology

o.12

asan Muarif Ambary

Makam-Makam Kesultanan Dan Parawali .


Penyebar Islam Di Pulau Jawa

Jakarta 1991
PERPUSTAKAAN JURS. ARKEOLLOGI UGM
No. Katalog - • ~-
No. Inventoris : All . (t)
Subje k
Tanggal M suk : 6 bk~obe(~ 2W}
Proses 2 3 '4 5
MAKAM-MAKAM
KESULTANAN DAN PARA WALL
PENYEEAR ISLAM
DI PULAU JAWA
DAFTAR ISI

Daftar isi V

I . PENDAHULUAN 1
1 . Latar Belakang Pertumbuhan Seni Karya Islam Indonesia 1
2 . Konsep Dasar Agamawi tentang Penguburan 3
3 . Pertumbuhan Islam 6
3 .1 Sosialisasi Islam 6
3 .2 Adaptasi Budaya 8

II . MAKAM SULTAN DAN PARA WALL PENYEBAR ISLAM


DI JAWA 11
1. Tokoh Sejarah Islam di Jawa 11
2. Sistem Pemakaman Islam 13

III . NUANSA MAKAM-MAKAM DI LUAR JAWA 15

IV PENUTUP 20

KEPUSTAKAAN 22

v
BAB I
PENDAHULUAN

1 . Latar Belakang Pertumbuhan Seni Kriya Islam Indonesia


Masa-masa datang, tumbuh dan berkembangnya unsur-unsur budaya Islam di
Nusantara, menghasilkan dan meninggalkan peradaban yang secara ideologis ber-
sumber pada Kitabullah Al-Qur'an dan Sunnah Rasul (Al Hadist), sementara itu
secara fisikal, memperlihatkan anasir kesinambungan dengan anasir budaya pra-
Islam .
Ada yang berubah, namun banyak pula yang memperlihatkan hadirnya permanensi
etnologis . Yang berubah adalah kedudukan dan status manusia yang dibedakan
pada tingkat ketaqwaannya . Yang tetap dan mungkin paling sedikit berubah, adalah
bahwa peradaban Nusantara tetap berpusat pada serta bersifat elitis, dimana istana
tetap merupakan referensi kultural yang mengikat, dan dari istana pulalah berasal,
dikembangkan serta beredar kebutuhan/permintaan dan supplai akan ekspresi
rasa seni, seni tinggi yakni seni istana
Istana, selain berfungsi sebagai pusat kendali kekuasaan politik-sosial-dan
ekonomi, sekaligus merupakan payung kharisma, magi dan sekti

1
raja/susuhunan/sultan, sekaligus juga menjadi pusat yang berfungsi sebagai
pemasok seni adiluhung, filsafat, agama, pendidikan dan ilmu pengetahuan .
Ada anggapan bahwa peradaban (madaniyat/tamaddun) manusia berkembang dan
didirikan di atas fondasi-fondasi agama, yang kemudian diujudkan melalui sofis-
tifikasi arsitektur, seni lukis, tail, suara, prosa, dan seni tulis tinggi . Arsitektur Islami
menghasilkan kemegahan bagi istana para sultan, bangunan publik,bangunan
keagamaan, seni makam, pertamanan,dan sebagainya . Sementara itu, seni tulis
tinggi mengagung kan alma Allah dan firman-Nya, dikembangkan dalam berbagai
aliran gaya, dikembangkan dan diguratkan atau dilukiskan pada media batu, kaca,
kulit, bambu, lontar, kain, dan kayu . Karya tersebut sungguh merupakan abstraksi
dari adaptasi para seniman lokal Nusantara, di dalam mengangkat, mengubah serta
menggubah seni Islami yang banyak mengandung anasir- anasir urubah (ke-Arab-
an), dan kemudian dipadukan dalam akar budaya lokal Nusantara, mulai dari Aceh
di ujung barat Sumatera, sampai ke lernate Tidore di Indonesia paling timur .
Ekspresi seni tulis tinggi (kaligrafi) juga tak pernah bebas pengaruh, seperti dapat
diamati melalui hadirnya karya-karya kaligrafs Nusantara yang bercorak
antropomorfik yang amat disamarkan . Penyarnaran ini tak lain memang mcrupakan
pola penghindaran, mengingat adanya tradisi pada mashab tertentu yang melarang
penggarnbaran mahluk hidup pada bangunan-bangu nan peribadatan atau tempat-
tempat yang disucikan . Kaligraf antropomorfik Nusantara merupakan antisipasi
terhadap laran gan, sekaligus tetap mewujudkan ekspresi seni .
Ada suasana dualistis dalam
kehidupan seni Islami di ling
kungan budaya Nusantara
sebagai pola adaptasi para
seniman lokal (istana) Nusan-
tara . Mesjid berdenah bujur-
sangkar dan beratap tumpang
tanpa menara, kubur berar-
sitektur dan pola hias candi,
kaligrafi antropomorfik berak-
sara Arab berbahasa Melayu,
Sunda, Jawa, Bugis dan
sebagainya .
Makam atau kubur para
raja/sultan Islam, di Jawa
khususnya masih memperoleh
perlakuan tertentu dari Sudimara, Purworejo, Jawa Ten gall ;
makarn sebagai obyek peziarahan
sebagian masyara kat, sehingga
sebagian makam atau

2
kompleks makam seperti berada dalam konteks sistem perilaku, yakni sebagai
objek peziarahan (pilgrimage) . Dampaknya antara lain adanya sejum lah makam
dikeramatkan, dan secara keliru sebagai media/tempat meminta sesuatu,
berkaul/bernazar dan sebagai nya .
Makam-makam Islam Awal di berbagai tempat yang dijadikan sebagai pusat
peziarahan, seringkali mengalami perbaikan dan bahkan perluasan . Hal mana
secara arkeologis tidak dapat dibenarkan . Kondisi-kondisi yang terus berubah
pada sejumlah makam kuno ini, umumnya tidak dapat dihindari, sebagai kon-
sekuensi data yang bersinambung dengan konteks sistem perilaku pada masa-masa
berikutnya .

2. Konsep Dasar Agamawi tentang Penguburan


Tatalaku, laku dan hasil laku penguburan (disposal of the death atau corpse
disposal), bersumber pada gagasan atau idea (consepta) baik yang bersifat
sosiologis (realita masyarakat) maupun religius-ideologis (macro/micro cosmos
dan persepsi mengenai hidup setelah hidup atau hidup setelah mati) . Sementara
itu sumber yang ketiga adalah kapasitas teknologi (kubur, kremasi, mummifikas),
penempatan sofisti fikasi dan lain-lain) .
Dalam sistem budaya, ketiga sumber tersebut berinteraksi dan mewujudkan
produk berupa kubur itu sendiri, teknik pengubu rannya serta konsep-konsep yang
mendasarinya (termasuk upacara, manteraldo'a, pesta kematian dan sebagainya) .
Konsepsi Islami mengenai kematian dan otomatis penguburan nya, mengacu pada
Al-Qur'an dan Al-Hadist, misalnya firman Allah SWT :

yang artinya :
Tiap-tiap yang bernyawa itu akan merasakan mati, sesungguhnya pahala kainu
akan disempumakan pada hari kiamnat, (QS Al Imran :185)

atau dalam firman-Nya:


11

yang artinya :
Katakanlah bahwa sesungguhnya kematian yang kamu semua melarikan din dari
padanya itu, pasti akan menemui kamu, . . . (QS Al Juntu'ah :8)

3
Mati itu sendiri adalah herpisahnya atau tercerabutnya ruh atau jiwa dari badan
raga sesorang menuju alam kubur, dan ruh tersehut kemudian dibangkitkan lagi
pada kehidupan hari kebangkitan, dimana akan berlangsung pengadilan, untuk
menetukan tempat di kehidupan abadi (surga atau neraka) .
Surga digambarkan sebagai tempat yang penuh kebun-kehun dan buah anggur,
gadis-gadis remaja sebaya, dan gelas-gelas penuh berisi minuman (OS An Nabaa' :
32-34) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai (QS At Taghaabun : 9), dimana
diedar kan piring-piring emas dan piala-piala serta segala apa yang diingin hati (QS
Az Zukhruf: 71), dimana para penghuni surga bertelekan di atas permadani sutera,
ada bidadari-bidadari yang sopan mcnundukkan pandangannya (OS Ar Rahmaan :
54-55), berada di atas dipan bertatahkan emas dan permata yang dike lilingi oleh
anak-anak muda yang tetap muda (QS Al Waaqi'ah : 15-17) dan sebagainya .
Sebaliknya neraka dalam konsep Islam, digambarkan sebagai tempat berlaku siksa
yang pedih (QS An Nisaa' : 18), dengan api yang menyala-nyala (ayat 55), seburuk-
buruk tempat kembali (ayat 115), seburuk-huruk tempat kediaman (QS Ar Ra'd :
18), dimana pcnghuninya senantiasa memakai pakaian api neraka (QS Al Hajj : 19),
dengan air panas penghancur isi perut (ayat 20), dan cambuk-cambuk besi bagi
para penghuni (ayat 21), dan pohon zaqqum yangbuahnya akan memenuhi isi perut
(OS Ash Shafaat : 63-66), seperti kotoran minyak yang mendidih dalam perut (OS
Ad Dukhan : 45), dalam naungan asap yang hitam tidak sejuk dan tidak
menyenangkan (OS Al Waqi'ah : 43-44), tempat dimana para pedosa dibelenggu
tangan ke lehcrnya dan dimasukkan ke api neraka yang menyala dan dibelit dengan
rantai yang panjangnya 70 hasta yang memakan makanan dari darah dan nanah
(OS Al Haag(lah : 30-32 dan 36) dan sebagainya .
Sementara itu dalam Islam, konsep dasar kematian dapat dilihat dari salah satu
sabda Rasulullah, yang menyatakan bahwa apabila anak Adam meninggal, putuslah
segala huhungan nya dengan dunia, kecuali (a) do'a dari anaknya ynag saleh, (b)
amalannya yang tak putus dan (c) ilmu yang terus diamal kan .
Penyelenggaraan penanganan/perawatan jenazah dalam agama Islam, sampai
pada pemakamannya, merupakan kewajiban ummat atau masyarakat muslim atau
fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang ditujukan pada orang banyak, yang artinya
apabila sebagian dari mereka melaksanakan kewajiban itu maka yang lainnya
terlepas dari kewajiban tersehut . Tetapi apahila ti dak ada seorang pun yang
mengerjakannya, maka semuanya akan berdosa .
Sehenarnya Islam tidak mengenal pesta-pesta kematian/ perka bungan, diluar
penyelenggaraan jenazah sampai pemakamannya . Begitu pula Islam tidak men-
genal peringatan kematian 3, 7,40, 100 dan 1000 hari . Jika pun itu diselenggarakan,
maka semata-mata berdasarkan adat atau tradisi pra-Islam . Kewaji ban utama
penyelenggaraan jenazah, meliputi :

4
PER PUSTA K A A, IN

mcmandikan ienazah atau mcnsucikan jcnazah ; "~ ~ (15A,~,t AKKF0t .0( P


-

whfutt,,e ~~ ~.
~. mcmbungkus jcnazah hanya dengan kain kafan ;
mcnshalatkan jcnazah ;
4. menguhurkan/memakamkan jenazah, dan selesailah kewajiban
yang tercakup dalam fardhu kifayah tersebut di atas .
Disunnatkan oleh Nabi Muhammada SAW agar tidak menguburkan jcnazah pada
malam hari (HR Ibnu Majah), dengan perkecualian bagi orang yang meninggal
dianggap sebagai syuhada atau mereka yang meninggal/tewas ketika menunaikan
perintah Allah tidak perlu dimandikan lagi, karena jenazahnya sudah diang gap
dalam kcadaan suci .
Tradisi penguburan Islam tidak mengenal penycrtaan bekal kubur (funeral goods),
dan tidak pula dikenal penggunaan peti mati, terkecuali di dalam peti tersebut
disertakan to nah yang bersentuhan langsung dengan sebagian hadan si mati . Liang
lahat pada tradisi kubur Islam ada dua macam, seperti tampak pada gambar
bcrikut :

Tipologi Lubang Kubur Islam

Sunnah lainnya, yang dapat dianggap mcndasari tradisi pcngu buran Islam, antara
lain :
t. kuhur lcbih balk ditinggikan dari tanah sekitarnya, agar mudah diketahui (HR
Baihayi) ;
2. memhcri tanda kubur dengan batu atau hcnda lain pada hagian kcpala (HR
Abu Daud) ;
dilarang menemhok kubur (HR Akhmad & Muslim) ;
4. dilarang mcmbuat tulisan di alas kuhur (HR Nasal) ;
dilarang mcmbuat hangunan di alas kubur (HR Akhmad & Muslim) ;

5
6. tetapi ada pula yang meriwayatkan bahwa sebaiknya kubur jangan ditinggikan,
sedang yang terlanjur dimunjungkan/ ditinggikan sebaiknya didatarkan (HR
Muslim) ;
7. dilarang membuat pekuburan menjadi mesjid (HR Bukhari & Muslim)
Bahwa yang terjadi di Indonesia adalah lain, seperti telah disebutkan terdahulu,
adalah bukan dalam konteks perbedaan dalam penunaian segi aqidah, tetapi pada
tingkatan mu'amalat, yakni hal-hal teknis yang berakar pada tradisi pra-Islam,
khususnya mengenai penghormatan terhadap leluhur, sehingga makam/kubur dis-
ebut dengan pasarean (tempat tidur), atau juga kasunyatan (ketenangan), terlebih
apabila hal tersebut ditujukan pada para sultan ataupun tokoh/penyiar agama
Islam . Di mar Jawa, keadaan tersebut terjadi pada tingkatan yang lebih rendah atau
kurang intens apabila dibandingkan dengan penghormatan tokoh yang dimakam-
kan . Sebelum dilaksanakan pemugaran-pemugaran di luar Jawa, terdapat
kecenderungan terlantarnya sejumlah makam/kompleks makam, sekalipun itu
adalah makam raja/sultan/tokoh .

3. Pertumbuhan Islam
3 .1 . Sosialisasi Islam
Islam, balk sebagai agama wahyu maupun anasir-anasir budaya yang dibawanya,
masuk dan menycbar di Indonesia melalui berbagai alur kedatangan dan bentang
waktu . Dengan demikian sosialisasi Islam di Nusantara, sebaiknya dan scharusnya
dianggap sebagai proses, lebih daripada sebagai peristiwa . Dampak anggapan ini,
tent u akan menggambarkan adanya berba gai aliran (stream) mashab( school) dan
variasi kurun waktu ( time ),
Hal tersebut misalnya dapat dilihat dari k :onologi bukti arkeologi dan sejarah,
antara lain Leran 1082 M, Samudra Pasai 1297 M, Troloyo (Majapahit) 1368 M,
Cirebon akhir abad XV M, Makasar 1605/9 M, Banjarmasin 1550 M, Ternate akhir
abad XI V M, Kutei 1575 M, dan Banten awal abad XVI M . Jadi, proses sosialisasi
atau internalisasi Islam di Nusantara adalah antara abad XIII-XVII M . Angka-
angka tahun itu pun diperoleh dari bukti-bukti paling tua, sehingga juga perma
salahannya tidak sesederhana apabila penyebaran Islam diang gap sebagai peris-
tiwa .
Atas asumsi tersebut di atas, maka proses-proses sosialisasi Islam di Nusantara,
dianggap pula melampaui tahapan-tahapan umum, yang sekalipun demikian tiap
lokal tidaklah sama . Menurut Hasan Muarif Ambary, sosialisasi Islam di Nusantara
sampai dengan tumbuh-memuncaknya pola kesultanan/daulah Islam sebagai
power, meliputi tahapan :

6
1. Kontak komunitas Nusantara dengan para pedagang/musahir Arab, Persia,
India, Asia Tenggara, Cina dan lain-lain sebelum di antara mereka menjadi
muslim/Islam .
2. Kontak komunitas Nusantara dengan para pedagang/musafr/ pelaut muslim .
3. Tumbuhnya komunitas muslim/Islam di Nusantara, baik di daerah pantai
maupun pedalaman.
4. Tumbuhnya kekuasaan politik Daulah/Kesultanan Islam Nusantara dan pada
puncak perkembangannya seiring dengan masuknya pengaruh kekuatan
militer/ekonomi bangsa Eropa.
5. Surutnya kekuasaan Daulah/Kesultanan Islam Nusantara dan dominasi
kekuasaan militer/ekonomi/politik bangsa Eropa .
Peta proses aliran penyebaran Islam di Nusantara berikut ini dalam beberapa hal
dapat memperjelas rangkaian tahun/ per tanggalan masuk dan tumbuhnya Islam di
berbagai lokasi seperti tersebut di atas . Namun peta ini pun dianggap terla lu
sederhana, mengingat peranan setiap bandar/pelabuhan di berbagai lokasi adalah
tidak sama .

Urm:rk_ ~,~mq .~ : d

Peta Aliran Sosialisasi Islam dt Nusantara


(Abad X11-XV1 M)

7
Selanjutnya pengukuhan Daulah/Kesultanan Islam di Nusantara berlangsung an-
tara. abad XV (awal abad XVI) sampai dengan XVIII M, untuk selanjutnya
pcngukuhan daulah Islam Nusantara pada abad-abad berikutnya lebih banyak
sebagai hasil rekayasa Belanda .

TERMATE,D
TIOORE
t rak
on
,en y a Y
1,
:
> Q
n 0
3ANJM F1
' "
-01-

41AKASAM
OEMAK r,(}gATALL Suon
Bt Hitu ~-
a _ MATAHAM " Selaparang,,,
V

Kesultanan Islam Nusantara (XV - XVIII M )

Dalam perjalanan sejarah Islamisasi Nusantara, terdapat satu bukti bahwa


ummat/agama Islam dapat berkoeksistensi di tengah perbedaan . Satu contoh
adalah kehadiran komunitas muslim di dekat Ibukota Majapahit Trowulan, yaitu
di Troloyo masih dapat diamati adanya kompleks makam orang-orang muslim sejak
awal abad XV M . Hal tersebut setidaknya membuktikan hadirnya kehidupan
bercorak Islami dengan satuan yang tentu nya jauh lebih besar daripada populasi
makam, di tengah- tengah komunitas Hindu-Buddha .
3 .2 . Adaptasi Budaya
Islam merupakan agama yang sangat togas dalam masalah iman (aqidah) dan
Keesaan Tuhan (tauhid) serta ibadat . Tetapi dalam masalah-masalah
kemasyarakatan Islam dapat akomodatif . Sikap akomodatif itu tampak antara lain
pada berbagai firman Allah SWT, yaitu :
1 . manusia itu diciptakan berbangsa-bangsa/bersuku-suku supaya soling mengenal
(QS AL Hujarat : 13) ;

2 . dan janganlah mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya (QS Al An'aam :


52);

3. menyeru manusia kepada jalan Tuhan dengan hikmat (membedakan yang hak
dun bathil), pelajaran yang baik dan bantahlah dengan balk (QS An Nahl : 125);

8
4. agama Islam bukan sebagai suatu kesempitan (QS Al Hajj : 78) ;

5. memutuskan urusan dengan nzusyawaralz (QSAsy Syuura : 38) ; dan sebagainya .

Demikian pulalah sikap Islam terhadap adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah aqidah dan tauhid .
Maka di Nusantara komunitas Islam tumbuh-berkembang dari kantung-kantung
pemukiman berskala kecil (enclaves) sampai pada tingkat kota dan bahkan tingkat
kerajaan/daulah/kesul tanan, terjadi adaptasi mutualistis yang menyebabkan
penvia ran Islam di Nusantara bukan dengan kekerasan, tetapi dengan jalan damai
(penetration pacifique) . Dalam kondisi demikian adalah tidak mengherankan
apabila penyebaran Islam di Jawa misalnya, antara lain dilakukan dengan
menggunakan media kesenian wayang .
Para penguasa pantai berhubungan dan bergaul dengan para pedagang muslim,
yang tentunya di antara mereka itu ada mubaligh atau guru-guru khusus yang
sebenarnya . Biasanya para mubaligh tersebut mendirikan mesjid sebagai tempat
peribadatan umum, dan selanjutnya mendirikan pesantren . Beberapa di antara
mereka kawin-mawin dengan penduduk pribu mi dan kemudian beranak-pinak,
lantas lambat laun terbcntuk komunitas muslim .
Para penguasa pesisir (bupati/adipati) kemudian memeluk Islam, sekaligus melin-
dungi pusat-pusat keagamaan di daerah nya . Di antara mereka mcngangkat guru-
guru untuk keluarga, menjadi penasehat rohani, dan bahkan mengangkatnya pada
berbagai jabatan tinggi di kerajaan . Dan akhirnya bahkan ada yang menjadi raja .
Pesantren menjadi pusat intelektual pemasok (supplier) para calon pemimpin
kerajaan/penguasa, tetapi adakalanya pula pesantren menjaga jarak dan-bahkan
bersikap konfrontatif terhadap kerajaan, apabila para pen guasa kerajaan
melanggar kaidah-kaidah Islami yang telah disepakati .
Pada mesjid-mesjid awal Islam di Nusantara (Demak, Sendang Duwur,
Kasepuhan, Banten dan lain-lain) menunjuk pada gaya arsitektur asli : berdenah
bujursangkar, beratap tumpang, kadang ada kolam mengelilingi serambi, mihrab
berbentuk lengkung hiasan kala-makara, pintu gerbang berbentuk bentar atau
paduraksa seperti pada keraton atau candi dan sebagai nya . Konstruksi, struktur
dan tata-ruang makam juga tak jauh berbeda dengan konstruksi, struktur dan
tata-ruang bangunan suci pra-Islam, begitu pula ragam-ragam hias terapannya .
Pada berbagai contoh proses adaptasi tersebut para seniman lokal mengubah dan
menggubah masukan Islami sepanjang tidak bcrtentangan dengan aqidah dan
tauhid . Pada upacara peringa tan Maulid Nabi Muhammad SAW sering dimainkan
gamelan, dalam permainan wayang disisipkan tokoh/ pahlawan Islam, sastra In-

9
donesia ditulis dengan huruf Arab, atau sebaliknya . Dalam tradisi hukum, misalnya
Mukeuta Alam tampak perpaduan hukum adat Aceh dan Islam .
Penganut Islam di Indonesia terbagi dalam golongan atau madhab (Syafi'i, Hanafi,
Hambali, dan Malik) . Perbedaan antar mashab/madhab itu umumnya pada syari'at
khususnya mu'amalat, seperti perkawinan, hukum waris, perniagaan, perjanjian,
urusan negara dan sebagainya .
Namun demikian di berbagai wilayah di Nusantara berkembang tradisi Syi'ah
seperti di Minangkabau dan Bengkulu, yang menandakan corak aliran sosialisasi
Islam di berbagai daerah itu . Di kedua tempat tersebut dirayakan hari wafatnya
Hus sein di Padang Karbela pada setiap tanggal 10 Muharram . Sedangkan di Jawa
dan Aceh masyarakat merayakannya pada tanggal 1 Sura (Asyura) antara lain
dengan hidangan "Bubur Sura" . Sementara itu di Pidie dan Pariaman diarak tabut
sebagai lambang keranda jenazah Hussein .
Masyarakat Nusantara juga mengenal
berbagai aliran tareqat, misalnya
Qadariyah, Naqsayabandiah, Sam-
maniah, Qusyasyiah, Syattariah,
Syaziliah, Khalwatiah, dan Tijaniah .
Pertengahan abad XVI Masehi sampai
dengan awal abad XVII M, berlangsung
integrasi Nusantara yang antara lain
ditujukan untuk menghadapi ancaman
bangsa Eropa, yang makin lama memper-
lihatkan kecenderungan mendominasi
bidang ekonomi, politik dan militer . Ini
misalnya diujudkan dengan pengua saan
sebagian besar Pulau Jawa di Mataram,
hubungan balk antara Mataram dengan
Gowa, persekutuan Bone, Wajo dan Sop-
peng . Begitu pula pcngaruh Banten di
Lampung dan Bengku lu, serta per-
sekutuan kerajaan-kerajaan kecil di Nusa
Teng gara Barat dan Maluku . Yang jelas,
menjadi bukti sejarah, ialah digunakan-
nya bahasa Melayu sebagai pengantar
pergaulan Nusantara dan Internasional
Salah satu bentuk nisan
(lingua-franca) .
di Watansoppeog Sulawesi
Selatan

10
BAB II
MAKAM SULTAN DAN PARA WALL
PENYEBAR ISLAM DI JAWA

1 . Tokoh Sejarah Islam di Jawa


Kehadiran makam-makam Islam di Jawa erat hubungannya dengan masalah
kedatangan, sosialisasi, pertumbuhan serta memuncak nya pranata agama Islam
dalam berbagai strata kehidupan rohani dan jasmani (kultural) masyarakat Jawa .
Orang-orang muslim dari berbagai kawasan India, Arab, dan Parsi telah men-
gadakan kontak dengan komunitas Jawa atau Nusantara pada abad-abad VII-VIII
M dan abad-abad sesudahnya .
Tanda kedatangan Islam di Jawa tampak jelas dari adanya kubur di daerah Leran,
Gresik, sebelah barat Surabaya . Salah satu nisan makam dalam kompleks tersebut
berangka tahun 475 Hijrah atau 1082 Masehi dengan nama wafat Fatimah binti
Macmun bin Hibatallah .
Makam yang scrupa ini terdapat di Padurangga (Phanrang) di Vietnam . Keduanya
memiliki tulisan bergaya Kufique . Inskrip si nisan di Phanrang berbunyi : "Ahmad,
anak Abu Ibrahim, anak Abu 'Arradah, yang Rahdar, nama samaran Abu Kmil,
yang meninggal dunia pada malam Kamis 29 Safar empat ratus tiga puluh satu"
(1039 M) . Ada sebuah lagi inskripsi nisan dari Phanrang yang berisi ungkapan-un-
gkapan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembayaran cukai, hutang
dan sebagai nya .
Iii balik bidang yang berangka tahun pada nisan Fatimah, terdapat petikan OS Ar
Rahmaan ayat 55 . Petikan ayat terse but mengandung unsur-unsur sufi, lama halnya
dengan petikan ayat yang didapati pada nisan Malik As-Shalih (1326 M) di Aceh .
Petikan ayat-ayat yang mengandung unsur-unsur sufi tersebut diduga memiliki
korelasi kuat dengan aliran/pembawa agama Islam pada awalnya di Indonesia .
Masih di Gresik, 4 abad berikutnya, didapati pula bukti inskripsi/prasasti berak-
sara gaya kufique, nisan dibuat dari batuan marmer yang diduga berasal dari
Gujarat (Cambay) . Nisan tersebut berangka tahun 822 H (1419 M) . Terdapat
dugaan tokoh yang bernama wafat Maulana Malik Ibrahim bukan lah pribumi
Jawa/Nusantara tetapi adalah seorang muba ligh/guru agama dari luar, mungkin
dari Gujarat, Parsi atau bahkan dari Arab .
Tokoh ini merupakan guru agama/penyebar Islam yang tak asing di Jawa, yang
seringkali dikaitkan dengan beberapa peristiwa aneh, serta merupakan salah

11
seorang wali di antara Wall Songo (wali
sembilan) para penyebar Islam di Jawa
pada masa akhir dan menjelang Majapahit
runtuh .
Meskipun Maulana Malik Ibrahim ada
yang menduga berasal dari Gujarat (Cam-
bay) atau tempat lain di India, namun gaya
hias dan tulisan pada inskripsi nisan, amat
dipengaruhi oleh gaya hias dan tulis dari
Persia (Iran) . Hal inipun membuka pel
uang munculnya spekulasi mengenai
daerah asal kedatangan Islam di Jawa
ataupun di Nusantara .
Masih di daerah Jawa Timur, di Troloyo
dekat Trowulan bekas Ibukota Majapahit
menjelang keruntuhannya, terdapat
sebuah kompleks makam di desa Sen-
tonorejo . Areal makam sangat luas, ber-
pagar dan setiap kelompok makam juga
berpagar .
Nisan Makam Pada bagian baratlaut terdapat kelompok
Maulana Malik Ibrahim, makam raja Majapahit yang telah memeluk
Gresik, Jawa Timur
agama Islam, yang dapat ditandai oleh
diukirkannya lambang surya (matahari Majapahit) serta angka tahun, sebagian
besar berasal dari abad XV M .
Di bagian lain terdapat pula sekelompok makam yang diperca yai oleh penduduk
setempat sebagai makam para sunan (yang sembilan) penyebar Islam di Jawa .
Seiring dengan semakin tumbuh dan berkembangnya Islam di daerah pesisir,
kerajaan Majapahit lambat laun menuju kerun tuhannya, antara lain akibat (a)
pertentangan intern, (b) pemberontakan para bupati, (c) daerah-daerah pesisir
mele paskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan padahal daerah- daerah tersebut
secara ekonomi sangat potensial bagi kelang sungan kerajaan . Raden Patah yang
sebenarnya adalah salah seorang putera raja Majapahit, setelah memeluk Islam
kemud ian mukim/berkuasa di Demak . Menurut tradisi, Raden Patah dibantu para
wali mendirikan mesjid Demak, yang salah satu tiang utamanya dibuat dari tatal
yang berasal dari keraton Majapahit .
Raden Patah wafat pada tahun 1518, digantikan putranya Pati Unus (Pangeran
Sabrang Lor) yang pernah menyerang Malaka dan wafat pada tahun 1521, dan
untuk selanjutnya digantikan oleh Sultan Trenggono (1521-1546 M) . Sultan Demak

12
ini berhasil mengembangkan kekuasaan Demak, antara lain dengan membendung
Portugis dan menguasai daerah Pasai .
Di Pasai terdapat seorang ulama
terkemuka yang bernama Fatahillah
(Faletehan) yang melarikan diri ketika
dikejar Portugis, dan kemudian diterima
oleh Sultan Trenggono . Setelah berhasil
menguasai Jayakarta yang pada saat itu
be lum Islam, kemudian Fatahillah den-
gan dukungan Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah) membebaskan Sunda
Kelapa (1527), kemudian juga mengakui
eksistensi Kesultanan Banten . Panger an
Trenggono, sultan Demak ke-3 wafat
pada tahun 1546 ketika melakukan
penyerangan ke Pasuruan (Jawa Timur) .
Sepeninggal nya, di Demak berulang kali
terjadi pembunuhan antar keluarga
kesultanan .
Fatahillah (Faletehan) karena kemenan-
gannya alas penguasaan Sunda Kelapa,
kemudian memberi nama Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta . Cirebon oleh Sunan
Nisan Makam Maulana Yusuf Gunung Jati diserahkan pada puteranya
Pakalangan Gede, Kasemen, Pangeran Pasarean, sedangkan Banten
Sernarang .
diserahkan pada puteranya yang lain
yang kemudian bergelar Sultan
Hasanuddin (1552-1570) .
Sunan Gunung Jati juga dikenal sebagai salah seorang dari sembilan wali penyebar
Islam di Jawa . Menurut tradisi setem pat, di Jatinegara Kaum (Jakarta Timur)
terdapat kompleks makam yang dikenal sebagai makam Pangeran Jayakarta .

2. Sistem Pemakaman Islam


Salah satu aspek kesinambungan dalam tata-cara pemakaman di Jawa ialah
penggunaan bukit atau gunung sebagai tempat pemakaman yang dianggap suci .
Tradisi yang berasal dari masa pra-Islam ini berlanjut bahkan sampai sekarang . Bila
di pedataran maka areal pemakaman tersebut ditinggikan, seba gaimana penem-
patan bangunan prasejarah ataupun candi . Aspek sinambung lainnya ialah pola-
pola penempatan makam bagi tokoh yang amat/paling dihormati. Yaitu bila tidak
di bagian pusat (centre) kompleks pemakaman, biasanya ditempatkan pada bagian

13
f .3

. .- " /V / ie5a ASt1na \ .


\'' S

}\ ~ \

nq
n J'm

-b
t

tr-a` to-)ow iAA, +4 ;a

20 n clan
10

Kontur dan Tata Ruang Kompleks


Makam Gunung Sembung
dan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat

paling belakang atau paling tinggi . Ini masih tampak misalnya pada pola-pola tata
ruang makam di Imogiri (Kesultanan Yogyakarta) atau di Astana Anyar
(Kesunanan Surakarta) .
Sunana Gunung Jati merupakan tokoh yang menurunkan sultan- sultan Cirebon
berikutnya, sampai kesultanan tersebut terpe cah dua menjadi Kasepuhan dan
Kanoman .
Bukit makam Sunan Gunung Jati dibuat berundak/bertingkat sembilan . Para
peziarah hanya diizinkan memasuki sampai tingkat tiga .
Kesultanan Islam Awal di Jawa selain di Demak (yang kemudian pindah ke Pajang,
Mataram dan akhirnya pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan
Surakarta akibat perjanjian Gianti), kemudian Cirebon dan Banten . Banten
merupakan satu kesultanan di Jawa pada masa Islam Awal, kemudian kekuasaan
nya berkcmbang, dihormati di kawasan Asia 'Ihnggara, menjadi bandar vital bagi
kawasan tersebut, serta dikenal pernah menyelenggarakan hubungan diplomatik
dengan beberapa negara Eropa, khususnya ketika menghadapi ancaman Belanda .
Perkem bangan kesultanan Banten tak lepas hubungannya dari jatuhnya Malaka
ke tangan Portugis .

14
BAB III
NUANSA MADAM-MADAM DI LUAR JAWA

Pertumbuhan dan perkembangan sosialisasi Islam di Jawa, beserta dampak ikutan-


nya, secara makro senantiasa memiliki hubungan dengan luar Jawa . Seperti pada
peta aliran masuknya Islam yang dikemukakan pada paparan bagian terdahulu,
diduga kuat bahwa Islam masuk ke Nusantara adalah dari Aceh . Meski pun untuk
itu tidak tertutup kemungkinan adanya aliran (melalui kedatangan kapal-kapal
dagang/musafir) yang langsung misalnva ke Tuban, Giri, Banjar, Ternate dan
sebagainya . Ini disebabkan bahwa Aceh bukanlah satu-satunya pelabuhan dagang
tujuan, tidak sebagaimana misalnya Banten, Thban, Gresik, Kalapa, Makassar,
Ternate dan sebagainya . Boleh jadi Barus pernah
jadi sandar pelayaran
samudra pada masanya .
Karena itulah, hipotesis
aliran masuk Islam ke
Nusantara mclalui
Acch kemudian men-
jadi dua aliran, ialah
melalui pantai barat dan
timur Sumatera .
Namun ada pula dugaan
bahwa agama Islam juga
dibawa dari arah utara,
mengingat pada abad
II-III Hijrah, salah satu
tempat di Daratan Cina
diberitakan sebagian
penduduknya telah
menganut agama Islam,
seperti tampak pada
pertanggalan beberapa
inskripsi nisan . Sejauh
ini dugaan terakhir
tersebut belum dikaji
secara mendalam .

15
Dari aspek cpigrafis, Dr . Hasan Muarif Ambary berpendapat adanya perbedaan
(a) hukti .bukti epigrafis masukan anasir asing, dan (h) bukti-bukti cpigrafis yang
menonjolkan krea tivitas lokal (1991 : 6) . Bcgitu pula halnya dengan bentuk jirat
ataupun nisan, ada yang menampilkan (a) tipologi umum Nusantara serta
menycrap unsur asing, dan (b) tipologi yang menonjolkan kreativitas corak/lokal .
Di Kutakarang, Samudra, Aceh Utara terdapat sebuah nisan yang scrupa bahan
dan bentuknya dengan nisan Maulana Malik Ibrahim, yakni nisan dengan nama
wafat Nahrisyah dengan tahun wafat 831 H (1428 M), dibuat dari bahan marmer,
men gandung silsilah raja-raja nenek moyang Nahrisyah sampai dengan Sultan
Malik Ash Shalih . Inskripsi ditulis dengan gaya Kafique . Nisan ini sepenuhnya
menyerap anasir acing. Sebaliknya bentuk-bentuk dan hiasan nisan makam-makam
di Barus, termasuk nisan yang bertutisan nama Siti Tbhar Ami surf (696 H/1297 M)
dan nisan-nisan yang termasuk kategori "batu Aceh" memperlihatkan penonjolan
anasir/gaya lokal, misalnya di Barus tampil bentuk-bentuk anthropomorphic . Hal
tersehut tampak pula pada bentuk-bentuk nisan yang tersehar di Kabupaten Solok,
Tanah Datar dan Agam di Sumatera Barat . Di sebagian propinsi ini, tampak
menonjol penampilan anasir- anasir megalitis dan Hinduistis . Tipe-tipe nisan
tersehut dengan jelas tampak se bar annya di situs-situs
megalit Kabu paten Lima Puluh Koto dalam fungsinya
sebagai menhir (?) .
Tipc tipe "batu Aceh" dikenal
Was di Nusantara, seperti
dikemukakan

Beberapa Tipe Nisarn WAX?) Islam di


Sumatera Baiat

dalam kajian Hasan Muarif Amhary (1984) maupun Othman Mohd . Yatim
(1986), balk di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, dan Sumhawa .
Meskipun tentu dengan catatan tidak scluruh unsur tips Acch tersehut tercakup
dalam pcta scharan .

16
Di luar Indonesia, tipe tersebut tampak sebarannya di Thailand Selatan, Malaysia
dan Brunei Darussalam, dan mungkin terdapat pula di Philippina selatan .
Tipe "batu Aceh" di Sumatera, didapati di Pulau Penyengat, Pulau Bintan, Palem-
bang dan Lampung . Sementara itu makam- makam di daerah Sulawesi Selatan
umumnya memperlihatkan corak lokal, kaya akan hiasan floralistik, anthropomor-
phic, dan beberapa di antaranya menyerap unsur-unsur megalitis . Misalnya
penggunaan arca-arca manusia sebagai nisan, dengan jirat makam yang
menyerupai konstruksi serta struktur percandian .
Simbiosis anasir pra-Islam dan Islam pada sejumlah makam di Sulawesi Selatan,
mungkin analog dengan hal yang terjadi pada kompleks makam di Solok, Tanah
Datar dan Agam di Sumat era Barat . Bila "referensi" bentuk nisan makam-makam

Kompleks Makam Raja-raja Watang


Lamuru, Sulawesi Selatan

Islam di daerah-daerah tersebut, mengacu pada bentuk-bentuk menhir di situs-


situs Kabupaten Lima Puluh Koto yang megalitis ; maka di Sulawesi Selatan,
arca-arca yang digunakan sebagai nisan makam Islam, bentuk dan pcnggayaan
arca-arca nisan tersebut sangat serupa dengan bentuk dan penggayaan relief- relief
manusia yang dipahatkan pada sarkofagus "waruga" di Minahasa yang megalitis .
Ada dugaan terhadap gejala simbiosis tersebut, bahwa keadaan demikian sangat
boleh jadi oleh rendahnya pengaruh anasir budaya yang bercorak Hinduistis .
Sehingga dalam perjalanan sejarah kebudayaannya mengalami semacam "lom-
patan" dari fase prasejarah ke fase Islam, meskipun terdapat "celah" masuknya
anasir budaya Hinduistis akibat kontak-kontak yang terjadi .
17
Di samping itu pula, dacrah Sulawesi Selatan mengembangkan kreativitas "lokal",
balk dalam varian nisan berbentuk "hulu-keris" (yang banyak dijumpai pula di
Sumatera Barat), nisan dengan pcnuh hiasan floralistik dan acapkali bersifal
anthropomorphic (yang juga dijumpai di Barus, Selaparang, Bima dan Ternate),
atau juga bingkai nisan dalam bentuk "gunungan" (yang dijumpai pula di Madura,
Gresik, Selaparang dan Bima) . Tetapi nisan varian "hulu-keris" memang amat me
nonjol di Sulawesi Selatan, yang diperkaya balk dengan hiasan-hiasan floralistik,
geometris ataupun kaligrafi .
Krcativitas lainnya di Sulawesi Selatan adalah dipahatkannya aksara lontara dan
kadang-kadang bersamaan dengan aksara Arab pada sejumlah nisan . Hal yang
sama dengan variasi lain, tampak di Troloyo (aksara Jawa), Bima dan Ternate

(aksara Arab bahasa Melayu) dan sebagainya.


Bagaimanapun, corak lokal merupakan ujud dari "kebebasan" seniman ataupun
"modes" yang dikembangkan/berkembang dalam mengekspresikan cita rasa
keseniannya . "Kebebasan" tersebut tentunya dipengaruhi pula olch otoritas "elite"
yang memesan atau menggunakan karya seniman . Seni rancang-bangun Islam
Nusantara, sebagaimana pendahulunya, merupakan seni istana yang memayungi
kebesaran raja beserta sistem yang dibawahinya . Disini pula dapatlah dinyatakan
bahwa permanensi etnologis tetap berlangsung, apapun intensitas serta tingkat
keberagaman anasir asing yang masuk ke dalam tatanan budaya setempat .
Salah satu kesultanan Islam di Sulawesi Tenggara adalah Kesultanan Buton, yang
berpusat di dalam Benteng Wolio Desa Melai, Kecamatan Betoambari, Kotif
Bau-Bau, berjarak 3 km dari pusat kota Bau-Bau . Di dalam benteng yang memiliki

18
panjang ketiling lebih dari 2 .700 meter ini, pernah berpusat daulah Islami yang
bertahan dalam kurun waktu 400 tahun, terhitung sejak kerajaan tersebut belum
masuk Islam .
Masa kelangsungan kerajaan lebih dari 400 tahun itu saja sudah cukup menarik
(jika hitungan itu benar), mengingat dalam tradisi di Jawa sering dipercaya adanya
"siklus 200 to hunan", kelangsungan sesuatu kerajaan/dinasti . Sultan perta ma Buton
adalah Khaimuddin (dikenal juga dengan sebutan Sul tan Marhum, dari asal kata
Almarhum) yang memerintah dari tahun 1542-1568 sampai pada pemerintahan
sultan terakhir, yakni Sultan Muhammad Falihi (1938-1960) .
Dokumentasi rind mengenai makam-makam kesultanan Buton sejauh ini belum
lengkap/dipublikasikan . Namun terdapat satu kompleks makam tua yang terletak
di desa Masiri, di atas Bukit "Gunu Ombo", 32 km dari Bau-Bau . Menurut tradisi
se tempat, makam besar ini (dikatakan berisi 41 orang/jenazah) adalah makam dari
orang-orang Majapahit . Kedua batu nisan makam besar tersebut berjarak 13
meter . Salah satu nisan, merupakan bentuk kasar tipe Kala-Makara, yang
merupakan ge jala umum dalam kelompok nisan tipe Demak Troloyo . Daulah Islam
lainnya di wilayah Indonesia Timur adalah Selaparang, Bima, Ternate, dan Tidore .
Di Pulau Ternate terdapat dua kompleks makam kesultanan, yaitu yang terletak di
Foramadyahe (Sultan Baabullah serta Sultan Khairun), dan kompleks makam di
dekat Mesjid Agung Ternate (para sultan yang memerintah pada abad XVIII-XIX
M) . Pada kompleks makam yang pertama, nisan-nisan tak berhiasan (plain),
sementara pada kompleks yang kedua memiliki hiasan yang sangat beragam, balk
berupa kaligrafi maupun pahatan motif floral, dan ada pula yang berbentuk
anthropomorphic. Angka tahun tertua di kompleks kedua ini adalah abad XVIII
M dan yang termuda adalah 1941 (tahun wafat Sultan Ternate terakhir) .
Pola hias floralistik nisan Ternate adalah khas Ternate, yang memiliki persamaan
dengan pola hias Polinesia. Salah satu makam tertua Ternate adalah makam Sultan
Sirajul Mulk Amiruddin Iskandar Qaulain, yang wafat pada hari Sabtu 10 Syawal
1213 H atau 13 Maret 1799 M .
Jadi, pada dasarnya seni rancang bangun dan seni bias makam adalah produk seni
yang bersifat elitis, yang diterapkan pada makam kalangan atas dan raja
(necropole), terbatas (bukan kemasan atau kist), karena produk itu juga dimaksud
kan untuk mengingatkan harkat, martabat, sekti dan magi serta kharisma raja/sul-
tan, karena raja/sultan juga sekaligus menjadi pengatur dan pelindung agama (Sang
Panatagama), wa liullah untuk urusan dunia dan agama, sekaligus menjadi san
daran harapan serta penyambung rahmat . Karenanya tak jarang apabila banyak
makam sultan Islam di Jawa dan Nusantara men jadi pusat peziarahan, berdzikir
memuji Allah SWT, sekaligus mengharapkan ridho dan keberkahan .

19
BAB IV
PENUTUP

Kajian terhadap konstruksi, struktur, tata-ruang, tipologi bentuk, ragam dan gaya
seni-hias makam-makam kesultanan Islam dan para wali penyebar Islam di Jawa,
dan kemudian dibandingkan dengan gejala penyebaran makam Islam di luar Pulau
Jawa, dapat memberikan rekonstruksi berbagai aspek ke sejarahan dan kepur-
bakalaan, dalam dimensi ruang, waktu, dan budaya .
Makam adalah salah satu aspek dalam sub-sistem religi dalam totalitas suatu sistem
budaya, namun dari satu aspek terse but, kajian secara kualitatif dan komprehensif,
dapat mem berikan signifikansi kesejarahan yang cukup andal (valid) . Ini disebab-
kan antara lain, bahwa makam/kubur sebagai salah satu produk ideo-teknik,
keberagaman dan perubahan-perubahan yang terjadi pada pranata makam/kubur,
akan mencerminkan pula keberagaman serta perubahan-perubahan dalam sub-sis-
tem religi .
Satu contoh, kajian Dr . Hasan Muarif Ambary (1985) terhadap nisan/maesan
makam-makam Islam dapat menghasilkan tipologi dan persebaran dalam kelas-
kelas bentuk utama berikut var ian-variannya, menyimpulkan adanya maesan/nisan
tipe-tipe : (a) Aceh, (b) Demak Troloyo, (c) Bugis-Makassar, dan (d) bentuk-ben-
tuk lokal . Sementara itu pula dari segi gaya tulis inskripsi yang dipahatkan pada
nisan/maesan, Hasan Muarif Ambary (1991), dapat memperlihatkan korelasi an-
tara gaya penulisan dan bentuk-bentuk nisan/maesan ke dalam (a) nisan/maesan
dengan unsur kaligrafi dan tipe nisan berpenga ruh dominan asing, dan (b)
nisan/maesan dengan unsur kali grafi dan tipe nisan dalam ujud penam-
pilan/penojolan kreativitas lokal, (c) nisan/maesan dengan kaligrafi abad-abad
XVI-XIX Masehi .
Sedangkan Othman Mohd . Yatim (1986) yang mengkaji nisan tipe yang sering
disebut dengan "batu Aceh", dapat menggo longkan sebaran nisan tipe yang sama
di Malaysia ke dalam dua kelompok besar, yaitu (a) nisan tipe batu Aceh yang
berpenanggalan sebelum jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, dan (b) setelah
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis sampai akhir abad XIX M . Selain itu,
Othman menyimpulkan bahwa (a) Semenanjung Malaysia merupakan pasar
eksklusif dari nisan "batu Aceh" sebagai komoditas, (b) sebaran nisan-nisan tipe
"batu Aceh" yang begitu luas di Malaysia mempertunjukkan kuatnya ikatan sejarah
dan kultural antara Aceh dan Malaysia pada masanya .
Salah satu sisi pada latar belakang sejarah budaya Nusantara, ialah begitu "per-
missive" terhadap anasir apapun yang datang dari luar . Kreativitas mengubah dan

20
menggubah anasir acing menjadi anasir Nusantara, merupakan strategi adaptasi
dalam proses seleksi, sampai disosialisasikan sebagai pranata perilaku
Karen itu putaiah, maka komunitas Nusantara tidak pernah menolak anasir asing,
tetapi itu harus melampaui proses "pengayakan", pengimbuhan, pengubahan dan
sebagainya. Sehingga ada menara mesjid berdiri di atas bangunan candi, kaligrafi
Arab dalam bentuk punakawan atau tokoh tertentu, peristiwa Maulid Nabi diperi -
ngati antara lain dengan menbuh gamelan, adanya peringatan 3, 7,40,10 ; hari, satu
tahun, dan 1000 hari kematian seseorang, tak pernah dikenal dalam Islam
sebagaimana ketika datang ke Nusantara . Belum terhitung lag kaligraf pada
berbagai media, beraksara Arab tetapi berbahasa setempat (Mela .vu, Lampung,
Bugis, Sunda, Jawa, Madura dan sebagainya) .
"Pameran Foto Makam Kesultanan Islam dan Para Wali Penyebar Islam di Jawa",
yang kemudian dibandingkan dengan variasi- variasi di luar Pulau Jawa, sepertinya
senantiasa mengingat kan, bahwa anus informasi dari luar sungguh tak perlu dita
kuti/dicemaskan dan dijadikan semacam phobia . Sejarah membuktikan bahwa
ketahanan kultural bangsa Indonesia, justru terletak pada kemampuannya
menyeleksi, mengadaptasi pads kebutuhan lokal, dan baru setelah melarapaea
proses dan waktu yang panjang disosialisasikan ke dalam pra ata perilaku .
Sejarah membuktikan pula bahwa ketangguhan dan kemampuan seleksi serta
adaptasi bangsa Indonesia itu, terutamanya lebih bersifat alamiah, intuitif dan
andal. Sejarah membuktikan sosio-kultural ban&sa Indonesia, tidak artifisial dan
tak pernah "jalan di tempat", tapi selalu berwawasan ke depan .

M•.
atit~a

21
KEPUSTAKAAN

Ambary, Hasan Muarif, 1975, "The Establishment of Islamic Rule in Jayakarta",


Aspects of Indonesian Archaeology, No . 1, Jakarta : Depdikbud .

, 1982, "Rapport preliminaire sur les manuscripts ; ans et les vestiges


epigraphiques de Ternate et Tidore", Archipel, 23 : 135-148 .
, 1984, L'Art Funeraire Musulman en Indonesie des Ori gives air IX-eme me
Siecle, Disertasi EHESS, Paris, (Perancis)

, 1986, "Unsur Tradisi pra-Islam pada Sistem Pemakaman Islam di


Indonesia", Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV,', Jakarta : Depdikbud, 139-
160 .
Tjandrasasmita, Uka, 1961, "The Sea Trade of Moslem to the Eastern and the
Rise of Islam in Indonesia", Studies in Asia History : Proceedings of the
Asian Historians Congress, London : Asia Publishing House, 92-97 .

1964, "Tinjauan tentang Arti Seni Bangunan dan Seni Pahat Dua Buah
Gapura Besrsayap dari Kepurbakalaan Islam di Sendang Duwur", MSI,
11 (2), Jakarta : Universitas Indonesia, 155-168 .
, 1977, "Riwayat Penyelidikan Kepurbakalaan Islam di Indonesia", 50
Talu n Lembaga Purbakala dart Peninggalan Nasional Jakarta : Depdik-
bud, 107-135 .
Othman Mohd . Yatim, 1982, "Ancient Gravestones-Unique Islamic Mortuary
Art in Malaysia", Art of Asia, September-Oktober,m 79-86 .
, 1986, "The Historical and Cultural Relationships Between Peninsular
Malaysia and Aceh in the XV-XIXth Century as Attested by Batu
Aceh", Perteinuan Iliniah Arkeologi IV, , Jakarta : Depdikbud, Jilid I,
273-304 .

22

Anda mungkin juga menyukai