Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi masyarakat Indonesia pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda


mengalami keterpurukan dikarenakan sistem tanam paksa, setelah sistem itu dihentikan
Pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem yang bernama Politik Etis yang
mengubah pandangan dalam politik kolonial Belanda yang beranggapan bahwa
Indonesia tidak lagi wingewest (daerah yang menguntungkan) menjadi daerah yang
perlu dikembangkan sehingga dapat dipenuhi keperluannya serta ditingkatkan budaya
pribuminya. Politik Etis memiliki tiga slogan yang disebut dengan Trias Politika yaitu
Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi yang memiliki pengertian sebagai berikut, pertama
Irigasi (Pengairan) dan Infrastruktur merupakan program pembangunan yang berguna
untuk meningkatkan produktivitas tanaman perkebunan agar tidak kekurangan air
meski dimusim kemarau, sehingga petani tidak hanya mengandalkan musim hujan dan
penduduk pribumi dapat bercocok tanam dan mendapatkan hasil pertanian yang baik.
Kedua Edukasi (Pendidikan) merupakan program peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan pengurangan jumlah buta huruf yang manfaatnya nanti berdampak baik
bagi Belanda. Lalu yang ketiga yaitu Emigrasi (Transmigrasi) merupakan program
pemerintah Belanda dengan cara membangun pemukiman-pemukiman baru di
Sumatera contohnya di Sumatera Selatan yaitu Belitang yang berfungsi untuk
mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa, karena perkembangan masyarakat di
pulau Jawa lebih cepat perkembangannya dibandingkan di Sumatera, selain itu
dikarenakan faktor dibukanya perkebunan-perkebunan baru milik Belanda yang
membutuhkan banyak sekali tenaga kerja untuk mengelolanya
(Poesponegoro,2010:24,26).

1
Perpindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa masih dikaitkan dengan upaya
mengatasi masalah kekurangan beras dan gula (pertanian dan perkebunan). Untuk itu
dipilihlah daerah-daerah dataran rendah yang dapat dialiri air Irigasi. Saat itu teknologi
Irigasi diyakini mampu meningkatkan produktivitas lahan. Masalah teknologi Irigasi
baru muncul setelah pemerintah kolonial Belanda menghadapi kesulitan dalam
menyediakan lahan subur dan layak untuk Transmigrasi (Mujahir,1985:216).

Dalam perjalanan sejarah Transmigrasi di Indonesia yang sudah mencapai satu


abad, sejak mulai dilaksanakan pada jaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1905
hingga saat ini, telah melalui berbagai masa pemerintahan dan kekuasaan yang
berbeda. Walaupun secara demografis pengertian umum dari Transmigrasi ini tetap
sama dari masa ke masa,yaitu memindahkan penduduk dari wilayah yang padat ke
wilayah yang kurang atau jarang penduduknya, tetapi dalam pelaksanaanya didasarkan
pada latar belakang, tujuan, dan kebijakan yang berbeda-beda, baik yang tertulis secara
resmi maupun terselubung. (Setiawan:2006:1).

Transmigrasi merupakan salah satu bentuk mobilitas spasial atau migrasi


penduduk horizontal atas inisiatif pemerintah yang hanya terjadi Indonesia, dan telah
menjadi program yang sudah diimplementasikan sejak lama. Tidak ada satu pun negara
lain yang menerapkan program Transmigrasi (Surwartapradja, 2002:122). Pengertian
yang lebih spesifik, Transmigrasi adalah kebijakan pemerintah Indonesia untuk
memindahkan penduduk dari pulau Jawa yang berpenduduk padat ke wilayah lain yang
berpenduduk jarang di luar Pulau Jawa (Petersen,1986:895). Namun demikian,
pengertian Transmigrasi telah berkembang menjadi beberapa jenis, ada istilah
Transmigrasi lokal yaitu pemindahan penduduk di dalam suatu pulau baik di pulau
Jawa sendiri maupun di luar pulau Jawa. Transmigrasi juga telah dilaksanakan di luar
pulau Jawa yang berpenduduk padat seperti pulau Lombok dan Bali ke pulau-pulau
lainnya (Setiawan:2006:2).

Periodisasi pelaksanaan Transmigrasi selama satu abad terakhir, dapat dibagi


menjadi tiga periode, yaitu (1) jaman pemerintahan kolonial Belanda, 1905-1941, (2)

2
masa pendudukan tentara Jepang, 1942-1945, dan (3) periode setelah kemerdekaan
Indonesia, 1945-2005. Dan pada jaman pemerintahan kolonial Belanda menjadi tahap
percobaan kolonisasi antara tahun 1905-1911, periode Lampongsche volksbanks pada
kurun waktu tahun 1911-1929, serta jaman depresi ekonomi dunia antara tahun 1930-
1941 (Handayani,1994:14). Sedangkan setelah jaman kemerdekaan Indonesia, dibagi
menjadi masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru, serta masa
reformasi.

Sejarah Transmigrasi di Indonesia dimulai sejak dilaksanakannya kolonisasi


oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1905 (Setiawan,1994:5). Kebijakan kolonisasi
penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa dilatar belakangi oleh: (1) Melaksanakan salah
satu program politik etis, yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah penduduk pulau
Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah. (2) Pemilikan tanah yang
makin sempit di pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah
menyebabkan taraf hidup masyarakat di pulau Jawa semakin menurun. (3) Adanya
kebutuhan pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di
daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar pulau Jawa (Mantra,1985:160).

Pemerintah kolonial Belanda mengadakan perpindahan penduduk dari pulau


Jawa ke luar Jawa, mengingat kondisi pulau Jawa yang semakin padat penduduknya.
Ada beberapa pemikiran mengapa penduduk terkonsentrasi di pulau Jawa. Menurut
pemikiran Mohr seorang ahli geologi dan tanah berkebangsaan Belanda, kepadatan
penduduk di pulau Jawa disebabkan keadaan tanah yang subur serta iklim yang
menguntungkan bagi pertanian (Mantra,1985:159). Sementara dalam pandangan
Fisher, ahli geografi berkebangsaan Inggris, adanya ketimpangan distribusi penduduk
antara pulau Jawa dan luar Jawa disebabkan oleh kebijakan pemerintah Belanda yang
Jawa sentris, sehingga pembangunan pusat-pusat pertumbuhan seperti pendidikan,
perdagangan, dan pemerintahan, juga prasarana pembangunan seperti transportasi,
komunikasi, dan Irigasi lebih terkonsentrasi di pulau Jawa (Hardjono,1977:7).

3
Pemerintah kolonial Belanda, pada pelaksanaan kolonisasi yang pertama tahun
1905, telah memindahkan 155 keluarga dari keresidenan Kedu Jawa Tengah menuju
daerah kolonisasi Gedongtataan di Lampung. Lembaga yang mengurus kolonisasi
adalah komisi inter departemen yaitu Centraal Commissie voor Emmigratie en
Kolonisatie van Inheemsen. Kontrolir H. G. Heyting sebagai inisiator memiliki
pemikiran yang cukup maju agar penduduk yang dipindahkan betah tinggal di daerah
baru dilakukan upaya mengkondisikan daerah tujuan (Sumatera) seperti suasana di
pulau Jawa (Handayani,1994:14).

Pada periode depresi ekonomi dunia yang terjadi antara tahun 1930 sampai
1941 ini bisa dikatakan lebih berhasil dibandingkan dengan peserta Transmigrasi
sebelumnya yang dilaksanakan pemerintah kolonial Belanda, walaupun masih ada
beberapa yang kembali ke pulau Jawa. Kondisi demikian memberikan daya tarik pada
masyarakat Jawa untuk ikut Transmigrasi dan pada akhirnya dikembangkanlah daerah
Transmigrasi baru di Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi,
dan Kalimantan. Depresi ekonomi dunia selain dirasakan oleh pemerintah juga
mempersulit kehidupan banyak penduduk di pulau Jawa, dengan kesempatan kerja di
Jawa yang semakin sulit untuk diperoleh dan himpitan untuk memenuhi kebutuhan
hidup semakin mendesak sehingga ketika mendengar cerita mengenai keberhasilan
orang-orang di seberang yaitu di daerah Transmigrasi mereka tertarik untuk
mengikutinya. Harapan memperoleh lahan pertanian yang luas menjadi motivasi utama
mereka untuk mengubah nasib yang disebabkan oleh kesulitan hidup di pulau Jawa
yang telah berpengaruh besar terhadap derasnya migrasi penduduk dari pulau Jawa ke
luar Jawa melalui Transmigrasi. Walaupun sebetulnya sistem bawon yaitu sistem bagi
hasil bagi pemilik tanah dan pengelola tanaman sebagai kebijakan Transmigrasi pada
periode ini dirasakan memberatkan, serta keluarga yang telah satu tahun bermukim di
daerah Transmigrasi harus bersedia menampung pemukim baru. Di daerah Irigasi yang
mulai dibangun tahun 1938 tiap keluarga baru harus ditanggung oleh tiga keluarga
lama, sementara di daerah tegalan atau daerah dengan lahan kering yang bergantung

4
pada pengairan air hujan satu keluarga baru ditanggung oleh empat keluarga lama
(Suratman,1979:379).

Transmigrasi di Sumatera Selatan pada masa pemerintahan kolonial Belanda


dilaksanakan di Residentie Palembang, kolonisasi ini dilaksanakan pada tahun 1937 di
Belitang yang letaknya di Onderafdeling Komering Ulu, Afdeeling Ogan dan
Komering Ulu dengan ditandai dengan kiriman kolonisasi pertama ke daerah tersebut
pada tanggal 17 Agustus 1937 yang luasnya kurang lebih 6,5 km sebelah timur dusun
Kurungan Nyawa menuju arah timur laut kearah dusun Cahaya Bumi. Dipilihnya
daerah tersebut dikarenakan wilayah tanah yang cukup subur serta daerah tersebut
dikelilingi oleh kedua sungai yaitu sungai Belitang dan sungai Macak yang akan
memenuhi kebutuhan akan air, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk
pertanian (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:1).

Sejak 17 Agustus 1937, Pemerintah kolonial Belanda mengirimkan


Transmigrasi di desa Kurungan Nyawa (OKU Timur). Proses pengiriman Transmigrasi
kedaerah-daerah kurang penduduk berakhir pada tahun 1942. Dengan adanya
Transmigrasi tersebut setahun kemudian, maka mulailah dibangun Irigasi pada tahun
1938. Dengan kondisi tanah daerah Transmigrasi yang tidak semuanya subur dan dapat
dialiri air, maka pembangunan Irigasi sangat berpengaruh dalam keberhasilan
produktivitas sawah dan perkebunan yang dampaknya memberikan keuntungan besar
bagi Belanda. Pertanian tidak akan maju tanpa adanya Irigasi. Oleh sebab itu,
pemerintah kolonial Belanda menginginkan Keresidenan Palembang (Sumatera
Selatan) menjadi lumbung beras setelah Jawa. Sehingga diperlukan teknologi Irigasi
yang dapat mendukung rencana tersebut. Pada tahun 1938-1942 dibangunlah Irigasi
sepanjang 40 km di Afdeling Ogan Komering Ulu (kini Ogan Komering Ulu (OKU)
Timur) yang letaknya di desa Kurungan Nyawa hingga BK 9 dikenal dengan nama BK
(Bendungan Komering) (Facrurozie, 1982:86). Pada masa pemerintahan kolonial,
Irigasi tersebut berfungsi untuk mengairi kebun tebu milik Belanda di wilayah Buay
Madang dan Belitang. Setelah pemerintahan kolonial Belanda berakhir pada tahun

5
1942, bendungan tersebut mulai dimanfaatkan rakyat setempat untuk lahan pertanian.
Kemudian dibangun saluran air yang merupakan cabang dari Bendungan Komering ke
dusun-dusun lainnya (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:2).

Dengan adanya Irigasi yang dibangun di Kurungan Nyawa ini mempengaruhi


kehidupan masyarakat yang datang ke daerah Belitang. Program kolonialisasi yang
didukung oleh proyek Irigasi pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda memberikan
peluang bagi daerah yang dianggap tidak memiliki sumberdaya alam yang besar,
seperti pertambangan untuk beralih mengembangkan pertanian dengan syarat demi
keberhasilan penanaman padi dan perkebunan mambutuhkan air, dan air dihasilkan
dari Irigasi untuk menghasilkan produksi padi yang stabil. Proyek ini cukup berhasil
dikarenakan daerah Belitang memiliki tanah dataran rendah yang memudahkan dalam
membangun jaringan Irigasi (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:2).

Ditinjau dari masalah yang sudah di jabarkan diatas penulis tertarik untuk
meneliti penelitian yang berjudul “Perkembangan Perekonomian Transmigran di
Belitang (1937-1942)”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan Transmigrasi di Belitang (1937-1942)?


2. Bagaimana dampak keberadaan Bendungan Komering terhadap lingkungan
sekitar?
3. Apakah ada hubungan antara perkembangan Transmigrasi di Belitang
dengan adanya Bendungan Komering dilihat dari aspek Sosial, Ekonomi dan
Politik?

1.3 Batasan Masalah

6
Agar pembahasan tidak terlalu luas, penulis merasa perlu memberikan batasan
masalah dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan
masalah dalam beberapa ruang lingkup, diantaranya:

1. Skup Tematikal
Pada skup tematikal, penulis membatasi pembahasan penelitian dengan
tema yang telah penulis tetapkan, yaitu perkembangan masyarakat yang
mengikuti program Transmigrasi di Belitang.
2. Skup Spasial
Pada skup spasial, penulis memberi batasan wilayah sesuai dengan
lokasi penelitian yang penulis ambil, yaitu di Belitang yang merupakan
wilayah kolonisasi pemerintah kolonial Belanda di Onderafdeling
Komering Ulu yang sekarang menjadi wilayah OKU Timur yang
khususnya didaerah Belitang.
3. Skup Temporal
Pada Skup temporal, penulis memberi batas waktu berdasarkan data
yang diperoleh dari Tahun 1937 Sampai 1942 karena proses Transmigrasi
dimulai pada tahun 1937 di masa pemerintahan kolonial Belanda dan
berakhir tahun 1942 ketika kekuasaannya digantikan jepang

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui proses perkembangan Transmigran di Belitang tahun


1937-1942

2. Mengetahui dampak yang terjadi dengan adanya Transmigrasi dan


Bendungan Komering di Belitang

3. Mengetahui Hubungan antara Perkembangan Transmigrasi dengan adanya


Bendungan Komering yang ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan politik

7
1.5 Manfaat Penelitian

Setelah diadakan penelitian ini manfaat yang diharapkan, adalah :

a. Akademis
Dapat dipergunakan sebagai referensi pembelajaran bagi Program Studi
Pendidikan Sejarah Universitas Sriwijaya dan bermanfaat untuk
menambah wawasan pengetahuan dalam mengkaji serta menjadi
referensi untuk mengetahui sejarah Sosial Sumatera Selatan khususnya
sejarah Sosial di Kabupaten OKU Timur.

b. Praktisi
1. Bagi lembaga, agar penelitian ini nantinya dapat dipergunakan
sebagai referensi untuk penulisan selanjutnya yang lebih relevan.
2. Bagi peneliti yaitu diharapkan menjadi tambahan bekal pengetahuan
dalam usaha mempersiapkan diri sebagai calon guru, dan penulisan
ini bermanfaat sebagai karya tulis dalam penulisan tugas akhir syarat
meraih gelar Strata-1(S1) serta menambah khazanah ilmu
pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Transmigrasi di Indonesia (1905-1942)

Dalam sejarah Transmigrasi di Indonesia yang sudah mencapai satu abad yang
dilaksanakan mulai pada jaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1905 hingga saat
ini, telah melalui berbagai masa pemerintahan dan kekuasaan yang berbeda. Walaupun
secara demografis pengertian umum dari Transmigrasi ini tetap sama dari masa ke
masa, yaitu memindahkan penduduk dari wilayah yang padat penduduknya ke wilayah
yang kurang atau jarang penduduknya, tetapi dalam pelaksanaanya didasarkan pada
latar belakang, tujuan, dan kebijakan yang berbeda-beda, baik yang tertulis secara
resmi dilaksanakan oleh pemerintah maupun dengan proses secara sendiri yang
dilaksanakan perorangan tidak melalui program dari pemerintah.
Transmigrasi merupakan salah satu bentuk mobilitas spasial atau migrasi
penduduk horizontal atas inisiatif pemerintah yang hanya terjadi di Indonesia, dan telah
menjadi program yang sudah diimplementasikan sejak lama. Tidak ada satu pun negara
lain yang menerapkan program Transmigrasi (Surwartapradja, 2002:122). Pengertian
yang lebih spesifik, Transmigrasi adalah kebijakan pemerintah Indonesia untuk
memindahkan penduduk dari pulau Jawa yang berpenduduk padat ke wilayah lain yang
berpenduduk jarang di luar Pulau Jawa (Petersen, 1986:895). Namun pengertian
Transmigrasi telah berkembang menjadi beberapa jenis, saat ini misalnya ada istilah
Transmigrasi lokal yaitu pemindahan penduduk di dalam suatu pulau baik di pulau
Jawa sendiri maupun di luar pulau Jawa. Transmigrasi juga telah dilaksanakan dari
pulau di luar Jawa yang berpenduduk padat seperti pulau Lombok dan Bali ke pulau-
pulau lainnya. Periodisasi pelaksanaan Transmigrasi selama satu abad terakhir, dapat
dibagi menjadi tiga periode, yaitu (1) jaman pemerintahan kolonial Belanda (1905-
1941), (2) masa pendudukan tentara Jepang (1942-1945) dan (3) periode setelah

9
kemerdekaan Indonesia (1945-2005). Deskripsi dalam tulisan ini membagi lagi jaman
pemerintahan kolonial Belanda menjadi tahap percobaan Transmigrasi antara tahun
1905 sampai 1911, periode Lampongsche volksbanks pada periode waktu tahun 1911
sampai 1929, serta fase depresi ekonomi dunia antara tahun 1930 sampai 1941
(Handayani, 1994:14). Sedangkan setelah jaman kemerdekaan Indonesia, dibagi
menjadi masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru, serta masa
reformasi.
Sejarah Transmigrasi di Indonesia dimulai sejak dilaksanakannya Transmigrasi
oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1905 (Setiawan, 1994:5). Kebijakan
Transmigrasi penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa dilatarbelakangi oleh: (1)
Melaksanakan salah satu program politik etis, yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah
penduduk pulau Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah. (2)
Pemilikan tanah yang makin sempit di pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang
cepat telah menyebabkan taraf hidup masyarakat di pulau Jawa semakin menurun. (3)
Adanya kebutuhan pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga
kerja di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar pulau Jawa
(Mantra,1985:160). Politik Etis yang mulai diterapkan pada tahun 1900 bertujuan
mensejahterakan masyarakat yang kebanyakan pendapatannya untuk memenuhi
kebutuhan melalui bertani yang telah dieksploitasi selama dilaksanakannya culture
stelsel (sistem tanam paksa). Sebab sistem tanam paksa tersebut secara empirik telah
menyebabkan orang-orang pribumi semakin menderita. Dari sisi ekonomi, telah
menyebabkan pula berubahnya sistem perekonomian tradisional ke arah pola
perekonomian baru (dualisme ekonomi),
Kondisi seperti itu telah menggugah kaum etisi Belanda seperti C. Th. van
Deventer mengkritisi kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam sebuah tulisan “A
Debt of Honor” dan merekomendasikan agar pemerintah Belanda memberi bantuan
untuk mensejahterakan penduduk di daerah jajahannya yang telah banyak memberikan
keuntungan melalui sistem tanam paksa. Selanjutnya, sebagai rasa tanggung jawab
moral pemerintah Belanda, di Indonesia diterapkan politik etis sebagai upaya untuk

10
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi yang mencakup program: (1)
emigrasi, (2) irigasi, dan (3) edukasi (Oey:1980:2-3).
Dalam kaitannya dengan emigrasi, pemerintah kolonial Belanda mengadakan
perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa, mengingat kondisi pulau Jawa
yang semakin padat penduduknya. Ada beberapa pemikiran mengapa penduduk
terkonsentrasi di pulau Jawa. Menurut pemikiran Mohr seorang ahli geologi dan tanah
berkebangsaan Belanda, kepadatan penduduk di pulau Jawa disebabkan keadaan tanah
yang subur serta iklim yang menguntungkan bagi pertanian (Mantra,1985:159).
Sementara dalam pandangan Fisher, ahli geografi berkebangsaan Inggris, adanya
ketimpangan distribusi penduduk antara pulau Jawa dan luar Jawa disebabkan oleh
kebijakan pemerintah Belanda yang Jawa sentris, sehingga pembangunan pusat-pusat
pertumbuhan seperti pendidikan, perdagangan, dan pemerintahan, juga prasarana
pembangunan seperti transportasi, komunikasi, dan irigasi lebih terkonsentrasi di pulau
Jawa (Hardjono,1977:7).
Pemerintah Kolonial Belanda, pada pelaksanaan Transmigrasi yang pertama
tahun 1905 telah memindahkan 155 keluarga dari keresidenan Kedu Jawa Tengah
menuju daerah Transmigrasi Gedongtataan di Lampung. Lembaga yang mengurus
Transmigrasi adalah komisi inter departemen yaitu Centraal Commissie voor
Emmigratie en Kolonisatie van Inheemsen. Kontrolir H. G. Heyting sebagai inisiator,
memiliki pemikiran yang cukup maju. Agar penduduk yang dipindahkan betah tinggal
di daerah baru, dilakukan upaya mengkondisikan daerah tujuan (Sumatera) seperti
suasana di pulau Jawa (Handayani,1994:14).
Pada tahap awal Transmigrasi, setiap kepala keluarga peserta memperoleh
premi atau uang saku sebesar 20 gulden, dibebaskan dari biaya transportasi yang
nilainya sama dengan 50 gulden per keluarga, serta mendapat sumbangan biaya hidup
sebesar 0,4 gulden per hari selama masa penyiapan tanah. Jumlah biaya langsung
diperkirakan sekitar 300 gulden per keluarga yang mencakup premi, biaya transportasi,
biaya makan 150 gulden, biaya bangunan rumah 65 gulden, pembelian alat-alat 13,5

11
gulden, ditambah 0,7 hektar tanah sawah dan 0,3 hektar tegalan serta pekarangan
(Dixon,1980:75).
Penduduk yang berhasil dipindahkan pada periode percobaan Transmigrasi
1905 sampai dengan 1911 adalah sekitar 4.800 orang (Hardjono,1977:18). Rata-rata
biaya yang dikeluarkan untuk setiap peserta Transmigrasi pada masa ini sekitar 750
gulden per keluarga. Jumlah yang besar tersebut termasuk anggaran untuk membuat
fasilitas Transmigrasi seperti pembuatan saluran irigasi, penyiapan lahan dan
pemukiman, serta biaya administrasi. Pada pelaksanaan Transmigrasi periode
percobaan ini pemerintah kolonial Belanda kurang serius dalam menangani
pembiayaan yang dikeluarkan untuk Transmigrasi, hal ini disebabkan oleh masalah
internal pemerintah kolonial Belanda itu sendiri. Ada pro-kontra berkaitan dengan
pelaksanaan Transmigrasi, akibat masih adanya perbedaan pendapat mengenai
kepadatan penduduk pulau Jawa. Mereka yang pro berpendapat penduduk pulau Jawa
sudah padat, sementara yang kontra belum melihat adanya kondisi yang mendesak
untuk memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa.

2.2 Tujuan Transmigrasi Pada Masa Kolonial Belanda (1937-1942)


Hindia Belanda yang menjadi negeri jajahan Kerajaan Belanda sesudah
bangkrutnya VOC (31 Desember 1799) melaksanakan etische politiek setelah
menguasai secara politik selama 100 tahun (1800-1900). Edukasi, irigasi, dan
mobilisasi penduduk menjadi target utama pemerintah Hindia Belanda. Tetapi sebagai
negeri jajahan penerapan politik etis tersebut berlangsung sangat terbatas. Irigasi
didirikan untuk pengairan sawah dan kebun-kebun milik pemerintah maupun swasta.
Jangkauan edukasi untuk rakyat pribumi dibatasi hanya kepada keturunan bangsawan
dan pegawai pemerintahan. Mobilisasi penduduk yang dilabeli tujuan pemerataan
penduduk (pengisian lahan kosong untuk membuka daerah kawasan baru) tetapi
sebenarnya bertujuan untuk menyempitkan wilayah kekuasaan adat. Demikian pula
perpindahan penduduk ini dilakukan untuk mengantisipasi rawannya gerakan sosial
yang mengancam pelaksanan pemerintahan kolonial.

12
Gerakan sosial yang dikuatirkan tersebut sangat rentan terjadi berasal dari
daerah yang padat penduduknya tetapi tidak berimbang dengan pemilikan tanah atau
luasnya lahan garapan. Lainnya adalah pembangunan fisik seperti gedung dan
jembatan yang tujuan utamanya adalah mempermudah mobilisasi pengaturan
keadministrasian dan memperlancar pergerakan pasukan dari berbagai arah. Hal ini
dilakukan karena pengalaman pemerintah Hindia Belanda yang membangun kawasan
jajahan dengan cara agitasi dan intervensi militer berdampak pada kebencian penduduk
lokal (terutama kaum bangsawan yang terampas kedudukan dan status sosialnya)
terhadap mereka, seperti pada peristiwa Perang Diponegoro, Perang Paderi, dan
peristiwa sosial di Banten tahun 1888.

Dalam bidang Migrasi, menurut pemerintah Hindia Belanda, daerah-daerah di


Pulau Jawa sudah semakin sesak terutama di wilayah Jawa Tengah sehingga perlu
dilakukan perpindahan penduduk. Berdasarkan data statistik tahun 1900 penduduk
Pulau Jawa telah mencapai angka 28.746.638 jiwa kemudian meningkat drastis pada
1920 mencapai angka 34.984.171 jiwa. Jika memerhatikan angka-angka tersebut
pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa masih belum terlalu tinggi kira-kira hanya
mencapai 2% saja, tetapi jika disandingkan dengan luas pulaunya maka jumlah tersebut
sangat mengkuatirkan karena pada tahun yang sama daerah lain di luar Pulau Jawa
hanya mencapai angka 6.575.878 jiwa (Sudarno, 1996:2-3). Pertumbuhan penduduk
yang sangat pesat di Pulau Jawa tidak dibarengi dengan ketersediaan lahan yang
memadai.

Kolonisastieproof di Hindia Belanda dilaksanakan oleh suatu komisi yaitu


Central Commisie Voor Emigratie en Kolonisatie Van Imheemsen (Komisi Pusat
Emigran dan Kolonisasi Pribumi) (Alibasya, 1981:113). Latar belakang keinginan
tersebut adalah adanya suatu brosur yang berisi tentang kondisi ketidakseimbangan
pertumbuhan penduduk yang sangat cepat di Pulau Jawa dengan luas lahan pertanian
dan perkebunan yang ada. Sementara itu di luar Pulau Jawa justru terjadi sebaliknya,

13
jumlah penduduknya relatif sedikit, sedangkan areal yang potensial untuk perkebunan
dan pertanian masih sangat luas.

2.3 Transmigrasi di Sumatera Selatan (1937-1942)

Terjadinya arus migrasi penduduk yang deras dari pulau Jawa untuk menjadi
kuli kontrak di Sumatera berlangsung menjelang terjadinya depresi ekonomi dunia.
Himpitan kesulitan hidup di Jawa telah mendorong mereka secara mandiri dan sukarela
bermigrasi ke Sumatera. Hal ini, pada akhirnya menyebabkan pemerintah kolonial
Belanda mengubah kebijakan Transmigrasi. Pada masa peralihan antara tahun 1927-
1930 pemerintah hanya menyediakan biaya transportasi untuk mereka yang mengikuti
program Transmigrasi (Dixon, 1980:76).
Depresi ekonomi yang terus berlanjut telah berpengaruh terhadap
perekonomian pemerintah kolonial Belanda. Permintaan tenaga kerja dari perkebunan-
perkebunan di Sumatera menjadi kurang, bahkan sebagian mengurangi tenaga
kerjanya, sehingga banyak kuli kontrak yang kembali ke pulau Jawa. Pemerintah
Belanda mulai merasa perlu mengintensifkan kembali Transmigrasi. Pada periode ini
ada penekanan untuk mengkaitkan kegiatan Transmigrasi dengan upaya membangun
basis penyediaan pangan khususnya beras untuk pulau Jawa.
Pengaruh depresi ekonomi dalam memperlancar Transmigrasi cukup
signifikan. Koloniasi juga dapat terus belanjut hanya dengan sedikit bantuan finansial
dari pemerintah. Mereka yang tertarik pindah hanya diberikan pinjaman uang sebesar
22 sampai 25 gulden setiap keluarga untuk biaya transportasi, pembelian alat-alat
pertanian, yang harus dikembalikan dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun. Di tempat
yang baru, pemerintah hanya memberikan lahan secara gratis untuk diolah. Sejak tahun
1930 terjadi arus perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa melalui
Transmigrasi terjadi secara besar-besaran. Pemerintah pun memperketat persyaratan
untuk mengikuti Transmigrasi yaitu: (1) peserta harus benar-benar petani, sebab jika
bukan dapat menyebabkan ketidakberhasilan di lokasi Transmigrasi, (2) fisik harus

14
kuat agar bisa bekerja keras, (3) muda agar dapat menurunkan fertilitas di pulau Jawa,
(4) sudah berkeluarga untuk menjamin ketertiban di lokasi baru, (5) tidak memiliki
anak kecil dan banyak anak karena akan menjadi beban, (6) bukan bekas kuli kontrak
karena dianggap sebagai provokator yang akan menimbulkan keresahan di pemukiman
baru, (7) harus waspada terhadap “perkawinan Transmigran” sebagai sumber
keributan, (8) jika wanita tidak sedang hamil karena diperlukan tenaganya pada tahun-
tahun pertama bermukim di tempat baru, (9) jika bujangan harus menikah terlebih
dahulu di Jawa karena dikhawatirkan mengganggu istri orang lain, dan (10) peraturan
tersebut tidak berlaku jika seluruh masyarakat desa ikut Transmigrasi.
Sejalan dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh pemerintah kolonial
Belanda sebagai dampak depresi ekonomi dunia, sementara minat masyarakat Jawa
untuk ikut Transmigrasi cukup tinggi, pemerintah akhirnya merubah pola Transmigrasi
untuk menekan biaya dengan sistem bawon. Pemukim Transmigrasi terdahulu
diharapkan memakai tenaga kerja pemukim baru dengan prinsip tolong-menolong dan
gotong-royong. Pemekaran daerah Transmigrasi baru dibuat tidak jauh dari
Transmigrasi lama. Penempatan pemukim baru dilakukan pada bulan Februari-Maret
saat menjelang musim panen padi di pemukiman lama, sehingga mereka bisa ikut
bawon. Bagian hasil bawon pemukim baru di Lampung dibuat lebih besar dengan
perbandingan 1:7 atau 1:5, artinya buruh mendapatkan satu bagian setiap tujuh atau
lima bagian dari pemilik. Pada saat itu sistem bawon di pulau Jawa umumnya
menggunakan perbandingan 1:10.
Peserta Transmigrasi mandiri pada periode ini boleh dikatakan lebih berhasil
dibandingkan dengan peserta sebelumnya, walaupun masih ada beberapa yang kembali
ke pulau Jawa. Kondisi demikian, memberikan daya tarik pada masyarakat Jawa untuk
ikut Transmigrasi. Akhirnya dikembangkan daerah Transmigrasi baru di Palembang,
Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi, dan Kalimantan. Depresi ekonomi dunia
selain dirasakan oleh pemerintah pada waktu itu, juga sangat menyulitkan banyak
penduduk di pulau Jawa. Kesempatan kerja di Jawa dirasakan semakin sulit untuk
diperoleh, himpitan untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin mendesak, sehingga

15
ketika mendengar cerita mengenai keberhasilan orang-orang di seberang yaitu di
daerah Transmigrasi, mereka tertarik untuk mengikutinya. Harapan memperoleh lahan
pertanian yang luas, menjadi motivasi utama mereka untuk mengubah nasib. Rupanya
kesulitan hidup di pulau Jawa telah berpengaruh besar terhadap derasnya migrasi
penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa melalui Transmigrasi. Walaupun sebetulnya,
sistem bawon sebagai kebijakan Transmigrasi pada periode ini dirasakan
memberatkan. Misalnya keluarga yang telah satu tahun bermukim di daerah
Transmigrasi harus bersedia menampung pemukim baru. Di daerah irigasi tiap
keluarga baru harus ditanggung oleh tiga keluarga lama, sementara di daerah tegalan
satu keluarga baru ditanggung oleh empat keluarga lama (Suratman,1979:379).

2.4 Keadaan Georafis dan Keadaan Alam (1937-1942)

Transmigrasi Belitang berada di wilayah Onderafdeling/Kewedanaan Ogan


Komering beribukota di Martapura, secara geografis terletak pada 103˚ 40’ Lintang
Selatan - 4˚ 55’ Lintang Selatan, dengan Luas wilayah 341.015 ha atau 3,41 Km².
Secara umum, keadaan wilayahnya terbagi menjadi 3 jenis topografi yakni, daratan,
bergelombang, dan berbukit dengan variasi ketinggian antara 35-67m dari atas
permukaan laut. Sebagian besar wilayah ini merupakan daratan, sehingga cocok
dimanfaatkan untuk pertanian, seperti tanaman bahan makanan, perkebunan,
perikanan, pertenakan dan juga pemukiman penduduk.

Onderafdeling/Kewedanaan Komering Ulu beriklim tropis dan cenderung


basah, karena dipengaruhi musim penghujan dan kemarau. Suhu rata-rata harian
Kabupaten ini antara 15˚C-38˚C, dengan curah hujan tahunan sekitar 3.605,3 mm.
Adapun kini wilayah Onderafdeling Komering Ulu menjadi wilayah administrasi
kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur) yang Memiliki batas-batas
wilayah pada tahun 1937-sekarang sebagai berikut:
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten OKI Provinsi Sumatera
Selatan (Kecamatan/Marga Tanjung Lubuk dan Lempuing)

16
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten OKI Provinsi Sumatera
Selatan (Kecamatan/Marga Lempuing dan Mesuji)
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Way Kanan (Provinsi
Lampung) dan Kabupaten OKU Selatan (Kecamatan
Simpang)
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten OKU (Kecamatan Lengkiti,
Sosoh Buay Rayap, Baturaja Timur dan Peninjauan) dan
kabupaten OKI (Kecamatan Muara Kuang)
Daerah Transmigrasi ini ada didaerah kabupaten Ogan Komering Ulu,
Kewedanaan Komering Ulu. yang pada awalnya nama adalah kolonisasi Belitang
walaupun tidak begitu tepat nama tersebut diberikan karena Belitang adalah nama
diambil dari nama tanah Marga Belitang dan sebagian tanah-tanah lainnya adalah tanah
dari Marga Mucak Kabau, Marga Rasuan, dan juga Marga Kota Negara. Begitulah
pengaturan politik Kolonisasi Belanda mengatur terwujudnya daerah Transmigrasi
Tuguharjo sebagai kelanjutan dari Kolonisasi Belitang. Daerah ini meliputi l.k. 20.000
ha. atau 30000 bauw tanah. Dizaman Belanda dahulu kepala daerahnya adalah Asisten
Wedana dan pada pembagian administrasinya ia terbagi dalam desa-desa atau
kelurahan-kelurahan yang dikepalai masing-masing oleh seorang Lurah, lengkap
dengan stafnya, yaitu Carik (Sekertaris Desa), Pengawas Keamanan (Polisi), Penjaga
Keamanan, Pengawas Perairan dan sebagainya. (Kementrian Penerangan Republik
Indonesia,1954: 354)

2.5 Jenis-Jenis Transmigrasi


Transmigrasi merupakan bentuk pembangunan yang demokratis dan
menempatkan HAM sebagai landasan pelaksanaanya. Artinya, keikutsertaan
masyarakat dalam Program Transmigrasi didasarkan pada prinsip sukarela dan dapat
memilih jenis serta pola usaha yang sesuai dengan aspirasi dan kemampuan masing-
masing. Untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk memilih, maka
Transmigrasi dibagi menjadi tiga jenis antara lain:

17
1) Transmigrasi Umum (TU), yaitu jenis transmigrasi yang sepenuhnya
diselenggarakan oleh Pemerintah. Artinya, keseluruhan proses pelaksanaan
transmigrasi (proses perpindahan, penyediaan ruang, dan pemberdayaan) menjadi
tanggung jawab pemerintah, sedangkan transmigran mendapat bantuan bila perlu
mendapat subsidi dari Pemerintah.
2) Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB), yaitu transmigrasi yang dirancang oleh
Pemerintah dan dilaksanakan bekerjasama dengan Badan Usaha. Peranan
Pemerintah adalah membantu dalam batas tertentu agar kemitrausahaan Badan
Usaha dengan transmigran berjalan setara, adil dan berkesinambungan, agar kedua
pihak saling memeperoleh keuntungan.
3) Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM), yaitu jenis transmigrasi yang sepenuhnya
merupakan prakarsa transmigran yang dilakukan secara perseorangan atau
kelompok, baik melalui kerjasama dengan Badan Usaha maupun sepenuhnya
dikembangkan oleh transmigran yang bersangkutan.
Selanjutnya pada masa Orde Baru transmigrasi dapat dibedakan menjadi 4 jenis yaitu:
a. Transmigrasi Umum (TU), yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah (umumnya
pola tanaman pangan di lahan kering dan di lahan basah).
b. Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB), yang sebagian dibiayai oleh
pemerintah (umumnya untuk prasarana), dan sebagian lagi dibiayai oeh
Pengusaha melalui Kredit Koprasi Para Anggota (KKPA).
c. Transmigrasi Swakrsa Mandiri (TSM), yang dibiayai sepenuhnya oleh
transmigran, sedangkan pemerintah menyediakan lahan seluas dua hektar/Kepala
Keluarga.
d. Transmigrasi Pola Agro Estate (PIR-Trans Mandiri) yang merupakan bentuk
perkebunan yang dikelola secara agribisnis.
Berdasarkan pelaksanaannya, transmigrasi dapat dibedakan menjadi berikut ini.

18
a. Transmigrasi umum, yaitu transmigrasi yang dilakukan melalui program
pemerintah. Biaya transmigrasi ditanggung pemerintah, termasuk penyediaan
lahan pertanian dan biaya hidup untuk beberapa bulan.
b. Transmigrasi spontan, yaitu transmigrasi yang dilakukan atas kesadaran dan biaya
sendiri (swakarsa).
c. Transmigrasi sektoral, yaitu transmigrasi yang biayanya ditanggung bersama antara
pemerintah daerah asal dan pemerintah daerah tujuan transmigrasi.
d. Transmigrasi bedol desa, yaitu transmigrasi yang dilakukan terhadap satu desa atau
daerah secara bersama-sama. Transmigrasi ini dilakukan karena beberapa faktor,
antara lain:
1. Daerah asal terkena pembangunan proyek pemerintah, misalnya pembangunan
waduk
2. Daerah asal merupakan kawasan bencana, sehingga masyarakat yang ada di
dalamnya harus dipindahkan (Manuwiyoto, 2004: 41).

Dari beberapa jenis Transmigrasi yang disebutkan diatas jenis Transmigrasi


yang dilaksanakan di Belitang termasuk jenis Transmigrasi Umum dan ketika program
sudah berjalan Transmigrasi tersebut dilaksanakan dengan Transmigrasi Spontan atau
dengan keinginan sendiri merantau ke Belitang atau daerah lain yang menjadi tempat
dilaksanakan Transmigrasi demi mendapatkan pekerjaan memenuhi kebutuhan hidup.

2.6 Masuknya Irigasi di Afdeling Komering Ulu Tahun 1938

Masuknya irigasi merupakan dampak dari kebutuhan masyarakat Transmigran


terhadap kebutuhan air yang cukup besar demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Peran irigasi yang menjadi penunjang dalam perkembangan perekonomian
Transmigrasi di Belitang hal ini dikarenakan pertanian dan persawahan merupakan
penghasilan utama dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, dengan adanya irigasi
tersebut penghasilan transmigran akan lebih pasti karena areal persawahannya atau

19
kebunnya mendapatkan pasokan air yang lebih kontinyu dan hasil panen yang lebih
produktif karena tidak perlu menunggu musim hujan dalam menanam padi.
Pada lahan yang tidak mendapatkan suplai air dari sumber air yang tidak
kontinyu dan hanya cukup beberapa bulan, produktifitasnya sangat rendah, karena
distribusi air tidak merata dan tidak tersedia sepanjang tahun. Masalah ini bisa diatasi
dengan mengelola air tersebut, memanen air di musim hujan dengan membuat
bendungan atau waduk serta memanfaatkannya pada musim kemarau, sehingga air
tersedia sepanjang tahun, dan akhirnya diharapkan produktifitas lahan bisa meningkat.
Pengelolaan air di sini maksudnya adalah membangun sistem irigasi, mulai dari
bendung, saluran pembawa, bangunan bagi, sampai dengan saluran tersier yang
langsung dapat dimanfaatkan petani untuk mengaliri lahannya.
Tanaman membutuhkan air untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Kebutuhan air untuk tanaman harus dipenuhi oleh air dalam tanah melalui sistem
perakaran. Aplikasi pemberian air untuk memenuhi kebutuhan tanaman pada waktu
dan cara yang tepat disebut Irigasi. Apabila kebutuhan air bagi tanaman dipenuhi
dengan cara lain (curah hujan, air kapiler dan air tanah, dan sebagainya), maka irigasi
tidak diperlukan (Ali, 2010).
Menurut James (1988), fungsi utama sistem irigasi adalah untuk mensuplai air
irigasi untuk tanaman sesuai dengan jumlah dan waktu yang diperlukan. Dan secara
spesifik fungsi irigasi adalah:
1. Mengambil air dari sembernya (bendung atau waduk)
2. Membawa ait dari bendung ke daerah irigasi
3. Mendistribusikan air ke areal pertanian
4. Menyediakan sarana dan prasarana untuk pengukuran aliran

Fungsi lain dari sistem irigasi adalah untuk pendinginan tanah dan tanaman,
pencegahan tanaman terhadap kerusakan akibat frost, penundaan pertumbuhan tunas
dan buah, pengendalian erosi oleh angin, penyediaan air untuk persemaian, pemberian
obat-obatan dan pemberian air limbah terhadap lahan.

20
Manfaat dari irigasi adalah menambah air untuk memenuhi kebutuhan air bagi
tanaman, menjamin ketersediaan air sepanjang tahun, mengatur temperatur tanah
sehingga baik bagi pertumbuhan tanaman, mencuci atau mengurangi kandungan garam
dalam tanah, mengurangi bahaya erosi, memudahkan pengelolaan tanah.
Sedangkan menurut James (1988) air di butuhkan tanaman untuk proses-proses
metabolisme (Digestions), fotositesa, transport mineral (unsur hara) serta hasil
fotositesa (fotosintat), mendukung struktur tanaman, pertumbuhan dan transpirasi.
Sumber air irigasi berasal dari presipitasi, air atmosfer, air limpasan, air tanah, dan
embun. Sumber-sumber air tersebut tidak bisa diabaikan dalam mencukupi kebutuhan
air di dalam sistem irigasi.
Kebutuhan air irigasi diukur dari kedalaman air yang diberikan pada suatu lahan
pertanian untuk memenuhi kekurangan air karena terbatasnya curah hujan dan
kelembaban tanah. Kebutuhan air irigasi untuk tanaman adalah untuk memenuhi
kehilangan air karena Evaporasi agar tanaman pada lahan yang luas dengan kandungan
air tanah dan kesuburan tidak terhambat, bebas penyakit serta mencapai produksi
potensialnya (Doorenbos dan pruitt, 1997).

2.7 Irigasi Komering (1938-1942)

Irigasi merupakan jaringan lebih kecil setelah bendungan, jaringannya


memasuki pelosok-pelosok desa. Perkembangan irigasi di Indonesia menuju sistem
irigasi yang tangguh tidak lepas dari irigasi tradisional yang sudah dikembangkan sejak
lama. Irigasi maju dan modern dapat saja muncul karena usaha memperbaiki atau
kelanjutan pengembangan tradisi yang telah ada. Pada umumnya pengembangan irigasi
ini sangat dipengaruhi oleh ciri-ciri geografis setempat dan perkembangan budidaya
pertanian. Sistem irigasi modern diperkirakan dimulai pada pertengahan abad XIX.
Perkembangan irigasi secara pesat terjadi pada permulaan abad XX setelah dicetuskan
politik etis oleh pemerintah kolonial Belanda dan ditemukannya teknologi irigasi di
dataran rendah (Pasandaran, 1991 :5).

21
Pembangunan Irigasi yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda
pada tahun 1937 memiliki dua model pengelolaan irigasi. Pertama adalah sistem
pengelolaan yang didasarkan atas kebijaksanaan pola tanam yang telah ditetapkan pada
sistem irigasi yang dibangun pemerintah. Pola tanam yang dimaksud adalah pengairan
antara tanaman tebu yang mendapatkan dukungan pemerintah kolonial sebagai
komoditi ekspor dengan tanaman rakyat yaitu padi dan palawija. Sedangkan model
kedua didasarkan atas praktek-praktek irigasi setempat dengan cara pembagian air
yang proposional menurut luas wilayah yang diairi (Pasandaran, 1991:7).
Dalam pelaksanaan irigasi di wilayah Transmigran Belitang di OKU Timur
pelaksanaan proyeknya pada tahun 1937, dilakukan dengan sempurna. Selain itu
keadaan topografi serta adanya sungai yang dapat dipakai sebagai sumber air irigasi
memungkinkan pembuatan jaringan irigasi yang baik, sehingga para penduduk dapat
menanam padi sebagai dasar dari pendapatan ekonominya. Sungai besar yang
mengaliri sepanjang pinggiran di sebelah Barat daerah Belitang. Ketika daerah ini
dibuka sebagai daerah Transmigrasi oleh pemerintah Belanda, hampir tidak ada
penduduk asli. Daerah ini masih tertutup oleh hutan dan hanya dapat satu jalan kecil
menuju ke lokasi proyek. Karena keadaan topografi daerah tersebut sangat mendukung
dan pihak pemerintah kolonial pun menginginkan keberhasilan proyek
Transmigrasinya, maka diberlakukannya sistem persawahan irigasi. Dengan
memanfaatkan Sungai Komering sebagai sumber air utama untuk mengairi anak sungai
yang bermuara di Desa Kurungan Nyawa (Sekarang). Pemerintah mengajak para
Transmigran untuk memperbesar anak sungai menjadi sebuah irigasi yang lebih baik.
Sehingga pada tahun 1937-1943 dibuat saluran irigasi sepanjang 40 Km. Adanya
saluran irigasi pada waktu proyek baru didirikan serta operasinya yang efektif secara
terus menerus merupakan hal yang berpengaruh dalam perkembangan pemukiman di
Belitang.

22
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Untuk melakukan penelitian mengenai “Perkembangan Perekonomian


Transmigran di Belitang (1937-1942)” penulis menggunakan suatu cara atau teknik
yang disebut dengan metode. Melalui metode penelitian yang tepat dapat membantu
penulis dalam kegiatan penelitian sehingga hasil yang diperoleh lebih terarah dan
mendekati kebenaran.
Pengertian metode ialah suatu prosedur atau proses untuk mencapai tujuan secara
efektif dan efisien (Daliman, 2012:27). Sedangkan menurut The New Lexicon dalam
Sjamsuddin (2012:11), metode adalah suatu cara atau prosedur untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan rencana, susunan atau sistem yang teratur.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode historis. Metode historis
merupakan suatu metode penelitian yang menggunakan cara dan prosedur yang
sistematis sesuai dengan aturan ilmu sejarah (Daliman, 2012:27). Selanjutnya metode
historis diartikan sebagai suatu penelitian yang meliputi langkah-langkah yang telah
disusun dan disesuaikan dengan masalah, topik dan sasaran studi (study matter)
(Priyadi, 2012:1-2).
Dari pengertian metode historis di atas, dapat disimpulkan bahwa metode
historis adalah metode penelitian dan penulisan sejarah yang menggunakan prosedur
atau sistem aturan yang teratur dan sesuai dengan aturan ilmu sejarah. Sehingga
melalui penelitian ini yang berdasarkan metode tersebut diharapkan dapat
menghasilkan penulisan yang obyektif, sistematis dan logis.

23
Penelitian dengan menggunakan metode historis ini diharapkan dapat
menghasilkan penelitian ilmiah dengan benar, menggunakan sistem prosedur yang
benar untuk mencapai kebenaran sejarah. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk
menguji dan menganalisis masa lampau yang dihubungkan dengan masa kini dari
berbagai rekaman, dokumen-dokumen dan peninggalan masa lampau yang otentik
dan dapat dipercaya serta membuat interpretasi (penafsiran) atas fakta-fakta
tersebut menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya sehingga dapat menjadi suatu
referensi bahan ajar dalam matakuliah Sejarah Sosial dalam materi Sejarah
Transmigrasi serta perkembangan Transmigrasi di Indonesia yang dilaksanakan
pada pertemuan ke 5 dan 6 dengan waktu 50x2 dalam 1 kali pertemuan.

3.2 Langkah-Langkah Penelitian

3.2.1 Heuristik

Kata heuristik berasal dari kata “heuriskein” dalam bahasa Yunani


yang berarti mencari atau menemukan. Dalam bahasa Latin, heuristik dinamakan
sebagai ars inveniendi (seni mencari) atau dalam bahasa Inggris sama artinya
dengan istilah arts of invention (Daliman, 2012:52).
Sedangkan dalam bahasa Jerman, heuristik disebut Quellenkunde yang
berarti sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data,
materi sejarah atau bukti sejarah (Sjamsuddin, 2012:67). Selanjutnya heuristik
juga diartikan sebagai sebuah kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan
sumber-sumber sejarah (Daliman, 2012:28).
Dalam mengumpulkan informasi, penulis menggunakan sumber buku dan
wawancara. Wawancara adalah istilah terjemahan dari bahasa Inggris: interview.
Wawancara merupakan salah satu cara pengambilan data yang dilakukan melalui
kegiatan komunikasi lisan dalam bentuk terstruktur, semi terstruktur, dan tak
terstruktur. Interview yang terstruktur merupakan bentuk interview yang sudah
diarahkan oleh sejumlah pertanyaan yang sudah dipersiapkan. Dalam
semi terstruktur, meskipun interview sudah diarahkan oleh sejumlah daftar
pertanyaan tidak tertutup kemungkinan memunculkan pertanyaan baru yang
idenya muncul secara spontan sesuai dengan keadaan di lapangan, pertanyaan
24
tersebut ditujukun kepada masyarakat yang merasakan dampak dari Transmigrasi
Belitang pada tahun 1937-1942 orang-orang tersebut adalah Pegawai
Transmigrasi, Kepala Desa, Tetua Adat, Petani, dan Orang-orang yang berkaitan
langsung dengan dampak dari Transmigrasi Belitang yang dilaksanakan Kolonial
Belanda.

Pada penelitian ini, peneliti berusaha mengarahkan topik pembicaraan


sesuai dengan fokus permasalahan sehingga peneliti menggunakan daftar
pertanyaan sebagai landasan dalam melakukan interview kepada informan. Teknik
wawancara bertujuan untuk memperoleh data yang lebih mendalam tentang
“Perkembangan Perekonomian Transmigran di Belitang (1937-1942)”. Dengan
menggunakan daftar pertanyaan yang ada, penulis dapat menanyakan berbagai hal
yang berkaitan dengan penelitian kepada informan.
Selain menggunakan metode wawancara, penulis juga menggunakan
sumber- sumber tertulis atau melalui studi kepustakaan. Pada tahap ini penulis
mengumpulkan sumber sumber yang berhubungan dengan bahasan dalam
penelitian. Untuk mendapatkan sumber tersebut peneliti mencari sumber dengan
mengunjungi berbagai perpustakaan sebagai berikut: Ruang Baca Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya, Perpustakaan Pusat
Universitas Sriwijaya, Perpustakaan Daerah Sumatera Selatan, Perpustakaan
Museum Balaputradewa, Perpustakaan Arsip dan data di OKU Timur. Sumber
buku yang di dapat antara lain: Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho
Notosusanto,. 1993. Sejarah Indonesia Jilid V. Balai Pustaka : Jakarta; Riclefs.
2007. Sejarah Indonesia Modern. Universitas Gajah Mada Press : Yogyakarta; R,
Gandakoesoemah. 1975, Irigasi. Sumur Bandung : Jakarta.______.1940.
”Kolonisatie Bulletin Vol.9 Belitang Nummer” Batavia: Centrale Commissie voor
Migratie en Kolonisatie van Inheemschen. Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar
Sejarah Indonesia Baru jilid 2. Gramedia Pustaka : Jakarta. Fachurozie, S.A dan
Colin Mac Andrews. 1982. “Pengalaman Selama Empat Puluh Tahun di Daerah
Transmigrasi Belitang, Sumatera Selatan” dalam Joan Hardjono (Ed). Transmigrasi
dari Kolonialisasi sampai Swakarsa. Jakarta: PT. Gramedia. Handayani, Sri Ana.

25
1994 Transmigrasi di Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Jember: Universitas
Jember. Nugraha Setiawan. 1994. Transmigrasi di Indonesia: Sejarah dan
Perkembangannya. Yogyakarta: Program Studi Kependudukan, Program
Pascasarjana UGM., Manssur, Ahmad, Suryanegara. 2009. Api Sejarah. Salamdani
: Bandung

3.2.2 Kritik Sumber

Kritik sumber merupakan kegiatan yang harus dilakukan peneliti atau


sejarawan untuk menyaring dan menganalisis sumber-sumber primer yang di dapat
agar diperoleh fakta yang teruji kebenarannya (Sjamsuddin, 2007:103).
Selanjutnya kritik sumber juga diartikan sebagai kumpulan fakta atau informasi
sejarah yang sudah diuji kebenarannya melalui proses validasi (Daliman,
2012:66).
Kritik sumber umumnya dilakukan terhadap sumber-sumber pertama atau
sumber primer. Kritik ini menyangkut verifikasi sumber yaitu pengujian mengenai
kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Kritik sumber juga
dikenal dengan dua cara yaitu kritik eksternal dan kritik internal (Sjamsuddin,
2007:103-104).

3.2.2.1 Kritik Eksternal


Selanjutnya Daliman (2012:66) menjelaskan bahwa kritik eksternal yang
dimaksud ialah untuk menguji otentisitas (keaslian) suatu sumber sejarah. Kritik
Eksternal merupakan upaya melakukan verifikasi atau pengujian terhadap
aspek-aspek luar dari sumber sejarah (Sjamsuddin,2007:132). Kritik eksternal
berkenaan dengan seleksi persoalan asli (otentik) atau setidaknya sesuatu
tentang sumber bersifat keaslian darinya (autethenticity) (Irwanto,2014:77).
Dengan kritik eksteral penulis dapat menilai dari aspek luarnya sebelum
melihat isi dari sumber tersebut. Dengan melakukan kritik eksternal
diharapkan meminimalisasi subjektivitas dari sumber-sumber yang didapat
dan bisa diaplikasikan dalam skripsi dengan bertanya dengan ahli mengenai
sumber yang didapat.
26
3.2.2.2 Kritik Internal

Sedangkan kritik internal ialah untuk menguji kredibilitas dan reabilitas


suatu sumber. Artinya peneliti atau sejarawan harus menentukan seberapa jauh
sumber dapat dipercaya (credible atau reliable) kebenaran dari isi informasi yang
disampaikan oleh suatu sumber atau dokumen sejarah. Untuk menentukan
kredibilitas dan reliabilitas sumber atau dokumen dipergunakan kritik internal.
Dalam melakukan uji reliabilitas, penulis mencoba mencari nilai bukti yang ada
dalam sumber sehingga dapat menentukan seberapa jauh sumber dapat dipercaya
kebenarannya. Pada penelitian ini, penulis memerlukan verifikasi data di
lapangan baik melalui observasi maupun saat melakukan wawancara misalnya
melihat kredibilitas informan, sehingga dapat menjamin informasi yang
disampaikannya.

3.2.3 Interpretasi

Interpretasi adalah upaya penafsiran fakta-fakta sejarah dalam realitas


masa lampau yang terjadi, tetapi yang tidak bersifat subjektif melainkan harus
bertumpu pada fakta atau kenyataan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
mencari kebenaran otentik (Daliman, 2012:83). Dengan interpretasi penulis
berusaha menghubungkan penafsiran dari berbagai fakta dari sumber tertulis yang
di dapat dengan fakta yang berasal dari informan di kabupaten OKU Timur yang
berhubungan dengan penelitian. Selain itu diperlukan analisis untuk menyusun
dan menghubungkan setiap fakta yang didapatkan. Selanjutnya penulis juga
menggunakan beberapa pendekatan dalam penelitian. Melalui hal tersebut,
penulis bisa menafsirkan hasil kesimpulannya sehingga dapat dimengerti dan dapat
memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini.

3.2.4 Historiografi
Tahap selanjutnya dari metode penelitian sejarah adalah historiografi. Pada
tahap ini, peneliti harus menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir,
yang meliputi permasalahan-permasalahan yang harus dijawab (Priyadi, 2012:79).
Historiografi adalah ilmu yang mempelajari praktik ilmu sejarah. Hal ini dapat
27
diwujudkan dalam beberapa bentuk, termasuk mempelajari metodologi sejarah dan
perkembangan sejarah sebagai suatu disiplin akademik (Irwanto,2014:151).
Historiografi juga diartikan sebagai keseluruhan daya pikiran penulis, terutama
pikiran-pikiran kritis dan analisis yang harus menghasilkan suatu sintesis dari
seluruh hasil penelitiannya yang dibentuk ke dalam suatu penulisan yang utuh
(Sjamsuddin,2012:121). Tahap ini merupakan cara menyajikan agar menarik dan
dapat barinteraksi dengan pembaca. Historiografi berarti pelukisan sejarah,
gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu yang disebut
sejarah. Karena sejarah sebagai pengetahuan tentang masa lalu maka gambaran
sejarah diperoleh melalui sesuatu penelitian mengenai kenyataan masa lalu dengan
metode ilmiah yang khas (Ismaun, 2005:28).
Penyusunan cerita sejarah secara kronologis sangat penting agar peristiwa
sejarah tidak menjadi kacau dan tumpang tindih. Dalam tahap akhir penulisan ini,
penulis berusaha menyajikan hasil data penelitian sebaik mungkin dengan
menuliskan data yang diperoleh secara keseluruhan berdasarkan sistem
penulisan ilmiah dari awal hingga akhir (kronologis) sehingga fakta yang diperoleh
dapat dipertanggungjawabkan.

3.3 Pendekatan

Pendekatan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mempelajari


kebudayaan manusia (Hasan, 1996:92). Menurut Kartodirdjo dalam Rahmalia
(2007:21), menjelaskan bahwa apabila penelitian sejarah menggunakan
pendekatan maka akan lebih mampu menguraikan penjelasan dengan tidak
membatasi diri dalam mengungkapkan suatu kejadian yang dijadikan hanya
sebagai sebuah cerita. Penggambaran suatu peristiwa sangat bergantung pada suatu
pendekatan. Pendekatan yang dimaksud adalah dari sisi mana
memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan dan unsur-unsur mana yang
diungkapkan. Hal ini disebabkan oleh gejala historis yang serba kompleks. Setiap
deskripsi melalui pendekatan memungkinkan adanya penyaringan data yang
diperlukan. Dengan demikian pada penulisan skripsi yang berjudul
“Perkembangan Perekonomian Transmigran di Belitang (1937-1942)” penulis
28
menggunakan beberapa pendekatan ilmu sosial seperti pendekatan sosiologi dan
pendekatan antropologi.

3.3.1 Pendekatan Sosiologi

Penulis menggunakan pendekatan sosiologi, Pendekatan ini digunakan


dalam penggambaran tentang peristiwa masa lalu, tentu didalamnya akan
terungkap segi-segi sosial dari peristiwa yang dikaji. Konstuksi sejarah dengan
pendekatan sosiologis dapat dikatakan pula sebagai sejarah sosial, karena
pembahasannya mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan, konflik
berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan, dan status sosial dan
sebagainya dengan tujuan untuk membantu mengungkapkan dampak hubungan
antar masyarakat dengan kontak antar individu. Selanjutnya terjadinya interaksi
dan kontak antar masyarakat dengan saling bertukarnya pengalaman antar
individu atau kelompok masyarakat sehingga dapat merubah diri individu maupun
kelompok. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan tingkah laku atau sikap,
salah satuya dengan adanya perubahan kepribadian masyarakat.

3.3.2 Pendekatan Ekonomi

Pendekatan ekonomi, yakni menyoroti kegiatan ekonomi suatu daerah


dengan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakatnya dapat melalui pertanian,
perdagangan, pertenakan dan lain sebagainya. Pendekatan ekonomi merupakan
penjabaran dari konsep-konsep ekonomi sebagai pola distribusi, alokasi dan
konsumsi yang berhubungan dengan sistem sosial dan stratifikasinya yang dapat
mengungkapkan peristiwa atau fakta dalam keadaan ekonomi sehingga dapat
dipastikan hukum dan kaidahnya. Adapun yang penulis gunakan ialah dalam
mengungkap kegiatan perekonomian di daerah yang teraliri irigasi (Bendungan
Komering) dari BK 0 (Desa Kurungan Nyawa) sampai BK 9 (Desa Jelabat) dan
yang ditempati masyarakat Transmigran Belitang pada tahun 1937-1942
melingkupi desa Kurungan Nyawa, Margomulyo, Sukajadi, Tanjungraja, Rantau
Tijang, Ulak Buntar, Cahya Bumi.

29
3.3.3 Pendekatan Politik

Pendekatan politik menyoroti struktur, jenis kepemimpinan, hiarki sosial,


dan pertentangan sosial (Kartodirdjo, 1993:4). Pengertian politik dapat bermacam-
macam sesuai dari sudut mana memandangnya. Namun pada umumnya definisi
politik menyangkut kegiatan yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan.
Fokus perhatian ilmu politik, karenanya, lebih tertuju pada gejala-gejala
masyarakat seperti pengaruh dan kekuasaan, kepentingan dan partai politik,
keputusan dan kebijakan, konflik dan konsesnsus, rekrutmen dan perilaku
kepemimpinan, masa dan pemilih, budaya politik, sosialisasi politik, masa dan
pemilih, dan lain sebagainya. Apabila politik diartikan sebagai polity (kebijakan),
maka definisi politik lebih dikaitkan dengan pola distribusi kekuasaan. Jelas pula
bahwa pola pembagian kekuasaan akan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
sosial, ekonomi, dan kultural. Posisi sosial, status ekonomi, dan otoritas
kepemimpinan sesorang dapat memberi peluang untuk memperoleh kekuasaan.
pada penulisan penelitian yang akan dilakukan penulis menggunakan pendekatan
politik untuk melihat bagaimana kepemimpinan, kekuasaan, dan pemerintahan
yang berlaku di Belitang pada tahun 1937-1942.

30
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan daerah Transmigrasi di Belitang (1937-1942)

4.1.1 Proses Kedatangan Transmigrasi di Belitang (1937-1942)


Keadaan Belitang sebelum adanya irigasi Bendungan Komering dan
program Transmigrasi merupakan daerah berupa hutan yang tidak berpenghuni,
walaupun dibeberapa wilayah sudah ada penduduk setempat, yaitu oleh suku
Komering yang terletak dibeberapa desa seperti desa Kurungan Nyawa, desa Eling-
Eling, dan Desa Tanjung Sari yang memang sudah ada sebelum adanya program
Transmigrasi yang diadakan pemerintah kolonial Belanda (Fatwa Arsyad,
Wawancara tanggal 8 juli 2017). Keadaan daerah Belitang sebelum adanya
Transmigrasi merupakan daerah yang tertutup dan masih banyak yang merupakan
hutan, hanya beberapa lokasi yang ditempati merupakan permukiman masyarakat
suku Komering.
Pada bulan Juli dan Agustus tahun 1938 dilakukan pemeriksaaan oleh
perwakilan pemerintah kolonial Belanda dari Bodemkundig Instituut yang bertugas
memeriksa kelayakan tanah yang digunakan untuk program Transmigrasi yang
dilaksanakan oleh pihak pemerintah Kolonial Belanda, dan ketiga orang tersebut
adalah Dr. Ir. A. G. A. Idenburg, Ir. M. Van der Voort dan F. Ch. Wasch. Hasil dari
pemeriksaan tersebut menyatakan bahwa tanah yang letaknya rendah baik untuk
dimanfaatkan menjadi sawah, akan tetapi air untuk mengairi tanaman tidak cukup
untuk mengaliri luasnya sawah, dan jika hanya mengunakan sistem tadah hujan
maka hasil dari pertanian yang didapatkan tidak akan mencukupi kebutuhan yang
diperlukan petaninya untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari dikarenakan
wilayah yang jauh dari sumber air akan kesulitan dalam proses menyiram tanaman
yang akan mengakibatkan kualitas hasil panen yang tidak maksimal karena
kurangnya pasokan air (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:6). Melihat kondisi ini
pemerintah kolonial Belanda menerapkan program Transmigrasi yang diikuti oleh
masyarakat yang berasal dari pulau jawa dan pulau Sumatera yang dipilih menjadi
31
tujuan diadakannya program tersebut, yang berpusat di Lampung dan Palembang.
Lokasi di Keresidenan Palembang letaknya di wilayah yang berbatasan dengan
Lampung yaitu di Belitang Onderafdeling Ogan Komering Ulu
Daerah Transmigrasi Belitang yang pertama dibuka luasnya sekitar 6,5 km
sebelah timur Kurungan Nyawa menuju arah timur laut sampai dusun Cahya Bumi,
dusun ini terletak diantara pertemuan sungai Belitang dan sungai Maca, oleh sebab
itu dapat disimpulkan bahwa daerah Transmigrasi pemerintah kolonial Belanda
dikelilingi oleh kedua sungai Belitang dan Maca. Daerah Transmigrasi di Belitang
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
a. Daerah yang dari ujung dekat Kurungan Nyawa sampai garis Sukajadi-
Simpang Mesir
b. Daerah yang dari garis tersebut sampai garis Cahya Negeri - Ulakbuntar
c. Daerah serap mulai dari garis Cahaya Negeri - Ulakbuntar sampai ke dusun
Cahyabumi
Diketiga wilayah itu diperkirakan cukup untuk 30.000 keluarga yang terdiri dari
100.000 jiwa
Sementara perhatian pemerintah kolonial tertuju kepada daerah Kurungan
Nyawa sampai Sukajadi-Simpang Mesir dan Cahya Negeri sampai Ulakbuntar.
Dikarenakan daerah lokasi Transmigrasi tersebut sudah diperiksa oleh perwakilan
dari pemerintah kolonial Belanda sebelum mengadakan program Transmigrasi,
hasil dari pemeriksaan tersebut mengambarkan peta wilayah yang sudah lengkap
untuk wilayah pertanian yang subur maupun yang kurang subur, dusun yang sudah
ada penduduknya, dusun yang akan didirikan untuk dipersiapkan untuk penduduk,
daerah yang akan dialiri pengairan, selokan-selokan, dan jalan. Selanjutnya
menurut pemeriksaan sementara dari pihak Belanda daerah diantara dusun Cahaya
Negeri-Ulakbuntar sampai ke dusun Cahyabumi proses untuk mengalirkan air
tidak sesulit di daerah Kurungan Nyawa sampai Sukajadi-Simpang Mesir dan
Cahyanegeri dan Ulakbuntar. Daerah Transmigrasi Belitang terdiri dari marga
Buay Pemuka Bangsa Raja, Madang Suku 1, Madang Suku II, Semendawai Suku
III, dan Belitang. Bagian terbesar dari daerah Transmigrasi ini adalah marga
Belitang, oleh sebab itu maka daerah Transmigrasi ini disebut Belitang. Setiap
32
marga-marga tersebut sudah menyatakan tidak keberatan daerahnya dijadikan
daerah Transmigrasi dikarenakan dengan marganya mengikuti program tersebut
otomatis pembangunan dan kesejahteraan daerah-daerah yang masuk dalam
program Transmigrasi Belanda akan terjamin dan lebih diperhatikan. Keputusan itu
ditulis dalam surat yang diterbitkan pada 14 November 1938 No.12 yang isinya
berupa larangan untuk berladang didaerah Transmigrasi karena akan diisi oleh para
kolonis yang akan datang dari pulau Jawa (Nugraha Setiawan, 1994:5). Keputusan
tersebut harus diikuti dengan sebenar-benarnya dan akan dijaga oleh setiap marga
yang tergabung termasuk di dalam daerah Transmigrasi Belitang. Di tempat-tempat
yang berbatasan dengan daerah Transmigrasi ada hutan yang belum pernah dihuni
oleh manusia, dan didaerah tersebut diizinkan untuk membuka lahan atau ladang
serta diperbolehkan bagi orang yang ingin tinggal dan membangun rumah disana.
Pembangunan program Transmigrasi di daerah Transmigrasi Belitang
dilaksanakan pada tahun 1937 didaerah Simpang Mesir yang letaknya berada
simpang jalan Tanjungraja. Pada masa pembangunan atau gelombang pertama
Transmigran tahun 1937 sebanyak 250 keluarga yang mengisi kampung Sidomulyo
dan Kampung Sidomukti. Dalam tahun 1938 didatangkan lagi Transmigran
sebanyak 550 keluarga yang ditempatkan di Kampung Sidodadi, Sukorejo,
Sidoharjo, Wonosari, Wonorejo, dan Karangrejo. Di tahun 1939, ada 1500 keluarga
yang dikirimkan ke daerah Transmigrasi itu dibagi menjadi 1000 keluarga
ditempatkan di Kampung Wonotirto, Wonosri, Wonokitri, Wonosigro,
Karangtengah, Sidorahayu, Karanglo, Tigabus, dan Karangkemiri. Serta 500
keluarga ditempatkan di Tanjung Sari, Tanjung Mas, dan Eling-Eling. Nama-nama
desa tersebut diambil dari nama daerah asal mereka di pulau Jawa (Kolonisatie
Buletin vol.9, 1940:3). Penyebaran penduduk Transmigran program Transmigrasi
yang dibuat 2 kelompok mengakibatkan penyebaran serta perkembangan daerah
Transmigrasi tersebut menjadi merata dan meluas, sebab nantinya daerah-daerah
tersebut jika meluas dan semakin ramai nantinya pelaksanaan program daerah
Transmigrasi bisa dilanjutkan ke daerah yang belum ditempati oleh masyarakat
Transmigran, Daerah kedua pun akan diatur penyebarannya dengan cara dibagi
menjadi 2 kelompok, dan tentu saja akan menjadi lebih mudah mengatur daerah
33
Transmigrasi. selanjutnya karena tidak sesulit daerah yang pertama dalam segi
pengairan karena kondisi geografisnya dekat dengan sungai.
Mengenai berapa banyaknya desa yang akan dibuka dikedua daerah
Transmigrasi tersebut direncanakan sesuai dengan keadaan desa-desa yang masuk
dalam wilayah Transmigrasi akan diisi sebagian dari total keseluruhan penduduk
di desa yang seharusnya tinggal di daerah tersebut, karena jika masyarakat
Transmigran ditempatkan disatu desa dan memenuhi kapasitas desa, Transmigran
yang baru datang tidak bisa menumpang ketempat Transmigran yang sudah terlebih
dahulu datang, sekaligus membuka lahan baru untuk dirinya sendiri yang letaknya
tidak begitu jauh dari rumah tempatnya menumpang. Mereka yang baru datang
biasanya bekerja dan menerima upah dengan menerapkan sistem bagi hasil yang
dikenal dengan istilah bawon1 setelah itu mereka mengerjakan lahan yang akan
menjadi tempatnya berladang (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:3). Dengan begitu
bantuan pemerintah kolonial dalam program Transmigrasi membantu orang-orang
yang baru datang, bukan hanya dari masalah bawon melainkan juga masalah
kerjasama misalnya dalam hal menebas hutan bersama-sama untuk membuka
lahan, saling membantu ketika membangun rumah dan sebagainya. Untuk
sementara desa-desa tersebut tidak bisa dikurangi komposisi jumlah penduduknya
karena jika setengah dari isi penduduk desa tersebut dikurangi maka akan lebih
banyak desa yang terbentuk, yang menjadi pertimbangan adalah bukan saja untuk
membangun desa-desa tersebut tetapi juga untuk membangun sarana jalan untuk
menghubungkan desa-desa tersebut nantinya. Selain itu pengawasan kesehatan dan
permasalahan hama tanaman akan menjadi lebih sulit untuk diatasi karena cakupan
wilayah yang terlalu luas. Pada tahun 1939 terjadi arus gelombang ke 2 transmigran
yang cukup besar berasal dari beberapa daerah di Jawa dituliskan pada tabel
dibawah ini.

1
bawon/ba·won/ Jw n pembagian upah menuai padi yang berdasarkan banyak sedikitnya padi
yang dipotong (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
34
Tabel 1

Jumlah Transmigran ke Belitang pada tanggal 17-3-1939 sampai 5-5-1939

Tanggal Tiba Daerah Asal Jumlah


Keluarga Jiwa
17-3-1939 Cirebon 11 39
21-3-1939 Majalengka 16 60
Tegal 32 114
Brebes 31 121
21-3-1939 Brebes 80 283
Purbalingga 13 45
24-3-1939 Banyumas 59 225
Kebumen 31 97
28-3-1939 Kebumen 91 323
31-3-1939 Purworejo 32 117
Kebumen 58 207
1-4-1939 Kulonorogo 52 212
Adikarto 58 249
Purworejo 79 323
4-4-1939 Bantul 60 241
Kulonprogo 25 90
7-4-1939 Bantul 60 241
Kulonprogo 67 250
11-4-1939 Wonogiri 36 154
Klaten 22 90
Bantul 25 94
14-4-1939 Wonogiri 88 353
18-4-1939 Kediri 34 133
Boyolali 23 82
Klaten 29 114
21-4-1939 Kediri 94 343
25-4-1939 Kediri 90 302
28-4-1939 Blitar 66 255
Kediri 23 74
2-5-1939 Blitar 82 312
5-5-1939 Blitar 80 300
JUMLAH 1501 5649
(Sumber : Kolonisatie Buletin vol.9 halaman 7 Tahun 1940)

Dari tabel diatas merupakan jumlah masyarakat yang datang dalam


gelombang kedua yang jumlahnya cukup banyak yang berasal dari berbagai daerah
akan tetapi masalah yang dialami ada beberapa tempat yang harus diperhatikan

35
adalah Transmigrasi dekat dusun Cahya Negeri, Transmigrasi daerah tersebut
lokasinya jauh dari Transmigrasi yang sudah ada sebelumnya, oleh sebab itu
kehidupan di daerah tersebut harus maju, karena melihat keadaannya, Transmigrasi
tersebut pasti bisa menjadi lebih baik. Orang-orang baru itu akan dapat bantuan
sepenuhnya dari penduduk asli dusun Cahya Negeri yang sudah ada sejak awal
masyarakat Transmigran tersebut datang.
Masalah lainnya yaitu menyediakan lahan pertanian untuk penduduk suku
Komering yaitu tanah yang bisa dialiri air atau dekat dengan sumber air. Seharusnya
suku Komering sudah mendapatkan bagian tanah yang dialiri air, jika ada irigasi
yang bisa mengaliri lahan yang jauh dari sumber air sekalipun sayangnya irigasi
belum ada dan belum diterapkan, jadi lokasi pembagian tanah masih sedikit yang
bisa dialiri oleh air. Irigasi adalah solusi dalam meningkatkan produktifitas lahan
dan juga meningkatkan taraf hidup masyarakat Komering, agar tidak terjadi
kecemburuan sosial dari suku Komering terhadap masyarakat Transmigran.
Permintaan dari suku Komering ini disampaikan oleh wakil pesirah Belitang,
permintaan itu masih bisa dilaksanakan sebelum wilayah tersebut penuh oleh
masyarakat Transmigran (Syamsuddin, Wawancara tanggal 20 Mei 2017). Dan jika
permintaan itu dikabulkan, tentunya tercipta sikap saling tolong menolong antara
suku Komering dan masyarakat Transmigran dikarenakan kebutuhan mereka satu
sama lain tanpa mengenal suku dan budaya yang berbeda. Pembagian tanah
untuk suku Komering mengalami beberapa kendala karena lokasi yang dibagikan
untuk suku Komering dibeberapa wilayah merupakan lokasi yang belum dialiri
irigasi, sebab jika ada irigasi petani tidak akan kesulitan dalam mengolah lahannya
dan permintaan untuk irigasi tersebut disampaikan oleh ketua pesirah sebelum
wilayah tersebut terisi oleh Transmigran.
Banyaknya permintaan lahan yang diperoleh suku Komering marga
Belitang sebagai berikut:
120 bahu Dusun Sukajadi
400 bahu untuk Dusun Pesirah Tanjungraja
60 bahu untuk Dusun Rantau Tijang

36
180 bahu untuk Dusun Ulak Buntar
220 bahu untuk Dusun Raman Condong
Luas yang diminta berdasarkan tiap-tiap lahan yang bisa diolah orang yaitu
kurang lebih 2 bahu2 tanah untuk satu orang. Pembagian tanah tersebut sudah
terhitung satu keluarga, tentang syarat mengerjakannya, kewajiban yang
berhubungan dengan pengairan, cara pembagian dan lainnya akan ditentukan nanti
dengan keputusan yang didapat dalam sidang marga, Verker en Waterstaat dan juga
Landbowvoorlichtingsdienst (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:7). Dalam peraturan
marga tersebut ditentukan bahwa hanya penduduk asli yang akan mendapatkan
tanah. kepada pegawai sectie sudah diminta menentukan tanah-tanah itu di peta,
sehingga menjadi mudah pembagian tanahnya dan hal-hal lain nantinya akan
menjadi lebih mudah seperti pembagian tanah yang ditetapkan kepada masyarakat
Transmigran.
Ketika pemeriksaan tanah di Dusun Cahya Negeri, tanah yang disediakan
untuk penduduk asli kira-kira 160-200 bahu dan disekitar Sungai macak dan
Simpang Mesir sudah didirikan beberapa warung dan tempat tinggal. Hanya tiga
rumah dengan pekarangannya yang sudah menjadi hak milik orang asing yang
memang sudah dimilikinya sejak dulu tetapi pekarangan itu tidak digunakan
padahal seharusnya wilayah tersebut rencananya dibangun sebagai jalan dan
saluran air untuk desa-desa Transmigran. Disamping infrastruktur sebagai
penunjang dalam memenuhi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari seperti
bertani, beberapa masyarakat juga mulai membuka usaha sederhana dan kecil-
kecilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Maulana, Wawancara 10 Mei
2017). Dalam surat izin yang didapatkan dari marga mereka diizinkan membuka
usaha tetapi hanya sementara dan apabila nanti mendapat pemberitahuan sudah
memiliki izin resmi dari pemerintah kolonial Belanda, jika lahan tersebut akan
digunakan untuk kepentingan Transmigrasi Belanda maka warung dan toko-toko
itu harus rela digusur tanpa adanya ganti rugi. Diantara dusun Betung dan Dusun

2
Bahu atau bouw adalah yang berasal dari bahasa belanda yang berarti garapan dalam
agraria adalah satuan lahan yang dipakai di beberapa tempat di indonesia, ukuran 1 bahu adalah 0,8
ha. Dan secara nasional satu bahu adalah 500 ubin (1 ubin setara dengan 14,0625 meter persegi)
37
Cahya Negeri diluar wilayah Transmigrasi masih banyak tanah yang agak berbukit-
bukit, hutan rimba, dan berpadang ilalang tanah tersebut nantinya bisa
dipergunakan untuk Transmigrasi.
Masyarakat Transmigran Belitang mulai mengolah lahan sendiri dan
menjual hasil buminya sendiri untuk memenuhi kebutuhan dengan izin usaha yang
hanya sementara, ini diperbolehkan oleh pemerintah Kolonial Belanda karena demi
mensejahterakan masyarakat yang sedang menyesuaikan diri dengan lingkungan
baru.

4.1.2 Proses Pembangunan Bendungan Komering (1937-1940)

Pembangunan Bendungan Komering diawali karena kebutuhan masyarakat


akan air untuk mengaliri pertanian masyarakat Transmigran, hal ini memang sudah
di atur oleh pemerintah Kolonial Belanda dalam program Transmigrasi sebelum
memindahkan masyarakat dari pulau Jawa ke pulau Sumatera. Pembangunan
bendungan tidak lepas dari pengalaman masyarakat di jawa tentang
memaksimalkan potensi lahan yang kurang subur dengan cara mengaliri lahan
tersebut dengan irigasi, agar lahan yang jauh letaknya dari sumber air seperti sungai
atau danau bisa di aliri air walaupun pada musim kemarau sekalipun (Syamsuddin,
Wawancara tanggal 20 Mei 2017). Dilihat dari letak geografisnya wilayah
Transmigrasi yang dekat dengan sungai yang cukup besar dan tidak akan kering
dimusim kemarau yaitu sungai Komering, dan menjadi point penting dalam rencana
pembangunan irigasi, Kurungan Nyawa sebagai lokasi yang paling dekat dengan
sungai tersebut dijadikan tempat dibangunnya irigasi sekunder pertama di wilayah
Transmigrasi Belitang.

Kapal pembuat irigasi Belitang sudah bersandar di sungai komering


tepatnya di kampung Kurungan Nyawa tepat disaat pintu air yang berjarak 400
meter dari sungai Komering telah selesai dikerjakan, dengan bantuan dari pihak
kontroler martapura maka dimulailah dilaksanakan penerukan tahap pertama kanal
irigasi komering, kapal pembuat kanal irigasi ini berlayar dari terusan Suez pada
bulan juni 1936 sebelum pecahnya perang dunia II dikawasan Asia, kapal ini

38
berlabuh di selat Belitung. Pada bulan Agustus 1936 Tertera dengan Jelas yang
nama kapal keruk pembuat irigasi tersebut adalah “Nederlandsche’vracht” sebelum
berada di sungai komering kapal ini terlebih dahulu sudah digunakan
dipenambangan timah di selat Belitung pada tahun 1937 (koran soerabai-
handlsbald terbitan 4 November 1940).

Pekerjaan pembuatan kanal irigasi dibelitang ini berbeda dengan pembuatan


irigasi di daerah metro lampung, karena sebagian besar pekerjaan kanal irigasi
belitang mengunakan kapal keruk milik Belanda, sedangkan di metro sepenuhnya
dikerjakan oleh tenaga manusia. Kapal Nederlandsche’vracht memiliki panjang 22
meter dengan lebar 7 meter dengan kemampuan mengali sedalam 2 meter dalam
setiap pergerakanya, pekerjaan tersebut di mulai pada tahun 1937 saat gelombang
pertama kolonisatie/transmigran yang berjumlah 118 kepala keluarga datang ke
daerah Belitang. Kegiatan yang ada di Belitang ini masilah dibawah kendali
kontroler Martapura yang bernama VAA Lenep ,kontroler inilah yang mengurusi
segala hal yang berhubungan dengan program kolonisatie di wilayah Belitang. Pada
tahun pertama kedatangan kapal pembuat irigasi ini di sungai Komering berhasil
membuat kanal irigasi mulai dari kurungan nyawa sampai tanjung bulan yang
sekiranya berjarak 10 Km. Dan berikutnya pada tahun 1938 gelombang kedua
kolonisatie/transmigran datang dari pulau Jawa untuk ditempatkan di Belitang,
jumlah mereka sekira 132 KK yang kemudian di tempatkan sama dengan koloni
pertama yaitu Gedelte II (Belitang Rumah besar Kaum Transmigran I) Dalam
Koran soerabai-handlsbald terbitan 4 November 1940) dinyataka bahwa
pekerjaan ini diharapkan akan selesai pada bulan januari 1940 dengan panjang
lintasan kanal irigasi sepanjang 40 Km.

4.1.3 Bendungan Komering di Belitang (1937-1942)

Pada awalnya bendungan yang didirikan Belanda dibangun secara manual


untuk mengalirkan air dari sungai macak yang ketika meluap akan membanjiri
sawah, selain itu dengan dibangunnya saluran irigasi tersebut tanah yang
sebelumnya merupakan tanah yang kurang produktif karena tidak dialiri air yang

39
memadai dapat dialiri air (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:7). Perkembangan dan
pembangunan Bendungan Komering pada awalnya bertujuan untuk menunjang
keberhasilan masyarakat dalam mengikuti program Transmigrasi yang diadakan
pemerintah kolonial Belanda yang datang dari pulau Jawa, dimulai pada tanggal 17
Agustus 1937 yang letaknya di Onderafdeling Komering Ulu, Afdeling Ogan dan
Komering Ulu.
Dengan adanya Transmigrasi tersebut setahun kemudian mulailah dibangun
irigasi. Dengan kondisi tanah daerah Transmigrasi yang tidak semuanya subur dan
dapat dialiri air maka pembangunan irigasi sangat berpengaruh dalam keberhasilan
produktivitas sawah dan perkebunan yang dampaknya memberikan keuntungan
besar bagi Belanda dan masyarakat. Pertanian tidak akan maju tanpa adanya irigasi
oleh sebab itu pemerintah kolonial Belanda menginginkan Keresidenan Palembang
(Sumatera Selatan) menjadi lumbung beras setelah Jawa, jika tidak cukup
memenuhi kebutuhan dalam wilayahnya sendiri, agar bisa mandiri dan tidak
bergantung pada daerah lain, maka teknologi irigasilah yang berperan penting
dalam proses ini (Rohali, Wawancara 11 Mei 2017). Perkembangan kawasan
Transmigrasi tersebut tidak lepas dari peran serta irigasi yang dibuat secara berkala,
yang membuat Belitang sebagai daerah yang baru dibuka untuk Transmigrasi
menjadi wilayah yang mandiri untuk kabupatennya sendiri sehingga tidak
bergantung dengan daerah lain.

4.2 Dampak Bendungan Komering Terhadap Lingkungan (1937-1942)

Bendungan Komering memiliki pengaruh yang besar terhadap lingkungan


yaitu menjadikan tanah yang sebelumnya kurang produktif dan mengunakan sistem
tadah hujan sebagai cara untuk mengairi dan menyiram tanaman menjadi lahan
yang produktif dan dapat ditanami setiap saat karena bendungan Komering yang
airnya berasal dari sungai Komering yang sepanjang tahun tidak mengalami
kekeringan serta dapat mengaliri lahan sepanjang tahun dan meningkatkan
produktifitas lahan masyarakat Transmigran (Hasan, Wawancara 5 Juni 2017).

40
Dampak positif dari Bendungan Komering adalah menambah air untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhan tanaman, menjamin ketersediaan air sepanjang
tahun, mengatur temperatur tanah sehingga lebih baik bagi pertumbuhan tanaman,
mencuci atau mengurangi kandungan garam dalam tanah, mengurangi bahaya erosi,
memudahkan pengelolaan tanah. Selain itu bagi Petani atau masyarakat
Transmigran adanya bendungan Komering dimanfaatkan sebagai sumber air untuk
kebutuhan sehari-hari seperti mancuci baju, mencuci piring, mandi dan lain-lainnya
yang disebabkan oleh sumber air seperti sumur masih sangat jarang ada pada masa
pemerintahan kolonial Belanda karena daerah yang menjadi tempat
dilaksanakannya program tersebut masih berupa hutan.

Dampak negatif dari bendungan Komering adalah pembangunan


bendungan tersebut dibangun dengan cara kerja paksa oleh pihak kolonial Belanda
oleh orang-orang dari pulau Jawa (Hasan, Wawancara 5 Juni 2017). Pembangunan
bendungan apalagi adanya daerah Transmigrasi Belitang yang cukup pesat tersebut
mengakibatkan pertumbuhan dan persebaran masyarakat yang cukup cepat dan
meluas, sehingga daerah tadah hujan seperti hutan yang merupakan penghasil air
tanah berkurang, hal ini dikarenakan penebangan hutan secara besar-besaran yang
dilakukan demi pembangunan daerah transmigran. Hal ini juga mengakibatkan
populasi hewan-hewan endemik dari Sumatera yaitu harimau, gajah dan hewan-
hewan lainnya terancam punah keberadaannya dikarenakan habitatnya dirusak oleh
manusia.

4.2.1 Pendapatan Masyarakat Disekitar Bendungan Komering (1937-1942)

Pada awalnya suku Komering yang berada disekitar sungai mendapatkan


uang dan hasil kebun dari berladang, atau dalam istilah suku Komering disebut
Huma, ladang dan sungai menjadi hal yang saling berkaitan dalam memenuhi
kebutuhan daerah tersebut. Ladang menyediakan kebutuhan pangan tapi hanya
sedikit sekali yang memanfaatkan ladangnya menjadi sawah, jika ada pasti sedikit
dan hanya memanfaatkan sistem tadah hujan yang sangat bergantung dari air yang
berasal dari hujan untuk mengairi sawahnya dan ini belum efektif dalam memenuhi

41
ketersediaan beras (Fatwa Arsyad, Wawancara tanggal 8 juli 2017). Sungai dan
ladang menjadi tempat bergantung hidup masyarakat asli, dengan hasil kebunnya
tapi hanya sedikit yang menggunakan ladangnya sebagai sawah hal ini
menyebabkan kesejahteraan masyarakat asli suku Komering menjadi kurang
produktif dan kurang mensejahterakan.
Setelah kedatangan masyarakat Transmigran wawasan penduduk pribumi
dalam mengolah lahan menjadi meningkat dalam hal ini suku Komering mulai
dikenalkan dengan sistem irigasi dan pentingnya sawah. Dalam memenuhi
kebutuhannya, tidak hanya sawah tetapi dengan bantuan Transmigran yang datang
menambah tenaga baru dan sistem baru dalam proses mengolah sawah, ini dapat
dilihat dari adanya sistem bagi hasil, upah, dan bawon. Istilah-istilah tersebut sering
digunakan dalam kegiatan kerjasama antara suku Komering dan Transmigran di
Belitang (Rohali, Wawancara 11 Mei 2017).
Transmigran menjadi contoh baik untuk masyarakat Komering, karena
pengalaman Transmigran agar mengolah tanah menjadi lebih efektif dan
menghasilkan demi mensejahterakan kehidupan bagi petani yang berasal dari suku
Komering.
Selain itu disisi lain suku Komering mendapatkan perkerjaan sebagai
pendamping Transmigran dalam menunjukan arah dalam kegiatan menebas hutan.
Hal ini dikarenakan suku Komering yang mengenal daerah tersebut terutama hutan
yang masih jarang sekali disentuh oleh manusia, serta dalam memilih pohon-pohon
apa saja yang perlu dihindari dan perlu ditebang. Selain berkerja bersama suku
Komering penghasilan masyarakat Transmigran di sekitar bendungan Komering
yaitu dari hasil bercocok tanam dilahannya sendiri. Tanaman yang ditanam yaitu
padi, jagung, singkong, dan sebagainya. Tidak semua masyarakat yang memiliki
lahan dan mempunyai modal yang cukup untuk bercocok tanam, ada pula
masyarakat yang menawarkan jasanya untuk menggarap tanah orang lain lalu
membagi hasil panen dengan sistem bawon yang biasanya pemilik modal
mengambil 3/4 sedangkan petani membantu menggarap lahan mendapatkan ¼ dari
hasil panen (Syamsuddin, Wawancara tanggal 20 Mei 2017).

42
Selain berkebun atau menggarap sawah, Transmigran juga berjualan secara
sederhana dengan menjual kebutuhan sehari-hari seperti sayur-sayuran dan
kebutuhan rumah tangga lainnya. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat yang
mengikuti program Transmigrasi pemerintah kolonial Belanda memiliki badan
yang kuat untuk bertani atau mengelola lahan.

4.3 Perkembangan Sosial, Ekonomi dan Politik masyarakat Belitang

4.3.1 Perkembangan Sosial Masyarakat Belitang (1937-1942)

Tahun 1937 merupakan awal terjadinya proses Transmigrasi yang


dilaksanakan pemerintah kolonial Belanda, rata-rata penduduk yang mengikuti
program ini adalah orang yang berasal dari pulau jawa. Orang yang pertama kali
datang ke lokasi Transmigrasi tersebut disediakan tempat tinggal untuk sementara
yang disediakan Belanda berupa bedeng yang dapat menampung lebih dari 40 orang
sebelum mereka dapat mendirikan rumah sendiri (Oey, 1980:2-3). Keadaan itu
hanya untuk sementara karena mereka diberikan hak untuk menggarap tanah, setiap
keluarga diberikan 2 hektar tanah yang masih berupa hutan yang belum
menghasilkan dan memiliki pohon-pohon yang cukup baik kayunya untuk
dijadikan bahan untuk membangun rumah.

Masyarakat yang datang pada tahun berikutnya masih ditempatkan


dibedeng, akan tetapi setelah itu mereka menumpang ditempat Transmigran yang
lebih dahulu tiba dan sudah berhasil membangun rumah serta menggarap lahan
mereka. Transmigran yang baru datang tersebut belajar dari masyarakat yang
terlebih dahulu datang ke wilayah tersebut sebelum menggarap tanahnya, dari segi
tempat dan wilayah dibuat semirip mungkin dengan pulau Jawa agar pendududuk
yang datang merasa betah di Belitang. Dibeberapa marga terutama di Belitang
penduduk pribumi sudah menirukan apa yang dilakukan oleh kolonis dalam hal
mengolah tanah dengan cara yang sempurna (Fatwa Arsyad, Wawancara tanggal 8
juli 2017). Penduduk Komering tidak sombong dan tidak malu mencontoh orang-
orang itu dalam hal mengolah tanah dan untuk belajar dengan orang-orang

43
Transmigran memang sangat terbuka karena hubungan yang baik antara penduduk
pribumi dan masyarakat Transmigran.
Sistem sosial masyarakat berteknologi irigasi sawah memungkinkan
keterkaitannya secara langsung dengan pengetahuan teknologi ini, sehingga akan
terjadi pembagian strata sosial tertentu seperti: pemilik alat pengupas butir padi dari
kulitnya, dan pemilik gudang untuk penyimpanan padi atau beras (pemilik
lumbung) mendapatkan strata yang lebih tinggi dari petani penggarap (Soedigdo
Hardjosoedarmo (1965) dalam Mantra, 1985;160). Begitu juga proses
pendistribusian hasil sawah akan menciptakan strata sosial lagi seperti saudagar
pemilik modal dan sebagainya, sistem teknologi sawah irigasi ini pada dasarnya
akan berhubungan dengan sistem perdagangan jasa seperti pemilik modal dan
peralatan pertanian.
Sistem organisasi sosial pada masyarakat ini berkembang sejalan dengan
mata pencarian yang ditekuninya. Pada pembagian kerja terlihat bahwa pengolahan
sawah dilakukan laki-laki, sedangkan penanaman serta pemeliharaan dilakukan
oleh perempuan. sementara itu, anak-anak biasanya terlibat pada saat masa panen,
mereka dilibatkan untuk mengumpulkan butir-butir padi yang jatuh akibat tidak
terpotong oleh alat pemotong padi. Begitu juga dengan sistem lainnya seperti religi
yang menempatkan dewa perempuan sebagai penjaga padi (seperti dewi sri),
sehingga mendapat pemaknaan terhadap sistem mata pencarian (pendapat Charles
A. Fisher dalam J.M. Hardjono, 1977: 7). Lalu juga ada kesenian yang memberikan
nuansa tersendiri bagi adanya upacara disaat panen, menanam dan juga mengolah
sawah yang muncul dalam kesenian-kesenian dari masyarakat yang bersangkutan.
Transmigran ditempatkan sebagian di bedeng dan sebagian lagi
menumpang pada Transmigran yang sudah ada. Dalam tahun 1937 Transmigran
tinggal di bedeng selama 14 hari setelah lewat dari 14 hari mereka harus pindah
dari bedeng dikarenakan bedeng akan diisi oleh rombongan berikutnya. Dan dalam
waktu 14 hari tersebut, masyarakat Transmigran kekurangan waktu untuk
mendirikan pondok tempat tinggal mereka karena itu pada tahun 1938 dan 1939
bedeng yang digunakan kolonis ditambah, dan jangka waktu tinggal dibedeng
tersebut menjadi lebih lama yaitu kira-kira 1 bulan lamanya, dengan begitu hasil
44
rumah yang dibuat pada tahun 1938 lebih baik dan layak dikarenakan waktu yang
cukup untuk membangun rumah (Syamsu,1986:327). Pembuatan rumah
Transmigran sendiri bahan-bahannya didapatkan disekitar lahan tempat mereka
berladang dan juga dapat mengambil dari hutan yang letaknya dekat dengan tempat
tinggalnya, sementara karena di hutan tersebut memiliki kayu dengan kayu yang
cukup baik untuk membangun sebuah rumah, seperti : ngerawan, meranti, laban,
sungkai, dan lain-lain. Sedangkan bambu dan rotan juga didapatkan dibeberapa
tempat di hutan tersebut.
Kematian penduduk Transmigran pada tahun 1938 ada sekitar 23 orang dari
1000 jiwa. Kelahiran ada 34 orang dalam 1000 jiwa. Penyakit yang terbanyak
dialami oleh masyarakat Transmigran adalah malaria, kudis, disentri, bronkitis, dan
pneumia (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:7). Malaria adalah yang menyebabkan
kematian terbanyak, dikarenakan penyakit malaria penyebarannya terjadi pada saat
pergantian musim dan saat mereka membuka lahan di hutan dan biasanya penyakit
ini datang pada bulan juli.
Berbeda dengan tahun 1937, pada tahun 1938 dan 1939 atap untuk rumah
tidak diberikan oleh pemerintah kolonial dikarenakan harga atap tersebut cukup
mahal dan tidak tahan lama, serta biasanya dalam perjalanan ke daerah Transmigran
atap tersebut rusak sebelum sampai dikarenakan terkena hujan dan panas. Pada
tahun 1938 para masyarakat Transmigran diperintahkan untuk membuat atapnya
sendiri menggunakan alang-alang, pios, serdang atau dari bahan lainnya yang
jumlahnya cukup banyak di daerah Transmigrasi (Jones G. W dalam Sri Edi
Swasono, 1986:239). Dikarenakan aturan ini banyak Transmigran yang utangnya
bertambah kepada pemerintah Kolonial Belanda, karena untuk mengangkut barang-
barang bahan untuk membangun rumah perlu memberikan upah karena
mengangkut barang tersebut dengan mengunakan mobil agar tidak ada waktu yang
terbuang dalam proses membersihkan dan menanami lahannya karena proses
menanam dan membuat rumah diberikan waktu 1 bulan. Kesiapan ladang dan
rumah harus selesai bersamaan karena sandang dan pangan merupakan kebutuhan
pokok yang penting dan mendesak. Ketika seluruh bahan terkumpul rumah tersebut
dikerjakan bersama-sama dengan cara “sambatan” (tolong menolong). Hal ini
45
selalu dilakukan selain menghemat tenaga juga menghemat biaya pengeluaran ini
dilakukan bergantian satu sama lain. Transmigrasi Belitang pada tahun 1937-1942
memiliki daya tarik bagi masyarakat sehingga pada tahun-tahun berikutnya
meskipun pemerintah Kolonial Belanda sudah tidak berada lagi di Indonesia
perkembangannya dari meningkat seperti data dibawah ini.

TABEL 2
Jumlah Transmigran yang didata pada tahun 1950 di 17 Kelurahan

Kelurahan Orang Jumlah Anak- Jumlah Jumlah


anak Seluruhnya
Laki- Perem Laki- Perem
Laki puan Laki puan
Sidomulyo 345 330 675 189 184 373 1048
Trukurejo 506 407 913 335 387 722 1635
Sumber Soko 224 196 420 171 187 358 778
Sidorahayu 264 244 508 214 212 426 934
Karang Tengah 114 115 229 97 86 183 412
Pujorahayu 172 153 325 108 111 219 544
Mojosari 237 211 448 159 152 311 759
Harjowinangun 255 256 511 182 176 358 869
Sidogede 102 120 222 92 91 183 405
Tegalrejo 153 158 311 182 154 336 647
Gumawang 91 87 187 99 73 172 354
Bedilan 121 138 259 171 115 286 545
Josowinangun 110 78 188 43 27 70 285
Tulusaju 56 46 102 44 36 80 182
Srikaton 398 241 639 131 224 355 994
T.Sari 221 134 355 105 171 276 631
Tanjung 205 194 399 172 139 311 710
Jumlah 6682 5019 11701
(sumber : Kementrian Penerangan Republik Indonesia,1954;354-355).

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa persebaran masyarakat disetiap


desa sudah mulai merata dan pemerataan penghasilan sudah mulai berjalan. Di
daerah Transmigrasi telah dibuka usaha pembakaran genteng, dan usaha ini
pastikan maju, ini juga mempermudah pembangunan rumah untuk Transmigran
karena biasanya genteng tersebut dibeli dari Palembang dan harganya cukup mahal

46
sedangkan yang dibuat di Onderafdeling itu sendiri kualitasnya kurang baik. Selain
genteng atap yang digunakan untuk membangun rumah adalah menggunakan sirap
yang dibuat sendiri atau dibelinya.
Di Simpangan (Belitang) ada sebuah pusat perdagangan yang terletak
dibatas Transmigrasi 1937 yang dibangun sebuah langgar yang didirikan oleh
penduduk asli dan bisa digunakan untuk keperluan Transmigran. Selain langgar di
desa Sidodadi juga dibangun sebuah masjid dengan biaya pembangunan bersama
dari penduduk asli dan juga marga-marga lain. Transmigran mendapatkan ¼ bahu
untuk pekarangan dan 1 bahu untuk ladang dan bisa dijadikan sawah dan jatah
tersebut untuk 1 keluarga. Bagi keluarga yang rajin akan mendapatkan jatah
tanahnya dari sisa-sisa pembagian tanah yang dilakukan bersama-sama dengan
pejabat Verkeer en Waterstaat. Dalam tiap kampung yang memiliki hutan yang
cukup lebat, ada seorang penduduk asli yang digaji untuk menjadi guru untuk
orang-orang kolonis dalam menebas dan menebang hutan. Tugasnya adalah
memilih pohon mana saja yang akan ditebang lebih dahulu (Dixon, 1980:75). Biaya
yang perlu dikeluarkan tidak seberapa, sebab waktu yang digunakan tidak terlalu
lama yaitu 6 minggu atau 2 bulan lamanya dan keuntungan yang didapatkan cukup
banyak. Disaat menebang pohon Transmigran belajar dalam menghindari bahaya,
karena di wilayah Belitang banyak sekali tumbuh pohon rengas dan jika terkena
kulit efeknya akan menjadi gatal, bengkak dan bisa sampai demam.

4.3.2 Perkembangan Ekonomi Masyarakat Belitang tahun 1937-1942

Kolonisasi di Belitang, Ogan dan Komering Ulu terjadi Pada 3 tahap yaitu
tahun 1937, 1938, 1939 yang semua berasal dari pulau Jawa,

a. Pada tahun 1937 transmigran yang ada di Transmigrasi Belitang berjumlah


826 jiwa dan pada tahun berikutnya
b. Pada tahun 1938 Jumlah Transmigran itu menerima kedatangan lagi dari
pulau Jawa sebanyak 2017 jiwa
c. pada tahun 1939 gelombang yang ketiga ini Transmigran yang datang dan
terdata berjumlah 5483 jiwa

47
Dan jumlah keseluruhan Transmigran yang datang pada ketiga gelombang tersebut
adalah 8326 jiwa atau 2270 kepala keluarga (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:19).
perkembangan minat transmigran dari Jawa setiap tahunnya yang terus meningkat
ini dapat disimpulkan bahwa Transmigrasi Kolonial Belanda memiliki daya tarik
dalam peningkatan ekonomi masyarakat pada saat itu karena keterbatasan lahan dan
perkerjaan di Jawa hal tersebut terjadi.

Perkembangan Perekonomian masyarakat Belitang pada masa 1937-1943


dizaman pemerintah Kolonial Belanda mengalami perkembangan setiap tahunnya.
Selain ditunjang dalam bidang pertanian, mobilitas antar penduduk melakukan
transaksi ekonomi pun cukup cepat, seperti contohnya petani tidak menjual semua
hasil dari pertaniannya, akan tetapi juga menyimpan hasil pertaniannya untuk
dikonsumsi sendiri hingga musim panen berikutnya, dan surplus dari pertaniannya
itu baru akan dijual untuk memenuhi kebutuhan lainnya (Nugraha Setiawan,
1994;7). Dikarenakan mayoritas penghasilan utama masyarakat Transmigran
Belitang adalah Petani yang mengandalkan sistem tadah hujan untuk mengaliri
Sawah atau lahan pertaniannya, maka dengan dibangunnya irigasi Bendungan
Komering dapat menambah hasil serta mempermudah petani untuk memenuhi
kebutuhannya. Pembangunan Irigasi Komering pada tahun 1938 yang memang
dibutuhkan pada saat itu dibangun dengan tujuan mensejahterakan dan
mempercepat proses perkembangan Transmigran. Transmigran itupun pada
awalnya merasa sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, tetapi
dibandingkan dengan keadaan di pulau Jawa keadaan mereka di pulau Sumatera
bisa dikatakan lebih baik, karena mereka memiliki lahan dan tanah sendiri untuk
dibangun rumah ataupun menjadi lahan yang akan dikelolanya sendiri.
Mengenai jenis padi apa yang cocok untuk ditanami itu merupakan suatu
persoalan yang penting, dikarenakan daerah yang baru tersebut pengalaman
penduduk asli soal cara menanam atau membuka lahan persawahan belum ada.
Yang menjadi pertimbangan adalah bukan hanya kualitas padinya saja tetapi juga
banyaknya hasil yang didapat juga penting dalam program penanaman padi yang
baru dan melakukan percobaan dengan sebaik-baiknya dengan mengunakan air

48
sungai komering tetapi karena pada saat itu keadaan belum memungkinkan
digunakan air yang ada saja, dan sawah percobaan itu dibuat kurang lebih 10 sampai
40 ha luasnya. Perkakas dan barang barang lain yang dibagikan kepada kolonis
ketika sampai di tanah Transmigrasi adalah sebagai berikut:
Yang diberikan gratis: Batu gosok (ditentukan banyaknya tergantung banyaknya
penduduk di dalam desa), Kaleng minyak tanah, Botol kosong dan blik kecil-kecil
Yang diberikan dengan utang :
a. Perkakas dalam mengarap tanah, berupa :Pacul, Kapak, Cengkuit, Parang
b. Padi
c. Barang yang lain-lain: Periuk untuk memasak nasi dan Pelita

Kepada orang-orang baru pemerintah kolonial Belanda memberikan beras


dengan cara meminjam kepada pemerintah kolonial Belanda dengan cara
menunjukan kartu yang diberikan pada saat mereka datang, pada kartu itu
disebutkan jumlah yang bisa diambil menurut jumlah keluarga yang dimilikinya,
ini diberikan sampai mereka bisa mandiri dalam kebutuhan pangannya dengan hasil
tanamannya sendiri. Untuk satu keluarga mendapatkan 5.655 pikul beras, dan
sesudah panen bantuan ini tidak akan diperlukan lagi. Pembagian beras kepada
transmigran dibagi seperti tabel dibawah ini.

TABEL 3
Jumlah Bantuan Beras kepada Transmigran baru
April Agustu Septe Oktob Nove Desem Januari Februari
sampai s mber er mber ber
Laki-Laki 0,9 0,7 0,6 0,5 0,3 0,2 0,2
Perempuan 0,7 0,5 0,45 0,4 0,25 0,2 0,2
Anak-anak 0,5 0,35 0,3 0,25 0,20 0,15 0,15
3-12 tahun
Anak-anak 0,3 0,25 0,2 0,15 0,15 0,10 0,10
0-3 tahun
Jumlah 1 2,4 1,80 1,55 1,30 0,90 0,65 0,65
Keluarga

Sumber : Kolonisatie Buletin vol.9 hal 10 tahun 1940

Dikarenakan hasil panen yang belum stabil pembagian jatah beras kepada
masyarakat Transmigran tersebut tidak selalu berpedoman kepada jumlah ukuran
49
diatas, terkadang hasil panen yang sedikit dan terhambat distribusinya sehingga
sesekali pembagian beras lebih banyak dari pada pedoman tersebut ataupun
sebaliknya. Sesekali para Transmigran yang datang menumpang ke daerah tersebut,
tidak mengambil jatah beras yang disediakan pemerintah kolonial Belanda,
dikarenakan mereka mendapatkan bantuan dari keluarga mereka yang terlebih
dahulu datang melalui program Transmigrasi pertama. Dalam proses adaptasinya
50 keluarga dari 1550 keluarga yang datang pada tahun 1940 di perintahkan untuk
hidup dari hasil bawon semata tanpa diberikan bantuan berupa beras , dan
selanjutnya cara mereka bertahan hidup dengan bergantung pada upah bawon yang
didapatkan dari 250 keluarga Transmigran yang datang terlebih dahulu pada tahun
1937. Dengan perbandingan upah sebesar 5 : 1 dengan hasil yang biasanya 25 pikul
padi kering dalam setiap 1 bahu bergantung pada baik atau tidaknya hasil panen
sawah yang menentukan hasil dari banyak atau tidaknya hasil yang dibawa sistem
bawon ini (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:11).
Pembagian jatah bibit tanaman dari pemerintah kolonial Belanda
didapatkan dari berbagai daerah yang ada di Indonesia ataupun sekitar tempat
Transmigran dengan jenis :
1. Ketela : Mangi dan Valenea dari Pagar Alam,
Singapura dari Kediri yang dibawa oleh Transmigran
Mentega dari tempat yang dekat-dekat Transmigrasi itu sendiri
2. Ubi : Ubi kuning dari Lubuk Linggau
Pangkoar, ubi yang besarnya cukup pertumbuhannya yang dibawa
Transmigran dari daerah Jogjakarta
3. Jagung: Menado Kuning dari Curup (bisa di panen dalam 3 bulan)
4. Kacang Tanah : Schwarz 21 dari Landbowkundig Instittuut di Bogor,
kacang ini tidak akan terkena penyakit lendir
5. Kedelai : Kedelai mas dari Lubuk Linggau, Kedelai Hitam dan Kedelai
putih dari Bogor
6. Kacang Hijau : dari Bogor
7. Tembakau dari Magelang
8. Ganjong dari Jogja
50
9. Erot dari Jogja
10. Uwi dari Blitar
11. Padi bulu dari gedongtataan
12. Akar tuba dari Bogor
13. Kapuk dari Bogor
14. Salak dari Bogor

Dan palawija yang cocok ditanam di daerah Transmigrasi Belitang adalah


Ketela, Jagung, Kacang tanah Schwarz 21 (tanah berpasir di Belitang sangat cocok
untuk kacang jenis ini, dan tanaman ini sudah di tanam sejak lama oleh penduduk
asli bukan untuk keperluan diri sendiri tapi juga dikirim ke hilir dan ke Palembang).
Padi bulu dari Gadongtataan baik juga pertumbuhannya dan banyak peminatnya.
Masyarakat Transmigran menanamnya karena di beberapa tempat hasil dari padi
ini lebih dari 60 pikul padi basah dalam sebahu. Pembagian bibit untuk kolonis yang
baru datang diatur jumlahnya dengan banyak sebagai berikut dalam satu
pekarangan :5 tongkol jagung, 1 kaleng kacang tanah, 3 buah kelapa biasa, 2 buah
kelapa gading, 40 potong bahan ketela, dan 10 batang anak nanas, Selanjutnya ubi,
rupa-rupa bibit sayur mayur, rempah-rempah, dan bibit pohon buah-buahan yang di
tanam dalam wadah kecil. Kepada anggota permerintahan dan orang yang rajin
dalam berkerja diberi hadiah bibit jeruk dari muara enim. Di daerah Transmigrasi
belum ada yang memiliki ternak seperti sapi dan kambing, tetapi hampir seluruh
keluarga Transmigran memiliki ayam. Jika ada yang memliliki kerbau dari suku
Komering dengan cara paroan yaitu sistem bagi hasil ketika peliharaan tersebut
memiliki anak (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:14).
Penduduk asli memiliki kerbau, tetapi cara memeliharanya adalah dengan
cara dilepaskan secara liar hampir sepanjang tahun, hanya sesekali dilihat dan
dimasukan kedalam kandang agar tidak menjadi terlalu liar. Oleh sebab itu,
penduduk asli atau orang dusun suka menaruh kerbau mereka kepada para
Transmigran, dengan cara tersebut penghasailan mereka akan menjadi lebih besar.
Hubungan tersebut menjadikan interaksi antara masyarakat Transmigran dan suku
Komering sehingga memiliki hubungan baik dan saling menguntungkan. Orang

51
Komering belajar cara menanam padi yang baik kepada Transmigran, dan orang
Transmigran bisa upahan dan paroan dalam memelihara ternak kerbau milik orang
Komering.

4.3.3 Perkembangan Politik Masyarakat Belitang tahun 1937-1942

Jatuhnya Kesultanan Palembang membuat pemerintahan kolonial


mengambil kebijakan pemerintahan yang bersifat sentralistis. Sistem sentralistis
yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini sebenarnya bermata dua,
karena sistem sentralistis hanya berlaku untuk struktur Kekuasaan dari Gubernur
Jenderal yang berkedudukan di Batavia, Residen yang berkedudukan di
Keresidenan dan Kontroleur yang berkedudukan di onderafdeeling. Namun untuk
tingkatan yang paling rendah dalam sistem ini di Keresidenan Palembang, yaitu
marga tetap memiliki corak desentralistis. Untuk itu Pemerintah Kolonial Belanda
mengubah Kesultanan Palembang dalam bentuk Keresidenan Palembang yang
langsung di bawah kekuasaan seorang Residen berkedudukan di Ibukota
Palembang (G., F. Bruynm Koprs, Overzicht van Zuid Sumatra, 1919; 33-34).
Sebetulnya sistem sentralis ini mengalami beberapa kali perubahan dengan
Undang-Undang yang termuat dalam Staadblad. Ketika pertama kali penerapan
sistem sentralistik, Keresidenan Palembang menurut Keputusan Pemerintah Hindia
Belanda yang termuat dalam Regeering Almanak tahun 1870 terbagi atas 9
afdeeling. Kemudian pada tahun 1972 afdeeling ini diperkecil menjadi 7 afdeeling
saja, tetapi pada tahun 1978, Keresidenan Palembang kembali lebih sempit menjadi
6 afdeeling, di mana Palembang sebagai ibukota Keresidenan statusnya bukan lagi
sebuah afdeeling. Dari 6 afdeeling, Keresidenan Palembang dipadatkan lagi
menjadi 4 afdeeling lewat penetapan dalam Staadblad 1906 no. 466 dan Staadblad
tahun 1907 No. 528. Penetapan terhadap afdeeling yang ada di Keresidenan
Palembang ini dilaksanakan oleh keberadaan Pemerintah Kolonial yang sudah
diakui di Kota Pusat, Palembang, namun masih belum dapat berkuasa penuh di
daerah pedalaman atau uluan.

52
Daerah di bawah keresidenan Palembang berupa wilayah afdeeling
langsung di bawah kekuasaan seorang asisten residen yang berkedudukan di
ibukota afdeeling, Keresidenan Palembang dibagi dalam daerah berbentuk
afdeeling yang meliputi tiga afdeeling yaitu:

1. Afdeelingen Palembangsche Benedenlanden (Palembang Daerah-Daerah


Dataran Rendah) yang beribukota di Palembang dimana Asisten Residen
Palembangsche Benedelanden kedudukannya di pusatkan di Palembang.
2. Afdeelingen Palembangsche Bovenlanden (Palembang Daerah-Daerah
Dataran Tinggi) yang beribukota di Lahat.
3. Afdeelingen Ogan en Komering Oeloe yang beribukota di Baturaja.

Daerah di bawah afdeeling di Keresidenan Palembang berbentuk


onderafdeeling yang kekuasaannya dipegang oleh seorang kontroleur dan
berkedudukan di ibukota onderafdeeling yang kekuasaannya dipegang oleh seorang
kontroleur dan berkedudukan di ibukota onderafdeeling.
Afdeelingen Palembangsche Benedenlanden kemudian dibagi lagi atas lima
onderafdeeling, yaitu:

1. Onderafdeeling Banyoe Asin en Kooboestreken dengan ibukota dan


kedudukan kontroleur berada di Talang Betoetoe. (Lihat Memorie van
Overgave Controlir C. Vande Velde).
2. Onderafdeeling Komering Hilir dengan ibukota dan kedudukan kontroleur
berada di Kajoe Agoeng;
3. Oderafdeeling Ogan Hilir dengan ibukota dan kedudukan kontroleur
berada di Tanjoeng Radja;
4. Onderafdeeling Moesi Hilir dengan ibukota dan kedudukan kontroleur
berada di Sekajoe;
5. Onderafdeling Rawas dengan ibukota dan kedudukan kontroleur berada di
Soeroe Langoen;

Afdeelingen Palembangshe Bovenlanden terbagi atas lima onderafdeeling yaitu:

1. Onderafdeeling Lematang Hilir dengan ibukota dan kedudukan kontroleur


berada di Moeara Enim;
2. Onderafdeeling Lematang Oeloe dengan ibukota dan kedudukan
kontroleur berada di Lahat;
3. Onderafdeeling Pasemahlanden dengan ibukota dan kedudukan kontroleur
berada di Pagar Alam;

53
4. Onderafdeeling Tebing Tinggi dengan ibukota dan kedudukan kontroleur
berada di Tebing Tinggi;
5. Onderafdeeling Moesi Oeloe dengan ibukota dan kedudukan konteroleur
berada di Moera Bliti.

Afdeelinggen Ogan dan Komering Oleloe terbagi lagi atas tiga onderafdeeling,
yaitu:

1. Onderafdeeling Komering Oeloe dengan ibukota dan kedudukan


kontroleur berada di Martapoera;
2. Onderafdeeling Ogan Oeloe dengan ibukota dan kedudukan kontroleur
berada di Loeboek Batang;
3. Onderafdeeling Moera Doea dengan ibukota dan kedudukan kotroleur
berada di Moeara Doea.

Menurut Zaak Almanak Zuid Sumatera tahun 1936 (Arlan Ismail, Marga di
Bumi Sriwijaya, 2004; 204), jumlah pemerintahan Marga di Sumatera Selatan
adalah 314 marga terdiri dari Keresidenan Palembang 174 marga , Keresidenan
Lampung 58 marga dan Keresidenan Bengkulu 82 marga.
Perkembangan politik di Belitang yang terletak di Onderafdeling Komering
Ulu, Afdeling Ogan dan Komering Ulu, Residen Palembang ini tidak lepas dari
perkembangan politiknya apalagi dalam perkembangannya pada masa itu masih
menganut sistem perpolitikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kolonial
Belanda. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pemerintah dalam
melaksanakan peraturan-peraturan yang nantinya akan dipatuhi oleh masyarakat
yang mengikuti program Transmigrasi yang dilaksanakan di Belitang. Belitang
sendiri terdiri dari beberapa marga (kecamatan) yang dipimpin oleh kepala marga
yang didalamnya terdiri dari beberapa Dusun (Desa). Susunan pemerintahan
dikampung dikepalai oleh kamitua (kepala Desa) dibawahnya ada seorang carik
(Sekretaris), seorang kebajan (Polisi) dan seorang modin yang mengatur urusan
yang berhubungan dengan agama. Beberapa kampung akan dijadikan satu desa
yang akan dikepalai oleh Kepala Desa (Lurah), Pegawai Transmigrasi Belitang
yang berkerja dibawah pengawasan asisten wedana adalah sebagai berikut

1. Seorang mandor untuk Transmigrasi di Belitang


2. Seorang pembantu mandor di Transmigrasi Belitang
54
3. Seorang mandor untuk Transmigrasi di Kurungan Nyawa

Mandor tersebut berasal dari Jogjakarta dan beliau datang ke Belitang pada
tahun 1937 dengan anggota keluarganya yang banyak di Jogjakarta. Di
pulau Jawa dia sudah menjadi pegawai desa dan disini dia menjadi kamitua
dalam waktu setahun. Dalam setahun kinerjanya dalam mengurus urusan
perpolitikan di daerah Transmigrasi cukup baik dan dengan ikhlas
menolong pegawai Transmigrasi dalam proses awal Transmigrasi yang
cukup berat karena berbulan-bulan dia harus bekerja didalam hutan, karena
ia adalah orang yang dapat dipercaya dalam pekerjaannya ia pun diangkat
menjadi mandor Transmigrasi di Kurungan Nyawa. Perkerjaan dibawah
pimpinan pegawai Transmigrasi daerah yang dipimpin lebih teratur dan
rapih sehingga lebih baik dari pada Transmigrasi di daerah awal yaitu di
daerah Simpang Mesir (1937). Dalam usahanya diperlukan seseorang yang
mampu membantu mengatur daerah dan memiliki kecakapan yang baik
4. Dua orang pembantu di Kurungan Nyawa
5. Seorang pembantu di Belitang
Orang yang berkerja dibawah pengawasan Adjunet-Landboweonsuent
sebagai berikut
a) Seorang landbowkundig opzichter
b) Seorang manteri landbow di Belitang
c) Seorang mandor untuk kebun bibit di Karangrejo
d) Seorang mandor untuk gudang bibit di Belitang
e) Seorang mandor di Kurungan Nyawa
Nama-nama diatas adalah daftar nama pegawai yang bernaung dibawah
pemerintah kolonial Belanda yang mengatur administrasi wilayah Transmigrasi
Belitang (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:28). Dari sistem perpolitikan diatas dapat
dilihat bahwa sistem pemerintahan yang kita jalani sekarang adalah adaptasi dari
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, selain memudahkan informasi yang masuk,
sistem ini juga bisa merangkul masyarakat yang berada di wilayah
pinggiran/terdepan dalam suatu wilayah, akan tetapi kekurangannya adalah bantuan

55
pusat/informasi yang di sampaikan banyak melalui perantara, sehingga dapat
menimbulkan Korupsi diberbagai tingkatan, maka diperlukan pengawasan yang
ketat.

4.4 Sumbangan Materi

Dalam memperkaya Sejarah Nasional Indonesia dan guna menambah


wawasan pendidik dan perserta didik mengenai kekayaan informasi pengetahuan
sejarah yang didapat di sekitar lingkungannya dan guna menanamkan jiwa akan
pentingnya kecintaan terhadap sejarah lokal. Penulis berharap dengan adanya
tulisan mengenai “Perkembangan Perekonomian Transmigran di Belitang (1937-
1943)” dapat dijadikan sumber referensi dan media pembelajaran pada mata kuliah
Sejarah Sosial.
Materi Skripsi ini sesuai dengan materi Sejarah Sosial yaitu Sejarah
Transmigrasi dan Perkembangan Transmigrasi di Indonesia yang diajarkan oleh
dosen pengampu pada pertemuan ke 5 dan 6, didasari dengan latarbelakang
Belitang merupakan lokasi kolonisasi/transmigrasi pertama di Sumatera Selatan
yang dilaksanakan pada tahun 1937 oleh pemerintah Kolonial Belanda yang
memiliki filosofi dalam pembangunan kabupaten OKU Timur, dengan adanya
transmigrasi pembangunan wilayah kolonisasi terjadi dalam berbagai sektor,
contohnya dalam sektor pertanian berupa Bendungan/Irigasi yang menjadi
pemasok air pada lahan masyarakat Transmigran yang menjadikan masyarakat
transmigran sejahtera saat ini, hal tersebut tidak lepas dari kebijakan-kebijakan
Pemerintah Kolonial Belanda yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat
transmigran ataupun masyarakat asli yaitu suku Komering. Hal inilah yang
menjadikan pembahasan skripsi ini menjadi sumbangan materi dalam Sejarah
Sosial, untuk itu materi ini perlu dimasukan kedalam indikator pembelajaran agar
perserta didik memahami dengan baik materi mengenai Sejarah Transmigrasi dan
Perkembangan Transmigrasi di Indonesia, Khususnya Perkembangan
Perekonomian Transmigran di Belitang pada tahun 1938-1937

56
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kebutuhan manusia dalam memenuhi segala keperluan kebutuhan dan demi


melangsungkan hidup yang lebih baik mendorong masyarakat jawa mengikuti
program Transmigrasi yang dilaksanakan pemerintah kolonial Belanda. Program
tersebut adalah sebagai realisasi politik balas budi atau yang dikenal dengan politik
Etis, yang isinya terdiri dari Emigrasi, Irigasi, dan Edukasi yang berlokasi di
Belitang, Afdeling Komering Ulu, Residen Palembang.
Belitang sendiri dipilih karena memiliki lokasi yang strategis dalam
melakukan kolonisasi karena lokasinya dekat dengan sungai komering yang bisa
mengaliri serta mencukupi kebutuhan dalam melaksanakan program kolonisasi
baik, akan tetapi air tersebut hanya dapat mengairi sebagian daerah dan daerah lain
yang letaknya jauh dari sungai tidak teraliri dengan begitu dibutuhkan irigasi
sebagai perantara untuk mengalirkan air dari sungai komering dengan membendung
air tersebut di desa Kurungan Nyawa yang saat ini dinamakan Bendungan
Komering atau sering disebut masyarakat sekitar dengan BK.
Dengan adanya kolonis yang datang dari pulau Jawa pada tahun 1937 serta
BK yang menjadi perantara interaksi antara suku Komering dengan suku Jawa hal
ini pada kekompakan dan keharmonisan mereka dapat dilihat dari kerjasama dan
cara mereka dalam belajar satu sama lain dalam bertahan hidup dalam menjalani
kehidupannya. Contoh dari kerjasama tersebut adalah suku Komering memakai jasa
suku Jawa dalam melakukan panen padi dengan mengupah/membayar jasa mereka
mengunakan sistem bawon, selain itu suku Jawa juga sering memelihara peliharaan
dari suku Komering berupa Sapi atau pun kambing yang jika memiliki anak akan
dibagi nantinya.
BK sendiri merupakan cikal bakal dari perkembangan desa-desa mandiri
seperti Kurungan Nyawa, Eling-Eling, sampai desa Sukajadi-Simpang Mesir yang
terhimpun dalam daerah Transmigrasi Belitang yang terletak di Afdeling Ogan
Komering Ulu atau yang dikenal sekarang dengan Kabupaten OKU Timur yang
57
menjadi lumbung beras Sumatera Selatan dan hal ini terjadi karena memang OKU
Timur secara sejarah memiliki pondasi pembangunan daerah yang sudah
ditanamkan sejak zaman permerintahan kolonial Belanda dan dilanjutkan di era
sekarang.

5.2 Saran
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa program pemerintah kolonial
Belanda dalam melaksanakan Politik Etis di wilayah Sumatera Selatan, saran yang
penulis ingin sampaikan adalah sebagai berikut :
1. Dampak yang dihasilkan dari adanya Bendungan Komering diharapkan bisa
menjadi tolak ukur dan pondasi pembangunan kabupaten OKU Timur,
dengan adanya infrastruktur yang baik seperti irigasi, akses jalan dan
lainnya maka pembangunan akan menjadi lebih cepat dan juga
kesejahteraan penduduk akan lebih baik dengan begitu seiringnya
berjalannya perekonomi di kabupaten OKU Timur akan mengurangi angka
kemiskinan dan kriminalitas.
2. Dengan adanya berbagai macam suku dan budaya di Wilayah Transmigrasi,
baik itu dengan sesama kolonis atau penduduk asli harus terjalin hubungan
baik dan tolong menolong, karena hal ini sudah terjadi sejak lama dan
diharapkan tidak ada konflik antar suku/agama.
3. Dengan keadaan sekarang kesenjangan ekonomi maupun sosial diharapkan
tidak ada kecemburuan sosial dari penduduk suku Komering terhadap
penduduk yang merupakan Transmigran jaman dahulunya yang sekarang
hidupnya lebih baik dari pada penduduk asli. Disinilah salah satu penyebab
kriminalitas di OKU Timur tinggi.
4. Bendungan yang dibangun oleh Belanda sudah tidak beroperasional lagi,
akan tetapi harusnya diperhatikan dan dirawat sedemikian rupa karena bisa
menjadi aset wisata sejarah yang sangat berharga nantinya karena bentuk
fisik bangunan BK tersebut merupakan awal mula perkembangan
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dan menjadikannya maju sampai

58
sekarang, selain itu bisa dijadikan destinasi wisata jika lokasi tersebut di tata
sedemikian rupa hingga menarik wisatawan.

59
Daftar Pustaka

Bautet. I.J Brugmans. 1987. “Politik Etis dan Revolusi kemerdekaan”. Obor
:Jakarta

Dixon, J. A. 1980. “Biaya-biaya Pemukiman Atas Areal Tanah dan


Alternatifalternatifnya”,Prisma, Tahun VIII No. 4.

Djoened Poesponegoro, Marwati dan Notosusanto, Nugroho. 1993.

“Sejarah Indonesia Jilid V”. Balai Pustaka : Jakarta

Fachurozie, S.A dan Colin Mac Andrews. 1982. “Pengalaman Selama Empat
Puluh Tahun di Daerah Transmigrasi Belitang, Sumatera Selatan” dalam
Joan Hardjono (Ed). Transmigrasi dari Kolonialisasi sampai Swakarsa.
Jakarta: PT.Gramedia.

Handayani, Sri Ana. 1994 “Transmigrasi di Indonesia dalam Perspektif Sejarah”.

Jember: Universitas Jember.

Hardjono, J. M. 1977. “Transmigration in Indonesia”. Kuala Lumpur: Oxford

University Press.

Kartodirjo, Sartono. 1990. “Pengantar Sejarah Indonesia Baru jilid 2”. Gramedia

Pustaka : Jakarta

Nasution. 1983. “Sejarah Pendidikan Indonesia”. Bumi Aksara : Bandung

Notosusanto, Nugroho dan Yusman Basri. 1979. “Sejarah Nasional Indonesia


Jilid” III. PN Balai Pustaka : Jakarta

60
Nugraha Setiawan.1994.” Transmigrasi di Indonesia: Sejarah dan
Perkembangannya”. Yogyakarta: Program Studi Kependudukan, Program
Pascasarjana UGM.

Manssur, Ahmad, Suryanegara. 2009. “Api Sejarah”. Salamdani : Bandung

Mantra, I. B. 1985. “Pengantar Studi Demografi”. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Nicoll, G. Mc. 1960. “Internal Migration in Indonesia: Description Note

Indonesia”.

Oey, Mayling. “The Transmigration Program in Indonesia” makalah

Seminar on Government Resettlement Programmes in Southeast

Asia. Canberra: Australian National University, 7 October 1980.

Pelzer, Karl J. 1945, “Pioneer Setlement in the Asiatic Tropic”. New York:

American Geographical Society.

Riclefs. 2007. “Sejarah Indonesia Modern”. Universitas Gajah Mada Press :

Yogyakarta

Padmo,S.2007. “Politik Agraria dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah di DIY


sebuah refleksi Historis”. Artikel pada situs Jurusan Sejarah, FIB UGM

Parakitri, T. Simbolon. 2007. “Menjadi Indonesia”. Kompas : Jakarta

Petersen W. dan Renee Petersen. 1986. ‘Dictionary of Demography: Terms,

Concepts, and Institutions”. New York: Greenwood Press.

Priyadi, Sugeng. 2012. “Metode Penelitian Pendidikan Sejarah’. Penerbit Ombak


61
:Yogyakarta

R, Gandakoesoemah. 1975. “Irigasi”. Sumur Bandung : Jakarta

Sajogyo. 1997. “Perkembangan Transmigrasi di Indonesia ; Suatu Pemikiran”

dalam Mujahir Utomo dan Rofig Ahmad (Ed). 90 Tahun Kolonialisai – 4

Tahun Transmigrasi. Jakarta : Puspa Swara.

Suratman dan Patrick Guiness, “The Changing Focus of Transmigration”

dalam Said Rusli,1979. Kumpulan Bacaan Ilmu Kependudukan Lanjut,

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Suwartapradja, O. S. “Transmigrasi Lokal: Potensi dan Tantangan”,

Jurnal Kependudukan, Vol. 4 No. 2, Juli 2002.

Syamsu, M. A.1986. “Dari Kolonisasi ke Transmigrasi”. Djakarta: Djambatan.

______.1940.”Kolonisatie Bulletin Vol.9 Belitang Nummer” Batavia:Centrale


Commissie voor Migratie en Kolonisatie van Inheemschen

http://www.okutimurkab.go.id/sejarah

62

Anda mungkin juga menyukai