PENDAHULUAN
1
Perpindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa masih dikaitkan dengan upaya
mengatasi masalah kekurangan beras dan gula (pertanian dan perkebunan). Untuk itu
dipilihlah daerah-daerah dataran rendah yang dapat dialiri air Irigasi. Saat itu teknologi
Irigasi diyakini mampu meningkatkan produktivitas lahan. Masalah teknologi Irigasi
baru muncul setelah pemerintah kolonial Belanda menghadapi kesulitan dalam
menyediakan lahan subur dan layak untuk Transmigrasi (Mujahir,1985:216).
2
masa pendudukan tentara Jepang, 1942-1945, dan (3) periode setelah kemerdekaan
Indonesia, 1945-2005. Dan pada jaman pemerintahan kolonial Belanda menjadi tahap
percobaan kolonisasi antara tahun 1905-1911, periode Lampongsche volksbanks pada
kurun waktu tahun 1911-1929, serta jaman depresi ekonomi dunia antara tahun 1930-
1941 (Handayani,1994:14). Sedangkan setelah jaman kemerdekaan Indonesia, dibagi
menjadi masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru, serta masa
reformasi.
3
Pemerintah kolonial Belanda, pada pelaksanaan kolonisasi yang pertama tahun
1905, telah memindahkan 155 keluarga dari keresidenan Kedu Jawa Tengah menuju
daerah kolonisasi Gedongtataan di Lampung. Lembaga yang mengurus kolonisasi
adalah komisi inter departemen yaitu Centraal Commissie voor Emmigratie en
Kolonisatie van Inheemsen. Kontrolir H. G. Heyting sebagai inisiator memiliki
pemikiran yang cukup maju agar penduduk yang dipindahkan betah tinggal di daerah
baru dilakukan upaya mengkondisikan daerah tujuan (Sumatera) seperti suasana di
pulau Jawa (Handayani,1994:14).
Pada periode depresi ekonomi dunia yang terjadi antara tahun 1930 sampai
1941 ini bisa dikatakan lebih berhasil dibandingkan dengan peserta Transmigrasi
sebelumnya yang dilaksanakan pemerintah kolonial Belanda, walaupun masih ada
beberapa yang kembali ke pulau Jawa. Kondisi demikian memberikan daya tarik pada
masyarakat Jawa untuk ikut Transmigrasi dan pada akhirnya dikembangkanlah daerah
Transmigrasi baru di Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi,
dan Kalimantan. Depresi ekonomi dunia selain dirasakan oleh pemerintah juga
mempersulit kehidupan banyak penduduk di pulau Jawa, dengan kesempatan kerja di
Jawa yang semakin sulit untuk diperoleh dan himpitan untuk memenuhi kebutuhan
hidup semakin mendesak sehingga ketika mendengar cerita mengenai keberhasilan
orang-orang di seberang yaitu di daerah Transmigrasi mereka tertarik untuk
mengikutinya. Harapan memperoleh lahan pertanian yang luas menjadi motivasi utama
mereka untuk mengubah nasib yang disebabkan oleh kesulitan hidup di pulau Jawa
yang telah berpengaruh besar terhadap derasnya migrasi penduduk dari pulau Jawa ke
luar Jawa melalui Transmigrasi. Walaupun sebetulnya sistem bawon yaitu sistem bagi
hasil bagi pemilik tanah dan pengelola tanaman sebagai kebijakan Transmigrasi pada
periode ini dirasakan memberatkan, serta keluarga yang telah satu tahun bermukim di
daerah Transmigrasi harus bersedia menampung pemukim baru. Di daerah Irigasi yang
mulai dibangun tahun 1938 tiap keluarga baru harus ditanggung oleh tiga keluarga
lama, sementara di daerah tegalan atau daerah dengan lahan kering yang bergantung
4
pada pengairan air hujan satu keluarga baru ditanggung oleh empat keluarga lama
(Suratman,1979:379).
5
1942, bendungan tersebut mulai dimanfaatkan rakyat setempat untuk lahan pertanian.
Kemudian dibangun saluran air yang merupakan cabang dari Bendungan Komering ke
dusun-dusun lainnya (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:2).
Ditinjau dari masalah yang sudah di jabarkan diatas penulis tertarik untuk
meneliti penelitian yang berjudul “Perkembangan Perekonomian Transmigran di
Belitang (1937-1942)”.
6
Agar pembahasan tidak terlalu luas, penulis merasa perlu memberikan batasan
masalah dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan
masalah dalam beberapa ruang lingkup, diantaranya:
1. Skup Tematikal
Pada skup tematikal, penulis membatasi pembahasan penelitian dengan
tema yang telah penulis tetapkan, yaitu perkembangan masyarakat yang
mengikuti program Transmigrasi di Belitang.
2. Skup Spasial
Pada skup spasial, penulis memberi batasan wilayah sesuai dengan
lokasi penelitian yang penulis ambil, yaitu di Belitang yang merupakan
wilayah kolonisasi pemerintah kolonial Belanda di Onderafdeling
Komering Ulu yang sekarang menjadi wilayah OKU Timur yang
khususnya didaerah Belitang.
3. Skup Temporal
Pada Skup temporal, penulis memberi batas waktu berdasarkan data
yang diperoleh dari Tahun 1937 Sampai 1942 karena proses Transmigrasi
dimulai pada tahun 1937 di masa pemerintahan kolonial Belanda dan
berakhir tahun 1942 ketika kekuasaannya digantikan jepang
7
1.5 Manfaat Penelitian
a. Akademis
Dapat dipergunakan sebagai referensi pembelajaran bagi Program Studi
Pendidikan Sejarah Universitas Sriwijaya dan bermanfaat untuk
menambah wawasan pengetahuan dalam mengkaji serta menjadi
referensi untuk mengetahui sejarah Sosial Sumatera Selatan khususnya
sejarah Sosial di Kabupaten OKU Timur.
b. Praktisi
1. Bagi lembaga, agar penelitian ini nantinya dapat dipergunakan
sebagai referensi untuk penulisan selanjutnya yang lebih relevan.
2. Bagi peneliti yaitu diharapkan menjadi tambahan bekal pengetahuan
dalam usaha mempersiapkan diri sebagai calon guru, dan penulisan
ini bermanfaat sebagai karya tulis dalam penulisan tugas akhir syarat
meraih gelar Strata-1(S1) serta menambah khazanah ilmu
pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam sejarah Transmigrasi di Indonesia yang sudah mencapai satu abad yang
dilaksanakan mulai pada jaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1905 hingga saat
ini, telah melalui berbagai masa pemerintahan dan kekuasaan yang berbeda. Walaupun
secara demografis pengertian umum dari Transmigrasi ini tetap sama dari masa ke
masa, yaitu memindahkan penduduk dari wilayah yang padat penduduknya ke wilayah
yang kurang atau jarang penduduknya, tetapi dalam pelaksanaanya didasarkan pada
latar belakang, tujuan, dan kebijakan yang berbeda-beda, baik yang tertulis secara
resmi dilaksanakan oleh pemerintah maupun dengan proses secara sendiri yang
dilaksanakan perorangan tidak melalui program dari pemerintah.
Transmigrasi merupakan salah satu bentuk mobilitas spasial atau migrasi
penduduk horizontal atas inisiatif pemerintah yang hanya terjadi di Indonesia, dan telah
menjadi program yang sudah diimplementasikan sejak lama. Tidak ada satu pun negara
lain yang menerapkan program Transmigrasi (Surwartapradja, 2002:122). Pengertian
yang lebih spesifik, Transmigrasi adalah kebijakan pemerintah Indonesia untuk
memindahkan penduduk dari pulau Jawa yang berpenduduk padat ke wilayah lain yang
berpenduduk jarang di luar Pulau Jawa (Petersen, 1986:895). Namun pengertian
Transmigrasi telah berkembang menjadi beberapa jenis, saat ini misalnya ada istilah
Transmigrasi lokal yaitu pemindahan penduduk di dalam suatu pulau baik di pulau
Jawa sendiri maupun di luar pulau Jawa. Transmigrasi juga telah dilaksanakan dari
pulau di luar Jawa yang berpenduduk padat seperti pulau Lombok dan Bali ke pulau-
pulau lainnya. Periodisasi pelaksanaan Transmigrasi selama satu abad terakhir, dapat
dibagi menjadi tiga periode, yaitu (1) jaman pemerintahan kolonial Belanda (1905-
1941), (2) masa pendudukan tentara Jepang (1942-1945) dan (3) periode setelah
9
kemerdekaan Indonesia (1945-2005). Deskripsi dalam tulisan ini membagi lagi jaman
pemerintahan kolonial Belanda menjadi tahap percobaan Transmigrasi antara tahun
1905 sampai 1911, periode Lampongsche volksbanks pada periode waktu tahun 1911
sampai 1929, serta fase depresi ekonomi dunia antara tahun 1930 sampai 1941
(Handayani, 1994:14). Sedangkan setelah jaman kemerdekaan Indonesia, dibagi
menjadi masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru, serta masa
reformasi.
Sejarah Transmigrasi di Indonesia dimulai sejak dilaksanakannya Transmigrasi
oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1905 (Setiawan, 1994:5). Kebijakan
Transmigrasi penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa dilatarbelakangi oleh: (1)
Melaksanakan salah satu program politik etis, yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah
penduduk pulau Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah. (2)
Pemilikan tanah yang makin sempit di pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang
cepat telah menyebabkan taraf hidup masyarakat di pulau Jawa semakin menurun. (3)
Adanya kebutuhan pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga
kerja di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar pulau Jawa
(Mantra,1985:160). Politik Etis yang mulai diterapkan pada tahun 1900 bertujuan
mensejahterakan masyarakat yang kebanyakan pendapatannya untuk memenuhi
kebutuhan melalui bertani yang telah dieksploitasi selama dilaksanakannya culture
stelsel (sistem tanam paksa). Sebab sistem tanam paksa tersebut secara empirik telah
menyebabkan orang-orang pribumi semakin menderita. Dari sisi ekonomi, telah
menyebabkan pula berubahnya sistem perekonomian tradisional ke arah pola
perekonomian baru (dualisme ekonomi),
Kondisi seperti itu telah menggugah kaum etisi Belanda seperti C. Th. van
Deventer mengkritisi kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam sebuah tulisan “A
Debt of Honor” dan merekomendasikan agar pemerintah Belanda memberi bantuan
untuk mensejahterakan penduduk di daerah jajahannya yang telah banyak memberikan
keuntungan melalui sistem tanam paksa. Selanjutnya, sebagai rasa tanggung jawab
moral pemerintah Belanda, di Indonesia diterapkan politik etis sebagai upaya untuk
10
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi yang mencakup program: (1)
emigrasi, (2) irigasi, dan (3) edukasi (Oey:1980:2-3).
Dalam kaitannya dengan emigrasi, pemerintah kolonial Belanda mengadakan
perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa, mengingat kondisi pulau Jawa
yang semakin padat penduduknya. Ada beberapa pemikiran mengapa penduduk
terkonsentrasi di pulau Jawa. Menurut pemikiran Mohr seorang ahli geologi dan tanah
berkebangsaan Belanda, kepadatan penduduk di pulau Jawa disebabkan keadaan tanah
yang subur serta iklim yang menguntungkan bagi pertanian (Mantra,1985:159).
Sementara dalam pandangan Fisher, ahli geografi berkebangsaan Inggris, adanya
ketimpangan distribusi penduduk antara pulau Jawa dan luar Jawa disebabkan oleh
kebijakan pemerintah Belanda yang Jawa sentris, sehingga pembangunan pusat-pusat
pertumbuhan seperti pendidikan, perdagangan, dan pemerintahan, juga prasarana
pembangunan seperti transportasi, komunikasi, dan irigasi lebih terkonsentrasi di pulau
Jawa (Hardjono,1977:7).
Pemerintah Kolonial Belanda, pada pelaksanaan Transmigrasi yang pertama
tahun 1905 telah memindahkan 155 keluarga dari keresidenan Kedu Jawa Tengah
menuju daerah Transmigrasi Gedongtataan di Lampung. Lembaga yang mengurus
Transmigrasi adalah komisi inter departemen yaitu Centraal Commissie voor
Emmigratie en Kolonisatie van Inheemsen. Kontrolir H. G. Heyting sebagai inisiator,
memiliki pemikiran yang cukup maju. Agar penduduk yang dipindahkan betah tinggal
di daerah baru, dilakukan upaya mengkondisikan daerah tujuan (Sumatera) seperti
suasana di pulau Jawa (Handayani,1994:14).
Pada tahap awal Transmigrasi, setiap kepala keluarga peserta memperoleh
premi atau uang saku sebesar 20 gulden, dibebaskan dari biaya transportasi yang
nilainya sama dengan 50 gulden per keluarga, serta mendapat sumbangan biaya hidup
sebesar 0,4 gulden per hari selama masa penyiapan tanah. Jumlah biaya langsung
diperkirakan sekitar 300 gulden per keluarga yang mencakup premi, biaya transportasi,
biaya makan 150 gulden, biaya bangunan rumah 65 gulden, pembelian alat-alat 13,5
11
gulden, ditambah 0,7 hektar tanah sawah dan 0,3 hektar tegalan serta pekarangan
(Dixon,1980:75).
Penduduk yang berhasil dipindahkan pada periode percobaan Transmigrasi
1905 sampai dengan 1911 adalah sekitar 4.800 orang (Hardjono,1977:18). Rata-rata
biaya yang dikeluarkan untuk setiap peserta Transmigrasi pada masa ini sekitar 750
gulden per keluarga. Jumlah yang besar tersebut termasuk anggaran untuk membuat
fasilitas Transmigrasi seperti pembuatan saluran irigasi, penyiapan lahan dan
pemukiman, serta biaya administrasi. Pada pelaksanaan Transmigrasi periode
percobaan ini pemerintah kolonial Belanda kurang serius dalam menangani
pembiayaan yang dikeluarkan untuk Transmigrasi, hal ini disebabkan oleh masalah
internal pemerintah kolonial Belanda itu sendiri. Ada pro-kontra berkaitan dengan
pelaksanaan Transmigrasi, akibat masih adanya perbedaan pendapat mengenai
kepadatan penduduk pulau Jawa. Mereka yang pro berpendapat penduduk pulau Jawa
sudah padat, sementara yang kontra belum melihat adanya kondisi yang mendesak
untuk memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa.
12
Gerakan sosial yang dikuatirkan tersebut sangat rentan terjadi berasal dari
daerah yang padat penduduknya tetapi tidak berimbang dengan pemilikan tanah atau
luasnya lahan garapan. Lainnya adalah pembangunan fisik seperti gedung dan
jembatan yang tujuan utamanya adalah mempermudah mobilisasi pengaturan
keadministrasian dan memperlancar pergerakan pasukan dari berbagai arah. Hal ini
dilakukan karena pengalaman pemerintah Hindia Belanda yang membangun kawasan
jajahan dengan cara agitasi dan intervensi militer berdampak pada kebencian penduduk
lokal (terutama kaum bangsawan yang terampas kedudukan dan status sosialnya)
terhadap mereka, seperti pada peristiwa Perang Diponegoro, Perang Paderi, dan
peristiwa sosial di Banten tahun 1888.
13
jumlah penduduknya relatif sedikit, sedangkan areal yang potensial untuk perkebunan
dan pertanian masih sangat luas.
Terjadinya arus migrasi penduduk yang deras dari pulau Jawa untuk menjadi
kuli kontrak di Sumatera berlangsung menjelang terjadinya depresi ekonomi dunia.
Himpitan kesulitan hidup di Jawa telah mendorong mereka secara mandiri dan sukarela
bermigrasi ke Sumatera. Hal ini, pada akhirnya menyebabkan pemerintah kolonial
Belanda mengubah kebijakan Transmigrasi. Pada masa peralihan antara tahun 1927-
1930 pemerintah hanya menyediakan biaya transportasi untuk mereka yang mengikuti
program Transmigrasi (Dixon, 1980:76).
Depresi ekonomi yang terus berlanjut telah berpengaruh terhadap
perekonomian pemerintah kolonial Belanda. Permintaan tenaga kerja dari perkebunan-
perkebunan di Sumatera menjadi kurang, bahkan sebagian mengurangi tenaga
kerjanya, sehingga banyak kuli kontrak yang kembali ke pulau Jawa. Pemerintah
Belanda mulai merasa perlu mengintensifkan kembali Transmigrasi. Pada periode ini
ada penekanan untuk mengkaitkan kegiatan Transmigrasi dengan upaya membangun
basis penyediaan pangan khususnya beras untuk pulau Jawa.
Pengaruh depresi ekonomi dalam memperlancar Transmigrasi cukup
signifikan. Koloniasi juga dapat terus belanjut hanya dengan sedikit bantuan finansial
dari pemerintah. Mereka yang tertarik pindah hanya diberikan pinjaman uang sebesar
22 sampai 25 gulden setiap keluarga untuk biaya transportasi, pembelian alat-alat
pertanian, yang harus dikembalikan dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun. Di tempat
yang baru, pemerintah hanya memberikan lahan secara gratis untuk diolah. Sejak tahun
1930 terjadi arus perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa melalui
Transmigrasi terjadi secara besar-besaran. Pemerintah pun memperketat persyaratan
untuk mengikuti Transmigrasi yaitu: (1) peserta harus benar-benar petani, sebab jika
bukan dapat menyebabkan ketidakberhasilan di lokasi Transmigrasi, (2) fisik harus
14
kuat agar bisa bekerja keras, (3) muda agar dapat menurunkan fertilitas di pulau Jawa,
(4) sudah berkeluarga untuk menjamin ketertiban di lokasi baru, (5) tidak memiliki
anak kecil dan banyak anak karena akan menjadi beban, (6) bukan bekas kuli kontrak
karena dianggap sebagai provokator yang akan menimbulkan keresahan di pemukiman
baru, (7) harus waspada terhadap “perkawinan Transmigran” sebagai sumber
keributan, (8) jika wanita tidak sedang hamil karena diperlukan tenaganya pada tahun-
tahun pertama bermukim di tempat baru, (9) jika bujangan harus menikah terlebih
dahulu di Jawa karena dikhawatirkan mengganggu istri orang lain, dan (10) peraturan
tersebut tidak berlaku jika seluruh masyarakat desa ikut Transmigrasi.
Sejalan dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh pemerintah kolonial
Belanda sebagai dampak depresi ekonomi dunia, sementara minat masyarakat Jawa
untuk ikut Transmigrasi cukup tinggi, pemerintah akhirnya merubah pola Transmigrasi
untuk menekan biaya dengan sistem bawon. Pemukim Transmigrasi terdahulu
diharapkan memakai tenaga kerja pemukim baru dengan prinsip tolong-menolong dan
gotong-royong. Pemekaran daerah Transmigrasi baru dibuat tidak jauh dari
Transmigrasi lama. Penempatan pemukim baru dilakukan pada bulan Februari-Maret
saat menjelang musim panen padi di pemukiman lama, sehingga mereka bisa ikut
bawon. Bagian hasil bawon pemukim baru di Lampung dibuat lebih besar dengan
perbandingan 1:7 atau 1:5, artinya buruh mendapatkan satu bagian setiap tujuh atau
lima bagian dari pemilik. Pada saat itu sistem bawon di pulau Jawa umumnya
menggunakan perbandingan 1:10.
Peserta Transmigrasi mandiri pada periode ini boleh dikatakan lebih berhasil
dibandingkan dengan peserta sebelumnya, walaupun masih ada beberapa yang kembali
ke pulau Jawa. Kondisi demikian, memberikan daya tarik pada masyarakat Jawa untuk
ikut Transmigrasi. Akhirnya dikembangkan daerah Transmigrasi baru di Palembang,
Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi, dan Kalimantan. Depresi ekonomi dunia
selain dirasakan oleh pemerintah pada waktu itu, juga sangat menyulitkan banyak
penduduk di pulau Jawa. Kesempatan kerja di Jawa dirasakan semakin sulit untuk
diperoleh, himpitan untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin mendesak, sehingga
15
ketika mendengar cerita mengenai keberhasilan orang-orang di seberang yaitu di
daerah Transmigrasi, mereka tertarik untuk mengikutinya. Harapan memperoleh lahan
pertanian yang luas, menjadi motivasi utama mereka untuk mengubah nasib. Rupanya
kesulitan hidup di pulau Jawa telah berpengaruh besar terhadap derasnya migrasi
penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa melalui Transmigrasi. Walaupun sebetulnya,
sistem bawon sebagai kebijakan Transmigrasi pada periode ini dirasakan
memberatkan. Misalnya keluarga yang telah satu tahun bermukim di daerah
Transmigrasi harus bersedia menampung pemukim baru. Di daerah irigasi tiap
keluarga baru harus ditanggung oleh tiga keluarga lama, sementara di daerah tegalan
satu keluarga baru ditanggung oleh empat keluarga lama (Suratman,1979:379).
16
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten OKI Provinsi Sumatera
Selatan (Kecamatan/Marga Lempuing dan Mesuji)
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Way Kanan (Provinsi
Lampung) dan Kabupaten OKU Selatan (Kecamatan
Simpang)
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten OKU (Kecamatan Lengkiti,
Sosoh Buay Rayap, Baturaja Timur dan Peninjauan) dan
kabupaten OKI (Kecamatan Muara Kuang)
Daerah Transmigrasi ini ada didaerah kabupaten Ogan Komering Ulu,
Kewedanaan Komering Ulu. yang pada awalnya nama adalah kolonisasi Belitang
walaupun tidak begitu tepat nama tersebut diberikan karena Belitang adalah nama
diambil dari nama tanah Marga Belitang dan sebagian tanah-tanah lainnya adalah tanah
dari Marga Mucak Kabau, Marga Rasuan, dan juga Marga Kota Negara. Begitulah
pengaturan politik Kolonisasi Belanda mengatur terwujudnya daerah Transmigrasi
Tuguharjo sebagai kelanjutan dari Kolonisasi Belitang. Daerah ini meliputi l.k. 20.000
ha. atau 30000 bauw tanah. Dizaman Belanda dahulu kepala daerahnya adalah Asisten
Wedana dan pada pembagian administrasinya ia terbagi dalam desa-desa atau
kelurahan-kelurahan yang dikepalai masing-masing oleh seorang Lurah, lengkap
dengan stafnya, yaitu Carik (Sekertaris Desa), Pengawas Keamanan (Polisi), Penjaga
Keamanan, Pengawas Perairan dan sebagainya. (Kementrian Penerangan Republik
Indonesia,1954: 354)
17
1) Transmigrasi Umum (TU), yaitu jenis transmigrasi yang sepenuhnya
diselenggarakan oleh Pemerintah. Artinya, keseluruhan proses pelaksanaan
transmigrasi (proses perpindahan, penyediaan ruang, dan pemberdayaan) menjadi
tanggung jawab pemerintah, sedangkan transmigran mendapat bantuan bila perlu
mendapat subsidi dari Pemerintah.
2) Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB), yaitu transmigrasi yang dirancang oleh
Pemerintah dan dilaksanakan bekerjasama dengan Badan Usaha. Peranan
Pemerintah adalah membantu dalam batas tertentu agar kemitrausahaan Badan
Usaha dengan transmigran berjalan setara, adil dan berkesinambungan, agar kedua
pihak saling memeperoleh keuntungan.
3) Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM), yaitu jenis transmigrasi yang sepenuhnya
merupakan prakarsa transmigran yang dilakukan secara perseorangan atau
kelompok, baik melalui kerjasama dengan Badan Usaha maupun sepenuhnya
dikembangkan oleh transmigran yang bersangkutan.
Selanjutnya pada masa Orde Baru transmigrasi dapat dibedakan menjadi 4 jenis yaitu:
a. Transmigrasi Umum (TU), yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah (umumnya
pola tanaman pangan di lahan kering dan di lahan basah).
b. Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB), yang sebagian dibiayai oleh
pemerintah (umumnya untuk prasarana), dan sebagian lagi dibiayai oeh
Pengusaha melalui Kredit Koprasi Para Anggota (KKPA).
c. Transmigrasi Swakrsa Mandiri (TSM), yang dibiayai sepenuhnya oleh
transmigran, sedangkan pemerintah menyediakan lahan seluas dua hektar/Kepala
Keluarga.
d. Transmigrasi Pola Agro Estate (PIR-Trans Mandiri) yang merupakan bentuk
perkebunan yang dikelola secara agribisnis.
Berdasarkan pelaksanaannya, transmigrasi dapat dibedakan menjadi berikut ini.
18
a. Transmigrasi umum, yaitu transmigrasi yang dilakukan melalui program
pemerintah. Biaya transmigrasi ditanggung pemerintah, termasuk penyediaan
lahan pertanian dan biaya hidup untuk beberapa bulan.
b. Transmigrasi spontan, yaitu transmigrasi yang dilakukan atas kesadaran dan biaya
sendiri (swakarsa).
c. Transmigrasi sektoral, yaitu transmigrasi yang biayanya ditanggung bersama antara
pemerintah daerah asal dan pemerintah daerah tujuan transmigrasi.
d. Transmigrasi bedol desa, yaitu transmigrasi yang dilakukan terhadap satu desa atau
daerah secara bersama-sama. Transmigrasi ini dilakukan karena beberapa faktor,
antara lain:
1. Daerah asal terkena pembangunan proyek pemerintah, misalnya pembangunan
waduk
2. Daerah asal merupakan kawasan bencana, sehingga masyarakat yang ada di
dalamnya harus dipindahkan (Manuwiyoto, 2004: 41).
19
kebunnya mendapatkan pasokan air yang lebih kontinyu dan hasil panen yang lebih
produktif karena tidak perlu menunggu musim hujan dalam menanam padi.
Pada lahan yang tidak mendapatkan suplai air dari sumber air yang tidak
kontinyu dan hanya cukup beberapa bulan, produktifitasnya sangat rendah, karena
distribusi air tidak merata dan tidak tersedia sepanjang tahun. Masalah ini bisa diatasi
dengan mengelola air tersebut, memanen air di musim hujan dengan membuat
bendungan atau waduk serta memanfaatkannya pada musim kemarau, sehingga air
tersedia sepanjang tahun, dan akhirnya diharapkan produktifitas lahan bisa meningkat.
Pengelolaan air di sini maksudnya adalah membangun sistem irigasi, mulai dari
bendung, saluran pembawa, bangunan bagi, sampai dengan saluran tersier yang
langsung dapat dimanfaatkan petani untuk mengaliri lahannya.
Tanaman membutuhkan air untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Kebutuhan air untuk tanaman harus dipenuhi oleh air dalam tanah melalui sistem
perakaran. Aplikasi pemberian air untuk memenuhi kebutuhan tanaman pada waktu
dan cara yang tepat disebut Irigasi. Apabila kebutuhan air bagi tanaman dipenuhi
dengan cara lain (curah hujan, air kapiler dan air tanah, dan sebagainya), maka irigasi
tidak diperlukan (Ali, 2010).
Menurut James (1988), fungsi utama sistem irigasi adalah untuk mensuplai air
irigasi untuk tanaman sesuai dengan jumlah dan waktu yang diperlukan. Dan secara
spesifik fungsi irigasi adalah:
1. Mengambil air dari sembernya (bendung atau waduk)
2. Membawa ait dari bendung ke daerah irigasi
3. Mendistribusikan air ke areal pertanian
4. Menyediakan sarana dan prasarana untuk pengukuran aliran
Fungsi lain dari sistem irigasi adalah untuk pendinginan tanah dan tanaman,
pencegahan tanaman terhadap kerusakan akibat frost, penundaan pertumbuhan tunas
dan buah, pengendalian erosi oleh angin, penyediaan air untuk persemaian, pemberian
obat-obatan dan pemberian air limbah terhadap lahan.
20
Manfaat dari irigasi adalah menambah air untuk memenuhi kebutuhan air bagi
tanaman, menjamin ketersediaan air sepanjang tahun, mengatur temperatur tanah
sehingga baik bagi pertumbuhan tanaman, mencuci atau mengurangi kandungan garam
dalam tanah, mengurangi bahaya erosi, memudahkan pengelolaan tanah.
Sedangkan menurut James (1988) air di butuhkan tanaman untuk proses-proses
metabolisme (Digestions), fotositesa, transport mineral (unsur hara) serta hasil
fotositesa (fotosintat), mendukung struktur tanaman, pertumbuhan dan transpirasi.
Sumber air irigasi berasal dari presipitasi, air atmosfer, air limpasan, air tanah, dan
embun. Sumber-sumber air tersebut tidak bisa diabaikan dalam mencukupi kebutuhan
air di dalam sistem irigasi.
Kebutuhan air irigasi diukur dari kedalaman air yang diberikan pada suatu lahan
pertanian untuk memenuhi kekurangan air karena terbatasnya curah hujan dan
kelembaban tanah. Kebutuhan air irigasi untuk tanaman adalah untuk memenuhi
kehilangan air karena Evaporasi agar tanaman pada lahan yang luas dengan kandungan
air tanah dan kesuburan tidak terhambat, bebas penyakit serta mencapai produksi
potensialnya (Doorenbos dan pruitt, 1997).
21
Pembangunan Irigasi yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda
pada tahun 1937 memiliki dua model pengelolaan irigasi. Pertama adalah sistem
pengelolaan yang didasarkan atas kebijaksanaan pola tanam yang telah ditetapkan pada
sistem irigasi yang dibangun pemerintah. Pola tanam yang dimaksud adalah pengairan
antara tanaman tebu yang mendapatkan dukungan pemerintah kolonial sebagai
komoditi ekspor dengan tanaman rakyat yaitu padi dan palawija. Sedangkan model
kedua didasarkan atas praktek-praktek irigasi setempat dengan cara pembagian air
yang proposional menurut luas wilayah yang diairi (Pasandaran, 1991:7).
Dalam pelaksanaan irigasi di wilayah Transmigran Belitang di OKU Timur
pelaksanaan proyeknya pada tahun 1937, dilakukan dengan sempurna. Selain itu
keadaan topografi serta adanya sungai yang dapat dipakai sebagai sumber air irigasi
memungkinkan pembuatan jaringan irigasi yang baik, sehingga para penduduk dapat
menanam padi sebagai dasar dari pendapatan ekonominya. Sungai besar yang
mengaliri sepanjang pinggiran di sebelah Barat daerah Belitang. Ketika daerah ini
dibuka sebagai daerah Transmigrasi oleh pemerintah Belanda, hampir tidak ada
penduduk asli. Daerah ini masih tertutup oleh hutan dan hanya dapat satu jalan kecil
menuju ke lokasi proyek. Karena keadaan topografi daerah tersebut sangat mendukung
dan pihak pemerintah kolonial pun menginginkan keberhasilan proyek
Transmigrasinya, maka diberlakukannya sistem persawahan irigasi. Dengan
memanfaatkan Sungai Komering sebagai sumber air utama untuk mengairi anak sungai
yang bermuara di Desa Kurungan Nyawa (Sekarang). Pemerintah mengajak para
Transmigran untuk memperbesar anak sungai menjadi sebuah irigasi yang lebih baik.
Sehingga pada tahun 1937-1943 dibuat saluran irigasi sepanjang 40 Km. Adanya
saluran irigasi pada waktu proyek baru didirikan serta operasinya yang efektif secara
terus menerus merupakan hal yang berpengaruh dalam perkembangan pemukiman di
Belitang.
22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
23
Penelitian dengan menggunakan metode historis ini diharapkan dapat
menghasilkan penelitian ilmiah dengan benar, menggunakan sistem prosedur yang
benar untuk mencapai kebenaran sejarah. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk
menguji dan menganalisis masa lampau yang dihubungkan dengan masa kini dari
berbagai rekaman, dokumen-dokumen dan peninggalan masa lampau yang otentik
dan dapat dipercaya serta membuat interpretasi (penafsiran) atas fakta-fakta
tersebut menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya sehingga dapat menjadi suatu
referensi bahan ajar dalam matakuliah Sejarah Sosial dalam materi Sejarah
Transmigrasi serta perkembangan Transmigrasi di Indonesia yang dilaksanakan
pada pertemuan ke 5 dan 6 dengan waktu 50x2 dalam 1 kali pertemuan.
3.2.1 Heuristik
25
1994 Transmigrasi di Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Jember: Universitas
Jember. Nugraha Setiawan. 1994. Transmigrasi di Indonesia: Sejarah dan
Perkembangannya. Yogyakarta: Program Studi Kependudukan, Program
Pascasarjana UGM., Manssur, Ahmad, Suryanegara. 2009. Api Sejarah. Salamdani
: Bandung
3.2.3 Interpretasi
3.2.4 Historiografi
Tahap selanjutnya dari metode penelitian sejarah adalah historiografi. Pada
tahap ini, peneliti harus menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir,
yang meliputi permasalahan-permasalahan yang harus dijawab (Priyadi, 2012:79).
Historiografi adalah ilmu yang mempelajari praktik ilmu sejarah. Hal ini dapat
27
diwujudkan dalam beberapa bentuk, termasuk mempelajari metodologi sejarah dan
perkembangan sejarah sebagai suatu disiplin akademik (Irwanto,2014:151).
Historiografi juga diartikan sebagai keseluruhan daya pikiran penulis, terutama
pikiran-pikiran kritis dan analisis yang harus menghasilkan suatu sintesis dari
seluruh hasil penelitiannya yang dibentuk ke dalam suatu penulisan yang utuh
(Sjamsuddin,2012:121). Tahap ini merupakan cara menyajikan agar menarik dan
dapat barinteraksi dengan pembaca. Historiografi berarti pelukisan sejarah,
gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu yang disebut
sejarah. Karena sejarah sebagai pengetahuan tentang masa lalu maka gambaran
sejarah diperoleh melalui sesuatu penelitian mengenai kenyataan masa lalu dengan
metode ilmiah yang khas (Ismaun, 2005:28).
Penyusunan cerita sejarah secara kronologis sangat penting agar peristiwa
sejarah tidak menjadi kacau dan tumpang tindih. Dalam tahap akhir penulisan ini,
penulis berusaha menyajikan hasil data penelitian sebaik mungkin dengan
menuliskan data yang diperoleh secara keseluruhan berdasarkan sistem
penulisan ilmiah dari awal hingga akhir (kronologis) sehingga fakta yang diperoleh
dapat dipertanggungjawabkan.
3.3 Pendekatan
29
3.3.3 Pendekatan Politik
30
BAB IV
PEMBAHASAN
1
bawon/ba·won/ Jw n pembagian upah menuai padi yang berdasarkan banyak sedikitnya padi
yang dipotong (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
34
Tabel 1
35
adalah Transmigrasi dekat dusun Cahya Negeri, Transmigrasi daerah tersebut
lokasinya jauh dari Transmigrasi yang sudah ada sebelumnya, oleh sebab itu
kehidupan di daerah tersebut harus maju, karena melihat keadaannya, Transmigrasi
tersebut pasti bisa menjadi lebih baik. Orang-orang baru itu akan dapat bantuan
sepenuhnya dari penduduk asli dusun Cahya Negeri yang sudah ada sejak awal
masyarakat Transmigran tersebut datang.
Masalah lainnya yaitu menyediakan lahan pertanian untuk penduduk suku
Komering yaitu tanah yang bisa dialiri air atau dekat dengan sumber air. Seharusnya
suku Komering sudah mendapatkan bagian tanah yang dialiri air, jika ada irigasi
yang bisa mengaliri lahan yang jauh dari sumber air sekalipun sayangnya irigasi
belum ada dan belum diterapkan, jadi lokasi pembagian tanah masih sedikit yang
bisa dialiri oleh air. Irigasi adalah solusi dalam meningkatkan produktifitas lahan
dan juga meningkatkan taraf hidup masyarakat Komering, agar tidak terjadi
kecemburuan sosial dari suku Komering terhadap masyarakat Transmigran.
Permintaan dari suku Komering ini disampaikan oleh wakil pesirah Belitang,
permintaan itu masih bisa dilaksanakan sebelum wilayah tersebut penuh oleh
masyarakat Transmigran (Syamsuddin, Wawancara tanggal 20 Mei 2017). Dan jika
permintaan itu dikabulkan, tentunya tercipta sikap saling tolong menolong antara
suku Komering dan masyarakat Transmigran dikarenakan kebutuhan mereka satu
sama lain tanpa mengenal suku dan budaya yang berbeda. Pembagian tanah
untuk suku Komering mengalami beberapa kendala karena lokasi yang dibagikan
untuk suku Komering dibeberapa wilayah merupakan lokasi yang belum dialiri
irigasi, sebab jika ada irigasi petani tidak akan kesulitan dalam mengolah lahannya
dan permintaan untuk irigasi tersebut disampaikan oleh ketua pesirah sebelum
wilayah tersebut terisi oleh Transmigran.
Banyaknya permintaan lahan yang diperoleh suku Komering marga
Belitang sebagai berikut:
120 bahu Dusun Sukajadi
400 bahu untuk Dusun Pesirah Tanjungraja
60 bahu untuk Dusun Rantau Tijang
36
180 bahu untuk Dusun Ulak Buntar
220 bahu untuk Dusun Raman Condong
Luas yang diminta berdasarkan tiap-tiap lahan yang bisa diolah orang yaitu
kurang lebih 2 bahu2 tanah untuk satu orang. Pembagian tanah tersebut sudah
terhitung satu keluarga, tentang syarat mengerjakannya, kewajiban yang
berhubungan dengan pengairan, cara pembagian dan lainnya akan ditentukan nanti
dengan keputusan yang didapat dalam sidang marga, Verker en Waterstaat dan juga
Landbowvoorlichtingsdienst (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:7). Dalam peraturan
marga tersebut ditentukan bahwa hanya penduduk asli yang akan mendapatkan
tanah. kepada pegawai sectie sudah diminta menentukan tanah-tanah itu di peta,
sehingga menjadi mudah pembagian tanahnya dan hal-hal lain nantinya akan
menjadi lebih mudah seperti pembagian tanah yang ditetapkan kepada masyarakat
Transmigran.
Ketika pemeriksaan tanah di Dusun Cahya Negeri, tanah yang disediakan
untuk penduduk asli kira-kira 160-200 bahu dan disekitar Sungai macak dan
Simpang Mesir sudah didirikan beberapa warung dan tempat tinggal. Hanya tiga
rumah dengan pekarangannya yang sudah menjadi hak milik orang asing yang
memang sudah dimilikinya sejak dulu tetapi pekarangan itu tidak digunakan
padahal seharusnya wilayah tersebut rencananya dibangun sebagai jalan dan
saluran air untuk desa-desa Transmigran. Disamping infrastruktur sebagai
penunjang dalam memenuhi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari seperti
bertani, beberapa masyarakat juga mulai membuka usaha sederhana dan kecil-
kecilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Maulana, Wawancara 10 Mei
2017). Dalam surat izin yang didapatkan dari marga mereka diizinkan membuka
usaha tetapi hanya sementara dan apabila nanti mendapat pemberitahuan sudah
memiliki izin resmi dari pemerintah kolonial Belanda, jika lahan tersebut akan
digunakan untuk kepentingan Transmigrasi Belanda maka warung dan toko-toko
itu harus rela digusur tanpa adanya ganti rugi. Diantara dusun Betung dan Dusun
2
Bahu atau bouw adalah yang berasal dari bahasa belanda yang berarti garapan dalam
agraria adalah satuan lahan yang dipakai di beberapa tempat di indonesia, ukuran 1 bahu adalah 0,8
ha. Dan secara nasional satu bahu adalah 500 ubin (1 ubin setara dengan 14,0625 meter persegi)
37
Cahya Negeri diluar wilayah Transmigrasi masih banyak tanah yang agak berbukit-
bukit, hutan rimba, dan berpadang ilalang tanah tersebut nantinya bisa
dipergunakan untuk Transmigrasi.
Masyarakat Transmigran Belitang mulai mengolah lahan sendiri dan
menjual hasil buminya sendiri untuk memenuhi kebutuhan dengan izin usaha yang
hanya sementara, ini diperbolehkan oleh pemerintah Kolonial Belanda karena demi
mensejahterakan masyarakat yang sedang menyesuaikan diri dengan lingkungan
baru.
38
berlabuh di selat Belitung. Pada bulan Agustus 1936 Tertera dengan Jelas yang
nama kapal keruk pembuat irigasi tersebut adalah “Nederlandsche’vracht” sebelum
berada di sungai komering kapal ini terlebih dahulu sudah digunakan
dipenambangan timah di selat Belitung pada tahun 1937 (koran soerabai-
handlsbald terbitan 4 November 1940).
39
memadai dapat dialiri air (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:7). Perkembangan dan
pembangunan Bendungan Komering pada awalnya bertujuan untuk menunjang
keberhasilan masyarakat dalam mengikuti program Transmigrasi yang diadakan
pemerintah kolonial Belanda yang datang dari pulau Jawa, dimulai pada tanggal 17
Agustus 1937 yang letaknya di Onderafdeling Komering Ulu, Afdeling Ogan dan
Komering Ulu.
Dengan adanya Transmigrasi tersebut setahun kemudian mulailah dibangun
irigasi. Dengan kondisi tanah daerah Transmigrasi yang tidak semuanya subur dan
dapat dialiri air maka pembangunan irigasi sangat berpengaruh dalam keberhasilan
produktivitas sawah dan perkebunan yang dampaknya memberikan keuntungan
besar bagi Belanda dan masyarakat. Pertanian tidak akan maju tanpa adanya irigasi
oleh sebab itu pemerintah kolonial Belanda menginginkan Keresidenan Palembang
(Sumatera Selatan) menjadi lumbung beras setelah Jawa, jika tidak cukup
memenuhi kebutuhan dalam wilayahnya sendiri, agar bisa mandiri dan tidak
bergantung pada daerah lain, maka teknologi irigasilah yang berperan penting
dalam proses ini (Rohali, Wawancara 11 Mei 2017). Perkembangan kawasan
Transmigrasi tersebut tidak lepas dari peran serta irigasi yang dibuat secara berkala,
yang membuat Belitang sebagai daerah yang baru dibuka untuk Transmigrasi
menjadi wilayah yang mandiri untuk kabupatennya sendiri sehingga tidak
bergantung dengan daerah lain.
40
Dampak positif dari Bendungan Komering adalah menambah air untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhan tanaman, menjamin ketersediaan air sepanjang
tahun, mengatur temperatur tanah sehingga lebih baik bagi pertumbuhan tanaman,
mencuci atau mengurangi kandungan garam dalam tanah, mengurangi bahaya erosi,
memudahkan pengelolaan tanah. Selain itu bagi Petani atau masyarakat
Transmigran adanya bendungan Komering dimanfaatkan sebagai sumber air untuk
kebutuhan sehari-hari seperti mancuci baju, mencuci piring, mandi dan lain-lainnya
yang disebabkan oleh sumber air seperti sumur masih sangat jarang ada pada masa
pemerintahan kolonial Belanda karena daerah yang menjadi tempat
dilaksanakannya program tersebut masih berupa hutan.
41
ketersediaan beras (Fatwa Arsyad, Wawancara tanggal 8 juli 2017). Sungai dan
ladang menjadi tempat bergantung hidup masyarakat asli, dengan hasil kebunnya
tapi hanya sedikit yang menggunakan ladangnya sebagai sawah hal ini
menyebabkan kesejahteraan masyarakat asli suku Komering menjadi kurang
produktif dan kurang mensejahterakan.
Setelah kedatangan masyarakat Transmigran wawasan penduduk pribumi
dalam mengolah lahan menjadi meningkat dalam hal ini suku Komering mulai
dikenalkan dengan sistem irigasi dan pentingnya sawah. Dalam memenuhi
kebutuhannya, tidak hanya sawah tetapi dengan bantuan Transmigran yang datang
menambah tenaga baru dan sistem baru dalam proses mengolah sawah, ini dapat
dilihat dari adanya sistem bagi hasil, upah, dan bawon. Istilah-istilah tersebut sering
digunakan dalam kegiatan kerjasama antara suku Komering dan Transmigran di
Belitang (Rohali, Wawancara 11 Mei 2017).
Transmigran menjadi contoh baik untuk masyarakat Komering, karena
pengalaman Transmigran agar mengolah tanah menjadi lebih efektif dan
menghasilkan demi mensejahterakan kehidupan bagi petani yang berasal dari suku
Komering.
Selain itu disisi lain suku Komering mendapatkan perkerjaan sebagai
pendamping Transmigran dalam menunjukan arah dalam kegiatan menebas hutan.
Hal ini dikarenakan suku Komering yang mengenal daerah tersebut terutama hutan
yang masih jarang sekali disentuh oleh manusia, serta dalam memilih pohon-pohon
apa saja yang perlu dihindari dan perlu ditebang. Selain berkerja bersama suku
Komering penghasilan masyarakat Transmigran di sekitar bendungan Komering
yaitu dari hasil bercocok tanam dilahannya sendiri. Tanaman yang ditanam yaitu
padi, jagung, singkong, dan sebagainya. Tidak semua masyarakat yang memiliki
lahan dan mempunyai modal yang cukup untuk bercocok tanam, ada pula
masyarakat yang menawarkan jasanya untuk menggarap tanah orang lain lalu
membagi hasil panen dengan sistem bawon yang biasanya pemilik modal
mengambil 3/4 sedangkan petani membantu menggarap lahan mendapatkan ¼ dari
hasil panen (Syamsuddin, Wawancara tanggal 20 Mei 2017).
42
Selain berkebun atau menggarap sawah, Transmigran juga berjualan secara
sederhana dengan menjual kebutuhan sehari-hari seperti sayur-sayuran dan
kebutuhan rumah tangga lainnya. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat yang
mengikuti program Transmigrasi pemerintah kolonial Belanda memiliki badan
yang kuat untuk bertani atau mengelola lahan.
43
Transmigran memang sangat terbuka karena hubungan yang baik antara penduduk
pribumi dan masyarakat Transmigran.
Sistem sosial masyarakat berteknologi irigasi sawah memungkinkan
keterkaitannya secara langsung dengan pengetahuan teknologi ini, sehingga akan
terjadi pembagian strata sosial tertentu seperti: pemilik alat pengupas butir padi dari
kulitnya, dan pemilik gudang untuk penyimpanan padi atau beras (pemilik
lumbung) mendapatkan strata yang lebih tinggi dari petani penggarap (Soedigdo
Hardjosoedarmo (1965) dalam Mantra, 1985;160). Begitu juga proses
pendistribusian hasil sawah akan menciptakan strata sosial lagi seperti saudagar
pemilik modal dan sebagainya, sistem teknologi sawah irigasi ini pada dasarnya
akan berhubungan dengan sistem perdagangan jasa seperti pemilik modal dan
peralatan pertanian.
Sistem organisasi sosial pada masyarakat ini berkembang sejalan dengan
mata pencarian yang ditekuninya. Pada pembagian kerja terlihat bahwa pengolahan
sawah dilakukan laki-laki, sedangkan penanaman serta pemeliharaan dilakukan
oleh perempuan. sementara itu, anak-anak biasanya terlibat pada saat masa panen,
mereka dilibatkan untuk mengumpulkan butir-butir padi yang jatuh akibat tidak
terpotong oleh alat pemotong padi. Begitu juga dengan sistem lainnya seperti religi
yang menempatkan dewa perempuan sebagai penjaga padi (seperti dewi sri),
sehingga mendapat pemaknaan terhadap sistem mata pencarian (pendapat Charles
A. Fisher dalam J.M. Hardjono, 1977: 7). Lalu juga ada kesenian yang memberikan
nuansa tersendiri bagi adanya upacara disaat panen, menanam dan juga mengolah
sawah yang muncul dalam kesenian-kesenian dari masyarakat yang bersangkutan.
Transmigran ditempatkan sebagian di bedeng dan sebagian lagi
menumpang pada Transmigran yang sudah ada. Dalam tahun 1937 Transmigran
tinggal di bedeng selama 14 hari setelah lewat dari 14 hari mereka harus pindah
dari bedeng dikarenakan bedeng akan diisi oleh rombongan berikutnya. Dan dalam
waktu 14 hari tersebut, masyarakat Transmigran kekurangan waktu untuk
mendirikan pondok tempat tinggal mereka karena itu pada tahun 1938 dan 1939
bedeng yang digunakan kolonis ditambah, dan jangka waktu tinggal dibedeng
tersebut menjadi lebih lama yaitu kira-kira 1 bulan lamanya, dengan begitu hasil
44
rumah yang dibuat pada tahun 1938 lebih baik dan layak dikarenakan waktu yang
cukup untuk membangun rumah (Syamsu,1986:327). Pembuatan rumah
Transmigran sendiri bahan-bahannya didapatkan disekitar lahan tempat mereka
berladang dan juga dapat mengambil dari hutan yang letaknya dekat dengan tempat
tinggalnya, sementara karena di hutan tersebut memiliki kayu dengan kayu yang
cukup baik untuk membangun sebuah rumah, seperti : ngerawan, meranti, laban,
sungkai, dan lain-lain. Sedangkan bambu dan rotan juga didapatkan dibeberapa
tempat di hutan tersebut.
Kematian penduduk Transmigran pada tahun 1938 ada sekitar 23 orang dari
1000 jiwa. Kelahiran ada 34 orang dalam 1000 jiwa. Penyakit yang terbanyak
dialami oleh masyarakat Transmigran adalah malaria, kudis, disentri, bronkitis, dan
pneumia (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:7). Malaria adalah yang menyebabkan
kematian terbanyak, dikarenakan penyakit malaria penyebarannya terjadi pada saat
pergantian musim dan saat mereka membuka lahan di hutan dan biasanya penyakit
ini datang pada bulan juli.
Berbeda dengan tahun 1937, pada tahun 1938 dan 1939 atap untuk rumah
tidak diberikan oleh pemerintah kolonial dikarenakan harga atap tersebut cukup
mahal dan tidak tahan lama, serta biasanya dalam perjalanan ke daerah Transmigran
atap tersebut rusak sebelum sampai dikarenakan terkena hujan dan panas. Pada
tahun 1938 para masyarakat Transmigran diperintahkan untuk membuat atapnya
sendiri menggunakan alang-alang, pios, serdang atau dari bahan lainnya yang
jumlahnya cukup banyak di daerah Transmigrasi (Jones G. W dalam Sri Edi
Swasono, 1986:239). Dikarenakan aturan ini banyak Transmigran yang utangnya
bertambah kepada pemerintah Kolonial Belanda, karena untuk mengangkut barang-
barang bahan untuk membangun rumah perlu memberikan upah karena
mengangkut barang tersebut dengan mengunakan mobil agar tidak ada waktu yang
terbuang dalam proses membersihkan dan menanami lahannya karena proses
menanam dan membuat rumah diberikan waktu 1 bulan. Kesiapan ladang dan
rumah harus selesai bersamaan karena sandang dan pangan merupakan kebutuhan
pokok yang penting dan mendesak. Ketika seluruh bahan terkumpul rumah tersebut
dikerjakan bersama-sama dengan cara “sambatan” (tolong menolong). Hal ini
45
selalu dilakukan selain menghemat tenaga juga menghemat biaya pengeluaran ini
dilakukan bergantian satu sama lain. Transmigrasi Belitang pada tahun 1937-1942
memiliki daya tarik bagi masyarakat sehingga pada tahun-tahun berikutnya
meskipun pemerintah Kolonial Belanda sudah tidak berada lagi di Indonesia
perkembangannya dari meningkat seperti data dibawah ini.
TABEL 2
Jumlah Transmigran yang didata pada tahun 1950 di 17 Kelurahan
46
sedangkan yang dibuat di Onderafdeling itu sendiri kualitasnya kurang baik. Selain
genteng atap yang digunakan untuk membangun rumah adalah menggunakan sirap
yang dibuat sendiri atau dibelinya.
Di Simpangan (Belitang) ada sebuah pusat perdagangan yang terletak
dibatas Transmigrasi 1937 yang dibangun sebuah langgar yang didirikan oleh
penduduk asli dan bisa digunakan untuk keperluan Transmigran. Selain langgar di
desa Sidodadi juga dibangun sebuah masjid dengan biaya pembangunan bersama
dari penduduk asli dan juga marga-marga lain. Transmigran mendapatkan ¼ bahu
untuk pekarangan dan 1 bahu untuk ladang dan bisa dijadikan sawah dan jatah
tersebut untuk 1 keluarga. Bagi keluarga yang rajin akan mendapatkan jatah
tanahnya dari sisa-sisa pembagian tanah yang dilakukan bersama-sama dengan
pejabat Verkeer en Waterstaat. Dalam tiap kampung yang memiliki hutan yang
cukup lebat, ada seorang penduduk asli yang digaji untuk menjadi guru untuk
orang-orang kolonis dalam menebas dan menebang hutan. Tugasnya adalah
memilih pohon mana saja yang akan ditebang lebih dahulu (Dixon, 1980:75). Biaya
yang perlu dikeluarkan tidak seberapa, sebab waktu yang digunakan tidak terlalu
lama yaitu 6 minggu atau 2 bulan lamanya dan keuntungan yang didapatkan cukup
banyak. Disaat menebang pohon Transmigran belajar dalam menghindari bahaya,
karena di wilayah Belitang banyak sekali tumbuh pohon rengas dan jika terkena
kulit efeknya akan menjadi gatal, bengkak dan bisa sampai demam.
Kolonisasi di Belitang, Ogan dan Komering Ulu terjadi Pada 3 tahap yaitu
tahun 1937, 1938, 1939 yang semua berasal dari pulau Jawa,
47
Dan jumlah keseluruhan Transmigran yang datang pada ketiga gelombang tersebut
adalah 8326 jiwa atau 2270 kepala keluarga (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:19).
perkembangan minat transmigran dari Jawa setiap tahunnya yang terus meningkat
ini dapat disimpulkan bahwa Transmigrasi Kolonial Belanda memiliki daya tarik
dalam peningkatan ekonomi masyarakat pada saat itu karena keterbatasan lahan dan
perkerjaan di Jawa hal tersebut terjadi.
48
sungai komering tetapi karena pada saat itu keadaan belum memungkinkan
digunakan air yang ada saja, dan sawah percobaan itu dibuat kurang lebih 10 sampai
40 ha luasnya. Perkakas dan barang barang lain yang dibagikan kepada kolonis
ketika sampai di tanah Transmigrasi adalah sebagai berikut:
Yang diberikan gratis: Batu gosok (ditentukan banyaknya tergantung banyaknya
penduduk di dalam desa), Kaleng minyak tanah, Botol kosong dan blik kecil-kecil
Yang diberikan dengan utang :
a. Perkakas dalam mengarap tanah, berupa :Pacul, Kapak, Cengkuit, Parang
b. Padi
c. Barang yang lain-lain: Periuk untuk memasak nasi dan Pelita
TABEL 3
Jumlah Bantuan Beras kepada Transmigran baru
April Agustu Septe Oktob Nove Desem Januari Februari
sampai s mber er mber ber
Laki-Laki 0,9 0,7 0,6 0,5 0,3 0,2 0,2
Perempuan 0,7 0,5 0,45 0,4 0,25 0,2 0,2
Anak-anak 0,5 0,35 0,3 0,25 0,20 0,15 0,15
3-12 tahun
Anak-anak 0,3 0,25 0,2 0,15 0,15 0,10 0,10
0-3 tahun
Jumlah 1 2,4 1,80 1,55 1,30 0,90 0,65 0,65
Keluarga
Dikarenakan hasil panen yang belum stabil pembagian jatah beras kepada
masyarakat Transmigran tersebut tidak selalu berpedoman kepada jumlah ukuran
49
diatas, terkadang hasil panen yang sedikit dan terhambat distribusinya sehingga
sesekali pembagian beras lebih banyak dari pada pedoman tersebut ataupun
sebaliknya. Sesekali para Transmigran yang datang menumpang ke daerah tersebut,
tidak mengambil jatah beras yang disediakan pemerintah kolonial Belanda,
dikarenakan mereka mendapatkan bantuan dari keluarga mereka yang terlebih
dahulu datang melalui program Transmigrasi pertama. Dalam proses adaptasinya
50 keluarga dari 1550 keluarga yang datang pada tahun 1940 di perintahkan untuk
hidup dari hasil bawon semata tanpa diberikan bantuan berupa beras , dan
selanjutnya cara mereka bertahan hidup dengan bergantung pada upah bawon yang
didapatkan dari 250 keluarga Transmigran yang datang terlebih dahulu pada tahun
1937. Dengan perbandingan upah sebesar 5 : 1 dengan hasil yang biasanya 25 pikul
padi kering dalam setiap 1 bahu bergantung pada baik atau tidaknya hasil panen
sawah yang menentukan hasil dari banyak atau tidaknya hasil yang dibawa sistem
bawon ini (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:11).
Pembagian jatah bibit tanaman dari pemerintah kolonial Belanda
didapatkan dari berbagai daerah yang ada di Indonesia ataupun sekitar tempat
Transmigran dengan jenis :
1. Ketela : Mangi dan Valenea dari Pagar Alam,
Singapura dari Kediri yang dibawa oleh Transmigran
Mentega dari tempat yang dekat-dekat Transmigrasi itu sendiri
2. Ubi : Ubi kuning dari Lubuk Linggau
Pangkoar, ubi yang besarnya cukup pertumbuhannya yang dibawa
Transmigran dari daerah Jogjakarta
3. Jagung: Menado Kuning dari Curup (bisa di panen dalam 3 bulan)
4. Kacang Tanah : Schwarz 21 dari Landbowkundig Instittuut di Bogor,
kacang ini tidak akan terkena penyakit lendir
5. Kedelai : Kedelai mas dari Lubuk Linggau, Kedelai Hitam dan Kedelai
putih dari Bogor
6. Kacang Hijau : dari Bogor
7. Tembakau dari Magelang
8. Ganjong dari Jogja
50
9. Erot dari Jogja
10. Uwi dari Blitar
11. Padi bulu dari gedongtataan
12. Akar tuba dari Bogor
13. Kapuk dari Bogor
14. Salak dari Bogor
51
Komering belajar cara menanam padi yang baik kepada Transmigran, dan orang
Transmigran bisa upahan dan paroan dalam memelihara ternak kerbau milik orang
Komering.
52
Daerah di bawah keresidenan Palembang berupa wilayah afdeeling
langsung di bawah kekuasaan seorang asisten residen yang berkedudukan di
ibukota afdeeling, Keresidenan Palembang dibagi dalam daerah berbentuk
afdeeling yang meliputi tiga afdeeling yaitu:
53
4. Onderafdeeling Tebing Tinggi dengan ibukota dan kedudukan kontroleur
berada di Tebing Tinggi;
5. Onderafdeeling Moesi Oeloe dengan ibukota dan kedudukan konteroleur
berada di Moera Bliti.
Afdeelinggen Ogan dan Komering Oleloe terbagi lagi atas tiga onderafdeeling,
yaitu:
Menurut Zaak Almanak Zuid Sumatera tahun 1936 (Arlan Ismail, Marga di
Bumi Sriwijaya, 2004; 204), jumlah pemerintahan Marga di Sumatera Selatan
adalah 314 marga terdiri dari Keresidenan Palembang 174 marga , Keresidenan
Lampung 58 marga dan Keresidenan Bengkulu 82 marga.
Perkembangan politik di Belitang yang terletak di Onderafdeling Komering
Ulu, Afdeling Ogan dan Komering Ulu, Residen Palembang ini tidak lepas dari
perkembangan politiknya apalagi dalam perkembangannya pada masa itu masih
menganut sistem perpolitikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kolonial
Belanda. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pemerintah dalam
melaksanakan peraturan-peraturan yang nantinya akan dipatuhi oleh masyarakat
yang mengikuti program Transmigrasi yang dilaksanakan di Belitang. Belitang
sendiri terdiri dari beberapa marga (kecamatan) yang dipimpin oleh kepala marga
yang didalamnya terdiri dari beberapa Dusun (Desa). Susunan pemerintahan
dikampung dikepalai oleh kamitua (kepala Desa) dibawahnya ada seorang carik
(Sekretaris), seorang kebajan (Polisi) dan seorang modin yang mengatur urusan
yang berhubungan dengan agama. Beberapa kampung akan dijadikan satu desa
yang akan dikepalai oleh Kepala Desa (Lurah), Pegawai Transmigrasi Belitang
yang berkerja dibawah pengawasan asisten wedana adalah sebagai berikut
Mandor tersebut berasal dari Jogjakarta dan beliau datang ke Belitang pada
tahun 1937 dengan anggota keluarganya yang banyak di Jogjakarta. Di
pulau Jawa dia sudah menjadi pegawai desa dan disini dia menjadi kamitua
dalam waktu setahun. Dalam setahun kinerjanya dalam mengurus urusan
perpolitikan di daerah Transmigrasi cukup baik dan dengan ikhlas
menolong pegawai Transmigrasi dalam proses awal Transmigrasi yang
cukup berat karena berbulan-bulan dia harus bekerja didalam hutan, karena
ia adalah orang yang dapat dipercaya dalam pekerjaannya ia pun diangkat
menjadi mandor Transmigrasi di Kurungan Nyawa. Perkerjaan dibawah
pimpinan pegawai Transmigrasi daerah yang dipimpin lebih teratur dan
rapih sehingga lebih baik dari pada Transmigrasi di daerah awal yaitu di
daerah Simpang Mesir (1937). Dalam usahanya diperlukan seseorang yang
mampu membantu mengatur daerah dan memiliki kecakapan yang baik
4. Dua orang pembantu di Kurungan Nyawa
5. Seorang pembantu di Belitang
Orang yang berkerja dibawah pengawasan Adjunet-Landboweonsuent
sebagai berikut
a) Seorang landbowkundig opzichter
b) Seorang manteri landbow di Belitang
c) Seorang mandor untuk kebun bibit di Karangrejo
d) Seorang mandor untuk gudang bibit di Belitang
e) Seorang mandor di Kurungan Nyawa
Nama-nama diatas adalah daftar nama pegawai yang bernaung dibawah
pemerintah kolonial Belanda yang mengatur administrasi wilayah Transmigrasi
Belitang (Kolonisatie Buletin vol.9, 1940:28). Dari sistem perpolitikan diatas dapat
dilihat bahwa sistem pemerintahan yang kita jalani sekarang adalah adaptasi dari
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, selain memudahkan informasi yang masuk,
sistem ini juga bisa merangkul masyarakat yang berada di wilayah
pinggiran/terdepan dalam suatu wilayah, akan tetapi kekurangannya adalah bantuan
55
pusat/informasi yang di sampaikan banyak melalui perantara, sehingga dapat
menimbulkan Korupsi diberbagai tingkatan, maka diperlukan pengawasan yang
ketat.
56
BAB V
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa program pemerintah kolonial
Belanda dalam melaksanakan Politik Etis di wilayah Sumatera Selatan, saran yang
penulis ingin sampaikan adalah sebagai berikut :
1. Dampak yang dihasilkan dari adanya Bendungan Komering diharapkan bisa
menjadi tolak ukur dan pondasi pembangunan kabupaten OKU Timur,
dengan adanya infrastruktur yang baik seperti irigasi, akses jalan dan
lainnya maka pembangunan akan menjadi lebih cepat dan juga
kesejahteraan penduduk akan lebih baik dengan begitu seiringnya
berjalannya perekonomi di kabupaten OKU Timur akan mengurangi angka
kemiskinan dan kriminalitas.
2. Dengan adanya berbagai macam suku dan budaya di Wilayah Transmigrasi,
baik itu dengan sesama kolonis atau penduduk asli harus terjalin hubungan
baik dan tolong menolong, karena hal ini sudah terjadi sejak lama dan
diharapkan tidak ada konflik antar suku/agama.
3. Dengan keadaan sekarang kesenjangan ekonomi maupun sosial diharapkan
tidak ada kecemburuan sosial dari penduduk suku Komering terhadap
penduduk yang merupakan Transmigran jaman dahulunya yang sekarang
hidupnya lebih baik dari pada penduduk asli. Disinilah salah satu penyebab
kriminalitas di OKU Timur tinggi.
4. Bendungan yang dibangun oleh Belanda sudah tidak beroperasional lagi,
akan tetapi harusnya diperhatikan dan dirawat sedemikian rupa karena bisa
menjadi aset wisata sejarah yang sangat berharga nantinya karena bentuk
fisik bangunan BK tersebut merupakan awal mula perkembangan
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dan menjadikannya maju sampai
58
sekarang, selain itu bisa dijadikan destinasi wisata jika lokasi tersebut di tata
sedemikian rupa hingga menarik wisatawan.
59
Daftar Pustaka
Bautet. I.J Brugmans. 1987. “Politik Etis dan Revolusi kemerdekaan”. Obor
:Jakarta
Fachurozie, S.A dan Colin Mac Andrews. 1982. “Pengalaman Selama Empat
Puluh Tahun di Daerah Transmigrasi Belitang, Sumatera Selatan” dalam
Joan Hardjono (Ed). Transmigrasi dari Kolonialisasi sampai Swakarsa.
Jakarta: PT.Gramedia.
University Press.
Kartodirjo, Sartono. 1990. “Pengantar Sejarah Indonesia Baru jilid 2”. Gramedia
Pustaka : Jakarta
60
Nugraha Setiawan.1994.” Transmigrasi di Indonesia: Sejarah dan
Perkembangannya”. Yogyakarta: Program Studi Kependudukan, Program
Pascasarjana UGM.
Indonesia”.
Pelzer, Karl J. 1945, “Pioneer Setlement in the Asiatic Tropic”. New York:
Yogyakarta
http://www.okutimurkab.go.id/sejarah
62