Anda di halaman 1dari 11

Mengubah Wajah Indonesia di Selat Malaka

SELAT MALAKA POTENSI YANG


DIABAIKAN
Wednesday, 11 June 2014

Begitu strategis dan pentingnya Selat Malaka, selama ini telah di sia siakan Pemerintah Indonesia.
Akibatnya negara ini harus kehilangan potensi pendapatan puluhan triliun rupiah setiap tahunya dari
potensi ekonomi selat yang menjadi jalur pelayaran tersibuk di dunia yang dilalui lebih dari 90.000 kapal
berbagai ukuran setiap tahunnya dengan muatan kargo dan minyak dari seluruh dunia.

Meski Indonesia memiliki sebagian besar atas wilayah Selat Malaka, namun negara ini tidak berdaya
menghadapi Singapura dan Malaysia dalam pemanfaatan potensi ekonomi selat tersebut. Dua negara itu,
khususnya Singapura sejak lama menikmati puluhan triliun rupiah setiap bulanya dari bisnis pelayaran dan
perkapalan di Selat Malaka.

Dari usaha jasa pandu kapal saja, Singapura disinyalir memperoleh separuh dari omset bisnis itu atau
sekitar 30 trilun rupiah setiap tahunnya. Dengan asumsi jumlah kapal yang melalui Selat Malaka pertahun
sebanyak 90 ribu kapal berarti sebulanya 7.500 kapal yang lalu lalang dan jika jasa pandu kapal 65.000
dollar AS per kapal maka jika ada 90 ribu kapal berarti omset bisnis ini pertahun mencapai 58 triliun
rupiah. Bila Singapura mengelola separuh dari omset tersebut maka pendapatan negeri kota itu sekitar 30
triliun rupiah per tahun, sisanya dibagi Malaysia dan Indonesia.

Singapura juga menikmati pendapatan dari biaya lego jangkar dan labuh kapal yang nilainya mencapai
puluhan triliun rupiah setiap bulannya. Negara itu juga menikmati pendapatan dari penjualan air bersih dan
Bahan Bakar Minyak yang nilainya juga mencapai puluhan triliun rupiah setiap bulannya.

Indonesia yang memiliki sebagian besar atau sekitar 80 persen wilayah Selat Malaka ironisnya hanya
menjadi penonton dan ironisnya lagi malah menjadi pemasok barang barang yang dijual Singapura ke atas
kapal asing tersebut, contohnya air bersih dan Bahan Bakar Minyak serta gas.

Salah satu Pejabat di Kementrian Perhubungan, Capt. Purnama S. Meliala menyadari kalau Indonesia telah
kehilangan potensi pendapatan triliun rupiah setiap bulanya dari potensi ekonomi Selat Malaka
disebabkan ketidakmampuan negara menangkap peluang tersebut. Dari usaha jasa pandu, Indonesia
ketinggalan jauh disbanding Singapura bahkan negara ini baru menyatakan siap mengelola bisnis jasa
pandu kapal pada tahun 2008 dan ironisnya hingga saat ini jasa pemandu Indonesia yang jumlahnya hanya
puluhan tersebut lebih banyak menganggur karena kapal asing lebih memilih jasa pemandu dari Singapura
dan Malaysia. Pasalnya, pemandu Indonesia belum banyak yang memiliki sertifikat IMO (International
Maritime Organization) sehingga diragukan keahlianya dalam memandu kapal.
Untuk memaksa kapal kapal asing tersebut memakai jasa pemandu dalam negeri, Indonesia telah
berulang kali membuat regulasi. Pertama tahun 2007 dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Dirjen
Perhubungan Laut (Hubla) Nomor: PU.63/1/8/DJPL.07 tanggal 28 Desember 2007 tentang Penetapan
Perairan Pandu Luar Biasa di Selat Malaka dan Selat Singapura. Dalam SK tersebut disebutkan wilayah
perairan Selat Malaka dan Selat Singapura sebagai perairan pandu ditetapkan dengan batas-batas yang
meliputi sebelah utara Tanjung Balai Karimun sampai perairan sebelah utara Pulau Batam.

Setahun kemudian, Pemerintah juga membuat Undang Undang Pelayaran nomor 17 tahun 2008 yang di
dalam pasal 198 ayat 1 disebutkan bahwa Pemerintah dapat menetapkan perairan tertentu sebagai
perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa. Artinya, setiap kapal yang berlayar di perairan wajib
pandu dan perairan pandu luar biasa itu wajib menggunakan jasa pemanduan.

Celakanya, aturan tersebut justru dimanfaatkan untuk kapal yang hanya melintasi perairan dalam negeri
yang mengangkut muatan kargo antar daerah. Sedangkan bagi kapal asing yang lebih banyak lalu lalang di
Selat Malaka yang potensinya justru lebih besar tidak disentuh.

Padahal kapal kapal asing tersebut, menurut Purnama banyak yang melewati perairan Indonesia yang
mestinya sesuai dengan Undang Undang nomor 17 tahun 2008 harus dipandu oleh pemandu dari
Indonesia.. Kondisi tersebut mengalami pembiaran cukup lama, padahal aksi pemandu dari negara asing
mestinya di hentikan karena Illegal.

Pengamat industri pelayaran dan pelabuhan, Sungkono Ali, menilai hingga saat ini memang ada
kesemrawutan dalam usaha kegiatan pemanduan di Selat Malaka yang memiliki panjang 245 Mil itu.
Padahal sudah jelas, 80 persen wilayah Selat Malaka merupakan wilayah Indonesia yang seharusnya
kewenangan kepanduan dilakukan Indonesia.

Sungkono Ali yang juga Ketua Umum Lembaga Kelencaran Arus Barang Indonesia ( Likabindo) menyebut
selama ini tidak kurang dari 90 ribu kapal berbagai ukuran melintas di selat malaka per tahun atau 7.500
kapal per bulannya tanpa pemanduan dari petugas Indonesia. Akibatnya, potensi pemanduan kapal di selat
itu diambil alih tenaga dan kapal pandu dari Singapura dan Malaysia secara illegal karena mereka
memandu kapal-kapal itu melewati wilayah perairan Indonesia sehingga potensi pendapatan negara
menjadi hilang.

Senada dengan Sungkono, Anggota DPD RI asal Provinsi Kepulauan Riau, Djasarmen Purba mengatakan,
aksi jasa pemandu dari Singapura dan Malaysia yang melintasi perairan Indonesia sudah melanggar
Kedaulatan Negara Republik Indonesia di wilayah tersebut. Ironisnya, kondisi tersebut terus dibiarkan dan
sudah berlangsung lama. Padahal, Indonesia sudah memiliki petugas pemandu untuk lalu lintas laut.

Sudah saatnya Pemerintah Indonesia bersikap tegas atas aksi illegal pemandu asing di perairan
Indonesia dan negara ini juga harus sudah siap mengambil alih bisnis jasa pandu kapal tersebut dengan
menyiapkan infrastruktur serta sumber daya manusianya, kata Djasarmen.
Ketua Kadin Batam yang juga Ketua Yayasan Pendidikan Maritim Indonesia, Nada Faza Soraya
mengatakan, harus ada keinginan politik yang kuat dari Pemerintah Indonesia untuk mengambil alih
potensi maritime di Selat Malaka yang selama ini dinikmati Singapura serta Malaysia. Untuk itu,
dibutuhkan perangkat dan infrastruktur yang cukup. Misalnya, harus disediakan tenaga ahli pemandu
kapal yang professional dan diakui secara internasional dengan adanya sertifikat keahlian dari IMO.
Kemudian pemerintah harus menyerahkan pengelolaan jasa pemanduan tersebut pada perusahaan yang
memiliki pengalaman seperti Pelindo.
Perangkat pendukung juga harus disiapkan seperti operator radio, crew station, administrasi kantor dan
lainnya. Kedua, penyiapan sarana dan perasarana yang meliputi hardware dan softare. Hardware seperti
stasiun dan kapal-kapal pandu dan kelengkapannya harus baik begitu pula terhadap software seperti
pengetahuan hukum nasional dan internasional, system operasi, system administrasi dan marketing serta
tarif. Sangat penting juga dilakukan marketing dan sosialisasi imternasional melalui berbagai organisasi
internasional seperti IMO, IMPA dan Duta Besar Negera Tetangga.
Nada Optimistis bisnis jasa pandu kapal ini akan member pemasukan pada negara cukup besar seiring
makin banyaknya kapal kapal asing yang melintasi selat malaka. Jumlah kapal tersebut hingga saat ini
diperkirakan sekitar 10.000 kapal pertahun yang terdiri dari berbagai ukuran. Jika pemerintah bisa
mengelola setengah dari omset bisnis pelayaran dan perkapalan tersebut maka sudah bisa dipastikan
penerimaan negara bisa mencapai 100 triliun rupiah setiap tahunnya dan dengan demikian negara ini bisa
membangun industri maritime yang kuat.

SUMBER : http://wikileaks-wikileaksindonesia.blogspot.com/

INDONESIA adalah satu dari tiga Negara yang berada tepat di Selat Malaka, bahkan 80 persen alur
lalu lintas kapal di selat ini berada di wilayah pelayaran Indonesia. Namun Indonesia belum mampu
memaksimalkan potensi ekonomi tersebut bagi kepentingan nasional. Selat Malaka merupakan
salah satu jalur pelayaran teramai di dunia, setiap hari ini Selat Malaka dilalui oleh lebih dari 200
unit kapal atau sekitar 63.00 kapal per tahunnya, dan sekitar 10 persen di antaranya merupakan
kapal tanker minyak berukuran besar.

Indonesia yang memiliki teritori dominan di Selat Malaka, seharusnya mampu menangkap peluang
yang ada, melalui pengembangan sejumlah kegiatan ekonomi, misalnya penyediaan jasa pelayanan
pemanduan kapal, kegiatan alih muatan kapal STS (ship to ship transfer), kegiatan pembekalan
(ship provision, equipment supply), kegiatan pengawakan kapal (ship crewing), perbaikan kapal
dan lain lain. Tingkat kerawanan kecelakaan yang cukup tinggi menuntut tersediaanya jasa
pemanduan kapal di Selat Malaka.

Penyediaan jasa pemanduaan ini menjanjikan nilai ekonomi yang cukup tinggi, sebagai gambaran
kasar; biaya jasa pemandu sekitar 0,026 dolar AS per kapasitas ruang muatan (gross register
tonnage/GRT). Seandainya Indonesia dapat melayani 10 kapal tanker berukuran besar per hari
dengan asumsi, biaya jasa pemandu sebesar Rp100 juta per kapalmaka pendapatan dari jasa
pemandu ini mencapai Rp1 miliar per hari. Jasa pemanduan kapal dapat dilakukan di jalur Selat
Malaka, Selat Philip, dan Selat Singapura, yang dimulai dari titik pandu naik (pilot boarding point)
di lokasi 011250" N/1032142" E pulau Iyu Kecil dan titik pandu turun di lokasi 011330"
N/1040100" E di perairan Nongsa Batam.

Namun karena pemerintah tidak terlalu menganggap penting keberadaan Selat Malaka, akibatnya
selat Malaka dikuasai oleh Singapura dan Malaysia. Padahal, penyediaan jasa pemanduan kapal
seharusnya sudah sejak lama dilaksanakan oleh Indonesia yakni sejak dikeluarkannya TSS (Traffic
Separation Zone) for Malacca and Singapore Strait pada tahun 1980 oleh Organisasi Maritim
Internasional (IMO International Maritime Organization). TSS mengamanatkan kepada pemerintah
tiga Negara di selat Malaka ( Indonesia, Malaysia dan Singapura), untuk menyediakan pelayanan
jasa pemanduan bagi kapal-kapal tertentu dengan kapasitas besar, yaitu kapal dengan sarat dalam
( Deep Draft Vessel ) melebihi 15 meter, serta kapal dengan ukuran diatas 150.000GT (VLCC Very
Large Crude Carrier), namun amant ini diabaikan oleh Pemerintah RI Mengingat semakin
bertambahnya jumlah lalulintas kapal, serta terus meningkatnya kecelakaan kapal yang sangat fatal
di Selat Malaka, pada tahun 1998 IMO melakukan penyempurnaan TSS menjadi yang lebih panjang
dan lebih penuh dimulai dari Beting Sedepa (One Fathom Bank) sampai ke Suar Batu Putih
(Horsburgh Lt Ho) yang panjangnya tidak kurang dari 250 nm, namun lagi-lagi seruan IMO ini
diabaikan pemerintah RI dengan alasan ketiadaan operator dan petugas pemandu.

Bahkan jauh sebelumnya seruan kepada Indonesia juga pernah disampaikan. Pada tahun 1968
ketika dibentuk Forum TTEG (Three partite Technical Expert Group tiga Negara pantai), dan
Dewan Selat Malaka Malacca Strait Council (MSC) yang menetapkan sistim pelaporan Selat Malaka
(StraitRep), serta Sistem Pengawasan dan Monitoring Kapal (Vessel Traffic Information System
VTIS) dan pengendalian lalulintas kapal untuk keselamatan pelayaran, di Selat Malaka.

Seruan agar Indonesia menyediaan jasa pemanduan terus disuarakan berulangulang kali dalam
berbagai sidang TTEG. Namun tidak direspon serius oleh pemerintah Indonesia. Baru pada tahun
2002, muncul pemikiran untuk mengembangkan jasa pemanduan di Selat Malaka, dengan
pembentukan Tim Penetapan Perairan Pandu Luar Biasa Selat Malaka dan Selat Singapura, yang
membuahkan hasil pada tahun 2007, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perhubungan Laut, tentang Penetapan Perairan Pandu Luar Biasa, Selat Malaka dan Selat Singapura,
tanggal 27 Desember 2007. Setahun kemudian (2008) Departemen Perhubungan
menyelenggarakan pelatihan Pandu Selat Malaka dan Selat Singapura (Deep Sea Pilot), kepada 43
orang staf pemandu.

Namun demikian, meskipun sudah tersedia staf pemanduan kapal, namun izin penyelengaraan
pemanduan kapal di selat Malaka dan selat Singapura yang diajukan PT. Pelabuhan Indonesia
(Pelindo) I sejak tahun 2007 belum dianggapi oleh Departemen Perhubungan. Akibatnya amanat
IMO belum juga dapat dilaksanakan Indonesia hingga hari ini. Belakangan secercah cahaya mulai
tampak. Dalam pertemuan dengan Menteri Perhubungan, Freddi Numberi dengan saya (Jasarmen
Purba) awal bulan lalu.

Menhub secara tegas mengatakan bahwa kegiatan pemanduan kapal di wilayah RI tidak boleh
dilakukan oleh negara lain karena akan menginjak-injak kedaulatan NKRI. Pada kesempatann itu
juga Menhub cq Dirjen perhubungan laut memberikan izin kepada PT. Pelindo I untuk melakukan
usaha pemanduan kapal di wilayah Selat Malaka dan Selat Singapura.

Penyediaan jasa pemanduan kapal di selat Malaka dan Selat Singapura oleh Indonesia, tidak saja
akan merubah wajah Indonesia di Selat Malaka, lebih jauh dapat mencegah upaya Internationalisasi
Selat Malaka yang belakangan semakin digencarkan dilakukan pihak-pihak tertentu. Bukan rahasia
umum lagi bahwa sejumlah negara-negara besar sejak dahulu telah secara jelas menunjukkan
keinginannya dan minatnya untuk dapat ikut campur mengendalikan pengelolaan Selat Malaka.
Dengan demikian penyediaan jasa pemanduan kapal di Selat Malaka, bukan semata-mata persoalan
ekonomi belaka, namun menyangkut harga diri bangsa dan penegakan kedaulatan dan kesatuan
NKRI.

Indonesia Poros Maritim Dunia


Selat Malaka memiliki panjang 805 km atau sekitar 500 mil dan sudah lama menjadi urat nadi
perdagangan dunia.

Pembangunan negara-negara Asia berhasil berkat kerja keras dan disiplin. Kondisi tersebut
membuat pusat perekonomian dunia bergeser dari Eropa dan Amerika ke Asia. Sukses ini
dipelopori India, kemudian negara-negara Asia Timur, terutama Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan,
dan Jepang. Abad ke-20 merupakan bangkitnya bangsa Asia, berjuang memerdekakan dirinya dari
imperialisme bangsa Barat. Setelah dijajah bangsa Barat berabad-abad, harga diri bangsa Asia
bangkit karena melihat Jepang bisa memenangkan peperangan terhadap Rusia (bangsa Eropa)
dalam Perang Laut di Selat Tsusima tahun 1905. Pertempuran tersebut terkenal di Jepang sebagai
Nihonkai Kaisen (Pertempuran Laut Jepang)

Selat Malaka memiliki panjang 805 km atau sekitar 500 mil dan sudah lama menjadi urat nadi
perdagangan dunia. Selain itu, sekitar 40 persen angkutan laut dunia melintasi selat ini. Selat
Malaka merupakan lintasan terdekat dari Lautan Hindia menuju Lautan Pasifik dan sebaliknya. Saat
ini selat tersebut rata-rata dilalui 60.000 kapal per tahun atau 170 kapal per hari. Dengan
melonjaknya perdagangan di kawasan Asia Timur menuju kawasan Afrika, Amerika, dan Eropa,
selat ini tidak bisa menahan pelonjakan kenaikan arus perdagangan.

Saat ini jumlahnya mencapai 19.245,7 juta ton per tahun dengan kenaikan rata-rata 4,3 persen per
tahun. Itu belum termasuk petro product sebesar 15,2 juta barel per hari, melintas dari barat ke
timur.
Selat Phillips di muka Singapura sangat sempit alur pelayarannya. Selat ini memiliki lebar 1,7 km
dan yang bisa dilalui sebagai alur pelayaran hanya 1,3 km. Perkembangan teknologi perkapalan saat
ini dalam mencapai skala ekonomis menggunakan very large conteiner carriers dan very large
crude carriers (VLCC) panjang kapalnya 0,5 km.

Tiongkok juga punya kebanggaan. Mereka mendambakan bangkitnya legenda Silk Road, dengan
menonjolkan kebesaran Tiongkok pada zaman Dinasti Han (206 SM-200 SM). Kala itu, bangsa
Tiongkok melakukan perdagangan dan hubungan diplomatik antarbangsa sejauh 4.000 atau setara
dengan 6.437 km. Perjalanan ini bisa mencapai wilayah Eropa (Roma), kerajaan-kerajaan
Mediterania, dan Timur Tengah.

Konsekuensi kenaikan perdagangan internasional suatu negara, selalu diikuti meningkatnya


aktivitas angkatan laut negara tersebut sebagai pengawal angkutan barang dagangannya. Karena
itu, kesibukan kapal-kapal angkatan laut asing di perairan Indonesia akan bertambah sekaligus
meningkatkan ketegangan wilayah dan persaingan perdagangan antar negara-negara besar.
Alternatif lain dalam mengatasi kepadatan Selat Malaka ialah study shipping dunia memilih Selat
Sunda, Selat Lombok, dan Selat Wetar (bagi kapal perang). Cara ini merupakan solusi sesuai
Innocent Passage Rules Psl.53 UNCLOS III tentang Archipelagic Sea Lanes Passage, Part III.

Secara geografi, Indonesia memiliki empat selat sangat strategis dan merupakan bagian dari
sembilan choke point lalu lintas angkutan laut dunia. Keempat selat itu adalah Selat Malaka, Selat
Sunda, Selat Lombok, dan Selat Wetar. Selat Malaka merupakan perbatasan laut (sea borderlines)
Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Ketentuan penggunaan alur pelayaran dan keselamatan
navigasi telah diatur sesuai ketentuan Internationale Maritime Organization (IMO), organisasi di
bawah Secretary of United Nations.

Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Wetar sesuai ketentuan UNCLOS III tahun 1982 merupakan
wilayah laut kedaulatan Indonesia. Pengaturan pemakaian lalu lintas lautnya perlu diatur
pemerintah Indonesia sesuai asas dasar wawasan Nusantara. Selat Lombok dan Selat Sunda sangat
cocok dan memenuhi syarat kedalaman dan lebarnya alur navigasi dari kapal-kapal VLCC dalam
economic scale. Akibatnya, wilayah Internal Water Sea dan Zona Ekonomi Eksklusif perairan
Indonesia terjadi peningkatan lalu lintas kapal-kapal laut. Peningkatan ini terutama dari Asia Timur
menuju Tanjung Harapan, melalui perairan Indonesia menuju Afrika Barat, Eropa, Amerika Timur,
dan sebaliknya.
Terusan Suez tidak sesuai desain VLCC, tetapi tetap digunakan sebagai lintasan bagi kapal-kapal
ukuran lebih kecil menuju kawasan Barat dan Timur. Dengan perubahan pusat perdagangan dan
industri dari Benua Amerika dan Eropa beralih ke Benua Asia, terutama Asia Timur, kedudukan
Indonesia secara geopolitik dan ekonomi dunia menjadi penting. Selain itu, posisi Indonesia
menjadi poros maritim dunia dan perlu dijaga keamanannya sebagai urat nadi perekonomian. Hal
ini dilakukan untuk kepentingan ekonomi dunia, terutama negara pembeli dan penjual. Karena
tanpa melalui alur pelayaran wilayah Indonesia, biaya angkutan laut akan menaik dan berimbas
pada biaya produksi yang mahal.

Antisipasi

Pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan lembaga-lembaga pemerintah dalam mengantisipasi


perubahan yang terjadi di dunia pada abad ke-21 ini. Pemerintah perlu mengatur lalu lintas kapal
internasional dan nasional yang beredar di wilayah Indonesia, dalam rangka menjaga kelestarian
kesatuan bangsa sesuai asas Bhinneka Tunggal Ika dan utuhnya kekayaan alam, baik flora, fauna,
serta terhadap kemungkinan pencemaran laut. Perawatan alur pelayaran dan rambu-rambu lalu
lintas laut bagi keselamatan pelayaran perlu dilakukan.

Dalam menjaga kekayaan flora, fauna, dan tambang di kawasan perairan laut Indonesia terhadap
kemungkinan polusi, saatnya mengharuskan kapal-kapal untuk menutup asuransi TOVALOP
(Tanker Owner Volutary Agreement Concerning Liability for Oil Polution) atau asuransi
pertanggungan semacam itu, dalam mengatasi kemungkinan pencemaran minyak. Asuransi ini
sudah diterapkan bagi kapal-kapal dagang yang berlayar melintasi perairan Amerika Serikat dan
negara Eropa.

Indonesia hendaknya membangun pelabuhan besar di tepi pantai alur pelayaran choke point Selat
Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok untuk menampung berlabuhnya kapal-kapal VLCC.
Pelabuhan besar ini demi mendukung sistim global shipping operation bagi kebutuhan ekspor-
impor langsung dari mancanegara. Selain itu, pemerintah perlu membangkitkan perdagangan dan
industri domestic, terutama dalam melayani kebutuhan logistik kapal (ship chandler). Membuka
lapangan klerja di galangan kapal terutama bagi repair and maintenance dan docking service perlu
diadakan. Hal ini juga berkaitan dengan membangkitkan usaha terminal container, termasuk
staffing cargo, cleanning, repair, dan fumigasi kontainer.

Namun, sangat disayangkan kebijakan pemerintah untuk menjadikan negara maritim yang sangat
strategis tidak diputuskan dalam bentuk Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Perlu kebijakan
pembangunan jangka panjang untuk menuju kesejahteraan bangsa Indonesia sesuai cita-cita
mendirikan negara yang tercantum pada pembukaan UUD 1945.

Penulis adalah pengamat masalah maritim dan mantan pengusaha pelayaran.

Senin, 12 Oktober 2009


Pelindo layani jasa pandu di Selat Malaka
BATAM: PT Pelabuhan Indonesia I mulai mengoperasikan jasa pandu di Selat Malaka dengan
melayani pemanduan kapal dari perairan Karimun hingga Batam sejauh 48 mil.

Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I Sutanto mengatakan BUMN kepelabuhanan itu
sudah memiliki kelengkapan yang memadai untuk melayani jasa pandu di perairan tersebut.

"Mulai hari ini [kemarin] jasa pandu Pelindo I di Selat Malaka sudah bisa dioperasikan," ujarnya
seusai soft launching jasa pandu itu, kemarin.

Pada acara soft launching yang digelar di perairan Pulau Iyu Kecil itu, Pelindo I juga memberikan
pemanduan perdana kepada Kapal Tanker Camar Mas. Selain itu, kegiatan pemanduan dilakukan
terhadap kapal Quito Jaya dan sebuah tanker VLCC berbobot 160 GT bernama Sahba Nassau yang
sedang membawa minyak mentah ke India.

Di Via Gaspare, Kapten MT Sahba Nassau, mengatakan kapal minyak dengan panjang lebih dari 300
meter itu selama ini menerima jasa pandu dari salah satu perusahaan swasta asal Singapura.

"Kapal ini [Sabha Nassau] masih baru, tetapi kami sudah mendapat jasa pandu dari mereka
[Singapura] sebanyak tujuh kali," ujar Gaspare.

Dia terlihat antusias saat Kapten Agustiyan, pilot kapten pandu, menjelaskan sudah beroperasinya
jasa pandu resmi di Selat Malaka oleh Pemerintah Indonesia melalui Pelindo I.

Kepastian hukum

Menurut Gaspare, jasa pandu ini akan lebih menguntungkan perusahaan dan pemilik kapal
berbendera Bahama itu karena memiliki kepastian hukum terutama bila mengalami masalah-
masalah di Selat Malaka.

Perusahaan asuransi yang melindungi kapal itu, katanya, juga akan lebih merasa keamanan kapal
tersebut bertambah, khususnya saat melintasi Selat Malaka yang memiliki lebar jalur yang sangat
sempit, yakni hanya sekitar 500 meter.

Harry menjelaskan sejak awal 2009 Pelindo I berencana menyediakan layanan jasa pandu bagi
kapal yang melintas di Selat Malaka karena diyakini sangat potensial memberikan keuntungan bagi
perusahaan karena lalu lintas kapal di perairan itu padat.

Menurut dia, Selat Malaka merupakan jalur pelayaran internasional tersibuk kedua di dunia dengan
panjang alur 900 km yang dilintasi oleh sekitar 200 kapal setiap hari dan 10% di antaranya adalah
kapal jenis very large cruide carrier (VLCC) yang mengangkut minyak 11 juta barel per hari.

"Selat itu juga merupakan 50% perlintasan minyak dunia yang 80% di antaranya untuk pasokan ke
Korea, Jepang, dan China. Pada tahap awal, Pelindo I akan melayani jasa pandu dari Pulau Iyu
[perairan Karimun] hingga Nongsa [perairan Batam] berjarak 48 mil."

Dia memaparkan untuk sementara waktu kapal yang dipandu oleh Pelindo belum dikenakan biaya
apa pun.
"Saat ini, kami masih mengkaji tarifnya dan belum ada pengenaan biaya. Pemanduan sudah kami
operasikan untuk menyosialisasikan jasa pandu kepada kapal-kapal yang melintas di sana [Selat
Malaka]."

Namun, dia memastikan tarif jasa pandu yang akan dikenakan oleh BUMN itu tidak akan lebih
mahal daripada yang diterapkan oleh Singapura dan Malaysia.

"Kendati demikian, kualitas pilot pandu dan kinerja pemanduan tetap dilakukan secara profesional
dan mampu menyamai pelayanan pemanduan yang selama ini dilakukan oleh kedua negara
tetangga itu." (k40/ Bisnis Indonesia/s).

Diposkan oleh Portal Maritim Indonesia di 02.11

PEMANDUAN SELAT MALAKA AKAN UBAH WAJAH PELABUHAN I


28 March 2008

Untuk mengetahui kegiatan pemanduan di Tg Balai Karimun, beberapa kali Gema telah melakukan
kontak dengan Pandu Tajung Balai Karimun Agastian melalui Ketua DPW INAMPA Hartono, Gema
sendiri belum pernah bertemu dengan sosok Pandu yang benama Agastian tersebut. Menaiki Kapal
Ferry dari Batam lebih kurang 1 jam 30 Menit, Gema tiba di Pelabuhan Tanjung Balai karimun.
Tampak Asmen Umum Sdr, Nirwan, ST telah menunggu di Dermaga Ponton dengan beberapa
stafnya. Sambutan yang cukup ramah tersebut, menghilangkan rasa lelah saat diperjalanan.

Beberapa saat kemudian, Gema telah dibawa pada Ruangan Kerja Manajer Tanjung Balai Karimun
dan disitulah bertemu dengan Pandu Agastian K Bumi, pandu juga sekaligus Asmen Pelayanan
Kapal dan Barang. Ternyata orangnya juga cukup ramah dan banyak menebar senyum saat
berbincang ringan dengan Gema. Sebagaimana janji sebelumnya, Gema akan mengikuti pemanduan
di STS (Ship To Ship) Transfer Pelabuhan Tanjung Balai Karimun sekitar jam 12.00 Wib. Sekedar
diketahui kunjungan kapal STS pada tahun 2007 lebih kurang sebesar 1.093 call dengan GRT
sebesar 27.035.190 ton dibanding tahun 2006 sebesar 959 call dengan GRT 24.265.303 terdapat
kenaikan yang cukup signifikan.

Berbincang ringan dan mempersiapkan keberangkatan untuk pemanduan, Agastian K Bumi dengan
pakaian seragam pandunya tampak begitu matang dan bersemangat menjelaskan potensi
pemanduan di area STS Transfer Pelabuhan Tanjung Balai Karimun dan sepintas potensi
pemanduan di Selat Malaka bagi kepentingan Perusahaan dan negara. Menurutnya trend saat ini
pengangkutan laut di Dunia dengan melakukan STS mengingat kapal VLCC yang sangat besar akan
berdampak pada kebutuhan invest dermaga yang sangat besar. Sehingga akan lebih efisien dengan
melakukan bongkar/muat di laut dengan sistem STS Transfer.
Dengan berjalan kaki, melewati dermaga yang baru di cor, Gema dengan tidak begitu sulit masuk
dan menaiki kapal pandu cepat MPS-029 dengan kecepatan maksimum 10.5 Knot. Terlihat 3 orang
ABK kapal Pandu Agastian memperkenalkan Gema dengan para ABK Kapal Pandu yang berseragam
cerah A A A a s AA A saya menginginkan kita dapat melayani secara professional, jadi ABK pun
saya minta berseragam. Sehingga para pengguna jasa (kapal) saat melihat dari kejauhan telah tahu
siapa yang akan datang merapat ke kapalnyaA A A a s AA A ujar Agastian menjelaskan seragam
yang dipakai ABK kapal Pandu.

A A A a s AA A Pandu sendiripun, seragamnya sesuai ketentuan biasanya menggunakan celana


pendek putih. Seingat saya pada waktu saya menjadi Pandu di Pelabuhan Belawan. Saya satu-
satunya Pandu yang menggunakan celana pendek putih. Hal ini juga sebenarnya ada maksudnya,
untuk lebih memudahkan gerakan pandu saat naik ke Kapal yang akan dilayaniA A A a s AA A
tambah Agastian.

Menyusuri perairan dengan kapal pandu, Gema dan Agastian terus berbincang tentang kehidupan
seputar pandu di Tanjung Balai Karimun dengan sedikit seperti berteriak, karena kerasnya suara
mesin kapal seperti menelan kata-kata kami! Sesekali Gema merapatkan telinga ke Pandu. A A A
a s AA A Beginilah kehidupan Pandu dan ABK setiap harinya saat melayani kapalA A A
a s AA A katanya tersenyum kepada Gema, Gema pun membalas tersenyum sambil
berpegangan erat pada besi yang terdapat di kapal, mengingat begitu besar hembusan angin dan
hempasan gelombang seperti memainkan laksana ayunan kapal pandu yang kami tumpangi.

Dari atas Kapal pandu terlihat dikejauhan banyaknya Kapal-kapal besar berlabuh, Agastian
menjelaskan bahwa areal tersebut adalah Selat Malaka yang merupakan perairan Indonesia. Jalur
pelayaran disini adalah merupakan jalur yang tersibuk di dunia. Menurutnya potensi pemanduan di
Selat Malaka adalah merupakan potensi spektekuler bagi Perusahaan jika dapat segera terlaksana
dan akan merubah wajah Pelabuhan I, mengingat banyaknya kapal-kapal besar dan VLCC yang
melintasi Selat Malaka setiap harinya, lebih kurang 200 kapal per hari dan ia yakin 60 % dapat
dilayani oleh Pandu Pelabuhan I nantinya.

A A A a s AA A Jika pemanduan Selat Malaka tercapai, ini merupakan proyek spectakuler yang
akan merubah wajah Pelabuhan I, pemanfaatan pandu juga menjadi lebih optimal dan bertambah
dengan melakukan rekruitmen pandu. Sehingga potensi 200 kapal perhari di Selat Malaka dapat
dilayani sekitar 60%A A A a s AA A ujar Agastian bersemangat A A A a s AA A Ini
tergantung keinginan kuat kita dan Pemerintah tentunyaA A A a s AA A tambahnya.

Hal ini menurut Agastian pernah ia pertanyakan saat melayani pemanduan kapal kepada Mualim
III Frison Angelo kapal Italy. Mualim III tersebut mengatakan ia sangat terbantu jika ada
pemanduan di Selat Malaka yang expert, karena pelayaran pada Selat Malaka sangat sibuk. Dengan
begitu ia punya waktu istirahat, lebih kurang 4 jam yang dapat ia gunakan jika ada pandu
(Navigator). Mengingat pekerjaannya terkait dengan administrasi juga banyak.

Menurut Agastian, Ini sudah dapat mewakili keinginan pengguna jasa. Ia juga meyakinkan Gema,
jika perlu mempertanyakan kepada yang berkepentingan pada kapal Bunga Kenangan Tujuh yang
akan dilayani nanti. Lebih kurang 45 menit, tidak terasa kapal Bunga Kenanga Tujuh membawa
BBM yang akan dipandu telah tampak, Gema dan Agastian pun telah mempersiapkan lift jacket yang
berwarna biru. Kapal pandu pun merapat, Pandu Agastian dengan memberikan isyarat tangan
kepada ABK kapal Bunga Kenanga yang terdapat di atas, berangsur menurunkan tangga kapal.
Dengan cukup kelelahan menaiki tangga yang cukup tinggi, Gema akhirnya sampai ke atas kapal
yang termasuk Mother Vessel (MV) ini, tidak seperti Pandu tentunya, sudah A A A
a s AA A makananA A A a s AA A sehari-hari, sehingga kaki-kaki telah terlatih kuat!

Tiba di atas kapal langsung disapa ABK yang berkulit hitam dengan wajah India dengan sedikit
bahasa Inggris bercampur Malaysia. Beberapa saat ia dan Pandu Agastian berbincang dalam bahasa
Inggris dan ABK tersebut menyodorkan kertas untuk ditandatangani. Selanjutnya kami diajak
masuk ke Deck kapal, menuju ruangan Nakhoda. Nakhoda berkebangsaan Fhilifine tersebut
ternyata sangat ramah menerima kami dalam ruangannya. Pada kesempatan itu pula, kami
mempertanyakan bagaimana pen-dapatnya tentang Pemanduan Di Selat Malaka yang akan
dilaksanakan oleh Pelabuhan I. Nakhoda tersebut menjawab dengan bahasa Inggris yang lebih
kurang artinya yang dapat ditangkap Gema seperti ini, A A A a s AA A ini area milik Indonesia
(jalur Selat Malaka), seharusnya Indonesia yang melayani bukan Singapore, mengapa tidak dari
dulu dilakukanA A A a s AA A tandasnya sembari balik bertanya.

Sungguh ini suatu pengalaman yang cukup menakjubkan, berada dalam Kapal MV Bunga Kenanga
yang Besar dan baru pertama sekali bagi Gema. Setelah Pandu berdiskusi dengan Nakhoda yang
ternyata kapal belum bisa melakukan STS, sehingga meminta untuk diundur. Namun Gema tak
menyia-nyiakan waktu untuk melihat fasilitas di Deck, ternyata ruangan khusus untuk Pilot sendiri
di Kapal ini disediakan. Selang beberapa lama, kami berpamitan kepada Nakhoda Phlilifine tersebut
dan turun dari Kapal dan kembali ke Pelabuhan Tanjung balai Karimun, dengan selamat.

Professi Pandu yang merupakan ujung tombak pelayanan Kapal bagi Perusahaan kepada Pengguna
Jasa ternyata sangat menantang dan kaya pengalaman berharga, berjumpa dengan pengguna jasa
yang berbagai bangsa, sehingga merupakan pembangun citra yang cukup besar dimata pengguna
jasa kepada dunia Internasional. Untuk itu tentunya segmen pemanduan ini perlu terus
dikembangkan, sebagai bagian wajah Pelabuhan yang harus terus menawan, perlu upaya
spektakuler! Sebagaimana yang diungkapkan Agastian.

Pelayanan Ilegal Pemanduan Kapal di Selat Malaka & Singapura di Teritorial Indonesia

Selat Malaka dan Selat Singapore adalah selat yang dipergunakan untuk pelayaran Internasional,
kedua selat ini termasuk wilayah teritorial Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pada sisi sebelah
selatan adalah termasuk wilayah teritorial laut Indonesia. Sekitar lebih 65000 kapal per tahun dari
berbagai negara dan berbagai jenis melewati kedua selat ini untuk membawa berbagai macam
produk perdagangan internasional. Kapal kapal pengangkut minyak mentah berukuran raksasa
dengan kapasitas angkut 1.000.000 -1.500.000 barrels,dengan sarat (draught) lebih dari 20 meter,
rata rata berjumlah 7 kapal setiap hari melewati selat malaka dan selat singapura. Kapal kapal
pengangkut minyak mentah ini berlayar melewati Selat Malaka dari barat ke timur diperairan
territorial Indonesia mulai dari sebelah barat lampu suar pematang sedepa dekat Pulau berhala
sampai utara lampu suar Batu Putech dekat dengan utara Pulau Bintan dan sering di pandu oleh
pandu pandu illegal dari negara asing di wilayah laut territorial Indonesia. Hal ini terus dibiarkan
oleh para penegak hukum di laut selama lebih dari 20 tahun. Pandu pandu illegal dari negara asing
ini menerima pembayaran dari setiap kapal kapal pengangkut minyak mentah tersebut untuk sekali
pemanduan dari barat ke timur sekitar lebih dari USD.10,000. Aktivitas pemanduan illegal ini
berdasarkan rekomendasi dari Organisasi Maritim Internasional (IMO) tahun 1998 tentang
petunjuk kapal kapal yang melintasi Selat Malaka dan Selat Singapura yang menyebutkan bahwa
kapal kapal yang memiliki sarat (draught) lebih dari 15 meter, direkomendasikan menggunakan
pelayanan pandu pemanduan dari negara negara pantai yang berbatasan dengan Selat Malaka dan
Selat Singapura yaitu dari Indonesia, Malaysia dan Singapura. Seharusnya pelayanan pemanduan
tersebut dilaksanakan oleh negara pantai diwilayah laut territorial Negara pantai masing masing
terkait dengan hokum laut Internasional (UNCLOS) pasal 19, 21, 41,42, sehingga pemanduan di
Selat Malaka di wilayah territorial laut Indonesia harus dilayani oleh pandu pandu dari Negara
Indonesia, begitu juga dengan wilayah territorial Malaysia harus dilayani oleh pandu dari Malaysia
dan Singapura diwilayah teritorinya sendiri. Tetapi dalam pelaksanaannya, hampir seluruh
pelayanan pemanduan Selat Malaka dan Selat Singapura diwilayah territorial laut Indonesia di
layani oleh pandu pandu dari negara lain. Hal ini jelas tidak mengindahkan peraturan keimigrasian,
kepabeanan dan karantina yang berlaku di Indonesia, selain itu juga pelanggaran terhadap batas
wilayah kedaulatan Indonesia dengan melakukan aktifitas illegal pelayanan suplai perbekalan dan
suku cadang serta pelayanan pemanduan terhadap kapal kapal tanki pengangkut minyak mentah
yang melewati Selat Malaka dan Selat Singapura. Sama seperti potensi perikanan Indonesia yang
dirampok oleh negara asing, potensi pelayanan pemanduan dan suplai perbekalan dan suku cadang
secara illegal di laut territorial Indonesia oleh pandu pandu dari negara asing di Selat Malaka dan
Selat Singapura telah merampok jutaan dolar dari Indonesia setiap tahunnya. Sayangnya para
penegak hukum di laut Indonesia masih belum menyadari. Penulis. Peneliti dan Pengamat Bisnis
Pelayaran. Dapat di hubungi melalui email gantengslahyao@yahoo.com

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gantengslahyao/pelayanan-ilegal-pemanduan-kapal-
di-selat-malaka-singapura-di-teritorial-indonesia_54f340b1745513942b6c6d9c

Anda mungkin juga menyukai