Anda di halaman 1dari 4

AGH.M. SANUSI BACO, LC.

Ulama Kharismatik Panutan Masyarakat


Jika orang Sulawesi Selatan memanggil Anre Gurutta kepada seorang
tokoh, tentu tokoh itu adalah ulama yang
disegani.
Sebutan
Anre
Gurutta
menempati status sosial yang tinggi dan
kedudukan terhormat di mata masyarakat
Bugis. Dialah Anre Gurutta Haji (AGH)
Sanusi Baco, Rais Syuriah PWNU Sulawesi
Selatan.
Pembukaan Muktamar ke-32 Nahdlatul
Ulama
berlangsung
gegap
gempita.
Gedung Celebes Convention Centre (Triple
C) Makassar penuh sesak dengan sekitar
5000-an peserta. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menandai
pembukaan dengan menyampaikan sambutan dan menabuh beduk di
penghujung acara. Kemudian Gurutta Sanusi Baco, sapaan akrabnya,
diberi kehormatan untuk menutup acara itu dengan memimpin doa.
Gurutta Sanusi Baco adalah ulama pemimpin spiritual masyarakat
Bugis. Selain menjadi Rais Syuriah, Gurutta juga dipercaya sebagai
Ketua MUI Sulawesi Selatan, Mustasyar PBNU dan Ketua Yayasan Masjid
Raya Makassar serta mengasuh pesantren NU Nah-dlatul Ulum di
Kabupaten
Maros.
Pemberian gelar Anre Gurutta bukanlah pemberian gelar akedemik,
melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat atas ketinggian
ilmu, pengabdian dan jasanya dalam berdakwah. Tidak semua yang
mengajar agama dipanggil sebagai Anre Gurutta, tergantung dari
tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini
adanya kelebihan Anre Gurutta berupa karomah, dalam bahasa Bugis
disebut makarama.
Gurutta Sanusi Baco dikenal sebagai ulama dengan semangat dakwah
yang tak kenal lelah. Sejak muda, Gurutta Sanusi Baco sudah aktif
mengajar ngaji dan ceramah keliling di berbagai daerah. Di usianya
yang sudah 73 tahun ini, Gurutta Sanusi Baco juga masih tetap
menjalani aktifitas dakwahnya.
Sebelum pelaksanaan Muktamar, hampir semua kandidat Ketua Umum
PBNU tak lupa meminta restunya. Sebagai tuan rumah, tentu saja
Gurutta Sanusi Baco memiliki kharisma dan pengaruh kuat untuk
muktamirin.
Sahabat Karib Gus Dur

Gurutta Sanusi Baco lahir di Maros, 4 April 1937 dengan nama Sanusi.
Putra kedua dari enam bersaudara dari seorang ayah bernama Baco.
Ketika beranjak muda, namanya dinisbatkan kepada ayahnya menjadi
Sanusi Baco. Pada zaman Jepang, Sanusi kecil men-jadi perawat kuda
tentara Jepang di Maros. Sementara ayahnya adalah seorang mandor.
Setelah merasa cukup dengan belajar kepada beberapa guru ngaji di
desanya, Gurutta Sanusi Baco kemudian mondok di Darud Dawah wal
Irsyad (DDI) Ambo Dalle selama delapan tahun. Setelah lulus aliyah
pada tahun 1958, Gurutta Sanusi Baco hijrah ke Makassar dan
mengajar ngaji di beberapa tempat.
Saat itulah, Gurutta Sanusi Baco mendapat kesempatan meraih
beasiswa dari Departemen Agama untuk kuliah di Universitas Al-Azhar
Kairo, Mesir. Di negeri piramid itu, Gurutta Sanusi Baco mulai
bersahabat dengan Gus Dur dan Gus Mus (KH Musthofa Bisri).
Saya adalah teman seperjalanan Gus Dur ketika naik kapal menuju
Kairo untuk kuliah di sana. Perjalanannya satu bulan dua hari.
Membosankan sekali. Untung ada Gus Dur yang selalu bercerita
menghibur, kata Gurutta Sanusi Baco mengenang Gus Dur.
Pada tahun 1967, Gurutta Sanusi Baco berniat untuk melanjutkan
kuliah S-2 di Al-Azhar. Namun ter-paksa ditarik pulang ke tanah air oleh
pemerintah Indonesia karena Gurutta Sanusi Baco mendaftar sebagai
tentara sukarela untuk berperang melawan Israel.
Persahabatannya dengan Gus Dur membuat Gurutta Sanusi Baco
bertekad untuk berkhidmah di NU. Setelah kembali ke Makassar,
aktifitasnya adalah mengajar di Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan
mulai diminta mengajar ngaji serta ceramah di berbagai daerah. Tak
lama kemudian, Gurutta Sanusi Baco diangkat sebagai dosen negeri di
Fakultas Syariah IAIN Sultan Hasanuddin Makasar.
Waktu itu Gus Dur sempat datang ke Makassar. Saya menjemputnya
di bandara dengan sepeda motor vespa. Ternyata vespanya mogok,
akhirnya saya naik vespa dan Gus Dur yang mendorongnya. Setelah
bisa jalan baru kami berkeliling kota Makassar, kenang ayah dari
delapan anak ini.
Semangat Dakwah Tak Kenal Usia
Perjuangan dakwahnya juga dilalui bersama Haji Kalla (ayah Jusuf
Kalla). Saat Haji Kalla menjadi bendahara Masjid Raya Makassar,
terbentuk Yayasan Masjid Raya yang salah satu kegiatannya melakukan
pengkaderan ulama. Sarjana agama dari IAIN ia rekrut di tempat ini
untuk dididik menjadi ulama. Mereka diberi fasilitas seperti tempat
menginap di belakang rumah Haji Kalla.

Haji Kalla mengundang Gurutta Sanusi Baco untuk tinggal di Masjid


Raya dan diberi kepercayaan me-mimpin Masjid Raya. Tidak cuma itu,
Gurutta Sanusi Baco juga sekali seminggu diminta berceramah di
kantor NV Hadji Kalla.
Di masjid itulah, Gurutta Sanusi Baco mengisi hari-harinya bersama
istri yang dinikahinya pada 1968. Setelah memiliki anak kelimanya lahir
pada 1976, Gurutta Sanusi Baco meminta izin kepada Haji Kalla untuk
pindah ke rumahnya sendiri di Jl Pongtiku yang terletak di belakang
Masjid Lailatul Qodri Makassar.
Dengan demikian, aktifitas dakwahnya tidak hanya di Masjid Raya,
tetapi juga mengisi pengajian setelah subuh dan maghrib di Masjid
Lailatul Qodri. Kecintaan beraktifitas di masjid inilah yang ditanamkan
pada anak-anaknya. Setiap subuh, Gurutta Sanusi Baco menggendong
salah satu anaknya yang masih tidur kemudian tiba-tiba terbangun
ketika berada di pangkuan saat mengisi pengajian.
Tahun 1987, keluarga Gurutta Sanusi Baco kemudian pindah ke rumah
di Jl Kelapa Tiga Makassar. Namun aktifitasnya terus ia jalani dengan
mengajar di kampus, ber-khidmah di NU, berdakwah di masjid-masjid
dan ceramah di berbagai daerah di pulau Sulawesi. Hingga pada tahun
1992, Gurutta Sanusi Baco diberi amanah menjadi Rais Syuriah PWNU
Sulawesi Selatan dan Ketua MUI Sulawesi Selatan sampai sekarang.
Tahun 2001, Gurutta Sanusi Baco memberanikan diri untuk mendiri-kan
pesantren Nahdlatul Ulum. Gagasan awalnya dimulai ketika Jusuf Kalla
memiliki program untuk membiayai kuliah santri-santri berprestasi ke
perguruan tinggi unggulan di seluruh Indonesia. Dari inisiatif itu, Jusuf
Kalla mewakaf-kan tanah seluas 4 hektar di Maros yang beberapa
tahun lalu diwakafkan menjadi pesantren milik NU.
Kini, usianya yang semakin senja tak menghalangi Gurutta Sanusi Baco
berdakwah. Bahkan, di saat para muktamirin mulai meninggalkan
Makassar usai penutupan pada Sabtu (27/3) malam, pagi harinya
Gurutta Sanusi Baco sudah dijemput untuk ceramah di Kabupaten
Pinrang yang berjarak sekitar 200 km dari Makassar kemudian di
Kabupaten Polman yang berjarak 250 km dari Makassar dan baru
berada di rumah pada Selasa (29/3).
Abah kemana-mana masih suka nyetir mobil sendiri. Baru setelah
operasi bypass karena penyempitan jantung tahun 2008 lalu Abah
benar-benar berhenti nyetir. Itupun karena dipaksa dokter, tutur putra
keenam Gurutta Sanusi Baco, Dr Nur Taufiq, MA.
Saat ditanya apa resepnya? Gurutta Sanusi Baco menuturkan,
semangat dakwah adalah motivator hidupnya. Meski di rumah kadang
kelihatan capek dan letih, tapi ketika menyampaikan ceramah
suaranya tetap lantang dan penuh semangat.

Di sisi lain, Gurutta yang dulunya perokok berat berhenti total pada
tahun 2000. Saat berada di Masjidil Haram Makkah, Gurutta Sanusi
Baco berdoa di Hijr Ismail agar diberi kekuatan oleh Allah
menyelesaikan semua amanah yang ia emban dengan baik. Setelah
berdoa, ternyata semua rokoknya hilang dan menurutnya itu adalah
isyarat bahwa ia harus benar-benar meninggalkan rokok. Selain itu,
setelah subuh Gurutta Sanusi Baco selalu menyempatkan diri untuk
selalu jalan-jalan pagi di sekitar rumahnya. Namun setelah operasi itu,
Gurutta Sanusi Baco kini mengisi pagi harinya dengan bersepeda di
tempat dengan sepeda statis. (AULA No. 03/XXXII April 2010)

Anda mungkin juga menyukai