Anda di halaman 1dari 18

HISTORIOGRAFI MARITIM INDONESIA:

PROSPEKNYA DAN TANTANGAN*

Oleh

Singgih Tri Sulistiyono

Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

singgihtrisulistiyono@yahoo.com

A. Pendahuluan

Tujuan utama makalah ini adalah untuk melacak garis besar perkembangan historiografi maritim
Indonesia dan membahas prospek pengembangannya serta tantangan yang dihadapi di masa yang
akan datang. Sebagai negara maritim, paling tidak dilihat dari sisi geografis dan potensi alamiah,
Indonesia masih memiliki kajian sejarah kemaritiman yang terbatas jika dibandingkan, misalnya,
dengan kajian jenis sejarah yang lain seperti sejarah pedesaan, sejarah politik, dan sebagainya.[1]

Ketertinggalan Indonesia dalam kajian sejarah maritim juga akan tampak jika dibandingkan
dengan kajian sejarah maritim negara-negara lain seperti Belanda. Perpustakaan KITLV
(Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) di Leiden yang merupakan salah satu
barometer hasil kajian sejarah Belanda dan bekas koloni Belanda (khususnya Indonesia) banyak
memiliki koleksi buku sejarah maritim Belanda daripada mengenai Indonesia. Padahal diketahui
bahwa luas wilayah negeri Belanda barangkali hanya dua persen saja dari wilayah Indonesia.
Negeri jiran, Malaysia, yang memiliki kawasan bahari yang ‘tidak seberapa’ juga telah
mengembangkan kajian-kajian sejarah maritim yang serius. Bahkan hingga saat ini Malaysia
masih menjadi pusat IMB (International Maritime Bureau) yang merupakan organisasi
internasional yang mengurusi berbagai persoalan kemaritiman di dunia. Dengan demikian
pemahaman tentang apa yang telah dilakukan oleh para peneliti sejarah maritim Indonesia dan
pemikiran tentang pengembangan kajian sejarah maritim di masa yang akan datang penting
untuk dilakukan. Dalam hubungan itu, makalah ini akan membahas beberapa hal, yaitu beberapa
karya pionir sejarah maritim Indonesia, tren penulisan sejarah maritim Indononesia, historiografi
maritim dan problem aktual bangsa dan perspektif dalam historiografi maritim Indonesia.

B. Karya-karya Pionir

Harus diakui bahwa historiografi maritim Indonesia justru dipelopori oleh para sejarawan asing.
Karya klasik yang dapat dipandang sebagai karya historiografi maritim ditulis oleh J.C. van Leur
pada tahun 1934. Van  Leur mengkaji sejarah perdagangan Nusantara dari  masa awal
kedatangan bangsa-bangsa Barat. Ia berpendapat bahwa perdagangan di masa awal lebih  banyak
bersifat perdagangan barang-barang mewah. Ketika itu, meskipun volume perdagangan kecil
tetapi memiliki nilai jual  yang  tinggi seperti emas, perak, mutiara, porselin, kain, dan
sebagainya. Di samping itu juga diperdagangkan komoditi hasil bumi seperti pala, cengkeh, lada,
kayu cendana, dan sebagainya. Sudah barang tentu muatan dengan volume yang  kecil  namun
berharga ini berhubungan dengan tingkat kemajuan teknologi  perkapalan yang belum begitu
sempurna  sehingga ukuran kapal masih relatif kecil dan navigasi yang masih non-mekanik.
Aktivitas perdagangan inilah yang mampu menjelaskan proses perkembangan masyarakat
Indonesia secara keseluruhan baik di bidang politik, kebudayaan maupun ekonomi.[2]

Di samping sebagai karya pionir historiografi Indonesia, karya Van Leur juga menjadi tonggak
penting upaya membalikkan perspektif dalam penulisan sejarah Asia pada umumnya dan
Indonesia pada khususnya, yaitu dari Eurocentric menuju ke Asian cenrtric point of view. Seperti
diketahui bahwa selama masa kolonialisme, sejarah Nusantara ditulis oleh orang-orang Eropa
khususnya Belanda. Mereka menulis sejarah Nusantara dengan menggunakan perspektif mereka
sendiri sebagai ‘orang luar’ atau sebagai orang Eropa. Dengan demikian dramatisch person dari
aktor-aktor sejarah Indonesia justru didominasi oleh pelaku-pelaku sejarah yang berkebangsaan
Eropa. SejarahNusantara merupakan kepanjangan dari sejarah Nederland di seberang laut. Van
Leur ingin menulis sejarah Indonesia ‘dari dalam’, yaitu mencoba untuk berempati sebagai
masyarakat Indonesia. Dia menyebut perspektif ini sebagai history from within. Dengan
menggunakan perspektif ini, ia berkesimpulan bahwa perdagangan dan pelayaran Asia
sesungguhnya telah berkembang jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Ia juga menyimpulkan,
tidak seperti yang sering dikemukakan oleh kebanyakan sarjana Eropa pada waktu itu, bahwa
abad ke-18 bagi Asia bukanlah merupakan ‘the Western Period’. Ia berargumen bahwa dominasi
VOC masih terbatas pada kota-kota tertentu saja, dan bukan seluruh hinterland di Nusantara. Di
bidang pelayaran dan perdagangan, ia menyatakan bahwa Belanda tidak sepenuhnya mampu
membersihkan laut Nusantara dari pelayaran dan perdagangan pribumi meskipun Belanda telah
mencoba untuk menegakkan monopoli di lautan.[3] Sudah barang tentu Belanda masih
membutuhkan para pedagang pribumi untuk masih tetap eksis. Mereka masih dibutuhkan sebagai
partner dagang yang akan menghidupkan perekonomian di Nusantara. Barangkali perbedaan
yang menyolok terkait dengan kontrol atas pelabuhan, jaringan, dan kegiatan perdagangan itu
sendiri yang pada periode ini berada di tangan Belanda.

Karya Van Leur telah merangsang munculnya karya lain yang dapat dipandang sebagai bagian
dari kajian bidang sejarah maritim. Pada tahun 1962, Melink-Roelofsz telah menerbitkan
karyanya yang juga menganalisis perkembangan perdagangan Asia menjelang kedatangan
bangsa-bangsa Eropa dan sejauhmana perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di
Asia itu mempunyai pengaruh terhadap kemajuan perdagangan di Asia. Ia menyebutkan bahwa
pada waktu bangsa-bangsa Eropa datang di Asia, perdagangan sudah bersifat besar-besaran.
Dengan menggunakan dokumen-dokumen baik dari VOC maupun dari Portugis, ia membuktikan
bahwa perdagangan Asia pada masa prakolonial bukan hanya perdagangan barang-barang
mewah sebagaimana yang dikemukakan oleh van Leur. Beras dan lada juga merupakan
komoditas dagang yang penting, sehingga pelayaran dan perdagangan sudah bersifat massive.
Dengan demikian hal itu memerlukan kapal muatan yang besar. Ia menunjukkan bahwa kapal-
kapal Eropa pada awal kedatangannya di Nusantara sebanding dengan kapal-kapal Asia. Dengan 
menggunakan dokumen-dokumen yang lebih lengkap Meilink-Roelofzs melengkapi karya van
Leur mengenai sejarah maritim Indonesia.Bahkan ia mengoreksi pendapat van Leur yang
mengatakan bahwa  perubahan besar dalam struktur perdagangan di Asia Tenggara baru terjadi
dengan datangnya bangsa  Belanda di Indonesia.Namun demikian menurut sumber Portugis yang
digunakannya, ia menemukan bahwa perubahan itu sudah terjadi ketika Portugis menduduki
Malaka pada tahun 1511.[4]
Pembuktian mengenai ukuran ‘kapal Asia’ yang sebanding dengan kapal-kapal Eropa pada
waktu awal kedatangannya di Indonesia juga menarik perhatian para peneliti yang lain. Dengan
menggunakan sumber-sumber Cina, penelitian Manguin membuktikan bahwa kapal-kapal Asia
Tenggara sudah memiliki ukuran yang besar. Hal ini dibuktikan dengan hasil penggalian
arkeologis di kawasan Riau yang menemukan sisa kapal yang berukuran sekitar 30 meter.[5]
Pendapat yang serupa juga diungkapkan oleh Horidge bahwa para pelaut Eropa awal masih
menjumpai salah satu jenis kapal Asia yaitu kora-kora yang merupakan salah satu jenis kapal
papan tradisional yang berukuran antara 10 hingga 30 meter.[6] Bahkan ada yang menunjukkan
bahwa kapal ekspedisi Cheng Ho pada awal abad ke-15 memiliki ukuran sekitar 7 kali lebih
besar jika dibandingkan dengan kapal ‘Santa Maria’ yang digunakan oleh Colombus pada akhir
abad itu.[7]

Karya van Leur juga memberikan inspirasi kepada para sejarawan untuk meneliti lebih lanjut
mengenai perkembangan pelayaran dan perdagangan di Nusantara sebelum datangnya bangsa-
bangsa Eropa. Salah satu karya yang spektakuler adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh
O.W. Wolters yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1967. Ia menunjukkan bahwa jauh
sebelum kedatangan bangsa Eropa, kawasan Nusantara telah mampu mengembangkan dirinya
sebagai salah satu pusat perdagangan internasional yang penting di Asia Tenggara. Bahkan sejak
abad ke-7 Masehi Sriwijaya yang berpusat di seputar Palembang telah mampu mengontrol
perairan di seputar Selat Sunda dan untuk selanjutnya juga kawasan Selat Malaka yang
merupakan pintu gerbang perdagangan internasional antara kawasan barat (India, Timur Tengah,
dan sebagainya)  dan kawasan Timur (Cina, Jepang, Korea). Ia juga menunjukkan bagaimana
pelayaran dan perdagangan juga telah menjadi saluran bagi hubungan-hubungan antar kelompok
etnik bukan hanya di Nusantara tetapi juga di kawasan Asia Tenggara dan bahkan juga
melibatkan Asia Selatan.[8]

Pada dekade-dekade berikutnya kajian mengenai Sriwijaya mengalami perkembangan yang


pesat. Kemunculan Sriwijaya ini dikaitkan dengan peningkatan permintaan komoditas obat-
obatan (termasuk rempah-rempah) dan wangi-wangian untuk kepentingan upacara keagamaan
selama kekaisaran Cina diperintah oleh dinasti Tang dan Song sejak abad ke-7 Masehi.[9] Dalam
hal ini, para pedagang Sriwijaya mampu merespon secara positif terhadap kesempatan
perdagangan ini, sebab berbagai kawasan di Nusantara merupakan produsen komoditas-
komoditas yang dibutuhkan oleh pasar internasional itu. Lagi pula tidak ada perdagangan
maritim antara India dan Cina pada waktu itu yang tidak memerlukan pelabuhan-pelabuhan
perantara seperti Palembang, Malaka, dan beberapa pelabuhan lain di daratan Asia Tenggara.
Bahkan pola ini berlangsung terus pada abad-abad sesudahnya.

Beberapa peneliti juga mencoba untuk menggambarkan ‘inner strength’ dari kerajaan Sriwijaya.
Dengan menggunakan sumber-sumber Cina, Slamet Muljana misalnya menggambarkan kerajaan
Sriwijaya sebagai kerajaan pantai, negara perniagaan dan negara yang berkuasa di laut. Sebagai
kerajaan pantai, ibukota Sriwijaya memang terletak di tepi air, penduduknya terpencar di luar
kota, atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratapkan alang-alang. Jika sang raja keluar, ia naik
perahu dengan dilindungi payung sutera dan diiringi dengan orang-orang yang membawa
tombak emas. Tentaranya sangat baik dan tangkas dalam peperangan, baik di darat maupun di
laut, keberaniannya tidak ada bandingnya.[10] Bahkan dikatakan oleh Macintyre bahwa warga
negara Sriwijaya merupakan komunitas yang termiliterisir (militarized community).[11]
Kekuatan Sriwijaya bersumber dari beberapa hal antara lain kemampuan untuk mengelola
pelabuhan dagang sebagai pelabuhan internasional yang mampu menarik para pedagang untuk
singgah dan berdagang di situ. Selain itu, kekuatan Sriwijaya juga terletak pada penguasaannya
atas hinterland sebagai pemasok komoditas perdagangan dan tenaga kerja untuk pengembangan
kota pelabuhan. Selain itu kekuatan Sriwijaya juga ditentukan oleh kemampuannya untuk
menanamkan pengaruhnya terhadap orang laut yang memiliki fungsi strategis baik dari segi
politik maupun ekonomi. Untuk memperkuat posisinya, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik
dengan kekaisaran Cina dengan harapan luput dari invasi Cina dan para pedagang Sriwijaya akan
memperoleh perlakuan yang baik di pelabuhan-pelabuhan Cina.[12]

Namun demikian Chauduri mengatakan bahwa kejayaan Sriwijaya terutama disebabkan oleh 
kemampuannya untuk mengendalikan dan menguasai Selat Malaka, yang paling sedikit selama
lima belas abad mempunyai arti penting dalam sejarah dan merupakan jalur perdagangan
internasional Asia Timur ke Asia Barat dan Eropah.[13]  Dengan kata lain bahwa selama
kejayaannya Sriwijaya merupakan pusat perdagangan penting yang pertama pada jalur ini,
bahkan merupakan kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara. Dari berita Cina  diperoleh
informasi bahwa Sriwijaya perupakan salah satu pusat perdagangan  antara Asia Tenggara
dengan Cina  yang terpenting.[14] Perkembangan ini sejalan dengan ekspansi kekuatan Islam
dalam periode permulaan. Sebagai akibat dari penaklukan-penaklukan oleh bangsa Arab di
Timur-Tengah seperti  negeri Arab, Suriah, Mesir dan Mesopotamia, jalan laut melalui Asia
Selatan menjadi jalan perdagangan biasa yang menggantikan jalan darat.[15] Perubahan-
perubahan ini menjadi pendorong kemajuan lalu-lintas laut di Asia Tenggara yang besar. Kondisi
kemajuan lalu lintas laut ini membuat kerajaan Sriwijaya memperoleh  keuntungan cukup besar.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur Sriwijaya adalah sebuah nama kerajaan di Sumatera Selatan
dengan pusat di Palembang, dekat sungai Musi.[16]  Prasasti yang ditemukan pada umumnya 
berasal dari abad ke-7 atau ke-8, yaitu masa awal tumbuhnya Sriwijaya sebagai suatu kekuatan.
Dari prasasti itu timbul kesan  bahwa masa itu adalah  masa penaklukan pada saat tentara
Sriwijaya bergerak di seluruh negeri  dalam suatu usaha ekspansi.[17]

Di samping sebagai pusat perdagangan dan pelayaran, dapat diketahui pula bahwa Sriwijaya juga
merupakan pusat pengembangan agama Budha.  Pada tahun 671, seorang pendeta Budha dari
Tiongkok yang bernama I-tsing singgah selama enam bulan di Sriwijaya dalam perjalannya dari
Kanton ke India. Di Sriwijaya, ia belajar tata bahasa Sansekerta. Kemudian ia singgah juga di
Malaka selama dua bulan, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke India untuk tinggal selama
sepuluh tahun. Pada tahun 685 ia kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama empat tahun untuk
menerjemahkan berbagai kitab suci Budha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Cina. Hal ini
membuktikan betapa pentingnya Sriwijaya sebagai titik pusat untuk mempelajari Budha
Mahayana.[18] Ada informasi juga bahwa seorang guru terkenal  yang  bernama 
Sakyakirtimenganjurkan agar pendeta  yang  hendak  ke  India  untuk lebih dahulu belajar ke
Sriwijaya sekitar  satu atau dua tahun.[19]

Dengan menggunakan sumber-sumber Cina, Groeneveld sebetulnya juga telah mencoba untuk
merekonstruksi wilayah-wilayah yang pernah dikontrol oleh kerajaan Sriwijaya. Hingga abad ke-
13 posisi Sriwijaya sebagai kerajaan maritim masih cukup kuat. Hal ini dibuktikan dengan
adanya buku “Chu-fan-chi“ yang ditulis tahun 1225 oleh Chau-ju-kua. Buku itu menceritakan
bahwa di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang terkemuka dan kaya, pertama ialah Jawa dan
yang kedua ialah Sriwijaya. Sriwijaya merupakan kerajaan yang menguasai bagian Barat 
kepulauan Indonesia  dan tidak  kurang  dari lima belas  negeri menjadi fasal  San-fo-tsi
(Sriwijaya) yang sebagian besar terletak di Sumatra, Semenanjung Malaya dan bagian barat
pulau Jawa (Sunda). Chau-ju-kua mengatakan bahwa pemerintahan Sunda tidak teratur dan
banyak penduduk yang menjadi bajak laut, sehingga menyebabkan tidak ada kapal dagang yang
berani berlabuh di sana. Semua perdagangan antara Tiongkok dan India harus melalui San-fo-tsi,
negeri penguasa selat Malaka yang tidak ada saingannya. Sebagai akibat penguasaan selat
Malaka yang menghubungkan tidak saja India dan Tiongkok, tetapi juga negeri-negeri Barat,
maka San-fo-tsi memiliki potensi ekonomi maritim yang besar.17

Hubungan yang erat antara perkembangan perdagangan maritim dengan berkembangnya pusat-
pusat kekuatan politik di Asia Tenggara menjadi tema utama penelitian yang dilakukan oleh
Kenneth R. Hall yang diterbitkannya pada tahun 1985.[20] Sebagaimana peneliti sejarah maritim
yang lain, ia menggambarkan kegiatan pelayaran dan perdagangan maritim di Asia Tenggara
telah berkembang pesat sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat. Berkembangnya aktivitas
maritim itu juga telah menentukan perkembangan politik dan kebudayaan masyarakat Asia
Tenggara. Bahkan kerajaan Majapahit pun yang memiliki basis pertanian yang kuat juga
melakukan internal structural adjustment agar dapat mengintegrasikan diri dengan jaringan
perdagangan maritim yang berskala internasional.

Sementara itu karya van Leur juga mendorong para peneliti sejarah maritm yang lebih muda
untuk memfokuskan penelitiannya pada aktivitas pelayaran pribumi di Nusantara pada periode
abad ke-18, yaitu sebuah periode yang secara tradisional dipandang sebagai periode dominasi
pelayaran dan perdagangan VOC. Beberapa peneliti yang memfokuskan hal ini antara lain dapat
disebutkan di sini: Gerrit J. Knaap[21] dan L. Nagtegaal[22].   Dalam hal ini mereka ingin
membuktikan bahwa pelayaran dan perdagangan maritim pribumi masih cukup berkembang
meskipun menghadapi dominasi dan monopoli VOC.

C. Trend Sejarah Kawasan dan Jaringan Maritim

Perkembangan penelitian mengenai sejarah maritim di Indonesia juga distimulasi oleh penelitian
yang dilakukan oleh salah satu sejarawan terkenal dari kelompok Annales di Perancis yang sejak
tahun 1950-an mempelopori penelitian sejarah yang disebut sebagai total history atau sejarah
total. Salah satu sejarawan aliran Annales yang terkenal adalah Fernand Braudel yang membuat
penelitian mengenai kawasan Laut Tengah yang diterbitkan sejak tahun 1959.[23] Karya ini
merupakan penanda bagi awal berkembangnya sejarah struktural yang memberi perhatian serius
kepada pengaruh aspek geografi kepada kebudayaan dan ekonomi suatu masyarakat. Selain itu
karya ini juga dapat ditempatkan sebagai studi kawasan laut sebagai unit sejarah. Demikian juga
model sejarah total juga mulai berkembang terinspirasi penelitian ini. Karya ini mencoba untuk
mengungkap semua aspek dari kehidupan manusia di kawasan Laut Tengah. Aspek struktural
dari dinamika kehidupan manusia berkait erat dengan faktor perubahan geografi dan
kebudayaan, sedangkan aspek konjungtural dari gelombang perubahan sejarah manusia berkait
erat dengan perubahan ekonomi. Sementara itu aspek event yang berubah secara cepat berkaitan
dengan perubahan-perubahan di bidang politik yang sangat cepat dan dinamis. Dalam hal ini,
prioritas diberikan kepada aspek-aspek struktural dan konjungtural dalam perkembangan historis
yang memberikan pengaruh yang kuat terhadap perubahan-perubahan politik.
Braudel mengatakan bahwa laut (dalam hal ini Laut Tengah) merupakan faktor yang
mengintegrasikan berbagai elemen sosial budaya dari berbagai kelompok sosial dan etnik yang
tinggal di kawasan Laut Tengah. Ia mengatakan:[24] ‘The sea is everything. It provides unity,
transport, the means of exchange and intercourse. But it has also been the great divider, the
obstacle that had to be overcome’. Dalam hubungan itulah maka sesungguhnya sejarah kawasan
Laut Tengah merupakan sejarah interkoneksi di antara berbagai budaya dan masyarakat yang
tinggal di seputar Laut Tengah yang mencakup daerah Afrika Utara, Asia Barat, dan Eropa
Selatan dan Barat. Selama berabad-abad, Laut Tengah telah berfungsi sebagai jembatan dan
saluran bagi terjadinya pertukaran budaya, ekonomi, dan politik yang sangat beragam. Dapat
dipahami jika kawasan sekitar Laut Tengah dapat terintegrasikan dengan menggunakan medium
laut. Bahkan pada waktu itu Laut Tengah dipandang sebagai common property oleh masyarakat
yang tinggal di sekitarnya dengan sebutan mare nostrum.

Karya Braudel tersebut telah memberi inspirasi kepada sejarawan lain yang lebih muda.
Sejarawan Indonesia yang pertama kali mencoba menerapkan model Braudel dalam sejarah
Indonesia adalah F.A. Sutjipto yang mengkaji kawasan di sekitar Selat Madura.[25] Kawasan ini
merupakan lokasi berkembangnya kota-kota pantai yang saling memiliki jalinan hubungan yang
erat dalam perkembangan sejarahnya, yaitu kota Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo,
Besuki, Bandawasa, Panarukan, Banyuwangi, Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan. Untuk
mengungkap jalinan hubungan ini ia menggunakan pendekatan yang  menekankan  pada
pengkajian  faktor-faktor yang memiliki fungsi integratif  yang berupa mainstreams  (aliran-
aliran besar) yaitu perdagangan,  agama, kebudayaan dan perkembangan politik. Pada akhirnya
proses historis inilah yang menempatkan kota-kota yang terletak di sekitar Selat Madura itu
tumbuh dan berkembang dengan karakteristik yang berbeda dengan kota-kota lain di pantai utara
Jawa.

Sejarawan Braudelian lain yang menghasilkan karya monumental yang cakupan spasialnya
melibatkan Nusantara adalah Anthony Reid yang menulis dua volume buku mengenai kawasan
Asia Tenggara pada ‘Abad Perdagangan’.[26] Pada intinya Reid ingin menyusun total history
mengenai Asia Tenggara pada periode puncak kejayaan perdagangan maritim di kawasan ini
menjelang kedatangan bangsa-bangsa Barat hingga awal dominasi mereka atas perairan Asia
Tenggara. Dalam Volume I, Reid memfokuskan kajiannya pada sejarah aspek-aspek geografis,
sosial, dan budaya dengan memberikan deskripsi yang menarik tentang faktor-faktor alamiah dan
manusia, kesehatan, budaya material, organisasi sosial, upacara dan hiburan yang membuat
kawasan Asia Tenggara sangat karakteristik jika dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya,
seperti India, Cina, dan Australia.

Sementara itu, pada Volume II, Reid memfokuskan penelitiannya pada dinamika sejarah
ekonomi dan perdagangan kota-kota dan daerah-daerah di kawasan Asia Tenggara menjelang
awal kedatangan bangsa-bangsa Barat. Pendek kata, dengan latar belakang kesatuan geografis,
alamiah dan manusia, Asia Tenggara, meskipun memiliki kebhinekaan secara internal, menjadi
kesatuan yang distinctive dari kawasan di sekitarnya. Laut-laut yang membentang di kawasan
Asia Tenggara bukan sebagai pemisah, tetapi sebagai jembatan yang menghubungkan daerah-
daerah di kawasan ini. Melalui kegiatan perdagangan, diplomasi, perang, penyebaran agama dan
sebagainya akhirnya kesatuan-kesatuan sosial dan etnis yang tersebar di kawasan ini dapat saling
berhubungan dan saling mempengaruhi. Dengan demikian unsur-unsur kesamaan dalam elemen-
elemen budaya di Asia Tenggara dapat dipahami dengan baik.

Studi kawasan maritim dengan aspek-aspek yang lebih terbatas juga dilakukan oleh beberapa
peneliti seperti James F. Waren dan A.B. Lapian. Dalam studinya mengenai sejarah kawasan
Laut Sulu (kawasan laut antara Kalimantan Utara, Laut Sulawesi, dan Filipina Selatan), Waren
memfokuskan kajiannya pada respon lokal terhadap proses globalisasi ekonomi perdagangan,
terutama antara Inggris dan Cina. Sejak pertengahan ke dua abad ke-18 hingga akhir abad ke-19
perdagangan teh antara Inggris dan Cina berkembang pesat. Namun demikian, Ingris tidak akan
banyak mendapatkan komoditas teh dari Cina jika tidak membawa komoditas-komoditas yang
sangat diminati oleh masyarakat Cina, yaitu teripang, kerang mutiara, dan sarang burung. Oleh
karena permintaan yang tinggi terhadap komoditas-komiditas tersebut maka timbul persoalan
kekurangan tenaga kerja. Oleh karena institusi perbudakan bagi masyarakat pribumi masih
merupakan hal yang legal, maka permintaan pasar itu dijawab dengan ‘produksi’ budak dalam
skala industri. Akibatnya perburuan budak (slave riding) menjadi berkembang hampir di seluruh
kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, kawasan Sulu merupakan pasar budak yang sangat
ramai. Sementara itu Inggris, karena keuntungan-keuntungan ekonomi, seringkali menutup mata
atas perkembangan fenomena perbudakan ini.[27]

Sementara itu A.B. Lapian meneliti sejarah kawasan Laut Sulawesi dengan fokus pada fenomena
perompakan. Di samping ingin mengkaji fenomena perompakan sebagai reaksi lokal atas
dominasi kolonial, studi ini juga ingin menggambarkan bagaimana penggunaan istilah
perompakan (zeerover) yang digunakan oleh kaum kolonialis ini sangat bias. Ia ingin
menunjukkan bahwaaksi perompakan sesungguhnya merupakan reaksi atas perompakan yang
dilakukan oleh para kolonialis Barat di Asia Tenggara yang mengakibatkan hancurnya
kekuasaan politik dan ekonomi penguasa lokal. Hal yang demikian inilah yang menjadi salah
satu tema kajian Lapian dalam desertasinya. Untuk menampik kategorisasi Eropa sentris yang
monolitik tentang piracy ia membeberkan adanya tiga kategori berbeda yang seringkali
disamaratakan oleh pemerintah kolonial Belanda yaitu Orang Laut, Raja Laut, dan Bajak Laut.
Masing-masing tipe dapat dianggap sebagai bajak laut oleh tipe lain. Demikian pula ia dapat
menganggap dirinya sebagai raja laut di wilayah kekuasaannya. Dengan demikian bagi mereka
sendiri, kegiatan mereka tidak merupakan pelanggaran hukum sebab mereka mengambil hak
mereka sendiri. Jadi istilah perompak atau bajak laut  pada saat itu sangat bias. Istilah ini akan
cocok jika dipakai oleh suatu pemerintahan yang sudah mapan. Padahal pada waktu itu masing
masing kekuatan tersebut, baik yang berasal dari bangsa-bangsa Barat maupun dari berbagai
masyarakat lokal, masing-masing melihat sebagai saingannya, termasuk kekuatan kolonial yang
dipandang sebagai kekuatan bajak laut yang merampok hak-hak masyarakat lokal. Oleh karena
itu ia menawarkan penggunaan unsur kekerasan atau violence sebagai penanda utama aktivitas
perompakan.[28]

Karya Lapian yang berbau Braudelian ini juga disusul oleh sejarawan yang lebih muda. Hal ini
antara lain dapat dilihat dari disertasi I Gde Parimartha, Gusti Asnan dan Singgih Tri Sulistiyono.
Dalam penelitian disertasi mengenai kaitan antara perdagangan dan politik di Nusa Tenggara,
Parimartha juga menunjukkan bahwa jauh sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat, kawasan ini
telah mampu mengembangkan dunia perdagangan untuk kepentingan kemakmuran mereka dan
bahwa mereka juga mampu menjalin hubungan dengan kekuatan luar baik di bidang ekonomi
maupun politik. Pada masa pemerintah kolonial Belanda, jaringan perdagangan Nusa Tenggara
menjadi semakin luas sejalan dengan jaringan ekonomi global yang dibangun oleh kolonialis
Belanda dan penggunaan teknologi mesin dalam alat transportasi laut. Namun demikian
perkembangan ini justru menempatkan kekuatan ekonomi pribumi dalam posisi yang marginal
apalagi pada akhirnya kekuasaan politik pribumi juga dirampas oleh kekuatan kolonial.
Sementara itu para pedagang Belanda dan kelompok Timur Asing semakin mendapatkan posisi
yang semakin menguntungkan dalam sistem kolonialisme.[29]

Dalam penelitiannya tentang dunia bahari pantai barat Sumatera, Gusti Asnan mencoba untuk
menjawab pertanyaan pokok: apa arti kehadiran pemerintah kolonial terhadap dunia bahari di
daerah Pantai Barat Sumatera (yang membentang antara Indragiri dan Singkel) pada umumnya
dan kegiatan perdagangan pada khususnya. Selain itu, penelitian ini juga berusaha untuk
menjawab pertanyaan: sejauhmana keterlibatan kelompok-kelompok nonpemerintah kolonial
dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran di daerah ini. Ia menyatakan bahwa sebelum
datangnya bangsa-bangsa Barat, kawasan ini telah mengalami perkembangan yang signifikan di
bidang pelayaran dan perdagangan. Sejalan dengan semakin kuatnya posisi pemerintah kolonial
Belanda di kawasan ini, infrastruktur perekonomian khususnya akses jalan ke pedalaman
menjadi semakin baik sehingga perdagangan (ekspor dan impor) juga semakin berkembang.
Namun demikian kesempatan itu menjadi bahan perebutan di antara berbagai kelompok
kekuatan ekonomi baik para pengusaha Belanda sendiri maupun para pengusaha Eropa lain serta
para bisnismen Cina. Akibatnya posisi pengusaha pribumi menempati posisi yang marginal.
Meskipun demikian ada juga bebeapa pengusaha pribumi yang dapat bertahan dan bahwa
mencapai kesusksesan berkat jalinan hubungan baik melalui lobi-lobi dengan para pejabat
kolonial.[30]

Sementara itu, dalam penelitian untuk disertasi, Singgih Tri Sulistiyono mencoba untuk melacak
pasang-surut perkembangan Jaringan Laut Jawa dalam kaitannya dengan perkembangan
pelayaran dan perdagangan antardaerah dalam kerangka proses integrasi ekonomi di Indonesia
sejak tahun 1870-an hingga tahun 1970-an.[31] Dalam konteks Braudelian, disertasi ini ingin
menunjukkan bahwa laut memiliki fungsi integratif dalam konteks negara nasional pada era
modern. Bahkan sejak masa akhir pemerintah kolonial, Laut Jawa telah disadari sebagai Indië’s
Middellandsche Zee. Dengan menggunakan Jaringan Laut Jawa sebagai suatu unit analisis,
penelitian ini ingin mendeskripsikan bahwa penggambaran yang dikotomis dalam historiografi
ekonomi Indonesia yang mempertentangkan Jawa dengan Luar Jawa dapat dihindari. Dalam
kaitan ini, Jaringan Laut Jawa telah bertindak sebagai katalisator hubungan-hubungan eknomomi
di antara pelabuhan-pelabuhan utama di kepulauan Indonesia yang merupakan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi bagi pelabuhan-pelabuhan yang lebih kecil di sekitarnya. Oleh karena
pelabuhan-pelabuhan utama itu tidak hanya terletak di Java, tetapi juga di Luar Jawa dan bahkan
mencakup pelabuhan Singapura, maka hubungan antar pelabuhan-pelabuhan ini telah
memprekondisikan suatu proses ketika abad modernisasi dunia pelayaran Indonesia (1870-an-
1970-an) menyaksikan Jaringan Laut Jawa berfungsi sebagai fondasi bagi pencapaian integrasi
ekonomi dan politik sejak jaman kolonial Belanda hingga masa awal pemerintahan Orde Baru.

Selain kecenderungan ke arah penulisan sejarah kawasan bahari sebagaimana yang telah
digambarkan di atas, juga terdapat kecenderungan lain dari para sejarawan maritim untuk
menulis sejarah kota pelabuhan dengan segala kompleksitas kehidupan masyarakatnya beserta
dengan jaringan pelayaran dan perdagangannya. Sebuah karya sosiologis yang inspiratif
mengenai masyarakat di sebuah kota pelabuhan (Makassar) telah ditulis oleh Heather Sutherland.
[32] Ia  menggambarkan  bahwa meskipun posisinya agak jauh dari daratan Asia dan
penduduknya relatif kecil namun hal itu tidak membuat Makassar menjadi terbelakang. Sebelum
dikuasai oleh VOC, ekonomi Makassar mampu mengikuti irama perdagangan dunia,
pemerintahannya  selalu  berusaha keras  untuk mendamaikan pengaruh-pengaruh asing yang
baru dengan realitas lokal, meskipun kehidupan sosialnya selalu mencerminkan ketegangan dan
kekuatan dari  berbagai  etnik yang ada. Walaupun Makassar memiliki letak yang jauh  dengan
daratan Asia, namun ia dapat berjaya melalui perdagangannya yang  telah memberi penghidupan
pada penduduknya, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh arus barang yang lewat
pelabuhan atau sebagai buruh pada saudagar-saudagar yang ada dan bekerja pada pemilik kapal
sebagai pelaut.

Setelah berhasil menundukkan Makassar, VOC berusaha untuk menghancurkan kemudian


membentuk kembali serta menjadikan Makassar sebagai instrumen efektif guna mengejar tujuan-
tujuan regionalnya, yaitu menguasai jalur di perairan Asia Tenggara. Namun demikian Belanda
tidak mampu untuk membuat perubahan-perubahan secara total atas jaringan perdagangan
regional di  kawasan ini. Hal ini berkaitan dengan kenyataan adanya jurang yang tetap lebar
antara “Company Town” yang telah diciptakan oleh Belanda dengan  realitas sosial yang ada di
Makasar itu sendiri. Hal itu terutama  disebabkan oleh adanya struktur penduduk Makassar yang
sangat kompleks  dengan berbagai jaringan hubungan sosial antar-etnik dan kelompok sosial
lainnya  yang  rumit.

Karya Sutherland tersebut secara beruntun telah mengilhami beberapa sejarawan muda untuk
mencoba menulis sejarah kota pelabuhan dengan fokus pada jaringan pelayaran dan
perdagangan. Dalam hubungan itu, sejak awal tahun 1990-an telah muncul berbagai karya
sejarah maritim dari hasil penelitian baik yang berupa disertasi S3 maupun tesis S2. Sebagian
besar karya-karya ini mengkaji kota pelabuhan baik pelabuhan dagang[33] maupun pelabuhan
perikanan,[34] serta gerakan-gerakan buruh yang berupa pemogokan di pelabuhan.[35] Di luar
tema itu, muncul karya mengenai sejarah sektor perikanan khususnya di kawasan pantai utara
Jawa yang ditulis oleh Masyhuri.[36] Sementara itu disertasi Susanto Zudi yang sudah
diterbitkan menganalisis tentang jaringan pelayaran dan perdagangan orang-orang Buton di
kepulauan Indonesia dan sekitarnya.[37] Mungkin masih masih ada lagi karya-karya akademik
dari mahasiswa S2 dan S3 mengenai sejarah maritim, namun belum terekam secara sistematis.
Adalah aneh sekali bahwa sebagai negara maritim, penulisan sejarah maritim Indonesia belum
berkembang secara proporsional. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya guna membangkitkan
gairah untuk menulis sejarah maritim Nusantara. Dalam hubungan itu perlu disebutkan karya
Djuliati Suroyo dan kawan-kawan yang telah menerbitkan buku tentang sejarah maritim
Indonesia sejak periode awal hingga abad ke-17 dengan memfokuskan diri pada perkembangan
jaringan-jaringan pelayaran dan perdagangan di Nusantara.[38]

D. Sejarah Maritim dan Problem Aktual Bangsa: Peluang dan Tangangan

Salah satu persoalan besar yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah
keberlangsungan Indonesia itu sendiri, yaitu apakah Indonesia dalam wujudnya yang seperti
sekarang ini dapat dipertahankan di masa yang akan datang. Persoalan yang sangat mendasar ini
erat kaitannya dengan komitmen segenap bangsa Indonesia apakah masih ingin melangsungkan
kehidupan bersama sebagai sebuah nasion atau tidak. Di beberapa tempat masih dapat disaksikan
adanya beberapa gerakan politik dan mungkin juga gerakan bersenjata untuk memisahkan diri
dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagaimana yang terjadi di Maluku dan
Papua. Selain itu juga masih sering terdengar berita adanya konflik sosial yang berbau SARA
(suku, agama, dan ras) di beberapa tempat di Indonesia.

Persoalan lain yang juga masih dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah dampak dan buntut dari
krisis moneter (krismon) yang terjadi sejak akhir tahun 1997. Krisis moneter itu diikuti oleh
berbagai krisis seperti krisis politik, krisis kultural, dan krisis kepercayaan terhadap pemimpin,
sehingga ada yang menyebutnya sebagai ‘kristal’ atau krisis total. Seperti diketahui bahwa krisis
ekonomi itu telah ikut pula melahirkan gerakan reformasi yang mulai merebak sejak tahun 1998.
Gerakan reformasi telah menyadarkan beberapa kalangan elite politik untuk memberdayakan
potensi laut dalam rangka mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bahkan di tengah-
tengah hingar-bingar reformasi itu juga muncul cita-cita untuk membangun Indonesia Baru
sebagai negara bahari yang kokoh. Bahkan Cita-cita itu bukan hanya berasal dari kalangan
politisi saja tetapi juga dari kalangan akademisi.

Meskipun demikian perlu disadari bahwa untuk membangun negara bahari yang besar tidak bisa
hanya dengan cara mengkeksploitasi kekayaan laut secara seenaknya, sebab hal itu justru akan
menjerumuskan bangsa Indonesia ke arah proses pemiskinan yang lebih parah sebab dengan
begitu potensi kekayaan laut sebagaimana kekayaan darat juga akan rusak. Dalam hal ini, untuk
membangun negara bahari yang besar diperlukan landasan budaya dan nilai bahari yang kuat.
Pembangunan negara bahari tanpa landasan budaya dan nilai bahari yang kuat hanya akan
melahirkan eksploitasi kekayaan laut yang tidak terkendali. Dalam kaitan dengan persoalan-
persoalan itu, muncul pertanyaan yang mendasar: apa yang dapat disumbangkan oleh sejarah
maritim untuk ikut memecahkan persoalan-persoalan besar itu, yaitu persoalan ancaman
disintegrasi bangsa dan penanaman nilai-nilai budaya bahari untuk membangun ‘Indonesia Baru’
sebagai negara bahari. Persoalan pertama berkait erat dengan seberapa jauh nilai-nilai integrasi
bangsa ditanamkan dalam jiwa segenap generasi muda bangsa Indonesia, sedangkan persoalan
kedua berhubungan erat dengan sosialisasi dan enkulturasi nilai-nilai budaya bahari kepada
segenap anak bangsa. Dalam konteks kedua permasalahan itu, sejarah maritim dapat mengambil
peranan yang signifikan untuk dapat difungsikan seperti civic education.

Mengapa sejarah maritim dapat diproyeksikan memiliki peran yang signifikan dalam mengatasi
dua persoalan di atas? Pertama, secara geografis Indonesia merupakan kawasan kepulauan
terbesar di dunia. Kawasan yang demikian luas ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang
selama berabad-abad telah menggunakan laut sebagai wahana untuk saling berkomunikasi.
Sejarah maritim akan menjadi wahana untuk membangkitkan kesadaran mengenai proses-proses
historis yang telah mengantarkan terbentuknya apa yang kemudian disebut sebagai nasion
Indonesia. Kedua, sejarah maritim sangat cocok untuk dijadikan sebagai medium sosialisasi dan
enkulturasi nilai-nilai budaya bahari sebagai landasan untuk membangun negara bahari dimasa
yang akan datang. Ketiga,secara substansi sejarah maritim akan mampu menyediakan wacana
yang luas mengenai komunikasi lintas budaya (cross-cultural communication) antara satu
komunitas dengan komunitas yang lain yang menjadi dasar bagi proses integrasi di kalangan
masyarakat Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena hubungan lewat laut  telah
memprekondisikan terjadinya komunikasi lintas budaya baik lewat saluran pelayaran maupun
perdagangan. Kondisi geografis telah memungkinkan aktivitas ini bisa berlangsung dengan baik
karena laut mengandung dinamika  yang menciptakan kesatuan,  hubungan antar  manusia dan
antar bangsa lewat transportasi,  perdagangan, dan pertemuan budaya. Dengan demikian
kebijakanakan bisa dipetik oleh segenap anak bangsa mengenai nilai-nilai kebaharian yang
memperkuat proses komunikasi lintas budaya yang sebetulnya menjadi fondamen yang kokoh
untuk integrasi bangsa Indonesia di masa yang akan datang sebagai negara bahari. Keempat,
sudah waktunya civic education diajarkan tidak dengan pendekatan doktriner yang bersifat
politis sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa), tetapi lebih mengedepankan pendekatan sosiao-kultural dalam menanamkan nilai-nilai
integrasi bangsa.

Pada saat ini sebetulnya para sejarawan maritim memiliki peluang yang sangat besar untuk
memenuhi kebutuhan dalam menjawab tantangan yang dihadapi oleh negara nasional dalam
rangka menghadapi ekspansi globalisasi dan regionalisasi yang semakin menggejala. Hal ini
terkait dengan pertanyaan apakah historiografi Indonesia saat ini mampu menjawab tantangan
tantangan-tantangan baru sebagai akibat dari semakin merebaknya internasionalisme dan
regionalisme yang disemangati oleh globalisasi dan pasar bebas? Seperti diketahui bahwa
kebanyakan historiografi yang diproduksi oleh para sejarawan dalam kerangka sejarah nasional.
[39] Dalam hal ini, historiografi tersebut ditulis untuk kepentingan sebuah negara bangsa dan
sekaligus juga disemangati oleh fanatisme nasionalisme. Bahkan seringkali, kalau bukannya
selalu, di negara bekas koloni historiografi dimaksudkan untuk membangkitkan semangat
nasionalisme tidak hanya untuk melawan kolonialisme tetapi juga dalam kerangka persaingan
dan konflik dengan negara tetangga.

Historiografi dan pembelajaran sejarah seringkali menciptakan dan memperkuat ingatan kolektif
mengenai pengalaman masa lampau yang mudah dibangkitkan kembali jika terjadi persoalan-
persoalan aktual yang terjadi. Dapat disaksikan dengan jelas beberapa peristiwa terakhir ini
ketika terjadi perbedaan dan persengketaan antara Indonesia dan Malaysia. Dalam konteks itu,
sebagian besar elemen masyarakat Indonesia dengan mudah tersulut emosi untuk kembali
mengulangi peristiwa masa lampau yaitu ‘Ganyang Malaysia’. Sementara itu, publik di Malaysia
sudah tidak lagi begitu memperhatikan persoalan-persoalan seperti itu. Hal ini mungkin
mengindikasikan bahwa historiografi dan pembelajaran sejarah di lembaga pendidikan formal di
Indonesia masih banyak masih menonjolkan semangat dan fanatisme nasionalisme Indonesia,
yang dengan mudah dapat memacu setiap konflik aktual akan diperkuat dengan ingatan kolektif
masa lampau.

Apa yang perlu dipertanyakan adalah apakah historiografi yang ditulis dalam kerangka
nasionalisme yang merupakan produk abad XIX seperti itu masih relevan dengan siatuasi zaman
sekarang ketika internasionalisme, regionalisme, globalisasi, dan neoliberalisme menggeser
paham nasionalisme. Peran negara bangsa yang sangat dominan selama abad XX mulai dikebiri
oleh kekuatan pasar dan rezim internasionalisme. Sejak tahun tahun 2010, negara-negara Asia
Tenggara sudah menerapkan AFTA (Asean Free Trade Area). Selanjutnya pada tahun 2015 akan
dibentuk ASEAN Economic Community yang memungkinkan batas-batas tradisional negara
bangsa mulai runtuh dalam konteks lalu lintas ekonomi baik barang, jasa, modal, maupun tenaga
kerja. Dalam hubungan inilah barangkali perlu perspektif baru dalam penulisan sejarah agar
tidak terjadi gap antara pemahaman sejarah dengan perkembangan aktual masarakat global.
Dengan perspektif baru itu pula dimungkinkan historiografi memiliki andil yang besar dalam
penyelesaian berbagai persoalan aktual yang dihadapi oleh masyarakat dalam pergaulan
antarbangsa. Dalam hubungan inilah barangkali historiografi maritim dapat dimanfaatkan
sebagai media untuk memahami hubungan antarbangsa melalui media laut dari masa lampau
hingga masa kini, baik di bidang pelayaran, perdagangan, diplomasi, dan sebagainya.

E. Perspektif dalam Penulisan Sejarah Maritim Nusantara

Menarik sekali apa yang diungkapkan oleh Drake bahwa pengajaran sejarah memiliki peran
sebagai sarana untuk memperkokoh integrasi nasional. Di samping itu, masih ada beberapa
faktor yang lain yang dapat memperkuat integrasi bangsa, antara lain adalah interaksi yang
intensif di antara bebagai kelompok sosial dalam masyarakat.[40] Dalam hubungan itu, perlu
perspektif tertentu dalam penulisan sejarah maritim agar dapat menjalankan peran untuk
memperkuat integrasi bangsa, yaitu perspektif cross-cultural communication.

Mengingat baik secara historis maupun geografis, Indonesia merupakan negara bahari, maka
unsur kelautan menjadi bagian yang inheren dalam sejarah Indonesia. Melalui laut itulah apa
yang dinamakan bangsa Indonesia terbentuk setelah melalui proses cross-cultural
communication (komunikasi lintas budaya). Suatu kenyataan yang tidak dapat diingkari bahwa
Indonesia merupakan satu kesatuan politik yang mengikat beribu-ribu pulau dan beratus-ratus
suku  bangsa. Hal itu menunjukkan adanya perkembangan dinamika faktor hubungan antar
pulau, antar suku bangsa, antar kelompok sosial, dan antar bangsa yang telah memainkan
peranan yang sangat  penting dalam proses integrasi bangsa. Di sini laut dengan segala bentuk
transportasinya merupakan sarana hubungan utama. Dalam hubungan ini perspektif hubungan
lintas budaya perlumendapatkan penekanan dalam menulis sejarah maritim Nusantara.

Komunikasi lintas budaya memiliki hubungan yang erat dengan sebuah proses terbentuknya
bangsa Indonesia atau ‘proses menjadi Indonesia’ (a process to be Indonesia). Jadi mungkin
perlu disadari bahwa secara legal dan secara politik memang Indonesia sudah ada, tetapi secara
kultural sebagai sebuah bangsa, Indonesia masih dalam suatu proses yang tidak menutup
kemungkinan akan gagal di tengah jalan. Hal ini sesuai dengan apa yang dilontarkan oleh
Sartono Kartodirdjo yang mengatakan:[41]

‘sejarah nasional Indonesia sesungguhnya dapat dipandang sebagai proses perkembangan yang
secara lambat laun dan kontinu mewujudkan integrasi, sejak jaman prasejarah sampai masa kini
yang akhirnya menghasilkan bentuk integrasi seperti terwujud pada kesatuan nasional dewasa
ini.’

Dalam hubungan itu, apa yang disebut sebagai cross cultural communication yang
menghubungkan berbagai kelompok etnik, unsur-unsur sosial dan lokalitas di Nusantara menjadi
sangat penting kedudukannya. Mengingat persoalan-persoalan disintegrasi yang sedang dihadapi
bangsa Indonesia saat ini maka perlu dicari perspektif baru yang menyangkut hubungan antara
wilayah, kesatuan sosial dan politik. Dalam hubungan itulah akar-akar sosial, politik, ekonomi
dan budaya yang menjadi landasan hubungan antar wilayah baik dalam bentuk friendship
(persahabatan, diplomasi) maupun dalam bentuk conflict dan penyelesaiannya (managemen
konflik) perlu diidentifikasi dengan baik.

Dengan penelitian sejarah yang menekankan segi komunikasi lintas budaya, diharapkan
pelajaran bisa diambil untuk memperkaya wacana dalam pengembangan model komunikasi
lintas budaya pada masa sekarang dan yang akan datang. Dalam hubungan itu analisis mengenai
pola-pola komunikasi lintas budaya pada masa pra-kolonial perlu dilakukan justru pada periode
itu kekuatan politik pribumi saling berinteraksi dan berbenturan namun pada akhirnya
menemukan bentuk-bentuk keseimbangannya.

Meskipun secara silih berganti, kekuatan-kekuatan politik juga saling berkonflik dan
berakomodasi, namun ada saat-saatnya di mana gelombang pengaruh kebudayaan dan agama
mempersatukan mereka. Kebudayaan dan agama menjadi semacam identitas dari komunitas
yang mungkin secara etnik berbeda. Hal ini bisa dilihat dari proses penyebaran agama Hindu,
Budha, Islam yang telah berkembang menjadi identitas bersama yang relatif mampu mengatasi
koridor kesukuan. Dalam konteks itu pengkajian mengenai perkembangan kerajaan-kerajaan
maritim di Indonesia dan model-model komunikasi lintas budaya yang mereka kembangkan
sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini yang juga sedang mensyaratkan adanya
komunikasi litas budaya yang intensif. Di samping itu kota-kota yang menjadi pusat-pusat
kerajaan-kerajaan maritim juga merupakan pusat-pusat perdagangan dunia. Sebagai pusat
perdagangan dunia maka sudah barang tentu kota-kota ini bersifat kosmopolitan.[42] Sifat
kosmopolitan dari kota-kota ini memungkinkan terkondisinya suasana koeksistensi damai di
antara komunitas-komunitas dan sikap toleransi yang relatif tinggi. Seperti diketahui bahwa sejak
perdagangan antarpulau dan perdagangan internasional berkembang di Nusantara, kota-kota
pantai menjadi titik-titik simpul dalam perdagangan itu dan menjadi rendesvous serta tempat
tinggal para pedagang, baik pedagang lokal maupun pedagang dari mancanegara.

Dalam konteks itulah mencari akar-akar integrasi nasional dari kajian historis periode pra-
kolonial akan memberikan kemungkinan yang luas bagi penemuan model yang ideal bagi
komunikasi lintas budaya yang merupakan unsur penting dalam mewujudkan integrasi bangsa.
Untuk paradigma dalam penulisan sejarah Indonesia, mainstream yang menguasai alur sejarah
adalah proses untuk menjadi Indonesia (a process to be Indonesia) atau dengan kata lain proses-
proses kemasyarakatan yang mangantarkan kepada terwujudnya integrasi nasional Indonesia.
Sudah barang tentu di dalam proses itu kejadian-kejadian yang terjadi sangat bervariasi yaitu
berupa kompetisi, konflik, dan akomodasi.

Unsur yang paling penting dalam penonjolan alur dari proses sejarah maritim adalah
keseimbangan antara unsur ekspansi (perkembangan)  dan integrasi dalam setiap fenomena dan
proses historis. Segi ekspansi banyak menyangkut soal perkembangan dan kemajuan yang
dicapai oleh suatu komunitas tertentu baik sebagai kesatuan geografis maupun kesatuan politis.
Aspek perkembangan dan kemajuan itu bisa diacukan dengan muncul, berkembang, dan
runtuhnya kesatuan-kesatuan politik yang menyebar di wilayah kepulauan Indonesia, baik dalam
kurun yang bersamaan maupun dalam waktu yang bergantian.

Sementara itu, penonjolan segi integrasi dalam penulisan sejarah maritim Indonesia berarti
penonjolan pada proses pembentukan jaringan (network) yang merefleksikan interrelasi di antara
unsur-unsur sosial dalam masyarakat atau interkomunikasi lintas budaya masyarakat Indonesia.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kawasan perairan Indonesia merupakan suatu
sistem network yang terdiri dari beberapa sub-network dari aktivitas perdagangan, politik,
kebudayaan dan sebagainya. Sudah barang tentu aktivitas ini menggunakan jalur pelayaran
sebagai sarananya yang memungkinkan terjadinya suatu fenomena yang oleh Curtin disebut
sebagai trade diasporas (diaspora perdagangan).[43] Dalam hubungan itu penting untuk
mengkaji route perdagangan dan hubungan antar-pusat-pusat perdagangan (pasar), arah
perdagangan, komoditi yang diperdagangkan, dan sebagainya yang semuanya itu bisa
menggambarkan sebuat jaringan yang merupakan faktor yang mendasar dari proses integrasi. [44]
Dengan demikian jaringan ini melibatkan pusat-pusat perdagangan yang merupakan market
place yang biasanya merupakan kota-kota pelabuhan yang merupakan titik-titik simpul dari
suatu jaringan perdagangan maritim.[45]

Suatu jaringan perdagangan memiliki cakupan yang bervariasi, bisa mencakup hanya di tingkat
lokal dan ada juga yang memiliki cakupan tingkat internasional. Jaringan ini biasanya
berhubungan dengan mobilitas barang, modal, dan tenaga kerja di antara daerah dan pelabuhan.
Seringkali juga terjadi bahwa jaringan lokal merupakan bagian dari jaringan perdagangan
internasional karena perdagangan internasional ini merupakan faktor penting yang
menghubungkan berbagai kesatuan geografis yang berbeda.[46] Jadi dengan demikian perspektif
integrasi yang bertumpu pada komunikasi lintas budaya perlu dijadikan sebagai perspektif dalam
penulisan sejarah maritim Nusantara.

F. Catatan Akhir

Dari uraian di atas dapat diambil beberapa poin penting:

1. Penulisan sejarah maritim Nusantara masih ketinggalan jika dibandingkan dengan


penulisan jenis sejarah yang lain seperti sejarah pedesaan dan agraria, sejarah politik,
sejarah ekonomi, dan sebagainya. Ketertinggalan itu juga semakin terasa jika
dibandingkan dengan kemajuan penulisan sejarah maritim di negara-negara lain.
Ketertinggalan itu barangkali juga terjadi dalam kajian antropologi dan arkeologi maritim
Nusantara.
2. Kajian-kajian sejarah maritim di Indonesia dipengaruhi oleh trend penulisan sejarah
maritim yang terjadi di kawasan lain. Hal itu menunjukkan adanya hubungan yang
dialogis antara para sejarawan asing dengan sejarawan Indonesia. Namun demikian, di
masa yang akan datang diperlukan kreativitas untuk melahirkan karya-karya sejarah
maritim Nusantara yang memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan tantangan  yang
sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada saat ini dan di masa yang akan datang,
baik secara internal maupun eksternal dalam kaitannya dengan kerjasama regional dan
pergaulan internasional.
3. Dengan melakukan pengembangan metodologi, pendekatan, dan perspektif, penulisan
sejarah maritim dapat diarahkan untuk ikut membantu meyelesaikan persoalan bangsa
Indonesia dalam kaitannya dengan ancaman disintegrasi bangsa. Dalam hubungan itu,
penekanan terhadap substansi cross-cultural communication dengan pendekatan
antropologis dalam penulisan sejarah maritim akan dapat memungkinkan jenis sejarah ini
menjadi media untuk civic education dalam rangka memperkuat integrasi bangsa
Indonesia dengan pendekatan yang lebih bersifat kultural.

            *Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Musyawarah Wilayah II DIY – Jateng
yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
(Yogyakarta: 8 Mei 2009).

[1]Lihat misalnya A.M. Djuliati Suroyo, dkk., Sejarah Maritim Indonesia I: Menelusuri Jiwa
Bahari Bangsa Indonesia hingga Abad Ke-17 (Semarang: Jeda, 2007), hlm. 13.

[2]J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society: Essay in Asian Social and Economic History
(Dordrecht: Foris publication, 1983).

[3]Lihat misalnya L. Nagtegaal, Riding the Dutch Tiger: The Dutch East Indies Company anf the
Northeast Coast of Java 1680-1743 (Leiden: KITLV Press, 1996).

[4]Meilink Roelofzs, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago
between 1500 and about 1680(The Hague: Martinus Nijhoff, 1962).

[5]P.Y. Manguin & Nurhadi, ‘Perahu Karam di Situs Bukit Jaras, Propinsi Riau: Sebuah Laporan
Sementara’, dalam: 10 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Archeologi Nasional & Ecole
Francaise d’Extreme-Orient (Jakarta: Pusat Penelitian Archeologi Nasional, hlm. 43-64). Lihat
juga P.Y. Manguin, ‘The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleet in Trade and War
(Fifteenth to Seventeenth Centuries), in: A. Reid (ed.), Southeast Asia in the Early Modern Era:
Trade, Power, and Belief (Ithaca-London: Cornell University Press, 1993, hlm. 198-199.

[6]Adrian Horidge, Sailing Craft of Indonesia (Singapore: Oxford University Press, 1986).

[7]Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Cheng_Ho (Dikunjungi tanggal 25 April 2014).

[8]O.W. Wolters, Early Indonesia Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya (Ithaca, New
York: Cornell University Press, 1967).

[9]Haraprasad Ray, ‘The South East Asian Connection in Sino-Indian Trade’, dalam: Rosemary
Scott & John Guy (eds), South East Asia & China: Art, Interaction & Comerce (London: SOAS,
1994), hlm. 41-54.

[10]Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981),
hlm. 30-131. Lihat juga O.W. Wolters, ‘Studying Srivijaya’, JMBRAS 2 (1979), hlm. 1- 40.

[11]D. Macintyre, Sea Power in the Pacific: A History from the Sixteen Century to the Present
Day (London: Barker, 1972), hlm. 11.

[12]Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia (Honolulu: University of Hawaii Press, 2000),
hlm. 76.
[13]K.N. Chauduri, Trade and Civilization in the Indian Ocean from the Rise of Islam to 1750
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), hlm. 172. Lihat juga H. Ray, ‘The South East
Asian Connection in Sino-Indian Trade’, dalam: R. Schott & J. Guy, South East Asia & China:
Art, Interaction & Commerce (London: University of London, 1995), hlm. 41-54.

[14]D. H. Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia I  (Jakarta: Pradnjaparamita, 1962),


hlm. 26, 77.

[15] Chauduri, Trade and Civilization, hlm. 172.

[16]Pierre-Yves Manguin, ‘Palembang and Sriwijaya: An Early Malay Harbour-City


Rediscovered’, JMBRAS 1 (66) (1993), hlm. 23-46.  Lihat juga G. Coedes & L. Ch. Damais,
Sriwijaya: History, Religion and Language of Early  Malay Polity (Kuala Lumpur: MBRAS
Monograph No. 20).  Lihat juga A. Diller, ‘Sriwijaya and the First Zeros’, JMBRAS 1 (68)
(1995), hlm. 53-66.

[17]Hall, ‘Economic History of Early Southeast Asia’, dalam N. Tarling (ed.), The Cambridge
History of Southeast asia, Vol. I, From Early Times to c. 1800 (Cambridge: Cambridge
University Press, 1994), hlm. 196-202.

[18]D.G.E. Hall,  Sejarah Asia Tenggara  (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm. 41. Hall,
‘Economic History‘, 196-202. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dkk., Sejarah
Nasional Indonesia II (Jakarta: Balai Pustaka,1984), hlm. 76.

[19]B.B. Utomo, ‘Sriwijaya di Palembang sebagai Pusat Agama Buddha’, dalam: M. Faizal
Iskandar, Sriwijaya dalam Perspektif Archeologi dan Sejarah (Palembang: PEMDA Sumatra
Selatan, 1993), B7-1 – B7-10. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II 
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 37.

17 W.P. Groeneveld, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese
Sources (Jakarta: Bhratara, 1960), hlm. 65-66. Lihat juga Soekmono, Pengantar Sejarah II, hlm.
60. Lihat juga Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 55-56.

[20]Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Develepment in Early Southeast Asia (Honolulu:
University of Hawaii Press, 1985).

[21]G.J. Knaap, Shallow Water, Rising Tide: Shippig and Trade in Java around 1775 (Leiden:
KITLV Press, 1996). Lihat juga G.J. Knaap, ‘Manning the Fleet: Skippers, Crews and
Shipowners in Eighteenth-century Makassar’, in: Susanto Zuhdi & Edi Sedyawati (eds), Arung
Samudera: Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian (Jakarta: PPKB UI, 2001),
hlm. 83-103.

[22]L. Nagtegaal, Riding the Dutch Tiger.

[23]Lihat Fernand Braudel, The Mediterranean and Mediterranean World in the Age of Philip II
(New York: Harper Colophon Book, 1976).
[24]Ibid., hlm. 276.

[25]F.A. Sutjipto Tjiptoatmodjo, Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad ke-17 sampai
Medio Abad ke-19) (Disertasi tidak diterbitkan pada Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada,
1983).

[26]Lihat Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680 Vol. I: The Lands
below  the Winds (New Haven, London: Yale University Press, 1988); Anthony Reid, Southeast
Asia in the Age of Commerce, 1450-1680 Vol. II: Expansion and Crisis (New Haven, London:
Yale University Press, 1993).

[27]Lihat J.F. Warren, The Sulu Zone, 1768-1898 (Singapore: Singapore University Press, 1981).
Lihat juga tulisannya yang lain ‘Looking back on ‘The Sulu Zone’: State formation, slave raiding
and ethnic diversity in Southeast Asia’, JMBRAS 69 (1) (1996), hlm. 21-33. Lihat juga ‘The Sulu
Zone: The world capitalist economy and the historical imagination’, Comparative Asian Studies
20 (1998).

[28]Lihat A.B. Lapian, Orang Laut – Bajak Laut – Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi
Abad XIX (Disertasi tidak diterbitkan pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1987).

[29]I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara, 1815 – 1915 (Jakarta:
Djambatan & KITLV Press, 2002).

[30]Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (Yogyakart: Ombak, 2007).

[31]Singgih Tri Sulistiyono, The Java Sea Network: Patters in the Development of Interregional
Shipping and Trade in the Process of National Integration in Indonesia, 1870s – 1970s
(Dissertation, Leiden University, 2003).

[32]Heather Sutherland, “Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society in
Eighteenth Century Makassar”, dalam: Peter J.M. Nas (ed.), The Indonesian City: Studies in 
Urban Development and Planning(Dordrecht: Foris Publication, 1986).

[33]Karya yang mengkaji kota pelabuhan dagang antara lain: E. L. Poelinggomang, Proteksi dan
Perdagangan Bebas: Kajian tentang Perdagangan Makassar pada Abad ke-19(Disertasi tidak
diterbitkan pada Vrije Universiteit Amsterdam, 1991), Susanto Zuhdi, Perkembangan
Pelabuhan dan Kota Cilacap, Jawa Tengah 1830-1940(Tesis S2 tidak diterbitkan pada Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, 1991); Singgih Tri Sulistiyono, Perkembangan Pelabuhan Cirebon
dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon, 1859-1930
(Tesis S2 tidak diterbitkan pada Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1994); 
Indriyanto, Pelabuhan Rembang 1820-1900; Profil Pelabuhan Kecil dan Pengaruhnya terhadap
perkembangan Ekonomi Wilayah Rembang (Tesis S-2 tidak diterbitkan pada Program Pasca
Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1995), dan sebagainya.

[34]Sutejo Kuwat Widodo, Ikan Layang Terbang Menjulang (Semarang: Badan Penerbit
UNDIP, 2005).
[35]Agustinus Supriyono, “Buruh Pelabuhan Semarang : Pemogokan-Pemogokan pada Zaman
Kolonial Belanda, Revolusi dan Republik 1900-1965” (Disertasi Vrije Universiteit Amsterdam,
2007).

[36]Masyhuri, “Pasang Surut Usaha Perikanan Laut: Tinjauan Sosial-Ekonomi Kenelayanan di


Jawa dan Madura, 1850-1940” (Disertasi Vrije Universiteit Amsterdam, 1995).

[37]Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana (Jakarta: Rajawali
Press & Yayasan Kebudayaan masyarakat Buton, 2010).

[38]A.M. Djuliati Suroyo, dkk., Sejarah Maritim Indonesia I.

[39]Jörn Rüsen, “Some Theoritical Approaches to Intercultural Comparative Historiography”,


History and Theory 35 (4) (1996), hlm. 6.

[40]Christine Drake, National Integration in Indonesia: Patterns and Policies (Honolulu: Hawaii
Universitry Press, 1989).

[41]Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900: Dari Emporium


sampai Imperium I (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. xiii-xxiii.

[42]Lihat Max Weber, The City [diterjemahkan oleh Don Martindale & Gertrud Neuwirth] (New
York, London: The Free Press & Collier-Macmilland), hlm. 65-67. Studi mengenai kota-kota
pantai di sekitar selat Madura lihat F.A.S. Tjiptoatmodjo, Kota-kota Pantai di Sekitar Selat
Madura (Abad XVII sampai Medio Abad XIX) (Disertasi tidak diterbitkan pada Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada 1983).

[43]Philip D. Curtin, Cross-Cultural Trade in World History (Cambridge: Cambridge University


Press, 1998), hlm. 159-167.
[44]
Hal ini berbeda dengan pendapat Menkhoff yang lebih menekankan pada jaringan
perdagangan sebagai secara sosiologis dan psikhologis. Lihat R. Menkoff, Trade routes, trust
and trading networks: Chinese small enterprises in Singapore (Bieleveld: University of
Bieleveld, 1993).
[45]
Kombinasi dari jaringan beberapa pasar ini disebut sebagai sistem pasar (market system), lihat
Weber, The City, hlm.65-68. Lihat juga Evers, ‘Traditional’, hlm. 92.
[46]
Mengenai teori trade linkage, lihat misalnya A. Italianer, Theory and practice of international
trade linkage models (dissertasi tidak diterbitkan pada University of Groningen, 1986), hlm. 1.
Di dalam ilmu ekonomi, suatu model linkage sering diacukan kepada model ekonometrik, namun
demikian dalam ilmu sejarah hal ini biasanya hanya digunakan sebagai alat analitik untuk
melacak jaringan hubungan di antara market places yang dikaji.

Anda mungkin juga menyukai