Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN BONE

Kerajaan Bone terbentuk pada awal abad ke XIV atau pada tahun 1330, namun
sebelum Kerajaan Bone terbentuk, sudah ada kelompok-kelompok dan pemimpinnya digelar
Matoa.
Dengan datangnya TO MANURUNG Mata Silompo’E, maka terjadilah penggabungan
kelompok-kelompok tersebut, termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat
pengangkatan TO MANURUNG Mata Silompo’E, menjadi Raja Bone, Rakyat Bone bersumpah
sebagai pertanda kesetiaan Rakyat kepada Raja, sekaligus sebagai pencerminan sifat
Pemerintahan Kerajaan diawal berdirinya.
Sumpah yang diucapkan Oleh Penguasa Cina mewakili rakyat berbunyi :
“ANGIKKO KIRAUKKAJU, RIYAKOMMIRI, RIAKKENG MUTAPPALIRENG, ELO’MU ELO RIKKENG
ADAMMUKUA, MATTAMPAKO KILAO, MMOLLIKO KISAWE, MELLAUKO KIABBERE, MAUNI
ANAMMENG NAPATTAROMMENG REKKUA MUTEYAIWI KITEYATOI, NAEKIYA DONGIRIKKENG
TEMMATIPPANG, AMPIRIKKENG TEMMAKARE MUSALIPURIKKENG TEMMADINGING”
Terjemahan bebas :
“ENGKAU ANGIN DAN KAMI DEDAUNAN, KEMANA BERHEMBUS KESITU KAMI MENURUT,
KEMAUAN DAN KATA-KATAMULAH YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI. APABILA ENGKAU
MENGUNDANG, KAMI DATANG, APABILA ENGKAU MEMANGGIL, KAMI MENYAMBUT, DAN
APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI WALAUPUN ANAK ISTERI KAMI JIKA TUANKU
TIDAK SENANGI, KAMI PUN TIDAK MENYENANGINYA. TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR
AMAN TENTRAM, ENGKAU MELINDUNGI KAMI AGAR MAKMUR SEJAHTERA, ENGKAU SELIMUTI
KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN.
Demikianlah perjanjian penyerahan kekuasaan dan kepercayaan rakyat
dengan suka rela kepada Rajanya. Disamping menyerahkan diri kepada Raja, juga terpatri
pengharapan yang menjadi kewajiban Raja melaksanakan, yakni kewajiban mendatangkan
keamanan dan terjaminnya keadilan serta kesejahteraan rakyat.
Sistem Pemerintahan Kerajaan Bone, senantiasa berdasarkan musyawarah
mufakat. Hal ini dibuktikan dengan jelas kedudukan ketujuh Ketua Kaum (Matoa Anang) dalam
satu majelis, dimana TO MANURUNG sebagai ketuanya, dan ketujuh Kaum itu diikat oleh suatu
ikatan yang disebut Kawerang (Ikatan Persekutuan Tanah Bone) serta hal yang mengatur sistem
Pemerintahan Kerajaan.
Sistem Kawerang ini berlangsung dari Raja Bone ke-I hingga Raja Bone ke IX
Lapattawe Matinro’E Ri Bettung pada akhir abad ke-XVI.
Tahun 1605 dimasa Pemerintahan Raja Bone keX we Tenritappu Matinro’E Ri
Sidenreng, Agama Islam mulai masuk di Kerajaan Bone, dan masa itu pulalah sebutan Matowa
Pitu dirubah menjadi Hadat Tujuh (Ade Pitu) masing-masing; Tibojong, Ta, Tanete Riattang,
Tanete Riawang Macege, Ponceng dan Ujung.
Latenri Ruwa Raja Bone ke- XI secara resmi menerima Agama Islam masuk di
Kerajaan Bone, dan sejak itulah Agama Islam berkembang dengan pesat dan terkenal bahwa
rakyat Bone penganut Agama Islam yang fanatik.
Demikian pula terhadap Raja Bone ke- XII, dan sejak itulah La Tenripale Matinro’E
di Tallo dan Raja Bone ke-XIII La Maddaremmeng Matinro’E Ri Bukaka merupakan sosok Raja
yang terkenal fanatik dalam ajaran Agama Islam.
Raja Bone ke-XV La Tenritatta Daeng Serang Malampe’E Gemmenna Arung Palakka
dikenal sebagai Raja yang berprikemanusiaan. Berusaha meningkatkan harkat dan martabat
Kerajaan Bone, bebas dari tekanan dan penindasan dari kerajaan-kerajaan lainnya, mampu
mengadakan pendekatan dan komunikasi timbal balik dengan kerajaan lain sehingga terkenal
dengan sebutan Raja Bugis ( de Koning Der Bugis ).
Raja Bone Ke – XVI La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dikenal sebagai
sosok penyiar dan pengembang Syiar Islam. Di giatkan pula penulisan Kitab pelajaran Agama
Islam. Di masa Pemerintahan beliau, pengaruhnya sangat besar, tidak hanya terhadap Raja –
raja bawahannya, tetapi juga Raja – raja di tanah Bugis seperti Soppeng, Sidenreng, Luwu dan
lain-lain.

Raja Bone Ke – XXIII La Tenri Tappu adalah sosok Raja yang gemar akan kesenian
dan taat melaksanakan Syariat Islam. Baginda berhasil menyusun sebuah buku pelajaran
Tasawuf, yang oleh baginda diberi judul ” NURUL HADI “ merupakan Tasawuf yang mengupas
soal kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan mendapat pengakuan dari ahli tasawuf dari
Mekkah pada masanya.
Raja Bone Ke – XXX Fatimah Banri merupakan pencetus ide, yakni merubah model
Baju ponco ( Baju Wanita ) yang berukuran sampai diatas lutut menjadi berukuran lebih
menurun kebawah lutut sebagaimana yang dipergunakan sekarang, serta diusahakan pembinaan
kesenian daerah seperti seni tari dan sebagainya.
Demikian pula pada masa pemerintahan Raja Bone Ke XXX tersebut dikenal cukup
berhasil keadaan negeri aman tentram perekonomian maju dan lancar.
Raja Bone Ke – XXXI Lapawawoi Karaeng Sigeri adalah seorang Raja yang anti
terhadap Belanda yang ingin menguasai sumber ekonomi rakyat, yang menjadi sumber
penghasilan Kerajaan Bone.
Beberapa kali utusan Belanda menemui Raja, akan tetapi selalu ditolak, sebab
Baginda sudah mengetahui taktik licik Belanda, ingin menguasai sumber ekonomi rakyat, lalu
lintas perdagangan di Pelabuhan Bajoe dan Palime, untuk memungut bea cukai dengan alas an
akan membantu mengurusi dan mengaturnya secara seksama.
Maksud Belanda tidak berhasil, maka pecahlah perang yang dahsyat. Belanda
dengan tiga battalion tentara pilihan dengan persenjataan lengkap termasuk meriam,
melancarkan serangan di Pantai Bajoe, namun Laskar Bone dengan gagah perkasa melakukan
perlawanan sekalipun dengan persenjataan yang tidak seimbang.
Di dalam pertemupuran beberapa hari lamanya itu, ribuan Laskar Bone dan pihak
belanda jatuh korban, termasuk Panglima Perang ( Dulung ) Ajangale dan beberapa perwira
tinggi lainnya.
Raja Bone bersama Panglima tertinggi angkatan perangnya Andi Abdul Hamid alias
Baso Pagilingi Petta PongawaE mundur kepegunungan hingga di Bulu Awo bilangan Pitumpanua
Wajo.
Pasukan Belanda dalam pengejaran hingga ditempat tersebut, terjadilah
pertempuran yang maha dahsyat, yang mengakibatkan gugurnya Petta pongawaE bersama
pasukannya dan di Makamkan kembali di Desa Matuju Kecamatan Awangpone.
Sedang Raja Bone Ke – XXXI Lapawawoi Karaeng Sigeri ditangkap dan dibawa ke
Pare – Pare selanjutnya diasingkan Bandung dan Baginda mangkat di Bandung. Kemudian pada
tahun 1974 kerangka jenasahnya dipindahkan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata Jakarta dalam suatu upacara meliter dan upacara kebesaran adat.
Dengan jatuhnya Kerajaan Bone ketangan Belanda maka dikenal dalam sejarah
RUMPA’NA BONE tahun 1905.
Setelah 26 tahun kemudian atau tahun 1931 dinobatkanlah Andi Mappanyukki
sebagai Raja Bone Ke- XXXII dengan gelar Sultan Ibrahim.
Baginda cukup berwibawa dan mempunyai harga diri. Baginda tidak mau begitu
saja didikte oleh Belanda, tidak segan- segan membela kepentingan rakyat walauoun harus
berhadapan dengan Belanda. Belanda sangat berhati-hati Baginda, namun menghormati sikap
dan pendirian Raja.
Tahun 1944 ketika tentara Jepang semakin terdesak oleh sekutu, Jepang berusaha
mengajak rakyat untuk membela tanah airnya. Jika di Pulau Jawa dan daerah lainnya terbentuk
suatu wadah yang menghimpun rakyat untuk mencapai kemerdekaan, maka di Tanah Bone pun
dibentuk suatu organisasi yang dikenal dengan SUDARA singkatan dari SUMBER DARAH
RAKYAT.
SUMBER DARAH RAKYAT ini dibentuk, adalah merupakan persiapan badan
perjuangan yang sesunggunhya bertujuan mencegah kembali penjajahan Belanda di Indonesia.
Perjuangan Andi Mappanyukki dalam menentang penjajah tidak diragukan lagi,
demikian pula gigihnya mempertahankan kemerdekaan yang ditandai dengan pernyataan sikap
dan pendirian Raja serta Rakyat Bone tetap berdiri dibelakang Pemerintah RI yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Atas penarikan diri Raja Bone XXXII Andi Mappanyukki dari tahta kerajaan,
akhirnya atas permufakatan Anggota Hadat Tujuh, memilih Andi Pabbenteng Petta Lawa menjadi
Raja Bone Ke-XXXIII, yang merupakan Putra dari Panglima Tertinggi Kerajaan Bone Petta
PongawaE.
Dua tahun kemudian yakni pada tanggal 1 November 1948 atas kesepakatan Raja-
raja di Sulawesi selatan, mengangkat Andi Pabbenteng Petta Lawa menjadi Ketua Dewan Adat
Tinggi Sulawesi selatan, dan wakilnya di tunjuk Raja Gowa Andi Ijo Karaeng Lalolang.
Pada bulan Mei 1950, untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk, dan
berdiri diawal abad ke – XIV tahun 1330 terjadi suatu demonstrasi rakyat di Kota Watampone
yang menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur, dihapuskannya Pemerintah Kerajaan
dan menyatakan berdiri dibelakang Pemerintah RI.
Tanggal 21 Mei 1950 terbentuklah Komite Nasioanal Indoneisa ( KNI ) Daerah Bone
. Setelah Pelantikan KNI maka terjadilah peristiwa penyerahan kekuasaan Legislatif dari
Pemerintahan Kerajaan kepada KNI, dan beberapa hari kemudian para anggota Hadat Tujuh
mengajukan permohonan berhenti.
Demikianlah perjalanan panjang Kerajaan Bone hingga memasuki masa
kemerdekaan. Hingga saat ini senantiasa memperlihatkan kemajuan yang menggembirakan.
Sampai saat ini tercatat sejumlah 14 Kepala Daerah yang diberi kepercayaan untuk
mengembang amanah Pemerintah di Tanah Bone masing- masing Andi Pangeran Petta Rani,
Ma’mun Daeng Mattoro, Andi Mappanyukki, Andi Suradi, Andi Jamuddin, Andi Tjatjo, Andi Baso
Amir, Haji Suaib, Haji P.B Harahap, Haji Andi Madeali, H. Andi Sjamsu Alam, H. Andi Syamsoel
Alam, H. Andi Muhammad Amir dan Haji Andi Muhammad Idris Galigo,SH.

Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Kerajaan Gorontalo. Dalam catatan sejarah,
Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi
selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado. Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat
penyebaran agama Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo dan Bone. Seiring dengan
penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan oleh masyarakat
di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala
(Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara. Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan
perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut
Sulawesi (bagian utara).

Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di
pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari
Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian
dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai
Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan
Limba B. Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta
penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan
menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo
yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol Toli Toli dan, Donggala dan Bolaang
Mongondow.
Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Bone
25 May 2008
Buginese muhjafar 0 Comments

Tanah Bugis, Dalam mewujudkan supremasi kekuasaan di wilayah Sulawesi Selatan, kerajaan Bone
dan Gowa dalam banyak kesempatan seringkali berseberangan. Pertimbangan politik tampaknya
menjadi alasan mengapa hal itu terjadi.

Ketika kerajaan Gowa mengajak para penguasa di tanah Bugis untuk menerima Islam menjadi
agamanya seperti yang terjadi di kerajaan Gowa. Di mata orang Bone hal itu dilihat sebagai upaya
untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaan kerajaan Gowa. Pandangan seperti itu dalam banyak
hal mewarnai tingkah laku kerajaan-kerajaan besar di wilayah ini.

Setelah kerajaan Sidenreng, Soppeng dan Wajo menerima Islam, Raja Bone X digantikan oleh La
Tenriruwa sebagai raja Bone XI. Mengetahui ada pergantian raja di Kerajaan Bone maka Sultan
Alauddin (Raja Gowa) bersama pasukannya bergerak menuju Bone untuk bertemu dengan raja Bone
yang baru. Kunjungan ini bertujuan untuk mengajak Raja La Tenriruwa dan rakyatnya untuk memeluk
Islam. Ajakan Sultan Gowa ini nampaknya secara pribadi dapat diterima dengan baik namun
mendapat tantangan oleh para Ade pitu.

Menurut A. Zainal Abidin, penolakan atas Islam sebagai agama kerajaan pada waktu itu disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain:
1.Mereka sukar meninggalkan kegemarannya makan babi, minum tuak, sabung ayam dan judi,
beristri banyak, dan lain-lain.
2.Mereka khawatir akan dijajah kembali oleh Gowa. Mereka masih teringat akan perang yang
dilancarkan oleh Raja-raja Gowa dahulu seperti I Manrigau Daeng Banto Tunipallangga Ulaweng dan
I Tajibarani Daeng Marompa Tunibatta pada abad XVI.

Setelah itu, pada saat Islam masuk ke dalam struktur pemerintahan sebagai satu bagian yang
menangani syariat Islam (Parewa Sara). Tugas raja dalam pengembangan agama Islam beralih
kepada para pejabat sara atau Parewa Sara.
Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya syariat Islam sebagai bagian dari pangngadereng, maka
pranata-pranata sosial masyarakat Bone mendapatkan warna baru. Ketaatan mereka terhadap
pangngadereng sama dengan ketaatannya terhadap syariat Islam.
Hal ini dikarenakan oleh penerimaan mereka terhadap Islam tidak banyak merubah nilai-nilai, kaidah
kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada. Apa yang dibawa oleh Islam hanyalah urusan
ubudiyah (ibadah) tanpa mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang ada
(pangngadereng).

Islam mengisi sesuatu dari aspek cultural dan sendi-sendi kehidupan mereka. Nilai-nilai kesusilaan
yang bertujuan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia diselaraskan dengan konsep siri yang
begitu dijunjung tinggi oleh orang Bugis. Dengan jalan itu proses sosialisasi dan enkulturasi Islam
masuk dalam kebudayaan orang Bone.
menjadi agamanya seperti yang terjadi di kerajaan Gowa. Di mata orang Bone hal itu dilihat sebagai
upaya untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaan kerajaan Gowa. Pandangan seperti itu dalam
banyak hal mewarnai tingkah laku kerajaan-kerajaan besar di wilayah ini.
Islamnya Kerajaan Gorontalo
Islam masuk lewat jalur perkawaninan.

Gorontalo adalah provinsi baru yang letaknya di Sulawesi bagian utara. Daerah ini punya jejak

zaman kepemimpinan di masa dulu, termasuk kepemimpinan dalam kerajaan Islam.

Sebelum berdiri kerajaan Islam, di Gorontalo ada banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hingga pada 1385,

sejumlah 17 kerajaan kecil tersebut sepakat membentuk sebuah serikat kerajaan. Diangkatlah

Maharaja Ilahudu untuk memimpin serikat kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Hulondalo.

Menyebut Hulondalo, berarti sama artinya dengan Gorontalo. Hulondalo berasal dari

kata Hulonthalangi dari istilah Huta Langi-langi, yang dalam bahasa setempat artinya genangan air.

Orang Belanda menyebutnya dengan Holontalo, yang apabila ditulis dalam abjad latin menjadi

Gorontalo.

Nilai budaya yang dianut adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran

yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya menganut kepercayaan animisme. Kemudian,

Islam mulai masuk ke Gorontalo.

Peneliti sejarah sosial dari Universitas Negeri Gorontalo, Basri Amin, menjelaskan mengenai masa-

masa ketika Islam masuk ke Gorontalo. "'Sekitar 1525, Islam mulai masuk dalam wilayah kerajaan ini.

Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai," ujarnya kepada Republika, pekan lalu.

Islam kala itu masuk melalui jalur perkawinan. Raja Amai menikahi putri dari kerajaan

Palasa, bernama Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah Islam.

Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate, yang telah lebih

dahulu mengenal Islam.

Dari sini bisa terlihat, pihak kerajaan memahami Islam dan ingin menjalankan kerajaan sesuai

tuntunan Islam. "Karena Islam, maka bentuk kerajaannya pun menjadi kesultanan," ujarnya.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh guru besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarief

Hidayatullah, Jakarta, Prof Dien Majid. Menurutnya, bentuk kerajaan tetap bisa dipertahankan meski

rajanya telah Islam.

Dalam bentuk pemerintahan dulu, ia menjelaskan, dikenal bentuk kerajaan yang bersifat tradisional.

Mulai abad ke-13, ketika Islam mulai masuk nusantara, maka dikenallah sistem pemerintah yang

sesuai dengan ajaran Islam, yaitu kesultanan.

"Meski demikian, masih ada yang tetap menggunakan nama kerajaan, namun jabatan pemimpinnya

disebut dengan sultan," ujarnya.

Salah satunya, ia mencontohkan adalah kerajaan di Aceh, namanya tetap kerajaan, namun

pemimpinnya bergelar sultan. Hal yang sama terjadi juga di Gorontalo.

Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, Mohammad Karmin Baruadi, juga

menjelaskan sejarah kerajaan Gorontalo dalam tulisannya yang berjudul Sendi Adat Dan Eksistensi

Sastra: Pengaruh Islam Dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo.

"Tokoh yang sangat berperan dengan pemikirannya yang religius Islami adalah istri Amai sendiri yang

bernama putri raja Palasa," tulisnya.

Awalnya, saat Raja Amai ingin meminangnya, sang putri yang berasal dari kerajaan Islam di Sulawesi

Tengah inipun mengajukan beberapa persyaratan.

Pertama, Sultan Amai dan rakyat Gorontalo harus diislamkan, dan yang kedua adat kebiasaan dalam

masyarakat Gorontalo harus bersumber dari Alquran. "Dua syarat itu diterima oleh Amai. Di sinilah

awal Islam menjadi kepercayaan penduduk Gorontalo," tulisnya.

Sebelum menikah Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan terang-terangan

mengumumkan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan kemudian meminta seluruh

pengikutnya untuk melakukan pesta meriah.


Pada pesta tersebut Raja Amai meminta kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan

pelaksanaan sumpah adat. Saat pendeklarasian sumpah tersebut, adalah hari terakhir rakyat

Gorontalo memakan babi.

Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan

membaca dua kalimat syahadat. Ia sendiri kemudian mengganti gelarnya dengan gelar raja Islam,

yaitu sultan.

Prinsip hidup baru ini, mudah diterima oleh masyarakat Gorontalo saat itu, yang tidak tersentuh oleh

Hindu-Buddha. Masyarakat merasakan tidak ada pertentangan antara adat dan Islam, namun justru

memperkuat dan membimbing pelaksanaannya.

Pada 1550, Sultan Amai digantikan oleh putera mahkotanya, Matolodula Kiki. Sultan kedua

kesultanan Gorontalo ini menyempurnakan konsep kerajaan Islam yang dirintis oleh ayahnya.

Ia pun melahirkan rumusan adati hula-hula'a to sara'a dan sara'a hula-hula'a to adati, yang

artinya adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Islam dan adat, saling melengkapi.

Islam resmi menjadi agama kerajaan ketika kesultanan Gorontalo ada di bawah pemerintahan Sultan

Eyato. Konsepnya pun berubah, mirip dengan prinsip masyarakat Minangkabau, adat bersendi

syarak, syarak bersendi kitabullah. Di bawah kepimpinannnya, Kesultanan Gorontalo mencapai

puncak kejayaan.

Bagi masyarakat Uduluwo limo lo Pohalaqa Gorontalo (serikat kerajaan di bawah dua kerajaan

Gorontalo dan Limboto), syarak kitabullah dipahami bahwa hukum dan aturan-aturan yang berlaku

bersumber dari kitab suci Alquran dan hadis Rasulullah SAW.

Beberapa perubahan

Pada masa itu, beberapa perubahan dilakukan, menjadi lebih Islami. Sistem pemerintahannya kini

didasarkan pada ilmu akidah atau pokok-pokok keyakinan dalam ajaran Islam.
Dalam ilmu akidah tersebut diajarkan dua puluh sifat Allah SWT, untuk itu Eyato mewajibkan sifat-

sifat itu menjadi sifat dan sikap semua aparat kerajaan mulai dari pejabat tertinggi sampai dengan

jabatan terendah. Sumpah-sumpah dan adat istiadat yang dipakai, bersumber pada Islam.

Penerapan sistem budaya Islam pada sikap dan perilaku pejabat tersebut telah mengawali

pemantapan karakteristik budaya Islam dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.

Eyato sendiri awalnya memang seorang ahli agama dan cendekiawan. "Sebelum menjadi raja, Eyato

merupakan seorang hatibida'a yang tergolong ulama pada masa itu," tulisnya.

Struktur pemerintahan dalam kerajaan terbagi atas tiga bagian dalam suasana kerja sama yang

disebut Buatula Totolu, yaitu Buatula Bantayo yang dikepalai oleh Bate yang bertugas menciptakan

peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan, Buatula Bubato yang dikepalai oleh Raja

(Olongia) dan bertugas melaksanakan peraturan serta berusaha menyejahterakan masyarakat,

dan Buatula Bala yang pada mulanya dikepalai oleh Pulubala, bertugas dalam bidang pertahanan

dan keamanan

Perkembangan Islam di Kerajaan Bone

Kerajaan Islam di Bone


Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Yang mana
proses Islamisasi Kerajaan Gowa, dilakukan oleh Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa,
penyebaran Islam pun dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran Islam secara
damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga. Alasan beliau
berdasarkan perjanjian yang berbunyi “... bahwa barangsiapa menemukan jalan yang lebih baik,
maka ia berjanji akan memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”.

Akan tetapi jalan damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone bersama sekutunya tidak
mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan kerajaan Gowa tidak berdasarkan ketulusan
melainkan bersifat politis. Alasan tersbut beralasan, karena dalam sejarah sebelum masuknya Islam
telah tejadi benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut mereka ini adalah siasat Gowa
untuk menguasai mereka.

Akhirnya terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge atau perang peng-Islaman. Seperti
telah dituliskan sebelumnya telah terjadi perang pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-angsur
memaksa Soppeng memeluk Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan Bone pada
tahun 1611 M dengan perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap berada pada tangan mereka.

Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada tahun 1611 M dan ia
hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena beliau menerima Islam sebagai agamanya
padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau
meninggalkan Bone, kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan
meninggal di Bantaeng.

Perlu diketahui sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk Islam.
Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk Islam, bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu
karena mendengar Sidendreng telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk mempelajarinya dan wafat
disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.

Setelah dima’zulkannya La Tenrirua dan diangkat penggantinya La Tenripale Arung Timurung dalam
tahun 1611. Arumpone La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung (1611 – 1625), adalah anak
dari La Inca MatinroE ri Addenenna. Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan kembali semangat orang
Bone menolak Islam, yang menurut pemahamannya adalah pintu masuk Gowa mau menjajah Bone.

Akan tetapi, rakyat Bone dibawah Arumpone La Tenri Pale tak dapat berbuat banyak digempur
dengan pasukan besar Gowa, segera setelah itu Bone resmi menjadi daerah takluk Gowa dan secara
formal pula Bone memeluk Agama Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri bawahan Bone)
diundang untuk mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta tersebut menunjukkan bahwa
Islam masuk di Bone melalui tekanan militer Gowa.

Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke Tallo (Makassar) menemui
Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan Abdullah dan diumumkan pemberian nama itu dalam
suatu khutbah Jum’at. Selama masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang (1611-1631),
penaklukan Gowa atas Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi rakyat Bone, karena
hubungannya dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.

Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale
Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam
lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang terkenal adalah
menghapus sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk diperbudak; juga
menghukum berat para penyembah berhala atau mensakralkan tempat dan benda-benda tertentu;
pelaku zina; pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya. Inilah sejarah awal
penerapan syariat Islam secara formal. Maka terjadilah perlawanan dari para bangsawan Bone
bahkan perlawanan tersebut dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu Pattiro
we Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena diangganya keras dan tidak
toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan
klop dengan ajaran kepercayaan pra-Islam di Bone.

Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan La Maddaremmeng dalam menjalankan ajaran
Islam dan mengimplementasikannya dalam pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar
kerajaan tetanggnya seperti Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya dalam
memerdekakan hamba sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun, sedang mereka inipun
harus diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang
melanggar kebijaksanaannya. Meski begitu, tak sedikit pula bangsawan dalam Kerajaan Bone sendiri
yang menentang penghapusan perbudakan.

Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri Bone dan penentangan terhadap
penghapusan perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali
menyerang Bone (1644). Ini berarti Gowa sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan
perbudakan. La Maddaremmeng menghadapi perang tersebut dengan dibantu saudaranya, La
Tenriaji Tosenrima, namun serangan Gowa secara besar – besaran tersebut tak dapat ditahan
pasukan Bone, Arumpone akhirnya menyingkir ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone ditawan
lalu dibawa ke Gowa, diasingkan di suatu kampung bernama Sanrangang (1644). Rakyat dan Hadat
Bone akhirnya mengangkat La Tenriaji To Senrima sebagai Arumpone untuk melanjutkan perjuangan
melawan Gowa. La Maddaremmeng dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini meninggal,
hingga digelari Matinroe ri Bukaka.
A. Runtuhnya Kerajaan Bone
Sejak runtuhnya Kerajaan Gowa pasca munculnya Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone bangkit
menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh paling besar. Hingga awal XX, Kerajaan Bone
memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.

Pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi saingan Belanda dalam memperluas kekuasaan dalam
bidang ekonomi dan politik. Akibatnya, kedua penguasa ini pernah terlibat dalam perang besar.
Dalam sejarah daerah ini, perang itu terjadi pada tahun 1824-1825 yang bermula setelah Sultan Bone
meninggal pada tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu (bergelar I-Maneng Paduka Sri
Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din), pemerintah kesultanan mencoba merevisi Perjanjian Bongaya,
beserta semua anggota persekutuan itu, yang jatuh atas pemerintahan itu, hukum yang sama harus
diberlakukan. Antara tanggal 8 Maret sampai 21 September 1824, GubJend. G.A.G.Ph. van der
Capellen mengadakan lawatan ke Sulawesi dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang
memberikan penghormatan (juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan Tanete. Van
der Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara tersebut tidak akan membawa
keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah ekspedisi dipersiapkan dan sekitar 500
prajurit diberangkatkan dengan membawa 4 meriam, 2 howitzer, beserta 600 prajurit pembantu
pribumi untuk menghukum Bone.

Sultan yang kini terguling lari ke pedalaman dan penduduk tetap melancarkan serangan atas Belanda
namun masalah di Tanete cepat dibereskan dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat; Letkol.
Reeder melancarkan serangan bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah moncong senjata;
pada tanggal 14 Agustus serangan diperbaharui: orang Bugis membiarkan pasukan Belanda
mendekat tanpa ancaman apapun hingga di kaki sebuah bukit dan barulah mereka melancarkan
serangan; setelah kehilangan sepertiga pasukannya, Belanda harus mundur. De Stuers menyerbu
bersama komisaris pemerintahan Tobias ke Suppa dan makin mendekat; pada pagi hari tanggal 30
Agustus, operasi itu berhasil diselesaikan, setelah tembakan meriam peringatan ke benting musuh,
namun kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan korban tewas sebanyak 14 jiwa dan
60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus kembali dan harus melancarkan ekspedisi lain.

Lalu berturut-turut perang terjadi pada tahun1859-1860 dan perang yang terjadi pada tahun 1859-
1860. Hingga Serangan yang dilancarkan pemerintah Kolonial pada tahun1905 yang menandai
berakhirnya Kerajaan Bone pada masa La Pawawoi Karaeng Segeri.

Sekali lagi Pemerintah Kolonial ingin meneggakkan supremasinya terhadap seluruh wilayah Sulawesi
Selatan. Kolonial Belanda menganggap Bone telah melanggar perjanjian sebelumnya bahwa Bone
tidak boleh memperluas wilayah kekuasaanya, hingga munculnya bukti invasi militer Bone di Tana
Toraja dan Wajo 1897-1900. Gubernur Hindia Belenda Baroon van Hoevell mengeluarkan surat
perintah penghapusan penguasa pribumi Bone pada Maret 1903.

Akhirnya pada Julli 1905 dilancarkanlah serangan terhdapa Kerajaan Bone oleh Belanda melalui
pelabuhan Bajoe. Dengan berakhir pada kemenangan Belanda. Akan tetapi, Karaeng Segeri
mengusngsi menuju pedalaman, untuk mengumpulkan pasukan dan menyemangati para pejuang
yang tersisa.

Sementara pengejaran terhadap La pawawoi terus dilakukan, Tomarilalang bersama lima anggota
Dewan Adat Bone menyatakan tunduk terhadap Belanda. Ditambah semakin terdesaknya para
pejuang Bone hampir disetiap pertempuran dan kematian Panglima tertinggi perang Kerajaan Bone
Petta Ponggawae Baso Pangilingi Abdul Hamid. Perang pun berakhir, Raja Bone La pawawoi sudah
tidak memiliki daya lagi untuk mempertahanya pada kerajaan. Ia pun akhirnya harus ditahan, dan
diputuskan dikirm ke Bandung, dimana ia kemudian mengehmbuskan nafas terkhirnya pada Januari
1911.
KESIMPULAN
A. Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali
dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita,
Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki. Dan ditunjukkalah ia sebagai Raja Bone I atau Arung
Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40
tahun, dari tahun 1330 M sampai tahun 1370 M

B. Pada Proses awal Perkembangan Kerajaan Bone yang pada tiap-tiap Raja Bone mulai dari Raja
Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, hingga Raja Bone VI yaitu La Uliyo Bote’E
inilah Bone membentuk sistem pemerintahannya, sistem sosial dan ekonomi. Bahkan hubungan
politik mulai dibentuk pada proses awal ini.

C. Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga kerajaan Bugis yaitu Bone,
Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan
tersebut dan juga demi menentang agresi dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya
pada masa itu.Perjanjian ini ada pada masa La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.

D. Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Islamisasi
pada Kerajaan Bone tidak ditempuh dengan jalan damai, melainkan melalui musu asselengeng yaitu
perang peng-Islaman. Pada tahun 1611 M setelah Wajo dan Soppeng masuk Islam, Bone pun turut
mengikuti berkat agresi militer Gowa. Hingga secara resmi tahun1611 pada masa La Tenripale Arung
Timurung. Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La
Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan
Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo.

E. Berkat bantuan dari Pasukan Hindia Belanda Gowa berhasil ditaklukkan oleh persekutuan Bone-
Belanda dibawah pimpinan Arung Palakka. Yang mana setelah Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone
memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.

F. Runtuhnya Kerajaan Bone setelah serangan militer Belanda pada tahun 1905 pada masa
pemerintahan Raja terakhir Bone La Pawawoi Karaeng Segeri. Yang akhirnya meninggal dalam
tahanannya di Bandung pada tahun 1911 M.

Kerajaan Gowa-Tallo

Secara resmi kedua raja dari Gowa dan Tallo memeluk Islam pada 22
September 1605 M. Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan
Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan,
seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo.

Sejak itu, Gowa meluaskan politiknya agar kerajaan-kerajaan lainnya


juga masuk Islam dan tunduk di bawah kekuasaannya. Meski Gowa-
Tallo sudah Islam, pada masa pemerintahan raja-raja Gowa
selanjutnya, mereka tetap berhubungan baik dengan Portugis yang
beragama Kristen Katolik. Contohnya, masa Sultan Gowa
Muhammad Said (14 Juni 1639-16 November 1653) dan masa
putranya Sultan Hasanuddin (16 November 1639-29 Agustus 1669).
Kerajaan Bone

Islamisasi di Bone tidak terlepas dari islamisasi Kerajaan Gowa.


Sultan Alauddin melakukan penyebaran Islam secara damai.
Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan
tetangga.

Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone
XI pada 1611 M dan ia hanya berkuasa selama tiga bulan. Sebab,
beliau menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan adat Ade
Pitue bersama rakyat menolak ajaran tersebut.

Perlu diketahui, sebelum Sultan Adam Matindore ri Bantaeng atau La


Tenri Ruwa memeluk Islam, sudah ada rakyat Bone yang telah
berislam. Bahkan, Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena
mendengar Sidendreng telah memeluk Islam, ia pun tertarik belajar
dan wafat di sana. Sehingga, ia digelari Mattinroe ri Sidendren.

Kerajaan Gowa-Tallo
HOME
UNCATEGORIZED
7 Kerajaan Islam Di Sulawesi Dan Maluku Beserta Penjelasannya
UNCATEGORIZED

7 Kerajaan Islam di Sulawesi dan Maluku


Beserta Penjelasannya
Mirza Muhammad Iqbal October 11, 2017
Agama Islam menyebar ke seluruh Nusantar di mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Kemudian Maluku. Masuknya agama Islam di Sulawesi tidak lepas dari
kerajaan-kerajaan yang berada di Sulawesi. Bisa dikatakan bahwa kerajaan adalah kunci
utamanya rakyat.
Apabila raja sudah menentukan maka, biasanya rakyatnya akan mengikuti. Kerajaan-kerajaan
Islam di Sulawesi antara lain Bone, Luwu, Soppeng, Gowa, Tallo, dan Wojo. Sebenarnya
kerajaan-kerajan tersebut pada awalnya bercorak Hindu.

Namun, setelah Kerajaan Gowa dan Tallo memeluk agama Islam. Kerajaan-kerajaan lain
yang ada di Sulawesi juga ikut memeluk agama Islam. Kerajaan Gowa-Tallo memiliki peran
sejarah yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam di Sulawesi.

Selain itu, kerajaan Gowa-Tallo juga berperan dalam perdagangan regional dan Internasional.
Proses Islamisasi di Sulawesi terjadi karena adanya jalinan hubungan baik ekonomi dan
politik. Dan kepentingan kerajaan dengan pihak di luar Pulau Sulawesi.

Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang


berlangsung waktu itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur
perdagangan. Seperti juga penyebaran agama Islam waktu di Sumatera, juga melalui
pedagang-pedagang dari Timur Tengah.

Kerajaan Gowa-Tallo

Pada abad ke-15 di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan, diantaranya adalah dari suku bangsa
Makassar (Gowa dan Tallo) dan Bugis (Luwu,Bone, Soppeng dan Wojo). Gowa dan Tallo
merupakan kerajaan yang memiliki hubungan baik.
Kerajaan ini juga dikenal dengan sebutan kerajaan Makassar. Kerajaan Gowa dan Tallo
terletak di daerah Sulawesi Selatan. Secara geografis daerah Sulawesi Selatan ini memilik
posisi yang sanagat bagus. Karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangna Nusantara.

Selain itu, Makassar juga menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang dari jalur
Barat maupun Timur. Hal ini mengakibatkan kerajaan Makassar berkembang menjadi besar
dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.

Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lain
yang ada di Sulawesi Selatan. Seperti dengan kerajaan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo.
Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo dikalahkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo.

Ketiga Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng melaksanakan persatuan. Untuk mempertahankan
kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellum Pocco, sekitar tahun 1582. Sejak Kerajaan
Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada tahun 1605, Gowa meluaskan pengaruh
politiknya.

Kerajaan-kerajaan yang patuh kepada Kerajaan Gowa-Tallo, antara lain Wajo pada 10 Mei
1610, dan Bone pada 23 Nopember 1611. Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan dilakukan
oleh para mubaligh yang disebut dengan Dato’ Tallu.
Antara lain Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’
Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu). Itulah para
Dato’ yang mengislamkan raja-raja kerajaan Islam di Sulawesi pada waktu itu.

Yaitu raja Luwu Dato’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad.
Beliau masuk islam pada tanggal 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M). Raja
Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng
Manyonri (Karaeng Tallo).

Beliau masuk islam pada Jumat sore, tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September
1605 M dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ Rangi Daeng
Manrabbia. Beliau masuk Islam pada Jumat, tanggal 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607
M.
Dalam sejarah kerajaan Gowa, Perjuangan sultan Hasanuddin dalam mempertahankan
kedaulatannya melawan penjajah VOC sangat gencar. Peristiwa peperangan melawan VOC
terus berjalan dan baru berhenti sekitar tahun 1637-1678 M. Perang ini berhenti setelah
terjadi perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Dan perjanjian ini sangat merugikan bagi pihak
Gowa dan Tallo.

Kerajaan Bone

Proses Islamisasi Kerajaan Bone tidak terlepas dari Islamisasi Kerajaan Gowa. Sultan Alauddin (raja
ke-14 Gowa) melakukan penyebaran islam secara damai. Pertama-tama yang beliau lakukan adalah
dakwah islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga.

Islam Masuk di Bone pada masa raja La Tenri Ruwa pada tahun 1611 M, dan dia hanya
berkuasa selama tiga bulan. Karena, Beliau telah menerima islam sebagai agamanya. Padahal
dewan adat Ade Pitue bersama rakyatnya menolak ajaran agama Islam.

Perlu diketahu, bahwa sebelum Sultan Adam Matindore Ri Bantaeng dan La Tenri Ruwa
masuk Islam. Ternyata sudah ada rakyat Bone yang telah berislam lebih duluan. Bahkan,
Raja sebelumnya yaitu We Tenri Tuppu karena mendengar sidendreng masuk agama islam.

Beliau pun tertarik belajar agama Islam dan akhirnya wafat disana. Sehingga, beliau diberi
gelar Mattinroe Ri Sidendren.

Anda mungkin juga menyukai