Anda di halaman 1dari 15

PERANAN DAN EKSISTENSI SEJARAH LOKAL

DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KURIKULUM 2013

Oleh: Drs. Wahdini Purba, M.Pd.

“…..Tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri, Indonesia akan terpecah dan
orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang mengglobal tanpa
tahu siapa diri mereka sebenarnya dan akan ke mana mereka pergi..”1

I. Pengantar
Mengawali tulisan ini sengaja dikutip kalimat bagus dan menarik dari sejarawan kawakan
asal Inggris, Peter Carey2 -- semoga ini menginspirasi kita para guru sejarah -- yang berpuluh-
puluh tahun lamanya meneliti tentang Pangeran Diponegoro yang berkaitan dengan Perang Jawa
(1825-1830). Petikan kalimat di atas sangat penting direnungkan dalam rangka merubah
paradigma berpikir kita terhadap hakikat dan tujuan pembelajaran sejarah dalam Kurikulum
2013. Lebih lanjut, Peter Carey, mengemukakan bahwa: “Adalah tugas genereasi muda untuk
menghindari jangan sampai hal ini terjadi. Adalah tugas generasi lebih tua yang sekarang ada
dalam posisi-posisi kepemimpinan untuk menyediakan sumber daya duna memastikan bahwa
sejarah memiliki terhormat dalam kehidupan bangsa. Dalam zaman reformasi dan pembaruan
nasional saat ini, Indonesia yang sungguh-sungguh beradab adalah sebuah keniscayaan”.
Buku di atas merupakan versi ringkas dari penerbitan mahakarya Peter Carey berjudul The
Power of Prophecity: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java 1785-1855 yang
diterbitkan oleh KITLV Press, Leiden, 2007.3 Betapa tidak, seorang sejarawan asing menulis
disertasi (buku) secara serius dan penuh minat dengan ketebalan kurang lebih 1.200 halaman(?)
1
Dipetik dari kalimat terakhir “Prakata” yang ditulis sejarawan Peter Carey dalam buku terbaru Takdir, Riwayat
Pangeran Diponegoro (1785-1855), diterjemahkan oleh Th. Bambang Murtianto. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2014), hlm. xiv.
2
Peter Carey lahir di Rangoon, Burma (sekarang Myanmar), 30 April 1948. Menempuh pendidikan di
Winchester Collage dan Oxford University, Inggris. Tahun 1969 menempuh pendidikan pasca sarjana di Cornell
University, Amerika Serikat. Di sinilah minat terhadap Sejarah Indonesia mulai tumbuh, khususnya Sejarah Perang
Jawa. Peter Carey pertama kali datang ke Indonesia tahun 1970, dan pernah tinggal selama tiga tahun di Jakarta dan
Yogyakarta (1971-1973 dan 1976-1977). Setelah meraih gelar Ph.D., dengan disertasi tentang Pangeran
Diponegoro, ia menjadi pengajar dan peneliti di Oxford University, Inggris, dan sekarang menjadi YAD Adjunct
Profesor di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) di Universitas Indonesia. Diantara karyanya Seri Perang Jawa
telah diterjemahkan Asal Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh, (Jakarta: Pustaka Azet,
(1985); Orang Jawa & Masyarakat Cina (1755-1825), (Jakarta: Pustaka Azet, 1985); Ekologi Kebudayaan Jawa &
Kitab Kedung Kebo, (Jakarta: Pustaka Azet, 1985).
3
Buku ini diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan
Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, (Jakarta: Kepustakaan Populer, Jakarta, 2012) oleh wartawan dan
sejarawan senior Indonesia, Parakitri T. Simbolon. Karena teramat tebal menurut ukuran penerbitan buku Indonesia,
buku ini kemudian dijadikan 3 jilid.
Upaya serupa, barangkali, hanya bisa ditandingi dengan penulisan biografi Tan Malaka yang
ditulis oleh sejarawan Harry A. Poeze, Verguisd en vergeten; Tan Malaka, de linkse beweging en
de Indonesische Revolutie, 1945-1949. (Dihujat dan Dilupakan; Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan
Revolusi Indonesia, 1945-1949) yang berjumlah 2.000 halaman lebih.4
Di sini sengaja dikemukakan bagaimana besarnya perhatian para sarjana asing dengan
sejarah Indonesia, baik itu sejarah nasional Indonesia maupun sejarah daerah. Barangkali kita
tidak bisa mengerti mengapa seorang Peter Carey manaruh minat begitu besar terhadap Pangeran
Diponegoro dan Perang Jawa yang menggemparkan Negeri Belanda; animo yang sama diberikan
Harry A. Poeze terhadap Tan Malaka, bahkan berinisiatif untuk menelusuri di mana sebenarnya
makam pahlawan nasional5 yang legendaris dan misterius dengan rencana melakukan tes DNA.
Kemudian, kita juga tidak bisa membayangkan bagaimana hasrat Christine Dobbin6 dan Jeffrey
A. Hadler7 menguak tabir gelap gerakan paderi (kebangkitan Islam di Minangkabau) dan

4
Karya ini bukan saja bersifat biografis, melainkan rangkaian dinamika sejarah revolusi Indonesia secara
umum. Meningat ketebalannya buku ini diterjemahkan dan diterbitkan ke bahasa Indonesia atas kerjasama KITLV-
Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia secara bertahap , sebanyak 6 jilid dengan sedikit perubahan judul: Tan
Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid 1: Agustus 1945 - Maret 1946); Tan Malaka, Gerakan Kiri,
dan Revolusi Indonesia (Jilid 2: Maret 1946 – Maret 1947); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia
(Jilid 3: Maret 1947 – Agustus 1948); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid 4: September 1948
– Desember 1949); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid 5: 1950 - 2013, belum terbit); dan
(Jilid 6, diterbitkan terpisah dengan judul Madiun 1948, PKI Bergerak). Mahakarya Harry A. Poeze ini merupakan
kelanjutan dari riset awalnya tentang tokoh revolusioner asal Pandan Gadang, Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota,
Sumatera Barat, yang diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia sebanyak 2 jilid, yakni: pertama, Pergulatan Menuju
Republik 1897-1925 (terbit tahun 1988 oleh Pustaka Utama Grafiti dan dibredel tahun 1989); kedua, Pergulatan
Menuju Republik 1925-1945 (baru diterbitkan tahun 1999).
5
Gelar pahlawan nasional diberikan kepada Tan Malaka di masa pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1963,
karena mengingat jasa, pengabdian, dan perjuangan terhadap kemerdekaan Indonesia dengan Keputusan Presiden
No. 053/TK/Tahun 1963 tertanggal 28 Maret 1963. Pada masa Orde Baru peran dan perjuangan Tan Malaka
diminimalisir – bahkan cenderung dihilangkan – dalam pelajaran sejarah di sekolah. Buku dan karya-.karyanya serta
karya tentang Tan Malaka dibredel, dan dilarang beredar di Indonesia. Selain Tan Malaka, Presiden Soekarno juga
pernah mengabugerahi gelar pahlawan nasional kepada tokoh Islam berhaluan komunis, Alimin Prawirodirdjo,
dengan Keputusan Presiden No. 162 Tahun 1964.
6
Lihat karyanya yang cukup menarik tentang kebangkitan Islam perubahan ekonomi petani di Sumatera Barat
pada abd ke-18 dan 19, Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera tengah 1784-
1847, Jakarta: INIS (1992). Buku ini kemudian diterbitkan ulang oleh Komunitas Bambu tahun 2008 dengan judul
Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. Tulisan Christine Dobbin
lainnya, “Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830”, Indonesia
23 (1977); “Tuanku Imam Bonjol (1772-1864)”, Indonesia 13 (1972); “Islamic Fervour as a Manifestation of
Regional Personality in Colonial Indonesia: The Kamang Area, West Sumatra, 1803-1908.” Archipel 56 (1998):
295-308; “Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the Nineteenth Cenury”, Modern Asian Studies, 8
(1972).
7
Riset mendalam yang dilakukan Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan
Kolonialisme di Minangkabau, (Jakarta: Freedom Institute, 2010), seakan perlu merubah paradigm, pandangan,
serta pemahaman kita tentang Perang Padri dengan personifikasi Tuanku Imam Bonjol di dalamnya; di mana setelah
menyadari yang kemudian menimpa daerah Minangkabau – perang antara kaum adat dan kaum ulama – sementara
pada saat yang sama terjadi perubahan mendasar di Tanah Arab, yakni kalahnya kaum Wahabi di lain pihak,
kemudian merubah pola perjuangan Tuanku Imam Bonjol. “Dalam memoarnya,” demikian tulis Hadler, “keinginan
Tuanku menempur orang Minangkabau sesamanya runtuh ketika dia mengetahui bahwa pengajaran-pengajaran
Wahabi telah tidak berterima lagi. Dengan suatu tindakan keberanian moral yang besar, Tuanku secara terbuka
melepaskan ideologinya, melakukan perbaikan, dan minta maaf atas penderitaan yang ditimbulkan perangnya.” (hal.
perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat. Demikian juga apa dilakukan oleh
sejarawan Audrey Kahin dengan perjuangan rakyat Sumatera Barat di masa revolusi
kemerdekaan 1945-1950;8 bahkan dilanjutkan dengan dinamika politik Sumatera Barat pada
masa pemberontakan daerah (PRRI) akhir tahun 1950-an dan masa Orde Baru (1965-1998).9
Lantas, bagaimana dengan kita? Bagaimana perhatian serta pemahaman kita dengan sejarah
daerah kita sendiri? Mampukah kita kelak mempertahankan dan meneruskan sejarah dan nilai-
nilai budaya luhur Minangkabau kepada generasi berikutnya? Bagaimana dengan kondisi
pembelajaran sejarah di sekolah? Bagaimana dengan kemampuan guru (pengajar) kita di
Sumatera Barat dengan materi sejarah local daerahnya? Bagiamana meningkatkan kemampuan
aspek religious (KI-1), aspek sosial (KI-2), aspek pengetahuan (KI-3), dan aspek keterampilan
(KI-4) sebagaimana yang dituntut dalam Kurikulum 2013? Akankah kelak sejarah dan
kebudayaan kita mampu menerjang derasnya gelombang arus globalisasi sehingga kita
percayakan saja dengan slogan adat kita: “ndak lakang dek paneh, ndak lapuak dek hujan?”

II. “Primadona” dalam Kurikulum 2013


Banyak kontroversi yang muncul dengan pemberlakuan Kurikulum 2013, dan salah
satunya adalah menyangkut Mata Pelajaran Sejarah. Jika dalam Kurikulum 2004 (KBK) yang
dilanjutkan dengan Kurikulum 2006 (KTSP) mata pelajaran sejarah seakan di-marginalkan.
Dalam Kurikulum 2004 (KBK) mata pelajaran sejarah pada Program IPA dihilangkan, sementara
dalam Kurikulum 2006 (KTSP) terjadi perubahan di mana Program IPA cukup hanya 1 Jam
Pelajaran (JP); dan belum lagi akibat cara berpikir yang salah di mana menganggap Program IPA
merupakan program unggulan atau superior di sekolah, sehingga jumlah jam jam Mata Pelajaran

46). Karya menarik Hadler yang lain tentang Minangkabau, lihat “A Historiography of Violence and the Secular
State in Indonesia: Tuanku Imam Bonjol and the Use of History”, Journal of Asian Studies 67, No. 3 (Agustus
2008); “Home, Fatherhood, Succession: Three Generations of Amrullahs in Twentieth-Century Indonesia”.
Indonesia 65 (1998).
8
Perkenalan pertama Audrey Kahin dengan Indonesia adalah karena suaminya, George McTurnan Kahin yang
menulis disertasi tentang Nationalism dan Revolution in Indonesia (1952), dan Audrey lebih memilih Sumatera
Barat sebagai pusat penelitian. Ia bukan saja sering berkunjung dan mengenal secara luas tokoh revolusi dan ilmuan
asal Minangkabau, juga menganggap Sumatera Barat sebagai tanah air keduanya. Diantara karya sejarawan dari
Cornell University ini antara lain: Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat dalam Revolusi Nasional Indonesia
1945-1950 (Padang: Masyarakat Sejarawan Cabang Sumatera Barat (tanpa tahun penerbit); Pergolakan Daerah
pada Awal Kemerdekaan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti (1990); “Perdagangan dan Pajak: Aspek Ekonomi
Sumatera Barat di Masa Revolusi”, dalam Taufik Abdullah (ed.), Denyut Nadi Revolusi Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama berkerja sama dengan Program Studi Asia Tenggara, LIPI, 1997).
9
Simpati yang demikian besar dari pasangan George McTurnan Kahin dan Audrey R. Kahin terhadap tokoh
Masjumi seperti Muhammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, terutama mengenai peristiwa PRRI mendorong
mereka menulis buku Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1997); Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005); kemudian bersama dengan sejarawan Robert Cribb, Audrey Kahin
menerbitkan sebuah Kamus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012). Karya Adrey Kahin yang baru
terbit adalah biografi politik Muhammad Natsir berjudul Islam, Nationalism and Democracy, A Political Biography
Muhammad Natsir, National University of Singapore (2012).
Sejarah tersedia sedikit saja, serta menganggap mata pelajaran Sejarah tidak begitu penting dan
kurang diminati.
Dalam Kurikulum 2013, terdapat 3 (tiga) mata pelajaran yang menjadi “primadona” dan
senantiasa dikawal eksistensi dan perkembangannya oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, dan Sejarah Indonesia. Menurut sejumlah
pakar yang menjadi arsitek Kurikulum 2013, ketiga mata pelajaran di atas diharapkan mampu
menjawab berbagai tantangan krusial dan dilematis generasi mendatang, terutama menghadapi
“Indonesia Emas” Satu Abad Indonesia Merdeka tahun 2025. Pemahaman ini dimaksudkan mata
pelajaran Bahasa Indonesia diharapkan mampu melatih dan memperkuat peserta didik dari segi
“komunikasi”, mata pelajaran Matematika diharapkan memperkuat “daya nalar dan berpikir
kritis-analogis”, dan mata pelajaran Sejarah Indonesia diharapkan membekali peserta didik
“berpikir historis-analitis, mempertebal semangat kebangsaan, dan membekali anak didik nilai-
nilai luhur bangsa Indonesia”. Keprihatinan akan pudar dan hilangnya kepribadian dan jati diri
sebagai bangsa Indonesia tersebut akibat perkebangan zaman yang semakin global, membuat
pemerintah menetapkan empat pilar berbangsa yang harus dipertahankan, yakni: Pancasila, UUD
1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.10
Dalam Kata Pengantar Sejarah Indonesia11 (Buku Siswa), Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Muhammad Nuh, menjelaskan bahwa:
“Pembelajaran Sejarah Indonesia bukan berisi materi pembelajaran yang dirancang hanya untuk
mengasah kompetensi pengetahuan peserta didik. Sejarah Indonesia adalah mata pelajaran yang
membekali peserta didik dengan pengetahuan tentang dimensi ruang-waktu perjalanan sejarah
Indonesia, keterampilan dalam menyajikan pengetahuan yang dikuasainya seca konkret dan
abstrak, serta sikap menghargai jasa para pahlawan yang telah meletakkan pondasi bangunan
Negara Indonesia beserta segala bentuk warisan sejarah, baik benda maupun takbenda. Sehingga
terbentuk pola piker peserta didik yang sadar sejarah.” (hal. iii).

Disebabkan karena mata pelajaran Sejarah Indonesia sifatnya wajib dipelajari oleh semua
siswa – termasuk peserta didik yang belum tentu berminat dengan sejarah – maka pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan regresif, dengan penulisan yang lebih popular. Maksudnya:
melalui pengamatan terhadap kondisi sosial-budaya dan sejumlah warisan sejarah yang bisa
10
Mengenai ini simak artikel dan kolom menarik Goenawan Mohamad, “Tentang Kurikulum 2013”, Majalah
Tempo, 2013. Penjelasan tentang mata pelajaran primadona dalam Kurikulum 2013 saya dengar sendiri paparan
yang dikemukakan oleh para desainer yang merancang Kurikulum 2013, seperti staf ahli Mendikbud Prof. Dr.
Abdullah Alkaff (ahli Matematika dari ITS), Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Musliar Kasim,
M.Sc., Penanggung Jawab Kurikulum 2013, Prof. Dr. S. Hamin Hasan (UPI Bandung), dll. sewaktu diikutsertakan
dalam Tim Penulis Buku Teks Sejarah Indonesia Kelas X di Polimedia Kreatif, Jakarta.
11
Kemendikbud, Sejarah Indonesia, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (2013). Buku ini
dikerjakan oleh Tim Penulis: Restu Gunawan, Sardiman AM., Amurwani Dwi Lestariningsih, Mestika Zed,
Wahdini Purba, Wasino, Agus Mulyana, dengan penyelia dari BNSP Prof Dr. Dadang Supardan. Sebenarnya buku
teka Sejarah Indonesia Kelas X ini hanya dikerjakan oleh Tiga orang Penulis (pasangan suami-isteri Restu Gunawan
[sejarawan dari Kemendikbud], Amurwani Dwi Lestariningsih [sejarawan dari Kementrian Parawisata dan
Kebudayaan] dan saya sendiri dengan pengarah Prof. Dr. Mestika Zed, M.A. [sejaran dari Universitas Negeri
Padang]. Naskah itu kemudian direvisi oleh Dr. Sardiman AM [sejawan dari Universitas Negeri Yogyakarta].
ditemukan sekarang, peserta didik diajak mengarungi garis waktu mundur ke belakang, ke masa
lampau saat terjadinya peristiwa yang melandasi terbentuknya peradaban yang melatarbelakangi
kondisi sosial-budaya dan warisan sejarah tersebut.
Sementara dalam Kurikulum 2013 mata pelajaran Sejarah kembali “berkibar” dan “naik
daun”, sebagaimana yang pernah terjadi dalam Kurikulum 1984, yakni era Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, di mana dikenal mata pelajaran baru, yakni
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Atas dasar pemahaman di atas Sejarah
Indonesia (2 JP) merupakan mata pelajaran wajib dan harus diikuti oleh peserta didik, baik
SMA/MA maupun SMK; sementara Sejarah merupakan mata pelajaran peminatan/lintas minat
(3-4 JP).
Menurut Prof. Hamid Hasan, Pendidikan Sejarah dalam Kurikulum 2013 didasarkan pada
prinsip bahwa pengetahuan masa lalu digunakan untuk mengenal dan memahami kehidupan
masa kini dan membangun kehidupan masa depan. Dalam prinsip pemahaman seperti ini ini
peserta didik diajak untuk menggunakan tiga dimensi waktu sejarah (masa lalu, masa kini, dan
masa yang akan datang) dalam belajar peristiwa sejarah. Artinya, sejarah tidak berhenti pada
masa lalu, melainkan terus berkelanjutan dalam kehidupan masa kini dan pada kehidupan masa
depan. Kehidupan masa kini mewarisi apa yang sudah dihasilkan dari masa lalu.
Pengetahuan masa lampau dibangun atas dasar pemahaman dan analisis terhadap fakta-
fakta sejarah, dikembangkan berdasarkan penerapan hukum kausalitas, perubahan dan
kesinambungan. Fakta sejarah dikumpulkan dari sumber sejarah; sementara untuk mendapatkan
sumber sejarah yang layak dipercaya, informasi yang sahih dari sumber diperlukan kemampuan
melakukan kritik sumber. Proses pembelajaran memberikan pengalaman belajar untuk
memahami dan mampu menggunakan berbagai istilah/konsep sejarah seperti perubahan dan
kesinambungan, interpretasi sejarah, rekonstruksi peristiwa dan cerita sejarah, dan sebagainya.
Keberlanjutan sejarah pada kehidupan masa kini perlu diidentifikasi dari peninggalan
berupa artefak dan fosil, kebiasan-kebiasaan, cara berpikir, sikap hidup, ideologi, sistem
pemerintahan, dan sebagainya. Berbagai aspek kehidupan tersebut ada yang dapat dan perlu
dilanjutkan, dikembangkan bagi kehidupan masa depan, dan tentunya ada juga yang sudah tidak
dapat dipertahankan. Sehingga dalam perspektif pemahaman sepertini ini, menurut Prof. Hamid
Hasan, pembelajaran sejarah dalam Kurikulum 2013 harus mampu “mengubah tujuan dan
pandangan kita” yang selama ini terkungkung pada pemahaman berbagai peristiwa sejarah
menjadi tujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir historis, kemampuan menerapkan
keterampilan historis, mengembangkan nilai-nilai kebangsaan, dan sikap religius tanpa
mengabaikan hafalan tentang fakta penting dan peristiwa penting sejarah. Kemampuan dan sikap
itu dikembangkan sebagai kompetensi yang digunakan untuk belajar berbagai peristiwa sejarah.
Dengan perubahan tujuan ini maka berbagai kemampuan yang seharusnya dimiliki peserta
didik dalam pembelajaran sejarah. Perubahan paradigma ini diharapkan mampu memberikan
kesan dan kenyataan bahwa pendidikan sejarah yang selama ini terfokus pada kemampuan
menghafal fakta dan peristiwa berubah menjadi mata pelajaran yang mampu memberikan
kemampuan, sebagaimana yang dikemukan pakar pendidikan sejarah, Sam Wineburg,
“menghubungkan masa lampau dengan masa kini dan masa yang akan datang.”12
Pelajaran sejarah, menurut Wineburg menyangkut soal memori kolektif (collective
memory), yakni sesuatu yang senantiasa hidup dalam ingatan masyarakat. Memori tersebut susah
untuk dihapus dan dilupakan karena ia tetap ada di dalam buku, internet, atau terbitan-terbitan
ilmiah; sekalipun sebenarnya tampak kabur dan tidak mudah dilihat. Dalam kategori ini terjadi
pertarungan antara lived memory (ingatan yang hidup) dengan learned memory (ingatan yang
diajarkan). Adanya tuntutan-tuntutan masa kini atas masa lalu bertujuan untuk menjembatani
jurang antara masa kini dan masa lalu, karena ingatan kolektif samasekali bukan mengenai masa
lalu itu sendiri. Di sinilah menurut Wineburg, pentingnya kita mencoba memahami bagaimana
kekuatan-kekuatan tersebut untuk membentuk kesadaran sejarah di kalangan peserta didik.13
Dengan penjelasan di atas, tujuan pembelajaran sejarah dalam Kurikulum 2013, menurut
Prof. Hamid Hasan,14 dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri, masyarakat, dan bangsanya (memori
kolektif sebagai bangsa).
b. Mengembangkan rasa kebangsaan, cinta tanah air dan penghargaan terhadap hasil dan prestasi
bangsa.
c. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya konsep waktu ruang, perubahan dan
kesinambungan dalam berpikir kesejarahan.
d. Mengembangkan kemampuan berpikir sejarah (historical thinking), ketrampilan sejarah
(historical skills), dan wawasan terhadap isu sejarah (historical issues), serta menerapkan
kemampuan, ketrampilan dan wawasan tersebut dalam kehidupan masa kini
e. Mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan karakter
diri, masyarakat dan bangsa.
f. Menanamkan sikap berorientasi kepada masa kini dan masa depan.
g. Memahami dan mampu menangani isu-isu kontroversial untuk mengkaji permasalahan yang
terjadi di lingkungan masyarakatnya.
h. Mengembangkan pemahaman internasional dalam menelaah fenomena aktual dan global.

Perlu juga dipahami bahwa prinsip pembelajaran – termasuk tentunya pembejalaran


sejarah – sebagaimana yang dirumuskan para design Kurikulum 2013 terjadi perubahan
paradigma pembelajaran dengan menekankan pada perubahan:
(1) peserta didik diberi tahu menjadi peserta didik mencari tahu;
(2) guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar;

12
Penjelasan menarik bagaimana mengajarkan sejarah di sekolah diuraikan secara panjang lebar Sam Wineburg,
Berpikir Historis, Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (2006).
13
Pada bab penutup, Sam Wineburg, memberi judul “Memahami Sejarah di Millenium Baru”, hal. 344-378.
14
S. Hamin Hasan,” Pendidikan Sejarah dalam Kurikulum 2013: Masalah dan Tantangan,” Makalah yang
disampaikan dalam Workshop Kesejarahan Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Direktorat Sejarah
Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayan di Cipanas, 20 Mei 2014.
(3) pendekatan tekstual menjadi pendekatan proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan
ilmiah;
(4) pembelajaran berbasis konten menjadi pembelajaran berbasis kompetensi;
(5) pembelajaran parsial menjadi pembelajaran terpadu;
(6) pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menjadi pembelajaran dengan jawaban
yang kebenarannya multi dimensi;
(7) pembelajaran verbalisme menjadi keterampilan aplikatif;
(8) peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan
mental (softskills);
(9) pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai
pembelajar sepanjang hayat;
(10) pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso sung
tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan
kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani);
(11) pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat;
(12) pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa,
dan di mana saja adalah kelas;
(13) pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pembelajaran; dan
(14) pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik.

Adapun prosedur analisis pembelajaran dalam Kurikulum 2012 yang mengikuti pola dan
prinsip “pembelajaran saintifik” dapat diilustrasikan dengan diagram berikut ini.

Materi Pokok Penillaian


(Silabus) (Silabus)

Alternatif
Kegiatan Indikator
Pembelajaran:
Lulusan yang :
Materi Sikap, Cerdas,
Mengamati,
Pembelajaran Pengethuan,
Menanya, Kreatif,
Fakta, Konsep, dan
Mencoba, Produktif, dan
Prosedur, dan Mengasosiasi, Keterampilan
metakognitif untuk Bertanggung
dan
Mengomunikasik Penilaian jawab
an

Pembelajaran
(Silabus)
III. Mengajarkan Sejarah Lokal
Definisi Sejarah Lokal, menurut Taufik Abdullah, 15 dengan sederhana dapat dirumuskan
sebagai kisah di kelampauan dari kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada
pada “daerah geografis” yang terbatas. Yang membedakannya dengan “sejarah nasional” hanya
menyangkut “tempat” dan “ruang”; bukan analisis, perspektif, serta metodologi yang digunakan.
Lebih lanjut, Taufik Abdullah, mengemukan bahwa secara garis besarnya corak studi
sejarah lokal yang pernah dilakukan tentang Indonesia dapat dibedakan atas empat corak, yakni:
a. Studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu (studi peristiwa khusus atau apa
yang disebut evenemental l’evenement);
b. Studi yang lebih menekankan pada struktur;
c. Studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu (studi
tematis);
d. Studi sejarah umum, yang menguraikan perkembangan daerah tertentu (propinsi, kota,
kabupaten) dari masa ke masa.16

Orang Minangkabau sepantasnya berbangga karena banyak para ahli sejarah, sosiologi dan
antropologi yang menaruh perhatian mengkaji daerah Sumatera Barat, baik dari dalam maupun
sarjana asing. Selain Audrey Kahin, Christine Dobbin, Jeffrey A. Hadler, sebagaimana yang
dikemukakan pada awal tulisan ini, juga kita jumpai nama-nama B.J.O. Schrieke (tentang
pemberontakan komunis di Silungkang), Joel S. Kahn (perubahan pola kehidupan ekonomis
Minangkabau), Nancy M. Tanner (berbagai macam corak perselisihan atau dispute dan
mekanisme penyelesaian menurut adat Minangkabau), Lyn Thomas (kelangsungan sistem
kekerabatan matrilineal Minangkabau), Elizabet Graves,17 J. Kathirithamby-Wells (persaingan
politik antara penguasa Aceh, Minangkabau, dan kolonialis Inggris-Belanda di pantai Barat
Sumatera Barat), Akira Oki (perkembangan ekonomi pedesaan), J. Maretin (meramalkan
ambruknya masyarakat matrilineal), de Josselin de Jong (sistem politik tradisional di
Minangkabau dan negeri Sembilan), pasangan suami isteri Franz von Benda-Beckmann &
Keebet von Benda-Beckmann18; dan Tsuyoshi Kato19; sementara dari dalam (orang Minang

15
Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press (1990), hlm. 15
16
Taufik Abdullah (1990), hlm. 27
17
Buku Elizabeth E. Graves sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Asal-Usul Elite
Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (2007)
dengan editor ahli Mestika Zed.
18
Karya mereka yang sudah diterjemahkan, yakni Franz von Benda-Beckmann, Properti dan Kesinambungan
Sosial: Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemeliharaan Hubungan-Hubungan Properti Sepanjang Masa di
Minangkabau, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia bekerja sama dengan Perwakilan KITLV-Jakarta,
2000); & Keebet von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan nagari dan Pengadilan
Negeri di Minangkabau, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia bekerja sama dengan Perwakilan KITLV-
Jakarta, 2000).
19
Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
diterjemahkan oleh Gusti Asnan dan Akiko Iwata.
sendiri) terdapat nama Umar Yunus (sastra & masyarakat Minangkabau), Harsja W. Bachtiar
(sosiologi masyarakat Minangkabau), Mochtar Naim (merantau &migrasi), Deliar Noer (gerakan
modernis Islam), Taufik Abdullah (sekolah dan politik), Azyumardi Azra (surau dan jaringan
Islam), Mestika Zed (kepialangan & revolusi), Gusti Asnan (dunia maritime & peradaban pesisir
Sumatera), Nursyrwan Effendi (pasar dan kebudayaan), dll.20
Tampilnya para sejarawan, sosiolog dan antropolog asal Sumatera Barat di pentas
nasional telah turut mewarnai dan berkontribusi dalam penulisan sejarah nasional versi baru
Indonesia Dalam Arus Sejarah (2012) sebanyak 8 jilid dan 1 jilid Faktaneka dengan rata
ketebalan antara 400-600 halaman, dengan Editor Umum Prof. Dr. Taufik Abdullah (sejarawan
LIPI asal Sumatera Barat dan Prof. Dr. Adrian B. Lapian). Dari 8 jilid jumlah keseluruhan, 2
jilid dieditor oleh sejarawan asal Sumatera Barat, yakni Prof. Dr. Azyumardi Azra (Jilid 3,
Kedatangan dan Peradaban Islam) bersama dengan Dr. Jajat Burhanuddin, dan Prof. Dr.
Mestika Zed (Jilid 6, Perang dan Revolusi) bersama Dr. Mukhlis PaEni. Belum lagi menyangkut
kontribusi dan kedalaman materi kajian, Taufik Abdullah, Mestika Zed, dan Gusti Asnan,
dengan original kajiannya telah menguak kedalaman materi kupasan sejarah yang selama ini
belum ditemukan penerbitan karya sejarah sebelumnya. Dalam artian, bagaimana “trio-
sejarawan” asal Minang ini (Taufik Abdullah, Mestika Zed, dan Gusti Asnan) mengkaji dan
mengupas peristiwa sejarah (lokal) Sumatera Barat-Minangkabau dalam perspektif nasional. Jika
narasi sejarah persentuhan bangsa asing terhadap Sumatera yang kita kenal selama ini adalah
melalui Pantai Timur Sumatera (Selat Melaka), Prof. Gusti Asnan justru mengemukakan bahwa
peranan Pantai Barat Sumatera juga tidak kalah pentingnya, serta menawarkan ikon sejarah baru,
“peradaban maritim” di Indonesia. “Pemberontakan Anti-Belasting di Sumatera Barat”, yang
ditulis Taufik Abdullah & Gusti Asnan, juga mewakili narasi sejarah pemberontakan rakyat
terhadap wajib bayar pajak yang diberlakukan pemerintah kolonial Belanda akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Demikian halnya wajah revolusi Indonesia dalam berbagai aspek, sebagaimana
yang digambarkan oleh Mestika Zed (sebagai kapasitas editor Jilid 6), secara tidak langsung
banyak melukiskan wajah revolusi di Sumatera Barat.
Dalam sebuah artikel sub bab yang berjudul: “Dari Hasrat ‘Kemajuan’ Ke Pembentukan
Bangsa”, sejarawan Taufik Abdullah21, memaparkan dengan cukup menarik bagaimana
gambaran dan kondisi social masyarakat Sumatera Barat yang berhasrat menuju ke arah
“kemajuan” akibat tekanan dari penguasa kolonial Belanda awal abad ke-20. Perubahan orientasi
20
Mengenai topik ini lihat tulisan Taufik Abdullah, “Studi Tentang Minangkabau,” dalam A.A. Navis (ed.).
Dialektika Minangkabau dalam Kemelut Sosial dan Politik, (Padang: Genta Singgalang Press, 1983). Tampilnya
para ahli sejarah asal Minangkabau dengan kapasistas dan kemampuan intelektualnya secara nasional turut serta
mewarnai penulisan sejarah Nasional Indonesia yang baru, Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (Editor Umum),
Indonesia Dalam Arus Sejarah [berjumlah 9 jilid], (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012). Karya akbar bersifat
ensiklopedis ini dimaksudkan sebagai pengganti buku babon Sejarah Nasional Indonesia (berjumlah 6 jilid) hasil
editor Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Buku babon ini sudah dilakukan Edisi
Pemutakhiran yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 2009 dengan editor R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa.
21
Taufik Abdullah & A.B. Lapian (Editor Umum), Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid 5, Masa Pergerakan
Kebangsaan, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), hlm. 63-97
politik kolonial setelah diberlakukannya Politik Etis, tumbuhnya sekolah-sekolah yang kelak
melahirkan kaum elit lokal (seterusnya elit nasional), tumbuh berkembangnya pers, lahirnya
penulis-sastrawan yang berorientasi ke arah “kemajuan bangsa”, dan perkembangan lain di
Indonesia, digambarkan oleh Taufik Abdullah secara memukau yang mengambil fakta-fakta
sejarah lokal Sumatera Barat dalam perspektif nasional (Indonesia). Tak dapat dipungkiri,
misalnya, bagaimana dengan narasi yang cukup menarik dan analisa yang tajam, Taufik
Abdullah, mengupas perubahan sosial dan struktur masyarakat Indonesia di era peralihan – dari
abad ke-19 ke abad ke-20 atau dari perjuangan bersifat lokal-kedaerahan (fisik/perang) ke
perjuangan bersifat nasional (intelektual/organisasi) – dengan mengangkat sosok tokoh pers Dt.
Sutan Maharadja sebagai simbol kultural kebangkitan masyarakat Minangkabau menuju era
kemajuan. Dt. Maharadja merupakan tokoh elit tradisional dan tokoh pers yang menjadi
penengah dari konflik sosial antara kaum adat dan kaum agama pasca perang paderi di
Minangkabau. Di sini Taufik Abdullah seakan menyodorkan bahwa tokoh elit tradisional
Minangkabau merupakan representasi kebangkitan elit-elit tradisional daerah-daerah lain di
Indonesia menuju terbentuknya atau tumbuhnya kesadaran nasional di Indonesia.
Narasi di atas menggambarkan betapa kaya dan berlimpahnya materi “sejarah lokal” –
sejarah daerah Sumatera Barat/Minangkabau – bisa dimanfaatkan dalam pembelajaran sejarah.
Realitas ini tentu saja bukan bermaksud “membesar-besarkan” peristiwa sejarah lokal (Sumatera
Barat) dengan peran aktif tokoh pemimpin asal Minangkabau; dan segi lain mengurangi atau
menihilkan peran etnis lain di pentas nasional. Misalnya, Kerajaan Melayu-Minangkabau yang
berkedudukan di Pagaruyung (pedalaman Sumatera Barat) memiliki posisi dan kedudukan
terhormat di beberapa kerajaan-kerajaan kecil di Sumatera. Sebuah kerajaan Batak di Silindung,
misalnya, sangat menghormati kerajaan Minangkabau dan menganggap Sultan sebagai
penguasan negeri itu. Bahkan dalam hal kekuasaan mereka mengganggap lebih tinggi dari kepala
suku Batak, di mana perintah sesederhana apapun dari Sultan akan segera dilaksanakan dengan
penuh kepatuhan.22
Sir Thomas Stamford Raffles, seorang pegawai Inggris dari Bengkulu, pada bulan Juli
1818 secara sengaja mengunjungi pedalaman Minangkabau, menulis: “Seluruh negeri, dari
Pageruyong [maksudnya: Pagarruyung, pen], sejauh mata dapat memandang dengan jelas,
merupakan pemandangan budi daya yang berkesinambungan, disela dengan kota dan desa tak
terhingga banyaknya, dinaungi oleh pepohonan kelapa dan bebuahan lainnya …. Di Tanah Datar
bagian yang subur terdapat di bagian barat lembah, di kaki Gunung Merapi di sekitar Sungai
Tarab dan Gurun, yang sebagian subur berkat adanya tanah vulkanik dan sungai-sungai untuk
irigasi. Di desa-desa semacam itu “kaya, makmur dan dibangun dengan baik. Di bagian timur

22
Demikian pengakuan dan catatan dua orang pengelana asing yang mengunjungi Tanah Batak, Richard Burton
dan Nathaniel Ward, sebagaimana yang terdapat nukilan buku Anthony Reid (ed.), Sumatera Tempo Doeloe: Dari
Marco Polo sampai Tan Malaka. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 212-231.
lembah, tempat yang paling subur terletak di lembah-lembah samping Andalas, menjorok ke arah
timur dan mendapat manfaat karena berdekatan dengan Gunung Marapalam.”23
Seyogianya para guru sejarah kita memahami fakta sejarah [lokal] di atas sehingga dalam
pembelajaran sejarah (baik Sejarah Indonesia [mata pelajaran Wajib) maupun Sejarah [mata
pelajaran Peminatan dan Lintas Minat], sehingga pembelajaran sejarah mampu memberikan
“kebanggan historis” sekaligus “kepuasan kultural” bagi peserta didik. Kebanggan historis dan
kepuasan kultural, tentunya diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran sejarah di kalangan
generasi muda kita di masa mendatang.
Banyak hal dalam peristiwa sejarah lokal Sumatera Barat yang bisa diangkat dan mampu
melahirkan “kebanggan historis” dan “kepuasan kultural” di kalangan peserta didik. Kita
tentunya sama-sama memahami bagaimana peran yang disumbangkan para tokoh elit nasional
asal Minangkabau terhadap kebangkitan dan berdirinya Republik Indonesia. Sekedar menyebut
sejumlah tokoh: Muhammad Hatta (wakil presiden & perdana menteri), Sutan Sjahrir (perdana
menteri), Tan Malaka (tokoh revolusioner), H. Agus Salim (diplomat dan menteri luarnegeri),
Muhammad Yamin (sasterawan, sejarawan, pencetus Sumpah Pemuda dan pernah menjabat
sebagai menteri), Muhammad Natsir (tokoh Islam, dan pernah menjabat perdana menteri, tokoh
yang berperan dalam kembalinya negeri ini ke NKRI), Ahmad Khatib (tokoh gerakan modernis
Islam dan pernah menjadi Imam Besar ‘mazhaf Syafi’I’ di Mekkah; sederet tokoh pendidik,
seperti: Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Bunya Hamka), Syaikh Abdullah Ahmad, Syaikh
Ibrahim Musa, Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Rahmah El-
Yunisiah. Posisi mereka bukan saja sekedar tampil di panggung perjuangan, bahkan banyak
diantara mereka menjadi “posisi kunci” yang menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Memahami fakta sejarah tersebut tentunya tidak terlalu berlebihan apa yang dikemukakan
oleh seorang komentator asal Amerika, W.A. Hanna dalam sebuah artikelnya “The Role of the
Minangkabau in Contemporary Indonesia” (1959) bahwa:
“Daerah Minangkabau, tempat tinggal kira-kira 2,5 persen seluruh penduduk Indonesia…..., menurut
perkiraan konservatif telah menghasilkan 25 sampai 30 persen dari seluruh pemimpin intelektual
utama Indonesia abad ini. Sebuah desa kecil di Minangkabau sendiri, Kota Gedang, menghasilkan
mantan Perdana Menteri Syahrir, dan mantan Menteri Luarnegeri Haji Agus Salim (1884-1954), dan
sedikitnya selusin tokoh-tokoh terkenal dalam pentas nasional. Kota Bukittinggi di dekatnya
menghasilkan, di antara banyak lainnya, mantan Wakil Presiden Hatta, dan mantan Perdana Menteri
Mohammad Natsir. Dari daerah sekitarnya muncul prosentase tinggi, kalau tidak mayoritas mutlak,
dokter dan hakim terkemuka di Indonesia – golongan professional yang menjadi pemimpin
revolusioner nasional….. Bahkan tokoh Komunis bangsa ini yang terkenal, Tan Malaka (w. 1949?),
adalah seorang putra Minangkabau….” 24

23
Christine Dobbin. Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera tengah 1784-
1847, (Jakarta: INIS, 1992), hal. 14 dan 24-25.
24
Lihat petikan artikel ini yang sengaja dikutip oleh Christine Dobbin dalam buku Kebangkitan Islam Dalam
Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera tengah 1784-1847 (Jakarta: INIS, 1992), hal.230-231.
Sejarawan Audrey Kahin menyebutkan bahwa Sumatera Barat merupakan “garda depan
revolusi” (Kahin, ttp. hal. 88-89) atau “pos terdepan republik” (Kahin, 1990: 150-179),25
terutama setelah Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948), di mana pusat pemerintahan RI
kemudian dipindahkan ke Bukittinggi. Roda pemerintahan Republik kemudian dijalankan oleh
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Mr. Sjafruddin
Prawiranegara bersama tokoh pemimpin asal Sumatera.26 Begitu besarnya jasa dan “pertaruhan
sejarah” yang diemban daerah ini dan para elit politik asal Sumatera Barat kemudian mendorong
pemerintah, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudono, menetapkan tanggal 19 Desember
sebagai hari besar nasional sebagai “Hari Bela Negara” yang diperingati setiap tahunnya.
Sekedar untuk diketahui bahwa “Hari Bela Negara” merupakan satu-satunya Hari Besar
Nasional yang mengambil event dan peristiwa sejarah di luar Pulau Jawa (?)

IV. Bahaya Regio-centrisme


Tujuan dan fungsi pembelajaran sejarah bukan sekedar mengungkap “kegemilangan
sejarah” masa silam dan kemudian “meratapi masa suram” sejarah masa kini; melainkan
bagaimana mengambil pelajaran dan hikmah dari semua perjalanan sejarah tersebut sehingga
menimbulkan kearifan sejarah menapaki perjalanan sejarah di masa mendatang. Menyikap
realitas tersebut, dalam mengajarkan sejarah lokal, tentunya hal penting yang perlu dipahami apa
yang diperingatkan sejarawan Taufik Abdullah – seraya mengulang kembali kritik yang
dikemukakan oleh Gerard Johannes Resink (pakar sejarah kelahiran Yogyakarta (1911-1997), --
yakni suasana pemikiran kesejarahan yang tumbuh pasca kemerdekaan dari Netherland-centris
ke Indonesia-centris tergelincir pada apa yang disebut dengan regio-centrisme; yakni pemikiran
sejarah yang bertolak dari kesadaran lokal (kedaerahan).27 Hal ini tentu saja kelak akan
menimbulkan perasaan ethnocentrisme yang berdampak kepada sikap regionalisme sebagaimana
yang terjadi di era 1950-an.
25
Lihat artikel menarik Audrey Kahin, “Sumatera Barat: Pos Terdepan Republik” dalam Audrey Kahin (ed.),
Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hal. 150-179. Hal menarik
apa yang dikemukan Audrey Kahin adalah bahwa elit pemimpin Sumatera Barat, sekalipun memiliki kebebasan
yang demikian luas, namun tetap mampu memberikan loyalitas yang tinggi terhadap keputusan-keputusan
pemerintah pusat; sekalipun dalam keadaan-keadaan tertentu sering mengecewakan dan menyakitkan. Bahkan,
menurutnya, Sumatera Barat di era revolusi (1945-1950) dan pasca revolusi (1950-1965), “Sumatera Barat telah
mempertaruhkan perjuangan lokal dalam konteks nasional dan akhirnya berhasil; suatu perjuangan yang lebih
mengandalkan kekuatan-kekuatan mereka ketimbang uluran tangan dari pemerintah pusat dan menyadari bahwa
perjuangan mereka merupakan bagian dari perjuangan nasional.” (tentang ini lihat bukunya Perjuangan
Kemerdekaan, Sumatera Barat dalam Revolusi Nasional Indonesia 1945-1950 (Padang: Masyarakat Sejarawan
Cabang Sumatera Barat (tanpa tahun penerbit); dan buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan
Politik Indonesia 1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
26
Kajian konprehensif mengenai PDRI lihat Mestika Zed, Somewhere in The Jungle: Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997). Lihat
juga Mestika Zed dan Muklis PaEni (Editor Jilid 6), Perang dan Revolusi dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian
(Editor Umum), Indonesia Dalam Arus Sejarah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), hal. 319-567.
27
Taufik Abdullah & A.B. Lapian (Editor Umum), Indonesia dalam Arus Sejarah. “Kata Pengantar” Taufik
Abdullah ini dimuat dalam setiap Jilid.
Demikian maka yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan sejarah lokal dalam
pembelajaran sejarah Kurikulum 2013 – tentunya memperhatikan langkah-langkah
pembelajaran saintifik, yang terdiri atas: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi,
menganalisis, dan mengomunikasikan -- peserta didik diarahkan kepada pada prinsip-prinsip
sebagai berikut28:
a. Bagaimana mengembang cara berpikir sejarah sebagai kemampuan/kompetensi yang digunakan
peserta didik dalam mempelajari peristiwa sejarah lokal atau daerahnya sendiri.
b. Pengenalan diri dan masyarakat dikembangkan melalui kajian terhadap peristiwa yang terjadi di
lokal (desa, kecamatan, kota/kabupaten/ propinsi) dalam satu poros waktu dan periode.
Pembelajaran ini diharapkan memperkaya kajian peristiwa di tingkat nasional dengan apa
peristiwa di wilayah terdekatnya melalui kajian terhadap sumber tertulis, artefak, tradisi, nara
sumber (mereka yang mempelajari sejarah lokalnya), dan buku-buku yang pernah tertulis dan
tersedia.
c. Peristiwa sejarah lokal hendaknya dipelajari dalam kaitannya dengan peristiwa sejarah nasional.
Peristiwa yang terjadi di suatu lokal tidak dipelajari sebagai sesuatu yang utuh dan terpisah tetapi
sebagai suatu bagian dan terkait dengan peristiwa sejarah nasional. Misalkan, pada waktu
membahas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia maka peserta didik diajak untuk mempelajari apa
yang terjadi di daerahnya pada waktu itu sebagai tanggapan atas proklamasi di Jakarta, siapa para
pelaku sejarah di lokal tersebut, apa yang mereka lakukan, dan bagaimana dampaknya, dan
sebagainya.
d. Prinsip yang sama digunakan juga untuk mempelajari para tokoh sejarah di daerah. Mereka harus
mengenal tokoh di lingkungan lokalnya baik yang diabadikan dalam nama jalan. Tokoh lokal
untuk suatu periode tertentu dipelajari bersamaan dengan mempelajari tokoh nasional dan peserta
didik diajak untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dalam pemikiran dan tindakan di
antara tokoh-tokoh tersebut, hubungan (komunikasi) antar tokoh-tokoh tersebut.
e. Pembelajaran sejarah lokal dapat juga dilakukan melalui pembelajaran proyek dimana sejak awal
semester peritiwa-peritiwa sejarah yang dipelajari dalam semester tersebut dibagi sebagai proyek
yang harus dikerjakan peserta didik atau sekelompok peserta didik dalam setengah atau satu
semester. Pertemuan mingguan digunakan untuk membahas kemajuan dan kesulitan peserta didik
dalam melaksanakan proyeknya. Pembelajaran proyek dapat dilakukan ketika peserta didik sudah
memiliki keterampilan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah
informasi/merekonstruksi, dan menuis cerita sejarah.
f. Model pembelajaran proyek dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan regresif (waktu
mundur dari masa sekarang ke masa lalu) dan juga progresif (waktu maju dari masa lalu ke
sekarang) untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai suatu suatu masalah-
masalah tertentu di masa kini.

Masyarakat Minangkabau terkenal dengan filosofi: “adaik basandi sara’, sara’ basandi
kitabullah”, dan sendi ini harus mutlak dijadikan fondasi dan landasan dalam pembangunan
pendidikan agar dapat menangkal segala bentuk perubahan yang meruntuhkan nilai-nilai budaya
yang kita miliki. Dalam konteks ini barangkali sangat tepat kita kutip pendapat Prof. Dr.
Winarno Surakhmad, M.Sc. Ed. yang mengatakan: “Pendidikan harus mampu mengambil
hikmah masa lalu yang memperkaya hari ini. Pendidikan hari ini harus mampu mengembangkan
segala potensi untuk generasi sekarang, dan tetap memungkinkan genearsi berikut untuk lebih
28
Uraian ini diadopsi dan dikembangkan dari prinsip-prinsip pembelajaran saintifik mata pelajaran sejarah dalam
Kurikulum 2013 yang dikeluarkan oleh Kemendikbud.
lanjut membangun masa depan mereka.” Pendapat di atas kalau kita padankan pula dengan
pernyataan bernas dari filosof Jurgen Habermas, yang menegaskan bahwa: “Sang sekarang yang
dari sudut pandang cakrawala zaman baru memahami dirinya sebagai aktualitas dari zaman
yang paling baru, harus menuntaskan pemutusan-hubungan yang dibuatnya dengan masa
lampau, sebagai pembaharuan yang berkelanjutan.” Di sini Habermas seakan menyangkal
kesinambungan kebudayaan dalam hidup manusia, padahal kita mestinya mengerti bahwa “sang
sekarang” itu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi melekat dengan sejarah yang
berproses secara dialektis (perjalanan yang tiada ujung). Persoalannya adalah , “sang sejarah”
tidak hanya melibatkan dimensi temporal (waktu), tetapi juga menyangkut spatial (ruang atau
tempat). Di sinilah terjadinya paradoks sejarah hidup manusia, sebagaimana yang dilansir Alvin
Toffler (kejutan budaya), John Naisbitt (paradox global), Kenichi Ohmae (dinia tanpa batas), dan
Thomas L. Friedman (dunia semakin datar dan sempit), dimana “sang sejarah” tidak muncul
secara bersamaan.
Fakta sejarah telah membuktikan bagaimana masyarakat Minang pada abad ke-19 dan
awal abad ke-20 telah memanfaatkan kebijakan yang ditempuh Belanda dalam memberikan
peluang menikmati pendidikan, sekalipun sebenarnya tujuan awalnya adalah demi kepentingan
kolonial. Elizabeth E. Graves29 menggambarkan dengan bagaimana cikal bakal prestasi orang
Minangkabau terletak pada cara mereka memberikan tanggapan terhadap kehadiran kekuasaan
kolonial Belanda. Ketika kesempatan memperoleh pendidikan yang diprioritaskan untuk
keluarga kaum elit lokal kurang diminati, akhirnya kesempatan yang kosong segera diisi oleh
para keluarga biasa. Kelak di kemudian hari, mereka inilah yang terjun ke dunia pergerakan
(perjuangan kemerdekaan).
Graves menegaskan lebih lanjut alasan-alasan mengapa orang Minangkabau bisa maju di
bidang pendidikan haruslah dicarikan dalam masyarakat tradisional. Kasus ini menunjukkan
betapa prakarsa setempat, minat dan sebagian didukung oleh sistem sosialnya, telah memainkan
peran yang demikian penting dalam menentukan bagaimana masyarakat Minangkabau
menanggapi keadaan yang sedang berubah. Dalam akhir kajiannya, Graves menulis: “Sebagai
kelompok masyarakat yang kecil dan lemah, mereka tidak hanya berhasil menghindar agar tidak
ditelan oleh kelompok yang lebih kuat dan berkuasa, tetapi mereka juga mampu memanfaatkan
kekuasaan penjajah untuk kekuasaan si terjajah..... Ketika rezim Belanda mulai goyah dan
munculnya kesempatan baru, orang Minangkabau yang pragmatik ini menjadi orang pertama
meloncat meninggalkan kapal kolonial yang tenggelam.”

V. Penutup

29
Elizabeth. E. Graves. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad
XI/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
Dalam bagian akhir makalah ini saya ingin mengajak kita semua merenungkan kembali
dua peryataan yang dikutip pada bagian awal dan akhir tulisan ini. Di awal. Peter Carey
menegaskan: “Tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri,” tulis Peter Carey,
“Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran
dunia yang mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya dan akan ke mana mereka
pergi.. Adalah tugas genereasi muda untuk menghindari jangan sampai hal ini terjadi. Adalah
tugas generasi lebih tua yang sekarang ada dalam posisi-posisi kepemimpinan untuk
menyediakan sumber daya duna memastikan bahwa sejarah memiliki terhormat dalam
kehidupan bangsa. Dalam zaman reformasi dan pembaruan nasional saat ini, Indonesia yang
sungguh-sungguh beradab adalah sebuah keniscayaan”.
Kemudian, dalam konteks pembelajaran sejarah lokal, kita simak pula pendapat pakar
pendidikan, Winarno Surakhmad, bahwa dalam membangun pendidikan seyogianya “mampu
mengambil hikmah masa lalu yang memperkaya hari ini. Pendidikan hari ini harus mampu
mengembangkan segala potensi untuk generasi sekarang, dan tetap memungkinkan generasi
berikut untuk lebih lanjut membangun masa depan mereka.”
Disinilah kita harapkan bagaimana kita masyarakat Sumatera Barat yang pernah dikenal
dengan “gerakan seribu” nya tetap menjalin hubungan kerja sama saling percaya (trust),
memupuk dan mempertahankan nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini kita pegang teguh.
Dengan jalinan kebersamaan itu dapat dipastikan kita kembali bangkit dari keterpurukan dan
ketertinggalan selama ini, kemudian maju melangkah menuju masyarakat yang berperadaban
yang kita dambakan bersama. Kelemahan kita selama ini dalam mengembangkan pendidikan
adalah tidak jelasnya filosofi dan politik pendidikan kita sehingga arah pendidikan juga tidak
jelas; hanya sekedar kepentingan-kepentingan sesaat bersifat semu “menghadapi ujian nasional”.
Performans seperti sangat berbahaya, dan kenyataan ini sangat berbeda dengan sistem
pesekolahan kita di masa silam yang melahirkan tokoh-tokoh elit pemimpin nasional. ***

Kordang Damai, 22 Juli 2014

Anda mungkin juga menyukai