Amri Marzali
(Universitas Indonesia)
Abstrak
This article is dedicated to the late Prof. Koentjaraningrat. It attempts to trace
the history and the source of a concept and method used by Koentjaraningrat in a
research and many of his speeches in the period of 1960-70s. The concept is
called‘orientasi nilai-budaya’.The author finds that the concept was borrowed from
the concept ‘value orientation’ used by Florence Kluckhohn and Fred Strodbeck,
which was printed in their book, Variations in Value Orientation (1961). The
concept ‘value orientation’, was originally stems from the concept ‘value’, which
was once developed by Clyde Kluckhohn, the husband of Florence Kluckhohn, at
Harvard University USA. This explanation, according to the author, is important for
the student of anthropology in Indonesia. In the final of the article, the author
attempts to apply the concept to the socio-cultural changes in contemporary
Indonesia, particularly among the members of Islamic community.
Pengantar
Konsep ‘nilai-budaya’ atau ‘orientasi nilai-budaya’ telah menjadi
beken di kalangan ahli ilmu-ilmu sosial di Indonesia semenjak
diperkenalkan oleh Prof. Koentjaraningrat, pada akhir dasawarsa
1960-an.1 Koentjaraningrat sendiri meminjam konsep di atas, beserta
metodologinya yang khas, dari konsep dan metodologi value-
orientation yang dipaparkan oleh Florence R. Kluckhohn dan F.L.
Strodtbeck dalam buku mereka yang berjudul Variations in Value
Orientation (1961). (Untuk selanjutnya kedua pengarang ini,
sepanjang berhubungan dengan buku di atas, kita sebut dengan
1
Lihatlah buku-buku beliau antara lain, Kerangka Untuk Men eliti Faktor-faktor
Sosial-Budaya Dalam Pembangunan Ekonomi (Bhratara 1969), Rintangan-rintangan
Mental Dalam Pemabangunan Ekonomi di Indonesia (Bhratara 1969), dan
Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Gramedia 1975).
singkatan K & S).
Sebenarnya konsep value orientationberasal dari konsep value,
yaitu sebuah konsep pokok dalam konteks theory of action.
Sebagaimana dipahami umum, theory of action ini dikembangkan
oleh sarjana-sarjana besar ilmu sosial Amerika (sosiologi, antropologi,
dan psikologi) yang bermarkas di Harvard University, pada dasawarsa
1940-1960. Para pelopor dari theory of action ini antara lain adalah
Talcott Parsons, Edward Shils, Gordon Allport, Henry Murray, dan
Clyde Kluckhohn2. Sementara itu ahli yang terutama mendalami
pengembangan konsep value ini adalah almarhum Clyde Kluckhohn,
seorang pakar antropologi, suami dari Florence R. Kluckhohn.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji kembali sejarah
perkembangan konsep ‘orientasi nilai-budaya’ Koentj araningrat, yang
berasal dari konsep value-orientation yang diuraikan dalam buku
karangan K & S, dan yang seterusnya bersumber dari pemikiran C.
Kluckhohn tentang value. Dengan cara ini diharapkan pembaca akan
dapat memahami konsep ini secara kontekstual dan tepat guna.
Konsep value
Karena sumber awal dari konsep ‘orientasi nilai-budaya’ adalah
konsep value dari C. Kluckhohn, maka untuk mendalami pengertian
konsep ‘orientasi nilai-budaya’ tersebut kita harus mengkaji dulu apa
yang dimaksudkan dengan value oleh C. Kluckhohn. Setelah itu
barulah kita meningkat membicarakan konsep value orienta¬tion dari
K & S.
Tentang konsep value, dikatakan oleh Clyde Kluckhohn dkk.
sebagai berikut:
A value is a conception, explicit or implicit, dis¬tinctive of an
individual or characteristic of a group, of the desirable which
influences the selection from available modes, means, and ends of
action (Parsons and Shills 1965:395).
(Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, yang
khas milik seseorang individu atau suatu kelompok, tentang yang
seharusnya diinginkan yang mempengaruhi pilihan yang tersedia dari
bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan)
2 Silahkan lihat a.l. buku John Gillin (ed.), For A Science of
Social Man, New York: Macmillan Company, 1958 (1954) dan buku
Talcott Parsons & Edward Shils (eds), Toward A General Theory of
Action, New York: Harper & Row, 1965 (1951).
Dari definisi di atas, yang perlu diperhatikan adalah kalimat
kuncinya, bahwa value, atau ‘nilai’ dalam bahasa Indonesia, adalah
‘konsepsi tentang hal yang seharusnya diinginkan’. Di sini perlu
diingatkan bahwa ‘hal yang seharusnya diinginkan’ adalah berbeda
dari ‘hal yang diinginkan’. Kedua hal itu jangan dikelirukan. Sebagai
konsepsi, nilai adalah abstrak, sesuatu yang dibangun dan berada di
dalam pikiran atau budi, tidak dapat diraba dan dilihat secara langsung
dengan pancaindera. Nilai hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan
dari ucapan, perbuatan dan materi yang dibuat manusia. Ucapan,
perbuatan dan materi adalah manifestasi dari nilai.
Untuk memperoleh nilai yang terkandung dalam suatu ucapan
atau suatu perbuatan, seseorang harus melakukan penafsiran dan
penarikan kesimpulan (inferensi). Misalnya, ucapan ‘orang harus
menghormati orang tua’ bukanlah sebuah nilai, tapi manifestasi dari
suatu nilai yang diungkapan dalam kata-kata. Contoh lain, perbuatan
‘membungkuk ketika berjalan di depan orang tua’ bukanlah sebuah
nilai, tapi menifestasi dari suatu nilai yang diungkapkan dalam bentuk
perilaku. ‘Sebuah keris yang indah dan bertuah’ bukanlah nilai
kultural, tapi manifestasi dari suatu nilai yang diwujudkan dalam
bentuk materi. Tugas dari seorang peneliti adalah mengorek, atau
mencari, nilai-nilai yang dihargai oleh suatu masyarakat melalui
ucapan, perilaku dan hasil kelakuan anggota masyarakat tersebut.
Jadi, untuk menangkap nilai yang hidup dalam suatu masyarakat,
seorang peneliti tidak cukup hanya mengamati dan mencatat ucapan,
perbuatan, atau materi yang dihasilkan oleh anggota masyarakat
tersebut, tapi dia harus pandai mengorek dan menemukan konsepsi
yang tersembunyi di bawah permukaan ucapan, perbuatan, dan materi
tersebut.
Robert Bellah, dalam bukunya Tokugawa Religion (1957/1970),
mengumpamakan ucapan,
perbuatan, dan materi tersebut sebagai the husk (kulit luar), atau
sesuatu yang nyata, yang terlihat, dan yang berada di permukaan.
Sedangkan nilai yang tersembunyi di bawah kulit tersebut disebutnya
sebagai the kernel (inti).
Tentang sebuah agama dikatakan oleh Bellah demikian:
In order to understand a people and their reli¬gion we need to
know more than the formal creeds and doctrines to which they
subscribe and in which they are enrolled. These are important facts but
they tell us only about the husk of a religion. We must deal with the
husk before we can come to the kernel, but it is the kernel if such we
can call the inner meaning of a religion in the personalities of
individuals, which is re¬ally important for our understanding, though
always difficult to grasp. Once we can grasp even imperfectly the
place of a religion has in the thoughts, feelings, and aspirations of
individu¬als, then we can begin to see the way their reli¬gious
commitment shapes and influences the whole of their lives, and how
other parts of their lives in turn affect their religion (garis bawah oleh
AMZ).
(Dalam rangka memahami sebuah masyarakat dan agama mereka,
kita perlu mengetahui tidak hanya sekedar pernyataan kepercayaan
dan doktrin yang dianut dan dijalankan oleh penganutnya. Pernyataan
dan doktrin tersebut memang fakta-fakta penting, tapi mereka hanya
mengungkapkan kulit luar dari sebuah agama. Kita memang harus
mempelajari kulit luar sebelum kita masuk mencapai inti, namun
yang inti inilah yang merupakan makna utama dari sebuah agama
yang terletak di dalam kepribadian penganutnya, yang sangat penting
bagi pemahaman kita, meskipun hal ini selalu sukar untuk ditangkap.
Begitu kita dapat menangkap tempat dari sebuah agama dalam
pemikiran, perasaan, dan aspirasi penganutnya, barulah setelah itu kita
dapat mulai melihat bagaimana komitmen keagamaan mereka
membentuk dan mempengaruhi keseluruhan kehidupan mereka, dan
bagaimana aspek-aspek lain dari kehidupan mereka, yang pada
gilirannya, mempengaruhi agama mereka).
Metode penyimpulan dan penafsiran dalam kajian tentang nilai
seperti di atas disebut sebagai metode verstehen, lawannya adalah
metode erklaren. Dengan demikian, kajian tentang nilai memerlukan
tenaga peneliti yang benar-benar
mempunyai kemampuan, baik dalam penguasaan
konsep maupun dalam ketrampilan metodologis.
Suatu nilai mencakup satu kode (tanda-tanda yang mengandung
makna), dan satu standard (pengukuran, penilaian) yang cukup mantap
dalam jangka waktu tertentu, yang berfungsi dalam
mengorganisasikan atau mengatur satu sistem tindakan. Karena nilai
mengandung pengertian standard, dengan demikian nilai
menempatkan suatu hal, suatu tindakan, suatu ucapan, cara bertindak,
atau tujuan dari tindakan dalam satu kontinuum ‘diterima-ditolak’.
Nilailah yang menentukan tempat dari sebuah tindakan, ucapan, dan
tujuan tindakan; apakah ditolak atau diterima, atau terletak antara
ditolak dan diterima.
Nilai, dalam pengertiannya sebagai standard, adalah konsepsi
tentang thedesirable. The desir¬able tidak sama dengan the desired.
The desir-able adalah konsepsi tentang sesuatu ‘yang seharusnya
diinginkan’, sedangkan the desired adalah hal ‘yang diinginkan’. Nilai
merupakan kriteria dalam menentukan tentang apa yang seharusnya
diinginkan seseorang sebagai anggota suatu masyarakat, bukan
tentang apa yang diinginkannya.
Nilai yang dianut seseorang, atau suatu masyarakat, biasanya
berbentuk samar-samar. Nilai tersebut tidak diungkapkan dalam
bentuk verbal secara komplit dan tepat oleh pemiliknya. Dia lebih
implisit daripada eksplisit. Dia berbentuk ide, atau pemikiran, yang
abstrak dan sangat umum.
Namun demikian, setelah melakukan penelitian yang mendalam,
satu nilai dari suatu masyarakat dapat diuraikan dalam bentuk
kata¬kata oleh sang peneliti. Kemudian makna yang diperoleh sang
peneliti ini diajukan kepada anggota-anggota masyarakat tersebut
untuk diuji kebenarannya. Apakah kesimpulan sang peneliti tentang
nilai yang diungkapkan dalam bentuk kata-kata tersebut benar atau
tidak, sang pemiliknya (anggota masyarakat) dapat
memberikan persetujuan atau penolakan. Metode ini di sebut
verba liza bility. Verbalizability adalah satu cara untuk menguji
kebenaran dari kesimpulan tentang suatu nilai yang diperoleh oleh
seorang peneliti.
Pada umumnya ahli-ahli ilmu sosial, termasuk ahli antropologi,
menggunakan konsep nilai secara kasar, kurang tajam, bahkan
kadang-kadang membingungkan. Sebagian ahli antropologi, seperti
Linton dalam buku The Study of Man (1936) misalnya, menyamakan
konsep nilai dengan sikap atau sikap mental. Sebagian sarjana lain
menyamakan konsep nilai tersebut dengan kode moral, kepercayaan
yang dipegang teguh, aspirasi kebudayaan, bahkan sampai kepada
sanksi.
Satu kecenderungan umum yang lain adalah menyamakan konsep
nilai dengan konsep budaya. Ini jelas tidak betul. Budaya adalah
sesuatu yang lebih luas dari nilai. Jika kita menerima pandangan
bahwa budaya adalah suatu sistem ideational, maka nilai, bersama
dengan konsep-konsep sejenis itu, misalnya ethos, kepercayaan,
worldview adalah unsur dari budaya. Satu pembicaraan khusus perlu
untuk menjelaskan perbedaan definisi dan isi dari konsep-konsep
tersebut: nilai, kepercayaan, ethos, dan worldview.
Satu titik penting yang membedakan nilai dengan kepercayaan
bisa juga diberikan seperti berikut ini. Nilai mengacu kepada kategori
good dan bad, dan right dan wrong; sementara itu kepercayaan
mengacu kepada kategori true dan false, dan correct dan incorrect.
Kepercayaan dalam pengertian populer sering juga diartikan sebagai
the desirable yang disetujui dan diperintahkan oleh Tuhan. Jadi,
bagaimanapun, dalam hal tertentu nilai dan kepercayaan mempunyai
suatu titik persamaan. Dua-duanya mengandung pemikiran tentang
standar, atau pengukuran.
Dalam rangka pengembangan konsep nilai ini, dan penerapannya
dalam penelitian yang empirikal, Department of Social Relations,
guna dan lebih relevan dengan situasi kehidupan masa kini, telah
melahirkan ulama¬ulama gaya baru dengan latar belakang urban dan
pendidikan universitas umum. Ulama¬ulama tradisional dengan latar
belakang rural dan pendidikan keagamaan makin kentara keterbatasan
wawasannya dalam membantu umat Islam awam untuk memecahkan
masalah kehidupan yang makin kompleks.
Terakhir, urbanisasi yang terjadi secara besar-besaran pada masa
akhir-akhir ini, telah menimbulkan keperluan baru di kalangan migran
Islam di perkotaan. Mereka telah meninggalkan
kerukunankehidupandesa, yang tidak ditemukan di kota. Mereka
memerlukan satu lembaga kerukunan baru. Mungkin masjid dapat
digunakan sebagai pusat pengikat kerukunan umat, menggantikan
‘kerukunan desa’ dan ‘kerukunan kekerabatan’ yang mereka
tinggalkan di desa.
Sayang sekali sampai kini, sebagian besar kegiatan masjid baru
pada sektor ibadah sembahyang berjamaah. Akan lebih menolong
banyak bagi para migran baru dari desa ini kalau masjid juga dapat
mengembangkan diri dalam fungsi pendidikan anak-anak dan berbagai
kegiatan sosial lain. Pokoknya masjid harus dapat mengembangkan
fungsinya sebagai ‘pusat komunitas’ yang mengikat umat yang tinggal
di sekelilingnya.
Kepustakaan
Bellah, R. N.
1970 (1957) Tokugawa Religion. Boston: Beacon Press.
Geertz, H.
1961 Javanese Family. New York: The Free Press of Glencoe.
Gillin, J. (ed.)
1958 (1954) For A Science of Social Man. New York: Macmillan
Company.
Hendro Budidharmono
1971 Orientasi Nilai-Budaya Pada Masyarakat Desa Klopoduwur.
Skripsi Sarjana Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia.
Kluckhohn, F. R. dan F. L. Strodtbeck
1961 Variations in Value Orientation: A Theory Tested in Five
Cultures. Evanston, Illinois: Row, Peterson and Co.
Koentjaraningrat
1969 Kerangka Untuk Meneliti Faktor-faktor Sosial-Budaya Dalam
Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Bhratara.
1969 Rintangan-rintangan Mental Dalam Pemabangunan Ekonomi di
Indonesia. Jakarta: Bhratara.
1975 Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Linton, R.
1936 The Study of Man. New York: Appleton-Century-Crofts, Inc.
O’Dea, T. F.
1957 The Mormons. Chicago: University of Chicago Press.
Parsons, T. dan E. Shils (eds)
1965 (1951) Toward A General Theory of Action. New York: Harper
& Row.
Rapoport, R. N.
1954 ‘Changing Navaho Religious Values: A Study of Christian
Missions to the Rimrock Navahos’, Cambridge, Mass.: Papers
of the Peabody Museum of American Archaelogy and
Ethnology, Vol. 41, No. 2,.
Vogt, E. Z. dan E. M. Albert
1967 People of Rimrock; A Study of Value in Five Cultures.
Cambridge-Massachusetts: Harvard University Press.